Anda di halaman 1dari 26

Filosofi

Etika
Disusun oleh:
(1) Evi Irmalasari 1706617080
(2) Ilal Hilaliyah 1706617034
(3) Lianita Dian R 1706617076
(4) Uhkti Wahidniawati 1706617033
(5) Winona Bianda C 1706617087

S1 Akuntansi B // Etika Profesi Akuntan // FE UNJ 1


FILOSOFI ETIKA
Perbuatan (tindakan) baik-buruk adalah manifestasi dari etika. Baik buruk bersifat
relatif, tergantung kapan, siapa, dimana, dan bagaimana memandangnya. Namun,
jika pendapat ini yang dianut, keadaan akan menjadi kacau. Tidak ada pedoman yang
dapat diikuti. Masing-masing orang berhak untuk menafsirkan apa yang disebut baik.

Atas alasan tersebut, demi kebaikan bagi masyarakat …

para cerdik cendekia yang mendalami filsafat berusaha


untuk merumuskan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan
kebaikan tersebut.
para ahli hukum juga menciptakan aturan-aturan tentang
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
2
Hak Asasi
Manusia

3
HAK ASASI MANUSIA
• Sumber dari etika adalah pengakuan adanya hak asasi manusia.
• Di Indonesia, konsep hak asasi manusia dijabarkan dalam UU No. 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia diartikan sebagai
seperangkat hak yang melekat pada hakikat setiap keberadaan manusia yang
merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa & merupakan anugerah-Nya yang harus
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
• Hak asasi manusia tidak memperbolehkan adanya eksploitasi manusia oleh
manusia.

4
HAK ASASI MANUSIA (lanjutan)
• Di bidang ekonomi, manifestasi eksploitasi dapat dicerminkan dalam penumpukan
harta (kekayaan) yang tidak wajar dengan cara yang tidak benar. Hal ini akan
dianggap melanggar konsep keadilan distributif yang akan menciptakan persaingan
tidak sehat.

Tidak tercapainya persaingan yang sehat, mengakibatkan perlu hadirnya intervensi


pemerintah melalui operasi atau regulasi. Para pelaku ekonomi juga harus
mengedepankan pengendalian diri dalam melakukan kegiatan ekonomi dan
bermasyarakat. Etika merupakan kisi-kisi dalam pengendalian diri tersebut.

5
Utilitariani
sme

6
UTILITARIANISME
• Teori utilitarianisme (utilitarianism) sering juga disebut teori teleologi (teleology).
• Teori utilitarianisme mengandalkan konsep bahwa perbuatan dikendalikan oleh
tujuan, dalam hal ini tujuan hidup.
Teori ini mendasarkan pada pemikiran bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan
(happiness). Kebahagiaan diukur dengan bertambahnya kesenangan (pleasure) dan
berkurangnya penderitaan (pain). Namun, untuk memburu kesenangan dan mencegah
penderitaan tersebut tidak harus mengarah ke hedonisme yang hanya menekankan
pada kesenangan dan penderitaan individu.
• Utilitarianisme menekankan kesenangan dan penderitaan dari sudut pandang
masyarakat (society), bukan individu.
7
UTILITARIANISME (lanjutan)
• Bertens (2013: 63) menjabarkan lebih lanjut mengenai teori utilitarianisme dengan
mengambil asal kata “utilis” Yunani yang berarti manfaat (Suatu perbuatan
dinyatakan baik jika dapat memberikan manfaat bagi orang banyak).
• Teori utilitarianisme juga disebut sebagai teori konsekuensi (consequentialism).
 Dalam teori konsekuensi, manfaat diukur dari akibat (impact) atau konsekuensi dari
suatu perbuatan.
 Konsep teori konsekuensi adalah kesenangan bersih (net pleasure) setelah penderitaan
diperhitungkan. Akibat atau konsekuensi dapat bersifat positif (untuk kesenangan) dan
negatif (untuk penderitaan). Kedua akibat tersebut dinetokan seperti halnya dalam
analisis biaya manfaat (cost benefit analysis).

8
UTILITARIANISME (lanjutan)
• Teori utilitarianisme tidak menganjurkan diterapkannya konsep Machiavelli (1469-
1527) bahwa tujuan menghalalkan cara (Brooks & Dunn, 2012: 141-142). Hal itu
disebabkan karena dalam etika, antara tujuan dan cara tidak selalu ekuivalen. Tujuan
dapat etis, tetapi caranya mungkin tidak, atau sebaliknya.
• Utilitarianisme menolak adanya kepentingan pribadi (egoisme) dalam setiap
tindakan yang dilakukan karena paham ini menekankan pada kebahagiaan
masyarakat sebagai tujuan utama.

9
Deontolog
i

10
DEONTOLOGI
• Deontologi (deontology) berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti tugas (duty)
atau kewajiban (obligation).
• Teori deontologi mengukur baik buruk berdasarkan ada tidaknya prinsip-prinsip
universal yang mengharuskan adanya tugas dan kewajiban.
• Kant mengembangkan dua jenis hukum (law) untuk melakukan penilaian terhadap
etika, yaitu keharusan kategoris (categorial imperative) dan keharusan praktis
(practical imperative). Dua syarat tersebut terkait dengan keharusan imperatif, yaitu
karena kewajiban (obligation) dan dapat diuniversal (universalized).

11
DEONTOLOGI (lanjutan)
• Hartman dan Desjardisen (2011:71) menyebutkan adanya berbagai aturan yang
harus diikuti, walaupun untuk itu tidak mendatangkan kebahagian.
 Salah
Peran satu
dalamaturan itu adalah
masyarakat aturan  Peraturan
membawa Ketentuan lainnya berasaluniversal
yang bersifat dari berbagai
tidak
hukum. Setiap
kewajiban untuk orang wajib keharusan
mematuhi menaati institusiberasal
harus tempat seseorang
dari berpartisipasi
atau disebabkan oleh
hukum karena ia di
yang terkandung diakui sebagai Contoh
dalamnya. warga atau menjadi anggotanya.
aturan-aturan yang pasti Misalnya,
atau karenajika
negara
yang yangnyata
paling bersangkutan.
mengenaiSebagai warga
hal ini adalah seseorang setuju
organisasi untuk Ketentuan
atau peran. masuk menjadi
atau
negara,sebagai
peran begitu pengajar,
hukum diundangkan,
pengacara, atau ia anggota
sikap sebuahyang
(perilaku) organisasi, salah satu
bersifat umum dan
tidak dapat
akuntan lagi mempertanyakan
publik. Begitu seseorangbahwa telah kewajibandianggap
sudah yang harus sebagai
dipenuhinya adalah
kebaikan
ketaatan terhadap
setuju untuk hukumperan
menyandang tersebut akan
tersebut, mematuhi
universal ketentuan-ketentuan
banyak terdapat yang
dalam
merugikan
ia dirinya. Hukum
harus mematuhi yang berlaku
kewajiban-kewajiban dikeluarkan Misalnya,
masyarakat. oleh organisasi tersebut,
menepati janji atau
telah melekat
yang dianggap universal
dengan peranuntuk negara
itu, misalnya tanpa harus
hormat kepada memperhitungkan
orang tua. bahwa
yang bersangkutan.
mematuhi kode etik. ketentuan ini merugikan dirinya.
12
DEONTOLOGI (lanjutan)
• Aturan dalam keharusan praktik (practical imperative) mengharuskan perlakuan
yang sama kepada setiap orang. Seseorang harus memperlakukan orang lain seperti
halnya perlakuan orang lain yang dia inginkan terhadapnya. Misalnya, jika kita tidak
ingin disakiti oleh orang lain, sebaiknya jangan menyakiti orang lain. Asas timbal
balik perlakuan dengan mengedepankan hak dan kewajiban masing-masing
merupakan ciri dari keharusan praktikal.
• Teori deontologisme mencakup kewajiban untuk mematuhi hak-hak moral
seseorang selain hak-hak legalnya (Hartman dan Desjardins, 2011:82). Hak-hak legal
tercantum dalam aturan-aturan hukum atau kontrak yang disepakati. Hak dan
kewajiban moral biasanya tidak tercantum dalam peraturan atau kontrak. Namun,
hak dan kewajiban tersebut tetap harus dihormati dan dipatuhi.
13
DEONTOLOGI (lanjutan)
 Misalnya, seorang karyawan yang secara kontraktual telah memperoleh imbalan dan
manfaat yang memadai dari perusahaan, tetapi dia tidak rajin bekerja sehingga
produktivitasnya rendah merupakan pengingkaran terhadap kewajiban moralnya
sebagai karyawan.
• Berbeda dengan utilitarianisme yang memandang perbuatan etis dari sudut
pandang tujuan yang dinyatakan dalam bentuk manfaat bagi orang banyak,
deontologisme memandangnya dari cara atau pendekatan dalam melaksanakan
perbuatan tersebut. Cara yang digunakan harus didasarkan pada aturan universal
yang diyakini sebagai kebenaran.
• Menurut paham deontologisme pertimbangan baik dan benar atas aturan yang
dianut telah dilakukan sebelum aturan tersebut ditetapkan.
14
DEONTOLOGI (lanjutan)
• Deontologisme mengehendaki keseimbangan antara perlakuan terhadap diri sendiri
dan perlakuan terhadap orang lain. Antara keduanya tidak boleh dibedakan. Selain
keharusan untuk melakukan hak dan kewajiban diri sendiri, seseorang juga harus
menghormati kewajiban dan hak orang lain.
• Asas timbal balik yang berkeadilan merupakan inti dari deontologisme.

15
Hak dan
Keadilan

16
HAK DAN KEADILAN
• Penjabaran deontologisme ke dalam asas keadilan dikemukakan oleh David Hume
(1711-1776). Hume mendasarkan teorinya pada anggapan bahwa setiap orang
mempunyai hak (claims) terhadap sumber daya yang terbatas atau scarce resources
(Brooks & Dunn, 2012: 146).
• Adanya pandangan bahwa tidak semua orang dapat memperoleh manfaat dari
sumber daya memunculkan dua konsep keadilan (justice), yaitu:
 keadilan prosedural (prosedural justice)  terutama berkaitan dengan masalah
administrasi yang dicerminkan dalam sistem hukum yang adil. Dua hal pokok tercakup
dalam sistem hukum dengan prosedur yang adil, yaitu fair dan transparent.

17
HAK DAN KEADILAN (lanjutan)
 keadilan distributif (distributive justice)  berarti hal yang sama (equals) harus
diperlakukan dengan cara yang sama (equally), yang tidak sama harus diperlakukan
dengan cara tidak sama, proporsional dengan perbedaan yang relevan. Kata
“perbedaan” dan “proporsional” di sini mengandung arti bahwa keadilan distributif
tidak harus dilakukan dengan cara sama rata, sama rasa.
Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian atau alokasi sumber daya, manfaat, atau
beban. Penerima pembagian atau alokasi dapat berupa orang, kelompok masyarakat, atau
organisasi (perusahaan) yang pada dasarnya akan terdiri atas orang. Kata “perbedaan”
dalam kalimat tersebut berarti tidak samanya kondisi penerima. Perbedaan kondisi inilah
yang membenarkan adanya proporsionalitas dalam pembagian.

18
HAK DAN KEADILAN (lanjutan)
Ada tiga kriteria untuk menentukan distribusi yang adil. Ketiga kriteria tersebut, yaitu:
o kebutuhan (need)  Keadilan distributif akan tercapai jika alokasi atau pembagian
sumber daya, manfaat, atau beban didasarkan atas kebutuhan atau kemampuan dari
penerimanya.
o kesamaan perhitungan (arithmetic equality)  Kesamaan perhitungan berkaitan dengan
cara (metode) dan ukuran yang digunakan. Keadilan distributif tercapai jika cara dan
ukuran perhitungan telah disepakati oleh pihak yang terlibat.
o kepantasan (merit)  dapat diukur dengan kontribusi atau kinerjanya terhadap
perolehan sumber daya, manfaat, atau beban yang menjadi subjek pembagian.

19
HAK DAN KEADILAN (lanjutan)
• Teori hak dan keadilan melihat perbuatan etis dari sudut pandang ekonomi.
Pemikirannya didasarkan atas kenyataan tentang terbatasnya sumber daya (scarce
resources). Persoalan yang dikaji adalah pembagian (alokasi) sumber daya yang
terbatas agar tercapai keadilan (justice) dan kewajaran (fairness). Parameter yang
digunakan adalah keadilan dan kewajaran bagi seluruh masyarakat dengan
penekanan pada golongan yang paling kurang memperoleh manfaat dari pembagian
sumber daya.

20
Virtuisme

21
VIRTUISME
• Etika keutamaan (virtue ethics) bermula dari Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles
mengeksplorasi sifat (nature) dari kehidupan baik (good life). Kehidupan baik
diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), tetapi bukan yang bersifat hedonistic
(Brooks & Dunn, 2012: 150-151).
• Etika keutamaan lebih menekankan pada karakter moral daripada konsekuensi
tindakan seperti dalam paham utilitarianisme atau motivasi seperti dalam paham
deontologisme.
• Etika keutamaan mencoba untuk mendeskripsikan sifat (karakter) yang harus
dimiliki untuk membentuk kehidupan manusia yang baik dan utuh (Hartman dan
Desjardins, 2011: 85).
22
VIRTUISME (lanjutan)
• Karakter moral yang menunjukkan keutamaan dapat bermacam-macam. Bijaksana
(wise), adil, rendah hati, suka bekerja keras, hati-hati, bertanggung jawab dan iktikad
baik adalah contoh-contoh tentang keutamaan. Demikian juga dengan kejujuran,
kepercayaan, keuletan, dan keterbukaan.
• Virtuisme dijabarkan dalam karakter (watak), hubungan, perilaku, nilai-nilai, dan
keyakinan yang melekat pada diri manusia yang berintegritas (Hartman dan
Desjardins, 2011: 86). Tentu saja, karakter yang dimaksud adalah karakter yang
peduli kepada orang lain (altruisme). Karakter yang tidak hanya memikirkan egoisme
pribadi.

23
VIRTUISME (lanjutan)
• Virtuisme membangun budaya dan sistem nilai tentang kehidupan lebih utuh yang
diinginkan dan yang peduli kepada orang lain. Oleh karenanya, virtuisme berkaitan
dengan masalah pendefinisian tentang kehidupan yang lebih utuh dan altruisme
atau jati diri (identitas) seseorang.
• Virtuisme, bisa jadi adalah teori etika yang paling mudah untuk diterapkan dalam
praktik bisnis. Budaya, etika, dan sistem nilai yang diterapkan dalam perusahaan
sebagai bagian dari etika bisnis mereka biasanya didasarkan pada konsep virtuisme.
Namun, perlu diingat: virtuisme hanya menghasilkan nilai-nilai normatif,
pelaksanaannya perlu dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan dan prosedur yang
dikeluarkan oleh perusahaan.
24
END.
Thank you

25
Q&A

26

Anda mungkin juga menyukai