Anda di halaman 1dari 14

Pembangunan

Wlayah

"Rural- UrbanEconomic
Lingkages"
Konsep& UrgBnsinya
DalamMemperkuat
Pembangunan
lhsa
lBagianPeilamadari Dua Tulisanl

In.Arvrorulus
TaRlcaru")

Ir. AntoniusTarigan, M.Si adalah Kasubdit Kelembagaan Kerjasama Pembangunan,


Direktorat kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Kantor Meneg PPN/
Bappenas & Mahasiswa Program Doktor Universitas Indonesia Konsentrasi
Kebijakan Publik-red

Pengantar
Pada dasarnya tidak ada satu teori atau pendekatan tunggal yang digunakan dalam
rangka pembangunan perdesaan (desa). Berbagai konsep pembangunan desa yang telah
dilaksanakan pemerintah sejak tahun lima puluhan selalu mengalami dinamika dan
perubahan serta senantiasadisesuaikan dengan fingkat perkembangan masyarakat.
T. Hanafiah (1989),mencatat beberapa konsep dan pendekatan pembangunan
perdesaan (desa) yang pernah dilakukan di negara kita dan beberapa negara lain
diantaranya adalah : (a) Pengembangan Masyarakat (Community Deaelopment),(b)
Pembangunan Desa Terpadu (IntegratedRural Deaelopment),(c) Pembukaan Daerah Baru
& Mendorong Migrasi Penduduk serta Pengelompokan Permukiman Kecil, (d)
Pembangunan Pertanian, (e) Industri Perdesaan,(f) Kebutuhan Dasar Manusia (Basic
Needs- Strategy),(g) Pusat Pertumbuhan & Wilayah Pengembangan (IntegmtedArea De-
uelopment),(h) Pendekatan Agropolitan.
Paparan singkat ini mencoba mengangkat pengalaman empiris beberapa negara
diantaranya Thailand, Nepal, Laos PDR, dan Indonesia dalam mengaplikasikan
pendekatan "rural-urban economiclinkages" dalam konteks pengembangan wilayah. Dengan
berbagai spritualitas inherennya, diharapkan pendekatan ini dapat menjadi "pcrangka!
intervensi lrang cukuP handal" walaupun mungkin "tidak sufisien" dalam mengatasi
problema pembangunan desa (perdesaan)di tanah air kita.

- P"r.n""n"un Pembangunan
l{o.3(Vtanuad- Maret2fi)3
J0
Pembangunan
Wlayah

Pendahuluan
Latar Belakans
Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya kreasi pencerahan yang
dilaksanakan secaraterencanadan sistematisserta dilakukan oleh segenapaktor dalam
suatu negara untuk mencapai suatu kehidupan masyarakat yang dipandang lebih baik.
Cara pandang seperti ini menempatkan pembangunan sebagai instrumen antara untuk
mewujtidkan sasaranyang lebih tinggi, yaitu perwujudan potensi-potensi inheren manusia
menuju pencapaian eksistensi dalam arti yang seluas-luasnya.Menurut Amartya (7999),
pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses peningkatan kebebasan
manusia dalam berbagai bentuk yang bukan saja penting secara sendiri-sendiri, tetapi
juga saling mendukung.
Pembangunan berorientasi pertumbuhan (growth) yang selama ini diterapkan negara-
negara berkembang termasuk negara Indonesia telah membawa sejumlah perubahan
yang cukup signifikan. Disamping berbagai prestasi yang berhasil diraih, tercatat pula
sejumlah potret kelam yang turut memperburuk citra pembangunan dengan orientasi di
atas. Semakin panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, beban
hutang luar negeri yang semakin menggila, dan berbagai ketimpangan merupakan hasil
akhir yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan itu sendiri. Manfaat pembangunan
lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat Iapisan atas, sehingga jurang kesenjangan
sosial dan ekonomi semakin menganga pula. Orientasi pertumbuhan hanya mendorong
perkembangan usaha dan industri skala besar, sehingga terjadi kesenjanganyang semakin
lebar antara usaha skala kecil dan mikro (UKM) dan usaha menengah-besar(UMB).
Tidak ketinggalan pendekatan sektoral yar,g diharapkan dapat membentuk keterkaitan
ternyata telah menumbuhkan ego sektoral yang juga menyebabkan ketimpangan sektoral.
Krisis moneter yang meluas menjadi krisis ekonomi sejak tahun 7997 tunft pula
memberikan kontribusi nyata penyebab kemunduran berbagai kegiatan ekonomi berupa
terganggunya kegiatan produksi, distribusi dan konsurrrsi. Kemunduran drastis berbagai
kegiatan ekonomi ini telah mengakibatkan melemahnya daya beli masyarakat (purchas-
ing power)yang disebabkan oleh berkurangnya sumber pendapatan masyarakat, sementara
harga-harga kebutuhan hidup terus meningkat.
Sejalan dengan berbagai permasalqhan tersebut, terdapat persoalan yang sebefulnya
memerlukan penanganan serius dan sangat penting, yakni adanya kesenjangan antar
desa-kota (khususnya antara sektor pertanian dan industri) serta kesenjangan antar
daerah. Kesenjangandesa-kota yang selama ini terjadi merupakan salah satu hambatan
bagi suatu daerah untuk ikut terjun ke dalam msinstreameconomy.Secara empiris,
kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : (i). Sosial ekonomi
rumah tangga atau masyarakat, khususnya kesenjanganpendapatan antara rumah tangga
di perkotaan dan di perdesaan; (ii). Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi
dasar kegiatan produksi rumahtangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor
ekonomi yang menjadi basis ekspor dengan orientasi pasai dalam negeri (domestik) ;
(iii).Potensi regional (SDA, SDM, Dana, Lingkungan dan infrastruktur) yang
mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerah-daerah yang
beruntung memiliki sumberdaya berbasis ekspor, maka daerah-daerahini secararelatif
lebih makmur dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak.memiliki sumberdaya
yang dapat dipasarkan keluar ; dan (iv). Kondisi kelembagaanyang membentuk jaringan

Perencanaan Ho.30/Januari- MarcfmOf - 3 1


Pembangunan
Pembangunan
tlUilayah

kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Adanya kerangka
kelembagaan yang kokoh akan sangat mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan
pihak pemasok maupun pihak pembeli (Bintoro, 2002).

Permasalahan

Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pertumbuhan


(grozoth), turut pula memperparah ketimpangan wilayah khususnya antara desa-kota,
Investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) mayoritas diarahkan untuk melayani
daerah perkotaan yang relatif memiliki pertumbuhan cepat. Ekonomi desa tidak
memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar
menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari perdesaan.
Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect)
oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari
jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages)
yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.

Disamping itu, adanya aliran produk/jasa perkotaan yang harus dibayar oleh
masyarakat perdesaan melalui aliran dana/kapital dari desa ke kota. Kondisi ini secara
umum dikenal dengan rendahnya nilai tukar (terms of trade) produk/jasa (dalam bentuk
dana/kapltal) masyarakat perdesaan terhadap poduk/jasa perkotaan (Haeruman, 2001).
Dengan kata lain, dari sisi ekonomi terjadi arus pembentukan surplus (nilai tambah)
yang cenderung eksplotatif dimana desa menjual produk mentahnya ke kota dengan
murah, dan selanjutnya melalui proses pengolahan (off-farm) kota menjadikan desa sebagai
Pasar dengan margin harga yang lebih besar. Belum lagi jumlah kredit dan pinjaman
yang disalurkan ke perdesaan jauh lebih kecil dari jumlah dana yang ditabung masyarakat
perdesaan melalui perbankan, sehingga yang terjadi adalah subsidi desa terhadap kota.

Permasalahan lainnya yang cukup menonjol adalah pembangunan perdesaan yang


selama ini sangat kuat bernuansa modernisasi yang dikombinasikan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar. Dalam konteks tersebut desa dipandang memiliki karakteristik
keterbelakangan yang sebenarnya lebih merupakan "visi kota", dan dalam upaya
mengatasi keterbelakangan ini dominasi peran negara sangat dominan lewat jargon
"pembangunisme" (IJsman, Hastu P dan Bayu Krisna M, 2002).

Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas, Bab IX Pembangunan


Daerah dengan tegas menyebutkan : sebagian besar masyarakat perdesaan saat ini masih
berada pada pola kehidupan dan budaya perdesaan yang mengandalkan sumber
kehidupan dari pertanian subsisten atau buruh tani yang pendapatannya tidak pasti dan
rendah. Disamping itu, kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan relatif tertinggal
dibanding daerah perkotaan yang disebabkan oleh lapangan kerja dan kegiatan usaha
yang tidak kompetitif dan tidak memberikan pendapatan masyarakat yang layak, kondisi
pelayanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, rendahnya tingkat pelayanan
Prasarana dan sarana permukinan, adanya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
alam oleh kelompok pengusaha besar, serta peraturan-peraturan yang menghambat.

Pertentangan dan ketimpangan antara kawasan perkotaan (urban area) dan kawasan
kawasan perdesaan (rural aren) tidak saja terjadi dalam tataran praktek operasional namun
juga telah merambah kedalam tataran teoritik - akademik. Di satu sisi, fenomena
terjadinya "pemihakan" yung berlebihan terhadap upaya - upaya pembangunan kawasan
perkotaan secara akademik telah diklaim oleh Lipton (7977) sebagai urban bias, yang nota

- P"nn"un ^ Pembangunan
No.30/Januari- Maret2fl)3
J2
I
Wilayah
Fembangunan

bene telah banyak merugikan penanganan kawasan perdesaan.


Dalam konteks Asia, Fu-Chen Lo (1981),menegaskan bahwa permasalahan dan
penanganan perkotaan dan perdesaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengambil
contoh kasus kemiskinan, Fu-Chen Lo melihat bahwa kemiskinan perkotaan (urban poa-
erty) ternyata berakar pada kemiskinan perdesaan (rural poaerty). Kesadaran tentang
perlunya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan pada giiirannya melahirkan
pemikiran rural-urban linkagesyang secara teoritis bertujuan untuk mendorong kegiatan
masyarakat di kedua kawasan tersebut dalam kesatuan sistem ekonomi dan sosial yang
saling menguntungkan.
Walaupun pemikiran tersebut secara tegas telah diartikulasikan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas), tantangan kedepan adalah bagaimana mewujudkan keterkaitan ekonomi
tersebut yang ditandai sejumlah indikator diantaranya terbangunnya akses ke pasar,
penguasaan informasi'& teknologi, jaringan pemasaran,berkembangnya jaringan kerja
produksi, pengolahan dan pemasaran, distribusi input, modal, surnber daya manusia,
sebagai prasyarat kunci untuk membangun perdesaan.
Beberapapertanyaan fundamental yang sering muncul dan mendesak untuk dijawab
adalah antara lain mengapa keterkaitbn mengalami pasang surut, siapa yang mendapatkan
keuntungan maupun kerugian dengan adanya keterkaitan itu, faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya perubahan, hubungan antara faktor eksogen dan endogen dalam
sebuah perubahan, apakah wilayah yang memiliki keterkaitan lebih baik jika dibandingkan
dengan wilayah yang tidak terkait, bagaimana upaya-upaya agar keterkaitan tersebut
meniadi semakin baik.

Pengedian
Desa & Perdesaan
Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan ail-
Iage, d.an sering pula dibandingkan dengan kota (townlcity) dan perkotaan (urban).
Perdesaan (rural) menurut S. Wojowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan
seperti desa atau seperti di desa" dan perkotaan (urban) diartikan "seperti kota atau
seperti di kota". Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada
karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah
administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup
beberapa desa.
Menurut Roucek & Warren (7962), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai
berikut: (1) peranan kelompok primer sangat besar; (2) faktor geografik sangat
menentukan pembentukan kelompok masyarakat; (3) hubungan lebih bersifat intim dan
aweq (4) struktur masyarakat bersifat homogen; (5) tingkat mobilitas sosial rendah; (6)
keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonorni; (7) proporsi jumlah anak
cukup besar dalam struktur kependudukan.
Pitinn A. Sorokin dan Carle C. Zirnrnerman (dalam T. L. Smith & P.E. Zop,1970)
mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik
desatan kota, yaitu mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk,
lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial.

-
llo. 3(V lanuari - Maret 20OS
PerencanaanPembangunan 33
Pembangunan
Wilayah

Egon E. Bergel (7995) mendefinisikan desa sebagai setiap permukiman para petani.
Sedangkan Koentjaraningrat (7977) mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang
menetap tetap di suatu tempat.
Paul H. Landis (7948) mendefinisikan desa menjadi tiga menurut tujuan analisis,
yaitu: (1) analisis statistik; desa didefinisikan sebagaisuatu lingkungan dengan penduduk
kurang dari 2.500 orang (2) analisis sosial-psikologik; desa didefinisikan sebagai suatu
lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan bersifat informal
diantara sesama warganya, dan (3) analisis'ekonomi; desa didefinisikan sebagai suatu
lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian.
Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secarauniversal untuk desa-
desa di Indonesia karena kondisi yang sangat.beragamantara satu dengan yang lainnya.
Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan
kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik
tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum berkembang khususnya
desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan.

Rural-Urban Linekases : Isu dan Konsep


Desa dan kota mempunyai peran yang sama-samapenting dalam pengembangan
ekonomi suatu wilayah. Jika peran desa dan kota tersebut dapat berjalan dengan baik,
hubungan keterkaitan (ekonomi) antara desa dan kota dapat tercapai. Pentingnya
keterkaitan desa-kota ini dalam jaringan wilayah untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dikemukakan oleh Mike Douglass (1998) melalui konsep
Agropolitan. Konsep ini menekankan bahwa pengembangan desa dapat tercapai dengan
baik apabila desa tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota dalam wilayah tersebut.
Fungsi kota lebih dititik beratkan sebagai pusat kegiatan non pertanian dan pusat
administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara itu kecamatan (district) justru
yang memiliki fungsi sebagai unit pengembangan.
Isu tentang keterkaitan desa-kota sudah lama mendapat perhatian kalangan analis
pembangunan. Isu tersebut muncul sejalan dengan kenyataan empiris akan
ketidakterpisahannya keterkaitan antara desa dan kota yang juga mencakup masalah
urbanisasi. Keterkaitan tersebut semakin meluas di berbagai level, baik antara desa dan
kota itu sendiri, maupun antara kota kecil dengan kota besar, antar desa, dan antar kota
yang merentang di dalam satu negara maupun antar negara. Keterkaitan antara desa-
kota antara lain terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang
dan jasa pelayanan perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa
dan barang hasil produksi perdesaan. Terlepas dari banyaknya kritikan atas pola
keterkaitan yang terbangun, interaksi antara desa-kota bersifat saling menguntungkan
dalam suatu iklim sirnbiosis mutualisme (Lo & Salih, 1978).
Lebih lanjut , Lo & Salih mengelaborasi bahwa dalam perekonomian yang masih
sederhana, masyarakat desa cenderung memproduksi dan menjual hasil pertaniannya
secaramandiri ke wilayah-wilayah sekitarnya yang relatif berdekatan. Mereka juga dapat
menjualnya kepada para pedagang yang kemudian menjualnya secara langsung atau
dengan sedikit pengolahan ke berbagai pasar, baik pasar lokal maupun,pasar yang jauh.
Sebaliknya,petani di wilayah pedesaanjuga membutuhkan barang dan jasa yang tidak
bisa dihasilkannya sendiri, seperti sabun, minyak, atau pada tingkatan perkembangan
yang lebih tinggi, kendaraan bermotor, pelayanan perbankan atau pinjaman keuangan.

o/, -
J'I Pemcanaan PembangunanNo. 30/lanuari - Maret 2fi)3
a:
Pembangunan
Wlayah
', ',i.;i;.,:i,',:i:i.;.
'.;ti;i iilr;:.'::.lij
j

Dengan demikian, pola interaksi antara desa-kota serta dasar interaksi (kebutuhan) yang
melandasinya selalu bersifat dinamis, bergerak dari waktu ke waktu sesuai tingkatan
kemajuan suatu masyarakat.
Keterkaitan tersebut digambarkan oleh Mike Douglass (1998) sebagaimana yang
terdapat pada pada tabel 1 dibawah.

l-.rlx l i . [tcterl';rit ;rrrcllr': I nl c r Llulr*n,ch:nri


l' f .)cse-li nr ;i,

irrrll\i lil,(rr Irrtr:rtlrlrr:rrilcrrsi l;lrrrgsi [.],rr*


l ri r';;i1: : ru::rp,:r::r',i.
-iiir:i - **r
i,1a-
t,*:i;i,;.,,,
illrii i ii,i,:i il;;ffi"i.;;"l';ffi,rfrli'.',,,,,',
4-*
i ) r ' i : 1 ! ' . r :;' r' i i : r r : 1r i t ' : , : , ,: t t ^ ; " ' fr ' i , t i i i i i l t i l t , n . r , t i i i l t i ] r : i , ; n ; rj i ! a : ; ii r f r ' r ; i i t ; ; 1 tr tl i ; r q ,rr1 ' . 1i 1;j 1i
k ' , l r i 1 " . r t ' " . r i , , r r ri t i . : l; i i . l . :; Li rt d i l , l l; 1ti(]l 1;
* lriFrrl ttr"itti',:i*i - lii ilrinrkr.r-rrilt'l,r
,
- ; l n . t f r : i lr I i ! l l ; i r ' . i ,: it . ir r f r 1 " , " t r i i * i :
.f l
{-} i , in:;crrtii lrr'r'rJr"rhr:i
. - I . .l t ' , i r r
1 : i .iri i : r f : : ; i - I tun.t.iirlili,r.rr
*.1;r:r
i<.irpr<i;
;n rrr',ri: i
- J i t i ' , r . n r ; ; lli4 l r: , r : i l , : r r - . : ,1. ,i , i
il,,ri,tl,,si i l t(1l{. ri:11;! ili(r,'ti$.1
'iitlr,t'",.,ii
- :,., -fd;;i$;t; *1
ti;;;"i;;;i;,rr*i,i': :'"i,lr:r.,ii,i,,r,i ir:
1,,'r:ri,,ii ; ;',:r'ir.ipi
;ii"in
l:i{)lrll jq'li ';i '
ill,;..;-
i ;Ji:rrr rrii:,::;l:rr.ii:,'-It Ir'r l:-riiit ;r;rrr i. Llr,.r i'"'ir .
- l : o t , . . i rr! i i i t r l r - 'r: i l i . " , r ';rl , t l i . r : I . i . , , , , : i i l : , . r Iri r r n , ; r ; : 1 1 { . t l i
- l],r1;rr",;irr:r - - . l ; t r L u i i l . , r r i r r g - lr i i i r ) - [ r r ] , r t , 1 r j i r r i r
1:,rir,r,l i
. l o t ' i . i r , r , r r . r i : ri i i i . r l r . rl . tr: r t . : r r : i r r i l r l r i . : , l t t , i j nl:rtlt'1.:r',arrrl
;rrl'l r
tl.r:i;irl:r: i r:i:.tr';r",i i
"i'lt r;m il;;;;;iil;;;i -i
i : r t l : : r t r : l r i : i r ; i . . : .l,i l r ' t
ryil ii;:;ii
r':j,.:
{ i l l r ' ! ) l i : } { l ' i i. } h ; i I " t i , 1 t 1 j ;','ri"rr:,;,r
t r : t l . r e l l r ; l r i i ; l i i * r l r rr :
I
.t.....-.............1
,iljrii.:r'i;r lil.!L.il{ r"t.;r:r
iirr; j irlrl.iii,ul;,r:rr,,,,ir:r,,i:r,,i*rr;-ilf"rr..,.,
1
t l ( " : ' l I ; l \ l 1I ( ' 1 ] i l l t -r,i i i l i i , , , , l
,1,t:r
i'. r:,1-,,J,1;
,il iij :l'l::ll

Keterkaitan antara desa-kota juga harus dipahami dalam kerangka berpikir ekonomi
Politik sebagai suatu hubungan vis a vis: budaya asli versus budaya kolonial, budaya
maju (kota) versus budaya terbelakang (desa), dan sebagainya. Struktur tersebut
mengalami Perubahan akibat tuntutan diversifikasi, spesialisasi,serta difusi inovasi yang
melanda hampir semua wilayah.
Klasifikasi antara wilayah desa dan kota sangat penting dilakukan untuk menentukan
jenis intervensi apa yang akan
.diberikan. Kedua wilayah tersebut memiliki
interdependensi yang tinggi dalam rantai keterkaitan permintaan dan penawaran. Di
samPing Pertimbangan ekonomi seperti sudah diuraikan di atas, keterkaitan antara kedua
wilayah tersebut juga penting untuk mengatasi masalah urbanisasi yang memiliki implikasi
Politik. Karenanya, keterkaitan desa kota tidak sekedar membawa implikasi ekonomi
tetapi juga dampak politik.
Untuk memPermudah pemetaan keterkaitan desa-kota yang sangat kompleks itu,
terdapat beberapa jenis keterkaitan sebagai basis analisis kuantitatif dan kualitatif.
Keterkaitan fisik seperti jaringan jalan, irigasi, atau jaringan transportasi dan komunikasi
lainnya berkaitan dengan hubungan ekonomi (konsumsi dan pelayanan). Rondinelli (1985)
dan Kammeier & Neubauer (1985) menjelaskan tipe keterkaitan tersebut sebagaimana
yang terdapat pada tabel,2.

Perencanaan tlo.3(VJanuari- M arAZnS - 35


Pembangunan
'I
abcl?r K*terklritr$I"jrn*r*f]*cir-K*ra$eFa*ilit**TerXx*it
di Fusrt Kota
'I'Jpe lincifitrr Iie*ilin* l{S**usuntuh.}r*r[rniurr,
Kt'arr&a.ilarr Iil*mrn
LlrnurnKotr. nurnuf*ktus*drn ftng*itnhxl l\rr*r i*o
I, lirt*rh;rit;selisik J';li;r.r:s lLc{rrk;arLru i::tr;r rl*ll . Akr*s {icliitrr*:h.:r**pjal*n n:***!* efa*
Arr$hrnron heror**pi in[#i rific*r t&ryikuta
ll#** trxllt;nl Sli*ir,m l'"tt *ul, rxmrnil. " &ktc* ru*nuiu ftrtrr:haitrn rr*nrprr,ni
Iaripud hi.t"trxJrhuhao,[ic.nd,rr*. unlrx {irtjsr*, I*rrr. dar*t}
E1:.rd#gir
ilt t,lrri*pr:trt'llri
;1,ilrt*r.lt.tit*r tLunrxrri Ptrls1r'3'11
r\llr.rn hdm lxenhrh
!l*r,tr l:;rdrfi hrlrrs*$lri
il,la:px*cnl*n.utr&<l
WI{*pr:r*u.prrt:rnl'm
"
*+:t b*tr$e xntlra fv{.ii} ^ Airn peniuehn.;Igrc xkrp,,rr-i.r*10r'r
It,l ttrilaitxn psxluir:li i'rlsilrt f' p**}.*li:mrt - hrxrlirrspcal'c.li ur: inpur pEflilnliirl
F,lll h.r,::r:fi^r,ttlst
d*ll inpur {L*[*:rn- " i:ari$itr,i pu*:lr*li*n rl;rlr 1xr:rw*urn
luliutprr prr:lvinlpru:rrr) perrirue'rper-rrnian
*lisr$ gnrr.!;ilijarl , (hrrltr hr*dit rinr*k rr**b:r
f'rrjrtlrrliiit
Sttr{trpr{tii ri;n *r*Xr"rkmit l.rir:.n-vr
Aiir;rrr lcr,;;radit:;rs
ssfolr:rd,"k*
.
interre,qir,rn:t.l
Kurtr&*i*n sil*r,r
3. Kstfi'kr;?cul1
$d*l:rBitnsr Iirtl* rnitrlrcr:i {:
Ft:nriu{rilr Fulirlr.mn&rlrrqr;rr F:rilir.u !r*nsp':irrari N";r,
'hrt rJl
't, li+t*rh*lirrr Trkn<ric>ir 'll*ruplr
ir!loriie:!1r*t'+r)*i !:,lmwat*n,l*n
T'lhr:;rlrgi 6rrlrri{r*n Iiamr ri*::gan l).:iin 3 riru: fi
$iile*r kigxri $;ur:"rrirnl;;n prh $ rlnn
$ir*rn TclkLrm. T
-.I-icl*k"rrln
5. .Kctrrhrirani:rtsr,lkri k-l*r,i|3 F*l:l kun.juntr;r.* FlniIiurvk*ru*rr*t* hrilit*q h*:u*li untuk ri:*srlruhi
Prri* KekalrJux$r Grrrnl:l,enr"tiid"rlxh pvnril.*r*;arld*r* yr*g mn*ingk;u
i(i*rr, ritr;;rl"lk*ivr*n +!rhrlg:
X"*i;ilit:*;
,*fi$ar Suxfuilt
Li:i*r;rkvik*& Nttprik H*r|rr:r.*,lk.lu.l:r
rrrqir:l
*, ltdftrtfi AliL*$. .drn j,rri$Srs. F*ilitat rnpl* ***r$i " .{vplx**tx*girlm lxilit"rr hhu***
pstrnva*;rn (tr*gl:,1 llllMJ
$i.n:rik"dtp+r rurar*h &n r*;rq*fatrill
Jxng;il*hxn
J;rrin6an kreriitclsn FrtrtiIil*rlr+rrrxgan, yrrrt;t*hn
Il*::tr*rirtl inr,fi*rasidslr fidrlilrrhxn - I\uilir:xne&*lshleh:rr*sil;ln.;:el:*
ihrli
Kct*rir;Lt*rrrerlrlir.iirksri. $*hrd:rli $rrfiitltHn.
*!arl*k:;t**:sl
trr*ilt:ih.tn Rrutr*h*ktr. klirrih
iii+trxnptl;ry,tnrn $*siiit*su}frtrmdm pi.rr
ir**-hsrrn M*sJir ru$iiiia
fnl: 6r:1ll,urs* $*tilit lx'rlr*.rnrr:ri:rri
prr:{*ri<xr;J.F.r.,*:*rri;rl
dr* r;rlinill.
Tip* li*trrtnil.*n f,lerron linrititlri Faiili.taxllhucgx ufltuk |}crt:*trirn.
Uluttm Kstl rurnu{.tk1ntn.rlo*.llnlg*lnbm l}*rtwi*n
7. 5.**rkdt*x ?r:liiiXl Kfi erh.;i**rr str*l*tr.rt;.rl (.hrrrn;t*
iirn ;rgx-n;qe:r. K.t.t!e$r {rltinai ke{fttrl}f rrf,li,}r p{ln,fi i!:!iM.
Arhnirr.irrr;rt*f,r}lilr{".:rgi,ril1$ri{rr*l rt-irrafi relsti;irirt suh-n*xir:rrnl
(odminisrr*rloKthu*;*nm, l(*sr:la*trn,. Ilrtinri*srr*rr..
'Rl1rr'ifltsh pe;rt*likxr;r:u,
llrr*rrirpi.";rrlux* Fff*n*:it$l!rifi!
rrr;iijll.!tijrrr lrupfunr**t;uii)
ii,rls o{li rtt;rlr" .li;un*rSu;ang
;:*irlurtrl*rr-sLlpervi,ri $*rikrtllunr.h
lirrl+lr.rn**ltsirlrt*t ilur;rJil**l
iuri*s.lak:ri .p..:lisi
it xtai kxpurus.:ur p*triri&
trllttrlilSl

tipe keterkaitan di atas didasarkan pada pendekatan "l-Irban Functions in


_ flasifikasi
Rural Deaelopment" (UFRD): Keterkaitan tersebut terkadang bersifat satu arah seperti
keterkaitan ekonomi atau fisik, tetapi bisa juga bersifat tausal seperti keterkaitan
transportasi dengan jasa transportasi, produksi, dan fasilitas penya;paian jasa. Tipe
keterkaitan juga berkaitan dengan tingkat kemajuan suatu masyarakat. Pada saat daerah
yang relatif terbelakang masih mengandalkan keterkaitan konsumsi dan jasa tradisional,

- PerncanEanPembangunan
l{o. 3{Vlanuad - Marct 2flt3
Pembangunan
Wilayah

Padadaerah-daerah yangberuntung
memiliki
sumber
dayaberbasis
ekspor,
makadaerah-daerah
ini
secararelatiflebihmakmurdibandingkan
dengan yangtidakmemilikisumber
daerah-daerah daya
yangdapatdipasarkan keluar

wilayah yang sudah maju lebih terfokus pada keterkaitan produksi dengan keterkaitan
ke depan (forward lingkage)dan ke belakang (backwardlingkage)yang kompleks. Sementara
ifu, keterkaitan finansial akan melanda semua wilayah bersamaan meningkatnya proses
desentralisasi (otonomi).
Bersamaan dengan dinamika pembangunan, keterkaitan desa-kota mengalami
perubahan substansi dan bentuk. Karenanya selalu terdapat berbagai variasi keterkaitan,
baik di dalam suatu wilayah, di dalam suatu negara, maupun antar wilayah dan antar
negara. Hal itu sangat bergantung pada faktor pembangunan sosiaf ekonomi, dan politik
di wilayah bersangkutan. Untuk itu, keterkaitan perlu diperlakukan sesuai kondisi suatu
wilayah tanpa perlu menerapkan generalisasi.
Keterkaitan desa-kota perlu dipahami dalam suatu rentang wilayah yang relatif
tanpa batas. Karenanya, para analis pembangunan tidak perlu lagi membuat dikotomi
antara pembangunan desa dan pembangunan kota. Demikian halnya dengan pemahaman
yang komprehensif tentang dimensi ekonomis dan finansial, spasial dan sosial, serta
dimensi-dimensi relevan lainnya dalam pembangunan regional. Semuanya harus
diperhatikan dan diperlakukan sebagai satu kesatuan. Kecenderungan lama akan
pengkotak-kotakan analisis perlu segera ditinggalkan.
Dengan memperhatikan kompleksitas tersebut, maka upaya pembangunan desa-
kota harus mengandalkan pada kekuatan sendiri. Metode analisis serta perencanaan
dan implementasi yang digunakan haruslah cukup sederhana agar bisa dikelola secara
mandiri. Beberapa metode yang berhubungan dengan keterkaitan antara lain dapat dilihat
pada tabel 3 berikut (Bendavid-Ya1,1983;799L:29-43).

Percncanaan lto. 3UJanuari. M aTAZWS - 37


Pembangunan
Pembangunan
Wilayah
,:llt:'

l. ,ir.ri,rli:;r"c

i r : t * l r u r r ] i r k l i r n p r i r * l r " i i , l t i , , t . , r i ' , t . , i i t j t ( l ' r ) t r ( ) r t r r, l . r ' r rt * , r l i t ' ; f i -


irr-'irItlluu'!.n lrir)t ;i].
.jtrrili:r..'li:r1.+:;l(t1j}ili
il:rrgsrrrir;ri:l1t-j
.ilr11jlr5,.{j *rr.s \'tr:"i,r:l
I r:"Lx5l
I|
1'rnrukint":'n,'1crlg;rn|x'..l:,.rg.l.i"i1411'iip*|le!,t)uJi}'rur"rpiliJ:rlrcr>cakrtntu
i t r t ' r : q q t t n , t l , " , l[t*t] i t t i i s r ' , ; r r r , : kuputr:l,rn
i lx"rll:r1r11i),r,1
$lilrlrtir':r:t'L,l,rn
I lLilrii,;
$i;rI r,riit;n"
il"*iJ' Kild;r*i"iii"^
irr!rrrrii'rllip.rli.tl:]li..,,i.t\'lrtgt,lr:eili;tL.:lriukl.,*ll1ir.t1t'tli'u*:r
.$:LrJli!,:"j(i|'1t|,Ltsl1:i:t;tl;"L'.lrrris:liln'ti;'t)'':;il:rl;1i

,'\ljlrLrih:rKrrt,r'h,lir;rn inLrrrt:;:si',',trrsl.,;lili
i. 1:.,1!t\:tiin,iil
$rr:olii.t'rrr;r1q 'rr'ilttt...lt
irnilr;*l pqfrlli,ll:r.i,idrn : prrntinrt"r'trr ,t)t;rr lr:rttli prtr;rL'.
t,i:tllirj.'r{:tl l

^,tlrr*o;5iiir,r,
1 .ljs.(r' rr 'l ]t lr| ;. r i: r tl .' tl l: ti; l. lrbLL) llri ri li1, ' tur tl "-
i :i l rr '.]it| :1l < I
t ;tttr'1.,,t:,.rtttj^ i

.li.,.'r 'i,';i,vr'.rrr,rui{,}
",rr:r{ir li n i ut rgi rrrJ h l nr.'r! t ;lrii1.., r: l j:;lli*ltrr^,!r;:f,.ii"1))
ttr,:ilisuk :trrit;tglrh*s,is.
unruir
ilrdrp,ri:Irtfrt t ri,;lt rt.lrttlirr r.ir:;. r.l,i ii;t: rucnli.nll:lr'r:rln;;1..;ilt.tr.n lsotr hqt:il)j;ulg'h*r$'.
ir:'rl:Li,rli"rt
* l i . q ' r , r : ; i : . ;.rr . i r rri : ; : s tr ' , t : i
'l;lring,lrr
ir:li.rrrttal j:r.4lr Lit:',',lrtnt:rurr;tkrrilrnqi.rn,
Llr:;c,hxt irttrgrrl d;rr'lriirr.:isi
. ' . . t: t t ' ; . i : tf , , , l it i k , i . r r : r . 1 ' 1111. r, i : , 1 5 i
i ' . r i : Xl r r r r i i ; r t r : l ' , : r : : i ; l ] nr,r:;r-itini tl,r:rhlrrir,ilriinrtitusi,.:rt,rl-lr,rlil,trt !r*grIt.'ilurrli,rsil,rn trrnr?.r,i?11
- iiri:ir.iii,lrr ii;:r irlrrrFtl.r F * t , r l : , , r , , t t ' , i , r nt t i r r i ; r ' t . i c , t n 1 1i : r , : r r . i , r - . . , t . lrsl i{;:i tur ' . r l i , r i t ; "t ,i e
r t, n . , "1i tt , t .
I
r l r ' . l r : r r i; : l i r , r : o r

Metode-metode di atas disusun dalam bentuk "Tool Box" dengan teknik analisis
yang mudah diterapkan. Kecendemngan orientasi kebijakan juga diperhitungkan seperti
desentralisasi,kepemerintahan dan pengentasankemiskinan. Metode tersebut juga
semakin menuntut para perencana pembangunan untuk memperhatikan aspek spasial
dalam pembangunan yang cenderung mengabaikan keterkaitan antara desa-kota.
Dengan menggunakan metode-metode di atas, tekanan harus lebih banyak diberikan
pada aspek permintaan wilayah desa.Hal ini berkaitan juga dengan daya beli dan perilaku
sosial dari para pengguna jasa serta permintaan akan barang ekonomis yang disuplai
oleh pusat (kota).
Dengan memperhatikan kelemahan tersebut, maka keterkaitan desa-kotaperlu
disertai dengan langkah CapacityBuilding (CB) sg6rtrimana dipromosikan ILO dengan
IntegratedRural AccessibilityPlanning (IRAP) yang berhasil diterapkan di beberapa negara

- P"rtn"un""n Pembangunan
No.30/Januari- Marct2fl)3
J8
Pembangunan
Wilayah

Asia. Terdapat 4 elemen kunci dalam pendekatan tersebut yang menggabung antara (1)
perencanaan tingkat lokal, (2) penciptaan lapangan kerja, (3) CB bagi usaha kecil, dan (4)
pemeliharaan berbasis lokal (ILO-ASIST, 2002).

Strategi KeterkaitanDesa-Kota
Salah satu tujuan pembangunan perdesaan adalah mempercepat kemajuan kegiatan
ekonomi dan industrialisasi perdesaan, dalam rangka meningkatkan pendapatan
masyarakat perdesaan, penyediaan bahan pangan dan bahan lain untuk kebutuhan
konsumsi dan produksi melalui : keterkaitan wilayah perdesaan dan perkotaan. penguatan
Pengelolaan ekonomi lokal. serta peningkatan kapasita lembaga dan organisasi ekonomi
mas]rarakat perdesaan. Sementara itu pembangunan perkotaan berorientasi kepada
peningkatan kualitas pelayanan kepada daerah sekitarnya, perdesaan dan kaitan dengan
sistem ekonomi nasional dan global yang menjamin kelangsungan hidup ekonomi lokal
dan kesempumaan fungsi ekonomi nasional dalam mensejahterakan masyarakat umum.
Didasarkan pada tujuan tersebut, dalam strategi pembangunan perdesaan harus
memprioritaskan komponen-komponen pembangunan yang meliputi : (1) prasarana dan
sarana sistem agribisnis; (2) pengembangan industri kecil dan rumah tangga; (3) penguatan
lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat; (4) pengembangan jaringan produksi dan
Pemasaran; (5) penguasaan teknologi tepat guna; (6) pengelolaan pemanfaatan sumber
daya alam yang berkelanjutan. Disamping keenam komponen dalam program prioritas
tersebut, secara khusus pembangunan perdesaan harus juga menekankan pada upaya
peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok masyarakat dan keluarga miskin secara
terpadu dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin.
Herman Flaeruman (2001) menjelaskan bahwa adanya desa dan kota dalam
perr,r'ujudan daerah merupakan dampak dari berbagai kegiatan sosial dan ekonomi yang
terbentuk dalam suatu wilayah. Desa sebagai pusat produksi dan kota sebagai pusat
pelayanan dan pasar. Dalam upaya untuk mengembangkan keterkaitan desa-kota
diperlukan tiga tahapan, sebagaiman digambarkan dalam gambar-1.

PeencanaanPcnrbangunanllo. 3Ulanuari - Marct mo3 - J!


Wilayah
Pembangunan '.
: , : i , , , r i irt, : , ' . , : :

r,,t i"l
t i:' ll: :;r r1,iri1;rjt.l)('rir:i;;,;til.i,rl,iut.lt"r'igil':titlt:lIililt-lrt,l,lih"l)lii

l-.)'":*rr

I dr'"rp;m :
h : r 1 r i t r L li K.r1:itrrl
I
lJ*rr;r i)rrrrt
l r t r t l r r : t t l ; t r : r : r r r{ [ t ] , l i
K . : r r r i t r ; r ; u{rP l t l
l l ; r l , i r S , r i n i 4t l ) $ l

$lttl,::'ipi;llirrrr A rrrn [Jalil; :


*li.r,r, , i : r t t l t r ' ' . r1 . , 1 ' " r , t l r r r , : t j : t irl i.lr t ; f " - ' ' l r r l "l .. t r r r : i
* i , r t r r l , r l .' .. i . , . r , l . r r r1 . , , i . r ] . . ' r j r ! l ' . r r l ir l ; r t !l l i - ' , , t i r r ' j ' : ' J i ' 1

Secaratradisional hubungan desa-kota diindikasikan dengan adanya aliran produk/


jasa perkotaan yang harus "d7bayar" oleh masyarakat perdesaan melalui aliran dana/
kapital dari desa ke kota. Kondisi ini secaraumum dikenal dengan rendahnya nilai tukar
(termsof trade)produk/jasa (dalam bentuk dana/kapital) masyarakatperdesaanterhadap
produk/jasa perkotaan. Pendekatan KDK diharapkan dapat menaikkan nilai tukar
produk/jasa masyarakat perdesaan melalui : (1) upaya memindahkan proses produksi
dari kota ke desa untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk/jasa yang
dihasilkan oleh masyarakat perdesaan melalui bantuan modal, sarana produksi dan
pelatihan; (2) memperpendek jalur produksi, distribusi, dan pemasaran produk/jasa
masyarakat perdesaan untuk mengurangi biaya ekonomi tinggi melalui pembentukan
satuan partisipatif bagi pengembangan produk/jasa secara spesifik. Jasaini dibangun di
perkotaan; (3) memberikan aksesyang lebih besar bagi masyarakat perdesaan terhadap
faktor-faktor produksi barang/jasa seperti modal, bahan baku, teknologi, sarana dan
prasarana. Hal ini akan merangsang SDM di perdesaan untuk lebih produktif dalam
mengembangkan usahanya, sehingga desa memiliki daya tarik untuk investasi produksi
dan tenaga kerja. Disamping itu adanya dukungan informasi khususnya informasi pasar.
Lebih lanjut Herman Flaeruman (2001)mengelaborasibahwa berdasarkan kondisi
obyektif masyarakat perdesaan yang ada maka upaya implementasi Pendekatan KDK
tersebut di atas memerlukan adanya bantuan mediasi, fasditator, dan katalis untuk
memdampingi masyarakatperdesaan.Agar segenapupaya implementasi dapat dilakukan
secara terintegrasi maka secara empiris dibutuhkan 3 (tiga) tahap bagi pemberdayaan
masyarakat perdesaan sebagaiberikut: (1) tahap pemberdayaan kelompok masyarakat
perdesaan; (2) tahap memitrakan kelompok masyarakat tersebut dengan pihak Usaha
Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK); (3) tahap peningkatan daya saing bagi

40 - F"."n""n""n Pembangunan
No.30/tanuari- Maret2(X)3
Fembangunan
Wlayah

kesinambungan dan bagi pencapaian kelayakan komersial dan usaha bisnis lokal yang
telah dimitrakan tersebut.
Tahapan implementasi KDK ini dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan potensi
masyarakat yang ada. Sebagai contoh, untuk masyarakat di Pulau Jawa dan Pulau Bali,
tahap implementasi relatif dapat langsung diterapkan pada tahap kemitraan fungsional
atauapun tahap peningkatan daya saing. Dengan telah tercapainya kelayakan komersial
dan kesinambungan kebijakan dan kelembagaan pengembangan ekonomi lokal, maka
akan dapat menaikkan 'terms of trade" produk/jasayang dihasilkan masyarakat perdesaan
terhadap produk/jasa perkotaan. Kenaikan "termsof trade"produk/jasa perdesaanterhadap
produk/jasa perkotaan ini dalam kondisi riil adalah terciptanya arus balik dana/kapital
dari desa ke kota menjadi dari kota ke desa.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, berdasarkan pengalaman penulis dan rekan-
rekan (Konsultan di Bappenas) dari tahun 7gg8- 2002 khususnya sejak menangangi pro-
Sram-program pembangunan perdesaan melalui Biro Pembangunan Dati tr dan Perdesaan
(Kerjasama Bappenas, UNDP, UN-Habitat, ESCAP, FAO) memotret Keterkaitan Ekonomi
Desa Kota sebagaimanayarrg terdapat pada gambar 2.

i ii',:t..:'\..,r:r

Kcodisi ltrrur :
' IIir:lr.in $]),1.
'
l'ir1iv,,11;n* 5;..)i"l r:rlirrp
I }lnirt
1:r.l,,hr'trli\
r lirrrr,iliii
llrl;rr tier.r:;:1
| trirfrrrrr,<t r:i_tlirp
' trltlir'l :riill:r trrrt,rtrr

Perencanaan llo,30/lanuari - M aTAZWS - 4l


Pembangunan
Pembangunan
Wilayah ''''
,; #i
Berangkat dari kondisi riil di lapang, maka sangat dibutuhkan "Iembagaintermedi-
ary" yang berfungsi sebagai lembaga penghubung kepentingan desa-kota. Disamping itu
lembaga ini dapat menjadi lembaga kolaborasi semua stakeholders (pemerintah,
masyarakat, swasta) desa-kota sehingga semua aspirasi dan kepentingan dapat terwadahi.
Dengan kata lain, hubungan desa-kota menjadi dinamis yang ditandai dengan
berfungsinya desa-kota sesuai perannya (konkibusinya) masing-masing. Disamping itu,
keterkaitan ekonomi kedua wilayah tersebut dapat ditandai dengan desa memiliki daya
tarik untuk investasi produksi dan tenaga kerja sedangkan kota memiliki daya tarik
sebagai tempat pemasaran. Lembaga intermediary dapat memberikan layanan
pengembangan bisnis meliputi (1) layanan informasi; (2) layanan konsultasi; (3) layanan
pelatihan; (4) pendampingan; (5) kontak bisnis; (6) fasilitasi dalam memperluas akses ke
Pasar; (7) fasilitasi dalam pengembangan organisasi dan managemen; (8) fasilitasi
memperoleh permodalan; (9) fasilitasi dalam pengembangan teknologi; (10) penyusunan
proposal pengembangan bisnis.
Sementara itu, Kawik Sugiana (2001) mengembangkan model pengembangan desa-
kota yang saling bermanfaat dan produktif sebagaimanatedapat pada gambar 3.

ll*rNrr itrr it;1il l_t.k*JrtrrIlrd:r


I
l I t r ' 1 11 1l i * 1 i l r r | ; t r r r , r r r , i \ o r r f . r r n r

lJ rttl lt ksi I irt)f ( ;rn i r l d i lrvr,rd r:s:lrrr

Irrq:onrr hagi r rrrtrulr I jurrdg;r


r.li 1:*rrl*su.lur

In(xttrrc lllqi rrrtnlrh tirxgX;t


P * r t j 1 t : } r r i t r x nk n n s r r r n s i
rli 1rr:rchr"..nrurrrr irltlltrri
h ;rgi l,i<rn-N'llkluriu r
dj grr:rlcrLIa;rrr

H**i;ttillr lilerrurlri Nutr -Fittlrr


r . t iK o t r l l t : s * r , K r : r : ; r n ! : r t r r r ,
P tr dt.s;rrtrt

l r r t r r r i r r t ri r ; r r rn : k u p l r l r r d x p r n i l t l h * i
trtll I -l nfr n

l/> -
't4 Percncanaan N,o.3o/ranuari- Maret2003
Pembangunan
Pembangunan
Wilayah

Dari model tersebut, asumsinya adalah penekanan pada saat pelaksanaan bergeser
dari pembangunan kerangka kelembagaan ke sangat perlunya faktor permintaan bagi
produk-produk daerah tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan terjadinya keterkaitan
desa-kota, dimana tanpa permintaan yang memadai maka komoditi yang dipilih untuk
dikembangkan tidak dapat berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Model dari
konsep ini juga menggunakan model basis ekspor terutama pada manfaat dampak.
berganda yang diterima oleh sektor rumah tangga di perdesaan. Gambar 3, "Virtuous
Circle Model", di atas lebih menjelaskan efek domino dari pengeluaran sektor rumah
tangga di perdesaan pada saat sektor ini mendapat pendapatan.
Seperti terlihat dalam model lingkaran manfaat di atas, ada dua jenis permintaan
akan produk pertanian yang dapat menghasilkan keterkaitan desa-kota di suatu daerah :
Pertama adalah perrhintaan dari dalam daerah tersebut itu sendiri akan produk
pertanian' Hal ini dijelaskan dalam diagram di atas sebagai pengeluaran bagi makanan.
Kedua,adalah permintaan dari luar daerah akan produk pertanian. Kedua jenis
permintaan tersebut akan menghasilkan putaran berganda tambahan. Pendapatan yang
didapat oleh sektor rumah tangga di perdesaan, sebagian akan dikeluarkan sebagai
konsumnsi non-makanan dan akan dibelanjakan di sektor usaha di kota besar, kota kecil,
dan desa-desa di daerah itu sendiri.
Hal ini juga memperlihatkan bahwa ada dua jenis permintaan dari luar daerah akan
produk-produk non-pertanian, dengan dampak perputaran yang mirip dengan dua jenis
permintaan akan pertanian. (Bagiankeduadari tulisan ini akandimuat padaedisi3lmendatang).

PerencanaanPembangunanll,o.3(yJanuari - M araZWS - 43

Anda mungkin juga menyukai