Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

DAERAH PENANGKAPAN IKAN

KARAKTERISTIK DAERAH PENANGKAPAN IKAN


CAKALANG/SKIPJACK TUNA (Katsuwonus pelamis)

KELOMPOK 1

L051171002 SITTI RAHMADINA


L051171003 ANDI TENRI NURUNNISA
L051171004 RESKI AMELIA MAHARANI
L051171005 NANDARWATI
L051171007 MUH. SYAHRUL

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas makalah yang berjudul “Karakteristik Daerah
Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)” ini dapat terselesaikan tepat
waktu. Shalawat serta Salam kami kirimkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
Shallalahualihi wassalam.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Daerah Penangkapan Ikan. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan mengenai karakteristik daerah penangkapan
ikan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan dan dosen yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, atas
sumbangsih tenaga dan pikirannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pembaca yang meluangkan waktu dan
perhatian ke makalah ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan
kekurangan pada laporan praktik lapang ini.

Makassar, 14 Februari 2020

Penulis
BAB 1 PENDADULUAN

A. Latar Belakang
Dalam usaha penangkapan ikan, mengenal daerah penangkapan merupakan
hal yang mutlak. Mengoperasikan alat tangkap di suatu daerah penangkapan tanpa
mengetahui sifat dan keadaan perairannya merupakan suatu usaha yang sia-sia,
dengan resiko tidak mendapatkan ikan atau jaring akan tersangkut pada batu atau
karang.
Daerah penangkapan ikan (Fishisng ground) adalah suatu wilayah perairan
dimana terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan
dengan teknologi penangkapan untuk menangkap ikan tersebut. Perairan dimana
terdapat banyak ikan bergerombol dan memungkinkan untuk dapat ditangkap dengan
alat tangkap tertentu dinamakan daerah penangkapan potensial (Musbir et al, 2009).
Apabila dalam suatu perairan terdapat banyak sumberdaya ikan tapi alat tangkap tidak
bisa dioperasikan dikarenakan suatu faktor tertentu maka daerah tersebut tidak bisa
dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan.
Ikan pelagis merupakan ikan yang menghuni lapisan permukan sampai
petengahan perairan (mid layer) yang di mana terjadinya proses massa air (upwelling).
Sumberdaya ini umumya ber biomassa sangat besar dan bergerombolan membentuk
schooling dan dalam suatu gerombolan/kelompok ukuran relatif sama.
Potensi ikan pelagis di Indonesia sangatlah besar khususnya ikan pelagis
spesies katsuwonus pelamis (cakalang) yang termasuk jenis ikan pelagis besar dan
merupakan salah satu komoditas perikanan dengan nilai ekonomis tinggi, sehingga
upaya penangkapan ikan ini meningkat, hal ini seimbang dengan permintaan pasar
yang tinggi. Sehingga sangat penting bagi nelayan mengetahui daerah penangkapan
yang optimum untuk ikan ini.
Dengan banyaknya dilakukan pemetaan daerah penangkapan ikan, yaitu
dengan tujuan untuk memudahkan, serta meng-efektif dan efisienkan suatu operasi
penangkapan. Maka nelayan akan dengan mudah menemukan titik dimana ikan
berkumpul tanpa harus berkendara berkeliling perairan untuk mencari gerombolan
ikan, sehingga nelayan bisa meminimalisir biaya yang harus di keluarkan pada setiap
kali operasi penangkapan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud daerah penangkapan ikan?
2. Bagaimana karakteristik daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)?
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan makalah ini


adalah:
1. Untuk mengetahui deskripsi daerah penangkapan ikan
2. Untuk mengetahui karakteristik daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis)
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Deskripsi
Daerah penangkapan ikan (fishing ground) merupakan suatu wilayah perairan
dimana terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan
dengan teknologi untuk menangkap ikan tersebut. Fishing ground dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, antara lain: suhu, salinitas, pH, kecerahan, gerakan air, kedalaman
perairan, topografi dasar perairan, topografi dasar perairan, kandungan oksigen terlarut
dan makanan. Fishing ground dapat ditandai dengan distribusi massa air, sebagai
akibat adanya daerah pertemuan arus laut. Distribusi massa air ini akan membawa dan
menyebarkan organisme hidup. Fluktuasi keadaan lingkungan, dapat mempengaruhi
beberapa hal : distribusi, migrasi, pertumbuhan dan reproduksi organisme.
Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan yang memiliki habitat dan
mencari makan pada daerah pertemuan arus air laut dengan penyebaran dimulai dari
permukaan sampai kedalaman 260 meter. Daerah penangkapan ikan cakalang
diindonesia yaitu sekitar selatan pulau Lombok, selat Makassar, laut flores, pulau
sumba, Sulawesi, papua, perairan maluku.

Gambar 1. Daerah penangkapan ikan di Indonesia

B. Karakteristik daerah penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)


Karakteristik daerah penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dapat
ditentukan dengan beberapa parameter oseanografi berikut:

1. Suhu Permukaan Laut


Suhu permukaan laut adalah suhu air yang dekat dengan permukaan laut. Suhu
permukaan laut mempengaruhi aktifitas metabolisme maupun pekembangbiakan dari
organisme-organisme yang ada di perairan. Suhu optimum untuk penangkapan cakalang
di perairan Indonesia berkisar antara 28 oC-29oC walaupun suhu optimum tersebut terkadang
bervariasi sesuai perubahan temporal dan spasial (Gunarso, 1985). Hal ini menunjukkan bahwa
suhu perairan berpengaruh terhadap sebaran ikan, dan tentu saja akan mempengaruhi hasil
tangkapan. Namun demikian, Simbolon (2007) menyatakan bahwa pengaruh suhu perairan
terhadap sebaran ikan sangat tergantung pada variabilitas suhu itu sendiri. Jika sebaran suhu
perairan masih berada pada kisaran nilai yang dapat ditoleransi ikan, maka suhu perairan
umumnya tidak berpengaruh secara nyata terhadap keberadaan ikan. Kondisi inilah yang
diduga terjadi pada penelitian ini sehingga SPL tidak berpengaruh nyata terhadap hasil
tangkapan cakalang. Syahdan et. al. (2007) dan Simbolon (2003) juga melaporkan bahwa
jumlah tangkapan cakalang tidak hanya dipengaruhi oleh suhu perairan tetapi juga dipengaruhi
oleh kondisi parameter-parameter oseanografi lain seperti arus, salinitas, dan kandungan
klorofi-a, serta dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis operasi penangkapan ikan. Hubungan
antara SPL dengan ukuran panjang (size) cakalang yang tertangkap menunjukkan
suatu pola atau trend yang relatif teratur. Ikan cakalang ukuran kecil cenderung
tertangkap pada SPL yang relatif lebih hangat, sedangkan ikan cakalang ukuran besar
tertangkap pada SPL yang bervariasi dari dingin hingga hangat (Gambar 2).
Ikan cakalang kategori ukuran besar tertangkap pada kisaran SPL yang bervariasi,
sedangkan ikan cakalang kategori ukuran kecil tertangkap pada SPL yang lebih
homogen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simbolon (2004) yang melaporkan bahwa
ikan ukuran besar umumnya memiliki kemampuan adaptasi pada berbagai kisaran
suhu perairan karena dipengaruhi oleh sistem metabolisme yang lebih baik. Akibatnya,
ikan cakalang kategori ukuran besar dalam penelitian ini dapat tertangkap pada
perairan yang memiliki sebaran SPL yang lebih lebar mulai dari dingin hingga panas.
Daerah penangkapan ikan (DPI) cakalang yang potensial di perairan Palabuhanratu pada
periode Agustus-Oktober 2007 dapat dilihat pada Gambar 3. Pada bulan Agustus hanya
terdapat 6 DPI potensial, karena ikan mungkin bermigrasi ke tempat yang lebih tenang ketika
terjadi angin kencang yang berhembus dari arah tenggara. Daerah penangkapan potensial
terbanyak terdapat pada bulan September yaitu sebanyak 13 DPI. Hal ini sesuai dengan
munculnya musim puncak ikan cakalang di perairan Palabuhanratu pada bulan September
(Monintja et al., 2001). Pada bulan Oktober hanya terdapat 4 DPI potensial, kemungkinan
karena frekuensi operasi penangkapan ikan yang jarang akibat harga ikan yang rendah.
Wilayah perairan Teluk Palabuhanratu yang paling potensial untuk menangkap
cakalang dalam periode Agustus-Oktober 2007 terdapat di Teluk Ciletuh, Ujung
Karangbentang, Cimaja, Teluk Cikepuh, Ujung Genteng, dan Gedogan. Wilayah yang
masuk dalam kategori sedang dalam penangkapan cakalang di perairan Teluk
Palabuhanratu terdapat di perairan Karangpayung, Ujung Penarikan, Cisolok, Teluk
Amuran, Guhagede, Ujung Sodongparat, Citepus, Penggeleseram, Cisaar dan, Goa.
Wilayah perairan Palabuhanratu yang kurang potensial untuk menangkap cakalang
terdapat di perairan Teluk Bedog.

Gambar 2. Fluktuasi SPL dan ukuran panjang cakalang pada setiap waktu perolehan

data di perairan Teluk Palabuhanratu, Agustus-Oktober 2007


Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan cakalang di perairan Teluk Palabuhanratu,
priode Agustus- Oktober 2007

2. Klorofil-a
Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga dan bakteri
fotosintetik. Konsentrasi klorofil-a dipetakan dan dimonitor selama periode Januari-
Juni2014 untuk mengamati perubahannya.Perubahan secara spasial dan temporal
kondisi oseanografi tersebut berimplikasi penting bagi dinamika sumberdaya ikan
cakalang (Zainuddin et al., 2013). Pada bulan Januari konsentrasi klorofil-a yang relatif
lebih tinggi di Perairan Teluk Bone-Laut Flores cenderung menyebar luas (Gambar 4).
Perairan Kabupaten Bone dan Kepulauan Selayar memiliki tingkat konsentrasi klorofil-
a melebihi 0,4 mg m-3. Rata-rata nilai klorofil-a pada daerah penangkapan ikan
cakalang pada bulan Januari sekitar 0,22 mg m -3 (Gambar 2). Pada bulan Februari
hingga Maret, perairan Teluk Bone-Laut Flores bagian tengah memiliki konsentrasi
klorofil-a relatif paling rendah selama periode Januari-Juni yaitu masing-masing sekitar
0,16 dan 0,18 mg m-3. Hal itu juga ditemukan di daerah penangkapan pole and line.
Di Teluk Bone densitas klorofil-a yang konsisten tinggi berada di Perairan
Bone. Sedangkan di Laut Flores, konsentrasi klorofil-a yang konsisten relatif
tinggi berada sebelah kiri Pulau selayar dan di Perairan Takabonerate. Pada
bulan April-Mei, densitas klorofil-a kembali mengalami peningkatan. Puncak
peningkatan konsentrasi klorofil-a terjadi pada bulan Juni. Hal ini dapat dilihat di
Perairan Luwu, Luwu Timur, Palopo, Kolaka Utara, dan juga Perairan Bone dan
Buton serta Perairan Takabonerate dengan level diatas 0,3 mg m -3 Namun
demikian, konsentrasi klorofil-a di daerah penangkapan mencapai puncak pada bulan
April (Gambar 4). Hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) tertinggi terlihat
pad bulan Mei dimana nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a sekitar 0,22 mg m (Gambar
-3

5). Kondisi ini menunjukkan bahwa daerah potensial penangkapan ikan cakalang di
Teluk Bone-Laut Flores tidak disebabkan oleh tingginya nilai klorofil-a di perairan.
Gambar 4. Distribusi konsentrasi klorofil-a (Aqua/MODIS) dalam mg m-3 di Perairan
Teluk Bone-Laut Flores dan sekitarnya periode Januari hingga Juni 2014

Gambar 5. Variasi temporal rata-rata SPL di daerah penangkapan ikan cakalang pada
posisi alat tangkap pole and line di Teluk Bone periode Januari-Juni 2014

3. Arus
Parameter oseanografi yang berkaitan dengan distribusi ikan yaitu suhu, klorofil-a,
dan arus. Perubahan nilai parameter oseanografi dapat menyebabkan perubahan
adaptasi dan tingkah laku ikan, dimana setiap jenis ikan memiliki kisaran suhu, klorofil-
a, dan arus tertentu dalam beraktivitas terutama mencari makan dan
migrasi.Berdasarkan analisis korelasi didapatkan nilai signifikansi 0,643. Nilai 0,643 >
0,05, yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara parameter arus dengan
hasil tangkapan ikan Cakalang. Nilai korelasi (r) 0,069, bahwa hubungan antara
parameter arus dengan hasil tangkapan ikan Cakalang sangat rendah dan berbanding
lurus (Tabel 1). Kecepatan dan arah arus yang relatif berubah-ubah menyebabkan
ikan yang telah berkumpul di rumpon akan pergi, karena pada umumnya pergerakan
ikan akan mengikuti arah arus dan nelayan sulit untuk melakukan hauling alat tangkap.
Kisaran kecepatan arus berdasarkan habitat ikan Cakalang yaitu antara 0,04 m/s –
0,16 m/s.Persebaran rata-rata kecepatan arus di perairan Selat Makassar dari tahun
2014 – 2017 berkisar antara 0,01 m/s – 0,23 m/s (Gambar 6). Kecepatan arus tertinggi
yaitu pada bulan Desember tahun 2016 dengan rata-rata 0,23 m/s, sedangkan
kecepatan arus yang paling rendah yaitu pada bulan Juni tahun 2017 dengan rata-rata
0,01 m/s. Kecepatan arus tinggi pada bulan Desember disebabkan curah hujan yang
tinggi sehingga terjadi cuaca buruk di zona perairan. Selain itu, Indonesia bagian
selatan terjadi low pressure area menyebabkan angin kencang di wilayah Indonesia,
kemudian menimbulkan arus permukaan laut yang besar.

Tabel 1. Hubungan arus dengan hasil tangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Gambar 6. Rata-rata kecepatan arus di perairan Selat Makassar

C. Jenis Alat Penangkapan Ikan Cakalang

Jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis) adalah alat tangkap aktif seperti purse seine dan pole and line. Pukat cincin
atau lazim disebut purse seine adalah alat penangkap ikan yang terbuat dari lembaran
jaring berbentuk segi empat pada bagian atas dipasang pelampung dan bagian bawah
dipasang pemberat dan tali kerut (purse line) yang berguna untuk menyatukan bagian
bawah jaring sehingga ikan tidak dapat meloloskan dari bawah (vertical) dan samping
(horizontal), biasanya besar mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan
ditangkap. Ukuran benang dan mata jaring tiap-tiap bagian biasanya tidak sama.
Disebut dengan pukat cincin sebab pada jaring bagian bawah dipasangi cincin (ring)
yang berguna untuk memasang tali kerut (purse line).  Purse seine dinamakan
demikian karena sifat alat tangkap menggurung gerombolan kemudian tali kerut (purse
line) ditarik sehingga ikan-ikan terkurung. Purse seine memiliki bentuk umum dan
bagian-bagian yang sama walaupun ada bermacam-macam purse seine.
Huhate atau sering disebut dengan pole and line adalah alat tangkap yang
menggunkan tongkat/joran (pole) dan tali (line). Huhate termasuk alat tangkap yang
selektif karena pada umumnya hanya menangkap ikan cakalang saja. Jika ditinjau dari
cara penangkapan dan pengopersian alat, huhatetermasuk alat tangkap yang ramah
lingkungan. Ikan yang menjadi target tangkapan huhate adalah ikan pelagis besar,
yaitu cakalang (skipjack). Ada kalanya tuna berukuran kecil, sekitar 5-10 kg, juga
tertangkap. Di Indonesia huhate pada umumnya dioperasikan di kawasan perairan
Indonesia tengah dan timur. Di kawasan perairan Indonesia barat, pancing huhate
jarang digunakan oleh para nelayan.

Gambar 7. Purse seine


Gambar 8. Pole and line
BAB 3 KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan materi diatas yaitu:


1. Daerah penangkapan ikan (fishing ground) merupakan suatu wilayah perairan
dimana terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan
dengan teknologi untuk menangkap ikan tersebut.
2. Karakteristik daerah penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dapat
dilihat dari parameter oseanografi seperti SPL, klorofil-a, dan arus. Persebaran
ikan Cakalang berdasarkan kisaran SPL yaitu 28°C - 31°C, berdasarkan kisaran
konsentrasi klorofil-a yaitu 0,10 mg/m3 – 0,44 mg/m3 dan berdasarkan kisaran arus
yaitu 0,04 m/s – 0,16 m/s .
DAFTAR PUSTAKA

Jufri, A., Amran, M. A., & Zainuddin, M. (2014). Karakteristik Dareah Penangkapan
Ikan Cakalang pada Musim Barat di Perairan Teluk Bone. Ipteks Psp, 1(April), 1–
10.
Perairan, D. I., & Makassar, S. (2019). PENDUGAAN DAERAH POTENSI
PENANGKAPAN IKAN CAKALANG ( Katsuwonus pelamis ) BERDASARKAN
PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR.
Simbolon, D. (2010). Eksplorasi daerah penangkapan ikan cakalang melalui analisis
suhu permukaan laut dan hasil tangkapan di Perairan Teluk Palabuharatu. Jurnal
Mangrove Dan Pesisir, 10(1), 42–49.
Tim Perikanan WWF-Indonesia. (2015). Perikanan Cakalang Dengan Pancing Pole
and Line.
Zainuddin, M., Safruddin, Farhum, S. A., Nelwan, A., Selamat, M. B., Hidayat, S., &
Sudirman. (2015). Karakteristik Daerah Potensial Penangkapan Ikan Cakalang di
Teluk Bone-Laut Flores Berdasarkan Data Satelit Suhu Permukaan Laut dan
Klorofil-a Pada Periode Januari-Juni 2014. Jurnal IPTEKS PSP, 2(3), 228–237.

Anda mungkin juga menyukai