Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS (DM) TIPE II

DI RUANG PERAWATAN INTERNA RSUD KOTA MAKASSAR

OLEH

CHIKITA ADE MULYA

14420191027

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019
BAB I

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent
Millitus (NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh tidak
dapat berfungsi dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan
seperti kecacatan dalam produksi insulin atau berkurangnya sensitifitas
(respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai dengan
meningkatnya kadar insulin di dalam darah. (Nurul Wahdah, 2011)
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi,
kadar insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal
membawa glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport
glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme energi. (FKUI, 2011)
B. Etiologi
1. Penurunan fungsi cell b pankreas, yang disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
a. Glukotoksisitas, kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan
menyebkan peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan
akibat peningkatan apoptosis sel beta
b. Lipotoksisitas, peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari
jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non
oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga
terjadi apoptosis
c. Penumpukan amiloid, pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin
dihambat sehingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel
beta akan berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan
sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi
insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan
ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan
mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam
pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta
berkurang sampai 50-60%.
d. Efek inkretin, inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan
cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin
dan mengurangi apoptosis sel beta.
e. Umur, diabetes tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan
semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus
meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan
toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung
setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis,
dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat
jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi
fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan
adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel
jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon
lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
f. Genetik
2. Retensi insulin, penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak
begitu jelas, tapi faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a. Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel ), menyebabkan
respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah berkurang, selain itu
reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang
jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c. Kurang gerak badan
d. Faktor keturunan ( herediter )
e. Stress, reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi
sistem saraf simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular
dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan
diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing factor yang
menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)
3. Faktor Resiko
a. Usia ≥ 45 tahun
b. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2
c. Kebiasaan tidak aktif
d. Turunan pertama dari orang tua dengan DM
e. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat
DM gestasional
f. Hipertensi (≥140/90 mmHg)
g. Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
h. Menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
i. Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
j. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
4. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
5. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
6. Kurang gerak badan
7. Faktor genetic
8. Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
9. Stress (FKUI, 2011)
C. Manifestasi Klinis
1. Penurunan penglihatan
2. Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan
keluar melalui urine.
3. Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat
besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi
intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang hipertonik
(konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi pengeluaran hormon
anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus.
4. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai
energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan
kelelahan
5. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis,
katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi
penurunan berat badan tanpa terapi
6. Konfusi atau derajat delirium
7. Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
8. Retinopati atau pembentukan katarak
9. Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan
sirkulasiperifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang
tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat
dehidrasi
10. Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri
perifer atau kebas
11. Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2007)

Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:

1. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi


mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
2. Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada
kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3. Paretesia atau abnormalitas sensasi
4. Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa disekret
vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat
menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
5. Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh
6. Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai
penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari kadar
glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya.
Penyebab hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan dengan
penyuntikan insulin di sore harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian
menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi
harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk
memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek
somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
7. Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari
( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan
sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada
pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-hormon yang memperlihatkan
variasi sirkadian pada pagi hari adalah kortisol dan hormon pertumbuhan,
dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes
Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian normal
maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol.
(Elizabeth J Corwin, 2009)
D. Patofisiologi
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi
insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan
fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula
timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin
untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap
normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi
retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin
menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi
sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak
mampu lagi mengsekresi insulin.(FKUI,2011)
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi
jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total
insulin yang di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring
dengan bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan
adiposa memperlihatkan resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam
darah. Akibatnya pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel
tidak adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati memulai proses
glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa darah
serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen
untuk mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan
zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus
menggunakan glukosa sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih
terdapa insulin , individu dengan DM Tipe II jarang mengandalkan asam lemak
untuk menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J
Corwin, 2009)
E. Komplikasi
1. Hipoglikemia, komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes
yang di obati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini
mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori
yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan.
Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan
tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
2. Ketoasidosis diabetic, kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat,
merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya
terjadi pada lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi
pada individu yang menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik
dan emosional yang ekstrim.
3. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar, komplikasi
metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita
diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan
hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl),
hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis
osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali
keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada
tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
4. Neuropati perifer, biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat
menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati
otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara, yang mencakup
gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang menyebabkan
perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan
hipotensi ortostatik.
5. Penyakit kardiovaskuler, pasien lansia yang menderita diabetes memiliki
insidens hipertensi 10 kali lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak
menderita diabetes. Hasil ini lebih meningkatkan resiko iskemik sementara
dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard,
aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif,
kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
6. Infeksi kulit, hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena
kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri.
Hal ini membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta
vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah, kadar glukosa dapat diukur dari sample
berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih
akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia
dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan
glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang diberikan
lebih objektif kuantitatif. (FKUI,2011)
2. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine, pemeriksaan kadar glukosa urin
menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak langsung dan
tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan
orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi
tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan
normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
3. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa,
memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi
glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami
hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat
setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
a. Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
b. Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
c. Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl
atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
4. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c),
menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya,
biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik.
Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan
pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
5. Fruktosamina serum, menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata
selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih
baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan. Sayangnya
pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan
ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat
dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L
dan Liz Schaeffer, 2007)
6. Pemeriksaan keton urine, kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan
kurang hormone insulin menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai
sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi
kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna
ungu. (FKUI,2011)
7. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC), pada penyandang DM,
glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-
rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah
dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10 minggu terakhir,
maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan AIC
dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam
setahun. (FKUI, 2011)
8. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS), memberikan informasi kepada
penyandang DM mengenai kendali glikemik dari hai kehari sehingga
memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan
terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan
feedback cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari.
(FKUI,2011)
9. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB), merupakan metode
sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan dengan glukosa
darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya
adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan,
konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi
glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi
kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI)
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis : obat hipoglikemik oral
a. Pemicu sekresi insulin
1) Sulfonilurea, golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel
beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek
ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak
penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien
insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat ini antara lain:
menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin),
menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin
sebagai akibat rangsangan glukosa (FKUI, 2011)
2) Glinid, merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate
asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.(FKUI, 2011)
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin
1) Biguanid, saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin.
Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin
pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan.
(FKUI, 2011)
2) Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis
meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan
glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI,
2011)
c. Penghambat glukosidase alfa, obat ini bekerja secara kompetitif menghambat
kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
d. Incretin mimetic, penghambat DPP-4, obat ini bekerja merangsang sekresi insulin
dan penekanan terhadap sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil
kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)
e. Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang
masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar. Secara keseluruhan
sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan memerlukan insulin untuk
mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu akan butuh
insulin bila: Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar
glukosa darah dan Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan
pembedahan, infark miocard akut atau stroke. Pengaruh insulin tehadap jaringan
tubuh antara lain insulin menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan
kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan
lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin
menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber
energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.
(FKUI,2011)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun
keluarga pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang
sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam
pengobatan dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari
alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan,
menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan
yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan
meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang
memiliki resiko
f. Mengawasi diet klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani
atau kebugaran yang sesuai
3. Penatalaksanaan Diet, tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan
diabetes memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control
metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat
hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c. Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat
badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan
kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari
penyakit metabolic
d. Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek,
komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati
autonomic dan penyakit jantung
f. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.

Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II

a. Protein, menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006,


Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes sebesar 10-20% energi dari
protein total.
b. Total lemak, asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan
tidak lebih 10% energy dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya
dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-
25% energi.
c. Lemak jenuh dan kolesterol, tujuan utama pengurangan konsumsi lemak
jenuh dan kolesterol adalah untuk menurunkan resiko penyakit
kardiovaskuler. Oleh karena itu <7% asupan energy sehari seharusnya dari
lemak jenuh dan asupan kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
d. Karbohidrat dan pemanis, anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita
diabetes di Indonesia adalah 45-65% energy.
e. Sukrosa, bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari
perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah pada individu
dengan diabetes.
f. Pemanis, fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa
dan kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame,
acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di terima sebagai
pemanis pada semua penderita DM.
g. Serat, rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan
untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35 gr
serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia anjurannya
adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan mengutamakan serat larut
h. Natrium, asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak
lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai
sedang di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
i. Alkohol, asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari
asupan kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2
penukar lemak)
j. Mikronutrien: vitamin dan mineral, apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak
perlu menambah suplemen vitamin dan mineral. Walaupun ada alasan teoritis
untuk memberikan suplemen antioksidan pada saat ini hanya sedikit bukti
yang menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.( FKUI, 2011 )

 
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Identitas penanggung jawab pasien
3. Keluhan utama
4. Riwayat kesehatan keluarga, dakah keluarga yang menderita penyakit
seperti klien ?
5. Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya, berapa lama klien
menderita DM, bagaimana penanganannya,mendapat terapi insulin jenis
apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja
yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas / istirahat
Gejala    :    -   Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan
- Kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur

Tanda   :   - Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau


dengan aktivitas
- Letargi / disorientasi, koma
-    Penurunan kekuatan otot

b. Sirkulasi
Gejala     :    -    Adanya riwayat hipertensi
- Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
-   Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama

Tanda    :    -    Takikardia
-    Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
-     Nadi yang menurun / tidak ada
-     Disritmia
-     Krekels
-     Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
3.    Integritas Ego
Gejala    :    -    Stress, tergantung pada orang lain
-    Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda    :    -    Ansietas, peka rangsang

4.    Eliminasi
Gejala    :    -    Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
-       Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
-       Nyeri tekan abdomen
-       Diare
Tanda    :    -    Urine encer, pucat, kuning : poliuri

5.    Makanan / cairan


Gejala    :    -    Hilang nafsu makan
-    Mual / muntah
-    Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
-    Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
-    Haus
-    Penggunaan diuretic (tiazid)
Tanda    :    -    Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut).
Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.

6.    Nyeri / kenyamanan


Gejala    :    -    Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda    :    -    Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati

7.    Pernafasan
Gejala    :    -    Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum
purulen (tergantung ada tidaknya infeksi)
Tanda    :    -    Lapar udara
-       Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
-       Frekuensi pernafasan
8.    Keamanan
Gejala    :    -    Kulit kering, gatal; ulkus kulit
Tanda    :    -    Demam, diaphoresis
-     Kulit rusak, lesi / ilserasi
-     Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan
metabolisme karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat
akibat adanya mual muntah.
2. Resiko devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic dan
poliuria
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat penurunan
produksi energy
4. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan
sirkulasi, penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang
perawatan kulit.
5. Gangguan citra tubuh b/d ekstremitas gangrene
6. Resiko cedera b/d penurunan fungsi penglihatan, pelisutan otot.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi,
penurunan fungsi leukosit.
C. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan
metabolisme karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat
akibat adanya mual muntah

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24


jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi

Kriteria hasil : Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien


yang tepat, BB stabil, nilai lab normal

Intervensi :

a. Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi


Rasional   :    Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
b. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan pasien
Rasional   :  Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari
kebutuhan terapeutik
c. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan
elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui
pemberian cairan melalui oral
Rasional   : Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar
dan fungsi gastroisntetinal baik
d. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH, dan
HCO3
Rasional   : Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan
dan terapi insulin terkontrol.
e. Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional   : Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien

b. Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic dan poliuria

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24


jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.

Kriteria hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan


oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor
kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat
secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :

a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik


Rasional : Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan
takikardia.
b. Ukur berat badan setiap hari
Rasional   : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan yang
sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional   : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi
yang adekuat
d. Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan
Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional   :   
- Ht : Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat
homokonsentrasi yang terjadi setelah dieresis osmotik
- BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena
dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginbjal.
- Osmolalitas darah : Meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemia
dan dehidrasi
- Natrium : Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan
cairan dari intra sel (dieresis osmotik)
- Kalium : Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada asodisis

3. Intoleransi aktivitas b.d penurunan simpanan energy

Tujuan : Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan penurunan


produksi energy

Kriteria hasil : - Mengungkapkan peningkatan tingkat energy

-Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk


berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan

Intervensi :

a. Diskusi dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat jadwal


perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan
kelelahan.
Rasional   : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan
tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
b. Beri aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup / tanpa
diganggu.
Rasional   : Mencegah kelelahan yang berlebihan.
c. Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan TD sebelum / sesudah melakukan
aktivitas.
Rasional   : Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara
fisiologi.
d. Mendiskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat.
Rasional   : Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan
penurunan kegiatan akan pada energi pada setiap kegiatan.
e. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
dengan yang dapat ditoleransi.
Rasional   : Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai tingkat
aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.

4. Gangguan integritas kulit b/d gangrene

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24


jam diharapkan integritas kulit dapat membaik.

Kriteria hasil : -  Mempertahankan integritas kulit

-  Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah


kerusakan kulit.

Intervensi :

a. Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau kegemukan / kurus


Rasional   : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer, imobilitas
fisik dan gangguan status nutrisi.
b. Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional   : Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
c. Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine tiga
kali sehari selama 15 menit
Rasional   : Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
d. Balut luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional :  Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi silang.
Plester adesif dapat membuat abrasi terhadap jaringan mudah rusak.
e. Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam amati
tanda-tanda hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Rasional   : Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang
mengganggu absorbsi obat memerlukan penjadwalan sekitar jam makan.
Meskipun tidak ada riwayat reaksi penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.

5. Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangrene

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24


jam pasien dapat menerima keadaannya yang
sekarang.

Kriteria hasil : - Pasien menerima keadaannya yang sekarang

- Menunjukkan pandangan yang realistis dan


pemahaman diri dalam situasi.

Intervensi :

1. Dengarkan dengan aktif masalah dan ketakutan pasien


Rasional   : Menyampaikan perhatian dan dapat lebih efektif
mengidentifikasi kebutuhan dan masalah dan juga strategi koping pasien
dan seberapa efektif.
2. Dorong pengungkapan perasaan, penerima apa yang dikatakannya
Rasional   : Membantu pasien / orang terdekat untuk memulai menerima
perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi atau gaya
hidup.
3. Diskusikan pandangan klien terhadap citra diri dan efek yang ditimbulkan
dari penyakit
Rasional   : Persepsi pasien mengenai pada perubahan citra diri mungkin
terjadi secara tiba-tiba atau kemudian atau menjadi proses halus yang
secara terus menerus.
4. Bantu pasien atau orang terdekat dengan menjelaskan hal-hal yang
diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin diperkukan untuk dilepaskan atau
diubah.
Rasional   : Memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan konsep
dan mulai melihat pilihan-pilihan, meningkatkan orientasi realita.
5. Rujuk pada dukungan psikiatri atau group terapi, pelayanan sosial sesuai
petunjuk
Rasional   : Mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien / orang terdekat
untuk mencapai kesembuhan optimal.

6. Resiko injuri b/d gangguan penglihatan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama


2x24 jam diharapkan tidak terjadi injuri pada pasien

Kriteria hasil : -  Mengidentifikasi faktor-faktor resiko injuri

-  Memodifikasi lingkungan sesuai petunjuk untuk


meningkatkan keamanan dan penggunaan sumber-
sumber secara tepat.

Intervensi :

1. Hindarkan alat-alat yang dapat menghalangi aktivitas pasien


Rasional   : Untuk meminimalisir terjadinya cedera
2. Gunakan bed yang rendah
Rasional   : Meminimalkan resiko cedera
3. Orientasikan untuk pemakaian alat bantu penglihatan ex. Kacamata
Rasional   : Membantu dalam penglihatan klien
4. Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
Rasional   : Agar tidak terjadi injuri

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Gibson, Jhon.2002. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat Edisi 2. Jakarta:EGC

Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer .2007. Asuhan Keperawatan Geriatric.


Jakarta:EGC.

Tambayong, Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC

Wahdah, Nurul. 2011 .Menaklukan Hipertensi dan Diabetes. Yogyakarta: Multipress.

Anda mungkin juga menyukai