Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA (LANJUTAN)


SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, DAN POLITIS PANCASILA SEBAGAI DASAR
NEGARA INDONESIA
Sejarah mempunyai makna yang sangat penting dalam membangun kehidupan bangsa supaya
lebih bijaksana di masa depan. Dalam peristiwa sejarah nasional banyak pelajaran yang dapat
dipetik misalnya sejarang perjuangan bangsa Indonesia, sebelum masa pergerakan nasional
perjuangan rakyat Indonesia selalu gagal mewujudkan kemerdekaan karena belum dilandasi
semangat nasionalisme. Hal ini berarti agar bangsa Indonesia diperhatikan dan diperhitungkan
oleh bangsa di dunia perlu memelihara integrasi bangsa dan meningkatkan pengusaan IPTEK
sehingga implikasi dari pendekatan historis adalah meningkatkan persatuan dan meningkatkan
motivasi belajar sesuai dengan bidang masing-masing.
Sumber Sosiologis
Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara merupakan hasil philosophical consensus (konsensus
filsafat), karena membahas dan menyepakati suatu dasar filsafat negara dan political
consensus. (Kaelan, 2013) Sebagaimana, dalam teori perjanjian masyarakat, maka Pancasila
merupakan sebuah kesepakatan luhur dari para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai
golongan dan perbedaan menjadi satu kesatuan untuk mendirikan suatu negara berdasarkan
Pancasila.
Sumber Politis
Pancasila merupakan wujud dari sikap politis bangsa Indonesia dalam menentang berbagai
bentuk penindaasan dari penjajahan. Sila-sila Pancasila merupakan pernyataan yang jelas
bahwa: pertama, Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama yaitu mengakui nilai-nilai
Ketuhanan, sehingga bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius. Kedua, Pancasila
merupakan sebuah bangsa yang menujunjung tinggi kemanusiaan, dan menentang segala bentuk
penjajahan yang tidak seusuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ketiga, pernyata politis
bahwa masyarakat Nusantara telah bersatu menjadi bangsa Indonesia dan bersepakat mendirikan
negara Indonesia diatas berbagai perbedaaan. Keempat, Bangsa Indonesia menyatakan secara
politis bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang menjunjung tinggi musyawarah yang
penuh hikmat dan kebijaksanaan dalam mengambil berbagai kebijakan. Kelima, Indonesia
didirikan merupakan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dalam perjuangan bangsa Indonesia merupakan perjuangan politis dalam hal
menentang berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak berorientasi kepada nilai-
nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Nusantara. 
 
DINAMIKA DAN TANTANGAN SEBAGAI DASAR NEGARA INDONESIA
Pancasila sebagai paradigma kehidupan berarti Pancasila merupakan dasar, kerangka berpikir,
fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia memandang dunia dalam
kerangka Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Misalnya dalam
melaksanakan pembangunan nasional, bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai
barometer keberhasilan pembangunan Segala perkembangan ilmu pengetahuan termasuk
teknologi harus selalu disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila.
Kegagalan dalam pelaksanaan pembangunan nasional bisa dimungkinkan oleh
ketidakselarasan penyelenggaraan dengan nilai-nilai Pancasila yang telah dianut bangsa
Indonesia.
 
Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Fungsi Pancasila sebagai ideologi nasional yang menatap seluruh dinamika sosial budaya,
dan politik yang terjadi, dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan
kesejahteraan bangsa. Dimulainya Orde Reformasi merupakan kesempatan emas yang harus
dimanfaatkan secara optimal untuk membangun semangat Indonesia yang berkarakter.
Pancasila secara yuridis-kontitusional dan secara obyektif-ilmiah.
Pancasila yang benar yakni yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis-
kontitusional maupun secara obyektif-ilmiah.

1)    Secara yuridis konstitusional, karena Pancasila adalah dasar negara yang dipergunakan


sebagai dasar mengatur-menyelenggarakan pemerintahan Negara, maka tidak setiap orang boleh
memberikan pengertian atau tafsiran menurut pendapatnya sendiri.

2)    Secara obyektif-ilmiah, karena Pancasila adalah suatu faham filsafat, suatu philosophical way


of thinking atau philosophical system, maka uraiannya harus logis dan dapat diterima oleh akal
sehat (Darmodihardjo, 1979).

 
Pancasila merupakan kristalisasi nilai yang hidup dan tumbuh berkembang serta digali dari
dalam masyarakat Indonesia, sehingga Pancasila memiliki kebenaran secara rasional hal  ini
dapat dibuktikan bahwa Pancasila merupakan suatu sistem filsafat karena kebenaran nilai-nilai
yang ada di dalam Pancasila dapat diterima secara rasional. Pancasila harus dapat dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah.
 
IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN NEGARA
DALAM BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN HANKAM
Pokok-pokok pikiran persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang
Maha Esa yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan pancaran dari
Pancasila. Empat pokok pikiran tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum
dasar negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
 
 
BAB V
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
 
PENGERTIAN IDEOLOGI
         Ideologi di negara-negara yang baru merdeka dan sedang berkembang, menurut Prof. W.
Howard Wriggins, berfungsi sebagai sesuatu yang “confirm and deepen theidentity of their
people” (sesuatu yang memperkuat dan memperdalam identitas rakyatnya). Namun, ideologi di
negara-negara tersebut, menurutnya, sekedar alat bagi rezim-rezim yang baru berkuasa untuk
melanggengkan kekuasaannya. Ideologi ialah alat untuk mendefinisikan aktivitas politik yang
berkuasa, atau untuk menjalankan suatu politik “cultural management”, suatu muslihat
manajemen budaya (Abdulgani, 1979: 20). Oleh sebab itu, kita akan menemukan beberapa
penyimpangan para pelaksana ideologi di dalam kehidupan di setiap negara. Implikasinya
ideologi memiliki fungsi penting untuk penegas identitas bangsa atau untuk menciptakan rasa
kebersamaan sebagai satu bangsa. Namun di sisi lain, ideologi rentan disalahgunakan oleh elit
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Ideologi itu, menurut Oesman dan Alfian (1990: 6), berintikan serangkaian nilai (norma)
atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh
suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup bangsa mereka. Ideologi
merupakan kerangka penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Ideologi
bangsa adalah cara pandang suatu bangsa dalam menyelenggarakan negaranya. Ideologi adalah
suatu sistem nilai yang terdiri atas nilai dasar yang menjadi cita-cita dan nilai instrumental yang
berfungsi sebagai metode atau cara mewujudkan cita-cita tersebut. Menurut Alfian (1990)
kekuatan ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung di dalam dirinya.
Pertama, adalah dimensi realita, bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi itu
secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar
tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.
Kedua, dimensi idealisme, bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung
idealisme, bukan lambungan angan-angan, yang memberi harapan tentang masa depan
yang lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya dalam praktik kehidupan bersama
mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya.
Ketiga, dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan, bahwa ideologi tersebut
memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran-
pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat
atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya (Oesman dan Alfian, 1990: 7-8).
Selain itu, menurut Soerjanto Poespowardojo (1990), ideologi mempunyai beberapa
fungsi, yaitu memberikan:
1.    Struktur kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang didapat merupakan landasan
untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitranya.
2.    Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan
tujuan dalam kehidupan manusia.
3.    Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah
dan bertindak.
4.    Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
5.    Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan
kegiatan dan mencapai tujuannya.
6.    Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta
memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di
dalamnya (Oesman dan Alfian, 1990: 48).
 
Pembagian Ideologi Menurut Sifatnya
Ditinjau dari sudut sifatnya, ideologi dapat dibedakan atas ideologi terbuka dan tertutup.
Perbedaan tersebut ditentukan oleh kemampuan ideology berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya. Bila suatu ideologi mampu berinteraksidengan perkembangan lingkungan sekitarnya
dan adanya dinamika secara internal, maka disebut ideologi terbuka. Sebaliknya, bila suatu
ideologi tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan merasa sudah mampu menjawab
semua permasalahan dalam kehidupan masyarakat, maka disebut ideologi tertutup. Dalam
ideologi tertutup, lingkungan biasanya dituntut agar mampu menyesuaikan dengan
tuntutan ideologi tersebut. Untuk itu, suatu ideologi bila perlu mengandung norma yang diikuti
dengan sanksi. Pada negara yang menganut ideologi ini, biasanya ada kelompok kecil manusia
yang melakukan pemaksaan agar ideologi tersebut terjelma dalam kehidupan masyarakat.
Ideologi terbuka memiliki tiga dimensi yaitu dimensi realitas, dimensi idealitas, dan dimensi
fleksibilitas (Alfian, 1986). Dimensi realitas maksudnya nilai-nilai yang termuat dalam ideologi
harus bersumber dari nilai-nilai real yang ada dalam masyarakat, bukan hasil pemikiran belaka.
Dimensi idealitas maksudnya di dalam ideologi itu termuat cita-cita yang hendak diwujudkan
alam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. dimensi fleksibelitas maksudnya ideologi
itu tidak kaku, melainkan mampu menampung dan menanggapi segala persoalan yung muncul
dalam masyarakat, bangsa dan negara. Dimensi ketiga inilah yang menjadi kunci dan
keterbukaan ideologi tersebut, sedangkan dimensi pertama dan kedua lebih merupakan faktor
yang menentukan apakah ideologi terbuka atau ideologi tertutup
 
Pembagian Ideologi Menurut Cakupannya
Ditinjau dari cakupannya ideologi dapat dibedakan atas ideologi komprehensif dan
partikular. Perbedaan ideologi komprehensif dengan ideologi partikular ditentukan oleh
keberadaan ideologi tersebut dalam suatu masyarakat ataubangsa. Hal yang dimaksud dengan
ideologi komprehensif adalah ideologi yang mencakup ruang lingkup yang luas dan melingkup
banyak aspek. Ideologi ini menyajikan suatu formulasi yang berisi panduan
mengarah Pertimbangan dan tindakan manusia dalam berbagai bidang kehidupan seperfi
politik, ekonomi, sosial budaya, dan aspek-aspek lainnya. Jangkauan ideologi ini tidak hanya
individu tetapi juga kelompok yang lebib besar berupa masyarakat atau bangsa. Ideologi
partikular maksudnya suatu ideologi yang lebih khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu
guna menjadi panduan dalam mencapai tata kehidupan yang diinginkan. Jadi,
jangkauan ideo1ogi partikular agak lebih sempit.
 
Pembagian Ideologi Menurut Substansinya
Ditinjau dan segi substansinya ideologi dapat dibedakan atas: Liberalisme,
Sosialisme, Komunisme, Sekulerisme, dan ideologi-ideologi keagamaan
a.   Liberalisme
Liberalisme tumbuh dari konteks masyarakat Eropa pada abad pertengahan yang feodal, dimana
sistem sosial ekonomi dikuasai oleh kaum aristrokasi feodal dan menindas hak-hak individu.
Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh
golongan intelektual yang digerakkan oleh keresahan ilmiah (rasa ingin tahu da keinginan untuk
mencari pengetahuan yang baru) dan artistik pada zaman itu. Ciri-ciri ideologi Liberalisme
sebagai berikut :
1)    demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik;
2)    anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan
berbicara;
3)    pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas, keputusan yang
dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk
diri sendiri;
4)    kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk, dan oleh
karena itu pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan
dapat dicegah.
5)    suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar
individu berbahagia, kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan
sebagian besar individu belum tentu maksimal.
b.   Konservatisme
Ketika Liberalisme menggoncang struktur masyarakat feodal yang mapan, golongan feodal
berusaha mencari ideologi tandingan untuk menghadapi kekuasaan persuasif Liberalisme. Dari
sinilah muncul ideologi Konservatisme sebagai reaksi atas paham Liberalisme. Paham
Konservatisme itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)    Masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tertata. Masyarakat harus memiliki
struktur yang stabil sehingga setiap orang mengetahui bagaimana ia harus berhubungan
dengan orang lain. Seseorang akan lebih memperoleh kebahagiaan  sebagai anggota suatu
keluarga, anggota gereja, dan anggota masyarakat daripada yang dapat diperoleh secara
individual.
2)    Untuk menciptakan masyarakat yang tertata dan stabil diperlukan suatu pemerintah
yang memiliki kekuasaan yang mengikat tetapi bertanggung jawab. Paham konservatif
berpandangan pengaturan yang tepat atas kekuasaan akan menjamin perlakuan yang
samaterhadap setiap orang.
3)    Paham ini menekankan tanggung jawab pada pihak penguasa dalam masyarakat untuk
membantu pihak yang lemah. Posisi ini bertentangan dengan paham liberal yang
berpandangan pihak yang lemah harus bertanggung jawab atas urusan dan hidupnya. Sisi
konservatif inilah yang menimbulkan untuk pertama kali negara kesejahteraan (welfare
state) dengan program-program jaminan sosial bagi yang berpenghasilan rendah.
Ciri lain yang membedakan antara Liberalisme dan Konservatisme adalah menyangkut hubungan
ekonomi dengan negara lain. Paham konservatif tidak menghendaki pengaturan ekonomi
(proteksi), melainkan menganut paham ekonomi internasional yang bebas (persaingan bebas),
sedangkan paham liberal cenderung mendukung pengaturan ekonomi internasional sepanjang hal
itu membantu buruh, konsumen dan golongan menengah domestik.
c.   Sosalisme dan komunisme
Sosialisme merupakan reaksi terhadap revolusi industri dan akibat-akibatnya. Awal Sosialisme
yang muncul pada bagian pertama abad ke-19 dikenal sosialis utopia. Sosialisme ini lebih
didasarkan pada pandangan kemanusiaan (humanitarian), dan meyakini kesempurnaan watak
manusia. Penganut paham ini berharap dapat menciptakan masyarakat sosialis yang dicita-
citakan dengan kejernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan
revolusi. Sedang paham Komunisme berkeyakinan perubahan sistem kapitalis harus dicapai
dengan revolusi, dan pemerintahan oleh diktator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi.
Dalam masa transisi dengan bantuan negara dibawah diktator proletariat, seluruh hak milik
pribadi dihapuskan dan diambil untuk selanjutnya berada pada kontrol negara. Perbedaan
Sosialisme dan Komunisme terletak pada sarana yang digunakan untuk mengubah Kapitalisme
menjadi Sosialisme. Paham Sosialis berkeyakinan perubahan dapat dan seyogyanya dilakukan
dengan cara-cara damai dan demokratis.
d.   Fasisme
Fasisme merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan
simbol-simbol yang mendukungnya untuk mencapai kebesaran negara. Hal itu akan dapat
dicapai apabila terdapat seorang pemimpin kharismatis sebagai simbol kebesaran negara yang
didukung oleh massa rakyat. Dukungan massa yang fanatik ini tercipta berkat indoktrinasi,
slogan-slogan, dan simbol-simbol yang ditanamkan sang pemimpin besar dan aparatnya. Fasisme
ini pernah diterapkan di Jerman (Hitler), Jepang, Italia (Mossolini), dan Spanyol. Dewasa ini
pemikiran Fasisme cenderung muncul sebagai kekuatan reaksioner (right wing) di negara-negara
maju, seperti skin head dan kluk-kluk klan di Amerika Serikat yang berusaha mencapai dan
mempertahankan supremasi kulit putih.
e.   Sekulerisme
Sekulerisme sebetulnya bukanlah ideologi yang berkembang seperti halnya Liberalisme,
Sosialisme, atau Komunisme, tetapi merupakan paham yang memisahkan urusan negara dengan
urusan agama. Dalam alam pikiran kaum sekuler persoalan yang penting dikaji dan dicarikan
pemecahan masalahnya adalah persoalan duniawi. Persoalan yang berkaitan dengan kehidupan
akhirat seperti yang diajarkan oleh ajaran agama harus dikesampingkan. Paham ini muncul
dalam masyarakat liberalisme yang memberikan kebebasan kepada individu untuk mengejar
kehidupan yang dicita-citakannya. Kebebasan akan terjelma bila semua individu dapat
menghindarkan diri dari aturan-aturan yang tidak memperlihatkan manfaat secara nyata, seperti
yang diajarkan oleh agama. Agama memiliki nilai-nilai yang sifatnya relatif dan sewajarnya
diserahkan kepada masing-masing individu, apakah mau baragama atau tidak.
 
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Pancasila sebagai ideologi Indonesia mempunyai ajaran-ajaran yang memang mengandung
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain. Ajaran yang dikandung Pancasila bahkan dipuji
oleh seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sintesis
kreatif antara Declaration of AmericanIndependence (yang merepresentasikan ideologi
demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang mereprensentasikan ideologi komunis).
Lebih dari itu, seorang ahli sejarah, Rutgers, mengatakan, “Dari semua negara-negara Asia
Tenggara, Indonesia-lah yang dalam Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas melakukan
latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah. Dalam filsafat
negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam dari revolusi-
revolusi itu (Latif, 2011: 47). Dari pendapat tersebut, Indonesia pun pernah merasakan
berkembangnya nilai-nilai ideologi-ideologi besar dunia berkembang dalam gerak tubuh
pemerintahannya.
 

BAB VI
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
(LANJUTAN)
 
PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA
pancasila dan Liberalisme
         Periode 1950-1959 disebut periode pemerintahan demokrasi liberal. Sistem parlementer
dengan banyak partai politik memberi nuansa baru sebagaimana terjadi di dunia Barat.
Ketidakpuasan dan gerakan kedaerahan cukup kuat pada periode ini, seperti PRRI dan Permesta
pada tahun 1957 (Bourchier dalam Dodo dan Endah (ed), 2010:40). Keadaan tersebut
mengakibatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan bernegara.
Indonesia tidak menerima liberalisme dikarenakan individualisme Barat yang
mengutamakan kebebasan makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut
memandang manusia sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial (Alfian dalam Oesman
dan Alfian, 1990:201).
negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara (Kaelan, 2000: 220).
Tentang rahasia negara-negara liberal, Soerjono Poespowardojo mengatakan bahwa kekuatan
liberalism terletak dalam menampilkan individu yang memiliki martabat transenden dan
bermodalkan kebendaan pribadi. Sedangkan kelemahannya terletak dalam pengingkaran
terhadap dimensi sosialnya sehingga tersingkir tanggung jawab pribadi terhadap kepentingan
umum (Soeprapto dalam Nurdin, 2002: 40-41). Karena alasan-alasan seperti itulah antara lain
kenapa Indonesia tidak cocok menggunakan ideologi liberalisme.
 
Pancasila dan Komunisme
Dalam periode 1945-1950 kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sudah kuat. Namun,
ada berbagai faktor internal dan eksternal yang memberi nuansa tersendiri terhadap kedudukan
Pancasila. Faktor eksternal mendorong bangsa Indonesia untuk menfokuskan diri terhadap agresi
asing apakah pihak Sekutu atau NICA yang merasa masih memiliki Indonesia sebagai
jajahannya. Di pihak lain, terjadi pergumulan yang secara internal sudah merongrong Pancasila
sebagai dasar negara, untuk diarahkan ke ideologi tertentu, yaitu gerakan DI/TII yang akan
mengubah Republik Indonesia menjadi negara Islam dan Pemberontakan PKI yang ingin
mengubah RI menjadinegara komunis (Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto, 1982/83 kemudian dikutip oleh Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 39).
Komunisme tidak pernah diterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini
disebabkan Negara komunisme lazimnya bersifat atheis yang menolak agama dalam suatu
Negara. Sedangkan Indonesia sebagai Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
merupakan pilihan kreatif dan merupakan proses elektis inkorporatif. Artinya pilihan negara
yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas dan nampaknya sesuai dengan
kondisi objektif bangsa Indonesia (Kelan, 2012: 254-255).
Selain itu, ideologi komunis juga tidak menghormati manusia sebagai makhluk individu.
Prestasi dan hak milik individu tidak diakui. Ideologi komunis bersifat totaliter, karena tidak
membuka pintu sedikit pun terhadap alam pikiran lain. Ideologi semacam ini bersifat otoriter
dengan menuntut penganutnya bersikap dogmatis, suatu ideology yang bersifat tertutup. Berbeda
dengan Pancasila yangbersifat terbuka, Pancasila memberikan kemungkinan danbahkan
menuntut sikap kritis dan rasional. Pancasilabersifat dinamis, yang mampu memberikan jawaban
atas tantangan yang berbeda-beda dalam zaman sekarang (Poespowardojo, 1989: 203-204).
Pelarangan penyebaran ideologi komunis ditegaskan dalam Tap MPR No.
XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan
untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajarankomunisme/marxisme dan leninisme
yang diperkuat dengan Tap MPR No. IX/MPR/1978 dan Tap MPR No VIII/MPR/1983.

Anda mungkin juga menyukai