Anda di halaman 1dari 29

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Kajian Teori


2.2.1 Evaluasi Pembelajaran
2.1.1.1. Pengertian Evaluasi
Kata evaluasi yang dalam istilah evaluation menurut Gronlund tahun 1985
(dalam Djaali, 2008) adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau
membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan program telah tercapai.
Sedangkan Wiersma dan Jurs mengatakan:
Evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan testing yang
juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan
kegiatan mengukur dan menilai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas dari pengukuran dan penilaian
(Hamzah, 2014: 12).

Komponen evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan yang telah


ditentukan.Hasil dari kegiatan evaluasi dapat digunakan sebagai umpan balik
(feedback) untuk melaksanakan perbaikan dalam kegiatan pembelajaran yang
berkaitan dengan materi yang digunakan, pemilihan media, pendekatan
pengajaran, dan metode dalam pembelajaran.
Dalam Permen No. 41 tahun 2007 tentang Standar proses dinyatakan
bahwa:
“Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas

pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan poses

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil

pembelajaran. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara”:

(Baskoro & Wihaskoro, 2013: 20)

1) Membandingkan poses pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan


standar proses
2) Mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran sesuai
dengan kompetensi guru

7
8

2.1.1.2. Pengertian Evaluasi Pembelajaran


Evaluasi pembelajaran merupakan penilaian kegiatan dan kemajuan belajar
peserta didik yang dilakukan secara berkala dalam bentuk ujian, praktikum, tugas
dan atau pengamatan oleh pengajar. Bentuk ujian meliputi ujian tengah semester,
ujian akhir semester, ujian tugas akhir di mana pembobotannya ditentukan atas
kebersamaan antara pengampu mata kuliah dan penyusun silabi atau instansi yang
bersangkutan. Peserta didik diperbolehkan mengikuti ujian dengan persyaratan
tertentu (Hamzah, 2014: 14).
Dengan pengertian yang berbeda Ralph W. Taylor yang dikutip Brinkerhoff
menyatakan:
“evaluation as the process of determining to what extent the educational

objectives are actually being relized.”

Dalam membahas masalah evaluasi dalam bidang pendidikan, ada tiga


istilah yang sering dipakai, yaitu pengukuran (measurement), penilaian
(assessment), evaluasi (evaluation). Pengukuran (measurement) adalah tindakan
membandingkan sesuatu dengan 1 ukuran tertentu. Dengan kata lain, pengukuran
adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas daripada sesuatu.
Penilaian (assessment) adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) hasil belajar dari peserta didik. Evaluasi
(Evaluation) adalah suatu tindakan atau kegiatan yang sistematis dan
berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) daripada sesuatu
berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu. Salah satu kompetensi guru
professional adalah kemampuan mengadakan evaluasi (Baskoro & Wihaskoro,
2013: 19).
Evaluasi pembelajaran oleh guru dilakukan secara berkesinambungan untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian,
ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas
(Umasih, 2012: 218).
2.1.1.3. Tujuan Evaluasi Pembelajaran
Tujuan utama melakukan evaluasi dalam suatu proses pembelajaran adalah
untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan
pembelajaran oleh siswa sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya (Silverius,
9

1991: 9). Evaluasi berhubungan dengan indikator kompetensi dari suatu materi
pembelajaran. Kita ketahui bahwa evaluasi dilaksanakan dengan berbagai tujuan.
Evaluasi yang berkaitan dengan pembelajaran matematika bertujuan: a. deskripsi
kemampuan belajar, b. tingkat keberhasilan belajar, c. tindak lanjut hasil
penilaian, d. pertanggungjawaban (Hamzah,2014: 71). Seperti bagan berikut:

Deskripsi
Kemampuan Belajar

Tingkat Keberhasilan
Belajar
Evaluasi
Pembelajaran

Tindak Lanjut Hasil


Penilaian

Pertanggungjawaban

Gambar 2.1. Tujuan Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran memiliki tujuan sebagai berikut (Baskoro &


Wihaskoro, 2013: 22):
1) Untuk mengetahui taraf efisiensi metode yang digunakan oleh
pendidik.
2) Mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses
pembelajaran.
3) Mengetahui apakah materi yang di pelajari dapat dilanjutkan dengan
bahan yang baru atau diulangi.
4) Untuk mengetahui efektifitas proses pembelajaran yang dilaksanakan.
5) Untuk mengetahui kesesuaian presepsi dan pemikiran peserta didik
dalam mengikuti proses pembelajaran.
10

6) Untuk mengetahui apakah komponen-komponen dalam proses


pembelajaran sudah memberikan kontribusi positif bagi proses
pembelajaran.
7) Mengetahui sejauh mana perkembangan dari pelaksanaan
pembelajaran.
8) Mengetahui dampak apa yang terjadi dari proses pembelajaran.
9) Bahan pertimbangan untuk menentuakan proses selanjutnya agar lebih
efektif dan efisien.

Minimal terdapat 6 tujuan evaluasi dalam kaitannya dengan belajar


mengajar (Sukardi, 2011: 9). Keenam tujuan evaluasi adalah sebagai
berikut:

1) Menilai ketercapaian (attainment) tujuan. Ada keterkaitan antara


tujuan belajar, metode evaluasi, dan cara belajar siswa. Cara evaluasi
biasanya akan menentukan cara belajar siswa, sebaliknya tujuan
evaluasi akan menentukan metode evaluasi yang digunakan oleh
seorang guru.
2) Mengukur macam-macam aspek belajar yang bervariasi. Belajar
dikategorikan sebagai kognitif, psikomotor, dan afektif. Batasan
tersebut umumnya dieksplisitkan sebagai pengetahuan, keterampilan,
dan nilai.
Semua tipe belajar sebaiknya dievaluasi dalam proporsi yang tepat. Jika
guru menyatakan proporsi sama maka siswa dapat menekankan dalam
belajar dengan proporsi yang digunakan guru dalam mengevaluasi
sehingga mereka dapat menyesuaikan dalam belajar. Guru memilih
sarana evaluasi pada umumnya sesuai dengan tipe tujuan. Proses ini
menjadikan lebih mudah dilaksanakan, jika seorang guru menyatakan
tujuan dan merencanakan evaluasi secara berkaitan.
3) Sebagai sarana (means) untuk mengetahui apa yang siswa telah
ketahui. Setiap orang masuk kelas dengan membawa pengalamannya
masing-masing. Siswa mungkin juga memiliki karakteristik yang
bervariasi misalnya dari keluarga ekonomi menengah atau atas,
keluarga yang pecah, dan keluarga yang memiliki keterampilan khusus.
11

Hal yang penting diketahui oleh guru adalah ada asumsi hasil akhirnya
mengarah pada suatu hal yang sama terhadap pengetahuan mereka, dan
kemudian mendapatkan dari mereka sesuatu yang sama. Pengalaman
lalu tersebut kemudian digunakan sebagai awal dalam proses belajar
mengajar melalui evaluasi pretes pada para siswa. Cara yang sering
dilakukan oleh guru adalah menggunakan angket dan ceklis. Berangkat
dari perbedaan pengalaman yang objektif dan realistis dapat
dikembangkan guna memotivasi minat belajar siswa. Di samping juga
pengalaman lalu siswa dalam belajar mempunyai keperluan belajar
yang bervariasi. Oleh karena itu, kebutuhan siswa perlu diperhatikan
disamping juga kekuatan, kelemahan, dan minat siswa sehingga mereka
termotivasi untuk belajar atas dasar apa yang telah mereka miliki dan
mereka butuhkan.
4) Memotivasi belajar siswa. Evaluasi juga harus dapat memotivasi
belajar siswa. Guru harus menguasai bermacam-macam teknik
motivasi, tetapi masih sedikit diantara para guru yang mengetahui
teknik motivasi yang berkaitan dengan evaluasi. Dari penelitian
menunjukkan bahwa evaluasi memotivasi belajar siswa sesaat memang
betul, tetapi untuk jangka panjang masih diragukan. Hasil evaluasi akan
menstimulasi tindakan siswa. Rating hasil evaluasi yang baik akan
dapat menimbulkan semangat dan dorongan untuk mempertahankan
atau meningkatkan yang akhirnya memotivasi belajar siswa secara
kontinu. Tujuan evaluasi yang realistis, yang mampu memotivasi
belajar para siswa dapat diturunkan dari evaluasi. Dengan
merencanakan secara sistematis sejak pretes sampai ke postes, guru
dapat membangkitkan semangat siswa untuk tekun belajar secara
kontinu.
5) Menyediakan informasi untuk tujuan bimbingan dan konseling.
Informasi diperlukan jika bimbingan dan konseling yang efektif
diperlukan, informasi yang berkaitan dengan problem pribadi seperti
data kemampuan, kualitas pribadi, adaptasi sosial, kemampuan
membaca, dan skor hasil belajar. Informasi juga diperlukan untuk
bimbingan karier yang efektif. Identifikasi minat siswa dan pekerjaan
12

yang disenangi adalah cara yang terbaik untuk membantu siswa


memilih pekerjaan. Seringkali terjadi bahwa siswa minta kepada
gurunya untuk membantu memecahkan problem pribadinya.Pada posisi
demikian, guru perlu mengetahui informasi pribadi untuk kemudian
guru mengambil keputusan terbaiknya. Proses yang berkaitan informasi
pribadi tersebut dapat dilakukan dengan memberikan kuesioner, atau
alat rating untuk membantu membuat keputusan.
6) Menjadikan hasil evaluasi sebagai dasar perubahan kurikulum.
Keterkaitan evaluasi dengan instruksional adalah sangat erat. Hal ini
karena evaluasi merupakan salah satu bagian dari instruksional. Di
samping itu, antara instruksional dengan kurikulum juga saling berkait
seperti instruksional dapat berfungsi sebagai salah satu komponen
penting suatu kurikulum. Beberapa guru sering mengubah prosedur
evaluasi dan metode mengajar dengan mudah menurut kepentingan
mereka, sedangkan untuk melakukan perubahan kurikulum perlu
pertimbangan yang lebih luas. Follow up study dan informasi alumni
merupakan informasi yang berharga untuk melakukan revisi kurikulum.
Perubahan itu akan tepat, jika perubahan kurikulum didasarkan pada
hasil evaluasi dengan skop yang lebih luas. Pengalaman kerja siswa,
analisis kebutuhan masyarakat, dan analisis pekerjaan merupakan
teknik konvensional yang sering digunakan untuk merubah kurikulum.

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari kegiatan evaluasi adalah: (a)
untuk merangsang kegiatan siswa dalam menempuh program pendidikan.
Artinya, tanpa adanya evaluasi, maka tidak akan mungkin timbul kegairahan
atau rangsangan pada diri siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan
prestasinya; (b) untuk mencari dan menentukan faktor-faktor penyebab
keberhasilan atau kegagalan siswa dalam mengikuti program pendidikan pada
umumnya dan program pembelajaran pada khususnya; (c) untuk memberikan
bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan bakat siswa yang
bersangkutan; (d) untuk memperoleh bahan laporan tentang perkembangan
siswa yang diperlukan oleh orang tua siswa dan lembga pendidikan; dan (e)
untuk memperbaiki mutu proses pembelajaran, baik cara belajar siswa maupun
metode yang digunakan guru dalam mengajar (Sudaryono, 2012: 52).
13

2.1.1.4. Fungsi Evaluasi Pembelajaran


Bila berangkat dari pemberian instrumen jenis tes sebagai suatu alat
pengukur dan untuk melakukan penilaian maka fungsi evaluasi dengan tes ini
adalah penempatan, formatif, diagnostik, sumatif. Di samping itu, fungsi evaluasi
sebagai selektif (Hamzah, 2014: 56).
1) Selektif. Evaluasi dalam bentuk tes matematika berfungsi menyeleksi
antara siswa yang pintar, kurang pintar, dan kepintarannya diatas rata-rata.
Kita dapat menyeleksi kelompok siswa yang akan kita kirim misalnya
mengikuti olimpiade matematika. Dari tes itu kita dapat menentukan secara
kuantitatif siswa yang mempunyai nilai misalkan di atas 75. Sebelum
mengirim tim ikut olimpiade matematika tingkat nasional panitia seleksi
yang dibentuk kepala sekolah mengumpulkan soal-soal olimpiade,
kemudian didaftar mereka yang ingin mengikuti. Pada waktu tertentu
dilakukan tes terhadap mereka dan hasilnya sebagai calon dengan
komposisi tertentu untuk mewakili sekolah dalam forum olimpiade
matematika tingkat nasional. Peserta yang ikut seleksi diambil dari ranking
kelas bidang matematika agar lebih efektif katimbang mempersilahkan
semua siswa berhak mendaftar ikut seleksi.
Pola seleksi dilakukan juga oleh Jurusan Matematika dengan
menyelenggarakan Lomba Cerdas Cermat Matematika bagi siswa
Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Swasta, siswa Madrasah Aliyah Negeri
dan Swasta se Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi). Panitia penyelenggara terdiri dari Pembina yang diambil dari
beberapa dosen matematika, dan panitia pelaksana yang terdiri dari
pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika.
Panitia yang mengumpulkan soal tes matematika untuk satuan pendidikan
Tsanawiyah dan Aliyah dari beberapa sumber antara lain dari dosen,
panitia pelaksana, dari guru-guru Tsanawiyah dan guru-guru Aliyah serta
sumber lain yang setara. Soal seleksi ini diberikan dalam beberapa
tingkatan mulai dari babak penyisihan di mana dilakukan tes seleksi secara
tertulis dalam waktu tertentu di tingkat wilayah masing-masing. Misalkan
untuk di DKI dilakukan tes seleksi babak penyisihan di tiap kodya atau
tingkat walikota yaitu Jakarta Barat, Timur, Selatan, Utara, dan Pusat. Dari
14

seleksi itu diperoleh juara-juara tingkat walikota. Dari tingkat walikota


diseleksi untuk menentukan sekolah yang menjadi juara tingkat DKI
Jakarta. Dari hasilnya diperoleh juara tingkat DKI Jakarta. Pemenang dari
tingkat wilayah diseleksi untuk mendapatkan status pemenang tingkat
Jabodetabek baik untuk satuan pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah.
2) Diagnostik. Siswa sering kali mendapat kesulitan dalam belajar
matematika. Akan tetapi, kita tidak tahu secara terinci indikator kompetensi
yang manakah sukar bagi mereka? Berapa banyak yang telah dikuasai
siswa? Jawaban dari masalah ini dapat diperoleh dari diadakannya tes
diagnostik, di mana bukan nilai yang kita jaring dari siswa akan tetapi
dalam pengolahan datanya dihitung dan ditentukan indikator yang sulit
baginya. Istilah diagnosis seperti berlaku pada dokter di mana sebelum
mengobati pasien tentunya berusaha mencari penyebab sakit yang diderita
pasien memalui pemeriksaan secara intensif setelah itu baru member obat
pada pasien. Diagnosis mempunyai arti (1) penentuan jenis penyakit
dengan cara meneliti atau memeriksa gejala-gejalanya, (2) pemeriksaan
terhadap suatu hal. Untuk guru sebelum memberikan pelajaran/remidi perlu
terlebih dahulu mencari penyebab kesulitan belajar siswanya dengan istilah
mendiagnosis. Tes giagnostik bertujuan mendiagnose kesulitan belajar
siswa untuk mengupayakan perbaikannya. Sepintas lalu menurut Suke
Silverius seperti tes formatif namun kenyataannya penyusunannya sangat
berbeda karena tujuannya untuk hal tersebut.
3) Fungsi Penempatan. Fungsi evaluasi sebagai penempatan yang dimaksud
adalah dengan memberikan tes kita akan dapat menentukan dan
menempatkan siswa dalam keunggulannya pada bidang tertentu. Apakah
berhubungan dengan spasial, menghitung, ataukah keterampilan? Tes jenis
ini disajikan pada awal tahun pelajaran untuk mengukur kesiapan siswa
dan mengetahui tingkat pengetahuan yang telah dicapai sehubungan
dengan pelajaran yang akan disajikan. Siswa dapat ditempatkan pada yang
sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Pada sistem klasikal
hal ini tidak berlaku. Sekolah yang menggunakan sistem individual tes ini
biasanya disusun dengan ruang lingkup yang luas dan memiliki tingkat
kesukaran yang bervariasi agar dapat membedakan antara siswa yang
15

menguasai dengan yang belum, tes semacam ini dibuat dengan mengacu
pada norma. Tes yang mengacu pada norma disebut Tes Acuan Norma
(Norm Referenced Test) atau yang lebih umum dikatakan PAN (Penilaian
Acuan Norma). Hasil tes yang diberikan menempatkan siswa pada bidang
yang menjadi unggulannya seperti senang pada arsitektur, senang pada
akutansi atau senang kepada seni dan lainnya. Dalam masalah lain asa
evaluasi yang kadang disebut TPA (Tes Potensi Akademik), pada ujian
masuk di mana terdapat banyak pilihan jurusan yang diminati.
4) Pengukuran Keberhasilan. Fungsi evaluasi sebagai pengukuran
keberhasilan tidak hanya bermakna bagi siswa, tetapi juga bagi guruatau
dosen. Bila evaluasi matematika yang diberikan rerata mendapatkan nilai B
maka kita sebagai pendidik dikatakan telah berhasil mendidik mereka.
Sementara itu, bagi siswa mengindikasikan bahwa proses pembelajaran
yang telah dilalui dan yang telah dipelajari dengan tekun dan rajin
membuahkan hasil yakni ia lulus dengan hasil baik. Evaluasi berfungsi
sebagai pengukuran keberhasilan berarti sifat evaluasi itu dapat
membedakan antara siswa yang pintar dan yang tidak pintar di mana sifat
itu berhubungan dengan berhasil dan tidak berhasil.
5) Tes Formatif. Tes jenis ini disajikan di tengah program pembelajaran
untuk memantau atau memonitor kemajuan belajar siswa demi
memberikan umpan balik baik kepada siswa maupun kepada guru.
Berdasarkan hasil tes itu guru dan siswa dapat mengetahui apa yang masih
perlu dijelaskan kembali agar materi pembelajaran itu dapat dikuasai lebih
baik. Siswa dapat mengetahui bagian mana dari pokok bahasan dan
subpokok bahasan yang masih belum dikuasainya agar dapat
mengupayakan perbaikannya. Guru dapat melihat bagian mana yang
umumnya belum dikuasai siswa sehingga dapat mengupayakan penjelasan
yang lebih baik dan lebih luas agar bahan tersebut dapat dikuasai siswa.
Tes formatif ini mengacu pada kriteria karena itu disebut tes acuan kriteria
(Criterion Referenced Test). Dalam tes yang mengacu pada CRT dibuatkan
tugas-tugas berupa tujuan pembelajaran yang harus dicapai siswa untuk
dapat dikatakan berhasil dalam belajarnya. Di samping acuan tujuan
pembelajaran dapat juga digunakan acuannya adalah indikator kompetensi
16

bagi kurikulum berbasis atau KTSP. Tugas-tugas itu merupakan kriteria


yang dipakai untuk menilai apakah siswa berhasil atau tidak dalam
pembelajarannya. Tes formatif ditempatkan pada bagian akhir dari RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).
6) Tes Sumatif. Tes jenis ini biasanya diberikan pada akhir tahun ajaran atau
akhir suatu satuan pendidikan. Meskipun maknanya telah diperluas untuk
dipakai pada tes akhir semester. Tes ini dimaksudkan untuk memberikan
nilai yang menjadi dasar penentuan kelulusan dan/atau pemberian sertifikat
bagi yang telah menyelesaikan pembelajaran dengan hasil baik. Karena tes
ini umumnya merupakan tes akhir tahun atau tes akhir satuan pendidikan,
maka ruang lingkupnya pun sangat luas meliputi seluruh bahan yang telah
disajikan sepanjang tahun atau sepanjang jenjang satuan pendidikan.
Tingkat kesukaran soalnya pun bervariasi.
Asnawi Zainul dan Noehi Nasution menyatakan masih ada fungsi-fungsi
lain dari evaluasi pembelajaran yaitu:
a. Remedial,
b. Umpan balik,
c. Memotivasi dan membimbing anak,
d. Perbaikan kurikulum dan program pendidikan,
e. Pengembangan ilmu
2.1.1.5. Prinsip-Prinsip Evaluasi Pembelajaran
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam melakukan evaluasi.
Betapapun baiknya prosedur evaluasi yang diikuti dan betapa pun sempurnanya
teknik evaluasi yang diterapkan, apabila tidak dipadukan dengan prinsip-prinsip
penunjangnya, maka hasilnya akan kurang dari yang diharapkan. Setidaknya ada
tujuh prinsip yang harus diperhatikan guru yang pada intinya menjadi factor
pendukung/penunjang dalam melakukan evaluasi yang berhasil (Sudaryono, 2012:
54).
1. Prinsip berkesinambungan (continuity)
Yang dimaksud dengan prinsip ini yaitu bahwa kegiatan evaluasi hasil
belajar yang baik adalah evaluasi yang dilaksanakan secara terus-menerus
(kontinu). Artinya, guru harus selalu memberikan evaluasi kepada siswa
sehingga kesimpulan yang diambil akan lebih tepat. Dengan evaluasi hasil
17

belajar yang dilaksanakan secara teratur, terencana, dan terjadwal, maka


memungkinkan lagi guru untuk memperoleh informasi yang dapat
memberikan gambaran mengenai kemajuan dan perkembangan peserta
didik dari awal hingga akhir program pembelajaran.
2. Prinsip menyeluruh (comprehensive)
Yang dimaksud dengan prinsip menyeluruh bahwa evaluasi hasil belajar
dapat dikatakan terlaksana dengan baik apabila evaluasi tersebut
dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh, mencakup keseluruhan aspek
tingkah laku siswa, baik aspek berfikir (cognitive domain), aspek nilai atau
sikap (affective domain), maupun aspek keterampilan (psychomotor
domain) yang ada pada masing-masing siswa.
3. Prinsip objektivitas (objectivity)
Prinsip objektivitas ini terutama berhubungan dengan alat evaluasi yang
digunakan. Maksudnya, alat evaluasi yang digunakan hendaknya
mempunyai tingkat kebebasan dari subjektivitas atau bias pribadi guru
yang bisa mengganggu. Suatu evaluasi dikatakan memiliki objektivitas
apabila dalam pelaksanaannya tidak ada faktor subjektif yang
mempengaruhi, baik yang menyangkut bentuk evaluasi maupundari pihak
evaluator sendiri.
4. Prinsip validitas (validity) dan reliabilitas (reliability)
Validitas atau kesahihan merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa
alat evaluasi yang dipergunakan, benar-benar dapat mengukur apa yang
hendak diukur. Validitas merupakan ketepatan, misalnya untuk mengukur
besarnya partisipasi siswa dalam proses pembelajaran bukan diukur
melalui nilai yang diperoleh saat ulangan, tetapi dilihat melalui kehadiran,
konsentrasi pada saat belajar, dan ketepatan dalam menjawab pertanyaan
yang diajukan oleh guru, dalam arti relevan dengan permasalahannya.
Sedangkan reliabilitas menurut Sekaran (2006) adalah suatu pengukuran
sejauh mana pengukuran tersebut tanpa bias (bebas kesalahan – error free)
dan karena itu menjamin pengukuran yang lintas waktu dan lintas beragam
item dalam instrumen. Dengan kata lain, keandalan suatu pengukuran
merupakan suatu indikasi mengenai stabilitas dan konsistensi di mana
instrumen mengukur konsep dan membantu menilai ketepatan sebuah
18

pengukuran. Artinya, hasil dari suatu evaluasi yang dilakukan


menunjukkan suatu ketetapan ketikan diberikan kepada para siswa yang
sama dalam waktu yang berlainan.
5. Prinsip penggunaan kriteria
Penggunaan kriteria yang diperlukan dalam evaluasi adalah pada saat
memasuki tingkat pengukuran, baik pengukuran dengan menggunakan
standar mutlak (penilaian acuan patokan) maupun pengukuran dengan
standar relatif (penilaian acuan norma). Dalam penilaian acuan patokan,
misalnya apabila siswa diberikan 100 soal dan setiap soal mempunyai
bobot 1, maka kedudukan siswa ditentukan berdasarkan jumlah jawaban
yang benar terhadap pertanyaan tersebut. Apabila angka 70 dianggap
bahwa siswa telah menguasai materi, maka siswa dinyatakan berhasil
apabila mendapat angka 70 atau lebih. Sedangkan penilaian acuan norma
dilakukan dengan membandingkan nilai yang diperoleh seorang siswa
dengan nilai siswa-siswa lainnya di kelas tersebut.
6. Prinsip kegunaan
Prinsip kegunaan ini menyatakan bahwa evaluasi yang dilakukan
hendaklah merupakan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi siswa maupun
bagi pelaksana. Apabila pelaksanaan evaluasi ini hanya akan menyusahkan
siswa, tanpa ada manfaat bagi dirinya sendiri secara pedagogis, maka
sebaiknya evaluasi itu tidak dilakukan. Kemanfaatan ini diukur dari aspek
waktu, biaya, dan fasilitas yang tersedia maupun jumlah siswa yang akan
mengikutinya.
2.1.2. Tes Formatif

Kata tes berasal dari bahasa Prancis kuno yaitu testum yang berarti piring
yang dibuat dari tanah untuk menyisihkan logam mulia. Alat ini digunakan untuk
memilih logam mulia yang berkualitas. Dari asal kata tes tersebut, maka dapat
diartikan bahwa tes adalah suatu alat yang digunakan untuk melihat kualitas
sesuatu hal. Seperti pengertian tes dalam buku Suharsimi bahwa tes adalah suatu
alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau
keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang
boleh dikatakan tepat dan cepat (Slamet & Maarif, 2014: 65).
19

Menurut Hopkins dan Antes mengatakan bahwa:

Tes adalah suatu instrumen, alat atau prosedur yang berisikan sejumlah
tugas yang harus dijawab oleh siswa yang hasilnya dapat digunakan untuk
mengukur suatu ciri tertentu. Melalui jawaban seseorang atas pertanyaan
dalam tes diperoleh suatu ukuran (yaitu niali numerik)
mengenaikarakteristik orang tersebut. Menurut Nitko, tes adalah instrumen
atau suatu prosedur sistematis untuk mengamati dan mendeskripsikan satu
atau lebih karakteristik siswa dengan menggunakan skala yang berbentuk
angka atau skema klasifikasi tertentu (Slamet & Maarif, 2014: 66).
Tes yang digunakan untuk mencari umpan balik (feedback) guna
memperbaiki proses belajar mengajar bagi guru maupun siswa disebut tes
formatif. Norman dalam bukunya menuliskan:

“Formative evaluation is used to monitor learning progress during

instruction and to provide continuous feedback to both pupil and techer

concerning learning successes and failures”.

Tes formatif adalah tes yang digunakan untuk memantau kemajuan belajar
siswa selama proses belajar mengajar berlangsung dalam satu program tertentu
(Dewi, 2012: 4). Tes formatif berfungsi untuk memperbaiki proses belajar
mengajar. Jadi tes formatif ini dilakukan untuk menilai hasil belajar dari tiap
satuan pelajaran yang dilakukan diakhir pelajaran. Sebab perbaikan atas proses
belajar dan mengajar harus dilakukan secara sistematis dan bertahap (Slamet &
Maarif, 2014: 66).

2.1.3. Tes Pilihan Ganda (multiple-choise)


2.1.3.1. Pengertian Tes Pilihan Ganda (Multiple Choise)
Dalam bukunya, Norman menuliskan tentang tes bentuk pilihan ganda
sebagai berikut:
“The multiple-choice item consists of a stem, which present a situation, and
several alternatives (options or choices) which provide possible solutions to
the problem. The stem may be a question or an incomplete statement. The
alternatives include the correct answer and several plausible wrong
answers called distracters. The function of the latter is to distract those
students who are uncertain of the answer” (Slamet & Maarif, 2014: 67).

Dari pengertian yang disampaikan Norman di atas, tes bentuk pilihan ganda
itu terdiri dari pernyataan pengantar dan pernyataan tidak lengkap serta beberapa
20

pilihan jawaban. Pilihan jawaban biasanya terdiri dari empat atau lima pilihan.
Dari beberapa pilihan yang ada, hanya ada satu jawaban yang benar dan jawaban
lainnya sebagai pengecoh.
Item pilihan ganda pada prinsipnya terdiri atas sebuah pokok persoalan atau
problem dan daftar pilihan yang dianjurkan untuk diisi oleh siswa yang hendak
dievaluasi. Di samping itu, setiap item tes juga dibedakan dalam dua bagian
penting, yaitu pokok persoalan dan jawaban alternatif (Sukardi, 2011: 117).
Bagian pertama disebut pokok persoalan (stem of item), yaitu bagian inti
dari kalimat yang berisi problematika hasil pembelajaran yang hendak ditanyakan
kepada siswa. Apabila dilihat lebih mendalam, pokok persoalan pada tes objektif
jenis pilihan juga bisa dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu pertanyaan langsung
dan pertanyaan tidak lengkap.Pokok persoalan dikatakan menggunakan
pertanyaan langsung, apabila bentuk kalimat yang digunakan adalah bentuk
kalimat Tanya. Pokok persoalan dikatakan menggunakan pertanyaan tidak
lengkap apabila evaluator mengontruksi kalimat dalam bentuk pernyataan dengan
masih diperlukannya siswa untuk mengisi jawaban yang paling benar.

Contoh item tes objektif dengan pertanyaan langsung.

Kota manakah yang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah?

a. Semarang
b. Bandung
c. Surabaya
d. Ambarawa

Contoh item tes objektif dengan bentuk pertanyaan melengkapi.

Ibukota provinsi Jawa Tengah adalah ……..

a. Semarang
b. Bandung
c. Surabaya
d. Ambarawa
Bagian kedua, yaitu bagian jawaban. Pada bagian ini biasanya direncanakan
dengan sistematis dan cermat oleh para evaluator, yakni mengandung satu
jawaban benar dan sisanya jawaban yang salah. Jawaban salah tersebut sesuai
21

dengan fungsinya untuk membingungkan para siswa yang tidak belajar dengan
baik. Oleh karena fungsi tersebut, beberapa jawaban salah sering disebut sebagai
jawaban penjebak (distracters). Jawaban penjebak ini juga sering disebut juga
sering disebut oleh sebagian guru sebagai jawaban alternatif atau jawaban
optional dan berfungsi memindahkan perhatian siswa dalam memilih jawaban
benar, apabila mereka tidak belajar dengan baik.

STEM

ITEM atau DISTRACTOR


BUTIR SOAL

OPTION

KUNCI

Gambar 2.2. Butir Tes Pilihan Ganda (Hamzah, 2014: 125)

2.1.3.2. Kelebihan Tes Pilihan Ganda (Multiple Choise)


Menurut Sukardi (2011: 125) dalam evaluasi pembelajaran, item tes pilihan
ganda mempunyai beberapa kelebihan yang secara ringkas dapat dicermati dalam
uraian berikut:
1) Tes pilihan ganda memiliki karakteristik yang baik untuk suatu alat
pengukur hasil belajar siswa. Karakter yang baik tersebut yaitu lebih
fleksibel dalam implementasi evaluasi dan efektif untuk mengukur tercapai
tidaknya tujuan belajar mengajar.
2) Item tes pilihan ganda yang dikontruksi dengan intensif dapat mencakup
hamper seluruh bahan pembelajaran yang diberikan oleh guru di kelas.
3) Item tes pilihan ganda adalah tepat untuk mengukur penguasaan informasi
para siswa yang hendak dievaluasi.
4) Item tes pilihan ganda dapat mengukur kemampuan intelektual atau
kognitif, afektif, dan psikomotor siswa.
5) Dengan menggunakan kunci jawaban yang sudah disiapkan secara terpisah,
jawaban siswa dapat dikoreksi dengan lebih mudah.
22

6) Hasil jawaban siswa yang diperoleh dari tes pilihan ganda dapat dikoreksi
bersama, baik oleh guru maupun siswa dengan situasi yang lebih kondusif.
7) Item tes pilihan ganda yang sudah dibuat terpisah antara lembar soal dan
lembar jawaban, dapat dipakai secara berulang-ulang.
2.1.3.3. Kelemahan Tes Pilihan Ganda (Multiple Choise)
Di samping kelemahan pokok seperti yang diuraikan diatas, item tes pilihan
ganda masih memerlukan perhatian seorang seorang guru atau evaluator,
diantaranya adalah kelemahan yang berkaitan dengan hal berikut:
1) Konstruksi item tes pilihan lebih sulit serta membutuhkan waktu yang lebih
lama dibanding dengan penyusunan item tes bentuk objektif lainnya.
2) Tidak semua guru senang menggunakan tes pilihan ganda untuk mengukur
hasil pembelajaran yang telah diberikan dalam waktu tertentu, misalnya
satu semester atau satu kuartal.
3) Item tes pilihan ganda kurang dapat mengukur kecakapan siswa dalam
mengorganisasi materi hasil pembelajaran.
4) Item tes pilihan ganda member peluang kepada siswa untuk menerka
jawaban. (Sukardi, 2011: 126)
Sedangkan ada yang berpendapat kelemahan yang dimiliki oleh bentuk tes
pilihan ganda adalah sebagai berikut:
1) Sukar dikonstruksi. Kesukaran dalam mengkonstruksi (membuat) soal
pilihan ganda terutama untuk menemukan alternatif jawaban saja, yaitu
kunci jawaban. Alternatif lainnya dicari dan ditemukan dengan tergesa-
gesa sehingga tidak akan homogen.
2) Kurang mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya.
3) Membatasi siswa untuk menyelesaikan jawaban dan pemecahan sendiri.
4) Adanya kecenderungan hanya untuk menguji dan mengukur aspek ingatan
yang merupakan aspek yang paling rendah dalam ranah kognitif.
5) Penggunaan tes pilihan ganda secara terus menerus akan menyebabkan
siswa mengetahui dan mengerti tentang suatu problem, tetapi tidak tahu
bagaimana memecahkan problem tersebut dalam situasi yang nyata.
6) Makin terbiasa seseorang dengan bentuk tes pilihan ganda,makin besar
kemungkinan ia mendapatkan skor lebih baik yang sebenarnya tidak
berdampak positif terhadap hasil individu.
23

7) Tidak dapat digunakan untuk mengukur keterampilan, keindahan,


kemampuan mengorgaisir dan menampilkan ide-ide baru dari siswa yang
sangat penting bagi pengembangan ilmu.
2.1.4. Tes Assosiasi Pilihan Ganda
Tes obyektif yang juga dikenal dengan istilah tes jawaban pendek (short
answer test) adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir
soal yang dapat dijawab oleh siswa dengan jalan memilih salah satu atau lebih
diantara beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-
masing butir soal atau dengan jalan menuliskan atau mengisikan jawabannya
berupa kata-kata atau simbol-simbol tertentu pada tempat atau ruang yang telah
disediakan untuk masing-masing butir. Ada juga yang mengemukakan bahwa tes
pilihan ganda adalah tes yang butir-butir soalnya selalu terdiridari dua
komponen utama yaitu bagian yang menghadapkan siswa kepada satu pernyataan
langsung atau sebuah pernyataanta lengkap dan dua atau lebih pilihan jawaban
yang satu lebih benar dan sisanya salah atau disebut dengan pengecoh.
The multiple-choise item requires the pupil to recognize which of several
suggested responses is the best or the correct way to answer a question or
complete a statement. Multiple choise question are found in several
patterns. Probably the most common pattern is the use of a stem, which sets
the question, followed by several alternative statements, one of which is
assumed to be the best answer (Wrighstone: 1956)

Penjelasan dari uraian di atas bahwa jenis tes pilihan ganda sangat menuntut
siswa untuk menyelesaikan sebuah pertanyaan dengan cara menjawab pertanyaan
yang dianggap paling benar atau melengkapi pernyataan tersebut. Pertanyaan tipe
pilihan ganda ini dapat ditemukan dalam beberapa pola. Mungkin pola yang
paling umum adalah pola batang atau asosiasi, yang menetapkan pertanyaan,
diikuti oleh beberapa pernyataan atau jawaban alternatif, yang salah satunya
dianggap paling benar. Pada hakikatnya bentuk soal asosiasi pilihan ganda
kemungkinan yang benar satu, dua, tiga, atau empat (Chabib, 2003). Adapun jenis
tes kombinasi, yaitu jenis tes pilihan ganda yang tiap alternatif jawaban terdiri
dari beberapa alternatif yang membentuk satu pengertian/jawaban. Apabila
kombinasinya diubah akan mengubah pengertian, sehingga menyebabkan jawaban
menjadi salah. Jenis ini sering disebut dengan jenis asosiasi pilihan ganda.
24

Menurut Sukardi, jenis tes asosiasi sering disebut tes identifikasi,


karena pada proses evaluasi para siswa diminta menghubungkan atau
mengidentifikasi satu konsep dengan konsep lainnya (Slamet & Maarif, 2014:
69). Jenis asosiasi memang memerlukan ingatan fakta dari para siswa dengan cara
yang tepat, di samping itu jenis tes asosiasi sangat cocok untuk mengungkap
kemampuan siswa dalam menentukan konsep yang memiliki hubungan, sebab
dan akibat.
Menurut Anas tes formatif obyektif bentuk multiple choice item model
asosiasi dengan lima atau empat pilihan ini terdiri dari lima atau empat
judul/istilah/pengertian, yang diberi tanda huruf abjad di depannya dan diikuti
oleh beberapa pernyataan yang diberi nomor urut didepannya. Untuk tiap
pernyataan tersebut siswa diminta memilih salah satu judul/istilah/pengertian yang
berhuruf abjad, yang menurut keyakinan siswa adalah paling cocok atau paling
benar (Slamet & Maarif, 2014: 69).
Salah satu contoh item assosiasi pilihan ganda
Petunjuk : pilihlah salah satu jawaban yang dianggap paling benar
(a) jika pertanyaan (1), (2), dan (3) benar.
(b) jika pertanyaan (1) dan (3) saja yang benar.
(c) jika pertanyaan (2) dan (4) saja yang benar.
(d) jika hanya (4) saja yang benar.
(e) jika semuanya benar.
Contoh soal assosiasi pilihan ganda:
Manakah dari bangun di bawah ini yang termasuk bangun ruang sisi lengkung?
(1) tabung
(2) kerucut
(3) bola
(4) kubus
Jawaban : A, karena yang benar adalah (1), (2), dan (3).
Berdasarkan beberapa uraian di atas bahwa tes formatif bentuk assosiasi
pilihan ganda adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir
soal yang dapat dijawab oleh siswa dengan cara memilih salah satu atau lebih di
anatara beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-
masing pertanyaannya yang terdiri dari lima atau empat judul/istilah/pengertian,
25

yang diberi tanda huruf abjad di depannya dan diikuti oleh beberapa pernyataan
yang diberi nomor urut didepannya. Untuk tiap pernyataan tersebut siswa diminta
memilih salah satu judul/istilah/pengertian yang berhuruf abjad, yang menurut
keyakinan siswa adalah paling cocok atau paling benar.
2.1.5. Reward dan Punishment Score
2.1.5.1. Reward
Dalam bahasa Arab, reward (ganjaran) diistilahkan dengan tsawab. Kata ini
banyak ditemukan dalam Al-Quran, khususnya ketika membicarakan tentang apa
yang akan diterima oleh seseorang, baik di dunia maupun di akhirat dari amal
perbuatannya. Kata tsawab selalu diterjemahkan kepada balasan yang baik.
Sebagaimana salah satu diantaranya dapat dilihat dalam firman Allah pada surat
Ali Imran: 145, 148, an-Nisa: 134. Dari ketiga ayat di atas, kata tsawab identik
dengan ganjaran yang baik. Seiring dengan hal ini, makna yang dimaksud dengan
kata tsawab dalam kaitannya dengan pendidikan Islam adalah pemberian ganjaran
yang baik terhadap perilaku baik dari anak didik. Dalam pembahasannya yang
lebih luas, pengertian istilah reward dapat diartikan sebagai 1) alat pendidikan
preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau
motivator belajar bagi murid; dan sebagai hadiah terhadap perilaku yang baik dari
anak dalam proses pendidikan.
Reward dapat diartikan sebagai sebuah penguat (reinforcement) terhadap
perilaku peserta didik. Reinforcement (penguatan) merupakan konsekuensi untuk
memperkuat perilaku (Woolfolk, 2009: 309). Artinya, bahwa sebuah perilaku
yang dilakukan oleh peserta didik dan dianggap sesuai kemudian diikuti dengan
penguat (reinforcement), maka hal tersebut akan meningkatkan peluang bahwa
perilaku tersebut akan dilakukan lagi oleh anak.
Sedangkan secara etimologi reward berasal dari bahasa Inggris, kata ini
diambil dari istilah psikologi yang diembriokan oleh Thorndike (Suryabrata,
1998: 248-249). Dalam memenuhi kebutuhan anak, orang tua memiliki
kemampuan “menghadiahi” anak. Ahli psikologi menggunakan istilah “hadiah”
atau “ganjaran” untuk segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tua yang dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak (memperoleh hadiah dari padanya).
Sebaliknya orang tua pun memiliki cara untuk membuat perasaan anaknya sakit
26

ataupun tidak senang, baik dengan tidak memberi si anak apa yang dibutuhkan,
ataupun melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak senang..
Menurut Noah (1989: 582) mengatakan:
Reward adalah sesuatu yang diberikan atau dilakukan dalam hasil
penerimaan yang baik, ini bisa kembali kepada sesuatu yang abstrak
ataupun kongkrit. Reward dapat berupa situasi, atau daftar verbal yang
menghasilkan kepuasan atau meningkatkan kemungkinan mempelajari
tindakan.

Hamchek dalam bukunya menyebutkan:


“Reward arouse good feeling about our selves, our work, and usually about those

doing the rewarding”.

Dari pengertian yang diungkapkan Hamchek tersebut ternyata reward bisa


membangkitkan atau membangun perasaan baik siswa dalam belajar. Jadi reward
bisa meningkatkan reaksi dimana reward itu diberikan pada reaksi tersebut.
Sebagai contoh, seorang siswa diminta mengerjakan soal matematika tentang
sistem persamaan linear dua variabel, kemudian siswa itu mampu menjawab
dengan benar dan guru memberikan dia sebuah pujian atau penghargaan lainnya.
Maka siswa itu akan bersemangat untuk bisa mengerjakan soal-soal lain yang
diberikan oleh gurunya sehingga dia akan giat belajar (Rahman & Adyansyah,
2014).
Dari sini, dapatlah dikatakan bahwa ada sinyalemen reward tidak selamanya
berupa materi. Sebagaimana pemahaman umum, reward identik dengan hadiah
yang dijumpai hanyalah berupa benda atau barang yang diberikan dengan tujuan
tertentu. Agaknya hadiah semacam kado, parsel, dan bingkisan semacamnya, atau
mungkin berupa barang-barang berharga lainnya.
Secara garis besar reward dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu
pujian, penghormatan, hadiah, dan tanda penghargaan. (Masruroh, 2007: 33)
Elizabeth B. Hurlock (1990: 23) memposisikan reward sebagai salah satu pilar
dari disiplin, menurutnya reward berarti tiap bentuk penghargaan untuk suatu
hasil yang baik, penghargaan tidak perlu berbentuk materi, tetapi berupa kata-kata
pujian, senyuman atau tepukan di punggung.
Pendapat ini diamini oleh Thomson, menurutnya penguatan positif, reward,
dapat diberikan dengan dua model. Pertama pemberian hadiah kasih, berupa
27

memuji, menepuk punggung, memeluk atau menyentuh dengan penuh kasih.


Kedua pemberian hadiah materi, semisal pergi ke restoran untuk makan es krim,
memberi permen atau coklat, menambah waktu untuk menonton teve,
mengizinkan menonton acara khusus atau membawanya berpiknik (Setiawani,
2000: 57).
Reward secara eksklusif berupa ucapan penghargaan dan pujian secara
terbuka, sehingga ungkapan rasa hormat dan kepercayaan bagi seseorang yang
telah berbuat sesuatu yang baik secara istimewa sekali. Namun, Durkheim
mengingatkan bahwa sangat kecil peran yang ada dalam reward terhadap
kesadaran moral, karena reward adalah instrumen budaya intelektual bukan
budaya moral. Di samping itu ketika anak sering mendapatkan reward (khususnya
dalam lingkungan sekolah) kemudian ia hidup dalam suatu lingkungan
masyarakat yang tidak mengenal mengganjar perilaku yang terpuji secepat dan
secermat masa sekolah. Maka akibat yang ditimbulkan ia harus berusaha
membangun bagian hidup moralnya sendiri dan mengalami adanya ketidak
pedulian yang tidak dipelajarinya di sekolah dulu. Hal ini bukan berarti tidak ada
nilai manfaat sekalipun yang dibawa oleh reward, cuma sering kali si penerima
menghitung-hitung dan menumpuk-numpuknya secara membabi buta, sehingga
sekilas reward identik dengan suap. Jika reward lebih terkait dengan budaya
intelektual yang lebih menekankan ilmu pengetahuan, berarti masih terkait dengan
moral itu sendiri. Karena ilmu pengetahuan harus menyesuaikan diri dengan
tatanan kemanusiaan, tidak menyalahinya. Dengan kata lain reward memiliki
andil dalam pembentukkan moral itu sendiri (Durkheim, 1990: 148).
Dengan demikian pada dasarnya reward digunakan dalam arti luas dan
fleksibel, tidak terbatas pada sesuatu pemberian yang bersifat materi semata, akan
tetapi inti darinya menimbulkan efek rasa senang, kepuasan batin, dan simpatik
atas apa yang telah diperbuat. Sehingga timbul karenanya sesuatu yang bersifat
positif, reward jauh dari nilai suap.
2.1.5.2. Punishment
Punishment (hukuman) dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ‘iqab. Al-
Qur’an memakai kata ‘iqab sebanyak 20 kali dalam 11 surat. Bila memperhatikan
masing-masing ayat tersebut terlihat bahwa kata ‘iqab mayoritasnya didahului
oleh kata syadiid (yang paling, amat, dan sangat), dan kesemuanya menunjukkan
28

arti keburukan dan azab yang menyedihkan, seperti firman Allah dalam surat Ali
Imran: 11 dan al-Anfal: 13. Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa
kata ‘iqab ditujukan kepada balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat
manusia. Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, ‘iqab diartikan sebagai
1) alat pendidikan preventif dan refresif yang paling tidak menyenangkan; dan 2)
balasan dari perbuatan yang tidak baik yang dilakukan anak.
Secara sederhana, punishment merupakan proses yang memperlemah atau
menekan perilaku (Woolfolk, 2009: 311). Sehingga, sebuah perilaku yang diikuti
dengan punishment cenderung akan melemah dan tidak akan diulangi lagi oleh
peserta didik.
Sedangkan menurut Ahmadi dan Uhbiyati (1991) dalam bukunya menyebutkan
bahwa:
“punishment (hukuman) adalah suatu perbuatan, dimana kita secara
sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, yang baik
dari segi kejasmanian maupun dari segi kerohanian orang lain itu
mempunyai kelemahan bila dibandingkan dengan diri kita, dan oleh
karena itu maka kita mempunyai tanggung jawab untuk
membimbingnya dan melindunginya.”

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa punishment


(hukuman) merupakan bentuk pemberian perbuatan yang tidak menyenangkan
kepada peserta didik atas perbuatan yang dianggap melanggar ketentuan yang
berlaku dengan tujuan untuk menekan dan memperlemah perilaku agar ia tidak
lagi mengulangi kesalahan yang telah diperbuatnya.
Punishment (hukuman) merupakan alat pendidikan yang tidak
menyenangkan, bersifat negatif, namun demikian dapat juga menjadi motivasi,
alat pendorong untuk mempergiat belajarnya siswa. Siswa yang pernah mendapat
hukuman karena tidak mengerjakan tugas, maka ia akan berusaha untuk tidak
memperoleh punishment (hukuman) lagi. Ia berusaha untuk dapat memenuhi
tugas-tugas belajarnya agar terhindar dari bahaya punishment (hukuman). Hal ini
berarti bahwa ia didorong untuk selalu belajar (Indrakusuma, 1973: 165).
Lebih jelasnya Elizabeth mensejajarkan punishment dengan konsep disiplin,
di samping punishment juga merupakan salah satu pilar dari disiplin sendiri.
Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila terjadi suatu pelanggaran
29

peraturan dan perintah (Hurlock, 1990: 82). Karena punishment pengaruhnya


lebih bersifat tegas dan ada unsur pencegahan terhadap perilaku yang melanggar.
Durkheim (1990: 117) berpendapat setiap punishment identik dengan resiko
kesusahan yang harus bisa diperhitungkan oleh si pelanggar, sehingga ia dapat
mengelakkan kesukaran tersebut dengan mempertimbangkan masih banyaknya
kombinasi lingkungan.
Suatu hukuman itu pantas, bilamana nestapa yang ditimbulkan itu
mempunyai nilai positif, atau mempunyai nilai paedagogis (Musfiroh, 2012: 24).
Dan yang perlu digaris bawahi, pemberian punishment pada siswa harus dalam
tingkat kewajaran karena bila berlebihan akan membuat siswa menjauh dan takut
untuk belajar matematika. Oleh karena itu pemberian punishment haruslah
memenuhi syarat-syarat: pemberian hukuman harus dalam cinta dan kasih sayang,
didasarkan pada alasan “keharusan”, bisa menimbulkan kesan di hati siswa,
diikuti pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan, mengandung makna
edukasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada
seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman
yang dilakukan adalah untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik
(Dewi, 2012: 30).
2.1.5.3. Score
Dalam kamus lengkap Inggris-Indonesia score artinya adalah skor, angka,
atau biji. Menurut Anas dalam buku Sudijono disebutkan tentang pengertian skor
sebagai hasil pekerjaan menyekor (= memberikan angka) yang diperoleh dengan
jalan menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir item yang oleh testee telah
dijawab dengan betul, dengan memperhitungkan bobot jawaban betulnya (Slamet
& Maarif, 2014: 70).
Jadi skor merupakan angka yang diberikan kepada siswa setelah siswa
tersebut menjawab soal yang diberikan padanya. Tentu saja angka yang diberikan
sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan sebelumnya oleh guru sebagai
tester.
Dalam memberikan skor sebaiknya seorang guru menggunakan alat bantu.
Alat bantu yang dapat digunakan dalam memberikan skor adalah sebagai berikut :
a) Kunci jawaban, yaitu alat untuk membantu menentukan jawaban yang benar b)
30

Kunci scoring, yaitu alat untuk membantu menyeleksi jawaban yang benar dan
yang salah) Pedoman penilaian, yaitu alat untuk membantu menentukan angka.
Pemberian skor pada tes objektif biasanya menggunakan rumus correction
for guessing atau disebut juga sistem denda. Misalnya pada soal tes pilihan ganda
diberi skor maksimal 1 (satu). Apabila siswa menjawab betul satu soal, maka
diberi skor 1 dan jika siswa itu menjawab satu soal salah, maka diberikan skor 0
(nol). Namun pemberian skor dengan sistem denda dalam penelitian ini yaitu
siswa yang menjawab soal dengan tepat mendapat skor 4, yang menjawab soal
tidak tepat mendapat skor -1, dan yang tidak menjawab tidak mendapatkan skor
atau dengan kata lain skonya 0 (nol). Penskoran seperti ini merujuk pada
ketentuan penskoran tes penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri.
2.1.6. Hasil Belajar
2.1.6.1. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
subyek dengan lingkungan dan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan dan pemahaman (Winkel, 1993: 13). Sedangkan menurut Oemar
Hamalik (2008: 36) belajar adalah memodifikasi atau memperteguh kelakuan
melalui pengalaman (learning is definied as the modification or strengthening of
behavior through experience).
Menurut Laster D Crow dan Lice Crow (hlm. 188) mendefinisikan belajar
adalah sebagai berikut :
“The term learining can be interpreted as : 1) theprocess by which changing

are made or :2) the changes themselves thatresult from engaging in the

learning process”.

Artinya : Pengertian belajar dapat dinterprestasikan sebagai : 1) suatu


perubahan yang terjadi secara sengaja, atau 2) suatu perubahan yang terjadi
dengan sendirinya sebagai akibat dari bentuk proses belajar.
2.1.6.2. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar diambil dari dua suku kata yaitu hasil dan belajar. Adapun
pendapat tentang hasil belajar dikemukakan oleh S. Nasution (2011: 25) yang
mengatakan bahwa:
31

Hasil belajar adalah suatu perubahan yang terjadi pada individu yang
belajar, perubahan tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap
perubahan pengetahuan tetapi berpengaruh pula terhadap perubahan
keterampilan dan sikap.
Pengertian yang lain hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2002: 22).
Atau hasil belajar adalah suatu aktifitas psikis atau mental yang berlangsung
dalam interaksi aktifdengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan
yangrelatif konstan dan berbekas (Suprayekti, 2003: 4).
Menurut Sutinah (2013: 7) hasil belajar digunakan oleh guru untuk
dijadikan ukuran atau criteria dalam mencapai tujuan pendidikan. Hal ini dapat
tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan
tingkah laku yang lebih baik lagi.
2.1.6.3. Macam-Macam Hasil Belajar
Hasil belajar sebagai salah satu sasaran penilaian yang bertujuan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan siswa setelah menerima materi yang telah
diajarkan oleh guru, ada bermacam-macam.

Menurut R.J Mazano dkk. Sebagaimana dikutip Safari (2003: 13-14),


membagi hasil belajar menjadi delapan, yaitu :
1) Ketrampilan memuat (focusing skills), seperti mendefinisikan,
merumuskan tujuan.
2) Keterampilan mengumpulkan informasi, seperti: mengamati, merumuskan
pertanyaan.
3) Keterampilan mengingat, seperti : merekam, mengingat.
4) Keterampilan mengorganisasi, seperti: membandingkan, mengelompokkan,
menata/mengurutkan dan menyajikan.
5) Keterampilan menganalisis seperti: menganalisis sifat dari komponen
hubungan dan pola, ide pokok, kesalahan.
6) Keterampilan menghasilkan keterampilan baru, seperti: menyimpulkan,
memprediksi, mengupas atau menguasai.
7) Keterampilan memadu (integrating skills), seperti: meringkas,menyusun
kembali.
8) Keterampilan menilai, seperti menetapkan kriteria membenarkan
pembuktian.
32

4.1.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Belajar dan mengajar sebagai suatu proses tiga unsur yang dapat dibedakan
yakni tujuan pengajaran (intruksional) pengalaman (proses) belajar mengajar, dan
hasil belajar (Sudjana, 2002: 2). Guru sebagai institusi pendidikan dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar sudah pasti mengharapkan keberhasilan
dalam setiap interaksi belajarnya. Namun kenyataannya harapan tersebut tidaklah
seratus persen dapat tercapai, karena terdapat banyak faktor yang turut
mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah faktor
guru, faktor siswa, faktor kurikulum, faktor lingkungan.
Dari uraian yang penulis paparkan di atas, dapat diketahui bahwa hasil
belajar itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat kompleks, dan bisa
dikatakan sistemik. Artinya kita tidak boleh menganggap sepele salah satu faktor
tersebut, karena antara satu faktor dengan yang lainnya saling berhubungan.
Dengan demikian maka kita harus dapat menciptakan suasana yang paling
kondusif aga rtujuan yang diharapkan dapat tercapai secara optimal.
2.2. Penelitian yang Relevan
Untuk menghidari duplikasi dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
terdahulu yang ada kaitannya dengan masalah penelitian yang sudah dilaksanakan oleh
mahasiswa di beberapa perguruan tinggi. Dari hasil penelusuran tersebut ditemukan lima
buah hasil penelitian yang ada kemiripan dengan masalah penelitian yang akan diteliti,
yakni:
2.2.2. Penelitian yang dilakukan oleh Febi Nurbilian (2012), tentang Perbandingan
Jenis Tes Formatif Menggunakan Pilihan Ganda dan Essay Terhadap Hasil Belajar
Ditinjau dari Jenis Kelamin. Penelitian itu menyimpulkan bahwa berdasarkan tabel
Report Statistics pada tes pilihan ganda responden laki-laki lebih baik dengan nilai
rata-rata 61,3 dari responden perempuan dengan nilai rata-rata 61,25. Sedangkan pada
tabel Report Statistics mengenai tes essay juga responden laki-laki lebih baik dengan
nilai rata-rata 61,3 dari responden perempuan dengan nilai rata-rata 61,25.
2.2.3. Penelitian tentang Konsep Reward and Punishment dalam Teori Pembelajaran
Behavioristik dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam yang diteliti oleh Dwi
Hastuti Pungkasari (2014). Hasil dari penelitian ini diantaranya adalah adanya
hubungan yang relevan antara konsep reward and punishment dalam teori
33

pembelajaran behavioristik dengan konsep hukuman dan ganjaran dalam pendidikan


Islam.
2.2.4. Penelitian pada tahun 2012 oleh Dody Adyansyah tentang Pengaruh
Pemberian Tes Formatif Pilihan Ganda dengan Reward dan Punishment Score
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah
terdapat pengaruh pemberian tes formatif dengan reward dan punishment score
terhadap hasil belajar matematika siswa pada pokok bahasan sistem persamaan linear
dua variabel.
2.2.5. Penelitian yang dilakukan oleh Ayi Supriatna (2008) tentang Model
Pembelajaran e\Evadir dan Reward And Punishment Berbasis CTL Untuk
Meningkatkan Motivasi, Aktivitas, dan Ketuntasan Belajar Fisika. Hasil pengolahan
data menunjukkan bahwa, model pembelajaran Evadir dan R and P berbasis CTL,
dapat meningkatkan motivasi belajar cukup signifikan pada kelas Eksperimen.
2.2.6. Penelitian pada tahun 2010 tentang Efektivitas Penerapan Reward dan
Punishment Dalam Menumbuhkan Motivasi Belajar Agama Dan Perubahan Perilaku
Siswa Di SMA Negeri 9 Kota Cirebon oleh Halim Purnomo. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa model reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) di
SMA Negeri 9 Kota Cirebon dalam memotivasi belajar dan membina perilaku siswa
telah diterima baik oleh siswa SMA Negeri 9 Kota Cirebon terbukti dengan motivasi
belajar agama dan perubahan perilakunya mengalami perubahan yang lebih baik.

2.3. Kerangka Pemikiran


Pendidikan merupakan suatu proses yang dinamis dan senantiasa dituntut untuk
selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi.
Pendidikan juga berperan penting untuk mencetak generasi-generasi yang berkualitas,
beretika, bermoral, dan tentunya berkarakter. Untuk meningkatkan mutu pendidikan
diperlukan perbaikan aspek-aspek dalam sistem pendidikan, seperti kurikulum, buku,
sarana belajar, guru dan siswa, serta evaluasi hasil belajar.
Unsur evaluasi tentunya tidak lepas dan berhubungan erat dengan proses
pembelajaran dikelas. Karena evaluasi digunakan sebagai alat ukur guru dalam
menentukan seberapa berhasil peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar selama
dikelas. Evaluasi yang sering digunakan oleh guru biasanya berbentuk tes formatif seperti
pilihan ganda dan tes uraian.
34

Tujuan dasar evaluasi yang sebenarnya untuk mengukur kemampuan siswa justru
disalah artikan oleh siswa. Siswa menganggap evaluasi adalah proses untuk mendapatkan
nilai yang tertinggi diantara teman-temannya yang lain. Sehingga mereka melakukan
segala cara untuk mendapatkan nilai yang mereka inginkan dengan cara mencontek,
bertanya kepada teman, serta bekerja sama dalam menjawab soal yang diberikan oleh
guru.
Bentuk tes objektif pilihan ganda bisa digunakan sebagai tes formatif karena
bentuk tes ini tidak membutuhkan waktu yang lama baik dalam menjawab ataupun
memeriksa hasil jawaban siswa. Tapi bentuk tes objektif pilihan ganda memudahkan
siswa untuk bisa menebak jawaban tanpa resiko apapun, mencontek dan melakukan
kerjasama sesama teman. Kebiasaan buruk siswa menebak, mencontek, dan kerjasaama
menjawab soal perlu diatasi. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
memuat soal dalam variasi yang berbeda, yaitu dengan asosiasi pilihan ganda dengan
reward dan punishment score.
Soal yang dibuat dalam bentuk asosiasi memerlukan ingatan fakta dari siswa,
makanya jenis tes ini sangat cocok digunakan karena dapat mengungkap kemampuan
siswa dalam menentukan konsep yang memiliki hubungan, sebab dan akibat.
Biasanya reward dan punishment digunakan dalam proses pembelajaran, namun kali ini
akan dilakukan perlakuan (treatment) reward dan punishment diterapkan dalam evaaluasi
pembelajaran. Reward dan punishment identik dengan pemberian cindera mata, hadiah,
ataupun dalam bentuk benda. Peneliti memilih reward dan punishment nya dalam bentuk
pemberian skor. Pemberian angka atau skor ini dimaksudkan agar siswa bisa lebih
semangat atau termotivasi untuk belajar, karena biasanya angka merupakan motivasi
yang kuat bagi siswa.
35

Pembelajaran Proses/treatment

Tes Formatif

Asosiasi Pilihan Ganda

Kemampuan Menentukan
Konsep yang Memiliki
Hubungan Sebab Akibat

Hasil Belajar Siswa


Meningkat

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian


Hipotesis adalah pernyataan dugaan (conjectural) tentang hubungan antara dua
variabel atau lebih (Nasehuddien, 2011: 60). Sedangkan menurut Sugiyono (2012: 96)
hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana
rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data.
Dari penelitian yang berjudul “Efektivitas Tes Formatif Asosiasi Pilihan Ganda
Dengan Reward Dan Punishment Score Terhadap Hasil Belajar Siswa Di MTs Negeri
Cisaat Sumber”, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
Penerapan evaluasi belajar melalui tes formatif assosiasi pilihan ganda dengan reward
dan punishment score memberikan efek yang lebih baik daripada melalui tes formatif
bentuk uraian terhadap hasil belajarnya.

Anda mungkin juga menyukai