Anda di halaman 1dari 6

PREDIKSI MEDIA DIGITAL 2039*

Oleh: Arlian Buana

Akibat nama Sri Lestari yang tak ada sangkut-pautnya dengan sifat lestari, saya pun
mulai bimbang, apa betul ada sesuatu yang bisa lestari di atas dunia ini. Bukankah
sesuatu itu senaniasa berubah-ubah? Bukankah perubahan itu memang obyektif
perlu? Bukankah yang permanen, yang abadi, adalah proses perubahan itu sendiri?
Kenapa sih orang suka benar sama lestari-lestarian? Jika ular saja bisa ganti kulit,
mengapa keadaan mesti lestari, mesti permanen?
“Ah, segala sesuatu itu tentu ada kecualinya dong. Dari sejuta kerbau, pasti ada
seekor yang bule,” kata kawan saya.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, ada juga yang punya sifat lestari itu.”
“Misalnya?”
“Misalnya makanan di dalam restorasi kereta api.”
(Mahbub Djunaidi, 30 November 1986)

***

Kecuali makanan di restorasi kereta api, memang tidak ada yang abadi di dunia ini. Di
dunia digital, kita bahkan hampir tak bisa menikmati satu situasi ajek dan ayem;
perubahan itu bukan saja terus berlangsung, tapi berlangsungnya amat sangat cepat.
Sebagai contoh: 2011 adalah tahun kejayaan Twitter. Tahun itu muncul adagium
“Facebook tempatnya teman sekolah, Twitter tempat orang-orang yang kamu ingin
sekolah bareng.” Jadilah Twitter sebagai platform tercepat dan terbesar untuk
menyebarkan informasi. Perusahaan-perusahaan apa saja, termasuk penerbit dan
media, memanfaatkan Twitter sebagai kanal untuk melayani konsumennya. Selebtwit
seperti Arman Dhani dan Amrazing bermunculan. Facebook seolah koit. Di tahun ini
pula lahir Merdeka.com yang memakai tagar (yang dipopulerkan Twitter) warna-
warni untuk menandai topik-topik terhangatnya.

Tentu saja Facebook tak betul-betul keok. Mark Zuckerberg cs bekerja dalam diam
memperbaiki algoritma mereka. Hasilnya, pada 2013, mereka menambal apa yang
selama ini menjadi kekurangan mereka dibanding Twitter (dengan update real time di
pojok kanan bawah) dan menyempurnakan newsfeed yang berdasarkan kebiasaan dan
preferensi pengguna. Perlahan Facebook kembali ke atas, pengguna aktif mereka
semakin tumbuh. Banyak perusahaan, termasuk penerbit dan media, dari yang besar
sampai yang abal-abal, mulai membangun dan memanfaatkan fanpage di Facebook.

Bersamaan dengan itu pula, demam selfie melanda dunia dan Instagram tumbuh
pesat. Orang berlomba-lomba memonyong-monyongkan mulutnya seperti bebek di
depan kamera untuk diposting di Instagram, sampai muncul teknologi bernama
tongsis. Banyak perusahaan, termasuk penerbit dan media, mulai mencoba-coba
bagaimana memanfaatkan media sosial ini.

Di tempat lain, YouTube semakin matang sebagai situsweb berbagi video. Di industri
pertelevisian, muncul Net. TV yang lebih mirip rumah produksi untuk konten-konten
YouTube daripada stasiun televisi. Banyak perusahaan, termasuk penerbit dan media,
mulai meraba-raba bagaimana bermain di sini.

Di sisi lain, pasar aplikasi mobile tumbuh tak kalah pesat. Hingga 2013 saja, terdapat
lebih dari satu juta aplikasi di Google Play dan diunduh lebih dari 50 miliar kali.
Banyak perusahaan, termasuk penerbit dan media, ikut-ikutan bikin aplikasi.
Beberapa saja yang sampai sekarang masih bertahan, lebih banyak yang modar.

Orang-orang sepertinya mulai menyadari lagi kedahsyatan Facebook pada 2014, dan
berbondong-bondong nyampah di sana untuk menyambut pilpres. Jadilah Facebook
sebagai medan perang paling luas dan paling panas di Indonesia seperti halnya pemilu
AS 2008 yang memenangkan Barrack Obama. Pilpres usai, tapi tidak
pertempurannya. Sampai sekarang, dua kubu masih terus saling serang. Media tambah
girang karena banyak mendulang traffic dari Facebook.

Januari 2015, sebuah media sosial yang sebenarnya adalah aplikasi untuk pengiriman
pesan gambar dan video yang bisa menghilang dalam 24 jam, Snapchat, mengenalkan
fitur baru bernama “Discover”, di mana beberapa media di AS bisa menyapa
pengguna Snapchat yang sebagian besar remaja dengan konten-konten yang sesuai
dengan platform tersebut. Hasilnya luar biasa, satu snap di sana bisa mendatangkan
puluhan juta pemirsa.
Snapchat Discover sebagai produk memang tidak terlalu mendunia karena hingga saat
ini belum bekerja sama dengan media non-bahasa Inggris, tapi ia menyita perhatian
banyak orang dan semakin membuka mata para pekerja media mengenai “distributed
content”. Bahwa kontenmu tidak harus dibaca atau ditonton orang atau siamang atau
kukang di situswebmu. Kamu bisa mendistribusikannya ke platform mana saja yang
kamu suka. Kamu bisa melakukannya di Instagram seperti yang dilakukan di BBC,
atau di Facebook seperti NowThis dan AJ+ yang di tahun 2015 menjadi produsen
video terbesar di sana, atau di mana saja. Toh, di sana juga kamu bisa mendapatkan
pemirsa.

Raksasa-raksasa internet sigap menyambut era distributed content. Facebook


menciptakan instant article, Google bikin accelerated mobile project (AMP) yang
kecepatan bukanya hanya nol koma sekian detik, dan Apple punya Apple News.
Bahkan browser seperti UC dan Opera tak mau ketinggalan. Di Indonesia, aplikasi
seperti Baca Berita (Babe) dan Kurio pun lumayan berkembang. Dan yang paling
femomenal tentu saja LINE Today, milik aplikasi perpesanan LINE, di mana
pemirsanya adalah remaja seperti kebanyakan pengguna Snapchat.

Sial bagi Snapchat, fitur utama aplikasi mereka, “My Story” dikembangkan tiruannya
oleh Facebook. Kini semua perusahaan andalan di bawah Facebook; Instagram,
WhatssApp, Messenger, dan Facebook sendiri, punya fitur Story. Banyak perusahaan,
termasuk penerbit dan media, berlomba-lomba memaksimalkan fungsi fitur satu ini.
Banyak pakar media pun mulai meramalkan: masa depan bukan lagi di media sosial,
melainkan di instant messaging.

2016, Donald Trump menang pilpres AS. Penyebaran berita palsu atau hoax begitu
massif dan lapangannya adalah media sosial terutama Facebook. Produsennya bukan
hanya orang AS, bahkan segerombolan anak muda Makedonia bisa begitu leluasa
ikut-ikutan bikin konten hoax tentang Pilpres AS dan menyebarkannya dengan mudah
dan meraup untung jutaan dolar.
Di Indonesia, yang jelas, produksinya sudah menjadi ladang uang yang subur dan
semakin subur menjelang pemilu 2019. Bersiaplah dan waspadalah, atau sambutlah
dan bersukacitalah kalau kamu berniat merumput di lahan basah itu. (Tapi hati-hati,
Facebook dan Google dimintai banyak pihak agar bertanggung jawab mengurangi
persebarannya dan perlahan-lahan mereka mulai melakukannya. Sebentar lagi,
distribusi hoax tidak akan semudah dulu lagi.)

Perubahan-perubahan di atas hanya yang umum-umum dan besar-besar dan diketahui


khalayak saja. Ada banyak inovasi-inovasi kecil, perubahan-perubahan minor lain,
yang bisa jadi di masa depan akan menginspirasi perubahan yang lebih besar. Di
dunia UX, misalnya, telah dikembangkan teknologi infinite scroll yang
memungkinkan pembaca tidak lagi perlu klik sana klik sini untuk baca banyak berita
—sementara masih banyak media di Indonesia yang mengharuskan pembacanya
mengklik lima kali untuk membaca satu berita. Ada pula pengembangan teknologi
yang memungkinkan orang membaca berita yang terjadi di dekat rumahnya saja,
semua dimungkinkan dengan perkembangan maps yang luar biasa.

Banyak lagi riak-riak internet lainnya. Untuk dunia jurnalistik, Anda bisa membaca
pelbagai perkembangannya di Niemanlab. Sejak 2011, Niemanlab bahkan membuat
prediksi tahunan tentang apa saja yang akan terjadi, teknologi apa saja yang patut
diantisipasi, dan model-model konten bagaimana yang harus dikembangkan.

Cerita perubahan di atas juga saya sarikan dari prediksi-prediksi tahunan Niemanlab
yang diisi para pakar dan praktisi jurnalisme. Dari sana saya tahu, dunia ini, dunia
yang saya geluti, bergerak maju.

Anda boleh saja menyesalkan perkembangan jurnalisme digital Indonesia yang


semakin dangkal. Anda boleh bergabung di barisan Pak Bre Redana. Kau boleh
menyesalkan mengapa media-media tradisional yang sudah punya infrastruktur
newsroom yang kuat seperti Kompas dan Tempo dan Republika begitu gagap di
hadapan internet dan justru mengikuti cara-cara menulis berita ala Detik.com yang
seringkali 5W 1 H pun belum (mereka sudah merasa cukup dengan 3 W).

Kamu boleh menyesalkan mengapa jurnalisme digital kita tidak punya kecakapan
storytelling memadai, tidak punya orientasi untuk kedalaman dan kelengkapan dan
keutuhan informasi, dan belum pernah melahirkan laporan investigasi yang gemanya
besar.
Kamu boleh menyesal … tapi begitulah kenyataannya. Makanya, jangan sering-sering
baca Niemanlab. Bisa sakit hati. Sementara di luar sana dunia berlari demikian
cepatnya, sementara di luar sana para wartawan sibuk mengembangkan VR
Journalism, newsroom yang semakin terintegrasi dengan IT, dan entah apa lagi, kamu
masih sibuk menunggu omongan Amien Rais selanjutnya atau apa lagi sensasi dari
Awkarin.

Ada berapa banyak buku bermutu berdasarkan laporan jurnalistik dalam dua puluh
tahun terakhir? Bisa dihitung jari. Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, Saksi
Kunci, Jurnalisme Satrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Dari media
online, paling-paling yang bisa diketengahkan hanya #Narasi: Antologi Prosa
Jurnalisme. Apa lagi? Buku-bukuan kumpulan twit atau status malah lebih banyak.

Jangan sedih. Sudah ada sinyal-sinyal perbaikan, kok. Tenang saja. Kompas
mengembangkan Visual Interaktif Kompas yang penuh warna, meski belakangan
lebih sering jadi tempat untuk konten berbayar. Tempo bikin laman investigasi di
situswebnya, walaupun belum serius menggarapnya atau minimal mengunggah semua
laporan investigasi yang pernah mereka lakukan. Detik juga bikin X-Detik, walaupun
enggak bagus-bagus amat. Katadata dan Tirto.ID semakin matang dengan konten-
konten yang mengandalkan data dan infografik. Beritagar juga beberapa kali
menurunkan reportase dari daerah yang cukup ciamik.

Selalu ada harapan.

Sebetulnya saya malas bikin prediksi kecuali prediksi bola. Tapi saya melihat
jurnalisme digital di Indonesia akan semakin membaik. Walaupun sebetulnya saya
tidak yakin-yakin amat dengan apa yang saya tulis, anggap saja ini perkiraan kasar,
atau harapan, atau pekerjaan rumah yang harus dibereskan, bukan ramalan bukan pula
nubuat.

Lo boleh sekarang baca berita dari LINE Today aja. Tapi sampai kapan? Sekarang
lo masih punya banyak waktu buat baca berita sepotong-sepotong, buka tab ini buka
tab itu, tapi sampai kapan lo punya waktu luang?
Remaja zaman sekarang, yang hanya memerlukan informasi selebritas yang mereka
follow di Instagram, beberapa tahun lagi akan punya kebutuhan informasi yang sangat
berbeda dan mereka tentu menuntut sumber informasi yang interaktif dan memikat,
lengkap dan mendalam, dan kalau bisa di satu pintu. (Sebagaimana mereka
mendapatkannya di Snapchat Discover atau LINE Today).

Kalau jurnalisme kita masih gagap di hadapan internet dan generasi baru
penggunanya, gagap dalam bercerita dan merespons teknologi termutakhir, ia hanya
akan menjadi jurnalisme restorasi kereta api.

* Disampaikan di Kopdar Akbar Santrinet 2019

Anda mungkin juga menyukai