Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

PEMAHAMAN ANTARA PERATURAN PAJAK PPh PASAL 21 DAN


UMKM
Untuk Memenuhi Tugas Audit Perpajakan

Dosen Pengampu :
Bayu Adi, SE., M.SA., Ak

Disusun Oleh :
1. Chardyla Via Abriana (12-160-0096)
2. Muarifah (12-160-0062)
3. Vebrina Ayu S. (12-160-0064)
4. Ika Puspita Sari (12-160-0084)
5. Fitri Setya Devi A. (12-160-0109)

Kelas Akuntansi 2012 B

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat,
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemahaman Antara Peraturan Pajak PPh Pasal
21 dan UMKM”. Makalah ini disusun guna memenuhi kelengkapan tugas Mata Kuliah
Audit Perpajakan. Dengan tersusunnya makalah ini adalah berkat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada,
1. Bayu Adi, S.E., M.SA., Ak., selaku Dosen Pengampu Audit Perpajakan di Fakultas
Ekonomi.
2. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan motivasi.
3. Serta kepada teman-teman Jurusan Akuntansi 2012.
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan pembuatan makalah ini untuk masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Surabaya, November 2015

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................... 3
2.1 Definisi Pajak ............................................................................................. 3
2.2 Ciri-Ciri Pajak ............................................................................................ 4
2.3 Fungsi Pajak ............................................................................................... 5
2.4 Syarat Pemungutan Pajak .......................................................................... 6
2.5 Sistem Pemungutan Pajak .......................................................................... 7
2.6 Pajak Penghasilan ...................................................................................... 8
2.7 Perhitungan Pajak Penghasilan .................................................................. 14
2.8 Tax Planning (Perencanaan Pajak) ............................................................ 15
2.9 Pengertian Usaha Kecil Menengah ............................................................ 17
2.10 Kelebihan UKM (Usaha Kecil Menengah).............................................. 18
2.11 Kelemahan UKM (Usaha Kecil Menengah) ............................................ 20
BAB III PEMBAHASAN .............................................................................. 22
3.1 Pengertian PPh Pasal 21............................................................................. 22
3.2 Subyek Pajak PPh Pasal 21(Wajib Pajak PPh Pasal 21).......................... 22
3.3 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21................................ ....................... 22
3.4 Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21..................... ................... 23
3.5 Hak Dan Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21.................. ................ 24
3.6 Objek Pajak PPh Pasal 21................. ........................... .............................. 25
3.7 Penghasilan Yang Tidak Dikenakan PPh Pasal 21...................................... 26
3.8 Perpajakan UKM............................ ........................................................... 26
3.9 Implikasi Terhadap UKM.............................................. ............................ 28
3.10 Model Perpajakan UMKM................................ ...................................... 29
3.11 Karakteristik Bisnis UMKM................................................... ................. 29
3.12 Kontribusi UMKM Pada PDB.................. ............................................... 30
3.13 Kebijakan PPh UMKM......................................................... ................... 31
3.14 Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21.................................. ................ 33
3.15 Pengenaan PPh Final 1% Ukm & Surat Keterangan Bebas (SKB).......... 37
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 42
4 .1 Kesimpulan ............................................................................................... 42
4.2 Saran ......................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai
kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti
kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat dan
sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan Negara.
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting
dari penerimaan Negara. Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan
indicator atas peran serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya
melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan
dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan berupa
pengeluaran rutin dan pembangunan yang berguna bagi rakyat.
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah merupakan sektor ekonomi
yang mempunyai peran cukup besar dalam perekenomian nasional. Berdasarkan data
Produksi Domestik Bruto (PDB) tahun 2011, UMKM mempunyai kontribusi kurang
lebih 57% total PDB. Namun demikian apabila dibandingkan dengan kontribusi UMKM
terhadap penerimaan pajak, terdapat miss-match dimana kontribusi UMKM pada
penerimaan perpajakan sangat kecil, yaitu kurang lebih 0.5% dari total penerimaan pajak.
Ketidak imbangan kontribusi UMKM tersebut merupakan suatu indikasi bahwa tingkat
ketaatan UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakan masih sangat rendah.
Sejalan dengan adanya UMKM tersebut maka Pemerintah mengatur perpajakan
untuk UMKM dalam PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan pada makalah ini
adalah:
1. Apa pengertian dari pajak penghasilan pasal 21?
2. Siapa subjek atau Wajib Pajak PPh pasal 21?
3. Siapa pemotong pajak penghasilan pasal 21?
4. Apa saja hak dan kewajiban wajib pajak PPh pasal 21?
5. Apa saja hak dan kewajiban pemotong pajak PPh pasal 21?
6. Penghasilan apa saja yang dipotong PPh Pasal 21 (Objek Pajak)?
7. Penghasilan apa saja yang tidak dipotong PPh pasal 21?
8. Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui kondisi pembayaran pajak UMKM di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pencatatan pembayaran pajak penghasilan (PPh 21)
yang dilakukan oleh UMKM.
3. Untuk referensi bagi penulis dan pembaca yang ingin mempelajarai sektor
UMKM dan pajak yang mengatur.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Definisi Pajak

Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Somitro, S.H (dalam Mardiasmo,
2009:1),
―Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum‖.

Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: ―Pajak


adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai public investment.‖

Ray M. Sommerfeld, Hershel M. Anderson, dan Horace R. Brock (dalam Sony


Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006:22) dalam bukunya An Introduction to Taxation
menyebutkan pajak sebagai,
―Any nonpenal yet compulsory transfer of resources from the private to the public sector,
levied on the basis of predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of
equal value in order to accomplish some of nation’s economic and social objektives.‖

Sementara itu, pajak dianggap sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian


harta kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang
ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari
negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum (R. Santoso
Brotodiharjo, 1993 dalam Yenni Mangonting, 1999).

Sedangkan definisi pajak menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani (dalam R. Santoso


Brotodiharjo dalam Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006:22):
―Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.‖

2.2 Ciri-ciri Pajak


Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara
ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah)
atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan), dapat ditarik
kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai
berikut:

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan


ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan ―pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang‖;
b. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan
bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor;
c. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan;
d. Pemungutan pajak dapat dipaksakan, dan apabila wajib pajak tidak memenuhi
kewajiban perpajakan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan;
e. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan,
pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

2.3. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya
di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara
untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan
hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi (Mardiasmo, 2009:1-2), yaitu:

a. Fungsi anggaran (budgetair)


Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari
penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti
belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.

b. Fungsi mengatur (regulerend)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah


dalam bidang sosial dan ekonomi. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contoh:

 Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi
minuman keras;
 Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya
hidup konsumtif;
 Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di
pasaran dunia.

2.4. Syarat Pemungutan Pajak


Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut (Mardiasmo, 2009:2):

a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan


pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan di antaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak
bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan
mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (Syarat Yuridis)


Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi: "Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang". Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan,
baik bagi negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun


perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efesien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan mendorong


masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi
oleh undang-undang perpajakan yang baru.

Contoh:

(1)Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif;
(2)Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%;
(3)Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (orang pribadi).

2.5. Sistem Pemungutan Pajak

1) Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah


(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya
yaitu:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus;

b) Wajib pajak bersifat pasif;

c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus

2) Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-ciri self assessment system
yaitu:

a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri;

b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak
terutang;

c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3) With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan
besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

2.6. Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan menurut Undang-undang No. 36 Tahun 2008 adalah pajak


yang dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi maupun badan usaha, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan.

a. Wajib Pajak

Menurut Undang-Undang No. 16 tahun 2000, yang dimaksud Wajib Pajak adalah
orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau
pemotongan pajak tertentu.

b. Subjek Pajak

 Menurut Undang-Undang PPh No 36 Tahun 2008 pasal 2, yang menjadi subjek pajak
adalah:
a) (1) Orang pribadi;
(2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak; yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi
tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
b) Badan; dan
c) Bentuk usaha tetap. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
 Sementara itu subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri.
 Subjek pajak dalam negeri adalah:
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
(1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
(3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
(4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
 Subjek pajak luar negeri adalah:
a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
 Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang
dapat berupa:
a) tempat kedudukan manajemen;
b) cabang perusahaan;
c) kantor perwakilan;
d) gedung kantor;
e) pabrik;
f) bengkel;
g) gudang;
h) ruang untuk promosi dan penjualan;
i) pertambangan dan penggalian sumber alam;
j) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan;
n) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o) agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
 Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

c. Objek Pajak

Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 pasal 4, yang


menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:

a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini;
b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c) laba usaha;
d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
i. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
ii. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
iii. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
iv. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
v. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h) royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l) keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n) premi asuransi;
o) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q) penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s) surplus Bank Indonesia.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak
tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya


penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan
ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama
memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.

Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka


semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila
dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan
dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak,
maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.

2.7. Perhitungan Pajak Penghasilan

Besarnya Pajak Penghasilan terutang adalah perkalian antara Penghasilan Kena


Pajak (PKP) dengan tarif pajak. Menurut Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008 pasal
17, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:

a) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, adalah sebagai berikut:


Tabel 1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) 5%
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta 15%
rupiah)
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus 25%
juta rupiah)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%
b) Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
delapan persen). Tarif untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap berubah menjadi
25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
Selain itu, masih ada fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak, yaitu seperti
yang terdapat dalam pasal 31E UU No. 36 Tahun 2008, yang menyebutkan:

(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Dengan demikian, Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) akan mendapatkan pengurangan tarif 50%
dari tarif normal 28%, atas PKP sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).

2.8. Tax Planning (Perencanaan Pajak)

Secara umum tax planning didefinisikan sebagai proses mengorganisasi usaha


wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik
pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi yang minimal,
sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Yenni Mangonting, 1999).
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini
dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat
diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya
penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban
pajak (Erly Suandy, 2008).
Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban
perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal
mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya
adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak
(tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian
terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah agar dapat dipilih jenis tindakan
penghematan pajak yang akan dilakukan.
Pada umumnya perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses
merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar hutang pajak berada dalam jumlah
yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian,
perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban
perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat secara optimal
menghindari pemborosan sumber daya.
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu
transaksi atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut
mempunyai dampak pajak, apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk
dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak
tersebut dapat ditunda.
Pada dasarnya, perencanaan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut: (1)
tidak melanggar ketentuan perpajakan, (2) secara bisnis dapat diterima, dan (3) bukti-
bukti pendukungnya memadai.
Strategi umum dalam perencanaan pajak yaitu:
a. Tax saving. Merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan yang memiliki
penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 100 juta dapat melakukan perubahan pemberian
natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.
b. Tax avoidance. Merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan
pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak.
c. Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan. Dengan menguasai peraturan pajak
yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa:
(1)Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan;
(2)Sanksi pidana: pidana atau kurungan.
d. Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat
dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan
menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan,
khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak
pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan. Wajib Pajak sering kurang
memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang
merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas pembelian solar dan/atau
impor dan Fiskal Luar Negeri atas perjalanan dinas pegawai. Dalam kredit pajak PPN
(Pajak Masukan), Pengusaha Kena Pajak dapat menggunakan dokumen lain yang
fungsinya sama dengan faktur pajak standar, seperti SPPB atau Surat Perintah
Pengiriman Barang (delivery order) yang dikeluarkan oleh Bulog untuk penyaluran
tepung terigu, FNBP (Faktur Nota Bon Penyerahan) yang dikeluarkan oleh Pertamina
untuk penyerahan BBM dan/atau bukan BBM, dan tanda pembayaran atau kuitansi
telepon.
Sementara itu, tahapan-tahapan dalam melakukan perencanaan pajak yaitu:
a. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base),
b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak (designing one or more
possible tax plans),
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan),
d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plans),
e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan).

2.9. Pengertian Usaha Kecil Menengah

Di Indonesia, UKM (Usaha Kecil Menengah) merupakan tulang punggung


perekonomian di Indonesia. Jumlah UKM sampai tahun 2011 mencapai sekitar 52 juta.
ukm di Indonesia amat penting bagi perekonomian sebab menyumbang 60% dari PDB
serta menampung 97% tenaga kerja. Namun akses ke lembaga keuangan sangat terbatas
baru mencapai 25% atau 13 juta unit ukm yang bisa memperoleh akses ke lembaga
keuangan. Pemerintah Indonesia membina ukm melalui Kementrian Koperasi dan ukm,
di masing masing Provinsi dan Kabupaten / Kota.

Usaha kecil menengah merupakan sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha
kecil yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan
Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah: ―Kegiatan ekonomi
rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan
kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang
tidak sehat.‖
Usaha Kecil Menengah adalah sebuah bangunan usaha yang berskala kecil.
Umumnya, ia dimiliki oleh perseorangan maupun kelompok. Bidang yang digarap oleh
Usaha Kecil Menengah antara lain: toko kelontong, salon kecantikan, restoran,
kerajinan, percetakan dan lain-lain. Biasanya usaha tersebut digagas oleh satu atau dua
orang pendiri.

2.10. Kelebihan UKM (Usaha Kecil Menengah)

Dengan ukurannya yang kecil dan tentunya fleksibilitas yang tinggi, usaha kecil
menengah memiliki berbagai kelebihan, terutama dalam segi pembentukan dan
operasional. UKM memiliki kontribusi besar bagi bergulirnya roda ekonomi suatu
negeri, bukan hanya karena ia adalah benih yang memampukan tumbuhnya bisnis
besar, melainkan juga karena ia menyediakan layanan tertentu bagi masyarakat yang
bagi bisnis besar dinilai kurang efisien secara biaya. Berikut adalah beberapa kelebihan
UKM (Usaha Kecil Menengah) :

1. Fleksibilitas Operasional
Usaha kecil menengah biasanya dikelola oleh tim kecil yang masing-masing
anggotanya memiliki wewenang untuk menentukan keputusan. Hal ini membuat
UKM lebih fleksibel dalam operasional kesehariannya. Kecepatan reaksi bisnis ini
terhadap segala perubahan (misalnya: pergeseran selera konsumen, trend produk,
dan sebagainya) cukup tinggi, sehingga bisnis skala kecil ini lebih kompetitif.

2. Kecepatan Inovasi
Dengan tidak adanya hirarki pengorganisasian dan kontrol dalam UKM, produk-
produk dan ide-ide baru dapat dirancang, digarap, dan diluncurkan dengan segera.
Meski ide cemerlang itu berasal dari pemikiran karyawan bukan pemilik kedekatan
diantara mereka membuat gagasan tersebut cenderung lebih mudah didengar,
diterima, dan dieksekusi.

3. Struktur Biaya Rendah


Kebanyakan usaha kecil menengah tidak punya ruang kerja khusus di kompleks-
kompleks perkantoran. Sebagian dijalankan di rumah dengan anggota keluarga
sendiri sebagai pekerjanya. Hal ini mengurangi biaya ekstra (overhead) dalam
operasinya. Lebih jauh lagi, usaha menengah kecil juga menerima sokongan dari
pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan bank dalam bentuk kemudahan pajak,
donasi, maupun hibah. Faktor ini berpengaruh besar bagi pembiayaan dalam
pembentukan dan operasional mereka.

4. Kemampuan Fokus di Sektor yang Spesifik


UKM tidak wajib untuk memperoleh kuantitas penjualan dalam jumlah besar untuk
mencapai titik balik (break even point – BEP) modal mereka. Faktor ini
memampukan usaha kecil menengah untuk fokus di sektor produk atau pasar yang
spesifik. Contohnya: bisnis kerajinan rumahan bisa fokus menggarap satu jenis dan
model kerajinan tertentu dan cukup melayani permintaan konsumen tertentu untuk
bisa mencapai laba. Berbeda dengan industri kerajinan skala besar yang diharuskan
membayar biaya sewa gedung dan gaji sejumlah besar karyawan sehingga harus
selalu mampu menjual sekian kontainer kerajinan untuk menutup biaya operasional
bulanannya saja.

2.11. Kelemahan UKM (Usaha Kecil Menengah)


Ukuran usaha kecil menengah selain memiliki kelebihan juga mengandung
kekurangan yang membuat pengelolanya mengalami kesulitan dalam menjalankan
tugasnya. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam mengelola usaha kecil
menengah antara lain:
a. Sempitnya Waktu untuk Melengkapi Kebutuhan
Sebab sedikitnya jumlah pengambil keputusan dalam usaha kecil menengah,
mereka kerap terpaksa harus pontang-panting berusaha memenuhi kebutuhan pokok
bisnisnya, yakni: produksi, sales, dan marketing. Hal ini bisa mengakibatkan tekanan
jadwal yang besar, membuat mereka tidak bisa fokus menyelesaikan permasalahan
satu persatu.
Tekanan semacam ini bisa muncul tiba-tiba ketika bisnis mereka memperoleh
order dalam jumlah yang besar, atau beberapa order yang masuk dalam waktu hampir
bersamaan. Lebih dahsyat lagi jika suatu ketika ada lembaga bisnis besar yang merasa
terancam dan mulai melancarkan serangan yang tidak fair demi menyingkirkan
pesaing potensialnya.
b. Kontrol Ketat atas Anggaran dan Pembiayaan
Usaha skala kecil umumnya memiliki anggaran yang kecil. Akibatnya, ia
kerap kali dipaksakan membagi-bagi dana untuk membiayai berbagai kebutuhan
seefisien mungkin. Ketidakmampuan untuk mengumpulkan modal yang lebih besar
juga memaksa usaha kecil menengah menjalankan kebijakan penghematan yang ketat,
terutama untuk mencegah kekurangan pembiayaan operasional sekecil apapun.
Kekurangan pembiayaan operasional yang tidak dicegah bisa mengakibatkan
kebangkrutan, sebab kapasitas UKM untuk membayar hutang biasanya hampir tidak
ada.

c. Kurangnya Tenaga Ahli


Usaha kecil menengah biasanya tidak mampu membayar jasa tenaga ahli
untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu. Hal ini merupakan kelemahan usaha kecil
menengah yang sangat serius. Apalagi jika dibandingkan dengan lembaga bisnis besar
yang mampu mempekerjakan banyak tenaga ahli. Kualitas produk barang atau jasa
yang bisa dihasilkan tanpa tenaga ahli sangat mungkin berada di bawah standar
tertentu. Akibatnya, kemampuan persaingan bisnis skala kecil ini di pasar yang luas
bisa sangat kecil.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengertian PPh Pasal 21


PPh pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa.

3.2. Subjek Pajak PPh Pasal 21 (Wajib Pajak PPh Pasal 21)
Wajib pajak yang dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan :
1. Pegawai, karyawan atau karyawati tetap
Adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja dan atas jasanya itu ia
memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala.
2. Pegawai, karyawan atau karyawati lepas
Adalah orang pribadi yang berkeja untuk pemberi kerja dan hanya menerima upah
jika ia bekerja.
3. Penerima honorarium
Adalah orang pribadi atau sekelompok orang pribadi yang memberikan jasanya, dan
atas jasanya ia memperoleh imbalan tertentu sesuai dengan jasa yang diberikan.
4. Penerima upah
Adalah orang pribadi yang atas jasanya ia memperoleh upah, seperti upah harian,
upah borongan, upah satuan dll

Yang tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 yaitu :


1. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan
orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang – Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
3.3. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Pemotong PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh
UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 17 tahun 2000 dan terakhir UU No 36 tahun 2008 untuk memotong PPh Pasal 21.
Termasuk pemotong PPh Pasal 21 dalam peraturan Menteri Keuangan No.
252/KMK.03/2008 adalah :
1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat
maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau
bukan pegawai.
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas
yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan
kegiatan.
3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja dan badan – badan
lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
4. Perusahaan dan badan yang membayar honorarium atau pembayaraan lain atas jasa
yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan atau kelompok tenaga ahli sebagai
wajib pajak dlam negeri yang melakukan pekerjaan bebas.

3.4. Hak dan kewajiban Wajib Pajak PPh pasal 21


1. Hak-hak WP PPh 21
a. Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong
pajak. Jumlah PPh pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari pajak
penghasilan untuk tahun yang bersangkutan.
b. Wajib pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak,
jika PPh pasal 21 yang dipotong oelh pemotong pajak tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal pemotongan.
c. Wajib pajak berhak mengajukan banding kepada badan peradilan pajak dalam
jangka waktu 3 bulan sejak diterbitkannya surat keputusan Direktur Jendral Pajak
yang berhubungan dengan keberatannya.
2. Kewajiban Wajib Pajak PPH pasal 21
a. Wajib Mendaftarkan Diri ke KPP
b. Pegawai, Penerima Pensiun Berkala, dan Bukan Pegawai tertentu Wajib Membuat
Surat Pernyataan Yang Berisi Jumlah Tanggungan Keluarga Pada Awal Tahun
Kalender Atau Pada Saat Menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri
c. Wajib Menyerahkan Surat Pernyataan Tanggungan Keluarga kpd Pemotong Pajak
Pada Saat Mulai Bekerja Atau Mulai Pensiun

3.5. Hak Dan Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21


1. Hak-hak pemotong pajak PPh pasal 21
a. Pemotong pajak berhak utnuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka
waktu penyampaina SPT tahunan PPh pasal 21
b. Pemotongan pajak berkhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT
tahuna terhadap pajak yang terhutang untuk bulan pada waktu dilakukan
perhitungan kembali.
c. Pemotong pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT dengan menyampaikan
pernyataan tertulis kepada Kepala Inspeksi Pajak setempat atau tempat lai yang
ditentukan oleh Direktur Jendral Pajak sepanjang belum dimulai tindakan
pemeriksaan.
d. Pemotong pjaka berhak mengajukan surat keberatan kepada Kepala Inspeksi pajak
atau suatu ketetapan pajak
e. Pemotong pajak berhak mengajukan banding kepada badan peradilan pajak
terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Kepala Inspeksi Pajak mengenai
keberatan.

2. Kewajiban pemotong pajak PPh pasal 21


a. Wajib Mendaftarkan Diri ke KPP
b. Wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan
Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
c. PPh Pasal 21/26 yang dipotong wajib disetor ke Kantor Pos atau Bank paling lama
10 hari setelah Masa Pajak berakhir.
d. Pemotong Pajak wajib lapor sekalipun nihil, paling lama 20 hari setelah Masa
Pajak berakhir.
e. Wajib Membuat Catatan atau Kertas Kerja Perhitungan PPh Ps. 21/26 Untuk
Setiap Masa Pajak
f. Wajib Menyimpan Catatan atau Kertas Kerja Sesuai Ketentuan
g. Wajib Membuat Bukti Potong dan Memberikannya Kepada Penerima Penghasilan

3.6. Objek Pajak PPh Pasal 21


Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima paensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua dan pembayaran lain
jenis;
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;

3.7. Penghasilan yang Tidak Dikenakan PPh Pasal 21


1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna
dan bea siswa
2. Natura/kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah
3. Iuran pensiun kepada dana pensiun yang telah disahkan Menkeu, iuran THT/JHT
yang dibayar pemberi kerja
4. Zakat/sumbangan wajib keagamaan dari badan/lembaga yang dibentuk/disahkan
pemerintah
5. Bea siswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l UU PPh
3.8. Perpajakan UKM
Ada beberapa alasan mengapa pembayar pajak UMKM belum maksimal
berkontribusi dalam penerimaan pajak. Pertama, usaha dengan karakteristik tersebut
mengalami kendala utama dalam bidang administrasi. Sebab, secara umum
perkembangan UMKM dimulai dari usaha perorangan, yang jika berkembang, berbentuk
badan dengan skala kecil menengah. Beban administrasi yang kompleks akan
meningkatkan biaya kepatuhan pajak yang dapat menurunkan daya saing UMKM. Hal
ini berdampak terhadap tingkat kepatuhan pajak yang rendah.
Kedua, tarif pajak yang tidak kompetitif bagi pembayar pajak UMKM untuk
berkompetisi dengan non-UMKM. Sebagai contoh, bagi para pelaku UMKM pajak
merupakan komponen biaya dalam penghitungan sederhana. Jika tingkat keuntungan
sebelum pajak 10 persen dengan Pajak Penghasilan (PPh) 1 persen dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) 3 persen , akan dihasilkan keuntungan 6 persen.
Dengan penghitungan sederhana ini, para pengusaha UMKM akan mudah
melaksanakan pemenuhan kewajiban pajaknya, di samping—tentu saja—memprediksi
keuntungan yang dapat direalisasikan. Sebaliknya jika tarif pajak terlalu tinggi, misalnya
total PPN dan PPh 11 persen, dengan tingkat keuntungan yang sama, memungkinkan
timbulnya ketidakpatuhan karena cost dan revenue sudah tidak matching.
Ketiga, etika dan pengaruh lingkungan terhadap tingkat kepatuhan pembayar
pajak UMKM. Hal ini dapat disebabkan ketidakjujuran wajib pajak (WP) UMKM atau
pengaruh keluarga dan lingkungan. Keempat, kemungkinan untuk terdeteksi aparat
pajak. Dengan adanya kemungkinan diperiksa atau terdeteksi atas kewajiban pajak yang
ada, berdampak terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak.
Perpajakan atas UKM terdiri atas dua jenis pajak utama yang memiliki peran
signifikan, yaitu PPh dan PPN, dengan PPh sebagai pajak dominan. Berdasarkan PP No
46/2013, wajib pajak dengan peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dikenakan PPh 1
persen dari total peredaran usaha dan bersifat final. Pelaku UMKM tak harus
menghitung secara tepat berapa keuntungan yang dihasilkan karena pajak tersebut
bersifat final sehingga tidak dipengaruhi oleh jumlah keuntungan yang dihasilkan.
Ini berarti pembayar pajak di sektor ini dipermudah, baik dari segi administrasi
maupun tarif yang kompetitif. Namun, PPN masih jadi kendala mengingat kewajiban
sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha di atas Rp 600 juta.
Apabila merujuk peraturan yang berlaku, yakni UMKM dengan peredaran di bawah Rp
4,8 miliar wajib memungut PPN 10 persen, bagi UMKM hal ini jadi beban. Di sini tarif
pajak dan kesederhanaan administrasi jadi isu utama yang dapat berimplikasi terhadap
ketidakpatuhan wajib pajak UMKM, belum lagi ketidakjujuran pembayar pajak.
Di penghujung tahun 2013, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197 yang
mulai berlaku pada awal 2014 meningkatkan batasan wajib PKP jadi Rp 4.8 miliar per
tahun. Hal ini bagaikan memberi angin segar dengan semakin memberi kemudahan bagi
pelaku usaha di sektor ini. Ini berarti bagi UMKM hanya ada satu pajak utama yang jadi
beban dalam komponen penghitungan keuntungan, yaitu PPh 1 persen.

3.9. Implikasi terhadap UKM


Terkait kebijakan dalam PP No 46/2013 dan PMK No 197/2013, tidak saja
membawa angin segar bagi pelaku UMKM dengan tarif yang kompetitif, tetapi juga
kesederhanaan dalam pemenuhan kewajiban pelaporan pajak tahunan. Karena itu,
kombinasi tentang PPh 1 persen dan peningkatan batasan untuk jadi PKP adalah solusi
yang selaras menunjang tingkat kepatuhan wajib pajak UMKM.
Sebagai contoh, wajib pajak UMKM yang memiliki usaha di atas 600 juta dan di
bawah Rp 4,8 miliar tidak punya beban untuk dikenai PPN 10 persen karena dapat
memilih untuk tak menjadi PKP. Mengingat secara umum pelaku UMKM kesulitan
dalam administrasi, PPN yang seharusnya dibebankan kepada pembeli akan menjadi
beban penjual.
Dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa pada jumlah keuntungan yang
sama dengan pajak yang harus dibayar akan sulit didapatkan kejujuran dari pembayar
pajak. Hal ini dapat berpotensi meningkatkan ketakpatuhan pembayar pajak dari sektor
UMKM karena PPN tidak berfungsi sebagai credit method tetapi menjadi bagian dari
harga pokok penjualan. Dengan demikian, kedua peraturan tersebut tidak saja dapat
meningkatkan tax compliance pembayar pajak UMKM, tetapi juga meningkatkan daya
saing UMKM yang berarti menunjang perekonomian nasional.
Akhirnya, pengawasan atas kewajiban pajak UMKM serta kebijakan yang pro
UMKM akan menekan tax compliance cost dan mendorong kepatuhan pembayar pajak.
Peningkatan kepatuhan pembayaran pajak berarti peningkatan penerimaan pajak dan
penurunan tingkat ketidakjujuran pembayar pajak.
Dengan demikian, diharapkan akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak serta
daya saing UMKM yang memberikan kontribusi besar bagi PDB nasional dan
penciptaan lapangan kerja.
3.10. Model Perpajakan UMKM
Secara umum, model perpajakan UMKM dapat dibagi dalam dua kelompok
besar. Kelompok pertama adalah sistem standard regime dan kedua sistem presumptive
regime. Dalam standard regime, UMKM tidak dibedakan perlakuan perpajakannya.
Namun demikian terdapat beberapa negara yang menerapkan standard regime dengan
penyederhanaan formulir perpajakan, tata cara pembayaran, atau dengan pengurangan
tarif. Negara-negara yang menerapkan standard regime untuk UMKM pada umumnya
adalah negara-negara maju, yang komunitas UMKM nya telah memiliki efisiensi
administrasi tinggi dan mempunyai kemampuan book-keeping yang memadai.

Gambar III.1. Model Perpajakan UMKM

3.11. Karakteristik Bisnis UMKM


Karekteristik UMKM di Indonesia tidak jauh berbeda dengan karekteristik
UMKM di negara transisi lainnya. Secara umum, dalam menjalankan usahanya UMKM
mempunyai karakteristik bisnis sebagai berikut:
1. Umumnya sektor usaha kecil dan menengah memulai usahanya dengan modal sedikit
dan keterampilan yang kurang dari pendiri atau pemiliknya.
2. Terbatasnya sumber-sumber dana yang dapat dimanfaatkan untuk membantu
kelancaran usahanya, seperti dari kredit pemasok (supplier) dan pinjaman bank
ataupun dari bank yang ingin melayani pengusaha kecil dan menengah.
3. Kemampuan memperoleh pinjaman kredit perbankan relatif rendah. Penyebabnya
antara lain karena kekurangmampuan untuk menyediakan jaminan, pembukuan, dan
lain sebagainya.
4. Banyak dari pelaku ekonomi UMKM belum mengerti pencatatan/akuntansi. Bagi
mereka yang telah menggunakan pencatatan keuangan, masih mengalami masalah
dalam penyusunan laporan keuangan.
5. Umumnya sektor ekonomi UMKM kurang mampu membina hubungan dengan
perbankan3.

3.12. Kontribusi UMKM pada PDB


Kriteria atau difinisi UMKM di Indonesia beragam antar lembaga atau instansi.
Diiantaranya adalah definisi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri
Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008. Kriteria UMKM berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008,
UMKM dibataskan pada besarnya kekayaan bersih dan omzet per tahun. Sementara itu,
kriteria UMKM berdasar BPS didasarkan pada jumlah tenaga kerja pada usaha tersebut,
yaitu usaha mikro dengan tenaga kerja 1 s.d. 4 orang, usaha kecil dengan jumlah tenaga
kerja 5 s.d. 19 orang, dan usaha menengah dengan tenaga kerja 20 s.d. 99 orang.
Berdasarkan data BPS, UMKM memberikan kontribusi pada Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional yang cukup besar. Dalam periode tahun 2008 sampai dengan
tahun 2011, kontribusi UMKM pada PDB nasional selalu di atas 50% dari total PDB
nasional. Gambar III.1. menunjukkan bahwa secara konsisten dalam periode observasi
tersebut, UMKM memberikan kontribusi yang besar dalam PDB nasional. Pada tahun
2011, misalnya, nilai PDB nasional atas harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 2.277
triliun. Dari nilai PDB tersebut, peran UMKM tercatat sebesar Rp. 1.269.3 triliun atau
55,7% dari total PDB nasional, sementara usaha besar berkontribusi sebesar Rp.
1.007,7 triliun atau 44,3%.
Gambar III.2 : Kontribusi UMKM terhadap PDB Nasional

Dengan kontribusi UMKM yang besar pada perekenonomian nasional tersebut,


seharusnya juga berpotensi untuk meningkatkan pendapatan negara melalui pajak. Namun
demikian data penerimaan pajak tahun 2005 sampai tahun 2012 menunjukkan, sebagian
besar penerimaan pajak masih didominasi bukan oleh UMKM, melainkan oleh usaha
besar. Pada tahun 2009 misalnya, pembayaran pajak UMKM hanya sebesar sebesar
Rp2,81 triliun, atau sebesar 0.5% dari total penerimaan pajak yang sebesar Rp565,77
triliun. Begitu juga pada APBN 2012, Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas ditargetkan
sebesar Rp445,7 triliun dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditargetkan sebesar Rp336,1
triliun, akan tetapi dari sebagian besar target tersebut direalisasi bukan dari UMKM
melainkan dari usaha besar.

3.13. Kebijakan PPh UMKM


Penerapan standard regime-simplified/reduced rate di Indonesia terlihat belum
mampu mendorong voluntary compliance UMKM. Hal ini dapat dilihat dari indikasi
adanya miss-match antara kontribusi UMKM pada PDB dengan kontribusi UMKM
pada penerimaan pajak. Dengan memperhatikan karakteristik dari UMKM sebagaimana
pada bagian III, maka perlu disusun stategi untuk meningkatkan compliance dari
UMKM.
Gambar III.3 Piramida Attitude to Compliance

Di puncak piramida, dengan jumlah populasi yang paling kecil, adalah mereka
yang memutuskan untuk tidak taat pada ketentuan (disengaged). Strategi yang harus
diterapkan untuk kelompok ini adalah melalui pengegakan hukum secara penuh, untuk
memberi efek jera. Kelompok kedua dari puncak piramida adalah mereka yang tidak mau
taat tetapi akan taat apabila Pemerintah memberikan perhatian kepada mereka (Resisters).
Untuk kelompok ini strategi yang dapat dilakukan adalah pencegahan melalui deteksi awal
atas kecenderungan penghindaran pajak. Untuk kelompok ke dua dari dasar piramida,
adalah kelompok yang mencoba untuk taat tetapi mengalami kesulitan untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku (Tries). Strategi yang dapat dilakukan untuk kelompok ini adalah
pemberian asistensi dan kemudahan agar dapat mentaati ketentuan. Di dasar piramida
adalah kelompok yang bersedia untuk memenuhi ketentuan yang berlaku (Supporters).
Untuk kelompok terakhir ini, upaya pengingkatan compliance dilakukan dengan
memberikan kemudahan, karena dengan kemudahan yang diberikan akan menimbulkan
ketaatan sukarela.

Gambar III.4. Kerangka Kebijakan PPh UMKM


3.14. Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21
Rumus pengitungan PPH pasal 21 atas pegawai tetap:

Tarif Pajak pasal 17 x (PKP)


PKP = Penghasilan bruto- (Biaya Jabatan + iuran pensiun + Iuran Jamsostek)-
PTKP

1. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)


Adalah penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi
jumlahnya dibawah PTKP tidak akan terkena Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29
dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh
Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk tahun pajak 2013 sebagai
berikut :

PTKP
Untuk wajib pajak Rp 24.300.000,-
Tambahan WP kawin Rp 2.025.000,-
Tambahan istri bekerja Rp 24.300.000,-
Tambahan tanggunan Rp 2.025.000,-

2. Tarif Pajak
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri adalah sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 15%
di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 25%
di atas Rp 50.000.000,- 30%
3. Penghasilan dan biaya yang dikenakan
a. Penghasilan bruto (penghasilan, honor, upah, gaji, bunga, komosi, imbalan, uang
pensiun, uang pesangon)
b. Biaya-biaya yang dikenakan:
1) biaya jabatan, khusus untuk pegawai tetap. Besarnya adalan 5% dari
pengahsialn bruto maksimal yang diperkenakan adalah Rp 6.000.000,- setahun
dan Rp. 500.000,- sebulan
2) Iuran pensiun/ THT:
a) Yang dibayar pegawai
b) Yayasan dana pensiun yang disetujui oleh Menkeu
c) Jumlah tidak dibatasi
3) Biaya pensiun. Khusus untuk penerima pensiun berkala bulanan besarnya 5%
dari uang pensiun maksimal yang diperkenannkan adalah Rp. 2.400.000,-
setahun dan Rp. 200.000,- sebulan

4. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21


Budiyanta pada tahun 2013 bekerja di PT Aman Bahagia dengan gaji sebulan Rp
8.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 200.000,00. Budiyanta
menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Juli 2013 menerima kenaikan
gaji, menjadi Rp 10.000.000,00 sebulan dan berlaku surut sejak 1 Januari 2013.
Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut, Budiyanta menerima rapel
sejumlah Rp 12.000.000,00 (kekurangan gaji untuk masa Januari s.d. Mei 2013). Pada
bulan Oktober 2013 menerima bonus tahunan sebesar Rp 20.000.000,00.
A. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai Tetap - Gaji Bulanan
Gaji sebulan Rp 8,000,000
Pengurangan :
Biaya Jabatan (5% xRp 8.000.000) Rp 400,000
Iuran Pensiun Rp 200,000 Rp 600,000
Penghasilan Neto sebulan Rp 7,400,000
Penghasilan Neto setahun (12 x Rp 7.400.000,00 ) Rp 88,800,000
PTKP setahun :
- untuk diri sendiri Rp 24,300,000
- tambahan WP kawin Rp 2,025,000 Rp 26,325,000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 62,475,000
PPh Pasal 21 terutang :
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2,500,000
15% x Rp 12.475.000,00 = Rp 1,871,000
Rp 4,371,000
PPh Pasal 21 sebulan
Rp 4.371.000,00 : 12 = Rp 364,250

B. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Pembayaran Uang Rapel


Gaji sebulan Rp 10,000,000
Pengurangan :
Biaya Jabatan (5% xRp 10.000.000) = Rp 500,000
Iuran Pensiun = Rp 200,000 Rp 700,000
Penghasilan Neto sebulan Rp 9,300,000
Penghasilan Neto setahun ( 12 x Rp 9.300.000,00 ) Rp 111,600,000
PTKP setahun :
- untuk diri sendiri Rp 24,300,000
- tambahan WP kawin Rp 2,025,000 Rp 26,325,000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 85,275,000
PPh Pasal 21 setahun :
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2,500,000
15% x Rp 35.275.000,00 = Rp 5,291,000
Rp 7,791,000
PPh Pasal 21 sebulan
Rp 7.791.000,00 : 12 Rp 649,250
PPh Pasal 21 Januari s.d Juni 2013 seharusnya adalah :
6 x Rp 649.250,00 Rp 3,895,500
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong Januari s.d Juni 2013
6 x Rp 364.250,00 (dari perhitungan contoh A) Rp 2,185,500
PPh Pasal 21 untuk uang rapel Rp 1,710,000
C. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Pembayaran Bonus
Gaji setahun (12 x Rp 10.000.000,00) Rp 120,000,000
Bonus Rp 20,000,000
Penghasilan bruto setahun Rp 140,000,000
Pengurangan :
Biaya Jabatan (5% xRp 140.000.000,00) = Rp 7.000.000,00
*Biaya Jabatan dlm setahun maksimal Rp 6.000.000,00 Rp 6,000,000
Iuran Pensiun (12 x Rp 200.000,00) Rp 2,400,000 Rp 8,400,000
Penghasilan Neto setahun Gaji + Bonus Rp 131,600,000
PTKP setahun :
- untuk diri sendiri Rp 24,300,000
- tambahan WP kawin Rp 2,025,000 Rp 26,325,000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 105,275,000
PPh Pasal 21 setahun atas Gaji + Bonus :
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2,500,000
15% x Rp 55.275.000,00 = Rp 8,291,250
10,791,250
*PPh Pasal 21 setahun dibulatkan Rp 10,791,000
PPh Pasal 21 atas Gaji (dari contoh B) Rp 7,791,000
PPh Pasal 21 atas Bonus Rp 3,000,000
3.15. Pengenaan Pph Final 1% Ukm & Surat Keterangan Bebas (SKB)
Reonald adalah Wajib Pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama
Bekasi Selatan. Yang bersangkutan adalah pemilik bengkel perawatan/perbaikan
mobil “Roda Putar” yang beralamat di Jl. A Yani, Bekasi. Beberapa pengguna jasanya
merupakan perusahaan-perusahaan besar (PT A, PT B, PT C) yang berada di wilayah
Bekasi. Peredaran bruto usaha ybs untuk Tahun 2012 adalah Rp 2,7 miliar atau tidak
lebih dari Rp 4,8 miliar yang berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 dikenakan PPh Final
1% mulai 1 Juli 2013. Bagi pengguna jasa misalnya PT A, pembayaran jasa
perawatan/perbaikan tersebut merupakan obyek pemotongan PPh Pasal 21 (5% x 50%
x jumlah bruto jasa) dan bersifat tidak final. Dengan demikian maka penghasilan yang
diterima oleh Reonald menjadi tidak utuh atau terdapat potongan PPh Pasal 21 sebesar
2,5%.
Yang menjadi masalah :

1. Penghasilan dari usaha bengkel, reonald diwajibkan membayar PPh final 1% dari
peredaran bruto tiap bulan dan harus disetorkan ke kas Negara selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya;
2. Atas penghasilan pada huruf a tersebut, dimungkinkan pihak lain (pengguna jasa)
melakukan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 (bersifat tidak final).

Berdasarkan hal tersebut, maka kredit pajak (PPh Pasal 21 bersifat tidak final) menjadi
sia-sia atau merugikan reonald wajib pajak, mengingat :

1. Kredit pajak PPh Pasal 21,22, 23 yang bersifat tidak final dapat dijadikan
pengurang atas pajak penghasilan yang terutang dari penghitungan penghasilan
yang tidak final (Pasal 28 UU PPh) atau konsep “penghasilan tidak final vs kredit
pajak tidak final”;
2. Kebalikan dengan konsep angka 1 tersebut maka “penghasilan bersifat final vs
kredit pajak final”

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diperhatikan dasar hukum dengan


penjelasan sebagai berikut :
1. PPh Final 1% UKM (PP No. 46 Tahun 2013)
A. Subyek Pajak yang dikenai aturan tersebut adalah
 Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk
usaha tetap; dan
 Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas,
peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak
Pengenaan Pajak Penghasilan 1% final tersebut didasarkan pada peredaran
bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak yang bersangkutan.
B. Pekerjaan bebas (profesi) meliputi :

a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri daripengacara,


akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

C. PPh terutang = 1% x DPP, DPP-nya adalah peredaran bruto setiap bulan


D. Atas PPh yang terutang sebagaimana huruf C tersebut, harus disetor ke kas Negara
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan ke KPP dimana
WP terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (Pasal 10 PMK No.
107/PMK.011/2013)
Penghasilan Saudara Reonald berasal dari kegiatan usaha (dagang sparepart dan jasa
service), menurut ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 bukan termasuk dalam ―Pekerjaan Bebas‖
dan peredaran bruto tahun sebelumnya (2012) tidak lebih dari 4,8 miliar, maka Mulai 1 Juli
2013, penghasilan Reonal dari usaha tersebut dikenakan PPh final 1% bersifat final

2. Pembebasan dari Pemotongan PPh Pasal 21, 22, 23 atau lainnya yang bersifat tidak final
Atas kegiatan usaha Wajib Pajak seperti Tuan Reonald tersebut, menurut Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2013 tanggal 25 September 2013 dapat diberikan
Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan.
a) SKB Pemotongan/Pemungutan PPh tersebut dapat diterbitkan untuk Wajib Pajak
yang peredaran bruto-nya tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dan dikenakan PPh
bersifat final (1%);
b) SKB diterbitkan untuk masing-masing Obyek Pemotongan/Pemungutan : SKB
PPh Pasal 21, SKB PPh Pasal 22, SKB PPh Pasal 22 Impor, dan/atau SKB PPh
Pasal 23.
c) Pengajuan permohonan SKB tersebut, dapat diajukan oleh WP ke KPP dimana
ybs menyampaikan SPT Tahunan, dan persyaratan yang harus dipenuhi :
 telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib
Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak
diajukannya Surat Keterangan Bebas;
 menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa
Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima
atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan
bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai
dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib
Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak
saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
 menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat
Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi
Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
 ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat
Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang
KUP.
c) Jangka waktu penyelesaian (Kepastian hukum) : paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Keputusannya adalah
a. Surat Keterangan Bebas atau
b. Surat Penolakan Permohonan Surat Keterangan Bebas

Dengan SKB tersebut, maka Pemotong dan atau pemungut pajak tidak melakukan
pemotongan dari / atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang
merupakan objek pemotongan dari / atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat
final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan
Tahunan.
Berdasarkan hal tersebut, maka agar penghasilan yang diterima Tuan Reonald
dibebaskan dari pengenaan pemotongan PPh Pasal 21, maka Tuan Reonald harus mengajukan
permohonan SKB PPh Pasal 21 dengan formulir dan persyaratan yang diatur dalam PER-
32/PJ/2013
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang
pribadi dalam negeri. Pemotong PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan
yang diwajibkan oleh UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 17 tahun 2000 dan terbarupada tahun 2013 untuk
memotong PPh Pasal 21.
Ada beberapa alasan mengapa pembayar pajak UMKM belum maksimal
berkontribusi dalam penerimaan pajak. Pertama, usaha dengan karakteristik tersebut
mengalami kendala utama dalam bidang administrasi. Sebab, secara umum
perkembangan UMKM dimulai dari usaha perorangan, yang jika berkembang, berbentuk
badan dengan skala kecil menengah. Kedua, tarif pajak yang tidak kompetitif bagi
pembayar pajak UMKM untuk berkompetisi dengan non-UMKM. Ketiga, etika dan
pengaruh lingkungan terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak UMKM. Hal ini dapat
disebabkan ketidakjujuran wajib pajak (WP) UMKM atau pengaruh keluarga dan
lingkungan. Keempat, kemungkinan untuk terdeteksi aparat pajak. Dengan adanya
kemungkinan diperiksa atau terdeteksi atas kewajiban pajak yang ada, berdampak
terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak.

B. Saran
Dari uraian pembahasan di atas penulis menyarankan kepada pembaca
sekalian agar manfaat dari pembahasan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat
memberikan wawasan positif. Dimana sisi positif dari uraian tersebut bisa dijadikan
sebagai bahan untuk menambah pengetahuan tentang Pajak Penghasilan Pasal 21
tersebut dan sisi kurang baiknya bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk
menjadi lebih baik lagi. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan saran dari pembaca.
LAMPIRAN
UMKM Tas, dompet dan sabuk kulit

UMKM Transportasi Udara untuk Anak-Anak


UMKM Sektor Makanan
DAFTAR PUSTAKA

Diunda, Gustian dkk. Pajak Penghasilan Orang Pribadi. 2003. Jakarta: Salemba Empat
Mardiasmo. Perpajakan. 1987. Yogyakarta: Andi Offset
http://google.com

Anda mungkin juga menyukai