Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

ILMU KESEHATAN FISIK DAN REHABILITASI

STROKE

Pembimbing
dr. Eka Poerwanto, Sp. KFR

Oleh :
Ratna Sari Eka Putri (201704200326)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


RSAL DR. RAMELAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
STROKE

Referat yang berjudul “Stroke” telah diperiksa dan disetujui sebagai


salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter
Muda di Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Rumah Sakit
Angkatan Laut dr. Ramelan Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas
Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 20 September 2019

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

dr. Eka Poerwanto, Sp. KFR


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan referat ini
sebagai tugas kepaniteraan klinik tentang Stroke. Tak lupa pula saya
mengucapkan terima kasih kepada selaku dokter pembimbing, dr. Eka
Poerwanto, Sp. KFR yang telah memberi arahan dan masukan kepada
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan referat ini.
Keberhasilan dalam menyelesaikan referat ini tentunya tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh
dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki,
untuk itu, penulis mengharapkan saran yang membangun demi
kesempurnaan referat ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Surabaya, 20 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit akibat gangguan neurologis yang
paling banyak dan serius. Di Amerika Serikat setengah dari seluruh
pasien yang dirawat di bangsal neurologi adalah penderita stroke.
Kejadian stroke bertambah dengan bertambahnya usia. Di indonesia
kejadian ini tidak jauh berbeda. Dengan bertambahnya umur harapan
hidup diperkirakan angka kejadian stroke akan meningkat karena umur
merupakan faktor risiko yang utama. Penderita stroke akan mengalami
impermen (gangguan tahap organ, misalnya kelumpuan, gangguan
menelan, mati rasa, dll), disabilitas (gangguan tahap diri sendiri,
misalnya ketidak mampuan mengurus diri) dan hendikep (gangguan
tahap masyarakat atau sosial, termasuk pekerjaan, sekolah dan
aktivitas lain yang berinteraksi dengan orang lain). Impermen,
disabilitas dan hendikep merupakan terminologi yang banyak
digunakan dibidang rehabilitasi medik, ketiga keadaan ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasiennya.
Rehabilitasi medik diharapkan dapat berperan dalam
pengembalian penderita semaksimal mungkin pada penderita stroke
dari sisa fungsi yang masih ada, sehingga kualitas hidup penderita
meningkat. Pencapaian pengembalian fungsi sangat tergantung dari
berbagai faktor, termasuk bagaimana pola hidup penderita dan
kemandirian penderita sebelum sakit. Dalam penanganan rehabilitasi
medik dibuat goal untuk pencapaian perbaikan fungsi. Goal-goal ini
harus dibicarakan bersama antara pasien, keluarga / caregiver dan tim
rehabilitasi medik yang menangani penderita stroke ini, sehingga
usaha yang dilakukan adalah usaha bersama  yang telah disetujui
bersama dan peran aktif dari orang-orang yang terkait dalam
penanganan pasien ini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rehabilitasi
2.1.1 Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah suatu program yang disusun untuk


memberi kemampuan kepada penderita yang mengalami disabilitas
fisik dan atau penyakit kronis, agar mereka dapat hidup atau
bekerja sepenuhnya sesuai dengan kapasitasnya (Harsono, 1996).
Program rehabilitasi menurut Ibrahim (2001) tidak hanya
terbatas pada pemulihan kondisi semata, tetapi juga mencakup
rehabilitasi yang bersifat psikososial, penuh dengan kasih sayang
serta empati yang luas, guna membangkitkan penderita.
Rehabilitasi medik meliputi tiga hal, yaitu rehabilitasi medikal,
sosial, dan vokasional. Rehabilitasi medik merupakan upaya
mengembalikan kemampuan klien secara fisik pada keadaan
semula sebelum sakit dalam waktu sesingkat mungkin. Rehabilitasi
sosial merupakan upaya bimbingan sosial berupa bantuan sosial
guna memperoleh lapangan kerja. Rehabilitasi vokasional
merupakan upaya pembinaan yang bertujuan agar penderita cacat
menjadi tenaga produktif serta dapat melaksanakan pekerjaannya
sesuai dengan kemampuannya.
Rehabilitasi medik dalam ilmu kedokteran adalah suatu
disiplin ilmu yang berperan dalam pemulihan gangguan fungsi baik
secara fisik, psikologi, edukasi dan sosial. Pemulihan fungsi itu
tentu bukan berarti semua pasien yang fungsinya terganggu
dengan rehabilitasi medik akan menjadi normal seperti semula,
karena banyak faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemulihan
fungsi ini. Faktor tersebut adalah seberapa berat penyebab
gangguan fungsi ini, apakah permanen atau sementara, apakah
progresif, seberapa besar sisa fungsi yang masih ada. Adakah
gangguan lain yang memperberat atau menghambat proses
pengembalian fungasi misalnya depresi, gangguan kognisi
termasuk gangguan komunikasi. Faktor dari luar penderita sendiri
misalnya penerimaan dan dukungan dari keluarga / masyarakat
sekelilingnya, apakah ada sarana bagi orang disabel dalam hal ini
modifikasi lingkungan baik lingkungan rumah maupun di luar
rumah, hal ini sangat membantu pemulihan gangguan fungsi bagi
penderita. Sejauh mana dapat dicapai pemulihan fungsi, hasilnya
sangat individual.
2.1.2 Prinsip-prinsip Rehabilitasi
Prinsip-prinsip rehabilitasi menurut Harsono (1996) adalah:
a. Rehabilitasi dimulai sedini mungkin, bahkan dapat dikatakan
bahwa rehabilitasi segera dimulai sejak dokter melihat penderita
untuk pertama kalinya.
b. Tidak ada seorang penderitapun yang boleh berbaring satu hari
lebih lama dari waktu yang diperlukan, karena akan
mengakibatkan komplikasi.
c. Rehabilitasi merupakan terapi multidisipliner terhadap seorang
penderita dan rehabilitasi merupakan terapi terhadap seorang
penderita seutuhnya.
d. Faktor yang paling penting dalam rehabilitasi adalah kontinuitas
perawatan.
e. Perhatian untuk rehabilitasi lebih dikaitkan dengan sisa
kemampuan fungsi neuromuskuler yang masih ada, atau
dengan sisa kemampuan yang masih dapat diperbaiki dengan
latihan.
f. Dalam pelaksanaan rehabilitasi termasuk pula upaya
pencegahan serangan berulang.
2.1.3 Tahap Rehabilitasi
Rehabilitasi stadium akut, sejak awal tim rehabilitasi medik
sudah diikutkan, terutama untuk mobilisasi. Programnya dijalankan
oleh tim, biasanya latihan aktif dimulai sesudah prosesnya stabil,
24-72 jam sesudah serangan, kecuali perdarahan. Sejak awal
Speech terapi diikutsertakan untuk melatih otot-otot menelan yang
biasanya terganggu pada stadium akut. Psikolog dan Pekerja
Sosial Medik untuk mengevaluasi status psikis dan membantu
kesulitan keluarga.
Rehabilitasi stadium subakut, pada stadium ini kesadaran
membaik, penderita mulai menunjukan tanda-tanda depresi, fungsi
bahasa mulai dapat terperinci. Pada post GPDO pola kelemahan
ototnya menimbulkan hemiplegic posture. Kita berusaha
mencegahnya dengan cara pengaturan posisi, stimulasi sesuai
kondisi klien.
Rehabilitasi stadium kronik, pada saat ini terapi kelompok
telah ditekankan, dimana terapi ini biasanya sudah dapat dimulai
pada akhir stadium subakut. Keluarga penderita lebih banyak
dilibatkan, pekerja medik sosial, dan psikolog harus lebih aktif.
2.2 Stroke
2.2.1 Definisi
Kata stroke merupakan istilah inggris yang berarti pukulan,
pada istilah kedokteran stroke sendiri digunakan untuk menamakan
sindrom hemiparesis atau hemiparalisis akibat lesi vascular yang
bisa muncul dalam beberapa detik sampai hari, tergantung dari
jenis penyakit kausanya. Sebagaimana dijelaskan bahwa terdapat
bagian otak yang secara tiba-tiba tidak mendapat jatah darah lagi
karena arteri yang menyuplai daerah itu mengalami sumbatan atau
terputus. Penyumbatan itu bisa terjadi secara mendadak, secara
berangsur-angsur ataupun tiba-tiba namun berlangsung hanya
sementara (Sidharta, 2010).
Stroke adalah suatu gangguan peredaran darah di otak.
Organisasi kesehatan dunia, WHO mendefinisikan stroke sebagai
suatu sindrom klinis dengan gangguan fokal atau global dari fungsi
otak yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang bertahan
lebih dari 24 jam atau lebih atau dapat menyebabkan kematian,
dengan penyebab yang tak lain berasal dari gangguan sirkulasi
darah. Gangguan sirkulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa
patofisiologi, diantaranya trombosis, emboli dan perdarahan
(Lumbantobing, 2003).
2.2.2 Epidemiologi

Stroke adalah penyebab kematian yang ketiga setelah


penyakit jantung dan keganasan. Stroke diderita oleh ± 200 orang
per 100.000 penduduk pertahunnya. Stroke merupakan penyebab
utama cacat menahun. Pengklasifikasiannya adalah 65-85%
merupakan stroke non-hemoragik (± 53% adalah stroke trombotik
dan 31% adalah stroke embolik) dengan angka kematian stroke
trombotik ± 37% dan stroke embolik ± 60%. Presentasi stroke
hemoragik hanya sebanyak 15-35%. ± 10-20% disebabkan oleh
perdarahan atau hematom intraserebral, dan ±5-15% perdarahan
subarachnoid. Angka kematian stroke hemoragik mencapai 20-
30%.
Prevalensi stroke di USA adalah 200 per 1000 orang pada
rentang usia 45-54 tahun, 60 per 1000 pada rentang usia 65-74
tahun dan 95 per 1000 orang pada rentang usia 75-84 tahun.
Presentasi kematian mencapai 40-60%.
Data stroke di Indonesia menunjukan peningkatan terus baik
dalam hal kejadian, kecatatan, maupun kematian. Angka kematian
berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 th) dan
26,8% (umur 55-64 th), dan 23,5% (umur >65th). Kejadian stroke
sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecatatan 4,3% dan semakin
memberat, penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita
perempuan (Misbach et al, 2011).
2.2.3 Klasifikasi
 Berdasarkan waktu

a. TIA (Trancient Ischemic Attack)


Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat
gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu
24 jam (Misbach et al, 2011).
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gangguan neurologi yang timbul dan akan menghilang
secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu
(Misbach et al, 2011).
c. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana
gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk.
Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa
hari (Misbach et al, 2011).
d. Completed Stroke
Gangguan neurologi yang timbul bersifat menetap atau
permanen (Misbach et al, 2011).
 Berdasarkan etiologi
Stroke terjadi ketika pasokan darah ke otak terganggu atau
berkurang . Hal ini membuat otak kekurangan oksigen dan nutrisi,
yang dapat menyebabkan sel-sel otak untuk mati (Mayo,2014).

Stroke dapat disebabkan oleh arteri yang tersumbat (stroke


iskemik) atau pembuluh darah bocor atau pecah (stroke
hemoragik). Beberapa orang mungkin mengalami gangguan
sementara aliran darah melalui otak mereka (transient ischemic
attack , atau TIA) (Mayo,2014).
1. Stroke Iskemik

Sekitar 85 persen dari stroke adalah stroke iskemik. Stroke


iskemik terjadi ketika arteri ke otak Anda menjadi menyempit atau
tersumbat , yang menyebabkan aliran darah sangat berkurang
(iskemia). Stroke iskemik yang paling umum termasuk :

a. Stroke trombotik,Stroke trombotik terjadi ketika gumpalan darah


(thrombus) terbentuk di salah satu arteri yang memasok darah
ke otak Anda . Bekuan darah dapat disebabkan oleh timbunan
lemak (plak) yang menumpuk di arteri dan menyebabkan aliran
darah berkurang (aterosklerosis) atau kondisi arteri lainnya .
b. Stroke embolik,Stroke emboli terjadi ketika gumpalan darah atau
bentuk puing-puing lain yang asalnya bukan dari otak (biasanya
dalam jantung) dan ikut mengalir dalam aliran darah dan dapat
mengenai arteri otak sehingga pembuluh darah di otak menjadi
terhambat. Jenis bekuan darah disebut embolus.
2. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di otak


mengalami kebocoran atau pecah. Perdarahan otak dapat
disebabkan oleh banyak kondisi yang mempengaruhi pembuluh
darah, termasuk tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol
(hipertensi) dan dinding pembuluh darah yang inadekuat
(aneurisma ).

Penyebab kurang umum dari perdarahan adalah pecahnya


pembuluh darah berdinding tipis yang abnormal (malformasi
arteriovenosa). Jenis stroke hemoragik meliputi:

a. Perdarahan intraserebral : pembuluh darah di otak pecah dan


keluar ke dalam sel-sel otak dan disekitar jaringan otak. Tekanan
darah tinggi, trauma, kelainan pembuluh darah, penggunaan
obat pengencer darah dan kondisi lain dapat menyebabkan
perdarahan intraserebral.
b. Subarachnoid hemorrhage. Dalam pendarahan subarachnoid,
arteri di permukaan otak atau disekitarnya pecah dan keluar
keruangan antar permukaan otak dan tengkorak.Perdarahan ini
sering ditandai dengan tiba-tiba dan diserta sakit kepala parah .
2.2.4 Faktor Resiko

Non Modifiable Modifiable


 Umur  Hipertensi
 Jenis kelamin  Penyakit jantung (atrial fibrilasi)
 Riwayat keluarga  Diabetes Melitus
 Etnik ras  Hiperkolesterolemia
 Penyakit arteri carotis
asimtomatis
 Perokok
 Konsumsi alkohol
 TIA
 Obesitas
 Inakitivitas fisik
 Hiperhormociteinemia
 Pengguna obat-obatan
terlarang
 Terapi pengganti hormon
 Pengguna oral kontrasepsi
 Proses inflamasi
 Hiperkoagulabilitas
2.2.5 Patogenesis
 Stroke Non Hemoragik

Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah


otak oleh trombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena
berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah,
sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area trombus
menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi
kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli
disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral
melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut
menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi
gangguan neurologi fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh
pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli (Van, 1998).
 Stroke Hemoragik
Pembuluh darahotak yang pecah menyebabkan darah
mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang
menimbulkan perubahan komponen intrakranial yang seharusnya
konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak
dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan tekanan
intra kranial (TIK) yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi
otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir
ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan
edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah
tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada
sehingga terjadi nekrosis jaringan otak (Van, 1998).
Gambar 1.Stroke hemoragik dan stroke iskemik

2.2.6 Manifestasi Klinis


Pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada saat
melakukan aktivitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat.
Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak
adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol, serta terdapat nyeri
kepala dan terdapat muntah.
Sedangkan pada stroke non hemoragik umumnya terjadi
setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, tidak ada muntah dan tidak terdapat nyeri kepala,
kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh
karena hipoksia jaringan otak serta sering terdapat gangguan
bicara. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83%
mengalami stroke jenis ini (Kotambunan, 1995).
2.2.7 Diagnosis

Diagnosis klinik stroke dibuat berdasarkan batasan stroke,


dilakukan pemeriksaan klinis yang teliti, meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi
kerusakan pada otak. Untuk memperkuat diagnosis biasanya
dilakukan pemeriksaan CT scan. Kedua pemeriksaan tersebut juga
bisa membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah
perdarahan atau tumor otak (Wirawan, 2009).
2.2.8 Diagnosis Topis

Diagnosis topis dapat ditentukan dari gejala yang timbul,


antara lain dengan cara membedakan letak lesi apakah kortikal
atau subkortikal (kapsula interna, ganglia basalis, thalamus),
batang otak dan medula spinalis (Angliadi, 2001).
1. Gejala klinis pada topis di kortikal
a. Afasia
b. Wajah dan lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh
c. Kejang
d. Gangguan sensoris kortikal
e. Deviasi mata ke daerah lesi
2. Gejala klinis pada topis subkortikal
a. Wajah, lengan dan tungkai mengalami kelumpuhan yang sama
berat
b. Gangguan sensorik
c. Sikap distonik
3. Gejala klinis pada topis di batang otak
a. Hemiplegi alternans
b. Nistagmus
c. Gangguan pendengaran
d. Tanda serebelar
e. Gangguan sensorik wajah ipsilateral dan pada tubuh
kontralateral
4. Gejala klinis pada topis di medulla spinalis
a. Gangguan sensorik setinggi lesi
b. Gangguan miksi dan defekasi
c. Wajah tidak ada kelainan
d. Brown Sequard syndrome
2.2.9 Tujuan Rehabilitasi Medik Pada Pasien Stroke
Tujuan utama dari rehabilitasi stroke adalah mengembalikan
status fungsional pasien, agar bisa mandiri sesuai kemampuan
yang masih ada. Pasien diharapkan mampu melakukan kembali
aktivitas sehari-hari seperti perawatan diri sendiri, kegiatan rumah
tangga dan aktivitas sosialnya secara mandiri atau dengan bantuan
minimal dengan menggunakan kemampuan diri yang masih ada
dan juga kembalinya penderita stroke kemasyarakat, bersosialisasi,
karena manusia pada hakekatnya adalah mahluk sosial.
Untuk tujuan ini perlu peran serta dari semua pihak,
penderita, keluarga, masyarakat disekelilingnya dan mediator yang
akan mempersiapkan sebelum penderita terjun kemasyarakat.
Penanganan rehabilitasi medik yang berkesinambungan mulai di
rumah sakit sampai penderita pulang kembali ke rumah dan
kembali kemasyarakat yang sangat diperlukan oleh penderita
stroke.
Tujuan rehabilitasi ini dicapai melalui pendekatan pasien
secara holistik oleh Tim Rehabilitasi. Tim rehabilitasi ini terdiri dari :
 Dokter Spesialis Kedokteran Fisik & Rehabilitasi (SpKFR, dahulu
disebut Dokter Rehabilitasi Medik).
 Terapi fisik (fisioterapi)
 Terapi okupasi
 Terapi wicara
 Konseling psikologi
 Petugas sosial medis
2.2.10 Proses Rehabilitasi Medik Pada Stroke
Pada saat penderita stroke datang ke rumah sakit, dilakukan
pemeriksaan dan penanganan yang intensif oleh dokter ahli syaraf
yang dapat bekerja sama dengan dokter ahli penyakit dalam, dokter
ahli bedah syaraf, psikiater atau dokter spesialis lain yang terkait.
Tujuan utamanya adalah life saving dan meminimalkan gangguan
yang ada. Rehabilitasi medik pada penderita stroke dimulai dari
saat pasien dirawat dan keadaan kritis sudah dilalui sampai
penderita pulang dan pemulihan fungsi yang diharapkan sudah
maksimum.
Pelaksanaan program rehabilitasi medik merupakan proses
belajar mengajar. Partisipasi aktif dari pasien, keluarga / caregiver
sangat diperlukan. Pasien harus dapat mengerti apa yang akan
diberikan, dapat mengikuti latihan yang diberikan dan mengingat
kembali latihan itu untuk dapat dilakukan berulang-ulang.
Pengulangan latihan sangat dibutuhkan untuk kemajuan
pengembalian fungsi yang terganggu, sehingga perlu motivasi dan
ketekunan yang tinggi dari penderita stroke dan keluarganya.
Aktivitas atau gerakan-gerakan yang biasanya dilakukan secara
otomatis tanpa harus difikirkan, bila terganggu karena menderita
stroke, harus dipelajari lagi langkah demi langkah dan gerakan ini
mejadi sulit dengan adanya gangguan dari tonus otot, kekuatan otot
dan koordinasi gerakan.
Adapun fase rehabilitasi pada pasien stroke :
1. Fase Awal
Tujuannya adalah mencegah komplikasi sekunder dan
melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin
setelah keadaaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi.
Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan
luas gerak sendi (LGS), stimulasi elektrikal dan setelah penderita
sadar dimulai penanganan emosional.
Pada fase ini keadaan pasien mungkin masih lemah.
Dengan kesadaran yang rendah dan belum dapat berpartispasi
secara aktif selama pengobatan. Pada fase ini yang utama adalah
mencegah akibat yang timbul dari tirah baring yang lama dengan
cara merubah posisi pasien setiap 2 jam disiang hari dan setiap 4
jam di malam hari.
Ada 3 posisi yang dianjurkan :
- Posisi dimana pasien berbaring terlentang,pada bagian yang
lumpuh disangga dengan bantal.

Gambar 2 : berbaring terlentang dengan bagian yang lumpuh disangga


dengan bantal
- Posisi dimana pasien berbaring pada posisi yang
lumpuh,dengan posisi lengan yang lumpuh membentuk sudut
90o dari badan. Lengan yang sehat diletakkan diatas
badan/bantal, tungkai dan kaki yang sehat dalam posisi
melangkah, diganjal bantal, pergelangan paha dan lutut agak
ditekuk.
Gambar 3 : berbaring pada posisi yang lumpuh
- Posisi dimana pasien berbaring pada sisi yang sehat dengan
posisi lengan dan tangan yang lumpuh diatas bantal dan
membentuk sudut rentang sekitar 100 o dari badan, tungkai yang
lumpuh – pergelangan paha dan lutut agak ditekuk. Tungkai dan
kaki diganjal dengan bantal.
Gambar 4 : berbaring pada sisi yang sehat
Selain itu, pada fase ini pasien juga dilatih gerak pasif
untuk mencegah konraktur dan kekakuan. Pada fase ini juga
dilakukan pencegahan timbulnya infeksi saluran kemih. Pada
pasien dengan inkontinensia urine dan kelemahan otot sfingter
sebaiknya dipasang kondom kateter pada laki – laki dan pada
pasien wanita digunakan indwelling catheter. Kondom kateter ini
diganti setiap hari, sedangkan indwelling kateter diganti setiap
minggu. Jika terjadi retensio urine, maka dilakukan metode
intermitten kateter sebanyak 4 kali dalam sehari. Jika pasien
dirawat, maka dilakukan kultur urine setiap minggunya.
Pada kasus konstipasi, maka pasien dianjurkan untuk
mengkonsumsi diet tinggi serat dan makanan lunak. Jika tidak
berhasil, maka baru gunakan obat pencahar. Pada fase ini juga
diperhatikan kelabilan emosi pasien, sehingga hal tersebut tidak
mengganggu proses rehabilitasi.
Penggunaan elastic stocking juga dianjurkan untuk
mencega terjadinya trombosis vena–vena profunda dan
ekstremitas inferior selama aktivitas ambulasi. Pada fase ini
juga dilakukan evaluasi terhadap gangguan komunikasi dan
yang tidak kalah pentingnya adalah speech therapy pada
pasien–pasien dengan afasia atau disartria seperti pada kasus
ini.
2. Fase Lanjutan
Tujuannya untuk mencapai kemandirian fungsional
dalam mobilisasi dan aktivitas sehari-hari (AKS). Fase ini
dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil.
Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau embolik
mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita
dengan perdarahan subarachnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari
setelah stroke. Program pada fase ini meliputi:
a. Fisioterapi.
 Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot
(kekuatan 2 kebawah).
 Diberikan terapi panas superfisial (infra red ) untuk melemaskan
otot.
Gambar 5 : terapi panas superficial (infrared)
 Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif
tergantung dari kekuatan otot.

Gambar 6 : Latihan gerak sendi


 Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.

Gambar 7 : Latihan untuk menguatkan otot pada pasien stroke

Gambar 8 : Latihan untuk menguatkan otot jari pada stroke


Gambar 9 : Latihan untuk menguatkan otot tangan dan jari pada stroke
 Latihan fasilitasi atau redukasi otot.
 Latihan mobilisasi.

Gambar 10 : Latihan berjalan menggunakan tongkat berkaki satu atau


berkaki empat
Gambar 11 : Latihan naik turun tangga (dibantu penolong)

Gambar 12 : naik turun tangga tanpa menggunakan tongkat


Gambar 13 : naik turun tangga menggunakan tongkat

Mobilisasi segera ditunda bila terjadi :


 Keadaan dan atau Stroke berat
 Gejala / tanda neurologist yang memburuk
 Perdarahan sub-Arachnoid atau intra serebral
 Hipotensi orthostatic
 Miocardial infark akut
 Deep vein Thrombosis akut,sampai dapat teratasi
b. Okupasi Terapi
Sebagian besar penderita stroke mencapai kemandirian
dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada
ektremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang
disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri
dapat dikerjakan, kemandirian dapat dipermudah dengan
pemakaian alat-alat yang disesuaikan.

Gambar 14 : Terapi okupasi pada penderita stroke


c. Terapi Bicara
Penderita stroke sering menagalami gangguan bicara
dan komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist 
dengan cara:
- Latihan pernapasan (pre speech training) berupa latihan napas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
- Latihan di depan cermin untuk melatih gerakan lidah, bibir
dan mengucapkan kata-kata.
- Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke
artikulasi mengucapkan kata-kata.
- Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.

Gambar 15 : Terapi bicara pada penderita stroke


d. Ortotik Prostetik 
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau
alat ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita.
Alat-alat yang sering digunakan antara lain: arm sling, hand sling,
walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot
orthotic (AFO), knee ankle foot ortotic (KAFO).

Gambar 16 : Pemakaian kursi roda pada penderita stroke


e. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase syok, fase penolakan,
fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita
mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan
sebagian lain mengalami secara lambat, berhenti pada satu
fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus
berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima
rehabilitasi.
f. Sosial Medik 
Pekerjaan sosial medik dapat memulai pekerjaan dengan
wawancara keluarga, keterangan tentang pekerjaan,
kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta
keadaan rumah penderita
Bila ada stroke unit lengkap dengan rehabilitasi medik,
penderita dipulangkan setelah penyembuhan sistim syaraf
(neurological recovery) selesai, berlangsung kurang lebih tiga
bulan. Tapi bila ditempat perawatan tidak terdapat stroke unit
maka pemulangan penderita stroke lebih bervariasi tergantung
dari banyak hal, antara lain kondisi penderita stroke, kondisi
keluarga termasuk finansial, dll.
BAB III

KESIMPULAN
Rehabilitasi adalah suatu program yang disusun untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang mengalami disabilitas fisik dan
atau penyakit kronis, agar mereka dapat hidup atau bekerja
sepenuhnya sesuai dengan kapasitasnya (Harsono, 1996).
Tujuan utama dari rehabilitasi stroke adalah mengembalikan status
fungsional pasien, agar bisa mandiri sesuai kemampuan yang masih
ada. Pasien diharapkan mampu melakukan kembali aktivitas sehari-
hari seperti perawatan diri sendiri, kegiatan rumah tangga dan aktivitas
sosialnya secara mandiri atau dengan bantuan minimal dengan
menggunakan kemampuan diri yang masih ada.
Rehabilitasi pasien pasca stroke secara teoritis perlu sekali untuk
dilakukan. Beberapa metode rehabilitasi dapat dilakukan oleh keluarga
pasien maupun pasien di Rumah dan di instansi pelayanan kesehatan
Mengingat pentingnya rehabilitasi pada klien post stroke, maka perlu
ditingkatkan motivasi klien untuk mencegah komplikasi dengan cara
menekankan manfaat latihan, serta menjelaskan bahwa pemulihan
terjadi secara berangsur-angsur sehingga perlu ketekunan dalam
latihan dan perlunya meningkatkan partisipasi keluarga yang
menunggu dalam membantu pelaksanaan mobilisasi dini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. (1996). Buku Ajar Neurologi Klinis. Penerbit Gadjah Mada


Press.
2. Sidharta, Priguna; Mardjono, Mahar. 2010. Neurologi Klinis Dasar.
Jakarta : Dian Rakyat.
3. Lumbantobing SM. Stroke: Bencana peredaran darah di otak.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.

4. Misbach J, Wendra A. Stroke in indonesia. A first large prospective


hospital based study of acute stroke in 28 hospitals in indonesia.
Jakarta. 2011.
5. Van GJ. Main groups of cerebral and spinal vascular disease:
overview. In: Ginsberg MD, Bogousslavsky J, eds. Cerebrovascular
disease: pathophysiology, diagnosis, and management. 1 ed.
Malden: Blackwell Science; 1998:1369-72.
6. Kotambunan RC. Diagnosis stroke. Bagian Neurologi FK
UNSRAT/SMF RSUP Manado. Manado, 1995; 1-12.
7. Wirawan RP. Rehabilitasi stroke dalam pelayanan kesehatan
primer. SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati. Jakarta;
2009.p.612.
8. Angliadi LS. Rehabilitasi medic pada stroke. Proceeding
symposium stroke update. Manado. Perdosi; 2001.

Anda mungkin juga menyukai