Anda di halaman 1dari 12

Tugas Makalah

Analisis Studi Kasus E-KTP di Indonesia

Mata Kuliah Akuntansi Pemeriksaan 1

Dosen Pengampu : Adam Zakaria, SE., M.Si., Ph.D., Ak., CA

S1 Akuntansi B 2017

Disusun Oleh:

Ilal Hilaliyah – 1706617034

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2020
Bab 1

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Dalam hal pemerintahan administrasi kependudukan merupakan salah satu upaya


penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat dalam bidang kependudukan, hal
ini seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden, dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri agar melaksanakan kebijakan administrasi
kependudukan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang tersebut berupa penerapan
KTP elektronik atau e-KTP yang diharapkan dapat berlaku secara nasional maupun
internasional. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, instansi pelaksana yang memiliki
kewenangan sebagai control center pelayanan di bidang administrasi kependudukan
adalah Kementrian Dalam Negeri. Penerapan e-government di Indonesia diatur oleh
adanya Instruksi Presiden No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
pengembangan e-government.

Pemerintah mewujudkan implementasi kebijakan administrasi kependudukan KTP


elektronik tentu dibutuhkan biaya yang besar dan berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atas dasar permintaan Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi
yang mengubah sumber dana dari pembiayaan asing menjadi APBN. Biaya yang
dianggarkan untuk proyek ini mencapai enam triliun rupiah.

Tercapainya program pemerintah ini sangat membutuhkan kinerja yang baik dari
masing-masing pihak yang terlibat dalam proyek tersebut. Selain itu dibutuhkan pula
pengawasan penggunaan anggaran sehingga anggaran digunakan sesuai dengan
peruntukannya tanpa merugikan keuangan negara. Dalam hal ini, Badan Pemeriksan
Keuangan (BPK) memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu.

Lelang e-KTP ini dimulai pada 2011. Terpidana korupsi M Nazaruddin bahkan
membeberkan, pengaturan lelang ini sudah berlangsung sejak Juli 2010. Akhirnya, pada
Juni 2011, Kementerian Dalam Negeri mengumumkan Konsorsium PT. PNRI sebagai
pemenang dengan harga Rp5,9 triliun. Konsorsium ini terdiri dari Perum PNRI, PT.
Sucofindo (Persero), PT. Sandhipala Arthapura, PT. Len Industri (Persero), PT. Quadra
Solution. Mereka menang setelah mengalahkan PT. Astra Graphia yang menawarkan
harga Rp. 6 triliun. Tapi banyak pihak menilai janggal munculnya pemenang.

Dalam proses lelang, menurut ICW (Indonesian Corruption Watch) ada


kejanggalan. Tiga hal yang janggal menurut ICW adalah post bidding, penandatanganan
kontrak pada masa sanggah banding dan persaingan usaha tidak sehat. Post bidding
adalah mengubah dokumen dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan
penawaran. Selain itu, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah)
menilai, kontrak itu ditandatangani saat proses lelang tengah disanggah, oleh dua peserta
lelang, Konsorsium Telkom dan Konsorsium Lintas Bumi Lestari.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan ada persekongkolan


dalam tender penerapan KTP Berbasis NIK Nasional (e-KTP) Tahun 2011-2012.
Pelakunya, menurut KPPU adalah Panitia Tender, Percetakan Negara Republik
Indonesia (PNRI), dan PT Astra Graphia Tbk. Dalam putusan tersebut, majelis KPPU
membeberkan bentuk-bentuk persekongkolan yang dilakukan antara PNRI dan Astra
Graphia. Persengkokolan juga dijalin dengan panitia lelang.

2. Rumusan Masalah

a) Bagaimana alur lelang & pelaksanaan e-KTP yang berjalan di Indonesia ?


b) Bagaimana hasil analisis kasus tersebut dengan menghubungkan dengan
materi pemeriksaan akuntansi 1 (Audit) ?

3. Tujuan

a) Untuk mengetahui alur lelang & pelaksanaan pengadaan e-KTP di Indonesia.


b) Untuk mengetahui hasil analisis kasus dengan menghubungkan dengan materi
pemeriksaan akuntansi 1 (Audit).
Bab 2
Pembahasan

1. Kajian Teori
a) Audit Sektor Publik
Audit Sektor Publik adalah kegiatan yang ditujukan terhadap entitas yang
menyediakan pelayanan dan penyediaan barang yang pembiayaannya berasal dari
penerimaan pajak dan penerimaan Negara lainnya dengan tujuan untuk
membandingkan antara kondisi yang ditemukan dan kriteria yang ditetapkan.
b) Audit kecurangan
Audit Kecurangan adalah upaya untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan
dalam transaksi-transaksi komersial. Untuk dapat melakukan audit kecurangan
terhadap pembukuan dan transaksi komersial memerlukan gabungan dua
keterampilan, yaitu sebagai auditor yang terlatih dan kriminal investigator.
c) Kecurangan adalah tindakan ilegal yang dilakukan satu orang atau sekelompok
orang secara sengaja atau terencana yang menyebabkan orang atau kelompok
mendapat keuntungan, dan merugikan orang atau kelompok lain.
d) Investigasi adalah upaya penelitian, penyidikan, pengusutan,pencarian,
pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk
mengetahui atau membuktikan kebenaran dan atau kesalahan sebuah fakta yang
kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.

2. Pembahasan Masalah
a) Alur Lelang dan Pelaksanaan E-KTP
i. 11 Februari 2011
-Penetapan HPS Terdakwa II Sugiharto yang ditunjuk sebagai pejabat
pembuat komitmen (PPK) menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS)
dan analisa harga satuan per keping blangko e-KTP tahun 2011-2012
sejumlah Rp 5.951.886.009.000. Perinciannya Rp 2.291.231.220.000
pada tahun 2011 dan Rp 3.660.654.789 pada tahun 2012. Penetapan
HPS ini disebut jaksa KPK tidak didahului dengan data harga pasar
setempat, namun berdasarkan price list yang disusun tim Fatmawati
yang telah dinaikkan harganya (mark up) dan tidak memperhatikan
diskon terhadap barang-barang tertentu.
- Spesifikasi Teknis
Sugiharto juga menandatangani spesifikasi teknis dan kerangka acuan
kerja (KAK) yang disusun oleh FX Garmaya Sabarling, Tri Sampurno
dan Berman Jandry Hutaosoit. Sugiharto menyatukan 9 lingkup
pekerjaan menjadi 1 paket pekerjaan. "Dengan maksud untuk
meminimalisir peserta lelang sehingga dapat memenangkan
konsorsium PNRI, serta pelaksanaannya dilaksanakan dengan
menggunakan perjanjian tahun jamak," kata jaksa.
ii. 21 Februari 2011
Panitia pengadaan yang diketuai Drajat Wisnu Setyawan
mengumumkan pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 melalui
koran Tempo dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Kemendagri. Ada 5 lingkup pekerjaan proyek pengadaan e-KTP dalam
dokumen pemilihan yakni pengadaan perangkat keras, pengadaan
perangkat lunak, pengadaan blangko e-KTP berbasis chip, penyediaan
jaringan komunikasi data serta bimbingan dan pendampingan teknis
iii. 8 April 2011
Panitia pengadaan menerima 8 dokumen penawaran dari konsorsium
Berca Link JST, konsorsium Lintas Peruri Solusi, konsorsium PNRI,
konsorsium Mukarabi Sejahtera, konsorsium Mega Global Jaya Grafia
Cipta, konsorsium PT Telkom, konsorsium PT Astra Graphia dan
konsorsium Transtel Universal.
iv. 18 April-20 Mei 2011
Panitia pengadaan melakukan evaluasi teknis terhadap 8 konsorsium.
Evaluasi dilakukan terkait metodologi dan spesifikasi teknis, evaluasi
dokmen usulan teknis mengenai jaringan komunikasi dan data dan
evalasi teknis terkait pengujian perangkat dan output atau proof of
concept (POC). "Berdasarkan serangkaian evaluasi teknis tersebut
sampai degnan dilakukannnya proses uji coba alat dan output, ternyata
tidak ada peserta lelang (konsorsium) yang dapat mengintegrasikan
key management server (KMS) dengan hardware security module
(HMS)," ujar jaksa. Nmun Irman dan Sugiharto tetap memerintahkan
Drajat Wisnu Setyawan dan Husni Fahmi melanjutkan proses lelang
sehingga konsorsium PNRI dan konsorsium Astragraphia dinyatakan
lulus.
v. 20 Juni 2011
Panitia pengadaan menyampaikan usulan penetapan pemenang
pelaksana pekerjaan e-KTP tahun 2011 dan 2012 dengan usulan
pemenang konsorsium PNRI (harga penawaran Rp 5.841.896.144.993
dan pemenang cadangan konsorsium Astragraphia dengan harga
penawaran Rp 5.950.304.787.554
vi. 21 Juni 2011
Mendagri saat itu Gamawan Fauzi menetapkan konsorsium PNRI
sebagai pemenang lelang berdasarkan surat keputusan Mendagri
Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Konsorsium PNRI ini beranggotakan
Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, PT
Sandipala Artha Putra.
vii. 21 Juni 2011
Mendagri saat itu Gamawan Fauzi menetapkan konsorsium PNRI
sebagai pemenang lelang berdasarkan surat keputusan Mendagri
Nomor: 471.13-476 tahun 2011. Konsorsium PNRI ini beranggotakan
Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, PT
Sandipala Artha Putra.
viii. 1 Juli 2011
Konsorsium PNRI menandatangani kontrak pekerjaan e-KTP tahun
anggaran 2011-2012 dengan nilai pekerjaan Rp 5.841.896.144.993.
Dalam pelaksanaannya konsorsium PNRI mensubkontrakan sebagian
pekerjaan tanpa persetujuan tertulis dari Sugiharto. Dalam
pelaksanaannya, konsorsium PNRI juga tidak dapat memenuhi target
minimal pekerjaan sebagaimana ditetapkan dalam kontrak. Dalam
kontrak disebut pekerjaan tahun 2011 blangko e-KTP sebanyak
67.015.400 keping di 197 kabupaten/kota dan pada tahun 2012
pengadaan blangko e-KTP sebanyak 105.000.000 keping di 300
kabupaten/kota. "Namun untuk mengakomodir hasil pekerjaan
konsorsium PNRI yang tidak memenuhi target pekerjaan dan agar
Sugiharto tetap dapat melakukan pembayaran kepada konsorsium
PNRI," ujar jaksa. Sugiharto atas persetujuan Irman juga
melakukan 9 kali perubahan atau addendum kontrak.
"Terdakwa II (Sugiharto) telah melakukan pembayaran kepada
konsorsium PNRI secara bertahap ayng setelah dipotong pajak
seluruhnya Rp 4.917.780.473.609," papar jaksa. Padahal harga wajar
atau harga riil pelaksanaan pengadaan e-KTP 2011-2013 sejumlah Rp
2.552.408.324.859. Selain itu konsorsium PNRI hanya dapat
melakukan pengadaan blangko e-KTP sebanyak 122.109.759
keping di bawah target pekerjaan dalam kontrak awal yakni
konsorsium PNRI wajib melakukan pengadaan, personalisasi dan
distribusi e-KTP sebanyak 172.015.400. Dalam perkara ini, eks pejabat
Kemendagri, Irman dan Sugiharto didakwa melakukan tindak pidana
korupsi bersama-sama Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku
penyedia barang/jasa, Isnu Edhi Wihaya (ketua konsorsium Percetakan
Negara RI, Setya Novanto saat itu ketua Fraksi Golkar dan Drajat
Wisnu Setyawan sebagai ketua panitia pengadaan barang/jasa di Ditjen
Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri.

b) Proses Pengadaan e-KTP


Pada pelaksanaannya, proyek e-KTP dilakukan oleh konsorsium yang terdiri
dari beberapa perusahaan atau pihak terkait. Untuk memutuskan konsorsium
mana yang berhak melakukan proyek, maka pemerintah kemudian
melaksanakan lelang tender pada 21 Februari hingga 15 Mei 2011. Di sela-
sela proses lelang, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) bernama Government
Watch (Gowa) menilai bahwa terjadi kejanggalan pada proses lelang. Mereka
beranggapan bahwa perusahaan yang mengikuti tender tidak sesuai dengan
persyaratan seperti yang terangkum dalam PP 54/2010. Setelah melalui
serangkaian proses, akhirnya pada 21 Juni 2011 pemerintah mengumumkan
konsorsium yang menjadi pemenang lelang. Mereka adalah konsorsium PNRI
yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri,
PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra. Hasil itu
diambil berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun
2011. Sebagai tindak lanjut, konsorsium PNRI kemudian melakukan
penandatanganan kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran
2011-2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993. Kontrak
tersebut disepakati pada 1 Juli 2011.
Mulanya proses perekaman e-KTP ditargetkan akan dilaksanakan secara
serentak pada 1 Agustus 2011. Namun karena terlambatnya pengiriman
perangkat peralatan e-KTP, maka jadwal perekaman berubah menjadi 18
Agustus 2011 untuk 197 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

c) Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi


i. Pelanggaran Kode Etik
Sejak awal proyek pengadaan e-KTP sudah terasa kental
dengan nuansa korupsi. Kasus yang diduga melibatkan banyak nama-
nama penting di pemerintahan ini mulai terendus korupsi sejak
Februari 2010 silam.
Sekitar awal bulan Februari 2010, setelah mengikuti rapat
pembahasan anggaran Kementerian Dalam Negeri, Irman dimintai
sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu yang merupakan ketua
Komisi II DPR RI agar usulan Kemendagri dapat segera disetujui oleh
DPR. Untuk mendanai pemberian uang kepada anggota DPR, Irman
dan Burhanudin sepakat bahwa sumber uang berasal dari pengusaha
Andi Narogong yang sudah terbiasa menajdi rekanan di Kemendagri.
Sekitar bulan Juli-Agustus 2010, Andi Narogong membuat
kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan
Muhammad Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran proyek
e-KTP yang bernilai kurang lebih Rp 5,9 triliunn
Pembagian dana proyek tersebut direncanakan akan dibagi
menjadi dua, yaitu sebesar 51% akan digunakan untuk pembiayaan
proyek. Sedangkan sisanya sebesar 49% akan dibagikan kepada
beberapa pejabat di Kemendagri, Anggota Komisi II DPR RI, Setya
Novanto, Anas Urbaningrum, dan rekanan bisnis. Pemberian uang
tidak hanya diberikan kepada individu saja. Sekitar bulan Februari
2011, untuk memperlancar kepentingan anggaran, Andi Narogong
berjanji akan memberikan uang sejumlah Rp 520 miliar kepada Partai
golkar, Partai Demokrat, PDI Perjuangan dan beberapa partai lainnya.
Semua perencanaan dan pemberian uang ini tentunya sangat
tidak sejalan dengan yang telah diatur dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (4)
(6) UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih
dari korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam pasal tersebut dikatakan,
bahwa semua penyelenggara negara harus didasarkan pada asas
keterbukaan, profesionalitas, proporsionalitas dan akuntabilitas.
Selain itu, para anggota Dewan yang diduga menerima dan
memberikan uang juga sangat berseberangan dengan Pasal 3 ayat 5 di
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1
Thaun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Dikatakan dalam aturan tersebut: “Anggota dilarang
meminta dan menerima pemberian atau hadiah selain dari apa yang
berhak diterimanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
ii. Pelanggaran Penetapan Harga HPS.
Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK untuk
terdakwa mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan
Direktur PIAK Kemendagri Sugiharto, pada tanggal 11 Februari 2011,
Sugiharto menentapkan Harga Perkiraan Sendiri dan Analisis harga
Satuan per Keping e-KTP. Namun pada penetapan tersebut, Sugiharto
tidak mendahuluinya dengan data harga pasar setempat yang diperoleh
berdasarkan survei menjelang dilaksanakannya pengadaan. HPS versi
Sugiharto hanya berdasar pada price list yang disusun oleh FX
Garmaya Sabarling, Tri Sampurno, dan Berman Jandry S. Hutasoit
yang telah dinaikkan harganya (mark up) dan tidak memperhatikan
diskon terhadap barang-barang tertentu. Hal ini diduga sangat
bertentangan dengan Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan. Peraturan itu menjelaskan
bahwa penyusunan HPS harus didasarkan pada data harga pasar
setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang
dilaksanakannya Pengadaan, dengan mempertimbangkan berbagai
informasi.
iii. Pelanggaran Proses Pelelangan.
Jauh hari sebelum terjadinya pelelangan untuk proyek
pengadaan e-KTP, pelanggaran terhadap proses ini sudah dilakukan.
Pada bulan Mei 2010, di ruang kerja Komisi II DPR RI, Sugiharto
melakukan pertemuan dengan Gamawan Fauzi, Diah Anggraini,
Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Effendi, Teguh Juwarno,
Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arif Wibowo, M. Nazaruddin, dan
Andi Narogong.
Pada kesempatan terebut, Mustoko Weni menyampaikan
bahwa Andi Nurogong-lah yang akan mengerjakan proyek e-KTP
karena sudah terbiasa mengerjakan proyek di Kemendagri dan sudah
“familiar” dengan Komisi II DPR. Selain itu, Weni menjelaskan bahwa
Andi berkomitmen akan memberikan sejumlah fee kepada anggota
DPR dan beberapa pejabat Kemendagri. Barulah pada tanggal 8 April
2011, panitia pengadaan menerima delapan dokumen penawaran dari
Konsorsium Berca Link JST, Konsorsium Lintas Peruri Solusi,
Konsorsium PNRI, Konsorsium Mukarabi Sejahtera, Konsorsium
Mega Global Jaya Grafica Cipta, Konsorsium PT Telkom, Konsorsium
PT Astra Graphia dan Konsorsium Transtel Universal.
Sampai dengan batas akhir waktu evaluasi pemasukan
penawaran, Konsorsium PNRI dan Astra Graphia tidak dapat
melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001. Namun demikian,
hal tersebut bukanlah halangan bagi mereka karena panitia pengadaan
tetap memasukan nama mereka di delapan konsorsius yang lulus.
Untuk memperlancar penetapan pemenang lelang, Andi
Narogong akhirnya memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui
saudaranya Azmin Aulia sejumlah USD 2,5 juta. Akhirnya pada
tanggal 21 Juni 2011 Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium PNRI
sebagai pemenang lelang.
Atas pengumuman itu, PT Lintas Bumi Lestari dan PT Telkom
Indonesia mengajukan sanggahan yang intinya keberatan dengan
penetapan pemenang. Kemudian pada 28 Juni 2011, Drajat Wisnu
Setyawan mengirimkan surat kepada dua perusahaan tersebut bahwa
proses dan penetapan hasil lelang sudah sesuai dengan prosedur.
Sebenarnya PT Lintas Bumi Lestari dan PT Telkom Indonesia
masih berhak mengajukan sanggahan banding hingga 5 Juli 2011.
Namun dengan mengesampingkan itu semua, pada 30 Juni 2011
Sugiharto menunjuk Konsorsium PNRI selaku pelaksana pekerjaan
proyek ke-KTP.
Berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 82 ayat 4 pada Peraturan
Presiden no.54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintahan, jika terjadi sanggahan banding maka proses pelelangan
atau seleksi harus dihentikan. Selain itu, dalam proses pengadaan
barang/jasa pemerintahan harus berdasarkan prinsip keterbukaan,
transparan, adil, efisien dan bersaing.
iv. Pelanggaran Lembaga BPK dan Lembaga Lainnya
Sebenarnya kasus korupsi proyek e-KTP dapat dihentikan
sedini mungkin andai saja lembaga-lembaga yang memiliki
kewenangan berkontribusi untuk mengusut dan mencegah terjadinya
korupsi. Namun, semua itu seakan hanya impian semata kala lembaga
seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) malah ikut terjerat kasus
ini. Pada dasarnya, siapa pun yang sejak awal mengetahui adanya
dugaan korupsi seharusnya melapor kepada KPK. Seperti yang tertera
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Secara jelas menyebut segala unsur pidana
wajib dilaporkan.Selain itu, BPK juga bisa memanfaatkan konsep
whistleblower untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi.

3. Hubungan Analisis Kasus E-KTP dengan materi Akuntansi Pemeriksaan 2


1. Materialitas
Penetapan HPS Terdakwa II Sugiharto yang ditunjuk sebagai pejabat pembuat
komitmen (PPK) menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS) dan analisa harga
satuan per keping blangko e-KTP tahun 2011-2012 sejumlah Rp
5.951.886.009.000. Perinciannya Rp 2.291.231.220.000 pada tahun 2011 dan
Rp 3.660.654.789 pada tahun 2012, Sementara besarnya kerugian negara yang
diakibatkan oleh penyelewengan dana sebesar 2.300.000.000.000 atau 38,64%
dari total HPS, angka tersebut jika dilihat tingkat materialitasnya tentu ini
materialitas.
2. Kecurangan
Berdasarkan analisis kasus e-ktp terjadi kecurangan yang dimulai dari
pelelangan yaitu meskipun PNRI tidak memenuhi kriteria sebagai pemenang
tender tetapi tetap PNRI dimenangkan karena pihak penyelngara tender
menerima suap untuk memenangkan PNRI

Anda mungkin juga menyukai