Anda di halaman 1dari 10

1.

Sejarah Ekonomi Pada Masa Orde Lama


1.1. Perkembangan Perekonomian Pada Masa Orde Lama
Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dituntut untuk mampu
menghidupi negaranya sendiri dalam berbagai aspek kehidupan, terutama aspek
ekonomi. Perkembangan ekonomi Indonesia mengalami perkembangan mulai
masa pemerintahan Presiden Soekarno yang dikenal dengan zaman Orde Lama.
Kemudian mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto yang dikenal dengan zaman Orde Baru. Hingga zaman reformasi yang
mengalami perubahan besar-besaran dalam aspek ekonomi. Periode kekuasaan
di Indonesia yaitu Orde Lama, Orde Baru dan reformasi memiliki ciri khas
masing-masing yang pada akhirnya juga membawa dampak yang berbeda-beda
bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Orientasi pembangunan yang dimaksud
adalah orientasi pembangunan keluar, yakni pembangunan dengan melakukan
stabilisasi ekonomi negeri dengan memanfaatkan sumber luar negeri dan
pembangunan berorientasi ke dalam, yang merupakan usaha stablisasi ekonomi
dengan memperkuat usaha-usaha dalam negeri (Mas’oed, 1989:95).
Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno bersikap anti batuan asing dan
berorientasi ke dalam. Soekarno menyatakan bahwa nilai kemerdekaan yang
paling tinggi adalah berdiri di atas kaki sendiri atau yang biasa disebut “berdikari”
(Mas’oed, 1989:76). Soekarno tidak menghendaki adanya bantuan luar negeri
dalam membangun perekonomian Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia
haruslah dilakukan oleh Indonesia sendiri. Bahkan Soekarno melakukan
kampanye Ganyang Malaysia yang semakin memperkuat posisinya sebagai
oposisi bantuan asing. Semangat nasionalisme Soekarno menjadi pemicu
sikapnya yang tidak menginginkan pihak asing ikut campur dalam
pembangungan ekonomi Indonesia. Padahal saat itu di awal kemerdekaannya
Indonesia membutuhkan pondasi yang kuat dalam pilar ekonomi. Sikap
Soekarno yang anti bantuan asing pada akhirnya membawa konsekuensi
tersendiri yaitu terjadinya kekacauan ekonomi di Indonesia. Soekarno cenderung
mengabaikan permasalahan mengenai ekonomi negara, pengeluaran besar-
besaran yang terjadi bukan ditujukan terhadap pembangunan, melainkan untuk
kebutuhan militer, proyek mercusuar, dan dana-dana politik lainnya. Soekarno
juga cenderung menutup Indonesia terhadap dunia luar terutama negara-negara
barat. Hal itu diperkeruh dengan terjadinya inflasi hingga 600% per tahun pada
1966 yang pada akhirnya mengakibatkan kekacauan ekonomi bagi Indonesia.
Kepercayaan masyarakat pada era Orde Lama kemudian menurun karena rakyat
tidak mendapatkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
1.2. Sistem Perekonomian Pada Masa Orde Lama
Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI,
tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh
pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali pasar modal
Indonesia.
Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No. 13 tanggal
1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai Undang-undang No. 15
tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di
Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun
penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan
Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek
lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat.
Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang
diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II.
Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan
pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli
obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum.
Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri
terutama dengan Amsterdam.
Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena
mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini
diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda
sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan
banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.
Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya
hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya
dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di
Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.
Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan
Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia
untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi
di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin
memperparah perdagangan Efek di Indonesia.
Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, yakni mencapai
lebih dari 300%, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang
mencapai puncaknya pada tahun 1996.
Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi
rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang
surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara
lain :
a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR.
Surachman pada bulan Juli 1946.
b. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India
merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia
yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa
padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan
kepada Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan
ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah
ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-
perkebunan.
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari
1947. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948,
mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada
pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab
Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
1.3. Kondisi Perekonomian Pada Masa Orde Lama
Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka
waktu tersebut, Indonesia bergantian menggunakan sistem ekonomi liberal dan
sistem ekonomi komando. Hampir seluruh program ekonomi pemerintahan
Soekarno kandas di tengah jalan. Penyebabnya adalah :
a. Situasi politik yang diwarnai manuver dan sabotase, terutama dari
kelompok-kelompok kanan (masyumi, PSI, dan tentara-AD) yang tidak
menghendaki kemandirian ekonomi nasional.
b. Pertarungan kekuasaan antar elit politik di tingkat nasional -yang
berakibat jatuh-bangunnya cabinet - tidak memberikan kesempatan
kepada Soekarno dan kabinetnya untuk teguh menjalankan kebijakan-
kebijakan tersebut.
c. Yang paling pokok: borjuasi dalam negeri (pribumi) yang diharapkan
menjadi kekuatan pokok dalam mendorong industrialisasi dan kegiatan
perekonomian justru tidak memiliki basis borjuis yang tangguh.
Kendati berkali-kali mengalami kegagalan, Soekarno kemudian
menekankan bahwa haluan ekonomi baru ini hanya akan berhasil dengan
dukungan masyarakyat. Dalam usaha memasifkan dukungan rakyat, Soekarno
berpropaganda tentang Trisakti:
a. Berdikari di bidang ekonomi;
b. Berdaulat di bidang politik; dan
c. Berkepribadian dalam budaya

2. Sejarah Ekonomi Pada Masa Orde Baru


2.1. Perkembangan Perekonomian Pada Masa Orde Baru
Kemudian fase baru dimulai dalam perkembangan Indonesia, yakni masa
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Di era Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto, slogan “Politik sebagai Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai
Panglima”. Karena pada masa ini, pembangunan ekonomi merupakan
keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan Soeharto berorientasi kepada
pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto juga berbanding terbalik
dengan kepemimpinan era Soekarno. Jika kebijakan Soekarno cenderung
menutup diri dari negara-negara barat, Soeharto malah berusaha menarik modal
dari negara-negara barat itu. Perekonomian pada masa Soeharto juga ditandai
dengan adanya perbaikan di berbagai sector dan pengiriman delegasi untuk
mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara barat dan juga IMF. Jenis
bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga melalui “injeksi”
bahan impor ke pasar. Orde Baru berpandangan bahwa Indonesia memerlukan
dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis asing maupun dari masyarakat
bisnis internasional pada umumnya, yakni para banker dan perusahaan-
perusahaan multinasional (Mochtar 1989,67). Orde Baru cenderung berorientasi
keluar dalam membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi tiga tahap.
Pertama, tahap penyelamatan yang bertujuan untuk mencegah agar
kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua, stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur
ekonmi. Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara
lain dipererat melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi
internasional, terutama PBB, dan penyelesaian konflik dengan Malaysia.
Awalnya bantuan asing sulit diperoleh karena mereka telah dikecewakan oleh
Soekarno, namun dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan
kucuran dana asing tersebut akhirnya diterima Indonesia. Ekonomi Indonesia
mulai bangkit bahkan akhirnya menjadi begitu kuat.
Sayangnya kekuatan ekonomi itu didapatkan dari bantuan asing yang
suka atau tidak harus dikembalikan. Suntikan bantuan dari Amerika Serikat
maupun Jepang cukup berperan besar dalam perbaikan ekonomi di Indonesia.
Begitupun dengan IMF yang dinilai sangat bermanfaat dalam memperjuangkan
Indonesia di hadapan para kreditor asing (Mas’oed, 1989:84). Namun, bantuan
tersebut tidak serta merta membuat Indonesia tumbuh dengan prestasi ekonomi,
Indonesia ternyata semakin terjerat keterpurukan perekonomian dalam negeri
akibat syarat-syarat dan bunga yang telah direncanakan negara penyuntik
bantuan. Booth (1999) menjelaskan kegagalan industri dalam negeri dipasar
global serta terjun bebasnya nilai rupiah juga menjadi warisan keterpurukan
ekonomi pada Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan ekonomi keluar.
Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan pemerintahan reformasi untuk
menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri.
Reformasi ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dan
diangkatnya BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden menjadi
Presiden Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak mampunya Soeharto
mengalami permasalahan ekonomi serta semakin mewabahnya KKN (korupsi,
kolusi, nepotisme). Trauma zaman Orde Baru yang mengekang hak-hak
demokrasi warga negara serta kediktatoran Soeharto menyebabkan terjadinya
perubahan menyeluruh dalam tiap aspek kehidupan. Naiknya nilai tukar dollar
secara tak tertahankan pada zaman Orde Baru, menyebabkan naiknya berbagai
kebutuhan pokok Indonesia. Namun, secara perlahan nilai tukar dollar terhadap
rupiah ini semakin menurun hingga saat ini.
Selanjutnya yang menjadi penting yakni orientasi ekonomi yang
bagaimana, ke luar atau ke dalam, yang kemudian dapat dianggap dan
diharapkan efektif dan sesuai dengan kondisi Indonesi saat ini. Orientasi
ekonomi ke dalam pada zaman kepemimpinan Soekarno yakni Orde Lama masih
memiliki kekurangan. Begitu pula dengan era Orde Baru dibawah kekuasaan
Soeharto. Kekurangan-kekurangan tersebut yang akhirnya memiliki dampak
yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi di Indonesia. Dalam
masa kini perkembangan ekonomi tentu saja lebih baik dari pada dua era
tersebut. Sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu berpacu pada orientasi ke luar
atau ke dalam. Orientasi ekonomi di Indonesia harus lebih fleksibel. Karena
dengan hal tersebut maka ekonomi di Indonesia tidak hanya berpusat di dalam
negeri tanpa mau menerima bantuan asing, juga tidak hanya berkonsentrasi
pada bantuan asing tanpa memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh
Indonesia sendiri. Alangkah lebih baiknya jika orientasi ke dalam maupun ke luar
dapat seimbang, sehingga Indonesia yang tentu saja masih memiliki kekurangan
dapat menerima berbagai bantuan luar negeri secara wajar, yang kemudian tidak
lupa untuk memaksimalkan sumber-sumber yang ada di Indonesia sendiri, baik
itu SDA maupun SDM di Indonesia. Pemerintah juga harus dengan bijaksana
menentukan berbagai kebijakan mengenai bantuan maupun investor asing yang
akan membantu hingga menanamkan sahamnya di Indonesia. Sehingga
Indonesia tidak menjadi pihak yang dirugikan, serta berbagai bantuan yang
datang dari luar negeri maupun investor asing dapat dibatasi kewenangannya di
Indonesia dan mencegah investor asing untuk mendapatkan keuntungan dan
eksploitasi yang berlebihan terhadap Indonesia.
2.2. Sistem Perekonomian Pada Masa Orde Baru
Perekonomian Indonesia masa orde baru (1966-1998), Awal-awal pemerintahan
orde baru dihadapkan pada kehancuran ekonomi secara total, hal ini tergambar
dari Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar
daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar
negeri mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso,
1986:221). Maka awal pemrintahan orde baru ini juga bisa dikatakan sebagai titik
balik perekonomian Indonesia.
Pamerintah saat itu benar-benar berusaha kerasa untuk mengubah
perekonomian Indonesia yang terpuruk. Tahun 1966-1968 merupakan tahun
untuk rehabilitasi ekonomi. Segala macam upaya dilakukan mulai dari
menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Kerhasilannya menstabilakan inflasi
berdampa positif terhadap stabilitas politik saat itu. Maka kemudian berpengaruh
terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI.
Sejak masa itu yaitu pada tahun 1969, Indonesia memulai menata
kehidupan ekonomi secara lebih terarah dan fokus terhadap prioritas
pembangunan. Sehingga dibentuklah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
kita kenal pada saat itu sebgai REPELITA. Berikut penjelasan singkat tentang
beberapa REPELITA:
a. Repelita I (1 April 1969 hingga 31 Maret 1974)
Titik Berat Repelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses
pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia
masih hidup dari hasil pertanian.
Sasaran Repelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Tujuan Repelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam
tahap berikutnya.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada
tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang
Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi
para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi
ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak
beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-
barang buatan Jepang.
b. Repelita II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979)
Titik Berat Repelita II: Pada sektor pertanian dengan meningkatkan
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku meletakkan
landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya.
Sasaran Repelita II: Tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana
dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan
kerja.
Tujuan Repelita II: Meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain
Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata
mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi
mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%.
Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
c. Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984)
Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi
barang selanjutnya. Menekankan bidang industri padat karya untuk
meningkatkan ekspor.
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang
belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan harga
minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir
Repelita III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha
pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik
dari penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri.
d. Repelita IV (1 April 1984 hingga 31 Maret 1989)
Titik Berat Repelita IV: Pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-
usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin- mesin industri sendiri, baik industri ringan
yang akan terus dikembangkan dalm repelita-repelita selanjutnya
meletakkan landasan yanag kuat bagi tahap selanjutnya.
Tujuan Repelita IV: Menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan
moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat
dipertahankan.
e. Repelita V (1 April 1989 hingga 31 Maret 1994)
Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi
Pembangunan dengan menekankan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi
Pembangunan tersebut saling mengait dan perlu dikembangkan secara
selaras, terpadu, dan saling memperkuat. Tujuan dari Repelita V sesuai
dengan GBHN tahun 1988 adalah pertama, meningkatkan taraf hidup,
kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rajyat yang makin merata dan adil;
kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pemangunan
berikutnya.
2.3. Koondisi Perekonomian Pada Masa Orde Baru
Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi
Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi
Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi
dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri
pada pemerintahan Suharto.
Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang Emil Salim penasehat
ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang
bisa dikatakan berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di
bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun. Untuk menekan inflasi yang begitu
tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan
Sukarno, pendahulunya. Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan
sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang
Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet
AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah
sebagai berikut.
Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang
menyebabkan kemacetan, seperti :
a. Rendahnya penerimaan Negara
b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara
c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi
impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.

Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian yang


berorientasi pada kepentingan produsen kecil, untuk melaksanakan langkah-
langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara mengadakan operasi pajak
yang cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan
dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani
masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan
sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan
Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang
disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para
teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari
negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya.
Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan
ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.

Anda mungkin juga menyukai