Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AGAMA

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Dosen Pembimbing:

Drs. Basri, M.Si

Disusun Oleh :

Allisya Fathia Seprin

Husnul Hasanah

Resti Palupi

Siti Novizah Wulandari

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS RIAU
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah
SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah pendidikan Agama Islam.

Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupanumat manusia dapat dikaji dari berbagai
sudut pandang. Islam sebagai agama telah berkembang selama 14 abad lebih menyimpan banyak masalah
yang perlu diteliti, baik itu pemikiran keagamaan dari umat manusianya maupun realitas sosial, politik,
ekonomi, dan budaya.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dan penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan , dorongan, dan
bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang konsep ketuhanan dalam
islam, yang kami sajikan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luasdan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya kepada para mahasiswa FK UNRI. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing kami meminta
masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca.

Pekanbaru, Maret 2020

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam konsep islam, tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi yang Nyata dan
Esa, pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi
semesta alam.

Islam menitik beratkan konseptualisasi tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa. Penciptaan
dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai tindakan kemurah hatian yang paling utama
untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya.

Tuhan dalam islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga tuhan yang personal :
menutut Al-Quran, dia lebih dekat dengan manusia dari pada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi
yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Diatas itu semua, dia
memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya”.

Untuk lebih memperdalam mengenai konsep ketuhanan dalam islam, kami akan menyajikannya
lewat makalah yang kami buat.

B. Rumusan Masalah

Beberapa pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Siapakah tuhan itu ?


2. Bagaimana sejarah pemikiran manusia tentang tuhan ?
3. Bagaimana pemikiran tuhan menurut agama dan wahyu ?
4. Sejauhmana pembuktian wujud adanya tuhan ?

C. Metode Penelitian

Didalam metode penelitian kali ini kami melakukan pencarian di berbagai sumber mulai dari
media cetak maupun media elektronik, dan agar lebih mempermudah kami dalam pencarian kami
menggunakan kata kunci dari rumusan masalah yang kami temukan.

D. Tujuan Penulisan

Adapaun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
2. Mengetetahui konsep Ketuhanan dalam Islam
3. Mengetahui filsafat Ketuhanan dalam Islam
4. Mengkaji siapa Tuhan itu, bukti-bukti Ketuhanan dalam Islam, serta sejarah pemikiran
manusia tentang Tuhan
5. Mengetahui definisi iman dan taqwa, proses terbentukna man dan taqwa, tanda-tanda orang
yang beriman dan bertaqwa, dan korelasi antara keimanan dan ketakwaan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Siapakah Tuhan itu ?


Perkataan ilah yang sering dterjemahkan ‘Tuhan’ dalam Al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia. Misalnya dalam dua ayat
berikut.

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan…?”
(Q.S;45:23)
“Dan Fir’aun berkata “Wahai pembesar kaumku aku tidak mengetahui Tuhan selain aku.”
(Q.S;28:38)

Arti kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa perkataan Ilah bisa mengandung arti
berbagai benda, baik abstrak (nafsu,keinginan) atau benda nyata (fir’aun atau penguasa yang
dipuja). Perkataan Ilah dalam Al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:ilaahun),
ganda (mutsanna :ilaahaini) dan banyak (jamak :aalihatun).
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah ialah yang dipuja dengan penuh kecintaan
hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri dihadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakkal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat
mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.
Definisi tentang Tuhan tersebut memberi pemahaman bahwa pada Tuhan itu dapat
berupa apa saja yang berkuasa memberikan, mengabulkan atau yang berkuasa mendatangkan
malapetaka dan ujian dalam kehidupan manusia atau segala apapun yang terjadi dalam kehidupan
dunia atau sesudah kehidupan dunia ini.

B. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan
atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat
penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan
oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan
Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut:

a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan
ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama
yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak
dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran


roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah
mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif
dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena


terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian
disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada
Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada
yang membidangi angin dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena
itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai
kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih
definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan,
namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk
satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme


hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk
monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB.
Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung
dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi
reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang
Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan
masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf,
1993: 26-37).

2. Pemikiran Umat Islam

 Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang
teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlah
yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu
faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah
ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat
Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh
Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah).
Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam
setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq
secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar
Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali

Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan
segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang
fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang
mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar
gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak
diberikan kesempatan melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi
terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman
menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi
ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin
bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.  Dendam yang dikumandangkan
dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan
oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak
terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan
perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan
strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak
bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan
oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah
menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang
menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut
dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian
umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2)
Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan
menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya.
Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun
pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah,
sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak,
berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan
para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ ِ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ فَأُولَئ‬


َ‫ك هُ ُم ْالكَافِرُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran),
maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain membuat
pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul
pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang
diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang  yang berbuat dosa besar.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain
mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak
Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu
mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang
mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman
itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang
yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti
mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang dosa
besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban,
bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan
Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil.
Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina
dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa
orang  yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry.
Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil
‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan
pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam
Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang


diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu
Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah terkenal
dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban.
Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan
wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-
pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok
ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai


sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak.
Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan
orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang
jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu
kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam

Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur’an (Al-‘Alaq [96]:1-5), Tuhan


menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal
termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur’an adalah kalam Allah,
sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan “penuturan Allah tentang diri-
Nya.”[10]
Selain itu menurut Al-Qur’an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak
manusia pertama kali diciptakan (Al-A’raf [7]:172). Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum
dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia
mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan
bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam
kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an menegaskan ini dalam surah Az-
Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32.

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau
IlmuUshuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa periode setelah wafatnya
NabiMuhammad SAW. Yakni pada saat terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali
bin AbiThalib dengan kelompok Mu‘awiyyah.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal,tradisional, dan ada pula yang bersifat di
antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebutadalah karena adanya perbedaan metodologi
dalam memahami Al-Quran dan Hadis denganpendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang
bersifat tradisional. Sedang sebagian umatIslam yang lain memahami dengan pendekatan antara
kontektual dengan tektual sehinggalahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional.
Aliran-aliran tersebut yaitu :
 
a. Mu‘tazilah
 
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akalpikiran dalam
memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisisketuhanan, mereka
memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untukmempertahankan kedudukan
keimanan. Mu‘tazilah  lahir sebagai pecahan dari kelompokQadariah, sedang Qadariah adalah
pecahan dari Khawarij.
 
b. Qodariah
 
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia
sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yangmenyebabkan
manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
 
c. Jabariah
 
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak danberbuat. Semua
tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran inimerupakan pecahan dari
Murji‘ah
 
d. Asy‘ariyah dan Maturidiyah
 
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran Qadariah danJabariah.
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umatIslam periode
masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangandengan ajaran dasar
Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana sajadiantara aliran-aliran tersebut
sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan iakeluar dari Islam. Menghadapi situasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini,umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu
berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpadipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.

C. Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu

Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman
serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib,
sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai
hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.

Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam QS 21 (Al-
Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid.
Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah.
Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.

Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan
konsep tentang  ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya,
Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul
pertama dan Muhammad sebagai terakhir.

Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena
perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi
dan kebohongan manusia yang teramat besar.
QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan
Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah neraka.

QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”

Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim
jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan
dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.

Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat
Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan
pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan
Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah
adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat
4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan
yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah
tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti
konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran
adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat
dibagi menjadi bagian-bagian.

Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain.
Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus
menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.

Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa
manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan
kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.

D. Pembuktian Wujud Adanya Tuhan

Allah sebagai wujud yang tidak terbatas, maka hakikat dirinya tidak


akan pernah dicapai, namun pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga kita mengenal-
Nya dengan pengenalan yang secara umum dapat diperoleh melalui jejak dan tanda-tanda yang
tak terhingga. Imam Ali as dalam hal ini menjelaskan bahwa : “Allah tidak memberitahu akal
bagaimana cara menjangkau sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal
untuk mengetahui-Nya.”
Selain itu, jika kita menyelami diri kita sendiri, maka secara fitrah manusia
memiliki rasa berketuhanan. fitrah ini tidak dapat dihilangkan, hanya saja dapat ditekan dan
disembunyikan! dengan berbagai tekanan kebudayaan, ilmu dan lainnya,sehingga terkadang
muncul pada saat-saat tertentu seperti pada saat tertimpa musibah atau dalam kesulitan yang
benar-benar tidak mampu ia mengatasinya. Pada kondisi ini, kita secara fitriah mengharapkan
adanya sosok lain yang memiliki kemampuan lebih dari kita untuk datang dan memberikan
pertolongan kepada kita.

a.Dalil Fitrah

yaitu perasaan alami yang tajam pada manusia bahwa ada dzat yang maujud,
yang tidak terbatas dan tidak berkesudahan, yang mengawasi segala sesuatu, mengurus dan
mengatur segala yang ada di alam semesta, yang diharapkan kasihsayang-Nya dan ditakuti
kemurkaan-Nya. Hal ini digambarkan oleh Allah SWT dalam QS. 10-22.

b. Dalil Akal

Yaitu dengan tafakkur dan perenungan terhadap alam semesta yang
merupakan manifestasi dari eksistensi Allah SWT. orang yang memikirkan dan merenungkan
alam semesta akan menemukan empat unsur alam semesta yaitu ciptaannya, kesempurnaan,
perbandingan ukuran yang tepat dan akurat, serta hidayah (tuntunan dan bimbingan).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini adalah:

1. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat: “laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai
dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan” kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan
melainkan Allah. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari segala
macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
2. Kemudian yang dimaksud konsep ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin.
3. Allah sebagai wujud yang tidak terbatas! maka hakikat dirinya tidak akan pernah dicapai, namun
pemahaman tentang-Nya dapat dijangkausehingga kita mengenal-Nya dengan pengenalan yang
secara umumdapat diperoleh, malalui jejak dan tanda-tanda yang tak terhingga.

B. Saran

Seagai seorang pemula, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Karena saran dan kritik itu akan
bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau memperdalam kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/14521368/MAKALAH_KONSEP_KETUHANAN_DALAM_ISLAM

https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03

https://hikmah.blog.uns.ac.id/2010/05/08/konsep-ketuhanan-dalam-islam/

http://rumahilmupart3.blogspot.com/2017/01/tuhan-menurut-agama-agama-wahyu.html

Anda mungkin juga menyukai