Jelaskan mengenai penyakit lyme dan penyakit infestasi (skabies, pedikulosis
pubis, gigitan chigger, dll) a. Penyakit lyme
Penyakit lime disebut juga lyme borreliosis merupakan gangguan inflammasi
multi-organ, disebabkan oleh infeksi dan respon imun pada genom patogen spesies Borrelia burgdorferi sensu lato sebagai penyebab. enyebarannya melalui tungau (kutu) kelompok Ixodes ricinus. Infeksi lime ditandai adanya lesi kulit yang luas dinamai dengan eritema migrans (EM) yakni lesi pada bagian tengah putih pucat dengan disekeliling warna merah cerah di bagian luar dan disebut target pusat. (Allen, 2015) . Penyakit Lyme umumnya dialami oleh anak dengan usia antara 5 sampai 15 tahun dan juga lansia. Gambaran klinis beragam, namun jarang menyebabkan kematian. Gejala awalnya adalah ruam yang menyebar dari lokasi gigitan kutu dan jika tidak segera diatasi maka ruam dapat menyebar pada beberapa bagian dari tubuh (Ali, 2018). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Borrelia sp. yang ditularkan melalui gigitan kutu Ixodes scapularis. Penyakit Lyme merupakan infeksi yang paling umum di Amerika Serikat, dan kejadiannya terus meningkat (Cook, 2015). b. Penyakit infestasi a) Skabies Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu kecil) yaitu Sarcoptes scabiei varietas hominis. Di Indonesia skabies disebut sebagai penyakit kudis, gudik, atau buduk. Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi bersama-sama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-ekonomi (Sungkar 2016). Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua bentuk infektif tersebut yang paling sering menyebabkan penularan ialah tungau dewasa. Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung namun cara penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak langsung antar individu saat tungau sedang berjalan di permukaan kulit. Kontak langsung adalah kontak kulit ke kulit yang cukup lama misalnya pada saat tidur bersama. Kontak langsung jangka pendek misalnya berjabat tangan dan berpelukan singkat tidak menularkan tungau. Penularan skabies secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dalam durasi yang lama dengan seprai, sarung bantal dan guling, pakaian, selimut, handuk dan perabot rumah tangga lainnya yang terinfestasi S.scabiei (Sungkar 2016). Gejala klinis paling utama pada scabies ialah rasa gatal. Rasa gatal pada masa awal infestasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar lesi, namun pada skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari. Gejala skabies pada anak biasanya berupa vesikel, pustul, dan nodus, anak menjadi gelisah dan nafsu makan berkurang (Sungkar 2016) Skabies menimbulkan rasa gatal hebat sehingga penderita sering menggaruk dan timbul luka lecet yang diikuti dengan infeksi sekunder oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta S.aureus. Infeksi tersebut menimbulkan pustul, ekskoriasi dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada infeksi sekunder oleh S.aureus dapat timbul bula sehingga disebut skabies bulosa (Sungkar 2016). Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita maupun lingkungannya. Komplikasi skabies tidak hanya perasaan tidak nyaman dan tidur yang tidak nyenyak karena gatal. Di kulit yang mengalami ekskoriasi, dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A. Komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri dapat mengakibatkan limfangitis, limfadenitis, selulitis bahkan sepsis. Infeksi sekunder juga dapat memicu komplikasi sistemik yang berat misalnya penyakit ginjal dan penyakit jantung rheumatik. Komplikasi skabies lainnya adalah hiperpigmentasi atau hipopigmentasi akibat inflamasi. Selain itu dapat pula terjadi pruritus pasca-skabies (Sungkar 2016). Pencegahan primer pada saat fase pre patogenesis skabies dilakukan dengan menjaga kebersihan badan, kebersihan pakaian, tidak menggunakan alat pribadi seperti handuk, seprai, pakaian bersamasama dengan orang lain, dan penyuluhan untuk komunitas. Bentuk pencegahan sekunder dilakukan dengan mengobati penderita secara langsung agar tungau tidak menginfestasi orangorang yang berada di sekitarnya. Pakaian, handuk, dan sprei yang digunakan lima hari terakhir oleh penderita harus dicuci dengan air panas agar seluruh tungau mati (Sungkar 2016). b) Pedikulosis Pubis Pediculosis pubis ialah kutu kemaluan dengan spesies Phthirus pubis. Sumber utama penularan kutu ini ialah melalui kontak secara langsung. Pada orang dewasa, sering terjadi sebagai penyakit menular seksual (PMS). Namun, penularan dapat terjadi dari seprai dan pakaian (Budimčić 2009). Phthirus pubis menghuni daerah-daerah yang kaya dengan kelenjar apokrin, jadi tempat predileksi adalah daerah pubic, aksila dan bulu mata. Phthirus pubis juga dapat masuk di rambut kulit kepala, jenggot, kumis, rambut paha, batang dan daerah perianal. Phthirus pubis pada bulu mata dan periphery kulit kepala paling sering ditemukan pada anak-anak, mungkin sebagai akibat dari kontak dengan orang tua yang terinfeksi (Budimčić 2009). Kutu kemaluan memberi makan dan bereproduksi pada inang manusia yang menyatukan nits mereka ke batang rambut 1 cm dari permukaan kulit dan nits menetas dalam 8 hingga 10 hari. Infeksi sekunder akibat eksoriasi dapat menyebabkan limfadenitis dan demam lokal. Gejala yang paling sering ditemukan ialah gatal pubis moderat yang berlangsung selama dua minggu (Budimčić 2009). Pengobatan dapat dilakukan dengan penggunaan sampo lindane 1% dalam dua siklus selama 3 minggu (Budimčić 2009). Pengobatan yang lain juga dapat dengan benzyl benzoate 25% 8 hingga 12 jam sekali, crotramiton 10% 1 / hari x 8 hari dan ivermectin 200 mikrogram / kg dalam dosis tunggal (Patricia 2011). c) Chigger bites Chigger merupakan larva tungau yang termasuk dalam Subordo Prostigmata, yang biasa disebut harvest mites atau scrub mites (Widiastuti 2007). Chigger adalah nama untuk spesies keluarga tungau Trombiculid. Gigitan dari larva tungau ini dapat menyebabkan pruritus lokal dan iritasi, yang dikenal sebagai trombiculiasis atau trombiculosis. Larva dari spesies ini memakan kulit berbagai hewan, termasuk manusia. Tungau dewasa menggali ke dalam tanah dan memakan detritus sementara larva dari spesies ini menumpuk di tepi daun dan rumput sebelum menumpang pada inang yang lewat, dan mengeluarkan enzim proteolitik untuk mencerna sel epidermis inang. Hal ini memicu reaksi inflamasi dengan eritema di sekitarnya, tingkat pembengkakan yang bervariasi, dan pruritus yang intens (Alexander dan Buckley 2019). Trombiculiasis disebabkan oleh gigitan tungau trombiculid, dan membutuhkan paparan ke habitat tungau larva yang disukai. Setelah digigit, enzim pencernaan yang disekresi oleh tungau menyebabkan pencairan epidermis inang, yang mengarah ke reaksi hipersensitif lokal. Ini menyebabkan papula, eritema, dan urtikaria yang mencirikan kondisi tersebut. Gejala yang timbul ialah rasa gatal yang hebat beberapa hari. Pada laki-laki, terutama anak-anak rentan terhadap reaksi hipersensitif lokal yang melibatkan kulit penis, disebut sindrom penis musim panas atau penis surai singa. Ini melibatkan edema pada kulit penis atau kulup, biasanya sangat gatal, dan pada sebagian kecil pasien dapat menyebabkan dysuria (Alexander dan Buckley 2019). Penatalaksanaan dan pengobatan difokuskan pada pengendalian gejala dengan antihistamin oral atau krim kortikosteroid topikal. Kompres dingin juga dapat membantu mengurangi ketidaknyamanan dan pembengkakan lokal. Komplikasi dari trombiculiasis termasuk selulitis dari eksoriasi, sindrom penis musim panas, dan penularan penyakit rickettsial yang disebut typus scrub (Asia dan Oceania). Gigitan bakteri jupa dapat menyebabkan demam, sakit kepala, mialgia, ruam, dan terkadang pembentukan eschar di lokasi gigitan. Jika rasa gatal akibat gigitan chigger tidak diobati dengan segera, dapat mengakibatkan kegagalan multi-organ dan kematian. Penyakit ini dapat diobati dengan doksisiklin. Pencegahan pada orang-orang dengan paparan berulang dapat dicapai dengan sepenuhnya menutupi kulit, atau menggunakan DEET atau permetrin (Alexander dan Buckley 2019). Ali, A. (2018). Lyme Disease., In: Rakel, D. (Eds). Integrative Medicine, Philadelphia: Elsevier. P.218-228. Alexander, Lucas dan Clifford J. Buckley (2019). Chigger Bites. Diakses pada 06 April 2020 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538528/ Allen, K.D., Golightly, Y.M. (2015). Epidemology of Osteoarthritis: State of The Evidence. Curr Opin Rheumatol. 27 (3), 276-283.
Budimčić Dragomir (2009). Pediculosis Pubis and Dermoscopy. Acta
Dermatovenerol Croat 17 (1): 77-83. Cook, M.J. (2015). Lyme Borreliosis: A Review of Data on Transmission Time After Tick Attachment. International Journal of General Medicine. Doi: 10.2147/IJGM.S73791. Patricia, Chang (2011). Pediculosis Pubis. N Dermatol Online 2(3): 156-157. Sungkar, Saleha (2016). Skabies Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Widiastuti, Dyah (2007). Chigger. Balaba edisi 005, no. 02 : 20.