Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi seperti saat ini, kekhawatiran terhadap
kesenjangan masyarakat yang semakin melebar, dimana hal ini berkaitan
erat dengan masalah keadilan, keterbukaan informasi, serta pemerataan
kesempatan dan akses dari sebuah proses perubahan yang bernama
pembangunan. Kesempatan ekonomi hanya dimiliki oleh wilayah dan
golongan yang lebih maju. Hal semacam inilah yang dikhawatirkan
menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi dan pada akhirnya akan
menjadi multi krisis yang merupakan beban masyarakat dan pemerintah.
Masyarakat pelaku ekonomi kecil atau yang disebut UKM merasa
ditinggalkan karena perhatian pemerintah dianggap kurang dan hanya
membela kepentingan golongan ekonomi yang lebih maju.
Sebenarnya secara khusus perhatian harus diberikan dengan
pemihakan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan ekonomi,
yaitu ekonomi usaha kecil termasuk koperasi agar tidak tertinggal jauh dan
justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
Kesenjangan yang merupakan kenyataan dalam pembangunan
memerlukan pemecahan dengan pemihakan dan pemberdayaan bagi
pelaku-pelaku ekonomi lemah secara nyata. Untuk itu, setiap warga negara
berhak atas taraf kesejahteraan yang layak serta berkewajiban ikut serta
dalam upaya mewujudkan kemakmuran rakyat. Dalam perspektif ini pula
kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama sehingga upaya
penanggulangannya menuntut keikutsertaan aktif semua pihak.1
Permendagri RI Nomor 7 Tahun 2007 tentang Kader
Pemberdayaan Masyarakat, menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat

1
Gunawan Soemodiningrat, Membangun Perekonomian Masyarakat, IDEA Dan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 16

1
2

sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam


kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (pasal 1, ayat 8). 2 Inti
pengertian pemberdayaan merupakan strategi untuk mewujudkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa,
pasal 5 ayat (2) pemberdayaan yaitu upaya untuk mewujudkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.3
Pengembangan ekonomi masyarakat (Community Economic
Development) menurut beberapa pakar antara lain : sebagai sistem
tindakan nyata yang menawarkan alternatif model pemecahan masalah
masyarakat dibidang ekonomi. Menurut Edy Soeharto, pengembangan
ekonomi masyarakat adalah suatu usaha bersama dan terencana untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia dalam bidang ekonomi.4
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa pengembangan atau
pemberdayaan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk membangun atau
mengangkat harkat dan martabat masyarakat dengan memberikan
dukungan dan motivasi kepada masyarakat yang memang sudah memiliki
potensi artinya masyarakat tersebut memang sudah ada atau sudah
memiliki skiil/keahlian, akan tetapi keahlian atau potensi itu belum
terlihat/tampak, adanya dorongan dan motivasi tersebut diharapkan
tentunya agar mereka meningkatkan potensi yang mereka miliki dan
mengupayakan peningkatan tersebut melalui tindakan nyata.
Upaya pengembangan dan pemberdayaan perekonomian rakyat,
perlu diarahkan untuk mendorong terjadinya perubahan struktural.
Perubahan struktural seperti ini bisa meliputi proses perubahan dari pola
ekonomi tradisional ke arah ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke

2
Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat Nomor 7
Tahun 2007, Bab I Pasal 8, hlm 2
3
Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Perencanaan Pembangunan Desa Nomor 66
Tahun 2007, Bab II Pasal 5 Ayat (2), hlm 3
4
Edi Soeharto, Metodologi Pengembangan Masyarakat, Jurnal Comev, Vol. 1, 2004, hlm.
3.
3

ekonomi tangguh, dari ekonomi substanti ke ekonomi pasar, dari


ketergantungan kepada kemandirian, dari konglomerat ke rakyat.
Kesenjangan dan kemiskinan bukan hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah, akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama, baik
pemerintah, swasta, lembaga profesi maupun masyarakat itu sendiri.
Permasalahan tersebut jika tidak diwaspadai serta dilakukan upaya dan
langkah konkrit untuk menanggulanginya akan membawa akibat yang
buruk seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia, timbulnya
kecemburuan sosial, pengangguran, kriminalitas, dan berbagai dampak
negatif lainnya.
Kesenjangan dan kemiskinan bisa ditanggulangi, salah satunya
adalah dengan pemberdayaan kelompok melalui Lembaga Keuangan
Mikro (LKM). Lembaga keuangan mikro (LKM) merupakan penyedia
jasa keuangan bagi masyarakat yang memiliki usaha pada sektor yang
paling kecil yang tidak dapat mengakses dunia perbankan karena adanya
berbagai macam keterbatasan.
Industri perbankan di Indonesia telah mengalami perubahan besar
dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, bank memiliki fleksibilitas pada
layanan yang mereka tawarkan, lokasi tempat mereka beroperasi, dan tarif
yang mereka bayar untuk simpanan deposan. Dengan adanya deregulasi
peraturan, industri perbankan menjadi lebih kompetitif. Terjadi persaingan
dalam industri perbankan baik antar bank atau lembaga keuangan lainnya.
Walaupun banyak bermunculan bank ternyata banyak masyarakat yang
masih terabaikan terutama kelompok mayoritas (pengusaha kecil/mikro).
Maka dari itu muncul LKM (Lembaga Keuangan Mikro) sebagai
intermediasi untuk kelompok mayoritas. LKM didefinisikan sebagai
lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans),
pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money
transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil
4

(insurance to poor and low income households and their micro


interprises). 5
LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua
kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang
berwujud bank misalnya BRI Unit Desa, BPR, BPRS dan BKD.
Sedangkan yang bersifat non bank antara lain KSP, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Meskipun BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun
akibat persyaratan peminjaman menggunakan metode konvensional,
pengusaha mikro kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya. 6
Dari persoalan ini, muncul lembaga keuangan syariah alternatif.
Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi bisnis tetapi juga sosial.
Juga lembaga yang tidak melakukan pemusatan kekayaan pada sebagian
kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan penghisapan pada mayoritas
orang, tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan
adil. Lembaga yang terlahir dari kesadaran ummat dan ditakdirkan untuk
menolong kelompok mayoritas yakni pengusaha kecil/mikro. Lembaga
tersebut adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT).7
Peran BMT dalam fungsi sosial ini yang membedakan lembaga
keuangan BMT dengan yang lainnya. Pada lembaga keuangan lainnya,
tidak ada keharusan yang terikat bahwa lembaga tersebut menjalankan
fungsi sosial pada masyarakat sedangkan pada BMT, fungsi sosial dan
fungsi bisnis harus berjalan bersamaan dan optimal.
Pertama, BMT merupakan baitul maal yang salah satu kegiatannya
berupa penggalangan dan pendayagunaan dana Zakat, Infak dan Shadaqah
(ZIS). Penggalangan dana ZIS akan semakin besar, ketika BMT mampu
mengelolanya secara amanah dan profesional. Dengan kepercayaan yang
semakin tinggi, diharapkan akan semakin banyak donatur dan masyarakat
5
Didiek Ahmad Supadie, Sistem Lembaga Keuangan Ekonomi Syariah dalam
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2013, hlm. 29
6
Ibid
7
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil (BMT), UII Press, Yogyakarta,
2004, hlm. 73
5

yang memanfaatkan jasa BMT. Dari sisi pendayagunaan, berbagai


program kreatif sangat dimungkinkan untuk dibiayai dari sumber dana ZIS
ini, antara lain: (1) Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) (2)
Pengembangan ekonomi, perbaikan mutu kesehatan, serta santunan guna
memenuhi kebutuhan pokok. Makin besar dana ZIS yang dikelola BMT,
maka makin besar pula kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan.
Dalam kondisi seperti ini, BMT dapat mendirikan Lembaga Amil Zakat
(LAZ) guna mengelola dana ZIS secara lebih profesional. Peningkatan
peran ini bukan berarti menghilangkan fungsi baitul maal pada BMT
karena ini bisa dijembatani dengan mendesain sistem sinergi antara LAZ
dan BMT. Kedua, BMT merupakan baitut tamwil. Dalam hal ini fungsi
BMT persis sama dengan perbankan dengan orientasi meraih profit yang
optimal. Konsekuensinya, sistem operasional BMT harus menjalankan
prinsip profesional. Dalam keadaan ini, karyawan akan dituntut
kemampuan entrepeneurship yang tinggi. Dalam melakukan pembiayaan
juga harus memperhatikan faktor-faktor peluang dan resiko bisnis,
sehingga peningkatan pendapatan dapat dirasakan kedua belah pihak baik
BMT maupun nasabahnya.
BMT BIF merupakan lembaga keuangan syariah yang menitik
beratkan pada pemberdayaan ekonomi kelas bawah yang didirikan dan
dimiliki oleh masyarakat pada tahun 1996 di daerah Gedong Kuning
Yogyakarta. Munculnya ide untuk mendirikan BMT BIF ini karena
melihat banyak pengusaha kecil potensial tetapi tidak terjangkau oleh
bank, selain itu juga karena selama ini dakwah Islam belum mampu
menyentuh kebutuhan ekonomi umat, sehingga seringkali kebutuhan
modalnya dicukupi oleh rentenir dan lintah darat yang suku bunganya
sangat besar dan juga merupakan praktek riba serta sangat memberatkan
masyarakat, karena masyarakat diharuskan membayar bunga tambahan
dari dana yang dipinjam. Keperihatinan ini mendorong untuk berdirinya
BMT BIF.
6

Pembentukan BMT BIF diawali dengan dibentuknya panitia kecil


yang diketuai oleh Ir. Meidi Syaflan (ketua ICMI gedong kuning), dan
beranggotakan M. Ridwan dan Irfan. Panitia ini berfungsi mempersiapkan
segala sesuatunya sampai BMT BIF ini dapat berdiri. Salah satu tugas
awalnya adalah survey tempat dan lokasi pasar gedong kuning sebagai
bahan untuk diteliti, kemudian untuk dijadikan alternatif tempat atau
lokasi BMT BIF. Pada tanggal 1 Maret 1996 ditetapkan sebagai tanggal
operasional BMT BIF, tetapi pada tanggal tersebut ternyata BMT BIF
belum dapat beroperasi seperti yang telah direncanakan, karena adanya
sebab tertentu. Akhirnya BMT BIF mendeklarasikan diri berdiri dan mulai
beroperasi pada tanggal 11 Maret 1996, kemudian pada tanggal 15 Mei
1997, lembaga keuangan syariah ini memperoleh badan hukum No.
159/BH/KWK.12/V/1997.
Pada prinsipnya usaha BMT BIF dibagi menjadi dua yaitu Baitul
Maal (usaha sosial) dan Baitul Tamwil (usaha bisnis). Usaha sosial ini
bergerak dalam penghimpunan dana zakat, infak, sedekah dan wakaf
(ZISWAF) serta mentasyarufkannya kepada delapan ashnaf. Skala
prioritasnya dimaksud untuk mengentaskan kemiskinan melalui program
ekonomi produktif dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang etika
bisnis serta bantuan sosial, seperti beasiswa anak asuh, biaya bantuan
kesehatan serta perlindungan kecelakaan diri dengan asuransi, karena
BMT BIF mengadakan kerja sama dengan Asuransi Takaful. Sedangkan
usaha bisnisnya bergerak dalam pemberdayaan masyarakat ekonomi kelas
bawah dilakukan dengan intensifikasi penarikan dan penghimpunan dana
masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka, kemudian
disalurkan dalam bentuk pembiayaan kepada pengusaha kecil, dengan
sistem bagi hasil.
Di tengah isu yang mengatakan bahwa kebanyakan BMT di
Indonesia masih banyak yang belum menjalankan kedua fungsinya secara
maksimal, yang mana banyak BMT yang hanya menjalankan fungsi
7

tamwilnya saja dan tidak menjalankan fungsi baitul maalnya.8 BMT BIF
terus berkomitmen untuk menjalankan fungsi sosialnya secara maksimal.
Baitul maal BMT BIF terus mengalami perkembangan sejak awal berdiri
sampai saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pihak BMT BIF telah
menjalankan fungsi baitul maalnya secara maksimal. Salah satu bukti real
berkembangnya baitul maal di BMT BIF dilihat dari jumlah
penghimpunan dana yang terus mengalami peningkatan, khususnya pada
tiga tahun terakhir. Berikut data pengumpulan dan pentasyarufan ZISWAF
pada BMT BIF selama tiga tahun terakhir:
Tabel 1.1
Data pengumpulan dan pentasyarufan dana ZISWAF

No Tahun ZISWAF terkumpul pentasyarufan


1 2015 Rp. 348.455.535,00 Rp. 280.592.100,00
2 2016 Rp. 556. 396.129,00 Rp. 556.414.600,00
3 2017 Rp. 1.033.749.325,02 Rp. 902.993.994,00
Sumber: diambil dari dokumentasi BMT BIF
Pentasyarufan dana ZISWAF di BMT BIF dilakukan dalam berbagai
bidang, salah satunya yaitu dalam bidang ekonomi. Pertama, program Mitra
Usaha Sejahtera (MUS) yaitu pentasyarufan zakat produktif untuk
pengembangan ekonomi ummat khususnya kaum dhuafa secara kelompok dan
individu, dalam program ini BMT BIF membuat sebuah kelompok binaan dan
memberikan pembiayaan dan pendampingan dalam pembuatan sebuah produk
yang telah ditentukan oleh pihak BMT BIF. Selain itu baitul maal BMT BIF
juga memberikan pembiayaan kepada UKM mandiri untuk menambah modal
usaha mereka. Pihak BMT BIF berharap dengan pemberian pembiayaan
tersebut dapat membantu pihak-pihak terkait mengembangkan usahanya dan
menambah kemapanan perekonomian mereka. Kedua, program Mitra Muda
Mandiri (M3) zakat produktif untuk pendidikan kemandirian, wirausaha dari
keluarga miskin. Program ini dikhususkan untuk pendampingan ekonomi bagi
santri wirausaha Al-Maun (Pon-Pes khusus mahasiswa). Melalui program ini
http://stiebanten.blogspot.com/2011/05/pengaruh-prospek-dan-kendala-bmt-di.html?
8

m=1(diakses tanggal 30 november 2018)


8

para santri al-Maun diberikan pendidikan mengenai ayat-ayat Al-Quran yang


berkaitan dengan permasalahan ekonomi dan juga memberikan kesempatan
kepada para santri untuk melakukan pelatihan kewirausahaan di beberapa
UKM yang telah bekerjasama dengan BMT BIF. Selain itu BMT BIF juga
memberikan tunjangan pendidikan bagi santri berprestasi.
Berdasarkan data di atas maka peneliti ingin mengetahui pengelolaan
dan peran baitul maal pada KSPPS BMT BIF dalam pemberdayaan ekonomi
masarakat dan mengkajinya dengan penelitian yang berjudul : “Peran Baitul
Maal pada KSPPS BMT Bina Ikhsanul Fikri Yogyakarta dalam Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat”.

B. Fokus Penelitian
Dalam penelitian dilakukan tahap-tahap berfikir dan bertindak secara
ilmiah. Selain itu juga perlu dilakukan perumusan masalah secara teoritis
terhadap seluruh aktivitas dan tindakan yang telah, sedang dan akan dilakukan
oleh peneliti.
Salah satu hal dalam penelitian adalah membatasi pokok permasalahan
dalam penelitian, bila pokok permasalahan sudah ditetapkan, maka langkah
berikutnya membatasai ruang lingkup permasalahan.
Berdasarkan hal tersebut peneliti mengidentifikasi permasalahan yang
akan diteliti di KSPPS BMT Bina Ikhsanul Fikri yaitu pengelolaan Baitul
Maal pada KSPPS BMT Bina Ikhsanul Fikri serta peran Baitul Maal pada
KSPPS BMT Bina Ikhsanul Fikri dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengelolaan baitul maal pada KSPPS BMT Bina Ikhsanul
Fikri Yogyakarta?
2. Peran baitul maal pada KSPPS BMT Bina Ikhsanul Fikri Yogyakarta
dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat?
9

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengelolaan baitul maal pada KSPPS BMT Bina
Ikhsanul Fikri Yogyakarta
2. Untuk mengetahui peran baitul maal pada KSPPS BMT Bina Ikhsanul
Fikri Yogyakarta dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi
akademisi untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan secara
teoritis. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi acuan
pengetahuan bagi para pembaca mengenai peran baitul maal dalam
pemberdayaan ekonomi masyarakat.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana mengenai peran baitul
maal dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi masukan bagi KSPPS BMT Bina Ikhsanul Fikri
Yogyakarta untuk mengoptimalkan peran baitul maal dalam pemberdayaan
ekonomi masyarakat.

F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini akan menjelaskan kerangka penulisan
yang merupakan konsep dasar dalam pembahasan selanjutnya.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisikan gambaran jelas guna memahami penelitian,
sehingga pembaca atau penulis nantinya dapat dengan mudah dan
jelas terhadap arah pembahasan. Dalam bab ini memuat tentang
10

latar belakang masalah, fokus penilitian, rumusan masalah, tujuan


penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Kajian Pustaka
Dalam bab ini akan menjelaskan tentang kajian pustaka dan
deskripsi pustaka, memberi gambaran mengenai penelitian-
penelitian sebelumnya, serta kerangka berfikir dalam penelitian
yang akan dilakukan.
Bab III : Metode Penelitian
Dalam bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang terdiri
dari jenis penelitian, sumber data, lokasi penelitian, metode
pengumpulan data dan metode analisis data serta uji keabsahan
data.
Bab IV : Pembahasan
Dalam bab ini berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian,
data penelitian, serta hasil analisis dan pembahasan dari penelitian
yang telah penulis lakukan.
Bab V : Penutup
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran, merupakan
uraian singkat sebagai hasil temuan dan kesimpulan, serta masukan
yang menjelaskan peran baitul maal pada KSPPS BMT Bina
Ikhsanul Fikri Yogyakarta dalam pemberdayaan ekonomi
masyarakat

Anda mungkin juga menyukai