Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

QAWAID AL-FIQHIYAH AL-IQTISHADIAH


KEADILAN ANTARA KEDUA BELAH PIHAK ( PENJUAL & PEMBELI )

DOSEN PEMBIMBING
DR. HANNANI, M. Ag

DISUSUN OLEH
Hilda Widyasari 18.2300.037
Karan Herlangga 18.2300.038
Nien Putri 18.2300.066
Irghi Fahrizal 18.2300.139

PRODI PERBANKAN SYARIAH


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PERE PARE
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan
kami rahmat dan hidayah-Nya kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Gharar atau jahalah dalam jual beli.

Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna.Oleh karena


itu,melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon
pemakluman bila isi makalah ini ada kekurangan dan tulisan yang kami buat
kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca, serta kritik dan saran dari
pembaca sangatlah diharapkan, atas kritik dan saran kami ucapan banyak terima
kasih.

Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa


terima kasih dan semoga Allah Swt memberkahi makalah ini sehingga dapat
memberikan mamfaat.

Parepare, 12 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Defenisi Keadilan.................................................................................................... 3

B. Prinsip Keadilan....................................................................................................... 4

C. Keadilan Dalam Pertukaran ( Jual-Beli )................................................................. 6

D. Kaidah Tentang Keadilan Hak dan Kewajiban ....................................................... 7

BAB III PENUTUP.........................................................................................................15

A. Kesimpulan.............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, manusia juga mempunyai hakdan
kewajiban yang sama antara satu dengan yang lainnya, seseorang
tidakmelecehkan hak dan kewajiban orang lain dengan hawa nafsu,
ketamakan,dan keserakahan. Bentuk-bentuk pelecehan tersebut antara lain
sepertiadanya riba, penimbunan harta, tidak memberikan upah kerja
yangseyogyanya, memanipulasi harga, dan monopoli. Seiring dengan
kemajuanteknologi, telah muncul berbagai macam praktik jual beli yang
dapatmenimbulkan permasalahan baru dalam konsep keadilan. Untuk itu
perlupenegasan kembali konsep keadilan dalam proses jual beli perlu
diterangkanagar jual beli yang kita lakukan tidak terjatuh pada riba.
Pada dasarnya keadilan telah menjadi perbincangan hangat paratokoh
pemikir atau filosof barat dalam menjembatani hubungan kemanusiaan dalam
masyarakat untuk terciptanya tata keseimbangan dalam masyarakat itu sendiri.
Dan Islam sebagai agama yang menjagakeseimbangan umatnya dalam
kehidupan antara manusia dan Tuhan, jugamemegang prinsip-prinsip keadilan,
untuk itu perlu diperhatikan terkaithubungan interaksi dalam proses jual beli
harus melihat konsep keadilandalam Islam. Dalam praktik jual beli menurut
Islam, keadilan dengankonsep persamaan, penyesuaian, dan kelayakan
diwujudkan dalam rukunjual beli, syarat jual beli, dan hak pilih (khiyar) dalam
jual beli.

B. RUMUSAN MASALAH

1) Apa defenisi dari keadilan ?


2) Bagaimana prinsip keadilan itu ?
3) Seperti apa keadilan dalam pertukaran ( jual-beli ) ?
4) Bagaimana kaidah tentang keadilan hak dan kewajiban ?

1
C. TUJUAN

1) Untuk mengetahui apa defenisi dari keadilan


2) Untuk mengetahui bagaimana prinsip keadilan itu
3) Untuk mengetahui seperti apa keadilan dalam pertukaran ( jual-beli )
4) Untuk mengetahui bagaimana kaidah tentang keadilan hak dan kewajiban

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Keadilan
Berbicara tentang keadilan merupakan suatu konsep yang penting dalam
kehidupan manusia. Masalah keadilan tidak hanya wilayah kajian hukum saja,
tetapi juga masalah ini bisa dikaji dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Keadilan merupaka tujuan, sedangkan huum hanya alat saja untuk
mencapai tujuan tersebut. Ternyata konsep atau bahkan nilai keadilan sering
dipengaruhi unsur subjektivitas manusia, sehingga keadilan terkadang hanya
bisa dirasakan oleh pihakpihak tertentu. Apa yang dirasa adil oleh seseorang
belum tentu dirasakan oleh orang lain atau golongan tertentu.
Agama Islam yang di dalamnya sarat dengan tatanan masyarakat dari
mulai yang bersifat individual sampai masalah kemasyarakat dan penalaran
logis menawarkan juga nilai-nilai keadilan yang cukup memadai. Namun nilai-
nilai tersebtut belum tergali secara memadai, karena imige keagamaan yang
ada di masyarakat hanya sebatas ritual formal saja. Nilai-nilai keadilan dalam
Islam sangat dijunjung tinggi, bagi penegak keadilan akan mendapatka reward
dari Allah bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat nanti, jadi nilai-nilai Islam
khususnya keadilan sangat teleologis, berjangka panjagng.
Masalah keadilan ini banyak dibicarakan dalam al-Qur‟an dalam berbagai
konteks. Kata “adil” disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 28 kali, al-Qisth
disebutkan 25 kali , baik dalam bentuk akata kerja (fi’il) maupun kata benda
(isim), kemidan kata al-wazn dalam bentuk katakerja (fi’il) dan kata benda
(isim) diebutkan 20 kali dalam al-Qur‟an. Kata al-Hukm dengan berbagai
variasinya disebutukan sekitar 150 kali.
Adil secara etimologis adalah tengah atau pertengahan. Dalam makna ini
pula” adil itu sinonim dengan wasth yang darinya terambil kata pelaku (isim
fa’il) nya kata wasith yang dipinjam dalam Bahasa Indonesia menjadi “wasit”
yang artinya ialah “penengah” atau “orang yang berdiri di tengah-tengah”,yang
mensyaratkan sikap keadilan. Di samping itual-Wasith berarti penengah ,

3
pengantara, pemimpin pertandingan sepak bola, pemisah dan lain-lain. Dari
pendekatan kebahasaan ini kiranya sudah mulai ada titik terang tentang maksud
dari “adil” dan “keadilan” dalam al-Qur‟an. Namun makna keadilan sebagai
konsep dasar lebih luas dari pada makna kebahasaan. Ada dua makna keadilan
yang dikemukakan oleh pakar keagamamaan:
1. Adil dalam arti sama
2. Adil dalam arti seimbang

B. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan pilar penting dalam transaksi ekonomi dan
keuangan Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai
misi utama para Nabi yang diutus  Allah (QS.57:25). Komitmen Al quran
tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya
yang mencapai lebih dari seribu kali[1], yang berarti ; kata urutan ketiga yang
banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali
Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan
keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm,
dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984):10).
Dalam Alquran perintah penegakan keadilan  secara tegas difirmankan
Allahpada Alquran  surah Al-Maidah ayat : 8.
ُ‫رب‬Jَ J‫و أَ ْق‬J
َ Jُ‫ ِدلُوا ه‬J‫ْط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَئَانُ قَوْ ٍم َعلَى أَالَّ تَ ْع ِدلُوا ا ْع‬
ِ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ هللِ ُشهَدَآ َء بِ ْالقِس‬
َ‫لِلتَّ ْق َوى َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن هللاَ خَ بِي ُُر بِ َما تَ ْع َملُون‬
“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
selalu menegakkan kebenaran karena ALLAH, menjadi saksi dengan adil.Dan 
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuat kamu
cenderung untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerena adil itu lebih
dekat dengan takwa.Dan bertakwalah kepada ALLAH, sesungguhnya Allah 
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Pada tataran implementatif, asas keadilan  ini menuntut para pihak yang
berkontrak untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan,
memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua yang telah

4
mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya (QS. 3: 17; 2: 177 ; 23: 8; 5:
1).
Asas keadilan ini juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang
mengundang unsur kezaliman tidak dibenarkan. Misalnya, eksekusi jaminan
atas hutang dengan menghanguskan semua objek jaminan di mana  nilai
agunan (jaminan) lebih besar  daripada sisa hutang. Adalah tindakan kezaliman
jika  dalam kontraknya kreditur  membuat ketentuan apabila dalam jangka
waktu tertentu utang tidak dibayar, barang  tanggungan menjadi lebur, dan
semuanya menjadi milik yang kreditur. Seharusnya, jika harga agunan yang
dilelang lebih besar dari utang nasabah, maka sisanya dikembalikan kepada
nasabah, bukan menjadi milik kreditur.  Perusahaan pembiayaan syariah dan
multifinance, seharusnya menerapkan asas keadilan ini, karena dalam
pembiayaan konvensional praktik  ini masih banyak berlaku.
Contoh lain misalnya, seseorang menggadaikan sawahnya kepada kreditur
untuk mendapatkan sejumlah uang yang jauh lebih kecil dari hasil panen
sawah. Kalau hutang tidak dibayar,maka selamanya hasil panen sawah untuk
kreditur. Seharusnya jika nilai panen sangat besar, maka hasil panen dibagi
sesuai dengan asas keadilan dan nisbah yang wajar.
Contoh lainnya,  berjual beli barang jauh di bawah harga yang wajar
karena penjualnya amat memerlukan uang untuk menutup kebutuhan hidupnya
yang primer. Demikian pula sebaliknya, menjual barang jauh di atas harga
yang semestinya (ghaban fahisy) karena pembelinya amat memerlukan barang
itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer. Kesemua transaksi ini
bertentangan dengan asas keadilan (al-adalah). Asas keadilan  dalam
perjanjan/akad menuntut para pihak untuk melakukan praktik yang benar
dalam transaksi. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang
adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah
satu pihak. 

C. Keadilan Dalam Pertukaran ( Jual-Beli )

5
Setiap jual beli yang baik, tujuannya selalu mengarah pada pemenuhan
kebutuhan di antara kedua belah pihak. Kalau ternyata hanya sebelah pihak
saja merasakan manfaatnya, maka jual beli yang seperti itu tidak dapat
dikatakan baik, apalagi adil.
Konsep adil itu sendiri tak hanya ditujukan dalam pertukaran saja, akan
tetapi keadilan sangatlah diharapkan agar dapat diterapkan dalam setiap lapisan
kehidupan masyarakat. Tanpa keadilan, sama halnya dengan dibalut curang.
Pertukaran (jual beli) yang tidak didasari atas konsep keadilan, sangat
rentan terjadinya permasalahan, hal ini dikarenakan adanya pelanggaran
terhadap hak orang lain yang malakukan transaksi. Adil bukan berarti sama,
tapisesuai.
Setiap pertukaran, maka barang yang ditukarkan oleh kedua belah pihak,
harus memiliki kesesuaian nilai antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak
boleh menukar sesuatu dengan cara yang curang, atau menipu orang lain untuk
mendapatkan keuntungan yang banyak.
Pertukaran yang berlangsung secara adil akan diberkahi oleh Allah, dan
akan menjadikan harta yang ditukarkan tersebut halal untuk dimanfaatkan. Ada
beragam cara yang bisa ditempuh untuk mewujudkan sebuah transaksi yang
adil, di antaranya yaitu dengan menghindari hal-hal yang sudah jelas dilarang
dalam Islam.
Dalam konteks pertukaran, berarti menghindari dari kegiatan menipu
pihak lain, menukarkan barang yang tidak sesuai antara satu sama lainnya,
mengambil hak orang lain secara batil, dan berbagai hal-hal yang tidak
dibenarkan lainnya. Selama hal yang dilarang tersebut dapat dijauhi, maka
akan sangat mudah untuk mencapai keadilan dalam sebuah pertukaran atau jual
beli yang dilakukan.
Berdasarkan kaedah umum tentang muamalah, maka dalam kegiatan
transaksi jual beli, orang yang berdagang harus mengetahui apa yang sebaiknya
diambil dan yang harus ditinggalkan. Memebedakan anatara yang haram
dengan halal, serta tidak memasukkan unsur riba didalamnya.

6
Dalam pelaksanaan transaksi jual beli, maka kedua belah pihak harus
memeperhatikan prinsip-prinsip bermualah, yang pertama segala bentuk
muamalah itu dibolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya, kedua
muamalah dilakukan dengan dasar sukarela tanpa mengandung unsur paksaan,
ketiga muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat
dan menghindarkan dari mudarat dalam kehidupan bermasyarakat, dan yang
keempat yaitu muamalah dilakukan dengan memelihara nilai-nilai keadilan,
menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan
kesempatan dalam kesempitan dan juga transaksi jual beli harus jujur, jelas dan
transparansi.

D. Kaidah Tentang Keadilan Hak dan Kewajiban

Kaidah terkait masalah keadilan antara kedua belah pihak, penjual dan
pembeli
Kaidah menyatakan,
‫األصل مراعاة مصلحة الطرفين ورفع الضرر عنهما‬
Pada prinsipnya, wajib memperhatikan hak kedua belah pihak dan meniadakan
setiap yang merugikan bagi keduanya.
Keterangan:
Salah satu prinsip besar yang diajarkan dalam islam adalah prinsip keadilan.
Allah tegaskan dalam al-Quran, bahwa semua Rasul diutus dengan membawa
al-mizan (risalah keadalian).
Allah berfirman,
ِ ‫َاب َو ْال ِميزَ انَ لِيَقُو َم النَّاسُ بِ ْالقِس‬
‫ْط‬ َ ‫ت َوأَ ْن َز ْلنَا َم َعهُ ُم ْال ِكت‬
ِ ‫لَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا ُر ُسلَنَا بِ ْالبَيِّنَا‬
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” (QS. al-
Hadid: 25).
Allah juga menegaskan bahwa Dia hanya memerintahkan manusia untuk
bertindak sesuai prinsip keadilan. Allah berfirman,
ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواإْل ِ حْ َس‬
‫ان‬

7
“Sesungguhnya Allah hanya memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat
baik…” (QS. an-Nahl: 90)
Keadilan yang dipelihara dalam islam, tidak hanya dalam masalah hukum
pidana, termasuk perdata, bahkan dalam semua kehidupan. Tak terkecuali
dalam masalah muamalah.
Bisanya Hanya Menuntut Hak
Terkait hak dan kewajiban dalam berinteraksi dengan orang lain, terkadang ada
model manusia yang hanya semangat dalam menuntut hak, tapi  malas dalam
menunaikan kewajiban. Perbuatan ini diistilahkan dengan tathfif, orangnya
disebut muthaffif.
Model manusia semacam ini telah Allah singgung dalam Alquran, melalui
firman-Nya,
َ‫ َوإِ َذا َكالُوهُ ْم أَوْ َو َزنُوهُ ْم ي ُْخ ِسرُون‬ . َ‫اس يَ ْستَوْ فُون‬
ِ َّ‫ الَّ ِذينَ إِ َذا ا ْكتَالُوا َعلَى الن‬. َ‫َو ْي ٌل لِ ْل ُمطَفِّفِين‬
“Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli barang
yang ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Mutaffifin: 1 – 3).
Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat mereka,
selanjutnya Allah memberi ancaman keras kepada mereka. Allah ingatkan
bahwa mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan pembalasan
setiap kezaliman.
Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat muta’adi.
Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas untuk kasus jual
beli. Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang melibatkan hak dan
kewajiban. Setiap orang yang hanya bersemangat dalam menuntut hak, namun
melalaikan kewajibannya, maka dia terkena ancaman tathfif  di ayat ini.
(Simak Tafsir As-Sa’di, hal. 915).
Islam Menjaga Keseimbangan Hak dalam Muamalah
Dalam Muamalah maliyah (terkait harta), tidak boleh ada posisi yang dia selalu
untung dan tidak ada resiko kerugian. Karena itulah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan batasan, bahwa setiap peluang keuntungan
harus diimbangi dengan resiko kerugian.

8
Terdapat beberapa hadis yang menyebutkan hal ini. Diantaranya,
Pertama, hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
‫ان‬ َّ ‫ضى أَ َّن ْال َخ َرا َج بِال‬
ِ ‫ض َم‬ َ َ‫ ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan, adanya
keuntungan karena menanggung resiko kerugian. (HR. Ahmad 24956, Nasai
4507, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma,

ِ ‫ ع َْن ِرب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬


‫ْح َما لَ ْم يُضْ َم ْن‬
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keuntungan yang tidak ada
tanggungan resiko kerugian. (HR. Ahmad 6787, Nasai 4647 dan dihasankan
Syuaib al-Arnauth).
Dalam prakteknya,
[1] Tidak boleh ada jual beli, sementara salah satu di posisi selalu aman dari
kerugian. Seperti menjual barang yang belum diserah terimakan. Sehingga
posisi penjual sama sekali tidak menanggunng resiko terhadap barang.
[2] Tidak boleh ada investasi, sementara pemodal di posisi aman. Hanya bisa
untung atau minimal modal kembali. Sementara mudharib (pelaku usaha)
berkewajiban menanggung ganti rugi jika usahanya mengalami kerugian.
[3] Demikian pula dalam transaksi kafalah utang. Seorang penjamin tidak
boleh meminta bayaran. Karena dia di posisi selalu untung. Jika orang yang
ditanggung ini sesuai janjinya, maka dia untung. Dan jika tidak sesuai janjinya,
maka dia punya jaminan upah yang dibayarkan untuk melunasi utangnya.
Lain halnya dengan transaksi sosial, yang memang tujuan awalnya untuk
beramal dan bukan mencari keuntungan. Sehingga islam mengajarkan, orang
yang hendak membantu, memang harus siap berkorban. Sekalipun ada resiko
yang harus dia terima. Seperti memberi utang, meminjamkan barang,
membantu orang lain, yang itu semua digantikan dengan janji pahala.
Hak Khiyar: Perlindungan Terhadap Konsumen
Islam menjaga hak kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Karena itu, dalam
transaksi mereka dipastikan tidak ada paksaan dan semua murni dilakukan atas

9
kesadaran. Islam mengatur ini dengan adanya hak khiyar. Hak untuk memilih,
antara melanjutkan transaksi ataukah membatalkannya.
Ada banyak macam khiyar, dan secara umum bisa kita kelompokkan menjadi
4:
Pertama, Khiyar Majlis
Khiyar ini wajib ada dalam setiap jual beli. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang orang yang akad secara sengaja menghindari khiyar
majlis.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُ‫احبَهُ َخ ْشيَةَ أَ ْن يَ ْستَقِيلَه‬
ِ ‫ص‬َ ‫ق‬ ِ َ‫ار َوالَ يَ ِحلُّ لَهُ أَ ْن يُف‬
َ ‫ار‬ َ َ‫ار َما لَ ْم يَ ْفت َِرقَا إِالَّ أَ ْن تَ ُكون‬
ٍ َ‫ص ْفقَةَ ِخي‬ ِ َ‫ْال ُمتَبَايِ َعا ِن بِ ْال ِخي‬
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar, selama tidak berpisah, kecuali bila
telah disepakati untuk memperpanjang hak khiyar hingga setelah berpisah.
Tidak halal baginya untuk meninggalkan sahabatnya karena takut ia akan
membatalkan transaksinya.” (HR. Abu Daud 3456, Nasai. 4488. Dihasankan
al-Hafidz Abu Thohir).
Masa khiyar majlis
1. Batasan yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sampai
mereka berpisah.
2. Bentuk perpisahan berbeda-beda tergantung fasilitas transaksinya
3. Jual beli online masa khiyar majlisnya berbeda dengan jual beli offline
Kedua, Khiyar Syarat
Kedua pelaku akad atau salah satunya mengajukan syarat khiyar selama batas
tertentu.
Hakekat khiyar syarat adalah perpanjangan khiyar majlis, berdasarkan
kesepakatan.
Dalil Khiyar Syarat
Hadis dari Amr bin Auf , bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‫أَوْ شَرْ طٌ أَ َح َّل َح َرا ًما‬  ‫إِاَّل شَرْ طٌ َح َّر َم َحاَل اًل‬  ‫ ُشرُو ِط ِه ْم‬  ‫ْال ُم ْسلِ ُمونَ َعلَى‬
”Kaum muslimin harus mengikuti syarat (kesepakatan) diantara mereka,
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

10
haram.” (Abu Daud 3596, Baihaqi dalam as-Sughra 2088 dan dishahihkan al-
Albani)
Aturan berlaku selama masa khiyar
1. Selama rentang masa  khiyar, pembeli boleh memanfaatkan barang
2. Jika terjadi resiko barang, pembeli yang menanggung resiko
3. Ketika masa khiyar berakhir maka akad menjadi lazim (mengikat)
Ketiga, Khiyar Aib
Batasan Aib yang membolehkan adanya khiyar : aib yang mengurangi nilai
barang.
(Muqadimah Muamalat Maliyah, Dr. As-Syubaili)
Harus Disebutkan Aibnya
Jika barang memiliki aib yang mengurangi harganya, wajib dia jelaskan. Jika
tidak, maka terhitung menipu.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu,
Bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk gandum,
lalu beliau memasukkan tangannya, ternyata ada yang basah. Kemudian beliau
bersabda,
َ ‫ َم ْن غَشَّ فَلَي‬، ُ‫ق الطَّ َع ِام َك ْي يَ َراهُ النَّاس‬
‫ْس ِمنِّي‬ َ ْ‫أَفَاَل َج َع ْلتَهُ فَو‬
Mengapa tidak kamu taruh di atas, biar dilihat orang. Siapa yang menipu
maka dia bukan golonganku. (Muslim 295)
Dalam hadis lain, dari Uqban bin Amir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ َواَل يَ ِحلُّ لِ ُم ْسلِ ٍم بَا َع ِم ْن أَ ِخي ِه بَ ْيعًا فِي ِه َعيْبٌ إِاَّل بَيَّنَهُ لَه‬،‫ْال ُم ْسلِ ُم أَ ُخو ْال ُم ْسلِ ِم‬
Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi muslim yang
menjual barang kepada saudaranya sementara di sana ada aibnya, kecuali dia
harus menjelaskannya. (Ibnu Majah 2331 dan dishahihkan al-Albani).
Khiyar Aib adalah Hak Pembali
Jika pembeli menemukan aib dalam barang, dia punya 2 pilihan hak:
[1] Mengembalikan barang itu dan meminta uangnya
[2] Tidak mengembalikan barang, namun dia berhak meminta al-Arsy [‫]األرش‬

11
Al-Arsy adalah selisih harga antara barang yang cacat dengan barang yang
tidak cacat.
Jual Beli dengan Syarat Lepas Tangan
Ketika penjual mengajukan syarat kepada pembali untuk lepas tangan dari
setiap aib barang, dan pembeli menerimanya, apakah penjual bisa bebas
dengan syarat ini? Bolehkah  pembeli mengajukan hak khiyar?
Ada dua keadaan dalam hal ini
[1] Pembeli telah mengetahui cacat barang atau cacat itu sangat jelas, maka
penjual bebas dari cacat ini
[2] Pembeli tidak tahu cacat, sementara penjual lepas tangan  dari semua aib,
hukum yang berlaku ada 2:
[a] Cacat yang sama-sama tidak diketahui, penjual lepas tangan. Karena
pembeli telah menerima
[b] Cacat yang diketahui penjual, tidak gugur darinya, karena ini penipuan

Keempat, Khiyar Ghuben


Ghuben [‫ ]الغبن‬secara bahasa artinya kurang. Sementara dalam jual beli, ghuben
[‫ ]الغبن‬artinya tindakan menipu, yang mengurangi nilai barang, baik dilakukan
penjual atau pembeli. (keteragan Ibnu Nujaim – dinukil dari al-Mausuah al-
Fiqhiyah)
Khiyar ini melindungi hak penjual atau pembeli karena tidak tahu keadaan
barang atau proses transaksi.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ب نَ ْف ِس ِه‬
ِ ‫ئ ُم ْسلِ ٍم إِاَّل بِ ِطي‬
ٍ ‫اَل يَ ِحلُّ َما ُل ا ْم ِر‬
Tidak halal memakan harta orang lain, kecuali dengan kerelaan
pemiliknya. (ad-Daruquthni 2924).
Ibnu Qudamah (al-Mughni, 4/92) menyebutkan, ada 3 bentuk transaksi yang
diberi hak khiyar karena ghuben,
[1] Talaqqi ar-Rukban

12
Menjemput petani sebelum dagangan masuk ke pasar, sementara dia buta harga
pasar.
[2] Bai’ Najasy
Berpura-pura menawar atau memuji barang agar harga naik, atau sebaliknya.
Dengan maksud menipu penjual atau pembeli
[3] Bai’ Mustarsil
Mustarsil artinya dilepas. Dalam jual beli, bai’ mustarsil berarti menjual barang
tanpa tahu harga, dan dilepas sesuai harga yang berlaku di masyarakat. Atau
membeli tanpa tahu harga, dan pasrah pada penjual.
Jika ada selisih harga yang tidak wajar, pihak yang dirugikan memiliki hak
khiyar atau mendapatkan ganti atas kerugian.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setiap jual beli yang baik, tujuannya selalu mengarah pada pemenuhan
kebutuhan di antara kedua belah pihak. Kalau ternyata hanya sebelah pihak
saja merasakan manfaatnya, maka jual beli yang seperti itu tidak dapat
dikatakan baik, apalagi adil.
Dalam kegiatan transaksi jual beli, orang yang berdagang harus
mengetahui apa yang sebaiknya diambil dan yang harus ditinggalkan.
Memebedakan anatara yang haram dengan halal, serta tidak memasukkan
unsur riba didalamnya begitu pula dengan pihak pembeli.
Jual beli dengan mengutamakan kemaslahatan maka akan menghasilkan
kesejahteraaan dan juga akan terhindar dari adanya unsur riba dan spekulasi
juga tidak akan pernah terjadi, sebab nilai kejujuran dalam setiap penjual akan
mereka tanankan didalam dirinya sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa
dirugikan, sebab keadilan, kepercayaan dan kejujuran yang ditanamkan dalam
diri sudah tercapai sehingga tidak aka nada lagi keraguan dan kabatilan di
anatara kedua belah pihak.

13
14
DAFTAR PUSTAKA
https://www.iqtishadconsulting.com/content/read/blog/asas-asas-akad-kontrak-
dalam-hukum-syariah
https://suarajelata.com/2019/08/02/mengedepankan-kemaslahatan-dalam-
transaksi-jual-beli/
https://www.ekituntas.com/2019/08/keadilan-dalam-pertukaran-jual-beli.html
https://pengusahamuslim.com/4969-kaidah-dalam-fiqh-jual-beli-bagian-06.html

15

Anda mungkin juga menyukai