Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HEMATOLOGI

ANEMIA

Disusun Oleh :

Henriko Suryo Windiarto 14330101


Annisa Rahmawati 17330062
Ani Siti Nurjanah 18330064
` Khofifah Wulandari 18330088
Febriani Ramadhani Shantika 19330710
Fatiyah Syahida 19330744

PROGRAM STUDI FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
Jl.Moh Kahfi II Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan 12640

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
berkat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Anemia dengan baik.
Dikarenakan pengetahuan kami tentang materi anemia ini sangat sedikit sehingga
kami tidak dapat menyajikan makalah ini secara lengkap akan tetapi kami
menyajikan makalah ini dengan maksimal.

Makalah ini secara umum berisi tentang materi anemia. Makalah ini juga
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah hematologi.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di
perlukan demi kesempurnaan makalah ini

Akhirul kata kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak


yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan makalah ini, semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca khususnya
mahasiswa/i,serta menjadi pintu gerbang ilmu pengetahuan khususnya mata
kuliah hematologi.

Jakarta, Maret 2020

` Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Darah....................................................................................................
2.2 Sel Darah Merah (Eritrosit).................................................................
2.3 Hemoglobin (Hb).................................................................................
2.4 Zat Besi................................................................................................
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Definisi Anemia....................................................................................
3.2 Etiologi Anemia....................................................................................
3.3 Patofisiologi Anemia ...........................................................................
3.4 Pemeriksaan Laboratorium dan Penekanan Pemeriksaan Darah
pada Anemia.........................................................................................
3.5 Tatalaksana Terapi Anemia ( Farmakologi dan Non Farmakologi)
3.5.1. Terapi Farmakologi pada Anemia............................................
3.5.2. Terapi Non Farmakologi pada Anemia....................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity). Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari normal (WHO, 2011).
Anemia terjadi karena berbagai sebab, seperti defisiensi besi, defisiensi
asam folat, vitamin B12 dan protein. Secara langsung anemia terutama disebabkan
karena produksi/kualitas sel darah merah yang kurang dan kehilangan darah baik
secara akut atau menahun.
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi
yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini
menetapakan menyebabkan cadangan besi terus berkurang.

Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai
hematologi dan biokimia. Hal yang pertama terjadi adalah menurunnya simpanan
besi pada jaringan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari anemia?
2. Bagaimana etiologi dari anemia?
3. Bagaimana patofisiologi dari anemia?
4. Bagaimana pemeriksaan dan penekanan pemeriksaan darah pada
anemia?
5. Bagaimana tatalaksana terapi anemia secara farmakologi dan non
farmakologi?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi dari anemia.
2. Untuk mengetahui etiologi dari anemia.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari anemia.
4. Untuk mengetahui pemeriksaan dan penekanan pemeriksaan darah
pada anemia.
5. Untuk mengetahui tatalaksana terapi anemia secara farmakologi
dan non farmakologi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Darah
Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ lain
karena berbentuk cairan. Darah merupakan alat utama transportasi,
distribusi, dan sirkulasi dalam tubuh. Volume darah manusia
sekitar 7% dan 10% berat normal dan berjumlah sekitar 5 liter.
Keadaan jumlah darah pada tiap-tiap orang tidak sama, bergantung
pada usia, pekerjaan, serta keadaan jantung atau pembuluh darah
(Handayani & Sulistyo, 2008).
Fungsi utama darah dalam siklus adalah transport internal,
menghantarkan berbagai macam substansi untuk fungsi
metabolisme darah. Proteksi terhadap cidera dan pendarahan,
pencegahan pendarahan merupakan fungsi dari trombosit karena
adanya pembekuan, fibrinolitik yang ada pada plasma.
Mempertahankan suhu tubuh yaitu darah membawa panas dan
bersikulasi keseluruh tubuh. Hasil metabolisme juga menghasilkan
energi dalam bentuk panas (Tarwoto, 2008).
Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang
berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan disirkulasikan
oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk
melepaskan sisa metabolisme berupa karbon dioksida dan
menyerap oksigen melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa
kembali ke jantung melalui vena pulmonalis. Setelah itu darah
dikirimkan keseluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta.
Darah mengedarkan oksigen keseluruh tubuh melalui saluran halus
darah yang disebut pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali ke
jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan vena cava
inferior. Darah juga mengangkut bahan-bahan sisa metabolisme,
obat-obatan dan bahan kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke
ginjal untuk dibuang sebagai air seni (Carascallo, 2012).
Komponen darah terdiri atas 2 komponen darah yaitu:
a. Plasma darah adalah bagian cair darah yang sebagian besar
terdiri atas air, elektrolit dan protein darah.
b. Butir-butir darah yang terdiri atas komponen-komponen
antara lain eritrosit sel darah merah atau (SDM-Red Blood
cell), , leukosit atau sel darah putih (SDP –White blood
cell), dan trombosit atau butir pembeku darahpletelet
(Handayani & Sulistyo, 2008).
2.2. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Fungsi eritrosit adalah mengangkut oksigen dari paru-paru
untuk diedarkan ke seluruh tubuh. Eritrosit mampu mengangkut
oksigen karena memiliki hemoglobin (Hb). Hemoglobin
merupakan suatu protein khusus yang mengandung zat besi yang
mampu mengikat oksigen. Dalam setiap eritrosit terdapat sekitar
250 juta molekul Hb. Tiap molekul Hb dapat membawa empat
molekul oksigen. Pengikatan oksigen oleh Hb terjadi di dalam
paru-paru melalui reaksi:

Hb + 2O2 → HbO2
Oksigen yang telah berikatan dengan Hb itu, kemudian
diedarkan ke seluruh tubuh. Di dalam sel-sel tubuh, oksigen
dipakai untuk reaksi respirasi guna menghasilkan energi. Eritrosit
juga berfungsi membawa karbon dioksida, yaitu bahan buangan
yang dihasilkan sel, walaupun sebagian karbon dioksida dibawa
oleh plasma.
Eritrosit dibuat di dalam sumsum merah pada tulang-tulang
tertentu (tulang belakang, tulang rusuk, tulang tengkorak, dan
tulang pipa). Umur eritrosit manusia sekitar 120 hari. Dalam
setiap detik, kira-kira 2,4 juta eritrosit dirombak untuk digunakan
dengan yang baru. Perombakan eritrosit terjadi di dalam hati.
2.3. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin (Hb) adalah metal protein pengangkut
oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam darah
mamalia dan hewan lainnya. Molekul Hb terdiri dari globin,
apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan
satu atom besi. Hb adalah protein yang kaya akan zat besi.
Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan
oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah.
Melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke
jaringan-jaringan (Evelyn, 2009).
Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah
merah. Hb dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah
dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada
darah. Hb adalah kompleks proteinpigmen yang mengandung zat
besi. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat didalam
eritrosit. Sebuah molekul Hb memiliki empat gugus haeme yang
mengandung besi dan empat rantai globin (Brooker, 2009).
Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-
paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali
karbondioksida dari seluruh sel paru-paru untuk di keluarkan dari
tubuh. Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen: menerima,
menyimpan dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak
kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin
(Almatsier, 2013).
Adapun manfaat hemoglobin antara lain:
a) Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di
dalam jaringan- jaringan tubuh
b) Mengambil oksigen dari paru kemudian dibawa ke seluruh
jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar
c) Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh
sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk dibuang.
Untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah
atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar Hb.
Penurunan kadar Hb dari normal berarti kekurangan darah
yang disebut anemia (Widayanti, 2008).

Tabel 2.1 Kadar Hemoglobin normal menurut WHO

Kelompok Umur Batas Nilai Hemoglobin (gr/dl)


Anak 6 bulan – 6 tahun 11,0
Anak 6 tahun – 14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0
Ibu hamil 11,0
Wanita dewasa 12,0

2.4. Zat Besi


Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi
tubuh, zat ini terutama diperlukan dalam hematopoiesis
(pembentukan darah) yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb)
(Moehji, 1992). Seorang ibu yang dalam masa kehamilannya
telah menderita kekurangan zat besi tidak dapat memberi
cadangan zat besi kepada bayinya dalam jumlah yang cukup
untuk beberapa bulan pertama. Meskipun bayi itu mendapat air
susu dari ibunya, tetapi susu bukanlah bahan makanan yang
banyak mengandung zat besi karena itu diperlukan zat besi
untuk mencegah anak menderita anemia (Siregar, 2000).
Pada beberapa orang, pemberian tablet zat besi dapat
menimbulkan gejala-gejala seperti mual, nyeri di daerah
lambung, kadang terjadi diare dan sulit buang air besar
(Departemen Kesehatan, 1999), pusing bau logam (Hartono,
2000). Selain itu setelah mengkonsumsi tablet tersebut, tinja
akan berwarna hitam, namun hal ini tidak membahayakan.
Frekuensi efek samping tablet zat besi ini tergantung pada
dosis zat besi dalam pil, bukan pada bentuk campurannya.
Semakin tinggi dosis yang diberikan maka kemungkinan efek
samping semakin besar. Menurut Wirakusumah (1999), tablet
zat besi yang diminum dalam keadaan perut terisi akan
mengurangi efek samping yang ditimbulkan tetapi hal ini dapat
menurunkan tingkat penyerapannya.
Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat
berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada didalam sel-
sel darah merah atau Hb (lebih dari 2,5 g), myoglobin (150 mg),
phorphyrin cytochrome, hati, limpa sumsum tulang (> 200-1500
mg). Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional
yang dipakai untuk keperluan metabolik dan bagian yang
merupakan cadangan. Hemoblobin, mioglobin, sitokrom, serta
enzim hem dan nonhem adalah bentuk besi fungsional dan
berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan. Besi cadangan
apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya
5-25 mg/kg berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk
besi cadangan yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan
sumsum tulang. Metabolisme besi dalam tubuh terdiri dari
proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan
pengeluaran (Zarianis, 2006).
Kurangnya zat besi dan asam folat dapat menyebabkan
anemia. Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia
melalui beberapa tahap. Awalnya terjadi penurunan simpanan
cadangan zat besi, bila tidak dipenuhi masukan zat besi lama
kelamaan timbul gejala anemia disertai penurunan kadar hb.
Kadar normal haemoglobin dalam darah yaitu pada anak balita
11 gr%, anak usia sekolah 12 gr%, wanita dewasa 12 gr%, ibu
hamil 11 gr%, laki-laki 13 gr%, ibu menyusui 12 gr%
(Cuningham, 2007). Penentuan anemia klinis dipengaruhi oleh
banyak variabel seperti ketebalan kulit dan pigmentasi yang
tidak dapat diandalkan kecuali pada anemia berat. Pemeriksaan
laboratorium sebaiknya digunakan untuk mendiagnosis dan
menentukan beratnya anemia (De Maeyer, 2013).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Anemia


Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan
jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar hemoglobin (Hb)
dalam darah lebih rendah dari normal (WHO, 2011). Hemoglobin
adalah salah satu komponen dalam sel darah merah / eritrosit yang
berfungsi untuk mengikat oksigen dan menghantarkannya ke
seluruh sel jaringan tubuh. Oksigen diperlukan oleh jaringan tubuh
untuk melakukan fungsinya. Kekurangan oksigen dalam jaringan
otak dan otot akan menyebabkan gejala antara lain kurangnya
konsentrasi dan kurang bugar dalam melakukan aktivitas.
Hemoglobin dibentuk dari gabungan protein dan zat besi dan
membentuk sel darah merah/eritrosit. Anemia difisiensi besi dan
protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi di usus,
pendarahan akut maupun kronis dan meningkatnya kebutuhan zat
seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan dan masa
penyembuhan dari penyakit. Anemia merupakan suatu gejala yang
harus dicari penyebabnya dan penanggulangannya dilakukan sesuai
dengan penyebabnya.
3.2 Etiologi Anemia
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan
oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh
karena:
Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang.
a. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) .
b. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya (hemolisis).
Anemia terjadi karena berbagai sebab, seperti defisiensi
besi, defisiensi asam folat, vitamin B12 dan protein. Secara
langsung anemia terutama disebabkan karena produksi /kualitas sel
darah merah yang kurang dan kehilangan darah baik secara akut
atau menahun. Ada 3 penyebab anemia, yaitu:
a. Defisiensi zat gizi
 Rendahnya asupan zat gizi baik hewani dan nabati yang
merupakan pangan sumber zat besi yang berperan penting
untuk pembuatan hemoglobin sebagai komponen dari sel
darah merah/eritrosit. Zat gizi lain yang berperan penting
dalam pembuatan hemoglobin antara lain asam folat dan
vitamin B12.
 Pada penderita penyakit infeksi kronis seperti TBC,
HIV/AIDS,dan keganasan seringkali disertai anemia, karena
kekurangan asupan zat gizi atau akibat dari infeksi itu
sendiri.
b. Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel
darah merah lebih rendah dari destruksinya. Penyebab
berkurangnya produksi sel darah merah yaitu:
 Perdarahan karena kecacingan dan trauma atau luka yang
mengakibatkan kadar Hb menurun.
 Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel
darah merah (eritro-poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid
[hipotiroidisme] dan androgen [hipogonadisme]).
 Perdarahan karena menstruasi yang lama dan berlebihan
c. Hemolitik
 Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan
karena berkurangnya masa hidup sel darah merah (kurang
dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah merah
110-120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang
tidak dapat mengatasi kebutuhan untuk mengganti lebih dari
5% sel darah merah/hari yang berhubungan dengan masa
hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.
 Perdarahan pada penderita malaria kronis perlu
diwaspadai karena terjadi hemolitik yang mengakibatkan
penumpukan zat besi (hemosiderosis) di organ tubuh,
seperti hati dan limpa.
 Pada penderita Thalasemia, kelainan darah terjadi secara
genetic yang menyebabkan anemia karena sel darah
merah /eritrosit cepat pecah, sehingga mengakibatkan
akumulasi zat besi dalam tubuh.
Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran
sel dan hemoglobin yang dikandungnya:
a. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah
besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada
dua jenis anemia makrositik yaitu:
 Anemia Megaloblastik adalah kekurangan
vitamin B12, asam folat dan gangguan sintesis
DNA;
 Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis
yang dipercepat dan peningkatan luas permukaan
membran.
b. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah (MCV kurang dari 80
fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin
dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH (mean concentration
hemoglobin) dan MCV (mean cular volume), penyebab anemia
mikrositik yaitu:
 Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia
penyakit kronis/anemia inflamasi, defisiensi
tembaga
 Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam,
anemia sideroblastik kongenital
 Berkurangnya sintesis globin : talasemia dan
hemoglobinopati.
c. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak
berubah, ini disebabkan kehilangan darah yang parah,
meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-
penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
3.3 Patofisiologi Anemia
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah)
dan juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat.
Zat besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk
mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen
(oksidase dan oksigenase). Tanda-tanda anemia gizi dimulai
dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya
absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya
kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa
habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin,
berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme,
dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya
terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Hb
(Gutrie, 186:303). Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes
skrining dengan cara mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht), volume
sel darah merah (MCV), konesntrasi Hb dalam sel darah merah
(MCH) dengan batasan terendah 95% acuan (Dallman, 1990).
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir
keseimbangan negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian
keseimbangan besi yang negatif ini menetapakan menyebabkan
cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap
defisiensi besi, yaitu:

Tahap 2 Tahap 3
Tahap 1
Hemoglobin Sedikit Menurun Jelas
Normal
Menurun (mikrositik/hipokromik)

Cadangan besi < 100 0 0

Fe serum Normal <60 <40

TIBC 360-390 <390 >410

Saturasitransferin 20-30 <15 <10

Feritin serum <20 <12 <12

Sideroblas 40-60 <10 <10

FEP >60 >100 >200

MCV Normal Normal Menurun

a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron
deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi
atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme.Feritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron
deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis.Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh
nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun,
sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte porphrin
(FEP) meningkat.
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency
anemia. Keadaan ini terjadi bila besiyang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah di dapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini
telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang
lebih lanjut.
3.4 Pemeriksaan Laboratorium dan Penekanan Pemeriksaan
Darah pada Anemia

Pada defisiensibesi yang progresif akan terjadi perubahan


pada nilai hematologi dan biokimia. Hal yang pertama terjadi
adalah menurunnya simpanan besi pada jaringan. Penurunan ini
akan ditunjukkan melalui menurunnya serum ferritin, sebuah
protein yang mengikat besi dalam tubuh sebagai simpanan.
Kemudian jumlah serum besi akan menurun, kapasitas pengikatan
besi dari serum (serum transferrin) akan meningkat, dan saturasi
transferrin akan menurun di bawah normal. Seiring dengan
menunrunnya simpanan, besi dan protoprofirin akan gagal untuk
membentuk heme. Free erythrocyte protoporphyrins (FEP)
terakumulasi, dan kemudian sintesis hemoglobin terganggu. Pada
titik ini, defisiensi besi berlanjut menjadi anemia defisiensi besi.
Dengan jumlah hemoglobin yang berkurang pada tiap sel, sel
merah menjadi lebih kecil. Perubahan morfologi ini paling sering
tampak beriringan dengan berkurangnya mean corpuscular volume
(MCV) dan mean corpuscular hemoglobin (MCH). Perubahan
variasi ukuran sel darah merah terjadi dengan digantikkannya sel
normositik dengan sel mirkositik, variasi ini ditunjukkan dari
peningkatan red blood celldistribution width (RDW). Jumlah sel
darah merah juga akan berkurang. Jumlah persentase retikulosit
akan meningkat sedikit atau dapat normal. Sapuan darah akan
menunjukkan sel darah merah yang hipokrom dan mikrositik
dengan variasi sel yang tetap. Bentuk sel darah elips atau seperti
cerutu sering terlihat. Deteksi peningkatan reseptor transferrin dan
berkurangnya konsentrasi hemoglobin retikulosi tmendukung
terhadap penegakkan diagnosis. Jumlah sel darah putih normal,
trombositosis juga sering tampak. Trombositopenia terkadang
muncul pada defisiensi besi yang sangat berat, sehingga akan
menimbulkan sebuah kerancuan dengan gangguan pada sumsum
tulang. Pemeriksaan pada feses untuk melihat perdarahan pada
sistem gastro intestinal harus selalu dilakukan untuk eksklusi
perdarahan sebagai penyebab defisiensi besi.
Pada umumnya, hitung darah lengkap akan menunjukkan
anemia mikrositer dengan peningkatan RDW, berkurangnya RBC,
WBC normal, dan jumlah platelet yang meningkat atau normal.
Pemeriksaan laboratorium lainnya, seperti penurunan ferritin,
penurunan serumbesi, dan peningkatan kapasitas pengikatan besi
total, biasanya belum dibutuhkan kecuali terdapat anemia berat
yang membutuhkan penegakan diagnosis cepat, terdapat
komplikasi atau pada anemia yang tidak memberikan respon
terhadap terapi besi.
3.5 Tatalaksana Terapi Anemia ( Farmakologi dan Non
Farmakologi)
3.5.1. Terapi Farmakologi pada Anemia
Terapi untuk anemia bisa dilakukan dengan
transfusi darah, transfusi RBC untuk geriatri, pemberian
oral atau parenteral vitamin B12, induksi asam folat
(menginduksi remisi eksogen hematologi). Pemberian
parenteral asam folat jarang diperlukan , karena asam folat
oral diserap dengan baik bahkan pada pasien dengan
sindrom malabsorpsi . Dosis 1 mg asam folat oral setiap
hari sudah cukup untuk memulihkan anemia
megaloblastik , memulihkan kadar folat serum normal
(Katzung, 2009). Dibawah ini adalah jenis obat yang
digunakan untuk anemia.

a. Darbepoetin alfa b. Filgrastim ( G - CSF )


( Aranesp ) ( Neupogen )

Parenteral : 25 , 40 , 60 , 100 , Parenteral : 300 mcg vial untuk IV


200 , 300 , 500 mcg / mL IV atau atau SC injeksi
SC injeksi

c. Deferasirox ( Exjade ) d. Asam folat ( folacin , asam


pteroylglutamic )
Oral : 125 , 250 , 500 mg tablet
( generik )

Oral : 0.4 , 0.8 , 1 mg tablet

Parenteral : 5 mg / mL untuk injeksi

e. Deferoxamine ( generik , f. Besi ( generik )


Desferal )
Oral : Metylcobalamin
Parenteral : 500 , 2000 mg vial
untuk IM , SC , atau injeksi IV Parenteral ( Iron dekstran ) ( InFeD ,
DexFerrum ) : 50 mg besi elemental /
mL

Parenteral (Sodium glukonat besi


kompleks) ( Ferrlecit ) : 12,5 mg besi
elemental / mL

Parenteral ( sukrosa Besi )


( Venofer ) : 20 mg besi elemental /
mL
g. Epoetin alfa h. Oprelvekin ( interleukin - 11 )
( erythropoietin,EPO ) ( Neumega )
( Epogen , Procrit )
Parenteral : 5 mg vial untuk injeksi SC
Parenteral : 2000 , 3000 , 4000 ,
10000 , 20000 , 40000 IU / mL
vial untuk IV atau SC injeksi

i. Epoetin beta (Methoxy j. Pegfilgrastim ( Neulasta )


polyethylene glycol- Parenteral : 10 mg / mL larutan dalam
epoetin beta) (Mircera). jarum suntik dosis tunggal
Parenteral: 50, 100, 200,
300, 400, 600, 1000
mcg/mL in single-dose
vials and prefilled
syringes for IV or SC
injection

k. Vitamin B12 l. .     Romiplostim (Nplate)


( cyanocobalamin generik
atau hydroxocobalamin ) Parenteral: 250, 500 mcg in single-
dose vials for SC injection
Oral ( cyanocobalamin ) : 100 ,
500 , 1000, 5000 mcg tablet , 100
, 250 , 500 mcg lozenges

Nasal ( Nascobal ) : 5000 mcg /


mL ( 500 mcg / spray)

Parenteral ( cyanocobalamin ) :
100 , 1000 mcg / mL injeksi IM
atau SC

Parenteral ( hydroxocobalamin ) :
1000 mcg / mL hanya untuk
injeksi IM

m. Sargramostim ( GM -
CSF ) ( Leukine )

Parenteral : 250 , 500 mcg vial


untuk infus IV
3.5.2. Terapi Non Farmakologi pada Anemia
Pasien anemia hendaknya melakukan terapi non
farmakologi untuk melakukan penyembuhan, yaitu dengan
cara sebagai berikut:
a. Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat
besi seperti sayuran, daging, ikan dan unggas.
b. Dapat digunakan suplemen multi-vitamin yang
mengandung vitamin B12 dan asam folat sebagai
terapi profilaksis maupun memperbaiki defisiensi
vitamin B12 ataupun asam folat.
c. Pada pasien dengan anemia kritis dapat dilakukan
transfusi sel darah merah. (Wells et al., 2006).

 
BAB IV
KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

1. Darah merupakan alat utama transportasi, distribusi, dan


sirkulasi dalam tubuh.
2. Volume darah manusia sekitar 7% dan 10& berat normal
dan berjumlah sekitar 5 liter.
3. Fungsi eritrosit (sel darah merah) adalah mengangkut
oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh tubuh.
4. Dalam eritrosit terdapat 250 juta molekul Hb.
5. Hemoglobin (Hb) adalah metal protein pengangkut oksigen
yang mengandung besi dalam sel darah merah mamalia dan
hewan lainnya.
6. Anemia secara fungsional didefinisikan sebgai penurunan
jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membewa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen
carrying capacity).
7. Anemia terjadi karena berbagai sebab, seperti defisiensi
besi, defisiensi asam folat, vitamin B12 dan protein. Secara
langsung anemia terutama disebabkan karena produksi
/kualitas sel darah merah yang kurang dan kehilangan darah
baik secara akut atau menahun.
8. Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut
ukuran sel dan hemoglobin yang dikandungnya. Anemia
makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan
jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah, dan anemia
mikrositik mengecilnya ukuran sel darah merah, dan
anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah,
ini disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya
volume plasma secara berlebihan, penyakit-penyakit
hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
9. Pada defisiensi besi yang progresif akan menyebabkan
menurunnya serum ferritin, dan transferrin. Perubahan
morfologi ini paling sering tampak beriringan dengan
berkurangnya mean corpuscular volume (MCV) dan mean
corpuscularhemoglobin (MCH).
10. Terapi farmakologi
 Transfusi darah

 Transfusi RBC

 pemberian oral atau parenteral vitamin B12

 induksi asam folat

11. Terapi non farmakologi


 Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi
seperti sayuran, daging, ikan dan unggas.
 Dapat digunakan suplemen multi-vitamin yang
mengandung vitamin B12 dan asam folat sebagai
terapi profilaksis maupun memperbaiki defisiensi
vitamin B12 ataupun asam folat.
 Pada pasien dengan anemia kritis dapat dilakukan
transfusi sel darah merah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan


Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
Bakta, I Made. 2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam
Sudoyo, AruW, et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2009. Basic & Clinical
Pharmacology, 11th Ed. New York: McGraw-Hill.
Kemenkes, RI. (2016a). Buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan
Anemia Pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta:
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Masrizal. 2017. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
II(1).
NANDA,2001-2002, Nursing Diagnosa: Definitions and classification,
Philadelphia, USA
Oehadian, Amaylia. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia.
Continuing Medical Education. Vol. 39 No. 6
Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. TürkPediatriArşivi, 50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337
Pujiyanto, Sri. 2012. Menjelajah Dunia Biologi. Cetakan Kedua. Jakarta:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Anda mungkin juga menyukai