1.1. Perkembangan Perekonomian Pada Masa Orde Lama Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dituntut untuk mampu menghidupi negaranya sendiri dalam berbagai aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi. Perkembangan ekonomi Indonesia mengalami perkembangan mulai masa pemerintahan Presiden Soekarno yang dikenal dengan zaman Orde Lama. Kemudian mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan zaman Orde Baru. Hingga zaman reformasi yang mengalami perubahan besar-besaran dalam aspek ekonomi. Periode kekuasaan di Indonesia yaitu Orde Lama, Orde Baru dan reformasi memiliki ciri khas masing-masing yang pada akhirnya juga membawa dampak yang berbeda-beda bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Orientasi pembangunan yang dimaksud adalah orientasi pembangunan keluar, yakni pembangunan dengan melakukan stabilisasi ekonomi negeri dengan memanfaatkan sumber luar negeri dan pembangunan berorientasi ke dalam, yang merupakan usaha stablisasi ekonomi dengan memperkuat usaha-usaha dalam negeri (Mas’oed, 1989:95). Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno bersikap anti batuan asing dan berorientasi ke dalam. Soekarno menyatakan bahwa nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah berdiri di atas kaki sendiri atau yang biasa disebut “berdikari” (Mas’oed, 1989:76). Soekarno tidak menghendaki adanya bantuan luar negeri dalam membangun perekonomian Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia haruslah dilakukan oleh Indonesia sendiri. Bahkan Soekarno melakukan kampanye Ganyang Malaysia yang semakin memperkuat posisinya sebagai oposisi bantuan asing. Semangat nasionalisme Soekarno menjadi pemicu sikapnya yang tidak menginginkan pihak asing ikut campur dalam pembangungan ekonomi Indonesia. Padahal saat itu di awal kemerdekaannya Indonesia membutuhkan pondasi yang kuat dalam pilar ekonomi. Sikap Soekarno yang anti bantuan asing pada akhirnya membawa konsekuensi tersendiri yaitu terjadinya kekacauan ekonomi di Indonesia. Soekarno cenderung mengabaikan permasalahan mengenai ekonomi negara, pengeluaran besar- besaran yang terjadi bukan ditujukan terhadap pembangunan, melainkan untuk kebutuhan militer, proyek mercusuar, dan dana-dana politik lainnya. Soekarno juga cenderung menutup Indonesia terhadap dunia luar terutama negara-negara barat. Hal itu diperkeruh dengan terjadinya inflasi hingga 600% per tahun pada 1966 yang pada akhirnya mengakibatkan kekacauan ekonomi bagi Indonesia. Kepercayaan masyarakat pada era Orde Lama kemudian menurun karena rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi. 1.2. Sistem Perekonomian Pada Masa Orde Lama Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali pasar modal Indonesia. Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai Undang-undang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam. Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia. Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958. Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia. Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, yakni mencapai lebih dari 300%, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1996. Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain : a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946. b. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia. c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan- perkebunan. d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. e. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan). 1.3. Kondisi Perekonomian Pada Masa Orde Lama Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia bergantian menggunakan sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Hampir seluruh program ekonomi pemerintahan Soekarno kandas di tengah jalan. Penyebabnya adalah : a. Situasi politik yang diwarnai manuver dan sabotase, terutama dari kelompok-kelompok kanan (masyumi, PSI, dan tentara-AD) yang tidak menghendaki kemandirian ekonomi nasional. b. Pertarungan kekuasaan antar elit politik di tingkat nasional -yang berakibat jatuh-bangunnya cabinet - tidak memberikan kesempatan kepada Soekarno dan kabinetnya untuk teguh menjalankan kebijakan- kebijakan tersebut. c. Yang paling pokok: borjuasi dalam negeri (pribumi) yang diharapkan menjadi kekuatan pokok dalam mendorong industrialisasi dan kegiatan perekonomian justru tidak memiliki basis borjuis yang tangguh. Kendati berkali-kali mengalami kegagalan, Soekarno kemudian menekankan bahwa haluan ekonomi baru ini hanya akan berhasil dengan dukungan masyarakyat. Dalam usaha memasifkan dukungan rakyat, Soekarno berpropaganda tentang Trisakti: a. Berdikari di bidang ekonomi; b. Berdaulat di bidang politik; dan c. Berkepribadian dalam budaya
2. Sejarah Ekonomi Pada Masa Orde Baru
2.1. Perkembangan Perekonomian Pada Masa Orde Baru Kemudian fase baru dimulai dalam perkembangan Indonesia, yakni masa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik sebagai Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Karena pada masa ini, pembangunan ekonomi merupakan keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan Soeharto berorientasi kepada pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto juga berbanding terbalik dengan kepemimpinan era Soekarno. Jika kebijakan Soekarno cenderung menutup diri dari negara-negara barat, Soeharto malah berusaha menarik modal dari negara-negara barat itu. Perekonomian pada masa Soeharto juga ditandai dengan adanya perbaikan di berbagai sector dan pengiriman delegasi untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara barat dan juga IMF. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga melalui “injeksi” bahan impor ke pasar. Orde Baru berpandangan bahwa Indonesia memerlukan dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis asing maupun dari masyarakat bisnis internasional pada umumnya, yakni para banker dan perusahaan- perusahaan multinasional (Mochtar 1989,67). Orde Baru cenderung berorientasi keluar dalam membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap penyelamatan yang bertujuan untuk mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua, stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonmi. Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara lain dipererat melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi internasional, terutama PBB, dan penyelesaian konflik dengan Malaysia. Awalnya bantuan asing sulit diperoleh karena mereka telah dikecewakan oleh Soekarno, namun dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan kucuran dana asing tersebut akhirnya diterima Indonesia. Ekonomi Indonesia mulai bangkit bahkan akhirnya menjadi begitu kuat. Sayangnya kekuatan ekonomi itu didapatkan dari bantuan asing yang suka atau tidak harus dikembalikan. Suntikan bantuan dari Amerika Serikat maupun Jepang cukup berperan besar dalam perbaikan ekonomi di Indonesia. Begitupun dengan IMF yang dinilai sangat bermanfaat dalam memperjuangkan Indonesia di hadapan para kreditor asing (Mas’oed, 1989:84). Namun, bantuan tersebut tidak serta merta membuat Indonesia tumbuh dengan prestasi ekonomi, Indonesia ternyata semakin terjerat keterpurukan perekonomian dalam negeri akibat syarat-syarat dan bunga yang telah direncanakan negara penyuntik bantuan. Booth (1999) menjelaskan kegagalan industri dalam negeri dipasar global serta terjun bebasnya nilai rupiah juga menjadi warisan keterpurukan ekonomi pada Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan ekonomi keluar. Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan pemerintahan reformasi untuk menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri. Reformasi ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dan diangkatnya BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden menjadi Presiden Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak mampunya Soeharto mengalami permasalahan ekonomi serta semakin mewabahnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Trauma zaman Orde Baru yang mengekang hak-hak demokrasi warga negara serta kediktatoran Soeharto menyebabkan terjadinya perubahan menyeluruh dalam tiap aspek kehidupan. Naiknya nilai tukar dollar secara tak tertahankan pada zaman Orde Baru, menyebabkan naiknya berbagai kebutuhan pokok Indonesia. Namun, secara perlahan nilai tukar dollar terhadap rupiah ini semakin menurun hingga saat ini. Selanjutnya yang menjadi penting yakni orientasi ekonomi yang bagaimana, ke luar atau ke dalam, yang kemudian dapat dianggap dan diharapkan efektif dan sesuai dengan kondisi Indonesi saat ini. Orientasi ekonomi ke dalam pada zaman kepemimpinan Soekarno yakni Orde Lama masih memiliki kekurangan. Begitu pula dengan era Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto. Kekurangan-kekurangan tersebut yang akhirnya memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi di Indonesia. Dalam masa kini perkembangan ekonomi tentu saja lebih baik dari pada dua era tersebut. Sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu berpacu pada orientasi ke luar atau ke dalam. Orientasi ekonomi di Indonesia harus lebih fleksibel. Karena dengan hal tersebut maka ekonomi di Indonesia tidak hanya berpusat di dalam negeri tanpa mau menerima bantuan asing, juga tidak hanya berkonsentrasi pada bantuan asing tanpa memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Alangkah lebih baiknya jika orientasi ke dalam maupun ke luar dapat seimbang, sehingga Indonesia yang tentu saja masih memiliki kekurangan dapat menerima berbagai bantuan luar negeri secara wajar, yang kemudian tidak lupa untuk memaksimalkan sumber-sumber yang ada di Indonesia sendiri, baik itu SDA maupun SDM di Indonesia. Pemerintah juga harus dengan bijaksana menentukan berbagai kebijakan mengenai bantuan maupun investor asing yang akan membantu hingga menanamkan sahamnya di Indonesia. Sehingga Indonesia tidak menjadi pihak yang dirugikan, serta berbagai bantuan yang datang dari luar negeri maupun investor asing dapat dibatasi kewenangannya di Indonesia dan mencegah investor asing untuk mendapatkan keuntungan dan eksploitasi yang berlebihan terhadap Indonesia. 2.2. Sistem Perekonomian Pada Masa Orde Baru Perekonomian Indonesia masa orde baru (1966-1998), Awal-awal pemerintahan orde baru dihadapkan pada kehancuran ekonomi secara total, hal ini tergambar dari Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221). Maka awal pemrintahan orde baru ini juga bisa dikatakan sebagai titik balik perekonomian Indonesia. Pamerintah saat itu benar-benar berusaha kerasa untuk mengubah perekonomian Indonesia yang terpuruk. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Segala macam upaya dilakukan mulai dari menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Kerhasilannya menstabilakan inflasi berdampa positif terhadap stabilitas politik saat itu. Maka kemudian berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Sejak masa itu yaitu pada tahun 1969, Indonesia memulai menata kehidupan ekonomi secara lebih terarah dan fokus terhadap prioritas pembangunan. Sehingga dibentuklah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang kita kenal pada saat itu sebgai REPELITA. Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA: a. Repelita I (1 April 1969 hingga 31 Maret 1974) Titik Berat Repelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Sasaran Repelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Tujuan Repelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang- barang buatan Jepang. b. Repelita II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979) Titik Berat Repelita II: Pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya. Sasaran Repelita II: Tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Tujuan Repelita II: Meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%. c. Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984) Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya. Menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor. Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri. d. Repelita IV (1 April 1984 hingga 31 Maret 1989) Titik Berat Repelita IV: Pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha- usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin- mesin industri sendiri, baik industri ringan yang akan terus dikembangkan dalm repelita-repelita selanjutnya meletakkan landasan yanag kuat bagi tahap selanjutnya. Tujuan Repelita IV: Menciptakan lapangan kerja baru dan industri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan. e. Repelita V (1 April 1989 hingga 31 Maret 1994) Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan menekankan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut saling mengait dan perlu dikembangkan secara selaras, terpadu, dan saling memperkuat. Tujuan dari Repelita V sesuai dengan GBHN tahun 1988 adalah pertama, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rajyat yang makin merata dan adil; kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pemangunan berikutnya. 2.3. Koondisi Perekonomian Pada Masa Orde Baru Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto. Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang Emil Salim penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya. Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal. Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut. Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti : a. Rendahnya penerimaan Negara b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian yang
berorientasi pada kepentingan produsen kecil, untuk melaksanakan langkah- langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara mengadakan operasi pajak yang cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang. Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia. Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.