Anda di halaman 1dari 58

ANALISIS POLA SPASIAL URBANISASI DAN

PERKEMBANGAN WILAYAH DI KORIDOR MEGA URBAN


JAKARTA-BANDUNG

ERIN GUNTARI FAHRIZAL

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pola Spasial
Urbanisasi dan Perkembangan Wilayah di Koridor Mega Urban Jakarta-Bandung
adalah benar karya saya berdasarkan sumber-sumber ide serta bagian riset yang
sedang dilaksanakan oleh ketua dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Erin Guntari Fahrizal


NIM A14130032
ABSTRAK

ERIN GUNTARI FAHRIZAL. Analisis Pola Spasial Urbanisasi dan


Perkembangan Wilayah di Koridor Mega Urban Jakarta-Bandung. Dibimbing
oleh ERNAN RUSTIADI dan SETYARDI PRATIKA MULYA.

Fenomena urbanisasi, suburbanisasi, dan konurbasi di koridor mega urban


Jakarta-Bandung disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
tiap tahunnya. Selain timbulnya masalah kependudukan, kepadatan dan
pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai
masalah sosial dan ekonomi seperti meningkatnya angka pengangguran,
kemiskinan, dan ketidakmerataan. Berdasarkan hal tersebut diperlukan analisis
spasial terkait pola urbanisasi Jakarta-Bandung sebagai acuan dalam
pengembangan koridor mega urban Jakarta-Bandung ke depannya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi pola perubahan sebaran kepadatan dan
pertumbuhan penduduk di koridor mega urban Jakarta-Bandung, mengidentifikasi
pola sebaran indeks perkembangan wilayah di kawasan tersebut, dan zonasi
wilayah. Metode yang digunakan pada penelitian ini meliputi analisis skalogram,
analisis spatial clustering, dan analisis data spasial. Kepadatan penduduk di
koridor mega-urban Jakarta-Bandung mengalami peningkatan dari tahun 2003
hingga tahun 2014. Pola perubahan sebaran kepadatan penduduk mengikuti
jaringan jalan tol dan jalan nasional yakni Tol Cipularang dan Jalur Puncak. Di
sisi lain, pertumbuhan penduduk di sepanjang koridor Jakarta-Bandung meningkat
dari tahun 2003 hingga tahun 2011 lalu menurun dari tahun 2011 hingga tahun
2014. Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) di koridor mega urban Jakarta-
Bandung juga mengalami perluasan dan peningkatan dari tahun 2003 hingga
tahun 2014. Pada wilayah studi dapat dilakukan beberapa skenario pewilayahan
pembangunan berdasarkan kehomogenan karakteristik wilayah.

Kata kunci: indeks perkembangan kecamatan, kepadatan penduduk, spatial


clustering.
ABSTRACT

ERIN GUNTARI FAHRIZAL. Analysis of Spatial Pattern of Urbanization and


Regional Development in Mega Urban Jakarta-Bandung Corridor. Supervised by
ERNAN RUSTIADI and SETYARDI PRATIKA MULYA.

The phenomenon of urbanization, suburbanization, and conurbation in


regions along the Jakarta-Bandung mega urban corridor were caused by
significant population increase. The emergence of demographic issues as well as
uncontrolled population growth can lead to various social and economic problems
such as unemployment, poverty, and inequality. Spatial analysis of urbanization
spatial pattern can be used as consideration to control regional development of
Jakarta-Bandung mega urban corridor. The objectives of this study are to identify
changes in spatial patterns of population growth and to analyze spatial patterns of
regional depelopment levels in the region and develope some zoning scenarios.
This study employe scalogram analysis and spatial clustering analysis. Population
density in the mega-urban area of Jakarta-Bandung has increased in the period of
2003-2014. The changes in spatial patterns population density distribution tend to
follow toll roads and national roads networks, namely Cipularang and Puncak Toll
Roads. The population growth in this region increased during the period of 2003-
2011 and decreased after 2011. During the period of 2003-2014, the study area
was also experiencing expansion of the increase of subdistricts development
Index (IPK). the study also develope some scenarios of zoning maps.

Keywords: population density, regional development index, spatial clustering


ANALISIS POLA SPASIAL URBANISASI DAN
PERKEMBANGAN WILAYAH DI KORIDOR MEGA URBAN
JAKARTA-BANDUNG

ERIN GUNTARI FAHRIZAL

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Analisis Pola Spasial Urbanisasi dan
Perkembangan Wilayah di Koridor Mega Urban Jakarta-Bandung ini berhasil
diselesaikan. Dengan selesainya karya ilmiah ini penulis mengucapkan rasa
hormat dan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr selaku
Pembimbing I dan Bapak Setyardi Pratika Mulya, SP MSi selaku Pembimbing II
atas waktu, ilmu, arahan, kritikan, masukan dan dukungannya dalam proses
penyelesaian tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian
karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Penghargaan serta
rasa terimakasih yang tulus dan sangat dalam, disampaikan kepada:
1. Ibu, Bapak, dan Adik beserta keluarga besar yang selalu memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis.
2. Ibu Dr Andrea Emma Pravitasari, MSi selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan masukan.
3. Saudara-saudari seperjuangan MSL 50 yang telah memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis.
4. Abang Noer Muhammad Dliyaul Haq yang selalu membantu menemani
pengerjaan skripsi dan mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam penulisan
skripsi ini.
5. Sahabat-sahabat tercinta Wisma Sakinah, Iin, Imas, Detri, Yolanda, Darwa,
Nuy, Tya, Sylvi, dan tentunya Dani & Pungky yang selalu menyemangati.
6. Sahabat-sahabat Bangwilers 50 terutama Alfin dan Detri serta Bangwilers 49
yang senantiasa membantu penulis dalam persiapan penelitian serta
senantiasa memberikan motivasi.
7. Sahabat-sahabat TPB, Putra, Qisthi, Nadya, Eva, Medin, Dadi, Hot dan Asad
yang selalu memberikan support terbaiknya.
8. Mbak Nia Audiah yang senantiasa membantu kelancaran skripsi.
9. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi dan tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam karya
ilmiah ini. Namun dengan keterbatasan tersebut penulis berharap karya kecil ini
bermanfaat bagi pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2017

Erin Guntari Fahrizal


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii


DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Kawasan Perkotaan dan Perdesaan 3
Urbanisasi dan Suburbanisasi 4
Konurbasi 5
Faktor Pendorong Urbanisasi dan Perkembangan Kota 5
Konsep Wilayah 6
Kepadatan Penduduk 6
Urbanisasi, Suburbanisasi, dan Masalah Sosial Ekonomi 7
Aktivitas Industri 8
Analisis Skalogram 9
Data Spasial dan Analisis Data Spasial 10
Sistem Informasi Geografis 10
Klasifikasi dan Klasifikasi Spasial 11
Clustering dan Spatial Clustering 11
METODE PENELITIAN 12
Lokasi dan Waktu Penelitian 12
Bahan dan Alat Penelitian 13
Jenis dan Sumber Data 14
Metode Analisis Data dan Output yang Dihasilkan 15
Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk 15
Analisis Skalogram dan Analisis Korelasi 16
Spatial Clustering 17
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 19
Wilayah Penelitian 19
Jumlah dan Sebaran Penduduk 19
Penggunaan Lahan 20
Sebaran Spasial Perdesaan dan Perkotaan 22
Aktivitas Sosial Ekonomi Penduduk 21
HASIL DAN PEMBAHASAN 22
Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk di Koridor Mega Urban
JakartaBandung 23
Sebaran Indeks Perkembangan Kecamatan di Koridor Mega Urban
JakartaBandung 27
Pewilayahan di Koridor Mega Urban Jakarta-Bandung 29
SIMPULAN DAN SARAN 32
Simpulan 32
Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 33
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Parameter dan teknis analisis data yang digunakan 15


Tabel 2. Variabel-variabel analisis skalogram 17
Tabel 3. Jumlah penduduk Jakarta-Bandung menurut kabupaten/kota 20
Tabel 4. Hasil uji korelasi 27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta lokasi penelitian 13


Gambar 2. Diagram alir penelitian 14
Gambar 3. Jumlah penduduk Jakarta-Bandung 2003-2014 19
Gambar 4. Peta penggunaan lahan tahun 2015 21
Gambar 5. Peta sebaran desa-kota 22
Gambar 6. Persentase aktivitas penduduk 22
Gambar 7. Peta sebaran kepadatan penduduk Jakarta-Bandung 2003-2014 24
Gambar 8. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Jakarta-Bandung per tahun 26
Gambar 9. Peta sebaran Indeks Perkembangan Kecamatan Jakarta-Bandung 28
Gambar 10. Hasil analisis spatial clustering 30
Gambar 11. Hasil analisis clustering 30

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar kecamatan beserta karakteristik dan zonasi wilayahnya 36


1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Urbanisasi atau urbanization dapat diartikan sebagai proses pengkotaan


suatu wilayah. Urbanisasi terjadi melalui dua cara yakni perpindahan penduduk
dari desa menuju kota (rural urban migration) dan juga karena daerah perdesaan
yang lambat laun berubah menjadi daerah perkotaan karena faktor-faktor tertentu
(Sinulingga 1999). Selanjutnya menurut Raharjo (1983), dua proses urbanisasi
yang terdiri atas proses pengkotaan dan proses pergeseran penduduk desa ke kota
tidak dapat dipisahkan. Urbanisasi sebagai proses pengkotaan lebih menekankan
perhatiannya pada proses perkembangan masyarakatnya. Sementara konsep
urbanisasi dalam arti perpindahan penduduk lebih memerhatikan proses
pergeseran penduduknya yang disebabkan oleh perkembangan tersebut. Konsep
urbanisasi berbeda-beda tergantung pada sudut pandang yang dilihat. Sudut
pandang ekonomi melihat urbanisasi sebagai perubahan struktural dalam mata
pencaharian, sedangkan sudut pandang sosial melihat urbanisasi sebagai cerminan
sikap penduduk perdesaan yang dipengaruhi kehidupan perkotaan. Dewasa ini,
metropolitan-metropolitan yang menjadi pusat urbanisasi saling terhubung oleh
suatu koridor berupa jalan dan cenderung bergabung sehingga aksesibilitas
menjadi semakin mudah.
Metropolitan memiliki peran yang signifikan sebagai tempat
terkonsentrasinya aktivitas sosial ekonomi di suatu negara. Jakarta, Bogor, Depok,
Tanggerang, dan Bekasi atau biasa disebut Jabodetabek serta Kota Bandung,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, serta sebagian dari
Kabupaten Sumedang yang kemudian disebut dengan Bandung Raya merupakan
gabungan metropolitan yang memiliki aktivitas sosial ekonomi yang cukup tinggi.
Hal ini diperkuat dengan adanya jalan Tol Cipularang yang menghubungkan
Jakarta dan Bandung. Selain Tol Cipularang, jalan utama yang menghubungkan
Jakarta-Bandung adalah jalur puncak, kedua jalan ini menjadi penghubung dua
kota besar dengan pertumbuhan penduduk yang cukup signifikan di sepanjang
koridornya. Pesatnya pembangunan di dua kota besar tersebut menarik pendatang
dari luar wilayah baik untuk mencari pekerjaan maupun alasan karena sarana
prasarana perkotaan sudah sangat memadai untuk kehidupan yang serba mudah.
Menurut Rustiadi et al. (1999), proses suburbanisasi telah terjadi di
Jabodetabek dan dipicu oleh arus migrasi yang cukup besar menuju Jakarta pada
awalnya dan meluas ke arah Bogor Tanggerang Bekasi (Botabek) pada fase
berikutnya. Kota Jakarta memiliki daya tarik tersendiri untuk menjadi kota tujuan
migrasi dari penduduk berbagai wilayah lain di Indonesia. Pembangunan selama
masa orde baru yang bias ke perkotaan dan bias Jawa menjadi sebab utama
perbedaan karakteristik kota Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Laju
pertumbuhan penduduk Jakarta mengalami peningkatan yang signifikan kemudian
lajunya menurun pada fase berikutnya. Hal ini dikarenakan pada fase berikutnya
laju pertumbuhan penduduk yang cepat berpindah ke wilayah Botabek.
Sama halnya dengan Jakarta, Bandung juga memiliki daya tarik untuk
tujuan migrasi. Metropolitan Bandung Raya merupakan pusat produksi dan arus
distribusi (perdagangan) dari Jawa Barat bagian Barat ke Jawa Barat bagian
2

Selatan. Kota Bandung sebagai pusat destinasi ekonomi yang kemudian


terdistribusi ke wilayah-wilayah sekitarnya. Aktivitas sosial ekonomi yang pesat
berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang dan kepadatan penduduk yang semakin
tinggi. Berdasarkan data BPS (2011), metropolitan Bandung Raya adalah
kesatuan wilayah perkotaan yang terbentuk karena aglomerasi kegiatan ekonomi,
aglomerasi aktivitas sosial masyarakat, aglomerasi lahan terbangun, dan
aglomerasi penduduk mencapai 5,8 juta jiwa. Bandung Raya terdiri atas 56
kecamatan dalam 5 kabupaten/kota yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi dengan luas total 102.598,80 ha.
Berdasarkan pernyataan diatas, tentu dapat diprediksi bahwa kepadatan penduduk
di koridor mega urban Jakarta-Bandung meningkat tiap tahunnya. Peningkatan
angka kepadatan penduduk inilah yang kemudian dapat dijadikan acuan
pemerintah dalam proses perencanaan pembangunan wilayah seperti
pembangunan sarana prasarana atau infrastruktur di suatu wilayah untuk
menunjang kebutuhan penduduknya.
Peningkatan kebutuhan ruang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
dari aktivitas pertanian ke permukiman, industri, dan jasa sehingga rasio urban
area terutama di koridor mega urban Jakarta-Bandung semakin meningkat.
Menurut Winarno (2007), peningkatan kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan
mendorong terjadinya perkembangan daerah pinggiran kota (urban fringe) dan
perkembangan daerah secara acak (urban sprawl). Menurut Soetomo (2012),
urban sprawl merupakan fenomena pemekaran secara horizontal atau pemencaran
ruang kota, pembangunan perkotaan cepat menjalar jauh ke luar kota menciptakan
penetrasi perkotaan ke dalam perdesaan demi mendapatkan ketersediaan lahan
terjangkau untuk penggunaan permukiman. Aktivitas industri dan pertumbuhan
penduduk menjadi faktor perkembangan suatu wilayah namun pertumbuhan
penduduk yang tidak terkendali dapat menyebabkan berbagai masalah sosial
maupun ekonomi seperti meningkatkan jumlah pengangguran, pemukiman kumuh
terutama di bantaran sungai, aksi kriminalitas, dan angka kemiskinan. Selain
timbulnya masalah kependudukan, kepadatan dan pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali dapat menimbulkan masalah ketidakmerataan. Analisis spasial
urbanisasi di koridor mega urban Jakarta-Bandung dapat memberikan gambaran
yang lebih jelas mengenai proses pengembangan pengkotaan di sepanjang koridor
mega urban Jakarta-Bandung ke depannya. Selain itu, pewilayahan atau zonasi
wilayah di sepanjang koridor mega urban Jakarta-Bandung akan mempermudah
penentuan kebijakan yang diterapkan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spasial urbanisasi di koridor


mega urban Jakarta-Bandung dengan tujuan-tujuan khusus sebagai berikut;
1. mengidentifikasi pola perubahan kepadatan dan pertumbuhan penduduk di
sepanjang koridor mega urban Jakarta-Bandung;
2. mengidentifikasi pola sebaran indeks perkembangan kecamatan di koridor
mega urban Jakarta-Bandung;
3. pewilayahan (zonasi) kawasan berdasarkan kepadatan penduduk, urban
land ratio, dan indeks perkembangan kecamatan.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Kawasan Perkotaan dan Perdesaan

Menurut Bintarto (1984), desa merupakan perwujudan atau kesatuan


geografi, sosial, ekonomi, politik, serta kultural yang terdapat di suatu daerah
dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain
sedangkan kota adalah kesatuan jaringan kehidupan manusia yang ditandai
dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial
ekonomi yang heterogen serta coraknya materialistis. Menurut Ansyari (1993),
desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dimana desa merupakan
pemerintahan terendah di bawah kecamatan sedangkan kota adalah permukiman
yang heterogen dan memiliki organisasi-organisasi politik, ekonomi, agama, dan
budaya. Selain itu, kota mencakup unsur-unsur keluasan atau wilayah, kepadatan
penduduk, kemajemukan sosial, pasar dan sumber kehidupan, fungsi
administratif, dan unsur-unsur budaya.
Masyarakat kota terdiri atas penduduk asli daerah tersebut dan pendatang.
Masyarakat kota merupakan suatu masyarakat yang heterogen, baik dalam hal
mata pencaharian, agama, adat, dan kebudayaan. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang dijelaskan bahwa
terdapat perbedaan antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Kawasan
perkotaan atau urban area adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi. Sementara itu, kawasan perdesaan atau rural area adalah
wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1997), ciri khas dari kawasan
perkotaan adalah memiliki kepadatan tertentu, rata-rata minimal kepadatan
penduduknya sebanyak 50 jiwa/ha dengan dominasi kegiatan ekonomi bukan
pertanian yang meliputi fungsi kegiatan permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan, jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi
perkotaan. Sedangkan ciri khas kawasan perdesaan adalah aktivitas pertanian
yang tinggi dan wilayah perdesaan yang berbatasan dengan wilayah kota
direncanakan untuk dikembangkan sebagai kawasan penyangga permukiman
dalam upaya memenuhi kebutuhan permukiman masyarakat kota. Menurut
Ahmadi (2003), masyarakat perdesaan adalah sekelompok orang yang hidup
bersama dan bekerjasama dengan sifat-sifat yang hampir sama (homogen) di suatu
wilayah atau daerah tertentu dengan mata pencarian dari sektor pertanian
(agraris). Sedangkan masyarakat perkotaan umumnya memiliki jumlah penduduk
yang lebih banyak dibanding penduduk perdesaan. Perbedaaan yang paling
menonjol adalah pada mata pencahariannya. Kehidupan utama wilayah perdesaan
berbasis pada perekonomian primer yaitu agraris, sedangkan di perkotaan
umumnya berbasis pada pengolahan bahan-bahan mentah dari desa untuk diubah
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
4

Urbanisasi dan Suburbanisasi

Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2010 tentang ketentuan-


ketentuan pokok urbanisasi, urbanisasi adalah proses perubahan dari desa ke kota
meliputi wilayah beserta penduduk di dalamnya. Urbanisasi dipandang sebagai
suatu perpindahan penduduk dari desa ke kota. Budianto dalam Koestoer et al.
(2001) menyatakan bahwa urbanisasi merupakan pertumbuhan persentase
penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan baik secara global, nasional,
maupun regional. Selain itu definisi-definisi lain dari urbanisasi adalah
bertambahnya penduduk bermatapencaharian nonagraris di perdesaan, tumbuhnya
suatu pemukiman menjadi kota, mekarnya atau meluasnya struktur artifaksial-
morfologis suatu kota ke perdesaan, meluasnya pengaruh suasana sosial, ekonomi,
psikologis, dan kultural kota ke perdesaan. Dalam masa pembangunan di negara
berkembang ada kesan bahwa bertambahnya penduduk kota dengan pesat itu
dikarenakan migrasi masuknya orang-orang dari desa. Hal ini memang sebagian
besar benar, namun tidak terlepas dari itu penduduk kota sendiri juga mengalami
pertambahan yang alami.
Hikmana (2011) mengungkapkan bahwa migrasi menyebabkan mereka
para migran yang tidak memiliki kompetensi malah menjadi golongon terbawah
dari warga kota, kaum yang terpinggirkan. Mereka menjadi kaum pengangguran
yang semakin miskin dan menambah jumlah pengangguran yang sebelumnya
sudah ada di kota. Segregasi penduduk desa itu pada umumnya mendiami
wilayah-wilayah kumuh di daerah-daerah perkotaan yang jumlahnya sangat
banyak dan menjadi pemicu dalam masalah-masalah sosial perkotaan. Segregasi
penduduk kota berdasarkan stratifikasinya semakin kental sejalan dengan
dinamika dan kepadatannya. Penduduk kota yang mempunyai kemampuan
ekonomi tinggi menempati wilayah-wilayah kota yang strategis dan mahal dengan
berbagai fasilitas. Mereka mengelompokkan diri sebagai warga kota “yang lain
dari pada yang lain”. Mereka menikmati fasilitas-fasilitas kota yang mahal dan tak
terjangkau oleh warga kota kebanyakan. Mereka tinggal di rumah-rumah mewah
seperti di Jakarta terdapat di Pondok Indah, Menteng, Muara Karang, dan lain-
lain. Segregasi ini tidak saja berdasarkan kemampuan ekonomi, tetapi juga karena
kesamaan etnik.
Gejala suburbanisasi (pengkotaan di wilayah pinggiran) akan terjadi
dengan berlangsungnya proses pertumbuhan dan pemekaran wilayah pinggiran
yang ditandai dengan berubahnya lahan-lahan pertanian menjadi kawasan
terbangun di pinggiran. Dalam artian sosiologis, jenis pengkotaan di wilayah
pinggiran dalam jenis lain yakni perubahan mental dan moral berciri urban.
Bintarto (1983) menyebut proses pengkotaan tersebut sebagai perubahan
kehidupan desa atau suasana desa menjadi suasana kehidupan kota. Menurut
Rustiadi dan Panuju (1999), suburbanisasi telah melahirkan fenomena yang
kompleks di wilayah suburban, yaitu akulturasi budaya, konversi lahan pertanian
ke aktivitas urban, spekulasi lahan, dan lain-lain. Proses suburbanisasi bukanlah
fenomena yang relatif baru.
Suburbanisasi di Indonesia memiliki beberapa kemiripan dengan proses
yang sama di negara-negara Asia yang berbasis pertanian padi (rice agriculture)
dan sangat berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju di Eropa Barat dan
Amerika. Menurut Marius (2006), urbanisasi adalah bagian dari kompleksitas
5

perubahan-perubahan sosial yang mendorong orang untuk berpindah dari satu


tempat ke tempat yang lain. Tekanan ekonomi di daerah perdesaan yang dirasakan
oleh penduduk, tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer seperti sandang
pangan dan papan, “ideologi” kota dan variasi gaya hidupnya yang modern serta
menjanjikan memiliki daya tarik bagi masyarakat desa untuk berpindah ke kota.

Konurbasi

Ekspansi kota secara fisik yang diperlihatkan oleh penjalaran area


terbangun pada akhirnya akan memunculkan apa yang disebut dengan konurbasi.
Menurut Departeme Pekerjaan Umum (1997), konurbasi adalah konsentrasi
perkotaan dalam jumlah besar akibat penggabungan beberapa kota atau perkotaan
menjadi satu kota yang besar. Pada beberapa kasus wilayah seperti ini dapat
dibentuk wilayah administratif baru atau tetap mempertahankan batas administrasi
yang lama. Konurbasi sinonim dengan istilah “Aglomerasi perkotaan” atau
“metropolis” (Budihardjo 1993). Dalam proses konurbasi, daerah-daerah yang
disebut selaput inti kota yaitu daerah di luar Central Business Districts (CBD)
meluas ke arah luar. Bersamaan dengan selaput inti, kota lain yang mengalami
ekspansi penggunaan lahan melewati batas wilayah sehingga terjadi semacam
peleburan antara dua perkotaan dengan dua inti kota. Konurbasi juga dapat
terbentuk lebih dari dua nukleus yang disebut dengan “struktur polinukleus” atau
struktur “uninukleus” (Bintarto 1997). Daldjoeni (1998) membagi konurbasi
menjadi dua tipe antara lain;
1. polisentris adalah konurbasi yang terjadi karena bergabungnya beberapa
kota menjadi satu akibat ekspansi fisik masing-masing
2. monosentris adalah konurbasi yang terjadi karena ekspansi fisik kota besar
tunggal.
Menurut Soegijoko dan Bulkin (1994), perkembangan kota yang mengikuti
jalur transportasi selanjutnya akan membentuk suatu proses conurbation dan
agglomeration. Hal ini ditandai dengan berdirinya bangunan-bangunan baru yang
memanjang (linier) mengikuti jalur transportasi sehingga memungkinkan
terjadinya pertemuan conurbation antara dua kota besar yang berdekatan.
Pertemuan antara dua conurbation ini disebut agglomeration, yaitu menyatunya
dua atau lebih kota yang berdekatan karena adanya perkembangan kota.
Conurbation merupakan proses menyatunya serangkaian kota-kota (urban areas)
sehingga fenomena penataan kota meluas hingga memiliki dimensi regional
dimana pada saat ini conurbation terjadi apabila dua kota metropolitan dalam
perkembangannya menyatu.

Faktor Pendorong Urbanisasi dan Perkembangan Kota

Proses urbanisasi di Indonesia disebabkan oleh tiga push factors yaitu


perbandingan jumlah penduduk dengan luas tanah di perdesaan yang pincang,
kurangnya lapangan pekerjaan di luar bidang pertanian, dan rendahnya
pendapatan. Sedangkan pull factors yang menarik penduduk desa berpindak ke
perkotaan adalah lapangan pekerjaan yang lebih beragam, upah yang lebih tinggi,
dan adanya selingan serta hiburan dalam kehidupan (Daldjoeni 1998). Sejalan
dengan pemikiran Daldjoeni, Sinulingga (1999), menyatakan bahwa penduduk
6

yang berpindah ingin mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupannya.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa migrasi pada hakikatnya merupakan
implikasi dari perbedaan fasilitas antara suatu daerah dengan daerah lainnya.
Penduduk dari daerah yang fasilitasnya kurang yang pada umumnya adalah
daerah perdesaan akan berpotensi untuk pindak ke daerah yang berfasilitas
lengkap yakni daerah perkotaan. Migrasi seperti ini dinamakan migrasi desa-kota
(rural-urban-migration).
Menurut Tjiptoherijanto (1999), urbanisasi dan perkembangan kota sangat
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi. Pola dan proses urbanisasi dan
perkembangan kota juga mencerminkan perkembangan ekonomi di perkotaan,
khususnya kota-kota besar. Kegiatan ekonomi sekunder dan tersier seperti
perpabrikan dan jasa cenderung berada di kota-kota besar. Urbanization
economics yang sederhana dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang dapat
mendorong suatu kegiatan usaha untuk berlokasi di kota-kota besar sebagai pusat
konsentrasi penduduk dan prasarana urban. Semakin berpusatnya kegiatan
ekonomi di kota-kota besar di Indonesia akhir-akhir ini juga sangat dipengaruhi
oleh berbagai deregulasi dalam sektor industri dan keuangan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk lebih memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
efisiensi kinerja sektor-sektor ekonomi tersebut.

Konsep Wilayah

Wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas


tertentu dimana komponen-komponen didalamnya memiliki keterkaitan dan
hubungan fungsional satu sama lain. Komponen-komponen tersebut memiliki arti
di dalam pendeskripsian perencanaan dan pengolaan sumberdaya pembangunan.
Menurut Rustiadi et al. (2011), kerangka konsep wilayah yang lebih mampu
menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah: (1) wilayah
homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah
perencanaan/pengelolaan (planning region atau programing region).
Wilayah homogen adalah wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan
keseragaman atau seperangkat ciri atau karakteristik tertentu dari aspek fisik,
sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan beserta kombinasi dan
turunannya. Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional memiliki sifat
saling ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah dibelakangnya (hinterland).
Ketergantungan antara pusat dan daerah dapat dilihat dari faktor produksi,
penduduk, barang dan jasa, komunikasi, transportasi serta perhubungan di antara
keduanya. Wilayah perencanaan adalah wilayah yang batasannya didasarkan
secara fungsional dalam kaitannya dengan maksud perencanaan. Wilayah
perencanaan mengalami perubahan-perubahan penting dalam pengembangannya
dan memungkinkan persoalan-persoalan perencanaan sebagai suatu kesatuan.

Kepadatan Penduduk

Menurut Christiani et al. (2014), kepadatan penduduk adalah


perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah yang dihuni. Ukuran
yang biasa digunakan adalah jumlah penduduk setiap satu Km2 atau setiap 1 mil2.
Permasalahan dalam kepadatan penduduk adalah persebaran yang tidak merata.
7

Kepadatan penduduk dapat mempengaruhi kualitas hidup penduduknya. Pada


daerah dengan kepadatan yang tinggi, usaha peningkatan kualitas penduduk akan
lebih sulit dilakukan. Hal ini menimbulkan permasalahan sosial ekonomi,
kesejahteraan, keamanan, ketersediaan lahan, air bersih dan kebutuhan pangan.
Hasil kajian Siagian (1995) menyatakan bahwa kepadatan penduduk yang
tinggi di perkotaan diakibatkan oleh migrasi penduduk. Sebagian besar orang
yang bermigrasi adalah penduduk yang sudah kawin. Hal ini logis mengingat
orang yang sudah kawin mempunyai motivasi yang lebih besar untuk memperoleh
pendapatan yang lebih baik untuk menghidupi keluarganya, yaitu dengan
melakukan migrasi. Di sisi lain, ledakan penduduk yang cepat menimbulkan
dampak buruk bagi kehidupan masyarakat terutama dalam bidang sosial ekonomi
masyarakat. Adapun dampak dari ledakan penduduk adalah semakin terbatasnya
sumber-sumber kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan,yang layak).
Akibatnya sumber-sumber kebutuhan pokok tersebut tidak lagi sebanding dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Tidak tercukupinya fasilitas sosial dan kesehatan
yang ada (sekolah, rumah sakit, tempat rekreasi) serta berbagai fasilitas
pendukung kehidupan lain. Tidak tercukupinya lapangan pekerjaan bagi tenaga
kerja yang ada, akibatnya terjadilah peningkatan jumlah pengangguran dan
berdampak pada menurunnya kualitas sosial dan ditandai dengan banyaknya tuna
wisma, pengemis, pelaku kriminal, dan lain-lain (Christiani et al. 2014).

Urbanisasi, Suburbanisasi, dan Masalah Sosial Ekonomi

Gambaran paling umum di kota-kota besar adalah kenyataan bahwa


penghuni dari kota-kota tersebut sebagian besar mempunyai tingkat hidup di
bawah standar. Beberapa dari mereka bahkan harus tinggal di daerah kumuh dan
pemukiman-pemukiman liar. Menurut Marius (2006), Survei PBB terhadap 52
kota besar di dunia menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Jakarta
(54%) dinilai tinggal di rumah yang tidak layak. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar penghasilan penduduk tersebut masih digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan pangan. Hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kualitas terutama
dari pendidikan masih sangat kecil. terlebih lagi tidak ada penghasilan sisa yang
dapat disimpan. Dengan demikian, kemiskinan di perkotaan akan tampak lebih
jelas terlihat. Golongan miskin dan kaya akan tampak sangat kontras dan
mencolok karena kekayaan merupakan ciri khas kehidupan perkotaan.
Permasalahan lainnya yang menonjol adalah adanya perbedaan dalam
pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibat dari konsentrasi kegiatan-kegiatan
ekonomi (industri dan jasa) di perkotaan maka terjadi peningkatan migrasi dari
desa ke kota. Sektor informal perkotaan telah menjadi pilihan pekerjaan yang jelas
bagi para migran yang tidak memiliki keahlian dan kemampuan. Sektor informal
ini telah memainkan peran penting dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Akan
tetapi, beberapa dari mereka tidak dapat masuk ke sektor informal disebabkan
banyaknya hambatan, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
kota. Akibatnya, banyak yang menjadi pengangguran. Banyak penduduk miskin
perdesaan yang bermigrasi ke perkotaan hanya sekedar mengubah status mereka
menjadi penduduk miskin perkotaan tanpa terjadi peningkatan yang berarti pada
kesejahteraan mereka. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah pemukiman
kumuh di perkotaan, penurunan kualitas lingkungan hidup, penurunan kualitas
8

pelayanan infrastruktur perkotaan yang mendasar, dan makin terbatasnya


kesempatan kerja (Tjiptoherijanto 1999).
Dampak sosial yang dirasakan akibat urbanisasi menurut Marius (2006)
adalah peralihan mata pencaharian dari kebiasaan bertani menjadi pekerja di
industri-industri berarti perubahan kebudayaan pertanian menjadi kebudayaan
perindustrian. Perubahan kebudayaan ini membuat warga desa tercabut dari akar
sosial budaya desa dan masuk budaya baru yakni budaya kota dengan segala
tuntutannya. Tercabutnya akar sosial warga desa ini mempengaruhi tata nilai dan
norma yang mereka anut. Sedangkan dampak ekonomi adalah terjadinya
kebocoran sumberdaya yang diambil dari perdesaan namun diolah dan dipasarkan
dengan harga yang tinggi di perkotaan.

Aktivitas Industri

Menurut Kemenperin (1984), industri adalah kegiatan ekonomi yang


mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan atau barang jadi
menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya. Kelompok
industri adalah bagian-bagian utama kegiatan industri, yakni kelompok industri
hulu atau juga disebut kelompok industri dasar, kelompok industri hilir, dan
kelompok industri kecil. sedangkan cabang industri merupakan bagian suatu
kelompok industri yang mempunyai ciri umum sama dalam proses produksi.
Menurut Tambunan (2002), penentuan lokasi industri ditentukan berdasarkan
pendekatan biaya angkut minimum, analisis pasar, dan maksimalisasi keuntungan
yang merupakan akibat logis dari biaya maupun pasar.
Secara empirik, penentuan lokasi perlu memperhatikan tenaga kerja,
aksesibilitas, tempat kedudukan kerjasama, dan daya tarik lingkungan. Industri
dan produk yang dihasilkan mempunyai dampak pada basis sumberdaya alam
melalui keseluruhan daur ekplorasi dan ekstrasi barang mentah, transformasi
menjadi produk, konsumsi energi, limbah produksi, dan pemakaian produk dan
pembuangan sampah yang dihasilkan produk tersebut oleh konsumen. Dampak
tersebut mungkin positif, karena meningkatkan kualitas suatu sumberdaya atau
memperpanjang pemanfaatannya; atau mungkin pula dampak tersebut negatif,
akibat proses, dan pencemaran produk, dan akibat menipisnya atau rusaknya
sumberdaya.
Secara mikro, industri mempunyai pengertian sebagai kumpulan dari
perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang homogen atau barang-
barang yang mempunyai sifat saling mengganti dengan erat. Namun secara
pembentukan harga yaitu cenderung bersifat makro adalah kegiatan ekonomi yang
menciptakan nilai tambah dan secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu
industri penghasil barang dan industri penghasil jasa (Hasibuan 1994). BPS
(2014) menjelaskan bahwa kegiatan industri merupakan kegiatan untuk mengubah
bentuk secara mekanis maupun kimiawi dari bahan organik atau anorganik
menjadi produk baru yang nilainya lebih tinggi dan dikerjakan dengan mesin
penggerak atau tenaga kerja yang pelaksanaannya dapat dilakukan di pabrik
ataupun rumah tangga serta hasilnya dapat dijual atau digunakan sendiri. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa kegiatan industri tidak terlepas dari kegiatan
perusahaan. Besar atau kecilnya suatu industri berdasarkan pada banyaknya
jumlah tenaga kerja yang dimiliki. Dalam hal ini, BPS (2014) mengelompokkan
9

sektor industri pengolahan menjadi 4 kelompok industri berdasarkan jumlah


tenaga kerja yaitu;
1. industri besar, memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang
2. industri sedang, memiliki jumlah tenaga kerja antara 20-99 orang
3. industri kecil, memiliki jumlah tenaga kerja antara 5-19 orang
4. industri rumah tangga, memiliki jumlah tenaga kerja antara 1-4 orang

Perkembangan Wilayah, Hirarki Wilayah dan Analisis Skalogram

Menurut Tarigan (2009), hirarki wilayah menggambarkan jenjang suatu


wilayah akibat perbedaan jumlah, jenis, dan kualitas dari fasilitas yang tersedia di
kota tersebut. Atas dasar perbedaan itu, volume dan keragaman pelayanan yang
dapat diberikan setiap jenis fasilitas juga berbeda. Perbedaan fungsi ini umumnya
terkait langsung dengan perbedaan besarnya suatu wilayah (jumlah penduduk).
Perbedaan fungsi ini juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas pengaruh.
Hirarki perkotaan sangat penting dalam perencanaan wilayah karena menyangkut
fungsi yang ingin diarahkan untuk masing-masing wilayah. Sedangkan
Perkembangan wilayah adalah upaya untuk memacu perkembangan sosial
ekonomi, mengurangi kesenjangan wilayah, mencegah perubahan yang tidak
diinginkan pada suatu wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Dalam suatu wilayah, kota yang memiliki orde tertinggi diberi peringkat
ke-l. Penentuan orde (tingkat) sangat terkait dengan luas wilayah analisis. Untuk
kepentingan perencanaan wilayah, setiap kota di suatu wilayah harus ditetapkan
ordenya. Orde atau hirarki wilayah tersebut akan mempermudah pengelolaan
suatu wilayah. Wilayah dengan orde/hirarki yang sama diberlakukan kebijakan
yang sama karena karakteristiknya sama Orde ditetapkan berdasarkan
kondisi riil di lapangan ataupun karenaadanya keinginan untuk mengubah orde
suatu kota. Orde suatu kota bisa diubah secara bertahap dengan merencanakan
penambahan berbagai fasilitas di kota tersebut, di mana masyarakat diperkirakan
akan mau memanfaatkan fasilitas tersebut sebagaimana mestinya (Tarigan 2009).
Analisis Skalogram merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan suatu daerah dalam rangka memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Semakin tinggi perkembangan suatu wilayah berarti wilayah
tersebut semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya.
Pelayanan yang dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan fasilitas-fasilitas yang
ada didaerah tersebut seperti fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi,
aktivitas sosial, dan pemerintahan. Analisis skalogram dapat ditentukan dalam
skala kabupaten/kota ataupun kecamatan yang dapat dijadikan sebagai pusat
pertumbuhan. Kecamatan yang memiliki kelengkapan fasilitas tertinggi dapat
ditentukan sebagai pusat pertumbuhan (Nainggolan 2005).
Menurut Riyadi et al. (2003), analisis skalogram mengelompokkan
klasifikasi kota berdasarkan pada tiga komponen fasilitas dasar yang dimilikinya
yaitu: (1) Differentiation yaitu fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi.
Fasilitas ini menunjukkan jumlah dan jenis fasilitas. (2) Solidarity adalah fasilitas
yang berkaitan dengan aktivitas sosial. Fasilitas ini menunjukkan tingkat kegiatan
sosial dari kawasan/kota. (3) Centrality adalah fasilitas yang berkaitan dengan
kegiatan ekonomi politik/pemerintahan. Fasilitas ini menunjukkan bagaimana
hubungan dari masyarakat dalam sistem kota/komunitas.
10

Data Spasial dan Analisis Data Spasial

Menurut Handayani et al (2005), data spasial merupakan data yang


merujuk pada posisi geografi untuk menentukan posisi secara absolut berdasarkan
pada sistem koordinat. Untuk area kecil, sistem koordinat yang paling sederhana
adalah grid segiempat teratur. Sedangkan untuk area yang lebih besar,
berdasarkan proyeksi kartografi yang umum digunakan. Data
spasial adalah data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference) di
mana berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit spasial. Sesuai dengan
perkembangan, peta tidak hanya merepresentasikan obyek-obyek yang ada di
muka bumi, tetapi berkembang menjadi representasi obyek diatas muka bumi (di
udara) dan dibawah permukaan bumi. Data spasial memiliki dua jenis tipe yaitu
vektor dan raster. Model data vektor menampilkan, menempatkan, dan
menyimpan data spasial dengan menggunakan titik-titik, garis-garis atau kurva,
atau poligon beserta atribut-atributnya. Model data Raster menampilkan, dan
menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel
yang membentuk grid.
Pengelolaan data spasial merupakan hal yang penting dalam pengolahan
data dimana kemampuan ini dimiliki oleh Sistem Informasi Geografi dalam
mengolah dan menganalisis data yang mengacu pada lokasi geografis menjadi
suatu informasi keruangan. Karakteristik utama Sistem Informasi Geografi adalah
kemampuan menganalisis sistem seperti analisa statistik dan overlay yang disebut
analisa spasial. Analisis data spasial adalah analisa dengan menggunakan Sistem
Informasi Geografi yang sering digunakan dengan istilah analisa spasial, tidak
seperti sistem informasi yang lain yaitu dengan menambahkan dimensi ruang
(space) atau geografi. Kombinasi ini menggambarkan atribut-atribut pada
bermacam fenomena seperti umur seseorang, tipe jalan, dan sebagainya, yang
secara bersama dengan informasi seperti dimana seseorang tinggal atau lokasi
suatu jalan. Analisis Spasial dilakukan dengan meng-overlay dua peta yang
kemudian menghasilkan peta baru yang merupakan hasil analisis spasial
(Handayani et al 2005).

Sistem Informasi Geografis

Prahasta (2005) mengungkapkan bahwa sistem informasi geografis adalah


sistem informasi khusus untuk mengelola data yang memiliki informasi spasial.
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan perangkat lunak yang dapat
digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan
keluaran informasi geografis beserta atribut-atribut yang ada di dalam input
tersebut. Proses Geographic Information System (GIS) biasanya dinamakan juga
sebagai mapping (pemetaan). Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG), data-data
disimpan di dalam tabel (tabular data) dan data spasial (data yang memiliki
karakteristik lokasi dan mewakili suatu tempat atau lokasi).
GIS pada pemakaiannya berhubungan dengan beberapa kumpulan data
(database) guna memberikan secara cepat informasi suatu tempat. Secara umum
sistem informasi geografis memiliki kemampuan dalam fungsi-fungsi analisis
yaitu analisis spasial dan analisis atribut. SIG tidak hanya berfungsi untuk
memindahkan/mentransformasi peta konvensional (analog) ke bentuk digital
11

(digital map), lebih jauh lagi sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengolah
dan menganalisis data yang mengacu pada lokasi geografis menjadi lebih
informatif dan berharga.
Salah satu fungsi software ArcGIS dalam analisis atribut adalah calculate
geometry. Calculate geometry merupakan suatu prosedur perhitungan otomatis
pada ArcGIS berdasarkan bentuk geometri dari data GIS yang tergambar dan
sistem koordinat yang digunakan. Pada tipe data titik (point), prosedur calculate
geometry akan menghasilkan informasi posisi X dan Y dari data-data titik.
Sedangkan pada data garis (polyline), prosedur ini akan menghasilkan informasi
panjang serta luas untuk tipe data area (polygon). Selain calculate geometry
untuk menghitung luas polygon, terdapat fungsi lain dalam software ArcGIS
yakni Join and relates. Join atribut ini berfungsi untuk menggabungkan atribut
yang satu dengan atribut lainnya dengan syarat harus ada field yang sama dalam
kedua tabel yang akan digabungkan (Prahasta 2005).

Klasifikasi dan Klasifikasi Spasial

Menurut Wismarini (2014), klasifikasi merupakan aktivitas ilmiah yang


dapat digunakan untuk mendeskripsikan, meringkas, dan menyederhanakan data
ke dalam suatu format yang diinginkan. Apabila diterapkan untuk klasifikasi data,
klasifikasi merupakan proses yang dapat menemukan properti-properti yang sama
dalam himpunan objek pada sebuah basis data dan kemudian terklasifikasi
menjadi kelas-kelas berbeda menurut model klasifikasi tertentu. Sistem Informasi
Geografis digunakan dalam penerapan metode klasifikasi spasial dan penyajian
informasi kelas pada data spasial dengan tujuan supaya informasi dari data yang
dikasifikasikan menjadi lebih informatif. Klasifikasi spasial merupakan metode
pengelompokkan data spasial ke dalam kelas kelas dengan interval tertentu.
Klasifikasi merupakan aktivitas ilmiah untuk mendeskripsikan, meringkas
dan menyederhanakan data ke dalam suatu format yang diinginkan. Informasi
yang melekat pada suatu lahan selalu berdimensi spasial karena melekat dengan
posisi di permukaan bumi. Analisis klasifikasi spasial atas pewilayahan
diharapkan dapat mempermudah deskripsi spasial karakteristik fisik maupun
sosial ekonomi suatu wilayah klasifikasi spasial erat kaitannya dengan
ketergantungan spasial antar data dan heterogenitas spasial. Metode clustering
data spasial memerlukan pendekatan yang lebih kompleks dan rumit. Sumberdaya
wilayah yang tersebar tidak merata secara spasial membutuhkan sistem alokasi
dan distribusi pemanfaatannya secara optimal. Metode zoning atau klasifikasi
spasial dapat menjadi alat efektif dalam pendeskripsian sebaran spasial
sumberdaya fisik wilayah secara lebih sederhana namun memiliki arti yang
memadai (Rustiadi et al 2003).

Clustering dan Spatial Clustering

Clustering atau penggerombolan merupakan proses pengelompokkan data


ke dalam kelas-kelas berdasarkan kemiripan karakteristiknya sehingga di dalam
suatu penggerombolan memiliki tingkat persamaan lebih tinggi dibandingkan
objek yang terdapat dalam penggerombolan yang lain (Han dan Kamber 2006).
Metode ini akan membentuk data menjadi K-grup partisi dengan persyaratan
12

minimal memiliki satu anggota pada setiap grup dan setiap objek pada basis data
harus berada dalam satu grup partisi. Penggerombolan spasial atau spatial
clustering dapat diterapkan pada sekelompok objek spasial yang serupa secara
bersama-sama, dengan asumsi implisit bahwa pola cenderung dikelompokkan
dalam ruang dibandingkan dengan pola acak. Sebagai fungsi dari data mining,
penggerombolan spasial dapat digunakan sebagai alat yang berdiri sendiri untuk
mendapatkan wawasan tentang distribusi data, mengamati karakteristik setiap
penggerombolan, dan fokus pada kelompok penggerombolan tertentu untuk
analisis lebih lanjut (Han et al. 2001).
Sebagian besar jenis dari analisis spasial membutuhkan informasi tingkat
hubungan spasial di dalam suatu data. Spatial clustering mempertimbangkan jarak
sebagai suatu variabel penting dalam penggerombolan. Menurut Rustiadi dan
Kobayashi (2000), contiguity atau ketersambungan antar poligon menunjukkan
wilayah yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan memiliki karakteristik
yang sama serta dipengaruhi oleh jarak/distance yang saling berdekatan.
Klasifikasi spasial dapat dilakukan dengan menggunakan analisis klaster dengan
melibatkan variabel-variabel geografis. Batasan dalam proses identifikasi wilayah
yang berdekatan menggunakan prosedur penggantian nilai centroid. Dalam
klasifikasi spasial, unit-unit yang dikelompokkan hanya wilayah-wilayah yang
memiliki kedekatan spasial. Pengelompokan spasial dapat diperoleh dengan
berbagai pendekatan, diantaranya pendekatan menggunakan variabel-variabel
geografis atau posisi koordinat dari wilayah yang diklasterkan. Prosedur
pengelompokan ini menggunakan euclidean distance sebagai acuan dalam
menentukan kedekatan spasial antar wilayah. Euclidean distance merupakan
konsep menghitung jarak menggunakan prinsip perhitungan phytagoras.
Persamaan yang digunakan dalam spatial clustering adalah MinƩDij2. Dimana
Min adalah nilai terkecil dan ƩDij adalah total jarak euclidean berbobot spasial.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di koridor mega urban Jakarta-Bandung tepatnya


di beberapa wilayah administrasi Metropolitan Jakarta dan Metropolitan Bandung
Raya. Wilayah administrasi tersebut sebagian termasuk ke dalam Provinsi DKI
Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten seperti yang terlihat pada
Gambar 1. Secara spesifik wilayah administrasi tersebut meliputi Kota Jakarta
Timur, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Barat, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta
Pusat, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bandung, Kota Tanggerang Selatan,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten
Purwakarta, dan Kabupaten Tanggerang. Analisis dan interpretasi data
dilaksanakan di laboratorium Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Maret hingga Juni 2017.
13

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sebagai


berikut:
1. Peta administrasi level kecamatan tahun 2010 skala 1:250.000
2. Data Potensi Desa (Podes) tahun 2003, 2006, 2008, 2011, dan 2014
3. Peta Jaringan Jalan tahun 2015 skala 1:150.000
4. Peta Penggunaan Lahan tahun 2015 skala 1:900.000
5. Citra Modis
Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber, peta administrasi, data
potensi desa (Podes), peta jaringan jalan tahun 2015 diperoleh dari Badan Pusat
Statistik. Sementara itu, peta penggunaan lahan tahun 2015 diperoleh dari PPLH
IPB melalui Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut:


1. Seperangkat komputer
2. Software ArcGIS 9.3
3. Software Statistica 7
Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahapan, diantaranya: tahap
pengumpulan data sekunder, pemilihan variabel yang digunakan, pengolahan data
tabular, pemetaan data spasial, serta interpretasi hasil analisis. Tahapan-tahapan
tersebut secara berurutan dapat diamati pada Gambar 2.
14

Start

Pengumpulan data sekunder

Peta administrasi Data Podes Peta jaringan jalan

Pemilihan variabel

Pivot table menjadi skala kecamatan

Pengolahan data di excel

Uji korelasi Hitung kepadatan penduduk

Analisis skalogram Spatial clustering

Pemetaan menggunakan arcgis

Hasil

Interpretasi

Gambar 2. Diagram alir penelitian

Jenis dan Sumber Data

Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber
asli (tidak melalui media perantara) sedangkan data sekunder merupakan sumber
data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media
perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa
bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data
dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data-data yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data tersebut meliputi
data potensi desa (Podes) tahun 2003, 2006, 2008, 2011, dan 2014, peta jaringan
jalan tahun 2015, peta built up area tahun 2015, dan peta administrasi level
kecamatan yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, hasil interpretasi citra
MODIS melalui Divisi Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
15

Metode Analisis Data dan Output yang Dihasilkan

Parameter dan teknis analisis yang digunakan dalam kegiatan penelitian


ini terdiri dari empat poin yang secara rinci disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter dan teknis analisis data yang digunakan


No Tujuan Data yang Sumber Teknik Output
digunakan data analisis
1 Mengidentifikasi Data Podes BPS Membagi Pola
pola perubahan tahun 2003, jumlah sebaran
sebaran kepadatan 2006, 2008, penduduk kepadatan
penduduk koridor 2011, 2014 per luas penduduk
mega urban Peta wilayah
Jakarta-Bandung administrasi
tahun 2010
2 Mengidentifikasi Data Podes BPS Uji korelasi, Pola
pola sebaran indeks tahun 2003, Analisis sebaran
perkembangan 2006, 2008, skalogram IPK
kecamatan (IPK) di 2011, 2014
koridor mega urban
Jakarta-Bandung
3 Zonasi/pewilayahan Data Podes BPS Spatial Peta klaster
berdasarkan tahun 2003, PPLH clustering
kepadatan 2006, 2008, IPB
penduduk, IPK, dan 2011, 2014
urban land ratio Peta landuse
2015

Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk

Kepadatan dan pertumbuhan penduduk berfungsi untuk melihat seberapa


besar implikasi dari kepadatan penduduk di suatu wilayah terhadap perkembangan
wilayah tersebut. Umumnya dalam suatu wilayah dengan kepadatan penduduk
yang tinggi akan diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tinggi
pula. Pemenuhan kebutuhan tersebut berupa pengadaan fasilitas-fasilitas
pelayanan bagi masyarakat mulai dari fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan
serta perekonomian dan perdagangan serta infrastruktur sebagai alat penunjang
aktivitas masyarakat. Menurut Christiani et al. (2014), perhitungan kepadatan
penduduk adalah dengan membandingan jumlah penduduk dengan luas wilayah
yang dihuni menggunakan rumus berikut ini.

Keterangan :
KP = Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
P = Jumlah Penduduk (jiwa)
L = Luas Wilayah (km2)
16

Sementara itu, menurut Rustiadi (2017), rumus menghitung rata-rata laju


pertumbuhan penduduk suatu wilayah per tahun adalah sebagai berikut.

(( ) )

Keterangan :
A = Pertumbuhan penduduk (% per tahun)
Xt = Jumlah penduduk tahun akhir (jiwa)
Xo = Jumlah penduduk tahun awal (jiwa)
t = Selisih tahun awal dan tahun akhir

Analisis Skalogram dan Analisis Korelasi

Analisis untuk mengetahui hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana


prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah adalah analisis skalogram.
Penetapan tersebut didasarkan pada jumlah jenis dan jumlah unit sarana prasarana
pembangunan atau fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang tersedia. Metode ini
lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitatif yang
menyangkut fungsi sarana prasarana pembangunan. Menurut Rustiadi et al.
(2003), tahapan dalam penyusunan analisis skalogram adalah sebagai berikut: (1)
menginventarisasi fasilitas dan indikator-indikator pembangunan sesuai dengan
penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah, (2) menghitung
kapasitas per 1000 penduduk, (3) melakukan pembobotan, (4) semua nilai
distandarisasi sehingga nilai tersebut memiliki satuan yang sama, (5)
menjumlahkan hasil standarisasi secara horizontal untuk menentukan Indeks
Perkembangan Kecamatan. Model untuk menentukan nilai Indeks Perkembangan
Kecamatan menurut Rustiadi et al. (2003) adalah sebagai berikut.
Rumus menghitung kapasitas per 1000 penduduk:

𝑖𝑗
𝑖𝑗 ∗
𝑖
Keterangan:
Aij = indeks fasilitas ke-j pada wilayah ke-i
Xij = jumlah fasilitas ke-j di wilayah ke-i
Pi = jumlah penduduk di wilayah ke-i

Rumus menghitung pembobotan adalah sebagai berikut:

𝑖𝑗
𝑖𝑗
𝑗 𝑗
Keterangan:
Xij = jumlah fasilitas ke-j di wilayah ke-i; i =1,2,...n; j =1,2,...n
X.jɑj = jumlah wilayah per jumlah wilayah yang memiliki fasilitas (bobot)
17

∑ dimana :

Keterangan :
IPKj = Indeks perkembangan kecamatan (IPK) ke-j
Iij = Nilai (skor) sarana prasarana ke-i di wilayah ke-j
I’ij = Nilai (skor) sarana prasarana ke-i terstandarisasi wilayah ke-j
I i min = Nilai (skor) sarana prasarana ke-i terkecil
SDi = Standar deviasi sarana prasarana ke-i

Data yang digunakan dalam analisis skalogram pada penelitian ini adalah
jumlah fasilitas pendidikan, jumlah fasilitas ekonomi, serta jumlah aktivitas
industri. Sebelum melakukan analisis skalogram terlebih dulu dilakukan uji
korelasi antar variabel untuk melihat keeratan hubungan antara satu variabel
dengan variabel lainnya. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui suatu variabel
merupakan indikator perkembangan wilayah atau bukan. Pentingnya seleksi
variabel ini dilakukan untuk Hasil uji korelasi dari 14 variabel menunjukkan
bahwa hanya 10 variabel yang memiliki nilai uji korelasi positif dan merupakan
indikator perkembangan wilayah. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan
variabel-variabel yang digunakan dalam analisis skalogram.

Tabel 2. Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis skalogram


No Jenis Fasilitas Variabel Kode Jumlah
Jumlah SMA sederajat JSMA
1 Fasilitas Pendidikan Jumlah Perguruan Tinggi JPT 3
Jumlah Tempat Les/Kursus JTLK
Jumlah Mall dan Supermarket JMMK
Jumlah Restoran JR
Jumlah Hotel/Penginapan JHP
2 Fasilitas Ekonomi Industri Kulit IKUL 7
Industri Logam ILOG
Industri Kain/Tenun IKK
Industri Makanan/Minuman IMAK
Jumlah Variabel 10

Spatial Clustering

Secara umum, clustering merupakan proses pengelompokan kumpulan


objek ke dalam kelas-kelas atau clusters sehingga objek-objek dalam satu cluster
memiliki kemiripan yang tinggi tetapi tidak mirip terhadap objek dari cluster lain
(Han & Kamber 2006). Clustering terdiri dari dua jenis yaitu joining tree
clustering dan K-means clustering. Ukuran kemiripan dan ketidakmiripan dinilai
berdasarkan nilai atribut yang mendeskripsikan objek. Spatial clustering atau
pewilayahan berdasarkan kedekatan spasial merupakan teknik mengelompokkan
wilayah yang memiliki karakteristik yang relatif sama namun dipengaruhi
jarak/distance wilayah-wilayah yang dikelompokkan. Teknik spatial clustering
yang dilakukan dalam penelitian ini diawali dengan menentukan X dan Y
18

koordinat tiap wilayah kemudian menghitung X’ dan Y’ koordinat. Selanjutnya


menghitung bobot spasial dengan sebesar 0.5, 1, 2, dan 4. Variabel yang
digunakan dalam analisis ini meliputi kepadatan penduduk, IPK, dan urban land
ratio. Menurut Rustiadi dan Kobayashi (2000), rumus euclidian distance dengan
multivariable adalah sebagai berikut ini.

√( ) ( ) ( ) {( ) ( ) }

Keterangan :
D ij = Jarak euclidean berbobot spasial antara i dan j
Zmi’ = Nilai atribut i untuk variabel Z yang terstandarisasi
Zmj’ = Nilai atribut j untuk variabel Z yang terstandarisasi
Xi = Nilai koordinat lokasi pada sumbu X
Y = Nilai koordinat lokasi pada sumbu Y
= Bobot spasial
m = Jumlah variabel

Menurut Rustiadi dan Kobayashi (2000), prinsip dalam analisis spatial


clustering adalah meminimalkan total jarak antar data yang sebelumnya diukur
menggunakan konsep euclidean distance. Prinsip dalam analisis spatial clustering
tersebut dituliskan dengan persamaan berikut ini.

𝑖 ∑ 𝑖𝑗

Keterangan :
Min = Nilai terkecil
ƩDij = Total jarak euclidean berbobot spasial
CV = Coefficient of variation (persentase keragaman data dalam suatu kelas)

Selain itu, di dalam analisis spatial clustering terdapat parameter lain yang
diukur yaitu K dan CV. K atau contiguity merupakan ketersambungan antara satu
wilayah dengan wilayah lain dalam satu klaster. K dihitung secara manual dengan
melihat ketersambungan antar poligon. Sedangkan CV atau Coefficient of
Variation adalah persentase keberagaman data dalam satu klaster yang sama.
Semakin kecil nilai K menunjukkan suatu klaster semakin compact. Semakin
kecil CV menunjukkan keragaman data dalam suatu klaster menjadi kecil. Hal
tersebut menunjukkan bahwa CV yang rendah menjadi prnciri suatu klaster yang
baik. Menurut Rustiadi dan Kobayashi (2000), rumus menghitung CV adalah
sebagai berikut.

( )

Keterangan :
= Standar deviasi dari jarak/distance (D ij)
= Rata rata jarak/distance (D ij)
19

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Wilayah Penelitian

Wilayah yang menjadi fokus penelitian ini terdiri dari kabupaten dan kota
di sepanjang koridor mega urban Jakarta-Bandung dengan jumlah total 20
kabupaten dan kota meliputi Kota Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor,
Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tanggerang, Kabupaten Tanggerang, Kota
Tanggerang Selatan, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung Barat, dan terdapat tambahan daerah yang menjadi cakupan
wilayah penelitian di luar metropolitan Jakarta serta Bandung Raya yaitu
Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Cianjur. Skala
penelitian yang digunakan adalah skala kecamatan dengan total wilayah penelitian
sebanyak 341 kecamatan pada tahun 2014.

Jumlah dan Sebaran Penduduk

Jumlah penduduk di koridor mega urban Jakarta-Bandung selalu


mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut dipercaya akan
memberikan dampak pergeseran aktivitas penduduk ke wilayah hinterland kota
induk. Menurut BPS (2014) jumlah penduduk Indonesia 252.2 juta jiwa di akhir
tahun 2014 dan 56.92 persen merupakan penduduk yang menempati ruang Pulau
Jawa. Peningkatan jumlah penduduk yang paling menonjol adalah tahun 2008
hingga tahun 2011 dari 34 juta penduduk menjadi lebih dari 40 juta penduduk.
Pada tahun 2014 penduduk Jakarta-Bandung telah mencapai lebih dari 44 juta
jiwa. Peningkatan jumlah penduduk di koridor mega urban Jakarta-Bandung dapat
dilihat pada Gambar 3. Jumlah penduduk di koridor mega urban Jakarta-Bandung
menurut kabupaten/kota tahun 2003-2014 selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

50,000,000 44,495,818
45,000,000 40,405,333
40,000,000
32,382,198 34,221,348
Jumlah Penduduk

35,000,000 29,685,178
30,000,000
25,000,000
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0
2002 2005 2007 2010 2013
Tahun

Sumber ; data potensi desa tahun 2003, 2006, 2008, 2011, dan BPS 2014
Gambar 3. Jumlah penduduk koridor mega urban Jakarta-Bandung 2003-2014
20

Tabel 3. Jumlah penduduk di koridor mega urban Jakarta-Bandung menurut


kabupaten/kota tahun 2003-2014
Jumlah penduduk (jiwa)
Kab/Kota
2002 2005 2007 2010 2013
Kabupaten Bandung 3595965 4004632 4248024 4670301 5079905
Kabupaten Bekasi 1556278 1976503 2137088 2651454 3122698
Kabupaten Bogor 3262146 3642390 4219324 4626937 5331149
Kabupaten Cianjur 2097336 2041041 2140339 2229541 2235418
Kota Cimahi 388581 407973 480206 544348 579015
Kota Depok 953121 1342969 1235849 1749273 2033508
Kota Jakarta Barat 1567945 1579840 1567991 2283161 2430410
Kota Jakarta Pusat 902151 882763 813541 895216 910381
Kota Jakarta Selatan 1672808 1709645 1742820 2026692 2164070
Kota Jakarta Timur 2063820 2112112 2171949 2709058 2817994
Kota Jakarta Utara 1149732 1180432 1224500 1643671 1729444
Kabupaten Karawang 1786346 1886831 1959206 2105855 2250120
Kota Bandung 1943018 1892257 2043830 2239886 2470802
Kota Bekasi 1483054 1726435 1781652 2325629 2642508
Kota Bogor 748353 823283 850868 897082 1030720
Kota Tangerang 1268890 1329289 1418896 1797027 1999894
Kabupaten Purwakarta 720249 726662 805106 867248 910007
Kabupaten Tangerang 2525385 3117141 3380159 4142954 4757775
Total 29685178 32382198 34221348 40405333 44495818
Sumber : Data Podes tahun 2003, 2006, 2008, 2011, dan 2014

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di koridor mega urban Jakarta-Bandung yang


diidentifikasi berdasarkan peta land use tahun 2015 dengan skala 1:900.000 yang
terdiri dari lahan terbangun, lahan terbuka, hutan, kebun campuran, sawah, badan
air, dan waduk. Persentase luas area pertanian semakin berkurang sedangkan luas
area lahan terbangun justru semakin bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun
2015, penggunaan lahan yang dominan di DKI Jakarta dan sekitarnya serta
Bandung Raya adalah lahan terbangun yang ditandai dengan warna merah.
Dominasi penggunaan lahan terbangun ini disebabkan karena tingginya kebutuhan
akan lahan untuk permukiman, industri, dan jasa di perkotaan. Wilayah yang
didominasi oleh hamparan sawah yang ditandai dengan warna hijau meliputi
Kabupaten Karawang, sebagian kecil wilayah Bandung, serta tangerang. Sisanya
adalah area berwarna kuning yang menunjukan wilayah-wilayah yang sebagian
besar didominasi oleh penggunaan lahan kebun campuran. Selain itu, di bagian
utara tepatnya di sepanjang garis pantai utara yang berwarna biru didominasi oleh
penggunaan lahan tambak. Penggunaan lahan yang semakin berkurang selain
penggunaan lahan pertanian adalah luas area hutan namun perubahannya tidak
terlalu signifikan.
21

Gambar 4. Peta penggunaan lahan tahun 2015

Aktivitas Sosial Ekonomi Penduduk

Aktivitas penduduk di sepanjang koridor mega urban Jakarta Bandung


berdasarkan sumber pendapatan utama penduduk menurut BPS (2015) untuk
wilayah DKI Jakarta dan Bandung didominasi oleh penduduk yang bekerja pada
sektor industri pengolahan, jasa, dan lainnya. Sementara itu, di wilayah lainnya di
luar wilayah DKI Jakarta dan Bandung masih didominasi oleh sektor pertanian
meskipun dari tahun ke tahun luas area pertanian semakin berkurang. Persentase
sektor pertanian mendominasi dengan angka sebesar 46% sedangkan sektor
industri pengolahan serta sektor jasa dan lainnya secara berturut-turut sebesar
21% dan 33%. Berikut ini merupakan persentase aktivitas sosial ekonomi
penduduk di sepanjang koridor mega urban Jakarta-Bandung berdasarkan sumber
penghasilan utama penduduk (Gambar 6).
22

Industri
Pengolahan
21%
Pertanian
46%
Jasa dan
lainnya
33%

Gambar 5. Persentase penduduk berdasarkan sumber penghasilan utama tahun


2014

Sebaran Spasial Perdesaan dan Perkotaan

Wilayah yang termasuk ke dalam kategori perkotaan di koridor mega urban


Jakarta-Bandung tersebar terutama di Jabodetabek dan Bandung. Area berwarna
gelap pada peta menunjukkan sebaran perkotaan dan warna hijau menunjukkan
sebaran perdesaan. Umumnya, wilayah yang dikategorikan sebagai kota adalah
wilayah yang dilewati oleh jalan nasional.

Sumber: Data Potensi Desa tahun 2011


Gambar 6. Peta sebaran perdesaan dan perkotaan
23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk di Koridor Mega Urban Jakarta-


Bandung

Kota sebagai perwujudan ruang geografis yang menampung berbagai


kegiatan penduduk selalu mengalami pertumbuhan penduduk dari waktu ke
waktu. Pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti
dengan peningkatan kebutuhan ruang untuk menampung berbagai kegiatan
penduduknya. Hal tersebut diakibatkan peningkatan tuntutan kebutuhan dalam
aspek kehidupan. Menurut Rustiadi (2007), metropolitan Jabodetabek merupakan
kawasan yang memiliki peranan strategis di dalam pembangunan nasional.
Sebagai kawasan fungsional sistem perkotaan mengalami pertumbuhan secara
demografis maupun secara fisik, walaupun pertumbuhan penduduk di Kota
Jakarta sudah mengalami kejenuhan, namun kawasan di sekitar Kota Jakarta
masih terus mengalami percepatan pertumbuhan akibat terjadinya suburbanisasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penduduk di koridor mega
urban Jakarta-Bandung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan
data podes tahun 2003, jumlah penduduk Jakarta-Bandung sebanyak 29.685.178
jiwa. Sedangkan pada tahun 2014 mencapai 44.495.818 jiwa dengan jumlah
penduduk terbanyak berada di Kabupaten Bogor dengan lebih dari lima juta
penduduk. Berdasarkan data tersebut dalam kurun waktu sebelas tahun, terjadi
peningkatan jumlah penduduk di sepanjang koridor mega urban Jakarta-Bandung
sebanyak 14.810.640 jiwa. Berdasarkan peta sebaran kepadatan penduduk
Jakarta-Bandung skala kecamatan pada Gambar 7. Kepadatan penduduk tertinggi
terletak di kecamatan-kecamatan yang terdistribusi di kawasan DKI Jakarta,
Bekasi dan Kota. Semakin gelap warna area pada peta menunjukkan bahwa
kepadatan penduduknya semakin tinggi. Hal ini juga menunjukkan semakin tinggi
pengkotaan di wilayah tersebut. Kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 2014
terletak di Kota Jakarta Pusat tepatnya di Kecamatan Johar baru, sedangkan yang
terendah adalah di Kecamatan Sukasari Kabupaten Purwakarta.
Pola sebaran kepadatan penduduk Jakarta-Bandung yang tinggi cenderung
mengikuti keberadaan jalan nasional yakni jalan tol Cipularang dan jalur puncak.
Terbentuknya pola ini disebabkan oleh kecenderungan orang yang lebih memilih
bertempat tinggal di dekat jalan karena memudahkan dalam hal aksesibilitas. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Ahmadi (2005) yang menyatakan bahwa kondisi
aksesibilitas berupa sarana jalan dan ketersediaan moda transportasi umum akan
memudahkan mobilitas penduduk dari area pinggiran ke pusat kota. Secara umum
wilayah dengan aksesibilitas yang tinggi akan mengalami mobilitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yang memiliki aksesibilitas lebih rendah.
Hal tersebut mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan fisik area
pinggiran yang dilalui jaringan jalan sehingga menimbulkan kecenderungan
perkembangan perumahan yang mengikuti jalur jalan. Kondisi tersebut
menyebabkan banyak orang untuk bermigrasi dari daerah asalnya menuju wilayah
yang lokasinya strategis dan lebih mudah mengakses sarana prasarana. Pola
kepadatan penduduk DKI Jakarta dari tahun ke tahun cenderung meluas ke tiga
24

arah, meliputi arah barat yaitu Tanggerang, arah timur yaitu Bekasi dan
Karawang, serta arah selatan yaitu Kota Depok dan Bogor.

Gambar 7. Peta sebaran kepadatan penduduk di sepanjang koridor mega urban


Jakarta-Bandung 2003-2014
25

Menurut Vioya (2010), salah satu penyebab tingginya pertambahan jumlah


penduduk di Metropolitan Jabodetabek ialah tingginya daya tarik kota inti
metropolitan yaitu DKI Jakarta. Peran DKI Jakarta sebagai ibukota negara
menyebabkan peluang terbukanya lapangan pekerjaan cukup besar. Segala
fasilitas yang dimiliki serta kegiatan-kegiatan yang terdapat di dalamnya
menyebabkan banyaknya pendatang di DKI Jakarta, baik dari kota-kota sekitarnya
maupun kota-kota yang letaknya jauh dari DKI Jakarta. Hal ini kemudian
menyebabkan pertumbuhan penduduk DKI Jakarat bukan merupakan penduduk
asli DKI Jakarta. Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi dan aksesibilitas yang tinggi. Kondisi tersebut
menyebabkan sebagian besar penduduk yang bekerja di Jakarta memilih tinggal
disekitar/di pinggiran Jakarta. Berdasarkan hal tersebut, kota-kota disekitar
Jakarta yang disebut dormitory town ini mengalami peningkatan penduduk tiap
tahunnya.
Area yang berwarna terang di peta dengan range kepadatan penduduk
1000-5000 jiwa/km2 menunjukkan wilayah yang mengalami suburbanisasi karena
berada di pinggiran kota besar dan seolah-olah menampung luapan penduduk dari
kota besar tersebut. Menurut Rustiadi et al. (2003), perpindahan tempat tinggal
dari Jakarta ke wilayah Bodetabek yang memunculkan fenomena suburbanisasi.
Arus migrasi yang cukup besar menuju Jakarta pada awalnya kemudian meluas ke
arah Bogor Tanggerang Bekasi (Botabek) pada fase berikutnya Suburbanisasi
merupakan proses pengembangan kawasan permukiman pada wilayah pinggiran
kota (Mayhey, 1997; Jakson 1985 dalam Rustiadi 1997). Suburbanisasi yang
kurang tertata memberikan dampak negatif seperti memunculkan fenomena
kemacetan di setiap pintu masuk menuju Jakarta. Selain itu, suburbanisasi tersebut
juga meningkatkan konsumsi sarana transportasi, energi dan waktu tempuh per
kapita, serta memperburuk mobilisasi sumberdaya. Meskipun demikian, fenomena
suburbanisasi tersebut juga memberikan dampak positif yaitu perkembangan
sektor informal yang pesat di DKI Jakarta.
Kota yang tumbuh dan berkembang secara terus menerus menyebabkan
ketidakmampuan untuk menampung kegiatan penduduknya. Kondisi tersebut
menyebabkan pinggiran kota (urban fringe) harus mampu untuk menampung
limpahan-limpahan kegiatan yang tidak terakomodir dalam wilayah kota tersebut.
Hal ini menyebabkan pertumbuhan perkotaan di Indonesia terutama di kota besar
dan metropolitan secara fisik ditandai oleh pertumbuhan kawasan permukiman
yang pesat pada wilayah pinggiran kota. Rustiadi (2000) juga menyatakan bahwa
suburbanisasi yang terjadi wilayah metropolitan Jabodetabek cenderung
menjadikan kawasan perkotaan secara fisik meluas secara acak dan semakin tidak
terkendali (fenomena urban sprawl).
Fenomena peningkatan jumlah penduduk terus terjadi di sebagian besar
negara di dunia. Pada kondisi normal (tidak terjadi bencana alam), pertumbuhan
penduduk mengikuti pola eksponensial (kurva S). Pada awalnya pertumbuhan
penduduk akan terjadi secara lamban dan akan meningkat dengan sangat cepat
secara eksponensial sampai pada akhirnya akan tercapai kondisi stabil (seimbang).
Keseimbangan terjadi jika laju kelahiran sama dengan laju kematian (Enger dan
Badly dalam Munibah et al. 2009). Peningkatan jumlah penduduk memiliki
konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan
untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan jasa. Menurut Hartini et al. (2008),
26

perkembangan suatu wilayah akan selalu diikuti dengan adanya pertambahan


penduduk di wilayah tersebut.
Pertumbuhan penduduk akan berpengaruh terhadap pertambahan luas
lahan permukiman. Menurut Munibah et al. (2009), jumlah penduduk akan
berpengaruh terhadap luas lahan permukiman dalam rangka pemenuhan
kebutuhan tempat tinggal (termasuk jasa) dan berpengaruh terhadap luas lahan
pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan.

6.000 5.289

5.000
Laju pertumbuhan

4.000 3.544
3.202
2.838
3.000 2.522

2.000

1.000

0.000
2003-2006 2006-2008 2008-2011 2011-2014 2003-2014
Tahun

Gambar 8. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di koridor mega urban Jakarta-


Bandung per tahun

Pertumbuhan penduduk di koridor mega urban Jakarta-Bandung yang


terdiri dari 20 kabupaten/kota dari tahun 2003 hingga tahun 2014 mengalami
peningkatan yang fluktuatif. Pertumbuhan penduduk Jakarta-Bandung tahun
2003-2011 terus mengalami peningkatan, kemudian pada tahun 2011-2014
mengalami penurunan sebesar 2.09%. Laju pertumbuhan penduduk Jakarta-
Bandung tertinggi terjadi pada tahun 2008-2011 sebesar 5.289%. Pertumbuhan
penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya terutama di wilayah
Bogor, Bekasi dan Bandung karena banyaknya masyarakat yang beranggapan
bahwa DKI Jakarta sudah sangat padat dan harga tempat tinggal yang mahal
sehingga menyebabkan para pekerja di Jakarta lebih memilih tinggal di
kabupaten/kota di sekitar/di pinggiran Jakarta. Menurut Verbist et al. (2004),
faktor pendorong terjadinya alih guna lahan akibat laju pertumbuhan penduduk
yang tinggi atau peningkatan laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah
disebabkan oleh pertumbuhan alami penduduknya dan migrasi sedangkan
penurunan laju pertumbuhan penduduk umumnya disebabkan oleh tingginya
angka kematian atau rendahnya angka kelahiran. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa peningkatan laju pertumbuhan penduduk tahun 2008-2011 sangat tinggi
karena tingginya migrasi penduduk ke koridor mega urban Jakarta-Bandung dan
laju pertumbuhan yang menurun di tahun berikutnya dikarenakan adanya upaya
menekan laju pertumbuhan penduduk akibat menurunnya angka kelahiran akibat
berhasilnya suatu program yaitu program keluarga berencana (KB).
27

Sebaran Indeks Perkembangan Kecamatan di Koridor Mega Urban Jakarta-


Bandung

Salah satu indikator untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah secara


kuantitatif adalah dengan melihat jumlah dan jenis fasilitas yang tersedia di
wilayah tersebut. Fasilitas-fasilitas tersebut terdiri dari fasilitas sosial dan
ekonomi meliputi jumlah fasilitas pendidikan, jumlah fasilitas ekonomi, serta
jumlah aktivitas industri. Analisis skalogram dengan variabel fasilitas-fasilitas
tersebut digunakan untuk mengetahui Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) di
koridor mega urban Jakarta-Bandung. Sebaran IPK diperoleh dengan
menggunakan analisis skalogram. Namun sebelum dilakukan analisis skalogram
terlebih dahulu dilakukan uji korelasi antar variabel untuk melihat keeratan
hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Uji korelasi bertujuan
untuk menghindari pengolahan data menggunakan variabel yang tidak sesuai
dengan parameter yang diukur yang kemudian mempengaruhi hasil analisis.
Variabel sebelum uji korelasi berjumlah 14 dan setelah uji korelasi terpilih 10
variabel yang diikut sertakan dalam analisis skalogram. Berikut ini merupakan
tabel hasil uji korelasi yang dilakukan.

Tabel 4. Hasil uji korelasi variabel untuk analisis skalogram


Variabel JSMA JPT JTLK IKUL IKAY ILOG IAGK IKK IMAK Ilain JMMK JTW JR JHP
JSMA 1.00 0.66* 0.65* 0.12* -0.12 0.04 -0.24 0.17* 0.05 0.02 0.68* 0.48* 0.59* 0.49*
JPT 0.66* 1.00 0.57* 0.14* -0.11 0.03 -0.25 0.10 0.10 0.00 0.61* 0.33* 0.52* 0.44*
JTLK 0.65* 0.57* 1.00 0.14* 0.01 0.05 -0.17 0.19* 0.12* 0.03 0.66* 0.43* 0.61* 0.44*
IKUL 0.12* 0.14* 0.14* 1.00 0.21* 0.18* 0.08 0.21* 0.12* 0.15* 0.17* 0.17* 0.15* 0.02
IKAY -0.12 -0.11 0.01 0.21* 1.00 0.27* 0.36* 0.24* 0.42* 0.33* -0.06 0.12* -0.06 -0.07
ILOG 0.04 0.03 0.05 0.18* 0.27* 1.00 0.23* 0.14* 0.21* 0.12* 0.05 0.12* 0.07 0.08
IAGK -0.24 -0.25 -0.17 0.08 0.36* 0.23* 1.00 0.14* 0.34* 0.19* -0.25* -0.02 -0.22 -0.14
IKK 0.17* 0.10 0.19 0.21* 0.24* 0.14* 0.14* 1.00 0.30* 0.21* 0.13* 0.20* 0.11 0.04
IMAK 0.05 0.10 0.12 0.12* 0.42* 0.21* 0.34* 0.30* 1.00 0.30* 0.05 0.20* 0.15* 0.12*
Ilain 0.02 0.00 0.03 0.15* 0.33* 0.12* 0.19* 0.21* 0.30* 1.00 -0.04 0.07 -0.01 0.01
JMMK 0.68* 0.61* 0.66* 0.17* -0.06 0.05 -0.25 0.13* 0.05 -0.04 1.00 0.49* 0.58* 0.39*
JTW 0.48* 0.33* 0.43* 0.17* 0.12* 0.12* -0.02 0.20* 0.20* 0.07 0.49* 1.00 0.45* 0.27*
JR 0.59* 0.52* 0.61* 0.15* -0.06 0.07 -0.22 0.11 0.15* -0.01 0.58* 0.45* 1.00 0.44*
JHP 0.49* 0.44* 0.44* 0.02 -0.07 0.08 -0.14 0.04 0.12* 0.01 0.39* 0.27* 0.44* 1.00
Keterangan : (*) menunjukkan korelasi yang signifikan
(-) menunjukkan korelasi yang tidak searah
menunjukkan variabel yang tidak sesuai kriteria

Nilai korelasi yang semakin mendekati satu menunjukkan bahwa korelasi


semakin kuat. Sebaliknya, semakin mendekati nol maka korelasi semakin lemah,
bahkan jika korelasi bernilai nol maka artinya tidak ada korelasi antar variabel
yang dibandingkan. Korelasi yang bernilai negatif artinya variabel tersebut bukan
indikator perkembangan suatu wilayah karena tidak searah dengan variabel
lainnya. Uji korelasi menghasilkan 10 variabel terpilih sebagai indikator
perkembangan suatu wilayah. Variabel yang terpilih tersebut diantaranya adalah
jumlah jumlah SMA, Perguruan Tinggi, tempat les/kursus, industri kulit, logam,
kain/tenun, industri makanan/minuman, jumlah restoran, minimarket, hotel serta
penginapan. Variabel yang tidak terpilih adalah variabel industri kayu (IKAY),
industri anyaman, gerabah, dan keramik (IAGK), industri lainnya (ILAIN), dan
jumlah toko/warung (JTW). Warna merah pada Tabel 4 menunjukkan variabel
28

yang memiliki korelasi negatif dengan variabel lainnya sehingga tidak


diikutsertakan dalam analisis skalogram.
Menurut Setiaji et al. (2016), jumlah penduduk, jumlah fasilitas
pendidikan, jumlah fasilitas sosial, dan jumlah fasilitas ekonomi dianggap
merupakan peubah yang menjadi indikator pertumbuhan suatu wilayah dan
berpengaruh terhadap pertumbuhan tutupan lahan terbangun. Selain variabel
jumlah penduduk, variabel lain yang berpengaruh cukup tinggi adalah
penambahan jumlah dan jenis fasilitas yang tersedia terutama fasilitas ekonomi.
Bertambahnya jumlah fasilitas ekonomi termasuk aktivitas industri menunjukkan
bahwa pertumbuhan tutupan lahan terbangun serta pertumbuhan wilayahnya akan
menjadi lebih cepat. Berikut ini merupakan hasil analisis skalogram dengan 10
variabel yang terpilih

Gambar 9. Peta sebaran Indeks Perkembangan Kecamatan Jakarta-Bandung 2003-


2014
Berdasarkan analisis skalogram terhadap jumlah dan jenis fasilitas yang
terdapat di kecamatan-kecamatan yang terletak di sepanjang koridor Jakarta-
Bandung, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tahun 2003 hingga tahun 2014
kawasan Jakarta-Bandung mengalami peningkatan indeks perkembangan
kecamatan pada sebagian besar wilayahnya. Gradasi warna yang digunakan
adalah biru terang hingga gelap. Semakin gelap area pada peta (Gambar 9)
menunjukkan Indeks Perkembangan Kecamatan yang semakin tinggi atau dengan
29

kata lain daerah tersebut semakin berkembang. Tahun 2003 dan 2006, koridor
mega urban Jakarta-Bandung didominasi oleh kecamatan-kecamatan dengan
indeks perkembangan wilayah berkisar antara 0-3 yang ditandai dengan warna
biru paling terang. Selanjutnya pada tahun 2008 hingga tahun 2014 nilai rata-rata
IPK terus meningkat dan kecamatan-kecamatan yang memiliki IPK tinggi
semakin meluas. Pola sebaran Indeks Perkembangan Kecamatan di koridor mega
urban Jakarta-Bandung tersebut mengikuti jaringan jalan Tol Cipularang dan Jalur
Puncak. Artinya, kecamatan-kecamatan yang dilalui oleh kedua jaringan jalan
tersebut atau dengan kata lain kecamatan-kecamatan di sepanjang koridor mega
urban Jakarta-Bandung memiliki IPK lebih tinggi dibandingkan dengan
kecamatan lainnya yang berlokasi lebih jauh dari keberadaan dua jalan tersebut.
Sebagian besar wilayah yang memiliki IPK tinggi terletak di DKI Jakarta,
Bandung, Bogor, dan sebagian kecilnya tersebar di sepanjang Karawang, Bekasi,
dan Purwakarta.
Menurut Winardi (2005), penduduk suatu wilayah akan selalu berusaha
menjamin kelangsungan dan perkembangan hidupnya melalui penyediaan
berbagai sarana dan prasarana penunjang sebagai sumberdaya pendukung
(supporting resources). Nilai kemanfaatan sumberdaya pendukung tersebut sangat
tergantung dari tingkat aksesibilitas masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas-
fasilitas tersebut, terutama dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya.
Terpenuhinya kebutuhan sosial ekonomi tersebut akan diikuti oleh peningkatan
tuntutan terhadap dukungan fasilitas-fasilitas lainnya. Tingkat pelayanan fasilitas
sosial ekonomi dipengaruhi keterkaitan spasial daya layan fasilitas itu sendiri
dengan atribut-atribut spasial seperti infrastruktur, kondisi topografi dan aspek
demografi. Oleh karena itu, keberadaan jalan menjadi salah satu alasan mengapa
fasilitas-fasilitas sosial ekonomi lebih berkembang di wilayah yang aksesibilitas
dan kepadatan penduduknya tinggi sehingga pola sebaran indeks perkembangan
kecamatan sama dengan pola sebaran kepadatan penduduk yang mengikuti
jaringan jalan Tol Cipularang dan jalan nasional yaitu Jalur Puncak. Hal tersebut
berdasarkan asumsi bahwa semakin tinggi jumlah penduduk di suatu wilayah
maka harus diikuti dengan pemenuhan kebutuhan akan fasilitas-fasilitas sosial
maupun ekonomi.

Pewilayahan di Koridor Mega Urban Jakarta-Bandung

Pewilayahan atau zonasi wilayah adalah pengelompokkan unit geografis


berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Pewilayahan bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi pengelolaan suatu wilayah serta menjadi pertimbangan
dalam membangun suatu kebijakan tertentu. Spatial clustering merupakan teknik
mengelompokkan wilayah yang tidak hanya berdasarkan kemiripan atau
kedekatan karakteristiknya saja namun jarak antara satu wilayah dengan wilayah
yang lainnya (kedekatan spasial) menjadi pertimbangan. Peubah-peubah yang
digunakan dalam spatial clustering ini adalah kepadatan penduduk tahun 2014,
indeks perkembangan kecamatan (IPK) tahun 2014, serta data urban land ratio
atau rasio lahan terbangun tahun 2015 di sepanjang koridor mega urban Jakarta-
Bandung.
30

Gambar 10. Hasil analisis spatial clustering

Peta (Gambar 10) menunjukkan bahwa pada bobot spasial 0.5 zona merah
atau wilayah yang termasuk kedalam klaster 1 terpisah satu sama lain. Namun
semakin tinggi bobot spasial yang digunakan menunjukkan area yang berada di
dalam kelas yang sama semakin menyatu satu sama lain. Menurut Prasetyo
(2014), penaksiran parameter di suatu titik akan lebih dipengaruhi oleh titik-titik
yang dekat dengan lokasi dari pada titik-titik yang lebih jauh. Bobot spasial
dihitung untuk mengindikasikan kedekatan tiap titik data pengamatan. pembobot
spasial dapat dikatakan juga sebagai matriks yang menggambarkan kekuatan
interaksi antar lokasi berdasarkan informasi jarak tiap wilayah. Kecamatan-
kecamatan yang termasuk ke dalam klaster 1 pada bobot spasial 0.5 dan 1
sebagian besar terletak di DKI Jakarta, Kota Bogor, dan Kota Bandung. Klaster 2
sebagian besar berada di Jabodetabek dan sisanya masuk ke dalam klaster 3.
Namun pada bobot spasial 2 dan 4 klaster 1 terletak di Jakarta, Tanggerang,
Bogor, dan Depok serta beberapa kecamatan di Bekasi. Sisanya masuk kedalam
klaster 2 dan 3 termasuk Bandung.
31

Nilai K atau contiguity merupakan ketersambungan antara satu wilayah


dengan wilayah lain dalam satu klaster. Semakin kecil nilai K pada suatu klaster
maka wilayah yang dikelaskan semakin baik karena semakin tidak terpisahkan
satu sama lain. Selain nilai K, pada spatial clustering juga terdapat nilai CV atau
Coefficient of Variation. Nilai CV menunjukkan persentase keberagaman data
dalam satu klaster yang sama. Semakin rendah nilai CV menunjukkan bahwa
ragam data dari suatu klaster semakin kecil. Berdasarkan hasil analisis, semakin
besar bobot spasial menunjukkan nilai K yang semakin kecil dan menunjukkan
nilai CV yang cenderung menurun atau dengan kata lain ragamnya semakin kecil
terutama pada klaster 2. Klaster 1 dan 3 menunjukkan nilai CV yang cenderung
fluktuatif. Klaster 1 merupakan wilayah dengan hirarki tertinggi atau wilayah
yang mengalami proses pengkotaan tertinggi dan berperan sebagai pusat
pelayanan. Klaster 2 merupakan wilayah suburban yang menerima luapan
penduduk dari wilayah pada klaster 1 dan sebagai perluasan area perkotaan.
Klaster 3 merupakan wilayah yang sebagian besar diutamakan sektor
pertaniannya. Pewilayahan atau zonasi wilayah ini sangat penting dalam
pengembangan wilayah karena membantu mempermudah pengelolaan dan
penentuan kebijakan di suatu wilayah seperti alokasi dana tiap klaster yang
berbeda-beda. Kelebihan dari spatial clustering dibandingkan dengan clustering
biasa adalah kedekatan spasial yang dipertimbangkan menyebabkan wilayah
dalam satu klaster saling berdekatan sehingga mempermudah dalam pengelolaan.
Kelemahan dari spatial clustering ini adalah klasterisasi didasarkan atas
kedekatan spasial. Salah satu contohnya adalah Kota Bandung tidak berada dalam
satu klaster dengan DKI Jakarta. Clustering dan spatial clustering memiliki
perbedaan dalam hal bobot spasial. Clustering biasa tidak menggunakan variabel
bobot spasial dalam pengolahannya. Berikut ini merupakan peta clustering tanpa
menggunakan bobot spasial.

Gambar 11. Hasil analisis clustering tanpa bobot spasial


32

Hasil analisis clustering menunjukkan wilayah DKI Jakarta, Kota


Bandung, dan beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor dan Purwakarta yang
ditandai dengan warna merah masuk ke dalam klaster 1. Wilayah di sekitar
Jakarta dan Bandung atau pinggiran Kota Jakarta dan Bandung masuk ke dalam
klaster 2. Sisanya sebagian besar wilayah penelitian masuk ke dalam klaster 3.
Metode clustering hanya membagi klaster berdasarkan persamaan karateristik
wilayahnya saja sedangkan spatial clustering mempertimbangkan kedekatan
spasial. Perbedaan hasil analisis clustering dan spatial clustering adalah pola
sebarannya. Pola sebaran clustering tidak mempertimbangkan kedekatan spasial
sedangkan spatial clustering sangat mempertimbangkan jarak antar wilayah
sehingga nilai K atau compactness tiap klaster pada analisis spatial clustering
lebih kecil dibandingkan dengan analisis clustering.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Kepadatan penduduk di koridor mega-urban Jakarta-Bandung mengalami


peningkatan dari tahun 2003 hingga tahun 2014. Pola perubahan sebaran
kepadatan penduduk mengikuti jaringan jalan nasional yakni Tol Cipularang
dan Jalur Puncak. Pertumbuhan penduduk Jakarta-Bandung fluktuatif dari
tahun 2003 hingga tahun 2014. Pertumbuhan penduduk tertinggi adalah pada
tahun 2008-2011 sebesar 5.28 %.
2. Pola Indeks Perkembangan Kecamatan di koridor mega urban Jakarta
Bandung mengikuti jaringan jalan Tol Cipularang dan Jalur Puncak. Jumlah
kecamatan yang memiliki IPK tinggi bertambah dari tahun ke tahun dan
wilayah yang dekat dengan jalan cenderung lebih berkembang dibandingkan
wilayah yang tidak dekat dengan jalan.
3. Berdasarkan hasil analisis spatial clustering, wilayah yang termasuk ke dalam
klaster 1 sebagian besar adalah kecamatan-kecamatan yang berada di DKI
Jakarta dan sekitarnya. Sisanya masuk ke dalam klaster 2 dan 3. Semakin
tinggi bobot spasial yang digunakan maka wilayah dalam satu klaster semakin
tidak terdispersi.
Saran

1. Pola sebaran penduduk yang mengikuti jaringan jalan nasional dari tahun ke
tahun semakin meluas. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan terhadap
kawasan tersebut supaya kepadatan penduduk di daerah sepanjang koridor
mega urban Jakarta-Bandung dapat dikendalikan di masa yang akan datang.
2. Peta sebaran Indeks Perkembangan Kecamatan dapat digunakan sebagai acuan
dalam pengembangan wilayah oleh pemerintah setempat terutama
pengembangan daerah-daerah yang tertinggal.
33

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Barat Dalam Angka. Bandung (ID):
Badan Pusat Statistik
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jawa Barat Dalam Angka. Bandung (ID):
Badan Pusat Statistik.
Ahmadi A. 2003. Ilmu Sosial Dasar: Mata Kuliah Dasar Umum. Jakarta (ID):
Rineka Cipta.
Ahmadi. 2005. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan fisik area
pinggiran kota berdasarkan aspek persepsi bermukim pada Kota Sengkong
Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Ansyari SI. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya (ID): Usaha Nasional.
Bintarto R. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta (ID):
Ghalia Indonesia.
Bintarto R. 1997. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta (ID): Ghalia
Indonesia.
Budihardjo E. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung (ID): Penerbit
Alumni.
Christiani C, Tedjo P, Martono B. 2014. Dampak Kepadatan Penduduk Terhadap
Kualitas Hidup Masyarakat Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah. Vol
1(2): 102-114.
Daldjoeni. 1998. Geografi Kota dan Desa. Bandung (ID): Penerbit Alumni.
Departemen Pekerjaan Umum. 1997. Kamus Tata Ruang Ikatan Ahli
Perencanaan Indonesia. Jakarta.
Han J dan Kamber M. 2006. Data Mining: Concepts and Techniques. San
Francisco (USA): Morgan–Kauffman.
Han J, Kamber M, Anthony KHTung. 2001. Spatial Klastering Methods in Data
Mining: A Survey. Data Mining and Knowledge Discovery-DATAMINE
Handayani D, Soelistijadi R, Sunardi. 2005. Pemanfaatan Analisis Spasial Untuk
Pengolahan Data Spasial Sistem Informasi Geografi Studi Kasus:
Kabupaten Pemalang. Jurnal Teknologi Informasi Dinamik. Vol 10(2):
108-116.
Hartini S, Harintaka, dan Istarno. 2008. Analisis Konversi Ruang Terbuka Hijau
Menjadi penggunaan Perumahan di Kecamatan Tembalang Kota
Semarang. 4(30): 470-478.
Hasibuan N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi.
Jakarta (ID): LP3ES.
Hikmana E. 2011. Dampak Migrasi Penduduk Terhadap Kualitas Hidup dan
Ekonomi Wilayah. Jurnal Aspirasi. 1(2): 2-4.
Kasikoen KM. 2011. Tipologi perkotaan di kabupaten cilacap. Jurnal
Planesa.Vol 2(1): 65-72.
Koestoer RH. 2001. Tapak Keruangan Kota: Dimensi Keruangan Kota (Teori
dan Kasus). Jakarta (ID) : UI Press.
Marius JA. 2006. Perubahan Sosial. Jurnal Penyuluhan. 2(2): 125-132.
Munibah K, Sitorus S.R.P., Rustiadi E, Gandasasmita K, dan Hartisari. 2009.
Model Hubungan Antara Jumlah Penduduk dengan Luas Lahan Pertanian
dan Permukiman. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 11(1): 31-39
34

Nainggolan PTP. 2005. Analisis penentuan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di


kabupaten simalungun. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Vol 1(12): 16-26.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010. Tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang.
Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung
(ID): Informatika .
Prasetyo RP. 2014. Analisis Spasial Pada Aglomerasi Industri Manufaktur di
Pulau Jawa. Surabaya (ID): ITS Press.
Rahardjo. 1983. Perkembangan Kota dan Permasalahannya. Jakarta (ID): Bina
Aksara.
Riyadi, Bratakusumah, Supriyadi D. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah
Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta
(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Rustiadi E. 1997. Land Use Change in The Suburb, The Case of Bekasi District.
Center for Global Environmental Research, ISSN 1341-4356. CGER-
1027- ’97
Rustiadi E dan Panuju DR. 1999. Suburbanisasi Kota Jakarta. Seminar Nasional
Tahunan VII Persada Tahun 1999
Rustiadi E. 2000. A Study of Spatial Pattern of Suburbanization Process: A Case
Study in Jakarta Suburban Paper presented on IGU-LUCC Pre-Congress
Meeting.Tsukuba, 3 October 2000.
Rustiadi E, Kobayashi S. 2000. Contigous Spatial Classification: A New
Approach on Quantitative Zoning Method. Journal of Geography
Education. Vol 43(8) : 123-136.
Rustiadi E, Panuju DR, Carolita I. 2003. Pengembangan Model Klasifikasi
Spasial sebagai Metode Pewilayahan. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2003, Analisis Kecenderungan dan
Dampak Proses Suburbanisasi di Wilayah JABODETABEK : Suatu
Upaya Pengembangan Model Pembangunan Wilayah Metropolitan,
Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Dirjen Dikti.
Rustiadi E. 2007. Analisis Spasial Permasalahan Pembangunan Kawasan
Jabodetabek. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pembangunan
Jabodetabek Berkelanjutan P4W IPB. Bogor, 6 September 2007.
Setiaji et. al. 2016. Analisis Perkembangan Wilayah, Pemusatan Perubahan
Penggunaan Lahandan Kaitannya dengan Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Merapi. Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol 3(1): 92-101.
Siagian J. 1995. Mobilitas Penduduk Lintas Perbatasan. Kasus Kalimantan
BaratSerawak. Prisma. No.1 Januari 1995. LP3ES. Jakarta
Sinulingga BD. 1999. Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta
(ID): Pustaka Sinar Harapan
Soegijoko BT, Bulkin I. 1994. Arah Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional. Prisma.
23(2): 21-40.
Tambunan MP. 2002. Pola persebaran industri di koridor jalan raya bogor.
Makara Sains. Vol. 6(3): 154-163.
Tarigan R. 2009. Perencanaan Pembangunan Wilayah Pendekatan Ekonomi dan
Ruang. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
35

Tjiptoherijanto P. 1999. Urbanisasi dan Perkembangan Kota di Indonesia. Jurnal


Populasi. 10(2): 61-65.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1984. Tentang Perindustrian.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2010. Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Urbanisasi.
Verbist B., Putra A.E., dan Budidarsono S. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan
Akibatnya Terhadap Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pada Lansekap
Agroforestri Berbasis Kopi di Sumatra. Agrivita. 26(1):29-38.
Vioya A. 2010. Tahapan perkembangan kawasan Metropolitan Jakarta. Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 21(3): 215 – 226.
Winardi M. 2005. Analisis pelayanan fasilitas sosial dan ekonomi di Kecamatan
Pituruh dan Kecamatan Bruno Kabupaten Purworejo [tesis]. Yogyakarta
(ID): Universitas Gadjah Mada.
Winarno A. 2007. Studi tentang urban sprawl kota semarang terhadap kualitas
tegangan listrik, studi kasus kelurahan meteseh kecamatan tembalang
[tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Wismarini D, Sunardi, Anis Y. 2014. Metode klasifikasi spasial sebagai
pendukung informasi kelas pada data indikator banjir. Jurnal Teknologi
Informasi Dinamik. Vol 19(2): 108-116.
36

LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar kecamatan beserta karakteristik dan zonasi wilayahnya


No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
1 Agrabinta 40720 3.09 193.57 0.06 877.73 Klaster3
2 Andir 99278 14.39 407.03 0.13 1188.15 Klaster1
3 Antapani 74234 21.38 356.41 0.11 2405.06 Klaster2
4 Arcamanik 67999 8.31 531.60 0.16 1501.33 Klaster2
5 Arjasari 96543 20.64 1355.23 0.42 286.76 Klaster3
6 Astanaanyar 68694 21.57 259.77 0.08 33.59 Klaster1
7 Babakan ciparay 147388 10.50 631.81 0.20 2180.79 Klaster1
8 Babakan madang 115981 17.64 1068.10 0.33 400.81 Klaster3
9 Babakancikao 47950 19.44 743.82 0.23 516.02 Klaster3
10 Babelan 232859 20.11 2265.25 0.70 63.15 Klaster3
11 Balaraja 121900 10.94 2114.25 0.65 739.56 Klaster3
12 Baleendah 251996 18.68 1251.13 0.39 1848.38 Klaster3
13 Bandung kidul 59075 15.63 407.06 0.13 615.68 Klaster2
14 Bandung kulon 142697 16.12 621.77 0.19 2313.74 Klaster1
15 Bandung wetan 37505 31.30 327.87 0.10 1503.74 Klaster2
16 Banjaran 122042 16.47 845.17 0.26 439.26 Klaster3
17 Bantargebang 112167 14.53 1232.69 0.38 1677.79 Klaster3
18 Banyusari 53946 10.14 414.17 0.13 531.22 Klaster3
19 Batuceper 99107 14.03 689.77 0.21 366.06 Klaster2
20 Batujajar 94317 11.69 1811.75 0.56 379.91 Klaster3
21 Batujaya 79675 13.16 552.28 0.17 492.11 Klaster3
22 Batununggal 120555 14.62 448.85 0.14 262.20 Klaster1
23 Beji 194044 7.41 1168.49 0.36 316.09 Klaster2
24 Bekasi barat 293144 10.57 1381.27 0.43 2737.48 Klaster1
25 Bekasi selatan 221519 14.72 1425.43 0.44 715.29 Klaster2
26 Bekasi timur 258391 9.21 1357.60 0.42 2287.52 Klaster2
27 Bekasi utara 353578 4.40 1848.96 0.57 1852.22 Klaster2
28 Benda 95776 6.69 2169.27 0.67 550.10 Klaster3
29 Bogor barat 228860 11.21 1580.29 0.49 1068.70 Klaster2
30 Bogor selatan 194179 14.89 1285.25 0.40 1860.24 Klaster3
31 Bogor tengah 124120 11.94 665.43 0.21 258.41 Klaster2
32 Bogor timur 101984 14.89 711.01 0.22 1261.45 Klaster2
33 Bogor utara 186098 14.35 1256.64 0.39 1097.03 Klaster2
34 Bojong 44380 9.15 291.29 0.09 709.60 Klaster3
35 Bojong gede 291904 11.06 1778.93 0.55 1106.04 Klaster2
36 Bojongloa kaler 120644 11.92 305.08 0.09 5918.18 Klaster1
37 Bojongloa kidul 85992 20.59 445.61 0.14 1917.36 Klaster2
38 Bojongmangu 102360 6.62 326.08 0.10 98.11 Klaster3
39 Bojongpicung 73238 8.44 316.56 0.10 594.51 Klaster3
40 Bojongsari 116650 10.62 1281.22 0.40 1729.40 Klaster3
37

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
41 Bojongsoang 119188 12.03 750.00 0.23 936.68 Klaster3
42 Buahbatu 94946 10.60 594.21 0.18 206.98 Klaster2
43 Bungursari 48943 14.25 934.68 0.29 497.98 Klaster3
44 Cabangbungin 48824 4.21 657.39 0.20 631.18 Klaster3
45 Cakung 519352 18.52 3423.99 1.06 132.45 Klaster2
46 Campaka 65390 8.75 234.33 0.07 759.32 Klaster3
47 Campaka 24211 6.31 728.98 0.23 817.24 Klaster3
48 Campaka mulya 38827 9.39 65.80 0.02 654.01 Klaster3
49 Cangkuang 72762 11.07 426.54 0.13 438.15 Klaster3
50 Caringin 121787 9.54 588.73 0.18 266.63 Klaster3
51 Cariu 46474 8.43 309.23 0.10 719.67 Klaster3
52 Cempaka putih 84777 18.85 461.47 0.14 2569.58 Klaster2
53 Cengkareng 546381 20.22 2434.60 0.75 2303.00 Klaster1
54 Ciampea 156070 6.02 1034.39 0.32 1118.65 Klaster3
55 Ciampel 41609 11.19 550.53 0.17 805.04 Klaster3
56 Cianjur 163828 6.67 899.70 0.28 1813.73 Klaster3
57 Ciawi 112041 6.69 572.55 0.18 101.37 Klaster3
58 Cibarusah 26055 8.85 408.76 0.13 673.80 Klaster3
59 Cibatu 26882 10.04 683.50 0.21 761.15 Klaster3
60 Cibeber 119450 5.86 490.09 0.15 533.60 Klaster3
61 Cibeunying kaler 70878 24.96 361.90 0.11 1372.32 Klaster2
62 Cibeunying kidul 107727 27.14 388.43 0.12 154.70 Klaster1
63 Cibinong 299449 5.75 2702.67 0.83 396.82 Klaster3
64 Cibinong 68087 8.89 135.23 0.04 241.43 Klaster3
65 Cibiru 70066 9.71 357.01 0.11 923.80 Klaster2
66 Cibitung 251494 8.22 1519.20 0.47 1585.38 Klaster3
67 Cibodas 151815 9.12 823.68 0.25 1976.19 Klaster2
68 Cibuaya 52458 6.31 671.59 0.21 768.91 Klaster3
69 Cibungbulang 131284 6.43 526.59 0.16 572.53 Klaster3
70 Cicalengka 115828 9.39 494.05 0.15 226.54 Klaster3
71 Cicendo 99468 20.00 701.09 0.22 223.98 Klaster2
72 Cidadap 58175 21.14 452.02 0.14 2169.57 Klaster3
73 Cidaun 66353 6.42 575.49 0.18 863.47 Klaster3
74 Cigombong 97693 5.79 468.64 0.14 12.76 Klaster3
75 Cigudeg 123319 3.19 693.64 0.21 652.92 Klaster3
76 Cihampelas 112380 7.56 695.66 0.21 347.04 Klaster3
77 Cijati 33542 5.39 103.00 0.03 656.11 Klaster3
78 Cijeruk 84633 7.44 300.61 0.09 155.23 Klaster3
79 Cikadu 35606 6.16 77.47 0.02 878.87 Klaster3
80 Cikalong wetan 119186 9.25 763.40 0.24 502.84 Klaster3
81 Cikalongkulon 97599 7.64 442.90 0.14 643.39 Klaster3
82 Cikampek 113174 9.88 1023.66 0.32 414.02 Klaster3
38

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
83 Cikancung 88942 8.15 321.23 0.10 56.98 Klaster3
84 Cikarang barat 481652 6.37 2912.86 0.90 1575.52 Klaster2
85 Cikarang pusat 199593 8.32 589.92 0.18 705.18 Klaster3
86 Cikarang selatan 86092 7.55 2011.88 0.62 248.27 Klaster3
87 Cikarang timur 59952 12.05 983.24 0.30 455.91 Klaster3
88 Cikarang utara 233852 6.27 2691.87 0.83 142.13 Klaster3
89 Cikupa 252318 10.24 3216.53 0.99 1541.30 Klaster3
90 Cilaku 101094 6.21 596.65 0.18 107.13 Klaster3
91 Cilamaya kulon 64215 7.58 469.29 0.14 546.68 Klaster3
92 Cilamaya wetan 79946 7.96 701.07 0.22 488.72 Klaster3
93 Cilandak 195947 19.87 1542.72 0.48 614.24 Klaster2
94 Cilebar 42686 9.10 331.69 0.10 698.38 Klaster3
95 Ciledug 179824 7.12 789.07 0.24 2625.16 Klaster1
96 Cilengkrang 51578 8.10 334.61 0.10 368.10 Klaster3
97 Cileungsi 302522 6.08 2963.45 0.92 959.73 Klaster3
98 Cileunyi 192312 6.19 918.47 0.28 1755.61 Klaster3
99 Cililin 87472 5.21 586.20 0.18 380.28 Klaster3
100 Cilincing 391544 14.57 2791.06 0.86 1314.17 Klaster2
101 Cilodong 146220 7.58 1101.88 0.34 1357.64 Klaster2
102 Cimahi selatan 250337 6.41 1251.88 0.39 1243.95 Klaster2
103 Cimahi tengah 169677 7.23 930.95 0.29 1458.88 Klaster2
104 Cimahi utara 159001 7.07 950.36 0.29 457.92 Klaster2
105 Cimanggis 283025 7.95 1787.37 0.55 301.19 Klaster2
106 Cimaung 77437 7.05 779.59 0.24 375.88 Klaster3
107 Cimenyan 113720 5.89 1145.96 0.35 100.70 Klaster3
108 Cinambo 24663 7.09 275.44 0.09 1661.52 Klaster3
109 Cinere 125697 7.41 873.27 0.27 196.97 Klaster2
110 Ciomas 168040 7.24 1054.40 0.33 1184.32 Klaster2
111 Cipanas 108115 9.98 887.23 0.27 219.01 Klaster3
112 Ciparay 160087 6.81 869.93 0.27 356.94 Klaster3
113 Cipatat 128343 9.84 1591.73 0.49 486.85 Klaster3
114 Cipayung 252822 5.12 788.34 0.24 1267.54 Klaster1
115 Cipayung 149612 17.62 2093.76 0.65 1442.74 Klaster3
116 Cipeundeuy 80330 5.20 678.45 0.21 537.61 Klaster3
117 Cipondoh 274201 8.04 1461.38 0.45 1437.24 Klaster2
118 Cipongkor 88233 7.17 736.53 0.23 460.01 Klaster3
119 Ciputat 212824 5.58 1757.65 0.54 1049.86 Klaster2
120 Ciputat timur 193484 5.56 1617.91 0.50 788.06 Klaster2
121 Ciracas 263918 18.00 1559.99 0.48 1528.38 Klaster2
122 Ciranjang 77427 3.70 444.47 0.14 132.37 Klaster3
123 Cisarua 72521 7.74 930.68 0.29 351.15 Klaster3
124 Cisarua 120457 21.67 841.16 0.26 276.79 Klaster3
39

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
125 Cisauk 73458 8.52 1017.43 0.31 152.02 Klaster3
126 Ciseeng 108050 6.35 1180.77 0.36 242.89 Klaster3
127 Cisoka 86754 5.49 957.69 0.30 188.87 Klaster3
128 Citeureup 218685 20.88 1813.77 0.56 454.03 Klaster3
129 Ciwidey 76649 7.02 435.14 0.13 245.02 Klaster3
130 Coblong 131435 26.89 637.41 0.20 2573.35 Klaster2
131 Cugenang 103378 6.25 834.72 0.26 355.04 Klaster3
132 Curug 186889 4.54 2225.73 0.69 1791.35 Klaster3
133 Darangdan 60952 4.27 677.55 0.21 526.52 Klaster3
134 Dayeuhkolot 116889 5.66 783.24 0.24 851.69 Klaster2
135 Dramaga 107515 6.80 816.74 0.25 914.32 Klaster3
136 Duren sawit 392961 12.36 2132.67 0.66 2487.03 Klaster2
137 Gambir 78051 26.18 719.48 0.22 916.64 Klaster2
138 Gedebage 35757 7.32 367.62 0.11 664.30 Klaster3
139 Gekbrong 53075 6.22 290.05 0.09 487.77 Klaster3
140 Grogolpetamburan 230551 16.00 1062.19 0.33 2092.86 Klaster1
141 Gunung kaler 52255 5.85 695.57 0.21 272.34 Klaster3
142 Gunung putri 388766 5.90 3768.64 1.16 1860.92 Klaster3
143 Gunung sindur 119682 5.87 1607.24 0.50 129.80 Klaster3
144 Gununghalu 73820 6.64 437.74 0.14 766.52 Klaster3
145 Haurwangi 55561 5.80 553.60 0.17 417.98 Klaster3
146 Ibun 80358 6.95 221.79 0.07 350.90 Klaster3
147 Jagakarsa 345176 16.23 1913.39 0.59 359.15 Klaster2
148 Jambe 42868 6.26 547.28 0.17 302.38 Klaster3
149 Jasinga 98982 7.28 377.88 0.12 655.11 Klaster3
150 Jatiasih 121493 5.15 1634.09 0.50 1300.59 Klaster3
151 Jatiluhur 230143 4.70 802.86 0.25 220.44 Klaster2
152 Jatinegara 62792 7.40 1021.42 0.32 958.11 Klaster3
153 Jatisampurna 270208 6.50 1321.09 0.41 1994.43 Klaster3
154 Jatisari 129036 16.80 573.53 0.18 25.50 Klaster2
155 Jatiuwung 76144 5.13 1363.47 0.42 348.70 Klaster3
156 Jayakerta 63770 6.84 270.10 0.08 279.77 Klaster3
157 Jayanti 68447 6.47 1009.37 0.31 390.31 Klaster3
158 Johar baru 116899 16.16 236.54 0.07 10485.47 Klaster1
159 Jonggol 135853 6.50 1147.77 0.35 512.04 Klaster3
160 Kadupandak 50126 6.45 138.39 0.04 748.14 Klaster3
161 Kalideres 422935 25.67 2498.72 0.77 1082.22 Klaster2
162 Karang tengah 243428 6.54 826.39 0.26 512.92 Klaster1
163 Karangbahagia 138891 6.36 816.90 0.25 388.71 Klaster3
164 Karangtengah 134589 4.61 732.69 0.23 289.70 Klaster3
165 Karawaci 178989 6.30 1140.77 0.35 517.62 Klaster2
166 Karawang barat 164411 4.89 1168.25 0.36 843.07 Klaster3
40

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
167 Karawang timur 124778 5.58 990.52 0.31 932.92 Klaster3
168 Katapang 122973 4.83 586.32 0.18 2083.90 Klaster2
169 Kebayoran baru 142834 15.75 1234.54 0.38 530.53 Klaster2
170 Kebayoran lama 301757 17.02 1802.84 0.56 1404.38 Klaster2
171 Kebonjeruk 325288 5.10 1687.68 0.52 2919.68 Klaster2
172 Kedungwaringin 268694 5.17 486.87 0.15 1579.23 Klaster2
173 Kelapa dua 203619 4.30 1936.83 0.60 1888.67 Klaster2
174 Kelapa gading 156199 17.69 1510.57 0.47 1224.29 Klaster2
175 Kelapa nunggal 110204 4.13 1591.73 0.49 446.37 Klaster3
176 Kemang 103852 4.24 1098.08 0.34 415.55 Klaster3
177 Kemayoran 218780 19.88 710.13 0.22 2102.36 Klaster1
178 Kembangan 294025 24.74 2280.11 0.70 343.40 Klaster2
179 Kemiri 41964 4.12 1109.39 0.34 439.28 Klaster3
180 Kertasari 68469 3.96 1331.04 0.41 760.54 Klaster3
181 Kiaracondong 131566 24.57 499.31 0.15 1339.51 Klaster1
182 Kiarapedes 24775 3.53 244.57 0.08 779.07 Klaster3
183 Klari 164275 3.99 1497.99 0.46 39.58 Klaster3
184 Koja 299543 16.16 1104.23 0.34 96.32 Klaster1
185 Kosambi 146763 5.68 1669.70 0.52 1094.96 Klaster3
186 Kotabaru 126593 13.98 895.26 0.28 712.80 Klaster3
187 Kramatjati 283254 15.22 1260.73 0.39 2009.10 Klaster1
188 Kresek 63415 5.14 790.87 0.24 43.67 Klaster3
189 Kronjo 56913 5.65 1084.65 0.34 406.04 Klaster3
190 Kutawaluya 56826 4.42 255.20 0.08 476.87 Klaster3
191 Kutawaringin 97051 4.92 527.62 0.16 32.77 Klaster3
192 Larangan 189955 5.57 771.08 0.24 1136.52 Klaster1
193 Legok 110005 4.16 1733.47 0.54 299.14 Klaster3
194 Leles 32558 5.49 28.33 0.01 834.17 Klaster3
195 Lemahabang 64251 5.02 622.89 0.19 404.01 Klaster3
196 Lembang 188923 4.00 1516.76 0.47 79.93 Klaster3
197 Lengkong 71333 24.32 569.66 0.18 92.50 Klaster2
198 Leuwiliang 119489 5.76 293.95 0.09 394.26 Klaster3
199 Leuwisadeng 73705 3.60 221.12 0.07 1.93 Klaster3
200 Limo 102872 5.97 944.65 0.29 1693.89 Klaster2
201 Majalaya 159216 5.65 760.79 0.23 1915.81 Klaster3
202 Majalaya 46546 5.85 451.11 0.14 337.14 Klaster3
203 Makasar 193590 14.75 1480.15 0.46 1486.58 Klaster2
204 Mampang prapatan 144189 16.27 764.33 0.24 2582.45 Klaster2
205 Mandalajati 62875 5.30 318.94 0.10 370.69 Klaster2
206 Mande 71982 5.54 461.48 0.14 581.96 Klaster3
207 Maniis 27362 4.85 191.99 0.06 744.20 Klaster3
208 Margaasih 147971 5.68 869.02 0.27 1896.55 Klaster2
41

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
209 Margahayu 126119 4.20 719.90 0.22 199.07 Klaster2
210 Matraman 149778 16.05 491.00 0.15 2022.49 Klaster1
211 Mauk 80679 4.88 890.93 0.28 115.00 Klaster3
212 Medan satria 178612 9.47 1178.64 0.36 446.52 Klaster2
213 Megamendung 103868 12.28 608.91 0.19 198.65 Klaster3
214 Mekarbaru 36529 5.10 776.30 0.24 387.41 Klaster3
215 Menteng 67989 19.03 632.28 0.20 886.25 Klaster2
216 Muara gembong 37527 5.05 1144.68 0.35 851.95 Klaster3
217 Mustikajaya 214071 4.59 1572.96 0.49 1901.10 Klaster2
218 Nagreg 51194 4.27 166.47 0.05 412.16 Klaster3
219 Nanggung 86646 4.81 323.54 0.10 716.58 Klaster3
220 Naringgul 45854 5.20 115.52 0.04 891.12 Klaster3
221 Neglasari 113719 4.61 951.98 0.29 2128.87 Klaster2
222 Ngamprah 169434 5.59 1242.21 0.38 1402.40 Klaster3
223 Pacet 106584 10.94 1062.42 0.33 463.06 Klaster3
224 Pacet 100587 4.30 997.01 0.31 140.85 Klaster3
225 Padalarang 171174 14.66 1500.01 0.46 484.88 Klaster3
226 Pademangan 156425 5.17 1098.12 0.34 152.48 Klaster2
227 Pagedangan 106411 3.25 2533.47 0.78 39.01 Klaster3
228 Pagelaran 69796 5.05 176.72 0.05 806.47 Klaster3
229 Pakisjaya 38670 4.72 665.83 0.21 708.31 Klaster3
230 Pakuhaji 109236 5.33 1320.73 0.41 70.74 Klaster3
231 Palmerah 201537 15.09 728.63 0.23 627.02 Klaster1
232 Pameungpeuk 74685 3.34 387.94 0.12 1248.92 Klaster3
233 Pamijahan 149719 4.93 494.98 0.15 462.46 Klaster3
234 Pamulang 314931 5.17 2313.65 0.71 530.43 Klaster2
235 Pancoran 151097 18.31 844.59 0.26 2065.50 Klaster2
236 Pancoran mas 246228 5.02 1500.35 0.46 598.76 Klaster2
237 Pangalengan 146030 4.95 1993.31 0.62 665.89 Klaster3
238 Pangkalan 37274 4.91 325.42 0.10 793.08 Klaster3
239 Panongan 116084 3.83 1507.44 0.47 463.17 Klaster3
240 Panyileukan 39169 13.54 342.02 0.11 2215.48 Klaster2
241 Parongpong 107418 3.83 1061.49 0.33 168.37 Klaster3
242 Parung 130309 3.98 1204.53 0.37 1166.48 Klaster3
243 Parung panjang 122838 4.97 1055.02 0.33 188.64 Klaster3
244 Pasar kemis 298099 9.58 2469.29 0.76 622.43 Klaster2
245 Pasar minggu 201166 15.55 1898.09 0.59 1374.56 Klaster2
246 Pasarrebo 282591 3.98 1150.41 0.36 1522.49 Klaster2
247 Pasawahan 41355 2.92 396.84 0.12 379.75 Klaster3
248 Paseh 127418 4.77 340.23 0.11 232.01 Klaster3
249 Pasirjambu 83887 3.67 540.01 0.17 779.60 Klaster3
250 Pasirkuda 35313 4.84 174.21 0.05 818.31 Klaster3
42

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
251 Pebayuran 98455 4.43 722.05 0.22 735.34 Klaster3
252 Pedes 74200 4.45 265.31 0.08 479.65 Klaster3
253 Penjaringan 323156 14.80 2561.94 0.79 1573.74 Klaster2
254 Periuk 142911 3.88 881.96 0.27 7.60 Klaster2
255 Pesanggrahan 217864 14.40 1207.56 0.37 640.96 Klaster1
256 Pinang 192061 3.83 1541.60 0.48 1591.33 Klaster2
257 Plered 71848 4.73 686.97 0.21 78.58 Klaster3
258 Pondok aren 341416 3.42 2484.63 0.77 464.79 Klaster2
259 Pondok salam 26098 4.41 198.25 0.06 302.06 Klaster3
260 Pondokgede 282817 4.92 1635.85 0.51 484.59 Klaster1
261 Pondokmelati 147674 4.06 982.43 0.30 730.86 Klaster3
262 Pulogadung 264023 10.59 1428.03 0.44 2316.21 Klaster2
263 Purwakarta 169178 4.26 1351.99 0.42 2168.06 Klaster3
264 Purwasari 66916 3.76 612.81 0.19 19.33 Klaster3
265 Rajeg 152262 3.86 2165.96 0.67 351.96 Klaster3
266 Ranca bungur 52906 4.22 453.13 0.14 803.49 Klaster3
267 Rancabali 49889 4.15 267.66 0.08 15.17 Klaster3
268 Rancaekek 177998 4.43 885.54 0.27 816.38 Klaster3
269 Rancasari 75144 13.90 488.01 0.15 708.78 Klaster2
270 Rawalumbu 241859 3.82 1510.83 0.47 855.83 Klaster2
271 Rawamerta 51453 4.23 344.98 0.11 513.60 Klaster3
272 Regol 81635 18.89 447.91 0.14 2226.47 Klaster2
273 Rengasdengklok 110502 3.06 721.83 0.22 244.76 Klaster3
274 Rongga 54627 3.89 290.26 0.09 754.56 Klaster3
275 Rumpin 136768 9.39 1374.07 0.42 523.89 Klaster3
276 Sawah besar 100329 24.14 529.74 0.16 2812.38 Klaster2
277 Sawangan 144528 4.33 1678.58 0.52 1474.21 Klaster3
278 Senen 95061 13.91 434.04 0.13 1855.34 Klaster1
279 Sepatan 105373 3.58 1034.24 0.32 1599.00 Klaster3
280 Sepatan timur 88655 3.01 620.52 0.19 1116.59 Klaster3
281 Serang baru 102910 3.99 509.04 0.16 412.65 Klaster3
282 Serpong 157252 3.36 1914.40 0.59 1498.30 Klaster3
283 Serpong utara 148494 3.83 1738.76 0.54 2040.88 Klaster3
284 Setia budi 134936 14.37 838.96 0.26 1261.00 Klaster2
285 Setu 175002 3.06 865.24 0.27 404.22 Klaster3
286 Setu 140911 3.72 1008.99 0.31 1814.25 Klaster2
287 Sindang jaya 85686 3.50 2224.69 0.69 13.88 Klaster3
288 Sindangbarang 59565 4.05 309.90 0.10 816.84 Klaster3
289 Sindangkerta 66800 3.93 342.68 0.11 686.95 Klaster3
290 Solear 82566 3.90 771.53 0.24 155.97 Klaster3
291 Solokan jeruk 81748 2.78 425.35 0.13 550.35 Klaster3
292 Soreang 112839 3.39 747.04 0.23 1060.98 Klaster3
43

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
293 Sukadiri 55039 5.22 636.62 0.20 88.47 Klaster3
294 Sukajadi 108045 24.88 499.85 0.15 2318.94 Klaster1
295 Sukajaya 57429 3.59 171.25 0.05 808.74 Klaster3
296 Sukakarya 97242 3.16 449.27 0.14 64.49 Klaster3
297 Sukaluyu 72452 3.18 383.28 0.12 264.44 Klaster3
298 Sukamakmur 78106 3.38 219.36 0.07 768.69 Klaster3
299 Sukamulya 62643 2.86 908.16 0.28 53.69 Klaster3
300 Sukanagara 50408 4.28 228.01 0.07 833.65 Klaster3
301 Sukaraja 192820 9.51 1308.79 0.40 1048.67 Klaster3
302 Sukaresmi 82687 3.96 645.85 0.20 573.69 Klaster3
303 Sukasari 81659 23.46 545.01 0.17 255.45 Klaster2
304 Sukasari 13327 3.27 100.04 0.03 896.44 Klaster3
305 Sukatani 43972 3.16 569.08 0.18 448.19 Klaster3
306 Sukatani 61891 3.57 765.38 0.24 612.95 Klaster3
307 Sukawangi 76920 3.28 814.42 0.25 457.08 Klaster3
308 Sukma jaya 271735 9.39 1367.63 0.42 1460.18 Klaster2
309 Sumur bandung 35749 33.58 336.47 0.10 917.34 Klaster2
310 Tajur halang 112381 3.60 1207.41 0.37 679.42 Klaster3
311 Takokak 52231 3.32 175.91 0.05 798.58 Klaster3
312 Talagasari 64620 3.07 473.07 0.15 426.15 Klaster3
313 Tamansari 109932 13.26 602.37 0.19 820.13 Klaster1
314 Tamansari 100087 3.67 454.87 0.14 147.54 Klaster3
315 Tambelang 45851 3.04 349.65 0.11 374.70 Klaster3
316 Tambora 248936 13.45 535.57 0.17 8310.90 Klaster1
317 Tambun selatan 180363 2.74 3389.42 1.05 947.68 Klaster3
318 Tambun utara 258381 3.39 1148.61 0.35 2250.57 Klaster2
319 Tanah sereal 144815 23.28 1531.70 0.47 908.23 Klaster2
320 Tanahabang 215479 14.80 902.03 0.28 967.39 Klaster2
321 Tangerang 172665 3.46 1273.26 0.39 570.21 Klaster2
322 Tanggeung 45354 3.12 162.03 0.05 656.09 Klaster3
323 Tanjung priok 384169 17.06 2136.92 0.66 2150.79 Klaster2
324 Tanjungsari 52537 3.41 211.34 0.07 810.37 Klaster3
325 Tapos 252897 4.88 2128.45 0.66 2184.57 Klaster2
326 Tarumajaya 36338 6.29 1787.09 0.55 669.04 Klaster3
327 Tebet 210042 17.32 931.47 0.29 1662.04 Klaster1
328 Tegal waru 42582 2.45 463.85 0.14 668.24 Klaster3
329 Tegalwaru 36118 2.32 151.68 0.05 812.16 Klaster3
330 Telukjambe barat 51607 9.98 626.19 0.19 651.14 Klaster3
331 Telukjambe timur 133880 9.98 1190.92 0.37 387.64 Klaster3
332 Teluknaga 151199 2.54 1545.88 0.48 366.00 Klaster3
333 Tempuran 61976 2.52 583.32 0.18 673.10 Klaster3
334 Tenjo 69884 4.02 342.71 0.11 582.20 Klaster3
44

Lampiran 1 (lanjutan)
No Kec JP14 (jiwa) IPK14 Luas(km) ULR (%) Distance Klaster
335 Tenjolaya 57776 6.01 298.37 0.09 260.42 Klaster3
336 Tigaraksa 137259 7.55 1670.74 0.52 145.40 Klaster3
337 Tirtajaya 69480 2.39 591.67 0.18 691.12 Klaster3
338 Tirtamulya 46821 1.80 638.11 0.20 522.85 Klaster3
339 Ujung berung 75151 11.61 371.25 0.11 103.59 Klaster2
340 Wanayasa 39300 9.59 281.45 0.09 664.79 Klaster3
341 Warung kondang 67064 4.68 459.90 0.14 308.55 Klaster3

Keterangan :
JP14 = Jumlah Penduduk Tahun 2014
IPK14 = Indeks Perkembangan Kecamatan tahun 2014
ULR = Urban Land Ratio/ Rasio area urban terhadap luas total
45

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 16 September 1994 dari ayah


Samsu Rizal dan ibu Siti Khodijah. Penulis adalah anak pertama dari dua
bersaudara. Penulis mengawali pendidikan di bangku Sekolah Dasar Negeri
Cikarag 1 dan lulus pada tahun 2007. Kemudian melanjutkan di Sekolah
Menengah Pertama Negeri 1 Malangbong dan lulus pada tahun 2010. Tahun 2013
penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Garut dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
undangan/SNMPTN dan diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya
Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai staf di Departemen of
Student Resource Depelopment Himpunan Mahasiswa Ilmu tanah selama dua
periode yaitu tahun 2014/2015 dan 2015/2016. Selain itu, penulis juga aktif
sebagai bendahara UKM kewirausahaan Century IPB selama dua periode yaitu
tahun 2014/2015 dan 2015/2016. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata
kuliah perencanaan dan pengembangan wilayah pada semester 8 dan pada
semester yang sama penulis magang sebagai asisten account manager di IPB
Press.

Anda mungkin juga menyukai