DOSEN PEMBIMBING :
ANIS NUR LAILI, SsiT., M.Keb
PENYUSUN :
ILYAS AULIA AFNAN (P27824319015)
SEMESTER II
DAFTAR ISI i
BAB I. MATERI 1
1. DEFINISI 2
2. ETIOLOGI 3
3. CARA PENULARAN 4
4. FAKTOR RISIKO 5
6. DIAGNOSIS 8
7. PENANGANAN 9
7.2.Seksio Saesaria 10
8. PENCEGAHAN 11
1. Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh
adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh
defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh
human immunodeficiency virus. Kausa sindrom imunodefisiensi ini adalah
retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2.
2. Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus
lenti virus. Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe
yang diberi dari kode A sampai J dan subtipe yang paling ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1.4
3. Cara Penularan
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari
ibu ke bayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu
bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga
tertular HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi
terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang
ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah
mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga ART untuk siapa pun
terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Penularan dapat terjadi
dalam kandungan yang dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang
seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat
memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat
disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB.
Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas,
jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu
1
faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang
dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu
ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan
HIV melalui menyusui.
Faktor risiko lain termasuk kelahiran prematur (bayi lahir terlalu dini) dan
kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko
menunjukkan satu hal, yaitu mengawasi kesehatan ibu. Beberapa pokok kunci
yang penting adalah:
a. status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya,
b. status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya, dan
c. status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.
4. Faktor Risiko
Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi:
4.1. Faktor ibu dan bayi
a. Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat
persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya,
satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat
sekali bertambah di tubuh seseorang.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi
pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga
mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang
rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4
kurang dari 200.
Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta
kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi
juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi
reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti
mastitis, abses, luka di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan
menjadi meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya.
b. Faktor bayi antara lain:
1. bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2. melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, dan
3. bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya.
b. Gejala Neurologis
3
Gejala neurologis yang beranekaragam seperti kelemahan otot, kesulitan
berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,
psikosis, dan sampai koma.
d. Gejala tumor, yang paling sering ditemukan adalah Sarcoma kaposis dan
Limfoma maligna non-Hodgkin.
5
kadar RNA HIV kurang lebih tiap trimester, atau sekitar setiap 3 sampai 4 bulan.
Hasil pemeriksaan ini dipakai untuk mengambil keputusan untuk memulai terapi
ARV, mengubah terapi, menentukan rute pelahiran, atau memulai profilaksis
untuk pneumonia Pneumocystis carinii.
Pada ibu juga dilakukan pemeriksaan untuk penyakit menular seksual lain
dan tuberculosis (TB). Pasien diberi vaksininasi untuk hepatiis B, influenza, dan
mungkin juga infeksi pneumokokus. Apabila hitung CD4+ kurang dari 200 /ul,
dianjurkan pemberian profilaksis primer P.carinii. Pneumonia diterapi dengan
pentamidin atau sulfametoksazol-trimetoprin oral atau intravena. Infeksi
oportunistik simtomatik lain yang mungkin timbul adalah toksoplasmosis, herpes,
dan kandidiasis.
7.2. Seksio Sesarea
European Collaborative Study Group (1994) melaporkan bahwa seksio
sesarea elektif dapat mengurangi risiko penularan vertikal sekitar 50 %. Apabila
dianalisis berdasarkan terapi ARV, tidak terdapat perbedaan yang bermakna
dalam angka penularan pada wanita yang mendapat zidovudin dan menjalani
seksio sesarea versus per vaginam.
Internasional Perinatal HIV Group (1999) baru-baru ini melaporkan
penularan HIV vertikal secara bermakna menurun menjadi kurang dari separuh
apabia saksio sesarea dibandingkan dengan cara pelahiran lain. Apabila pada
masa prenatal, intrapartum, dan neonatal juga diberikan terapi ARV dan dilakukan
seksio sesarea, kemungkinan penularan vertikal akan berkurang sebesar 87 %
disbanding dengan cara pelahiran lain dan tanpa terapi ARV.
Berdasarkan temuan ini, American College of Obstetricians and
Gynecologists (2000) menyimpulkan bahwa seksio sesarea terencana harus
dianjurkan bagi wanita terinfeksi HIV dengan jumlah RNA HIV-1 lebih dari 1000
salinan/ml. Hal ini dilakukan tanpa memandang apakah pasien sedang atau belum
mendapat terapi ARV. Persalinan terencana dapat dilakukan sebelum 38 minggu
untuk mengurangi kemungkinan pecahnya selaput ketuban.
Penulis-penulis lain mengungkapkan kekhawatiran morbiditas mungkin
meningkat secara bermakna pada wanita terinfeksi HIV yang menjalani seksio
sesarea. Mereka menyimpulkan bahwa terapi ARV kombinasi dapat menurunkan
resiko penularan vertikal sampai serendah 2 %. Morris,dkk tidak melaporkan
adanya penularan perinatal pada 76 wanita yang mendapat terapi ARV sangat
aktif (High active antiretroviral therapy, HAART).
8. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan
secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
Prong 1: mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia
reproduktif.
Prong 2: mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.
Prong 3: mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke
bayi yang dikandungnya.
Prong 4: memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
HIV positif beserta bayi dan keluarganya.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan
Prong 1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi,
diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan
dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta
dan lembaga swadaya masyarakat.
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu ke bayi
(preventing mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan
ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child
transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara jelas memberantas
infeksi HIV pediatrik.
Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa
tindakan di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:
- ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4+ di bawah
350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak
menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau
tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.
7
- Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang
HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
- Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima
profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya
menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu
apabila ibu tidak menyusui.
- Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung
pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran
bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12
bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.
- Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk
paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.13
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah
mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat
tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi
HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi.
Hal ini dapat dijelaskan karena sperma dari penderita HIV tidak
mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur
ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan
melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya membuat
anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu
tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat
langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita
menghindari infeksi HIV pada perempuan.
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan
harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu
di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko
kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu
itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua
upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.
Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal
ini membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan,
pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction,
dan hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.
Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh
berbeda dengan pencegahan infeksi HIV. ODHA perempuan yang memakai obat
antiretroviral harus sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif.
Dalam hal ini, mungkin kondom perempuan adalah satu sarana yang penting.
9
DAFTAR PUSTAKA
11