Anda di halaman 1dari 22

Tugas

HORMON PADA TUMBUHAN


(dibuat untuk mata kuliah Fisiologi Tumbuhan yang diampu oleh
Dr. Jusna Ahmad. M.Si)

Oleh

YULIANA ROBOT
NIM 432418024

PROGRAM STUDI BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
1. Deskripsi karakteristik hormon pada tumbuhan
a. Hormon Auxin
Auxin adalah zat aktif dalam sistem perakaran. Senyawa ini membantu
proses pebiakan vegetatif. Pada satu sel auxin dapat mempengaruhi
pemanjangan sel, pembelahan sel dan pembentukan akar. Beberapa tipe auxin
aktif dalam konsentasi yang sangat rendah antara 0.01 sampai 10 mg/L
(Wiraatmaja, 2017).
b. Hormon Sitokinin
Sitonin (cytokinine) merangsang pembelahan sel, pertumbuhan tunas, dan
mengaktifkan gen serta aktivitas metabolisme secara umum. Pada saat yang
sama sitokinin menghambat pembentukan akar. Oleh karenanya sitokinin
sangat berguna pada proses kultur jaringan dimana dibutuhkan pertumbuhan
yang cepat tanpa pembetukan perakaran. Secara umum konsentrasi sitokinin
yang digunakan antara 0.1 sampai 10 mg/L (Wiraatmaja, 2017).
c. Hormon Giberelin
Giberelin adalah turunan dari asam gibberelat merupakan hormon tumbuhan
alami yang merangsang pembuangan, pemanjangan batang dan membuka benih
yang masih dorman. Ada sekitar 100 jenis giberelin, namun Gibberellic acid
(GA3)-lah yang paling umum digunakan (Wiraatmaja, 2017).
d. Hormon Asam Absisat
Asam absisat atau Abscisic Acid (ABA) adalah penghambat pertumbuhan
dan sering disebut sebagai lawan dari giberelin. Hormon ini memaksa
dormansi, mencegah biji dari perkecambahan dan menyebabkan rontoknya
daun, bunga dan buah. Secara alami tingginya konsentrasi asam abscisat ini
dipicu oleh adanya stres oleh lingkungan misalnya kekeringan (Wiraatmaja,
2017).
e. Hormon Etilen
Etilen (Etylene) merupakan senyawa unik dan hanya dijumpai dalam bentuk
gas. Senyawa ini memaksa pematangan buah, menyebabkan daun tanggal dan
merangsang penuaan. Tanaman sering meningkatkan produksi etilen sebagai
respon terhadap stres dan sebelum mati (Wiraatmaja, 2017).

f. Hormon Brasinosteroid
Bransinosterid (BR) adalah hormon endogen berupa steroid yang dapat
memacu pertumbuhan dan dapat ditemukan pada biji, serbuk sari, dan jaringan
vegetatif, oleh karena itu BR diduga disintesis pada berbagai jenis organ
tanaman. Bransinosterid juga berinteraksi dengan hormone tanaman yang lain
contohnya auksin serta faktor lingkungan untuk meregulasi secara keseluruhan
bentuk dan fungsi tanaman (Wiraatmaja, 2017).
2. Peran hormon pada tumbuhan
a. Hormon Auxin
 Merangsang perpanjangan sel.
 Merangsang pembentukan bunga dan buah.
 Merangsang pemanjangan titik buah.
 Mempengaruhi pembengkokan batang.
 Merangsang pembentukan akar lateral.
 Merangsang terjadinya proses diferensiasi.
b. Hormon Sitokinin
 Mengatur pembentukan bunga dan buah.
 Membantu proses pertumbuhan akar dan tunas pada pembuatan kultur
jaringan.
 Memperkecil dominansi apikal dan juga dapat menyebabkan pembesaran
daun muda.
 Merangsang pembelahan sel dengan cepat. Bersama-sama giberelin dan
auksin, dapat membantu mengatur pembelahan sel yang terdapat di daerah
meristem sehingga pertumbuhan titik tumbuh normal.
 Menunda pengguguran daun, bunga, dan buah yang dilakukan dengan
meningkatkan transport zat makanan ke organ tersebut.

c. Hormon Giberelin
 Membantu perkecambahan biji.
 Memacu aktivitas kabium.
 Menyebabkan tanaman tumbuh tinggi.
 Menghasilkan buah tak berbiji.
 Menghilangkan sifat kerdil secara genetik pada tumbuhan.
 Menyebabkan tanaman lebih cepat berbunga.
 Memacu perpanjangan secara abnormal batang utuh.
d. Hormon Asam Absisat
 Menghambat perkecambahan biji.
 Mempengaruhi terjadinya suatu dormansi pada kuncup.
 Menghambat pembelahan sel dan juga pembesaran sel.
 Menutup stomata selama kekurangan air.
 Berperan penting dalam tahap inisiasi dormasi biji, maturasi biji, dan
menjaga biji agar berkecambah di musim yang diinginkan.
e. Hormon Etilen
 Mempercepat dalam pematangan suatu buah.
 Menyebabkan pertumbuhan batang menjadi tebal dan juga kukuh.
 Mendukung terbentuknya atau terjadinya bulu-bulu akar.
 Induksi sel kelamin betina pada bunga.
 Merangsang terjadinya pemekaran pada bunga.
 Mengakhiri masa dormansi.
 Merangsang perumbuhan akar dan batang.
 Merangsang absisi buah dan daun.
f. Hormon Brasinosteroid
 Pemicu pembelahan dan pemanjangan sel batang serta kecambah.
 Mempengaruhi dirensiasi xilem dan floem.
 Meresponmasuknya cahaya. Sehingga cahaya yang masuk tersebut bisa
bekerja dengan maksimal, pada daun sebuah tumbuhan sehingga terciptalah
fotosintesis.
3. Analisis Jurnal
Jurnal 1
Jurnal ini berjudul “Pengaruh Konsentrasi Giberelin (GA3) terhadap
Pertumbuhan kalian (Brassica oleracea L. Var alboglabra) pada Berbagai
Media Tanam dengan Hidroponik Wick System” oleh Asih Maharani,
Suwirmen, Zozy Aneloi Noli. Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas.
a. Pendahuluan
Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi yang rendah dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Salah satu zat pengatur
tumbuh yang sering digunakan adalah Giberelin (GA3) yang banyak berperan
dalam mempengaruhi berbagai proses fisiologi tanaman. Menurut Yasmin (2014),
aplikasi konsentrasi GA3 yang diberikan mampu memacu pertumbuhan tanaman
melalui peningkatan tinggi tanaman dan luas daun. Pemberian GA3 ternyata
dipengaruhi oleh konsentrasi yang diberikan, konsentrasi GA3 yang dibutuhkan
oleh setiap jenis tanaman berbeda-beda. Kailan (Brassica oleracea L.var
alboglabra) termasuk dalam kelompok tanaman sayuran daun yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan memiliki prospek yang cukup bagus untuk dibudidayakan
(Ayu, 2011).
Permintaan pasar yang semakin tinggi terhadap Kailan ini masih terkendala
oleh terbatasnya luas lahan yang produktif sehingga pilihan teknologi dan teknik
penanaman yang tepat dapat mengatasi masalah ini. Salah satu teknik penanaman
yang menghasilkan lahan produktif serta dapat digunakan pada lahan yang terbatas
adalah teknik penanaman hidroponik. Menurut Nelson (2009), hidroponik sangat
sesuai dengan kecenderungan konsumen perkotaan saat ini yaitu mencari produk
yang berkualitas, memiliki nilai tambah terhadap manfaat kesehatan,
berpenampilan menarik, dan harga yang terjangkau. Sistem hidroponik merupakan
budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah. Media tanam yang digunakan dalam
sistem hidroponik dapat berupa media cair atau padat.
b. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, dengan memakai Rancangan


Acak Lengkap (RAL) dalam faktorial. Terdiri dari dua faktor perlakuan dengan
tiga kali ulangan. Faktor pertama yaitu konsentrasi GA3 (0, 20, 40 dan 60 ppm)
dan faktor kedua yaitu media tanam (zeolit, pasir, arang sekam, serbuk gergaji).

c. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan statistika dengan sidik ragam,
dimana jika nilai F hitung berbeda nyata atau besar dari F tabel, maka dilanjutkan
dengan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf uji nyata 5%.
d. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan pada pertambahan tinggi tanaman menunjukkan
bahwa pemberian konsentrasi GA3 pada berbagai media tanam yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman, namun tidak terdapat
interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Pemberian konsentrasi 60 ppm mampu
memberikan hasil terbaik pada pertambahan tinggi tanaman kailan, berbeda nyata
dengan pemberian GA3 20 ppm dan 0 ppm sedangkan pemberian konsentrasi GA3
40 ppm tidak berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman kailan. Pada
perlakuan dengan berbagai media yang ditanam secara hidroponik juga
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. perlakuan dengan media zeolit
memberikan hasil terbaik untuk tinggi tanaman, berbeda nyata pada media serbuk
gergaji, media pasir dan media arang sekam tidak berbeda nyata terhadap
pertambahan tinggi tanaman. Hal tersebut diduga karena media zeolit memiliki
sifat yang ringan jika terkena larutan hara sehingga tanaman mampu menyerap
unsur hara dengan optimal. Kelebihan media zeolit dari arang sekam yaitu dapat
menyimpan unsur hara dan menyuplai unsur hara ke tanaman tersebut. Perlakuan
media tanam zeolit berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dari pada
perlakuan media tanam serbuk gergaji dan pasir. Hal tersebut diduga karena pada
media serbuk gergaji mudah kering sedangkan pasir bersifat padat jika terkena
larutan hara sehingga tanaman tidak mampu menyerap unsur hara secara
maksimal.
Pengaruh konsentrasi GA3 terhadap luas daun kailan umur 10 mst pada
berbagai media tanam hidroponik setelah dianalisis statistik menunjukkan bahwa
pemberian konsentrasi GA3 pada berbagai media tanam yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap luas daun tanaman. pemberian GA3 pada berbagai
media tanam berpengaruh terhadap peningkatan luas daun tanaman. Peningkatan
luas daun pada konsentrasi GA3 20 ppm, 40 ppm dan 60 ppm berpengaruh nyata
meningkatkan luas daun jika dibandingkan dengan 0 ppm. Berdasarkan hasil yang
didapatkan konsentrasi 60 ppm merupakan konsentrasi dengan nilai tertinggi
untuk luas daun tanaman kailan jika dibandingkan dengan konsentrasi GA3 yang
lain. Meningkatnya luas daun disebabkan karena GA3 yang bersifat dapat
meningkatkan pemanjangan sel sehingga sel pada daun menjadi bertambah dan
luas daun pada tanaman kailan juga menjadi meningkat. Pada perlakuan dengan
media tanam hidroponik, media tanam zeolit dan serbuk gergaji berpengaruh nyata
terhadap luas daun tanaman kailan jika dibandingkan dengan media tanam pasir
namun tidak berpengaruh nyata terhadap media arang sekam. Berdasarkan hasil
yang telah didapatkan, media tanam zeolit mampu meningkatkan ketersediaan hara
bagi tanaman.
Pengaruh konsentrasi GA3 terhadap panjang akar kailan umur 10 mst pada
berbagai media tanam hidroponik setelah dianalisis statistik menunjukkan bahwa
pemberian konsentrasi GA3 pada berbagai media tanam berpengaruh nyata
terhadap panjang akar tanaman, kemudian terdapat interaksi antara kedua
perlakuan tersebut. Setiap perlakuan berpengaruh terhadap panjang akar tanaman
kailan. Pada konsentrasi GA3 20 ppm, 40 ppm dan 60 ppm berpengaruh nyata
terhadap panjang akar jika dibandingkan dengan konsentrasi 0 ppm. Hal ini diduga
karena pemberian GA3 dapat merangsang pemanjangan sel. Selain itu GA3 juga
merangsang produksi hormon auksin dan sitokinin yang berfungsi dalam
pemanjangan akar tanaman. Adanya interaksi antara konsentrasi GA3 dengan
perlakuan berbagai media tanam berpengaruh terhadap panjang akar tanaman
kailan. Perlakuan kombinasi GA3 60 ppm dengan media tanam zeolit merupakan
kombinasi dengan nilai tertinggi untuk panjang akar jika dibandingkan dengan
perlakuan kombinasi yang menggunakan konsentrasi GA3 0 ppm dan perlakuan
kombinasi yang menggunakan media pasir. Hal ini diduga bahwa perlakuan
kombinasi GA3 60 ppm dengan media zeolit sama-sama efektif dalam
memberikan pengaruh untuk menunjang pemanjangan akar tanaman kailan.
Adanya interaksi antara GA3 dengan media tanam pada panjang akar disebabkan
pengaruh konsentrasi GA3 yang tepat dalam merangsang produksi hormon auksin
dan sitokinin untuk pemanjangan akar dari dalam sel dan adanya bantuan dari
media tanam zeolit yang menghasilkan aerasi yang baik dan dapat
mempertahankan unsur hara sehingga pertumbuhan akar tanaman kailan menjadi
optimal.
e. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan mengenai pengaruh
konsentrasi GA3 terhadap pertumbuhan kailan (Brassica oleracea L. Var.
alboglabra) pada berbagai media tanam yang berbeda dengan hidroponik wick
system dapat disimpulkan bahwa (1) Konsentrasi GA3 60 ppm mampu
memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan kailan (2) Media tanam zeolit
mampu memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan kailan (3) Terdapat
interaksi antara GA3 dengan media tanam hidroponik wick system terhadap
panjang akar tanaman kailan.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa peningkatan giberelin pada suatu
tanaman selalu diiringi oleh peningkatan auksin dan sitokinin. Sehingga giberelin,
auksin, dan sitokinin bekerja secara bersama-sama pada proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman meskipun fase yang dipengaruhinya berbeda-beda. Hal ini
sesuai dengan teori Salisbury dan Ross (1992), menyatakan bahwa giberelin tidak
hanya memacu perpanjangan batang, tetapi juga pertumbuhan seluruh bagian
tumbuhan termasuk daun dan akar. Selain itu giberelin akan merangsang sintesis
auksin yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan akar.

Jurnal 2
Jurnal ini berjudul “Identifikasi Hormon Pemacu Tumbuhan Ekstrak
Cairan (SAP) Eucheuma cottonii” oleh Bakti Berlyanto Sedayu1, Jamal
Basmal, dan Bagus Sediadi Bagus Utomo. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,
KKP.
a. Pendahuluan
Pemanfaatan rumput laut, khususnya di Indonesia, hingga saat ini umumnya
masih terbatas sebagai produk pangan dan produk semi-jadi seperti agar kertas,
alkali treated cottonii (ATC), jelly-product, dan beberapa produk kosmetik.
Ekstrak rumput laut telah banyak dipasarkan sebagai bahan tambahan pada pupuk
tanaman yang manfaat serta keuntungan penggunaannya telah banyak dilaporkan
(Fornes et al., 2002; Padhi & Swain, 2006; Sivansankari et al., 2006; Prithiviraj,
2009).
Selain kaya akan kandungan mineral, nutrien anorganik, dan senyawa organik
yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, rumput laut juga diketahui
memiliki kandungan hormon pemacu tumbuh (HPT) (Mooney & Van Staden,
1985), di antaranya sitokinin (Smith & Van Staden, 1984), auksin (Abe et al.,
1972), dan giberelin (Sekar et al., 1995). Beberapa produk pupuk organik
berbahan dasar rumput laut Ascophyllum yang telah dikenal luas di pasaran
internasional yang secara umum diaplikasikan sebagai stimulan pertumbuhan
tanaman di antaranya adalah Acadian, Agri-Gro ultra, AgroKelp, Alg-A-Mic dan
BioGenesis, yang berbahan dasar rumput laut Durvillea adalah Profert dan Seasol;
dari rumput laut Ecklonia adalah Kelpak; dan yang tidak menyebutkan jenis
rumput laut yang dipakai adalah Fartum, Sea winner dan seanure (Prithiviraj,
2009).
b. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Linskens & Jackson (1987) menggunakan


HPLC Waters 2487 dan detektor UVVis. Hasil kuantitatif HPT dihitung
berdasarkan perbandingan luas area grafik senyawa HPT dengan standarnya.

c. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan Senyawa giberelin dibaca
menggunakan detektor UVVis pada panjang gelombang 254 nm. Pada jumlah
kandungan HPT ekstrak E.cottonii yang didapatkan kemudian dibandingkan
dengan jumlah kandungan HPT yang terdapat dalam pupuk organik komersial
(data sekunder).
d. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan Ekstrak cairan (sap) rumput laut E.cottonii yang
dihasilkan sebesar 54% (v/w). Hasil analisis sap tersebut menggunakan HPLC
menunjukkan hasil positif akan keberadaan kandungan hormon pemacu tumbuh
tanaman yaitu giberelin, sitokinin, dan auksin. Giberelin yang terkandung dalam
sap E.cottonii terdiri dari GA3 dan GA7 dengan konsentrasi sebesar 128 dan 110
ppm. Senyawa auksin pada jaringan tumbuhan memiliki lebih dari satu bentuk
senyawa kimia. Auksin (IAA) ekstrak cairan E.cottonii didapatkan konsentrasi
sebesar 116 ppm. Perbedaan kandungan auksin dalam ekstrak rumput laut dapat
disebabkan oleh jenis rumput laut yang digunakan sebagai bahan pupuk organik.
Maxicrop, yang berbahan dasar rumput laut Ascophylum nodossum (alga cokelat)
memiliki kandungan auksin yang lebih rendah jika dibandingkan E.cottonii.
Hasilnya didapatkan bahwa senyawa IAA terdapat pada seluruh alga laut yang
diamatinya dengan distribusi konsentrasi yang besar yaitu 0,001–0,11 ppm berat
basah. Konsentrasi IAA terendah ditemukan pada alga coklat (Phaeophyceae)
sedangkan yang tertingi pada alga merah (Rhodophyceae) sebesar 0,11 ppm (berat
basah) yaitu pada Polysiphonia urceolata. Berdasarkan data tersebut, terlihat
bahwa jumlah sitokinin yang terkandung dalam ekstrak cair E.cottonii berada
dalam kisaran yang sama dengan yang terdapat pada pupuk komersial berbahan
dasar rumput laut, bahkan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan Algifer. Pendeteksian dengan menggunakan HPLC dan detektor UV-Vis
spektrofotometer pada penelitian ini memberikan hasil sitokinin secara kuantitatif
dari senyawa zeatin dan kinetin sebesar masing-masing 117 dan 73 ppm.
Menurunnya kekuatan gel ATC yang dihasilkan dari sisa ampas rumput laut
yang telah diambil cairannya diduga karena ikut keluarnya karaginan dari sel
bersamaan dengan sap pada saat pemerasan sehingga menurunkan nilai kekuatan
gelnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan sisa padatan yang masih dapat
digunakan sebagai bahan baku ATC dengan kualitas baik, perlu dilakukan
pengeluaran sap rumput laut dengan teknik berbeda, seperti dengan cara
pengepresan talus rumput laut sampai dengan tekanan tertentu yang tidak merusak
atau menghilangkan karaginan dalam talus rumput laut.
e. Kesimpulan
Analisis ekstrak cairan (sap) rumput laut E.cottonii dengan menggunakan
HPLC didapatkan hasil positif mengandung hormon pemacu tumbuh (HPT)
tanaman yaitu giberelin, auksin dan sitokinin. Secara umum, dibandingkan dengan
HPT yang terdapat dalam produk pupuk organik rumput laut komersial, ekstrak
cairan E.cottonii menunjukkan jumlah kandungan lebih tinggi. Dengan demikian
rumput laut E.cottonii memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi bahan
pupuk organik cair, yaitu diaplikasikan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman.
Namun demikian, pemanfaatan rumput laut sisa ekstraksi sap untuk dijadikan
alkali treated cottonii (ATC) masih menghasilkan kualitas ATC yang rendah.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan ekstrak cairan (sap) rumput laut
E.cottonii dengan menggunakan HPLC didapatkan hasil positif mengandung
hormon pemacu tumbuh (HPT) tanaman yaitu giberelin, auksin dan sitokinin. Hal
ini didukung oleh teori Gardner et al., (1991) Senyawa auksin berperan dalam
proses fisiologi tumbuhan, seperti pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel,
serta sintesis protein. Giberelin diketahui mempengaruhi dormansi puncak,
pertumbuhan kambium, geotropisme, absisi dan partenokarpi, efektif
meningkatkan sel buah, perangsangan pertumbuhan antar buku sehingga
tumbuhan tidak kerdil. Sedangkan sitokinin sangat berperan dalam pembelahan sel
yang menyebabkan respon tumbuhan terhadap pertumbuhan tanaman,
pertumbuhan buah, dan germinasi kecambah (Wu & Lin, 2000).
Jurnal 3
Jurnal ini berjudul “Pengaruh Pemberian Gibberellin dan Sitokinin pada
Konsentrasi yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Gandum
(Triticum aestivum L.) Didataran Medium Jatinangor” oleh Wicaksono,F. Y.
∙T. Nurmala ∙ A.W. Irwan ∙A.S.U. Putri. Department of Crop Science, Padjadjaran
University.
a. Pendahuluan
Gandum merupakan makanan pokok kedua setelah beras di Indonesia.
Tanaman gandum memiliki adaptasi yang baik di daerah tropis yang memiliki
suhu rendah sehingga produksinya terbatas di dataran tinggi. Giberelin adalah zat
pengatur tumbuh yang berperan merangsang perpanjangan ruas batang, terlibat
dalam inisiasi pertumbuhan buah setelah penyerbukan (terlebih jika auksin tidak
berperan optimal), giberelin juga meningkatkan besaran daun beberapa jenis
tumbuhan. Respons terhadap giberelin meliputi peningkatan pembelahan sel dan
pembesaran sel. Pemberian giberelin sebanyak 250 ppm memberikan pertumbuhan
dan hasil terbaik pada tanaman gandum kultivar dewata karena menunjukan bobot
biji per malai dan bobot biji per tanaman tertinggi (Ariani et.al., 2014). Pemberian
sitokinin mungkin dapat melengkapi perlakuan GA3. Sitokinin dapat berfungsi
untuk meningkatkan pembentukan anakan pada tanaman serealia, sehingga anakan
dapat ditingkatkan (Pavlista et.al.,2013).
Pemberian giberelin dan sitokinin masingmasing dapat menunda penuaan pada
tanaman gandum sehingga umur pertumbuhan dapat
berlangsunglebihlamayangmenyebabkanhasil fotosintesis dapat diakumulasikan
lebih banyak. Dengan demikian, diharapkan konsentrasi giberelin dapat dikurangi
pada pemberian konsentrasisitokinintertentu.
b. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dilakukan dalam
lingkungan tidak terkendali. Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak
Kelompok dengan rancangan perlakuan faktorial. Perlakuan terdiri dari dua faktor,
masing-masing terdiri dari tiga taraf,yang diulang tiga kali sehingga terdapat 27
plot percobaan. Faktor pertama adalah konsentrasi giberelin, terdiri dari taraf 150
ppm (g1), 250 ppm (g2), dan 350 ppm (g3). Faktor kedua adalah konsentrasi
sitokinin, terdiri dari taraf 20 ppm (s1), 40 ppm (s2), dan 60 ppm (s3). Petak
kontrol dibuat untuk membandingkan penampilan tanaman dengan tanpa
pemberian giberelin maupun sitokinin. Ukuran petak percobaan yang digunakan
adalah 3mx4m.

c. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan komponen pertumbuhan
meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, kandungan klorofil, dan indeks luas daun.
Masing-masing diamati pada umur 8 mst. Komponen hasil meliputi jumlah malai,
panjang malai, jumlah biji per malai, bobot 100 biji, dan bobot biji permalai.
Pengamatan hasil dilakukan pada bobot biji pertanaman. Perbedaan nilai rata-rata
taraf suatu faktor pada taraf faktor lain atau perbedaan nilai ratarata suatu taraf
pada satu faktor secara mandiri diuji menggunakan Duncan Multiple Range Test
padatarafnyata5%.
d. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan pada kisaransuhu rata-rata selama percobaan
adalah 23,0–23,4 0C. Kelembaban selama percobaan berkisar antara 73–89 %,
sesuai dengan syarat tumbuh tanaman gandum. Curah hujan selama fase vegetatif
(0 – 63hst) berkisar antara 1,7–7,4 mm/bulan, sedangkan fase generatif (63–133
hst) berkisar antara 0–0,1 mm/bulan. Kekurangan air selama fase generative
disuplai dari penyiraman. Umur berbunga tanaman gandum yang diberi perlakuan
giberelin dan atau sitokinin selama percobaan adalah 63 HST, sedangkan yang
tidak diberi perlakuan giberelin dan atau sitokinin hanya 55 HST. Umur panen
gandum yang diberi perlakuan giberelin dan atau sitokinin selama percobaan
adalah 133 HST, sedangkan yang tidak diberi perlakuan giberelin dan atau
sitokinin hanya 105 HST. Tinggi tanaman pada umur 8 mst menunjukkan adanya
interaksi antara konsentrasi giberelin dengan sitokinin. Pemberian sitokinin sampai
batas 40 ppm pada semua taraf giberelin meningkatkan tinggi tanaman. Pemberian
giberelin sampai batas 250 ppm meningkatkan tinggi tanaman pada taraf sitokinin
20 ppm dan 40 ppm, tetapi tidak berbeda nyata pada taraf sitokinin 60 ppm. Tinggi
tanaman yang tidak diberikan giberelin maupun sitokinin (kontrol) memiliki rata-
rata 54,53 cm. Bila dibandingkan dengan kontrol, tinggi tanaman yang diberi
giberelin maupun sitokinin memiliki tinggi yang lebih panjang.
Interaksi antara sitokinin dan giberelin terjadi pada indeks luas daun. Pemberian
konsentrasi sitokinin sampai 40 ppm memberikan indeks luas daun tertinggi,
kemudian menurun di konsentrasi sitokinin 60 ppm pada taraf konsentrasi
giberelin 150 ppm. Pemberian konsentrasi sitokinin sampai 40 ppm tidak
meningkatkan luas daun, malah menurun di konsentasi sitokinin 60 ppm pada taraf
konsentrasi giberelin 250 ppm. Pemberian konsentrasi sitokinin sampai 60 ppm
menurunkan indeks luas daun pada taraf konsentrasi giberelin 250 ppm. Indeks
luas daun tanaman yang tidak diberi giberelin dan sitokinin (1,84) lebih rendah
dibandingkan tanaman yang diberi giberelindanatausitokinin. Tidak terdapat
interaksi antara konsentrasi giberelin dan sitokinin terhadap bobot biji per
tanaman. Konsentrasi giberelin dan sitokinin secara mandiri juga tidak
berpengaruh terhadap hasil tanaman (bobot biji pertanaman).
e. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan Terdapat interaksi
terhadap komponen pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah anakan, dan indeks luas
daun),dan komponen hasil (panjang malai) sehingga pemberian konsentrasi
sitokinin dapat menurunkan konsentrasi giberelin. Giberelin dan sitokinin
mengurangi jumlah biji karena memicu biji steril.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa terdapat komponen pertumbuhan
(tinggi tanaman, jumlah anakan, dan indeks luas daun), pemberian konsentrasi
giberelin dan sitokinin tidak berpengaruh terhadap hasil tanaman karena
komponen hasil tanaman banyak yang tidak dipengaruhi oleh giberelin dan
sitokinin, terutama pada jumlah biji per malai. Jumlah biji per malai yang rendah
menyebabkan bobot biji per malai dan bobot biji pertanaman menjadi rendah.
Jurnal 4
Jurnal ini berjudul Jurnal ini berjudul “Kadar Hormon Sitokinin pada
Tanaman Kenaf (Hibiscus Cannabinus L.) Bercabang dan Tidak Bercabang”
oleh Yunin Hidayati, S.Si., M.Si. Program Studi Pendidikan IPA, FKIP,
Universitas Trunojoyo Madura.
a. Pendahuluan
Tanaman kenaf pada umumnya tidak menghasilkan cabang produktif dan hanya
menghasilkan siwilan-siwilan (bakal cabang yang tidak tumbuh menjadi cabang)
saja. Berdasarkan keberadaan cabangnya tanaman kenaf dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu kenaf tidak bercabang dan kenaf bercabang. Berdasarkan
Descriptors and Descriptor States for Characterisation and Preliminary
Evaluation Hibiscus cannabinus and H. sabdarifa yang dikeluarkan oleh
International Jute Organisation Germplasm Project dalam Arumingtyas (2006),
bahwa pada dasarnya tipe percabangan kenaf ada 6 yaitu: 0 untuk tidak bercabang
atau tidak ada pertumbuhan tunas aksilar; 1 untuk percabangan sangat lemah; 5
untuk peracabangan sedang; 7 untuk percabangan kuat dan 9 untuk percabangan
sangat kuat. Menurut Gardner (1991) pembentukan kuncup dan cabang terjadi
karena dipacu oleh adanya sinergisme antara auksin dan sitokinin, rasio
konsentrasi tertentu hormon auksin-sitokinin dalam tanaman mampu membentuk
cabang pada tanaman.
b. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Metode Penelitian ini terdiri atas 4 tahap,
yaitu: Penanaman, biji kenaf varietas KR11, galur SM004 dan galur bercabang
dengan media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dan humus dengan
perbandingan 2:1, yang diletakkan di rumah kaca dan diatur dengan jarak 40 x 40
cm. Penyemprotan dengan fungisida dan juga dilakukan pemupukan. Pengamatan
morfologi dilakukan setelah tanaman berumur 3 bulan, meliputi pengamatan
terhadap: tinggi tanaman, jumlah nodus atau ruas pada batang dan jumlah dan
panjang cabang pada nodus. Ekstraksi Sitokinin pada tanaman kenaf varietas
KR11, galur SM004 dan galur bercabang dilakukan dengan metode Unyayar.
c. Analisis Data
Pada penelitian ini menggunakan Analisis data untuk mengetahui perbandingan
tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang cabang, jumlah nodus dan kadar sitokinin
pada kenaf varietas KR11, galur SM004 dan galur bercabang dilakukan dengan
analisis statistik yaitu ANAVA tunggal serta korelasi dan regresi.
d. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan pada morfologi tanaman kenaf bercabang dan
tidak bercabang tampak bahwa ada perbedaan karakter morfologi yang meliputi
tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang cabang dan jumlah nodus pada tanaman
kenaf galur bercabang, kontrol tidak bercabang KR11 dan kontrol bercabang
SM004. Kontrol tidak bercabang KR11 memiliki ketinggian tertinggi dan jumlah
cabang paling sedikit dibanding lainnya. Kontrol bercabang SM004 memiliki
tinggi paling rendah dan jumlah cabang paling banyak dibanding lainnya. Rata-
rata ketinggian tanaman paling tinggi adalah kontrol tidak bercabang KR11 yaitu
230,6 ± 36,7 cm dan paling rendah adalah kontrol bercabang SM004 yaitu 116,3 ±
64,4 cm. Sedangkan jumlah cabang paling banyak yaitu kontrol bercabang SM004
mencapai 5,6 ± 2,7 cabang tiap tanamannya dan paling sedikit adalah KR11 yang
memiliki ratarata 0,8 ± 0,8 cabang tiap tanamannya.
Dapat diketahui bahwa tanaman kenaf galur SM004 memiliki kadar sitokinin
yang tertinggi dibandingkan dengan galur bercabang dan KR11. Rata-rata
konsentrasi sitokinin tertinggi terletak pada ujung akar sebesar 0,2969. Nilai rata-
rata konsentrasi sitokinin pada ujung batang, nodus 15, nodus 10 dan nodus 20
memiliki notasi yang sama, masing- masing sebesar 0,0503, 0,0658, 0,0914 dan
0,0914. Untuk konsentrasi paling rendah adalah di ujung cabang.
e. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Konsentrasi sitokinin (zeatin) pada ujung akar
memiliki konsentrasi paling tinggi, nodus 10 dan nodus 20 memiliki konsentrasi
yang sama dan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi bila di bandingkan pada
nodus 15, untuk konsentrasi paling rendah adalah di ujung cabang. Pada
pengamatan morfologi ada perbedaan karakter- karakter morfologi yang diamati
dalam peneltian ini, yaitu meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang
cabang, jumlah nodus dan letak cabang pada nodus.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa bahwa semakin tinggi tanaman
maka jumlah cabang yang dihasilkan semakin sedikit dan sebaliknya semakin
rendah tinggi tanaman maka jumlah cabang yang dihasilkan semakin banyak. Dan
jika semakin banyak kadar sitokinin pada tanaman maka semakin banyak juga
cabang yang dihasilkan oleh tanaman.
Jurnal 5

Jurnal ini berjudul “Respons Pertumbuhan Benih Kopi Robusta terhadap


Waktu Perendaman dan Konsentrasi Giberelin (GA3)” oleh Novi Mega Pertiwi,
M. Tahir dan Made Same. Jurusan Budidaya Tanaman Perkebunan, Politeknik Negeri
Lampung.
a. Pendahuluan
Kopi adalah salah satu komoditas unggulan dalam salah satu sub sektor
perkebunan. Kopi memiliki peluang pasar yang baik di dalam maupun luar negeri.
Biji kopi bermutu dihasilkan dari tanaman kopi yang baik kualitasnya. Aspek
budidaya tanaman kopi yang cukup penting untuk dipelajari ialah proses pembibitan
atau perbanyakan. Tahir (1987), mengemukakan bahwa benih kopi tidak mengalami
dormansi, artinya buah yang tingkat kematangan fisiologi memenuhi syarat untuk
dipanen, biji tersebut bisa tumbuh bila dibibitkan. Giberelin merupakan zat pengatur
tumbuh buatan yang berhubungan erat dengan pertumbuhan karena GA3 dapat
mengendalikan sintesis enzim hidrolitik pada perkecambahan biji. Giberelin dapat
memecahkan dormansi biji dan tunas pada sejumlah tanaman. Senyawa-senyawa gula
dan asam-asam amino, zat-zat dapat larut yang dihasilkan oleh aktivitas amilase dan
protease, ditranspor ke embrio, dan di sini zat-zat ini mendukung perkembangan
embrio dan munculnya kecambah (Heddy, 1989).
b. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK)


Faktorial, terdiri dari 2 faktor perlakuan dan 3 ulangan. Pengamatan yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah daya kecambah, persentase benih berkecambah, panjang
hipokotil, diameter hipokotil, panjang akar, luas daun, dan bobot kering akar dan
daun.
c. Analisis Data
Analisis data yaitu dengan cara homogenitas ragam antara perlakuan diuji dengan
Statistik.
d. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian di dapati bahwa hasil uji sidik ragam variabel daya
kecambah benih menunjukkan bahwa GA3 berpengaruh terhadap daya berkecambah,
akan tetapi pada perlakuan waktu perendaman serta interaksi antara konsentrasi GA3
dan waktu perendaman tidak berpengaruh terhadap daya kecambah. Daya
berkecambah biji kopi yang terbaik adalah perlakuan perendaman dengan GA3
konsentrasi 1500 mg.l-1 (G3) karena menghasilkan daya berkecambah >80% dengan
daya berkecambah sebesar 85,33%. Persentase benih berkecambah pada perlakuan
G3 sebesar 21,33% dan persentase benih tumbuh terendah pada perlakuan tanpa GA3
(G0) sebesar 9,33%. Persentase benih berkecambah tertinggi pada perlakuan waktu
perendaman 24 jam (A4) dan jumlah benih terendah pada perlakuan A1 (waktu
perendaman 12 jam). Luas daun tertinggi pada perlakuan G2A4 (konsentrasi GA3
1250 mg.l-1 dan perendaman selama 24 jam) dan luas daun terendah pada perlakuan
G2A2 (konsentrasi GA3 1250 mg.l-1 dan perendaman selama 16 jam).
e. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian Perlakuan waktu perendaman terbaik pada


perendaman selama 24 jam dapat meningkatkan persentase benih berkecambah,
panjang hypocotyl, dan bobot berangkasan benih kopi robusta. Interaksi antara waktu
perendaman dan konsentrasi GA3 terbaik pada perlakuan konsentrasi GA3 1500
mg.l-1 dan perendaman selama 24 jam, konsentrasi GA3 1250 mg.l-1 dan
perendaman selama 24 jam serta konsentrasi GA3 1500 mg.l-1 dan perendaman
selama 12 jam dapat meningkatkan persentase benih berkecambah, luas daun, dan
bobot berangkasan benih kopi robusta.
Berdasarkan hasil analisis, di dapati bahwa pemberian hormon giberalin
berpengaruh terhadap daya berkecambah. Penggunaan giberelin mampu mematahkan
dormansi pada biji kopi dikarenakan giberelin merupakan hormon yang mampu
mempercepat perkecambahan.

Anda mungkin juga menyukai