STEP 1
1. Tzank smear : tes dermatologi untuk melihat giant multinuclear cell
dengan pengecatan Giemsa/ zn media mikroskop perbesaran 100x.
Dilihat sel tzankya untuk membedakan dengan dd .
Cara :
- Pecah bula
- Kerok
- Fiksasi di atas api
- Direndam alkohol 5mnt
- Warna giemsa 30mnt
- Diamati perbesaran 100x.
Tes dermatologi apabila timbul lesi bula dan vesikel.
Giant multinuclear cell ( Tzank )
2. Diskrit : lesi terpisah.
3. Tersebar sentrifugal : lesi tersebar dari pusat menuju keluar.
4. Vesikel : Lesi menonjol berisi cairan ukuran <0,5 cm.
Cairan serous yg beratap.
5. Papul : lesi menonjol padat uk. < 0,5cm
6. Eritematosa : perubahan warna kemerahan yang muncul akibat
inflamasi.
STEP 2
1. Mengapa pasien mengeluhkan tubuhnya mlenting-mlenting?
2. Mengapa pasien mengalami demam dan tidak enak badan?
3. Mengapa ditemukan vesikel, papul eritematosa yang tersebar
diskrit dan sentrifugal?
4. Mengapa lepuh yang berisi air mulanya diperut meluas ke dada,
lengan dan tungkai ?
5. Apa hubungan penyakit anak dan pasien yg mengalami penyakit
yg sama ?
6. Mengapa pasien telah diberikan obat penurun panas tetapi tidak
turun?
7. Bagaimana penularan dari kasus di skenario ?
8. Dx dan DD sesuai skenario ?
9. Bagaimana patogenesis dari skenario ?
10. Apa etiologi dan faktor resiko dari skenario ?
11. Manifestasi klinis sesuai skenario ?
12. Bagaimana alur diagnosis dari skenario ?
13. Bagaimana cara kerja dan interpretasi pemeriksaan Tzank
smear ?
14. Bagaimana tatalaksana pada kasus di skenario ?
15. Bagaimana komplikasi dari skenario?
16. Apa edukasi yang diberikan kepada pasien ?
2
STEP 3
1. Mengapa pasien mengeluhkan tubuhnya mlenting-mlenting?
• Droplet/ tertular cairan dari vesikel penderita mukosa sal.
Pernapasan replikasi di sal. Atas viremia primer viremia
sekunder ( memindahkan ke kulit dan mukosa ) vesikel
•Menyebar kekulir karena dibawa sel T masuk ke kulit melalui
proses diapedesis folikel rambut
• vesikel dan bula karena ada akantolisis ( disintegrasi dari antar
sel)
Letaknya : di epidermal
Bagaimana mekanisme virus merusak/ mengganggu desmosom :
3
Primary acantholisis
Mechanism of acantholysis in pemphigus: It is an enigmatic process, and newer aspects are
continually being discovered. The major auto-antibodies in pemphigus target Dsg-1 (PF and PV) and
Dsg-3 (PV). The conventional concept is that PV IgG binds to Dsgs resulting in stearic hindrance,
interference with desmosomal cadherin trans-interactions and loss of intercellular adhesion. The Dsg
compensation theory explains the different level of blistering in PV and PF. Plasminogen activation in
lesional epiderImis is also believed to contribute to acantholysis. [7] However, recent immuno-electron
studies demonstrate that desmosomes remain intact till the late stages of acantholysis when they are
cleaved behind the desmosomal plaque, due to shearing forces produced by collapsing cells. [12]
Hence, the pivotal role of anti-Dsg antibodies in pemphigus is being questioned. [13] In addition to
Dsgs, pemphigus auto-antibodies recognize numerous other antigens. In a recently-described model
[Figure 1], the proposed initial step is the binding of antibodies to peripheral myelin protein (PERP)
and/or cellular acetylcholine receptor (AChR), which leads to dissociation of adhesion molecules and
also initiates apoptosis. Subsequently, tonofilaments collapse and keratinocytes shrink with sloughing
of desmosomes, which elicits an autoimmune response. Finally, anti-Dsg antibodies bind to their
targets precluding formation of new intercellular junctions. [14] The linking of the apoptotic pathways
to basal cell shrinkage and suprabasal acantholysis has been termed apoptolysis.
Simpulan :
Secondary acantholisis
Virus infx keratinosit karena ada protein pada virus yang berafinitas MPR ( mannose- 6 phosphat )
yaitu dengan sel keratinosit yang ada di stratum spinosum terinfx menganggu disintegrasi
desmosome taut antar sel tidak lagi kuat acantholysis vesikel
Primary acantholysis
Biasanya didapatkan pada penyakit autoimun ( pemvigus vulgaris atau pemvigus foliceus ) adanya
autoimun dimana ig G akan binding ke desmoglein 1 ( terletak di kulit, pada pv) atau dsg 3 ( dominan
pada mukosa bibir, pada pf) timbul reaksi inaktivasi desmoglein akibat antibodi melawan
antidesmoglein terlepas ikatan antar sel terbentuk ruangan kosong efflux cairan keatas
vesikel atau bula
4
Divya Seshadri, M Sendhil Kumaran, Amrinder J Kanwar. 2013 Acantholysis
revisited: Back to basics. Department of Dermatology, PGIMER, Chandigarh, India. Indian
journal of dermatology venereology and leprology. | Vol. 79 halaman 120-126
The typical lesion produced by HSV is the vesicle, a ballooning degeneration of intra-epithelial
cells, which contains infectious fluid.
The basal epithelium is usually intact as vesicles penetrate the subepithelial layer only
occasionally. The base of the vesicle contains multinucleate cells (Tzanck cells) and infected
nuclei contain eosinophilic inclusion bodies. The roof of the vesicle breaks down and an ulcer
forms. This happens rapidly on mucous membranes and non-keratinizing epithelia; on the skin,
the ulcer crusts over, forming a scab, and then heals. A mononuclear cellular immune reaction is
usual with the vesicle fluid becoming cloudy and cellular infiltration in the subepithelial tissue.
After resorption, or loss, of the vesicle fluid, the damaged epithelium is regenerated.
Natural killer (NK) cells play a significant role in early defence by recognizing and destroying
HSV-infected cells.
Herpesvirus glycoproteins synthesized during virus growth are inserted into host cell
membranes, and some are secreted into extracellular fluid. The host's adaptive immune
5
system responds to all these foreign antigens producing both cytotoxic (CD4+ and CD8+)
and helper (CD4+) T lymphocytes which activate primed B lymphocytes to produce specific
antibodies, and are also involved in the induction of delayed hypersensitivity. The different
glycoproteins have significant roles in generating these various cell responses; many induce
neutralizing antibodies.
Simpulan :
jadi virus masuk --> infx saluran napas --> infx sel dendritik di bagian cell surface, lha el
dendritik ini mempunyai tugas untuk mempresentasikan ke MHC kelas II --> sementara si virus
mempunyai kemampuan untuk mendownregulated presentasi ini ke MHC --> sehingga tak ada yang
di presentasikan ke MHC ( downloregulation ) --> sehingga tak terekspresi CD4+ yang akan
mempresentasikan antigen ke sel T naif --> sehingga virus bisa spread
6
Regulasi demam, sekresi PGE dan mekanisme COX
7
3. Mengapa ditemukan vesikel, papul eritematosa yang tersebar
diskrit dan sentrifugal?
Mekanisme pembentukan vesikel/bula :
1. Degenerasi balloning
Mekanisme : leukosit dan cairan masuk dari dermis diantara sel sel keratinosit karena ikatan
atau taut antar sel melebar.
Contoh : DKA
4. Sitolisis, Disebabkan kerusakan/ketidaksempurnaan komponen sel/struktur lapisan kulit
Penyakit Kulit Vesikobulosa Dan Eritroskuamosa Oleh Nur Hidayat Bagian/Smf Ilmu
Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako.
8
Robert I. Norman, Steven Myint, Simon Kilvington, David Lodwick, Anthony Maggs, R. Andrew
Swann. 1999. Medical Microbiology Made Memorable. Churchill Livingstone.
- Vesikel dan Bula : Adalah lesi menonjol berbatas tegas dan berisi cairan.
Vesikel dengan diameter > 0,5 cm disebut bula.Terjadi oleh karena adanya celah dalam
epidermis/ taut dermoepidermal.
- Ada 3 macam :
o Sub Korneal : Khas : dinding tipis, kendur, rapuh. Cth. Impetigo bulosa
9
o Vesikel subepidermal : Timbulnya celah akibat lisisnya protein taut
dermoepidermal pada autoimun diseases. Khas : dinding sangat tegang, berisi
cairan serous atau hemorhagi sering disertai gatal. Cth. Epidermolisis bulosa.
Siti Aisah Boediardja, Unandar Budimulja. Morfologi Kulit Dan Cara Membuat Diagnosis.
2015 Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
VZV adalah limfotropik untuk CD41 serta limfosit T CD81. Limfosit T yang
teraktivasi dapat terinfeksi VZV in vitro, dan protein IE62 efektif dalam transaktivasi
semua kelas gen VZV pada Garis sel T-limfosit manusia. Viremia terkait sel
memberi virus akses ke sel epidermis, dan replikasi dalam sel ini menyebabkan
lesi khas varicella. Saat terjadi viremia sekunder, akan timbul lesi yang polimorf.
Sesuai dengan jaras persarafannya pada radix dorsal di n. Spinalis yang terletak di
sumsum tulang belakang yang dilewati oleh dermatome area torso.
Kemudian lesi ini juga akan bervariasi bentuknya tergantung dengan kecepatan
virus dalam menginfeksi, virus ini nantinya akan di lisis kan oleh makrofag namun
jika ada hiperinflamasi tidak hanya virus yang akan lisis namun juga sel keratinosit
yang lisis. Sehingga virus bisa menembus lapisan di kulit terutama pada stratum
spinosum yang menjadi target virus. Bentuk dari stratum spinosum sendiri adalah
hexagonal sehingga ketika lisis akan memicu adanya kumpulan sitoplasma yang akan
menonjol ke permukaan kulit sebagai vesikel.
mekanismenya :
jadi virus masuk --> infx saluran napas --> infx sel dendritik di bagian cell surface,
lha sel dendritik ini mempunyai tugas untuk mempresentasikan ke MHC kelas II -->
sementara si virus mempunyai kemampuan untuk mendownregulated presentasi ini ke
MHC --> sehingga tak ada yang di presentasikan ke MHC ( downloregulation ) -->
sehingga tak terekspresi CD4+ yang akan mempresentasikan antigen ke sel T naif -->
sehingga virus bisa spread.
10
4. Mengapa lepuh yang berisi air mulanya diperut meluas ke dada,
lengan dan tungkai ?
•inkubasi virus di hepar makanya dia di perut dulu menyebar ke
ektremitas2 melalui pembuluh limfe .
Sesuai dengan patogenesisnya VVZ masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran
napas atas dan orofaring. Virus bermultiplikasi di tempat masuk (port
d'entry),menyebar melalui pembuluh darah dan limfe, mengakibatkan viremia primer.
Tubuh mencoba mengeliminasi virus terutama melalui sistem pertahanan tubuh non
spesifik, dan imunitas spesifik terhadap VVZ. Apabila pertahanan tubuh tersebut
gagal mengeliminasi virus terjadi viremia sekunder kurang lebih dua minggu setelah
infeksi. Viremia ini ditandai oleh timbulnya erupsi varisela, terutama di bagian sentral
tubuh dan di bagian perifer lebih ringan. Pemahaman baru menyatakan bahwa erupsi
kulit sudah dapat terjadi setelah viremi primer. Setelah erupsi kulit dan mukosa, virus
masuk ke ujung saraf sensorik kemudian menjadi laten di ganglion dorsalis posterior.
Pada suatu saat, bila terjadi reaktivasi VVZ, dapat terjadi manifestasiherpes zoster,
sesuai dermatom yang terkena.
Disini dijelaskan bahwa setelah viremia primer baru timbul lesi pertama yang
merupakan efek dari inflamasi sitokin yang berlebihan,dan juga resptor protein untuk
VVZ berada paling banyak di ganglion dorsal maka dari itu menyebar dari
batang tubuh ke akral tepatnya pada ganglion dorsal spinalis. Sedangkan pada
HSV1 reseptor protein berada di nervus trigeminal maka dari itu banyak lesi yang
berada di wajah serta HSV2 reseptor proteinnya pada nervus sakralis. Dapat ditarik
kesimpulan pada VVZ lesi awalnya berada di sekitar batang tubuh terlebih
dahuku/sentrifugal, dan mungkin saja sudah terjadi viremia sekunder dimana lesi
tersebar diseluruh tubuh
Simpulan :
mengapa lesi pada abdomen terlebih dahulu ? karena adanya viremia primer
ekspresi sitokin yang berlebihan pada reseptor virus di ganglion dorsal yang akan
menyebar dari batang tubuh ke akral berarti batang tubuh sebagai terinfeksi
terlebih dahulu baru kemudian terspread melalui limfonodi .
11
Simpulan :
Adanya masa inkubasi yaitu menurut stadium :
Stadium Prodromal
Gejala prodromal timbul setelah 14-15 hari masa inkubasi, dengan timbulnya ruam kulit
disertai demam yang tidak begitu tinggi serta malaise. Pada anak lebih besar besar dan
dewasa ruam didahului oleh demam selama 2-3 hari sebelumnya, menggigil, malaise, nyeri
kepala, anoreksia, nyeri punggung, dan pada beberapa kasus nyeri tenggorok dan batuk.
Stadium Erupsi
Rum kulit muncul di muka dan kulit kepala, dengh cepat menyebar ke badan dan ekstremitas.
Ruam lebih jelas pada bagian badan yang tertutup dan jarang ditemukan pada telapak kaki
dan tangan. Penyebaran lesi varisela bersifat sentrifugal. Gambaran yang menonjol adalah
perubahan yang cepat dari makula kemerahan ke papula, vesikula, pustula dan akhirnya
menjadi krusta. Perubahan ini hanya terjadi dalam waktu 8-12 jam. Gambaran vesikel khas,
superfisial, dinding tipis dan terlihat seperti tetesan air.
Jika di skenario, pasien mengeluhkan demam semenjak 10 hari dan 3 hari terakhirnya
pasien mengeluhkan adanya mlenting berarti sudah melewati stadium erupsi
Bisa saja tertular karena menurut scenario Varisela menyebar dengan cepat melalui
droplet udara dan kontak langsung. Pasien varisela mungkin infeksius (mampu
menularkan penyakit) secara cepar sebelum timbul ruam sampai beberapa hari
pertama timbulnya ruam. Infbksi kontak jarang pada zoster, mungkin karena virus
tidak ada pada saluran pernapasan atas pada kasus tipikal. Pasien zoster dapat menjadi
sumber varisela pada anak yang rentan.
VZV sangat mudah berkomunikasi dan menyebar melalui rute udara , dengan
transmisi yang sangat tinggi di negara-negara beriklim sedang. Secara tradisional,
virus itu diperkirakan menyebar ke orang lain dari saluran pernapasan, tetapi bukti
seperti itu tidak banyak. Sebaliknya, sebagian besar virus dating dari kulit yang sangat
terkonsentrasi dalam vesikel; sel-sel kulit dan sel bebas VZV sering ditularkan dan
mungkin merupakan sumber utama infectious cell-free airborne virus. Anak yang
terinfeksi tanpa lesi kulit tidak menular ke orang lain.
Chen, J. J., Zhu, Z., Gershon, A. A. & Gershon, M. D. Mannose 6-phosphate receptor
dependence of varicella zoster virus infection in vitro and in the epidermis during
varicella and zoster. Cell 119, 915–926 (2004)
12
Vaccine-Preventable Diseases In Pediatric Patients: A Review Of Measles, Mumps,
Rubella, And Varicella by Deborah A. Levine, MD (December 2, 2016)
(ebmedicine.net)
13
7. Bagaimana penularan dari kasus di skenario ?
Bisa saja tertular karena menurut scenario Varisela menyebar dengan cepat melalui
droplet udara dan kontak langsung. Pasien varisela mungkin infeksius (mampu
menularkan penyakit) secara cepar sebelum timbul ruam sampai beberapa hari
pertama timbulnya ruam. Infbksi kontak jarang pada zoster, mungkin karena virus
tidak ada pada saluran pernapasan atas pada kasus tipikal. Pasien zoster dapat
menjadi sumber varisela pada anak yang rentan.
VZV sangat mudah berkomunikasi dan menyebar melalui rute udara , dengan
transmisi yang sangat tinggi di negara-negara beriklim sedang. Secara tradisional,
virus itu diperkirakan menyebar ke orang lain dari saluran pernapasan, tetapi bukti
seperti itu tidak banyak. Sebaliknya, sebagian besar virus dating dari kulit yang
sangat terkonsentrasi dalam vesikel; sel-sel kulit dan sel bebas VZV sering ditularkan
dan mungkin merupakan sumber utama infectious cell-free airborne virus. Anak yang
terinfeksi tanpa lesi kulit tidak menular ke orang lain.
Chen, J. J., Zhu, Z., Gershon, A. A. & Gershon, M. D. Mannose 6-phosphate receptor
dependence of varicella zoster virus infection in vitro and in the epidermis during
varicella and zoster. Cell 119, 915–926 (2004)
14
FKUI., 2002. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. BinarupaAksara.
Jakarta
15
Dapat Dapat Lesi yang
berulang berulang tersebar
pada tempat pada tempat menurut
yang sama yang sama dermatome
bibir, mata, bibir, mata,
pipi pipi
tergantung tergantung
afinitas afinitas
protein
( afinitas
tertinggi
pada
mukosa)
n. Sacralis
Disertai Disertai Disertai
demam demam pruritus
dan dapat dan rasa
teraktivasi nyeri
oleh sinar
mataharu,
trauma
stress
Apusan tzank Apusan tzank Apusan tzank Apusan tzank
smear virus smear virus virus varicella smear
varicella herpes zooster positif ditemukan
zooster + simplex + adanya
akantolitik,
diskeratotik,
kokus, dan
neutrofil
16
Robert I. Norman, Steven Myint, Simon Kilvington, David Lodwick, Anthony Maggs, R. Andrew
Swann. 1999. Medical Microbiology Made Memorable. Churchill Livingstone.
17
Simpulan :
Virus masuk terinhalasi atau kontak dengan lesi invasi epitel di nasofaring
aktifkan sel imun menuju limfonodi terdekat ( cincin waldeyer ) reaksi imun
ganggu sel dendritic padahal fungsi sel dendritic ini fungsinya untuk mengenalkan
virusnya ke MHC lha MHC akan mempresentasikan ke sel T lha pada kasus VZV
tidak terekspresinya antigen VZV ke MHC virus makin bereplikasi
menimbulkan reaksi viremia berupa fever dan malaise viremia sekunder melewati
limfonodi ke kulit ( lha ini mekanisme homing virusnya blm diketahu, apakah ada
reseptor dikulit apa pake apa) lapisan epidermis infx dari bawah ( stratum
basale ) makulopapula, bula vesikel akibat akantholisis merupakan virus
yang mendiami neuron sehingga secara retrograde terbawa ke dorsal root of
neuron sensori ganglia
18
Zerboni, L., Sen, N., Oliver, S. L., & Arvin, A. M. (2014). Molecular mechanisms of
varicella zoster virus pathogenesis. Nature Reviews Microbiology, 12(3), 197–210.
doi:10.1038/nrmicro3215
1. Virion herpesvirus berbentuk sferik ( melengkung ) yang besarnya 150-200 nm dengan kapsid berbentuk
icosahedral (bidang 20) yangbesarnya 100 nm.
2. Kapsid terdiri dari 762 kapsomer yang mempunyai gambaran sebagai prisma memanjang berlubang
berbentuk hexagonal (150 buah hexon) dan pentagonal (12 buah penton) dengan sumbu lubang di
tengah- tengahnya. Kapsid icosahedral yang berdiameter 100 nm memperlihatkan suatu simetri rangkap
5:3:2
19
Le, Tao; Bhushan, Vikas; Sochat, Matthew; Chavda, Yash; Zureick, Andrew;
Kalani, Mehboob; and Kallianos, Kimberly. First Aid for the USMLE Step 1
2018. New York: McGraw-Hill Education, 2017.
20
Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. (2012). Jawetz, melnick, &
adelberg’s medical microbiology. 25th Edition. Terjemahan Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2010. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, & adelberg. Edisi 25. Jakarta: Penerbit
Kedokteran EGC.
Gejala prodromal timbul setelah 14-15 hari masa inkubasi, dengan timbulnya ruam kulit
disertai demam yang tidak begitu tinggi serta malaise. Pada anak lebih besar besar dan
dewasa ruam didahului oleh demam selama 2-3 hari sebelumnya, menggigil, malaise, nyeri
kepala, anoreksia, nyeri punggung, dan pada beberapa kasus nyeri tenggorok dan batuk.
Stadium Erupsi
Rum kulit muncul di muka dan kulit kepala, dengh cepat menyebar ke badan dan
ekstremitas. Ruam lebih jelas pada bagian badan yang tertutup dan jarang ditemukan pada
telapak kaki dan tangan. Penyebaran lesi varisela bersifat sentrifugal. Gambaran yang
menonjol adalah perubahan yang cepat dari makula kemerahan ke papula, vesikula, pustula
dan akhirnya menjadi krusta. Perubahan ini hanya terjadi dalam waktu 8-12 jam. Gambaran
vesikel khas, superfisial, dinding tipis dan terlihat seperti tetesan air. Penampang 2-3 rnm
berbentuk elips dengan sumbu sejajar garis lipatan kulit. Cairan vesikel pada permulaan
21
jernih, dan dengan cepat menjadi keruh akibat serbukan sel radang dan menjadi pustula.
Lesi kemudian mengering yang dimulai dari bagian tengah dan akhirnya terbentuk krusta.
Krusta akan lepas dalam waktu 1-3 minggu bergantung kepada dalarnnya kelainan kulit.
Bekasnya akan membentuk cekungan dangkal benwama merah muda dan kemudian
berangsur-angsur hilang. Apabila terdapat penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi
jaringan parut.
Vesikel juga dapat tirnbul pada mukosa mulut terutama pada palatum. Vesikel ini dengan
cepat pecah sehingga luput dari pemeriksaan, bekasnya masih dapat terlihat berupa ulkus
dangkal dengan diameter 2-3 rnm. Lesi kulit terbatas terjadi pada lapisan epidermis sehingga
tidak menembus membran basal kulit, sehingga tidak menimbulkan bekas. Jaringan parut
yang menetap te rjadi sebagai akibat infeksi sekunder (lesi menembus membran basalis
kulit). Vesikel juga dapat timbul pada mukosa hidung, faring, laring, trakea, saluran cerna,
saluran kemih, vagina dan konjunGva. Gambaran lain dari lesi varisela adalah terdapatnya
semua tingkatan lesi kulit dalam waktu bersamaan pada satu area. Pada kasus yang khas dan
berat suhu badan dapat mencapai 39-40,5OC. Apabila demam berlanjut mungkin telah
terjadi infeksi bakteri sekunder atau penyulit lain. Keluhan yang paling menonjol adalah
perasaan gatal selama fase erupsi, sehingga dapat dijumpai lesi bekas garukan
Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI
22
Table 1. Definitions of key terms
23
Kim SH, Park SH, Choi SM, Lee DG. Implementation of Hospital Policy for Healthcare
Workers and Patients Exposed to Varicella-Zoster Virus. J Korean Med Sci. 2018
Sep;33(36):e252. https://doi.org/10.3346/jkms.2018.33.e252
24
- Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah
berbentuk krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.
- Hasil pemeriksaan cepat.
- Membutuhkan mikroskop fluorescence.
- Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.
- Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks
virus.
3. Polymerase chain reaction (PCR)
- Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.
- Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti
scraping dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat juga
digunakan sebagai preparat, dan CSF.
- Sensitifitasnya berkisar 97 – 100%.
- Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster
4. Biopsi kulit
Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal dengan
degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai
adanya lymphocytic infiltrate
Interpretasi :
Metode apusan Tzanck untuk tujuan diagnostic masih jarang dimanfaatkan dalam
bidang dermatologi dan venereologi di Indonesia, padahal memberikan hasil yang
cepat dan dapat dipercaya pada banyak keadaan klinis serta menjadi pilihan yang
lebih baik dibandingkan biopsi pada lesi area yang sulit untuk dibiopsi atau pasien
anak dengan gangguan cemas. Prosedur sederhana ini terbukti bermanfaat dalam
menegakkan atau menyingkirkan penyakit kulit, antara lain penyakit infeksi,
autoimun bulosa, dermatitis spongiosis, tumor kulit, dan genodermatosis.
25
Lusiana, Larisa Paramitha, Rahadi Rihatmadja, Sri Linuwih Menaldi, Shannaz Nadia Yusharyahya.
Tinjauan Pustaka Tes Tzanck Di Bidang Dermatologi Dan Venereologi. Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Le, Tao; Bhushan, Vikas; Sochat, Matthew; Chavda, Yash; Zureick, Andrew; Kalani, Mehboob; and
Kallianos, Kimberly. First Aid for the USMLE Step 1 2018. New York: McGraw-Hill Education,
2017.
14. Bagaimana tatalaksana pada kasus di skenario ?
26
Le, Tao; Bhushan, Vikas; Sochat, Matthew; Chavda, Yash; Zureick, Andrew; Kalani, Mehboob; and
Kallianos, Kimberly. First Aid for the USMLE Step 1 2018. New York: McGraw-Hill Education,
2017.
1. Imunisasi pasif
Menggunakan VZIG (Varicella zoster immunoglobulin). Pemberiannya dalam waktu 3
hari (kurang dari 96 jam) setelah terpajan VZV, pada anak-anak imunokompeten
terbukti mencegah varicellla sedangkan pada anak imunokompromais pemberian VZIG
dapat meringankan gejala varicella. VZIG dapat diberikan pada yaitu :
Anak - anak yang berusia < 15 tahun yang belum pernah menderita varicella
atau herpes zoster.
Usia pubertas > 15 tahun yang belum pernah menderita varicella atau herpes
zoster dan tidak mempunyai antibodi terhadap VZV.
Bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita varicella dalam kurun waktu 5
hari sebelum atau 48 jam setelah melahirkan.
Bayi premature dan bayi usia 14 hari yang ibunya belum pernah menderita
varicella atau herpes zoster.
Anak - anak yang menderita leukemia atau lymphoma yang belum pernah
menderita varicella.
Dosis : 125 U / 10 kg BB.
Dosis minimum : 125 U dan dosis maximal : 625 U.
Pemberian secara IM tidak diberikan IV
27
Perlindungan yang didapat bersifat sementara.
2. Imunisasi aktif
Vaksinasinya menggunakan vaksin varicella virus (Oka strain) dan kekebalan yang
didapat dapat bertahan hingga 10 tahun. Digunakan di Amerika sejak tahun 1995. Daya
proteksi melawan varicella berkisar antara 71 - 100%.
Vaksin efektif jika diberikan pada umur 1 tahun dan direkomendasikan
diberikan pada usia 12-18 bulan.
Anak yang berusia 13 tahun yang tidak menderita varicella direkomendasikan
diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua diberikan dalam 2 dosis dengan jarak
4 - 8 minggu.
Pemberian secara subcutan.
Simpulan :
Berdasarkanguidelines terbaru dari Advlso y Committee on immunization Practices
(ACLP) of the Centers for Disease Control and Prevention, pemberian vaksin varisela
dosis tunggal belum mampu mencegah wabah varisela sepenuhnya. Sehingga kini
direkomendasikan pemberian vaksin varisela dua kali (masing-masing 0,5 mL)
subkutan pada anak-anak berusia di 12 bulan - 12 tahun, dengan interval minimum
3 bulan. Sedangkan pemberian pada pasien yang telah berusia lebih dari 12 tahun,
interval yang direkomendasikan adalah empat minggu.
Efek samping : Kadang - kadang dapat timbul demam ataupun reaksi lokal seperti
ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3- 5% anak - anak dan timbul 10 - 21
hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan.
Vaksin varicella : Varivax.
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil oleh karena dapat menyebabkan terjadinya
kongenital varicella.
28
3. pajanan pasca natal pada bayi prematur (usia gestasi 128 minggu atau berat lahir <I000
gram)
4. ibu hamil yang terpajan
5. petugas rumah-sakit yang rentan terinfeksi
6. anak sehat yang berisiko sakit
Pemberian VZIG ini harus mempertimbangkan: 1) apakah pasien termasuk kelompok
yang rentan, 2) apakah pajanan tersebut akan (kemungkinan besar) menimbulkan sakit, dan
3) apakah pasien berisiko lebih besar untuk mengalami komplikasi dibandingkan dengan
populasi umum. VZIG diberikan dalam kurun waktu 72 jam pasca pajanan atau dalam 96 jam
pada pasien irnunokompromais. Efek proteksi VZIG ini diharapkan mampu bertahan hingga
kira-kira 3 minggu. Sebaliknya, VZIG dikontraindikasikan pada pasien yang sudah pemah
menerima vaksinasi varisela dan sudah seropositif.
Dosis VZIG yang direkomendasikan adalah125 unit110 kgBB (min 125 U dan
maksirnal 625 U) secara intramuskular. Pemberian VZIG relatif aman dengan efek samping
minimal berupa rasa nyeri dan bengkak di daerah injeksi pada 1% pasien; keluhan
gastrointestinal, pusing dan ruam terjadi pada <0,2%; sementara anafilaktik syok dan
angioneurotik edema hanya pada <0,1% resipien.
Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI
Edukasi :
1. Mengisolasi penderita
2. Meningkatkan gizi kontak yang serumah dengan penderita
3. memberikan penyuluhan tentang penyakit
4. imunisasi saat ini masih mahal
Soedarmo, S. S. P. (2010). Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI
29
STEP 4 MAPPING
30