Anda di halaman 1dari 16

PENUGASAN INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN (IOM)

IOM PADA KASUS ENDOKRIN


“DIABETES MELLITUS TIPE 2”

Oleh :

KELOMPOK 2

TRY WINARTI (185070309111021)


SRI
TRI
OJAN
HERNA
HAWA

PROGAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

BAB 1
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau

gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan

tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme

karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.

Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau

disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin

(WHO, 1999).

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosa menderita diabetes

melitus pada tahun 2013 adalah sebesar 2,1 %. Jumlah tersebut

mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu

sebesar 1,1 % (Riskesdas, 2013). Pada tahun 2013, Provinsi Jawa Timur

menempati urutan ke – 5 teratas di Indonesia yang memiliki prevalensi

diabetes sebesar 2,1 %. Sedangkan prevalensi diabetes di Kota Malang

menempati urutan ke – 11 tertinggi dari 38 kota dan kabupaten se -Jatim

yaitu sebesar 2,3 % (Riskesdas, 2013).

Kasus diabetes melitus tipe 2 (DM Tipe 2) sebagai kasus yang

paling banyak dijumpai mempunyai latar belakang berupa genetik,

resistensi insulin, dan insufisiensi sel beta pankreas dalam memproduksi

insulin (Suyono dan Mahan, 2004). Salah satu faktor penyebab tingginya

prevalensi diabetes melitus tipe 2 adalah pola makan yang tidak sehat
meliputi diet tinggi karbohidrat dan lemak, kebiasaan mengkonsumsi

makanan siap saji dengan kandungan natrium tinggi, dan konsumsi

makanan rendah serat (Budiyanto, 2002).

Penanganan diabetes melitus memiliki 4 pilar utama yaitu edukasi,

pengaturan makan/terapi gizi medis/diet, latihan jasmani dan intervensi

farmakologis (Perkeni2011). Pengaturan makan merupakan komponen yang

paling penting dalam penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 (Soegondo, 2007).

Kita mengetahui dan menyadari bahwa setiap penyakit tentu saja

memerlukan penanganan atau penatalaksanaan dengan cara atau metode

yang berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi secara umum di dalam

penatalaksanaan suatu penyakit idealnya mutlak diperlukan suatu kerja

sama antara profesi kesehatan, sehingga pasien akan mendapatkan

pelayanan kesehatan yang komprehensif meliputi 3 (tiga) aspek yakni:

Pelayanan Medik (Medical Care), Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical

Care) dan Pelayanan Keperawatan (Nursing Care).

Proses manajemen penyakit DM tipe 2 sangat bergantung pada

terapi obat. Beberapa jenis obat mempunyai efek samping yang dapat

mengganggu proses terapi gizi pada pasien. Interaksi pada zat gizi tertentu

mempengaruhi farmakokinetik baik zat gizi dengan obat. Oleh karena itu

tim pelayanan kesehatan sebaiknya memahami kemungkinan timbulnya

interaksi obat dan makanan yang akan mengakibatkan timbulnya

perubahan respon obat dalam tubuh, menimbulkan keracunan (obat) dan

mengubah status gizi. Dalam makalah ini akan membahas interaksi obat

dan makanan pada penderita diabetes mellitus tipe 2.


BAB II

ISI / MATERI

I. DEFINISI DIABETES MELLITUS TIPE 2

Diabetes melitus adalah suatu gangguan metabolisme yang

ditandai dengan adanya hiperglikemi kronik baik oleh diabetes melitus tipe

1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus gestasional atau lainnya

(lingkungan, defek genetik, infeksi atau obat tertentu) (Baynest, 2015).

Diabetes melitus tipe 2 adalah jenis diabetes yang terjadi sekitar

90-95 % pada penderita diabetes melitus. Diabetes melitus tipe 2 ini

terjadi pada individu yang mengalami resistensi insulin dan relatif

mengalami defisiensi insulin (ADA, 2014). Diabetes melitus tipe 2 atau

biasa disebut sebagai Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

adalah jenis diabetes melitus yang disebabkan oleh berkurangnya

sensitifitas dari target jaringan terhadap insulin. Berkurangnya sensitifitas

insulin ini biasa disebut sebagai resistensi insulin (Banoo et al, 2015)

Etiologi

Diabetes melitus tipe 2 atau biasa disebut dengan Non-Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dapat terjadi karena adanya

hiperinsulinemia tetapi insulin tidak mampu membawa glukosa yang ada

dalam darah masuk ke dalam jaringan. Ketidakmampuan insulin tersebut

disebabkan oleh adanya resistensi insulin yaitu menurunnya kemampuan

insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan

untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Karena adanya resistensi


insulin yang membuat reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap

kadarnya masih tinggi dalam darah akan mengakibatkan defisiensi relatif

insulin. Defisiensi relatif insulin ini dapat mengakibatkan sekresi insulin

berkurang sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensititasi

terhadap adanya glukosa (ADA, 2010 dalam Ndraha, 2014).

Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2

Orang yang menderita diabetes melitus tipe 2 lebih rentan terkena

komplikasi jangka pendek dan panjang yang berbeda. Komplikasi yang

dialami termasuk penyakit makrovaskuler (hipertensi, hiperlipidemia,

serangan jantung, penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh

darah otak dan penyakit pembuluh darah perifer), penyakit mikrovaskuler

(retinopati, nefropati dan neuropati) dan kanker (kanker hati, ginjal,

kandung kemih dan kolorektal) (Wu et al, 2014). Dalam jurnal Risk

Factors Contributing to Type 2 Diabetes and Recent Advances in the

Treatment and Prevention oleh Wu et al (2014) dan Overview on Diabetes

Mellitus (Type 2) oleh Hassan (2013) disebutkan beberapa komplikasi

yang dapat terjadi pada orang dengan Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu

sebagai berikut: Kerusakan saraf (neuropati), Kerusakan ginjal (nefropati),

kerusakan mata (retinopati), stroke, hipertensi, penyakit pembuluh darah

ferifer, kanker
II. MASALAH GIZI YANG MUNCUL PADA PENYAKIT DM TIPE 2

Berdasarkan analisis antara jenis kelamin dengan kejadian DM

Tipe 2, prevalensi kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada

laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik

wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar.

Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse

yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat

proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes

mellitus tipe2 (Irawan, 2010).

Peningkatan diabetes risiko diabetes seiring dengan umur,

khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia

tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses

penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pancreas dalam

memproduksi insulin (Sunjaya, 2009).

Adanya pengaruh indek masa tubuh terhadap diabetes mellitus ini

disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi

karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan factor risiko dari obesitas.

Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak atau Free Fatty

Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi

transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya

resistensi insulinpada jaringan otot dan adipose (Teixeria-Lemos

dkk,2011).

Adanya peningkatan risiko diabetes pada kondisi stres disebabkan

oleh produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang


mengalami stres. Produksi kortisol yang berlebih ini akan mengakibatkan

sulit tidur, depresi, tekanan darah merosot, yang kemudian akan membuat

individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih. Oleh karena

itu, ahli nutrisi biologis Shawn Talbott menjelaskan bahwa pada umumnya

orang yang mengalami stres panjang juga akan mempunyai

kecenderungan berat badan yang berlebih, yang merupakan salah satu

faktor risiko diabetes melitus (Siagian,2012)

Kadar kolestrol yang tinggi berisiko terhadap penyakit DM Tipe 2.

Kadar kolestrol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas

sehingga terjadi lipotoksisity. Hal ini akan menyebabkan terjadinya

kerusakan sel beta pankreas yang akhirnya mengakibatkan DM Tipe 2

(Kemenkes, 2010).

III. OBAT-OBATAN YANG DIKONSUMSI PENDERITA DM TIPE 2

A. TERAPI INSULIN

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe

1. Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas

penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin.

Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat

insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di

dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar

penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun

hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi

hipoglikemik oral. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga


membutuhkan terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak

dapat mengendalikan kadar glukosa darah

PENGGOLONGAN SEDIAAN INSULIN

Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia,

yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa

kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan

menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga

insulin reguler

2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)

3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat

4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin) (IONI, 2000

dan Soegondo, 1995b).

B. TERAPI OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral

yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.

Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien,

farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan

menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat.

Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan

harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat


glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk

penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.

JENIS / PENGGOLONGAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral

dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat

hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida

dan turunan fenilalanin).

2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan

sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat

hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat

membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih

efektif.

3. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-

glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan

umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-

prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-

blocker”.

FUNGSI :
Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja
Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamid Merangsang sekresi insulin di
a Glipizida kelenjar pankreas, sehingga
Glikazida hanya efektif pada penderita
Glimepirida diabetes yang sel-sel β
Glikuidon pankreasnya masih berfungsi
dengan baik
Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di
kelenjar pankreas
Turunan Nateglinide Meningkatkan kecepatan
fenilalanin sintesis insulin oleh pankreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati
(hepar), menurunkan produksi
glukosa hati. Tidak merangsang
sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas
Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh
Troglitazone terhadap insulin. Berikatan
Pioglitazone dengan PPARγ (peroxisome
proliferator activated receptor-
gamma) di otot, jaringan lemak,
dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin
Inhibitor Acarbose Menghambat kerja enzim-enzim
glucosidase Miglitol pencenaan yang mencerna
karbohidrat, sehingga
memperlambat absorpsi
glukosa ke dalam darah

EFEK SAMPING :
Golongan Obat Efek samping
SULFONILUREA Gliburida Memiliki efek hipoglikemik yang
poten sehingga pasien perlu
(Glibenklamida)
diingatkan untuk melakukan
jadwal makan yang ketat.
Gliburida dimetabolisme dalam
hati, hanya 25% metabolit
diekskresi melalui ginjal,
sebagian besar diekskresi
melalui empedu dan
dikeluarkan bersama tinja.
Gliburida efektif dengan
pemberian dosis tunggal. Bila
pemberian dihentikan, obat
akan bersih keluar dari serum
setelah 36 jam. Diperkirakan
mempunyai efek terhadap
agregasi trombosit. Dalam
batas-batas tertentu masih
dapat diberikan pada beberapa
pasien dengan kelainan fungsi
hati dan ginjal. (Handoko dan
Suharto, 1995; Soegondo,
1995b).
Glipizida Mempunyai masa kerja yang
lebih lama dibandingkan
dengan glibenklamid tetapi
lebih pendek dari pada
klorpropamid. Kekuatan
hipoglikemiknya jauh lebih
besar dibandingkan dengan
tolbutamida. Mempunyai efek
menekan produksi glukosa hati
dan meningkatkan jumlah
reseptor insulin. Glipizida
diabsorpsi lengkap sesudah
pemberian per oral dan dengan
cepat dimetabolisme dalam hati
menjadi metabolit yang tidak
aktif. Metabolit dan kira-kira
10% glipizida utuh
diekskresikan melalui ginjal
(Handoko dan Suharto, 1995;
Soegondo, 1995b).

Glikazida Mempunyai efek hipoglikemik


sedang sehingga tidak begitu
sering menyebabkan efek
hipoglikemik. Mempunyai efek
anti agregasi trombosit yang
lebih poten. Dapat diberikan
pada penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal yang
ringan (Soegondo, 1995b).
Glimepirida Memiliki waktu mula kerja yang
pendek dan waktu kerja yang
lama, sehingga umum diberikan
dengan cara pemberian dosis
tunggal. Untuk pasien yang
berisiko tinggi, yaitu pasien usia
lanjut, pasien dengan
gangguan ginjal atau yang
melakukan aktivitas berat dapat
diberikan obat ini.
Dibandingkan dengan
glibenklamid, glimepirid lebih
jarang menimbulkan efek
hipoglikemik pada awal
pengobatan (Soegondo, 1995b)
Glikuidon Mempunyai efek hipoglikemik
sedang dan jarang
menimbulkan serangan
hipoglikemik. Karena hampir
seluruhnya diekskresi melalui
empedu dan usus, maka dapat
diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal
yang agak berat (Soegondo,
1995b).

MEGLITINIDA Repaglinida Merupakan turunan asam


benzoat. Mempunyai efek
DAN TURUNAN
hipoglikemik ringan sampai
FENILALANIN sedang. Diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian per
oral, dan diekskresi secara
cepat melalui ginjal. Efek
samping yang mungkin terjadi
adalah keluhan saluran cerna
(Soegondo, 1995b).
Nateglinida Merupakan turunan fenilalanin,
cara kerja mirip dengan
repaglinida. Diabsorpsi cepat
setelah pemberian per oral dan
diekskresi terutama melalui
ginjal. Efek samping yang dapat
terjadi pada penggunaan obat
ini adalah keluhan infeksi
saluran nafas atas (ISPA)
(Soegondo, 1995b).

BIGUANIDA Metformin Efek samping yang sering


terjadi adalah nausea, muntah,
kadangkadang diare, dan dapat
menyebabkan asidosis laktat.
TIAZOLIDINDIO Rosiglitazone Cara kerja hampir sama
dengan pioglitazon, diekskresi
N
melalui urin dan feses.
Mempunyai efek hipoglikemik
yang cukup baik jika
dikombinasikan dengan
metformin. Pada saat ini belum
beredar di Indonesia.

Pioglitazone Mempunyai efek menurunkan


resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein
transporter glukosa, sehingga
meningkatkan uptake glukosa
di sel-sel jaringan perifer. Obat
ini dimetabolisme di hepar.
Obat ini tidak boleh diberikan
pada pasien gagal jantung
karena dapat memperberat
edema dan juga pada
gangguan fungsi hati. Saat ini
tidak digunakan sebagai obat
tunggal.

INHIBITOR Α- Acarbose Acarbose dapat diberikan


dalam terapi kombinasi dengan
GLUKOSIDASE
sulfonilurea, metformin, atau
insulin.

Miglitol Miglitol biasanya diberikan


dalam terapi kombinasi dengan
obat-obat antidiabetik oral
golongan sulfonilurea

KAITAN DENGAN STATUS GIZI:

IV. TELAAH STUDI KASUS

BAB III
PENUTUP
Ahli gizi memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan

penatalaksanaan diabetes. Memberikan pelayanan asuhan gizi secara

paripurna melalui berbagai kegiatan yang mendukung terapi diabetes

yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, antara lain

dengan melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi,

memberikan rekomendasi terapi, memberikan pendidikan dan konseling

dan bekerja sama erat dengan pasien dalam penatalaksanaan diabetes

sehari-hari, merupakan salah satu tugas profesi nutrisionis/ dietisien.

Untuk dapat berperan secara profesional dalam pelayanan asuhan

gizi dan penatalaksanaan diabetes mellitus tentu saja diperlukan

dukungan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Oleh

sebab itu sangat penting bagi seorang ahli gizi yang akan memberikan

pelayanan asuhan gizi

Akan tetapi secara umum di dalam penatalaksanaan suatu penyakit

idealnya mutlak diperlukan suatu kerja sama antara profesi kesehatan,

sehingga pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang

komprehensif. Kerja sama antara tim pelayanan kesehatan sangat

diperlukan, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan


Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013XBanoo H, Nusrat N, Nasir N.
2015. Type 2 Diabetes Mellitus: A Review of Current Trends. RAMA Univ.
J. Med Sci 2015;1(2):50-57
Baynest H. 2015. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and Management
of Diabetes Mellitus. J Diabetes Metab 6: 541. doi:10.4172/2155-
6156.1000541
Ndraha S. 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Medicinus
(Scientific Jornal Of Pharmaceutical Development and Medical
Appliation) Vol. 27, No. 2, Agustus 2014
Wu Y, Ding Y, Tanaka Y, Zhang W. 2014. Risk Factors Contributing to Type 2
Diabetes and Recent Advances in the Treatment and Prevention. 2014;
11(11): 1185-1200. doi: 10.7150/ijms.10001s
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan.
Jurusan Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Sujaya, I Nyoman. 2009. “Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai
Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan.” Jurnal Skala Husada
Vol. 6 No.1 hal:75-81
Teixeria-Lemos, dkk. 2011. Regular physical exercise training assists in
preventing type 2 diabetes development: focus on its antioxidant and anti-
inflammantory properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology
10: 1-15
Kementerian Kesehatan. 2010. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko
Diabetes Melitus
Shara Kurnia Trisnawat, Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di
Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012[Abstrak]
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1); Jan 2013
Soegondo S. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam
Soegondo S, Soewondo P dan Subekti I (eds). Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus Terpadu, Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Cipto
Mangunkusumo-FKUI, Jakarta, 2004.
Departemen Kesehatan RI, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
Ri 2005

Anda mungkin juga menyukai