Anda di halaman 1dari 5

7.

Jelaskan mengenai penyakit lyme dan penyakit infestasi (skabies, pedikulosis


pubis, gigitan chigger, dll)
a. Penyakit lyme

Penyakit lime disebut juga lyme borreliosis merupakan gangguan inflammasi


multi-organ, disebabkan oleh infeksi dan respon imun pada genom patogen
spesies Borrelia burgdorferi sensu lato sebagai penyebab. enyebarannya melalui
tungau (kutu) kelompok Ixodes ricinus. Infeksi lime ditandai adanya lesi kulit
yang luas dinamai dengan eritema migrans (EM) yakni lesi pada bagian tengah
putih pucat dengan disekeliling warna merah cerah di bagian luar dan disebut
target pusat. (Allen, 2015) .
Penyakit Lyme umumnya dialami oleh anak dengan usia
antara 5 sampai 15 tahun dan juga lansia. Gambaran klinis
beragam, namun jarang menyebabkan kematian. Gejala
awalnya adalah ruam yang menyebar dari lokasi gigitan kutu
dan jika tidak segera diatasi maka ruam dapat menyebar pada
beberapa bagian dari tubuh (Ali, 2018). Penyakit ini disebabkan
oleh bakteri Borrelia sp. yang ditularkan melalui gigitan kutu
Ixodes scapularis. Penyakit Lyme merupakan infeksi yang paling
umum di Amerika Serikat, dan kejadiannya terus meningkat
(Cook, 2015).
b. Penyakit infestasi
a) Skabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu kecil)
yaitu Sarcoptes scabiei varietas hominis. Di Indonesia skabies disebut sebagai
penyakit kudis, gudik, atau buduk. Keberadaan skabies dipengaruhi oleh
berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat
pribadi bersama-sama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan
pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-ekonomi (Sungkar
2016).
Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau
tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua
bentuk infektif tersebut yang paling sering menyebabkan penularan ialah
tungau dewasa. Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung
namun cara penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak
langsung antar individu saat tungau sedang berjalan di permukaan kulit.
Kontak langsung adalah kontak kulit ke kulit yang cukup lama misalnya pada
saat tidur bersama. Kontak langsung jangka pendek misalnya berjabat tangan
dan berpelukan singkat tidak menularkan tungau. Penularan skabies secara
tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dalam durasi yang lama dengan
seprai, sarung bantal dan guling, pakaian, selimut, handuk dan perabot rumah
tangga lainnya yang terinfestasi S.scabiei (Sungkar 2016).
Gejala klinis paling utama pada scabies ialah rasa gatal. Rasa gatal
pada masa awal infestasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus
nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar lesi,
namun pada skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh.
Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang
dikeluarkan pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari infestasi
tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari. Gejala skabies pada anak
biasanya berupa vesikel, pustul, dan nodus, anak menjadi gelisah dan nafsu
makan berkurang (Sungkar 2016)
Skabies menimbulkan rasa gatal hebat sehingga penderita sering
menggaruk dan timbul luka lecet yang diikuti dengan infeksi sekunder oleh
bakteri Group A Streptococci (GAS) serta S.aureus. Infeksi tersebut
menimbulkan pustul, ekskoriasi dan pembesaran kelenjar getah bening. Pada
infeksi sekunder oleh S.aureus dapat timbul bula sehingga disebut skabies
bulosa (Sungkar 2016).
Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal
diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita maupun
lingkungannya. Komplikasi skabies tidak hanya perasaan tidak nyaman dan
tidur yang tidak nyenyak karena gatal. Di kulit yang mengalami ekskoriasi,
dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri Staphylococcus aureus dan
Streptococcus grup A. Komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri dapat
mengakibatkan limfangitis, limfadenitis, selulitis bahkan sepsis. Infeksi
sekunder juga dapat memicu komplikasi sistemik yang berat misalnya
penyakit ginjal dan penyakit jantung rheumatik. Komplikasi skabies lainnya
adalah hiperpigmentasi atau hipopigmentasi akibat inflamasi. Selain itu dapat
pula terjadi pruritus pasca-skabies (Sungkar 2016).
Pencegahan primer pada saat fase pre patogenesis skabies dilakukan
dengan menjaga kebersihan badan, kebersihan pakaian, tidak menggunakan
alat pribadi seperti handuk, seprai, pakaian bersamasama dengan orang lain,
dan penyuluhan untuk komunitas. Bentuk pencegahan sekunder dilakukan
dengan mengobati penderita secara langsung agar tungau tidak menginfestasi
orangorang yang berada di sekitarnya. Pakaian, handuk, dan sprei yang
digunakan lima hari terakhir oleh penderita harus dicuci dengan air panas agar
seluruh tungau mati (Sungkar 2016).
b) Pedikulosis Pubis
Pediculosis pubis ialah kutu kemaluan dengan spesies Phthirus pubis.
Sumber utama penularan kutu ini ialah melalui kontak secara langsung. Pada
orang dewasa, sering terjadi sebagai penyakit menular seksual (PMS). Namun,
penularan dapat terjadi dari seprai dan pakaian (Budimčić 2009).
Phthirus pubis menghuni daerah-daerah yang kaya dengan kelenjar
apokrin, jadi tempat predileksi adalah daerah pubic, aksila dan bulu mata.
Phthirus pubis juga dapat masuk di rambut kulit kepala, jenggot, kumis,
rambut paha, batang dan daerah perianal. Phthirus pubis pada bulu mata dan
periphery kulit kepala paling sering ditemukan pada anak-anak, mungkin
sebagai akibat dari kontak dengan orang tua yang terinfeksi (Budimčić 2009).
Kutu kemaluan memberi makan dan bereproduksi pada inang manusia
yang menyatukan nits mereka ke batang rambut 1 cm dari permukaan kulit
dan nits menetas dalam 8 hingga 10 hari. Infeksi sekunder akibat eksoriasi
dapat menyebabkan limfadenitis dan demam lokal. Gejala yang paling sering
ditemukan ialah gatal pubis moderat yang berlangsung selama dua minggu
(Budimčić 2009).
Pengobatan dapat dilakukan dengan penggunaan sampo lindane 1%
dalam dua siklus selama 3 minggu (Budimčić 2009). Pengobatan yang lain
juga dapat dengan benzyl benzoate 25% 8 hingga 12 jam sekali, crotramiton
10% 1 / hari x 8 hari dan ivermectin 200 mikrogram / kg dalam dosis tunggal
(Patricia 2011).
c) Chigger bites
Chigger merupakan larva tungau yang termasuk dalam Subordo
Prostigmata, yang biasa disebut harvest mites atau scrub mites (Widiastuti
2007). Chigger adalah nama untuk spesies keluarga tungau Trombiculid.
Gigitan dari larva tungau ini dapat menyebabkan pruritus lokal dan iritasi,
yang dikenal sebagai trombiculiasis atau trombiculosis. Larva dari spesies ini
memakan kulit berbagai hewan, termasuk manusia. Tungau dewasa menggali
ke dalam tanah dan memakan detritus sementara larva dari spesies ini
menumpuk di tepi daun dan rumput sebelum menumpang pada inang yang
lewat, dan mengeluarkan enzim proteolitik untuk mencerna sel epidermis
inang. Hal ini memicu reaksi inflamasi dengan eritema di sekitarnya, tingkat
pembengkakan yang bervariasi, dan pruritus yang intens (Alexander dan
Buckley 2019).
Trombiculiasis disebabkan oleh gigitan tungau trombiculid, dan
membutuhkan paparan ke habitat tungau larva yang disukai. Setelah digigit,
enzim pencernaan yang disekresi oleh tungau menyebabkan pencairan
epidermis inang, yang mengarah ke reaksi hipersensitif lokal. Ini
menyebabkan papula, eritema, dan urtikaria yang mencirikan kondisi tersebut.
Gejala yang timbul ialah rasa gatal yang hebat beberapa hari. Pada laki-laki,
terutama anak-anak rentan terhadap reaksi hipersensitif lokal yang melibatkan
kulit penis, disebut sindrom penis musim panas atau penis surai singa. Ini
melibatkan edema pada kulit penis atau kulup, biasanya sangat gatal, dan pada
sebagian kecil pasien dapat menyebabkan dysuria (Alexander dan Buckley
2019).
Penatalaksanaan dan pengobatan difokuskan pada pengendalian gejala
dengan antihistamin oral atau krim kortikosteroid topikal. Kompres dingin
juga dapat membantu mengurangi ketidaknyamanan dan pembengkakan lokal.
Komplikasi dari trombiculiasis termasuk selulitis dari eksoriasi, sindrom penis
musim panas, dan penularan penyakit rickettsial yang disebut typus scrub
(Asia dan Oceania). Gigitan bakteri jupa dapat menyebabkan demam, sakit
kepala, mialgia, ruam, dan terkadang pembentukan eschar di lokasi gigitan.
Jika rasa gatal akibat gigitan chigger tidak diobati dengan segera, dapat
mengakibatkan kegagalan multi-organ dan kematian. Penyakit ini dapat
diobati dengan doksisiklin. Pencegahan pada orang-orang dengan paparan
berulang dapat dicapai dengan sepenuhnya menutupi kulit, atau menggunakan
DEET atau permetrin (Alexander dan Buckley 2019).
Ali, A. (2018). Lyme Disease., In: Rakel, D. (Eds). Integrative Medicine,
Philadelphia: Elsevier. P.218-228.
Alexander, Lucas dan Clifford J. Buckley (2019). Chigger Bites. Diakses pada
06 April 2020 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538528/
Allen, K.D., Golightly, Y.M. (2015). Epidemology of Osteoarthritis: State of
The Evidence. Curr Opin Rheumatol. 27 (3), 276-283.

Budimčić Dragomir (2009). Pediculosis Pubis and Dermoscopy. Acta


Dermatovenerol Croat 17 (1): 77-83.
Cook, M.J. (2015). Lyme Borreliosis: A Review of Data on Transmission
Time After Tick Attachment. International Journal of General Medicine.
Doi: 10.2147/IJGM.S73791.
Patricia, Chang (2011). Pediculosis Pubis. N Dermatol Online 2(3): 156-157.
Sungkar, Saleha (2016). Skabies Etiologi, Patogenesis, Pengobatan,
Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Widiastuti, Dyah (2007). Chigger. Balaba edisi 005, no. 02 : 20.

Anda mungkin juga menyukai