Anda di halaman 1dari 185

Daur (01)

Doaku Dosaku

Di sebuah forum salah seorang hadirin menggugatku dengan nada sangat keras dan geram.
Pada tahun 1994 Saudara menulis puisi yang berjudul Doa Mohon Kutukan. Anda sangat kejam
dan mengambil keputusan yang sangat tidak masuk akal.
Karena mendadak, aku sangat panik dan langsung serasa ditimpa rasa bersalah yang mendalam.
Di mana-mana di segala zaman manusia itu kalau memohon kepada Tuhan ya rejeki, berkah atau
kebahagiaan. Kok Anda memohon kutukan! Bagaimana nalarnya?
Aku yang memang seorang penakut jadi berkeringat dingin.
Andaikanpun yang Anda mohon itu kutukan kepada diri Anda sendiri, tetap tidak masuk akal
bagi saya. Apalagi yang Anda lakukan ini menyangkut ratusan juta rakyat Indonesia yang
hidupnya kebingungan tanpa ada ujungnya. Kita ini bangsa yang dahsyat sekarang menjadi
konyol. Kita ini kumpulan manusia-manusia yang multitalent tapi sekarang serabutan
mengerjakan hal-hal yang bertukar-tukar keahlian. Kita kaya raya tapi jadi pengemis. Kita
bermental tangguh tapi sekarang cengeng dan terlalu mudah kagum sehingga gampang
dikendalikan oleh orang lain. Ini semua gara-gara Anda memohon kutukan, dan sampai hari ini
kita semua hidup remang-remang bahkan gelap pekat seperti terkurung di bawah kutukan
langit.
Aku benar-benar merasa ambruk. Hatiku remuk redam. Aku berteriak-teriak, memekik-mekik
sampai telingaku kaget sendiri, sehingga terbangun mendadak. Terbangun, meloncat dari ranjang,
posisi berdiri dengan kuda-kuda silat, seolah-olah aku pernah tahu apa-apa tentang silat.
***
Tentu saja aku tertawa geli sendiri menemukan diri berdiri dengan posisi yang tidak jelas apakah
itu epigon Bruce Lee, Jacky Chan, Jet Lee, Uwais atau Wak Sampan pendekar Brudu. Untung tak
ada siapapun ketika itu. Maka kutoyor kepalaku sendiri, kemudian langsung aku berlari ke kamar
kerja, mencari puisi Doa Mohon Kutukan, yang ternyata tidak ada. Sungguh buruk dokumentasi
hidupku. Pun tak terpikir untuk browsing, karena di samping aku tidak terbiasa dengan dunia
internet, juga tidak pernah punya naluri untuk menyangka bahwa di dunia maya itu ada puisiku.
Akhirnya setelah kuhubungi, seorang teman menolong memberi teks puisi 1994 terkutuk itu. Aku
baca berulang-ulang sambil mengutuk diriku sendiri.
Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat agar
pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di
hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya.
Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, untuk membersihkan kecurangan dari kiri
kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang
bodoh dan rasa iri.
Dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan, demi membayar rasa malu atas kegagalan
menghentikan tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia, serta atas
ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya menanam pohon-pohonMu yang baru.
Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya
ketulusan hati, kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia.
Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini
makanan bagai kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan, asalkan sesudah
kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu.
Jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu diperlukan tumbal
sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah. Potonglah sepuluh batangku, kemudian tumbuhkan
sepuluh berikutnya, seratus berikutnya, dan seribu berikutnya, sehingga lubuk jiwa beribu-ribu
hambaMu menjadi terang benderang karena keikhlasan.
Jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan dibutuhkan kekalahan para
hambaMu yang lain, maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia menundukkan
wajahnya di hadapanMu.
Jika untuk mengusir muatan kedunguan di balik kepandaian hambaMu diperlukan kehancuran
pada hambaMu yang lain, maka hancurkan dan permalukan aku, asalkan kemudian Engkau
tanamkan kesadaran fakir di hatinya.
Jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya,
maka sengsarakanlah aku.
Jika jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku, maka
unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku.
Jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu adalah penyadaran akan kegelapan, maka
gelapkan aku, demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu.
Demi Engkau wahai Tuhan yang aku tiada kecuali karena kemauanMu, aku berikrar dengan
sungguh-sungguh bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang kudambakan, bukan keunggulan
dan kehebatan yang kulaparkan, serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang kuhauskan.
Demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu
akhirat, hidupku hanyalah tanpa henti memandangMu sampai kembali hakikat tiadaku.
(1994)
Pelan-pelan kubaca kembali, kupelajari lagi, kuselami hingga huruf demi huruf. Untuk
menghormati orang yang memprotesku, kuletakkan diriku sebagai orang terkutuk yang membuat
doa terkutuk.
Di setiap awal langkah, apapun dalam kehidupan ini, yang kutuding dan kucari kesalahannya
adalah diriku sendiri. Nanti pelan-pelan kurenungi Doa Mohon Kutukan itu. Tetapi dasar sikapku
adalah bersiap mengakui bahwa doaku adalah dosaku.
Dan akhirnya, dengan rasa sedih dan penuh keprihatinan, saya temukan betapa banyak kesalahan
dan kebodohanku, namun sementara supaya aku kuat menanggung beban rasa dosaku: kuambil
lima saja.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
1 Pebruari 2016

Daur (02)
Belajar Alif Ba Ta Agamaku

Ya Tuhan raja diraja semesta alam, inilah dosa-dosa dalam Doa Mohon Kutukan ku. Jika berkat
kemaha-dermawanan-Mu ada bagian dari ini semua yang Engkau tak anggap sebagai dosa, itu
adalah bonus rizki dari-Mu. Tetapi demi menjaga rasa aman hatiku dari kemaha-kuasaanMu,
kupilih rasa dosa ini, agar bertambah linangan airmataku ke hadirat-Mu.
Pertama, Doa Mohon Kutukan itu sama sekali bukan puisi. Itu hanya deretan kata dan kalimat
dari orang yang bingung dan tidak kuat menanggung kesedihan atas keadaan bangsanya. Sama
sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai puisi atau karya seni. Itu hanya muntahan hati
yang frustrasi.
Mudah-mudahan jangan lagi ada yang mengkategorikan aku sebagai penyair, seniman, apalagi
budayawan. Namun jika ada yang terlanjur menyebutku sebagai budayawan, kudoakan Allah
meningkatkan derajat sorganya di akhirat, serta menambahkan limpahan kesejahteraan dan
kebahagiaan beliau sekeluarga serta ummat pengikutnya.
Tidak kusertakan doa agar Tuhan mengampuni dosa dan kesalahannya, sebab aku tidak akan
pernah menuduh siapapun sebagai pelaku dosa. Selalu kuyakini orang yang bukan aku sebagai
calon penghuni sorga.
***
Kedua , kalimatku tidak tegas mengemukakan kandungan maksud atau hajatnya. Misalnya
Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat
seharusnya dilengkapi menjadi: Dengan sangat kumohon kutukanmu kepadaku ya Tuhan, jika itu
merupakan salah satu syarat . Kata kepadaku kenapa tidak aku cantumkan.
Seharusnya aku tuliskan statement yang lebih tegas dan transparan kepada Tuhan bahwa aku
bersedia dikutuk oleh-Nya demi kesembuhan penyakit-penyakit yang fantastis pada Negara dan
Bangsaku. Komplikasi permasalahan, campur aduk segala macam racun, lipatan-lipatan problem,
silang sengkarut permasalahan, yang jangankan akan disembuhkan, bahkan pun kewalahan semua
ilmu manusia untuk mendata dan merumuskannya.
Seharusnya kupakai bahasa yang lebih sederhana, bahwa aku bersedia hancur demi keselamatan
bangsaku.
***
Ketiga , doa itu juga sangat kecil kemungkinannya untuk didukung oleh teman-temanku maupun
ummat dan masyarakat umum. Ia tidak kompatibel dengan alam pikiran kebanyakan orang dari
bangsaku. Nilai-nilai yang melahirkan doa itu bukan sekedar tidak sama dengan keyakinan dan
pilihan sikap hidup kebanyakan orang, terutama para pemimpin dan kaum terpelajar. Bahkan
banyak yang bertentangan. Sebagian malahan amat sangat berbalikan.
Sehingga tidak terjadi akumulasi energi, tidak terdapat penghimpunan tenaga doa yang bisa
menyentuh langit. Misalnya kalimat-kalimat merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang
telah ditumpuknya, Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan,
diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah, maka kalahkanlah aku,
asalkan sesudah kemenangan itu ia, Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas
tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini makanan bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku
dalam kehidupan dlsb.
Itu hampir semuanya bertentangan dengan kelaziman sikap hidup manusia modern yang
mengutamakan perjuangan mencapai eksistensi, pembangunan citra, pengagungan kehidupan
yang ini dengan skala prioritas kemenangan, kejayaan, kesejahteraan dan kebahagiaan dunia.
Hampir sama sekali tidak mungkin ummat manusia Abad 21 yang sudah sangat puas dan bangga
oleh kemegahan dan kemewahan dunia, di mana maut diyakini dan dirasakan sebagai tragedi
percaya ada makhluk di antara mereka yang bersedia dimatikan oleh Allah untuk menjadi cicilan
ongkos bagi kehidupan masyarakatnya. Bersedia untuk kalah dan dikalahkan demi kemenangan
bangsanya. Atau bersedia ditindih oleh penderitaan dan kesengsaraan demi keselamatan Negara
dan kemakmuran rakyatnya.
Tidaklah bisa dipercaya oleh manusia bangsa-bangsa masa kini bahwa ada seseorang di antara
mereka mau meniadakan dirinya sendiri, membuang eksistensinya sendiri, mempuasai karier dan
kemungkinan kejayaannya sendiri untuk disedekahkan kepada syarat rukun yang diperlukan
untuk sembuhnya sakit mental, akal dan hati bangsanya dan terutama para pemimpinnya.
***
Keempat , ungkapan yang secara tidak tepat aku tuliskan sebagai doa dan kubentuk seakan-akan
puisi itu sangat mencolok mencerminkan ketidak-mengertianku atas diriku sendiri. Ketidak-
tahuan atas kekecilan dan kekerdilanku.
Sehingga dengan kandungan kesombongan batin aku memimpikan keadaan-keadaan yang
sedemikian ideal untuk bangsaku: agar pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari
kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan
kekayaan yang telah ditumpuknya, untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku,
untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan
rasa iri dst, dst.
Betapa dungunya, betapa pungguknya doaku yang merindukan rembulan yang berupa perkenan
kabul dari Tuhan. Seolah-olah sedemikian bersahajanya konsep penciptaan alam semesta dan
makhluk-makhluk oleh Tuhan. Seolah-olah perikehidupan ummat manusia itu baru dimulai
kemarin sore tatkala Adam diciptakan mungkin sekitar tak sampai seratus ribu tahun silam.
Seakan-akan para Malaikat tak pernah punya pengalaman mengurusi makhluk-makhluk pra-Adam
18 milyar tahun sebelumnya.
Seakan-akan para Malaikat itu tidak pernah matur kepada Tuhan untuk apa Engkau ciptakan
manusia, yang toh kerjanya cuma merusak bumi dan menumpahkan darah. Seakan-akan tidak
pernah ada kreativitas yang menyangkut fenomena keaktoran Iblis. Kok tiba-tiba aku berdoa
kepada Tuhan dengan cara berpikir sesederhana orang beli kacang di pasar.
Alangkah tak pahamnya aku tentang Agama dan otoritas absolut Tuhan.
***
Dan kelima , sangat memperjelas betapa aku tidak paham Agama. Apalagi Agama yang disebut
Islam. Tulisan
Doa Mohon Kutukan itu bisa disalahpahami oleh orang-orang yang sama-sama tidak paham
Islam sebagaimana aku sebagai doa konyol yang bukan hanya tidak dikabulkan oleh Tuhan,
melainkan bahkan malah bisa jadi mencelakakan Negara dan Bangsa Indonesia.
Mereka bisa dengan sembrono menyimpulkan bahwa gara-gara doa terkutuk itu Bangsa kita
disesatkan oleh Tuhan. Tidak kunjung ditolong untuk keluar dari masalah-masalah, malahan
diperparah. Akal sehatnya diruntuhkan sehingga salah parah dalam memilih pemimpin dan
senantiasa berlaku salah arah dan salah langkah. Harga diri ambruk, mental tumbang, logika
hancur, semakin banyak orang yang bodoh-kwadrat: tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa
mereka tidak mengerti.
Dan senyata-nyatanya aku sendirilah urutan pertama bodoh-kwadrat itu. Semoga masih ada sedikit
ampunan Allah kepadaku. Sekarang saya thimik-thimik mulai belajar alif ba ta Agama sambil
menatap-natap dari jauh orang-orang yang mengabar-ngabarkan sebagai Islam.
Dan ya Tuhanlihatlah dalam sejarah ketidakpahamanku itu kemudian kutulis pula Doa
Mencabut Kutukan ..
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
1 Pebruari 2016
LA
Daur (03)
Si Brutal dan Si Pendamai

Salah seorang saudaraku, sepulang dia dari merantau beberapa tahun di dalam dan luar negeri,
perilakunya agak merepotkan kami sekeluarga. Baik benturan-benturannya dengan kami
sekeluarga, juga dalam kaitannya pergaulan dengan para tetangga dan penduduk sekampung.
Kalau kuingat-ingat, problem saudaraku itu bukan berasal dari rumah kemudian di bawa keluar
rumah. Melainkan bersumber dari keadaan kampung, lantas dibawa masuk ke rumah.
Saudaraku pertama cuma mengeluh soal-soal kepemimpinan desa, ketidak-adilan
kepemerintahannya, kekacauan sosial dan budayanya, pembodohan dalam pendidikan, serta
kelunturan akhlak masyarakatnya. Tahap berikutnya bukan hanya mengeluh sebatas di dalam
keluarga. Ia juga protes, bahkan terkadang sampai tingkat melawan dan memberontak dalam
susunan pengelolaan desa.
Hal itu membuat semacam pertentangan antara pemerintah dan masyarakat desa dengan keluarga
kami. Saudara saya itu sering dengan geram mengatakan bahwa penduduk kampung ini ditimpa
ketidakadilan dan kelaliman dalam waktu yang terlalu panjang tanpa pernah ada solusinya.
Tentu saja pemerintah desa dan tokoh-tokoh lainnya tidak melihat keadaan sebagaimana saudara
saya simpulkan. Bagi mereka semua ini baik-baik saja. Tidak ada yang perlu diubah, tidak perlu
ada perombakan di bidang apapun. Rakyatpun umumnya kalau diajak bicara soal perlunya
perubahan, tersimpulkan bahwa perubahan yang mereka kehendaki sangatlah sederhana:
bagaimana bisa ikut kaya dan sejahtera sebagaimana pemimpin-pemimpin mereka.
***
Kalau aku melihat saudaraku itu dari sisi keharusan kami sekeluarga untuk terlebih dulu
menemukan kesalahan dan kekurangan kami sendiri, maka rasanya perkembangan sikap dan
perilaku saudaraku itu semakin lama memang semakin tidak bisa kami tolong.
Di luar soal-soal ketidakadilan dan runtuhnya moral sosial itu, entah ia belajar apa, bergaul dengan
siapa, dipengaruhi oleh aliran nilai apa, aku kurang mengerti. Ia berubah, sangat berubah, bahkan
hampir terbalik dari yang aku kenal padanya dulu. Ibadahnya meningkat pesat, tapi perilakunya
sungguh tidak kami pahami.
Sebenarnya saudaraku itu cerdas, tetapi mungkin karena semacam kegugupan sosial, ia punya
kecenderungan untuk lebih memilih berpikir sempit dan dangkal di dalam memandang kehidupan.
Ia pandai, tetapi mungkin karena rendah hati maka ia lebih sering memilih ketidak-pandaiannya di
dalam bersikap dan berperilaku.
Ibarat perang, saudaraku itu hampir selalu salah merumuskan siapa musuhnya, atau pada wilayah
apa sasaran pemberontakannya.
Sepak terjangnya sangat dipengaruhi, dan anehnya dipersempit, oleh rasa ke-beragama-an dan
kebiasaan ibadahnya yang tekun dan khusyu. Mungkin karena itu Tuhan menjadi sangat primer di
dalam kesadarannya, sehingga manusia dan semua yang selain Tuhan menjadi sekunder.
Tampak jelas ia sangat mencintai Tuhan, para Malaikat dan Nabi-Nabi serta Rasul-Rasul. Sampai
sering tak tersisa cinta di hatinya untuk sesama manusia. Kepada Tuhan saudaraku itu sangat
lembut, sedangkan kepada manusia yang tersisa adalah kekerasan dan kekasaran.
Di samping kecerdasan intelektual dan ketinggian spiritualnya, ia juga bermental tangguh. Penuh
keberanian. Kadar keberaniannya sedemikian rupa sampai bisa mencapai tingkat kebrutalan. Tidak
hanya kepada orang lain, para tetangga dan penduduk sekampung, tapi juga kepada kami
keluarganya sendiri ia sangat berani, keras, kasar dan terkadang brutal.
Munculnya keberanian saudaraku itu sehari-hari berupa sikap marah-marah, mengutuk-ngutuk,
bahkan dengan berteriak-teriak, selalu menyalah-nyalahkan tanpa bisa mendengarkan suara
apapun selain suara dari dalam kemarahannya dirinya sendiri.
Ia menghabiskan, menumpahkan dan melampiaskan semua kemarahan, kebrutalan dan segala
yang buruk-buruk dan menyakitkan itu kepada kami sekeluarga, kepada masyarakat sekampung
terutama para penggedenya, bahkan seakan-akan kepada semua penghuni dunia.
Adapun yang tersisa padanya berupa kelembutan dan ketakutan, ia persembahkan kepada Tuhan.
***
Sering aku berkesimpulan bahwa saudaraku itu punya cinta dan benci. Cintanya kepada Tuhan,
bencinya untuk kami semua. Andaikan aku ini paham Agama, tentu aku bisa mengerti apa yang
sebenarnya terjadi padanya. Tapi jelas bahwa semua penduduk kampung, lebih dari aku sendiri,
tahu bahwa aku tidak paham Agama.
Dan saya sungguh menyesal kenapa aku tidak pernah benar-benar belajar Agama. Sebab di dalam
seluruh bangunan sikap saudaraku itu bercampur aduk tema kedhaliman sosial, ketidakadilan
pemerintahan, ketuhanan dan ibadah. Meskipun terus terang terkadang berpikir sebaliknya:
jangan-jangan kalau aku lebih mempelajari Agama dan lebih tekun beribadah, lantas aku menjadi
seperti saudaraku ini?
Benar-benar aku kebingungan. Dulu ada salah satu saudara kami yang lain, yang cenderung punya
kedekatan dengan saudaraku yang brutal ini. Tetapi beliau meninggal beberapa waktu yang lalu.
Beliau dijunjung orang sekampung sebagai tokoh perdamaian dan kebebasan, karena bukan
sekedar beliau selalu akrab bergaul sangat dekat dengan semua tetangga dan penduduk di
kampung. Tetapi juga beliaulah jembatan antara masyarakat dengan keluarga kami. Demikian
kesimpulan masyarakat atas peranan beliau. Kalau saudaraku itu Si Brutal, saudara kami yang
almarhum adalah Si Pendamai.
Akan tetapi terus terang di luar itu aku punya pandangan yang agak berbeda. Beliau almarhum ini
sebenarnya justru kurang dekat dengan kami sekeluarga. Kalau sesekali beliau pulang, beliau
selalu membuka pintu lebar-lebar kepada perilaku saudaraku itu. Beliau selalu memanjakannya,
sehingga ia merasa benar dengan sikapnya. Sesungguhnya diam-diam aku tidak pernah benar-
benar merasa aman dengan pola sikap saudara kami itu: di rumah ia selalu membela si brutal,
tetapi di luar beliau suka ngobrol di rumah para tetangga atau di gardu-gardu menceritakan
kelemahan dan kekurangan saudara brutal kami itu. Sering aku mengalami sendiri betapa mereka
semua sampai tertawa terbahak-bahak memperbincangkan saudaraku.
Sebagaimana almarhum selalu memanjakan dan memaklumi perilaku saudara kami, beliau juga
selalu membuka pintu lebar-lebar bagi segala kecenderungan masyarakat dan pemerintahan di
kampung. Beliau disukai dan dipuji oleh saudaraku, beliau juga disenangi dan dijunjung oleh
orang sekampung. Penempatan diri semacam itu sebenarnya hanya mengulur waktu dan
memperparah keadaan. Tidak ada perbaikan pada saudaraku, tak ada pula di masyarakat dan
pemerintahan. Tidak ada perubahan di dalam rumah kami, tak ada pula di dalam kehidupan
penduduk dan pemerintahan kampung kami.
Yang ingin kubisikkan ke telingamu adalah kenyataanku hari ini. Bahwa aku tak bisa
mengakselerasi pengambilan sikap almarhum Si Pendamai, malahan aku cemas jangan-jangan
akan tergeser diriku ini ke kecenderungan Si Brutal.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
3 Pebruari 2016

Daur (04)
Pancasila Oreng Madura

Kalau engkau merasa lelah oleh sesuatu di sekelilingmu atau mungkin malah di dalam dirimu
yang samar-samar, yang remang-remang, yang beribu tafsir meliputinya, sehingga engkau
memerlukan seminggu dua minggu, sebulan dua bulan atau bahkan setahun dua tahun untuk pada
suatu saat tiba-tiba menemukan apa yang engkau cari berikut ini kututurkan kepadamu sesuatu
yang sebaliknya, yang gamblang segamblang-gamblangnya.
Seorang Bapak asal Madura lama tinggal di Saudi Arabia menjadi pelayan Haji, guru Sekolah
Dasar dan pedagang serabutan, tatkala balik dan mau menghabiskan masa tuanya di Pulau Madura
ia tersinggung kepada petugas Kecamatan. Ia merasa dianggap tidak lagi hapal Pancasila oleh
pegawai Negara itu.
Sampiyan jangan meremehkan saya, katanya agak keras nadanya, jangan dipikir saya sudah
berubah menjadi orang Arab, terus Sampiyan curigai tidak hapal Pancasila.
Maaf ini test standard saja, Pak, untuk setiap warga yang akan memperbarui KTP, jawab
pegawai Kecamatan, anak-anak kecil sekarang ini banyak yang tidak hapal Pancasila, kami
khawatir orang-orang tua juga lupa Pancasila.
Si Bapak menaikkan volume suaranya. Pancasila itu hidup mati saya, jiwa raga saya, syariat
dunia akherat saya. Siapa saja yang meragukan bahwa saya tidak hapal Pancasila, saya anggap itu
nantang carok sama saya!
Pegawai kecamatan mencoba menenangkan. Begini saja Pak, daripada kita nanti bertengkar
sungguhan, lebih baik Bapak langsung sebut saja urut-urutan Pancasila.
Belum selesai kalimat si pegawai, Bapak Madura kita langsung dengan tempo sangat cepat
menyebut Pancasila: Satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji, Pak
Lhaaa ya thooo, Sampiyan tidak hapal Pancasila.
Tidak hapal bagaimana, kurang apa, sudah saya sebut satu persatu Pancanya Sila.
Yang Bapak sebut tadi itu Rukun Islam, bukan Pancasila
Si Madura membantah. Lhooo Pancasila itu ya Rukun Islam, Rukun Islam itu ya Pancasila
Ya ndak to Pak. Pancasila sendiri, Rukun Islam lain lagi.
Lho bagaimana Sampiyan ini. Kalau Pancasila tidak sama dengan Rukun Islam, `dak mau saya!
Lho kok ndak mau? Itu wajib bagi setiap warga Indonesia. Kalau Rukun Islam itu urusan kita
sebagai orang Islam.
Tidak bisa. Pancasila adalah Rukun Islam, Rukun Islam adalah Pancasila. Hidup ini harus jelas
dan tegas. `Dak bisa kaki kanan saya berjalan pakai Pancasila, kaki kiri saya melangkah dengan
Rukun Islam.
Si pegawai mencoba mengendorkan situasi. Ia tersenyum diramah-ramahkan kemudian bertanya,
Tapi maaf ya Pak, katanya Bapak punya istri dua.
Ya memang!, si Madura menyahut spontan, Mukeni dan Samiatun. Tapi mereka sudah satu
dalam hati saya.
Tapi kan tetap dua
Dak bisa. Mukeni ya Samiatun, Samiatun ya Mukeni. Sampiyan ini `dak tahu cinta rupanya.
Akhirnya si pegawai Kecamatan merasa bahwa ia tidak akan sanggup memperpanjang perdebatan
dengan jenis orang seperti ini. Pasti akan nambah masalah, tidak mungkin mengurangi atau
apalagi menyelesaikan masalah.
Sebentar, Pak. Tolong tunggu sebentar saja di sini.
Ia pamit. Berdiri, melangkah ke arah ruang dalam kantor Kecamatan. Menemui Pak Camat
langsung.
Ternyata agak lama. Si Bapak Madura hampir saja naik pitam, ia sudah sempat pukul-pukul meja.
Kalau si pegawai lebih lama lagi nongolnya, mungkin dari memukul-mukul meja meningkat
menjadi menggebrak-gebrak meja, dan kecil kemungkinan untuk tidak memuncak menjadi
menendang-nendang dan memecah meja.
Hampir saja ia lakukan itu, kalau saja tidak tiba-tiba ternyata Pak Camat sendiri yang keluar
menemuinya.
Pak Camat menemuinya, mengulurkan tangan menyalaminya, menyapa dengan satu dua kata
Bahasa Arab, si Madura hanya menjawab shadaqallahuladhim !.
Tetapi diam-diam si Bapak Madura ini agak mulai melunak hatinya. Ia merasa terhormat karena
Pak Camat sendiri berkenan langsung menemuinya. Bahkan kemudian ia terheran-heran, Pak
Camat mengajaknya pergi dengan mobilnya. Ia agak salah tingkah.
Ternyata ke rumah seorang Kiai tidak jauh dari Kantor Kecamatan. Harap dimafhumi di Pulau
Madura di setiap RT ada Musholla, di setiap RW ada Masjid dan di setiap Kelurahan ada
Pesantren. Bapak Madura ini merasa lebih terhormat lagi karena akan bertemu langsung dengan
Pak Kiai, apalagi ia ke situ bersama Pak Camat.
Alhasil mereka berdua berjumpa Pak Kiai. Ditemui di ruang tamu Pesantren. Dua orang santri
menangani konsumsi untuk mereka. Pak Camat menyeret Pak Kiai ke pojok agak jauh, kemudian
mereka berbisik-bisik. Si Bapak Madura terkejut karena tiba-tiba terdengar Pak Kiai tertawa
terbahak-bahak.
Mereka berdua bergeser ke kursi tamu, duduk bertiga berhadapan. Pak Kiai kontak sambil masih
agak tertawa bertanya kepada si Bapak Madura: Coba Sampiyan sebutkan Pancasila.
Si Bapak Madura langsung memamerkan pengetahuan dan hapalannya tentang Pancasila.
Pancasila satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji.
Pak Kiai tertawa lagi dan memuji Si Bapak Madura. Shadaqallahuladhim. Benar sekali
Sampiyan ini.
Pak Camat yang kaget. Lho kok benar?
Pak Kiai tertawa lagi. Sampiyan ini sejak jadi Camat malas belajar. Tapi biasa Pemerintah
memang begitu. Kalau rajin belajar itu namanya Santri, bukan Pemerintah.
Saya tidak mengerti, Pak Kiai, kata Pak Camat.
Lhoooo Allah Maha Benar dan benar juga yang dikatakan Bapak tadi itu. Pancasila yang pertama
itu syahadat, artinya bersaksi bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Nomer dua kita shalat tiap hari
lima kali untuk mendidik diri kita agar menjadi manusia yang adil dan beradab. Nomer tiga
organisasi-organisasi masyarakat dan terutama partai-partai politik harus bersatu memberikan
seluruh niat baiknya untuk membangun Negara. Parpol-parpol itu kita beri hak untuk menjadi
arsitek dibangunnya sistem Negara. Untuk itu mereka harus menjaga Persatuan Indonesia, jangan
bersaing untuk kepentingan, jangan menang-menangan satu sama lain, jangan mementingkan
golongannya masing-masing untuk berkuasa. Sebab Sila keempat adalah bangunan Negara, milik
Rakyat yang dipimpin oleh Permusyawaratan dan Perwakilan. Kalau empat Sila itu tidak
terpenuhi, mana mungkin bangsa kita mencapai cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia. Duh-aduuuh, mestinya Sampiyan Pak Camat yang omong begini. Kalau saya
ini Kiai tugasnya kan Nahwu Shorof. Lha Sampiyan Nahwu Shorof `dak tahu, Pancasila juga `dak
ngerti.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
5 Pebruari 2016

Daur (05)
Hati Telanjang Kepada Tuhan

Setelah dua puluh satu tahun putus asa


Sesudah hampir meledak dada dan pecah kepala
Tersisa hati telanjang kepada-Nya
Setelah dua puluh satu tahun salah sangka
Sesudah kebusukan demi kebusukan
Tak kunjung sampai ke puncaknya
Tergeletak jiwa tak berdaya di hadapan-Nya
Berdengung-dengung tanpa henti di kepalaku
Siapa yang menghaturkan Doa Memohon Kutukan itu
Selain hamba bodoh penganiaya diri sendiri
Yang Tuhan mengasihaninya
Yang para Malaikat memprihatininya
Yang Para Nabi dan Rasul menangisinya
Dan Iblis Setan mentertawakannya
Hambalah itu yang lalim kepada diri hamba sendiri
Hamba si hina dina
Hamba kafir yang takabur
Fakir yang putus asa
Menindihkan gunung ke punggungnya
Menimpakan alam semesta ke pundaknya
Membesar-besarkan diri dengan tanggungan yang tak sanggung disangganya
Berdengung-dengung memecah kepalaku
Kibriya taruh di atas kepala seluruh berat beban dunia dan alam semesta
Keangkuhan mempertahankan tegaknya pohon-pohon-Mu di dunia
Wahai Tuhan Mutakabbir yang takabbur adalah jubah-Mu
Betapa sederhana yang Engkau tunggu dari hamba-Mu
Padahal di dalam nurani dan akalku, nasehat-Mu amat sederhana
Bertindaklah semampumu saja. Tak usah berjuang membela-Ku
Karena engkaulah yang membutuhkan keselamatan di depan kuasa-Ku
Wahai Maha Dermawan, terimalah kesombonganku sebagai penghaturan kesetiaan
Terimalah putus asaku sebagai batas perwujudan cinta
Terimalah tangis cemas hamba, kecemasan dalam keyakinan hamba
Bahwa siapapun saja yang menggerakkan kaki dan tangannya
Untuk menumbangkan pohon-pohon-Mu, Engkau akan lumpuhkan gerakannya
Engkau giring agar mereka bertabrakan dengan patung-patung batu
Dengan berhala tahayul dan monumen materi, bangunan mereka sendiri
Wahai Maha Merdeka, Engkaulah sumber dan asal usul
Segala ilmu yang mereka namakan demokrasi dan independensi
Di mana setiap hamba bukanlah dirinya, melainkan wujud perbuatannya
Tak ada pahala tak ada dosa selain dari perbuatannya sendiri
Tetapi apabila mereka bersekutu menutupi kemerdekaan absolut-Mu
Engkau perkecil jumlahnya, Engkau kacaukan perkumpulannya
Engkau pecah belah karena tidak adil pikirannya
Wahai Rahman cinta-Mu meluas tak terhingga
Wahai Rahim yang kasih sayang-Mu mendalam tiada tara
Sepenuh-penuhnya hak-Mu segala santunan atau kutukan
Semata-mata milik-Mu kegembiraan atau kesengsaraan
Lumpuh hatiku menyaksikan para pemakan bangkai
Yang menikmati penderitaan saudara-saudarinya sendiri
Tetapi kuyakini keadilan dan pembalasan-Mu
Engkau lumpuhkan kaki para pendusta persaudaraan
Para pemalsu wajah dan para saudagar cinta
Para penunggang keledai kesetiaan dan kuda kepatuhan
Jika Rabiah memuaikan badannya hingga memenuhi neraka
Takkan Engkau biarkan mereka memenuhi bumi, kota dan desa pasar dan jalanan, kantor, gedung-
gedung, darat dan lautan
Karena dengan mudah Engkau perluas neraka-Mu
Engkau potong tangan mereka yang menghina ketulusan-Mu
Engkau robek-robek tirai dusta dan tipu daya mereka
Engkau putus-putus dan obrak-abrik tali jaringan kebohongan semesta mereka
Demikianlah hamba bertelanjang hati
Cukup sudah kesabaran-Mu atas para penyelingkuh cinta-Mu
Takkan lagi Engkau perkenankan keleluasaan
Bagi kebudayaan, politik dan peradaban yang bertakabur kepada-Mu
Engkau sesakkan nafas para pelakunya, Engkau bikin cemas hati mereka
Engkau buntu pikiran mereka, Engkau macetkan mesin syirik lingkar katulistiwa
Engkau buka kedok kebodohan para cerdik pandai
Engkau lunglaikan dan bumerangkan setiap rumusan rekayasa
Engkau kuakkan semua yang mereka rahasiakan
Engkau hentikan setiap kereta pemerintahan manusia
Yang tidak mengantarkan para penumpangnya ke rumah ridlo-Mu
Wahai maha pencipta, maha penata, maha penghampar karya agung
Jauhkanlah kemenangan dari hamba-hamba yang tak menghamba
Yang menegakkan keunggulan dengan modal kehinaan
Wahai gelapkan gedung-gedung mereka
Runtuhkan kantor-kantor mereka
Nerakakan rumah-rumah mereka
Ambrukkan tembok-tembok mereka
Wahai demikianlah puncak karier hamba
Hamba pengemis yang berjongkok di depan gerbang-Mu
Hamba persembahkan ketidakberdayaan dalam perjuangan
Hamba haturkan keterpurukan dalam peperangan
Hamba pasrahkan tak terusirnya putus asa dalam iman
Hamba tangiskan ketidaksabaran dalam penantian
Sisa kekhalifahan hamba tinggal hati yang telanjang
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 5 Pebruari 2016.

Daur (06)
Ia Saudaraku. Tetap Saudaraku
EMHA AINUN NADJIB 8 Februari 2016
#Daur #Esai
Sesungguhnya saya pribadi tidak bisa terima bahwa semua orang sekampung memberikan gelar
yang tak bisa ditawar lagi kepada saudara saya itu: brutal, radikal, fundamentalis, bahkan teroris,
tidak berperikemanusiaan, dan segala macam gelar yang terburuk.
Benar sekali ia brutal. Ia radikal. Ia fundamentalis. Pada saat-saat tertentu ia melakukan sesuatu
yang membuat ia disebut teroris.
Tetapi, itu semua, ada sebabnya.
Itu semua, adalah akibat, yang merupakan produk dari sebab.
Wahai saudara-saudara para penduduk dan pemerintah di kampungku, serta wahai saudara-
saudaraku seluruh ummat manusia, juga wahai para Jin, Setan, Malaikat dan semua jenis makhluk
ciptaan Tuhan di bumi maupun di mana saja: itu semua, ada sebabnya. Itu semua, adalah akibat,
yang merupakan produk dari sebab.
***
Sebabnya adalah penjajahan, tipu daya dan pembodohan yang dilakukan oleh sebagian penduduk
dunia atas sebagian penduduk lainnya di dunia. Demikian juga oleh sebagian penduduk kampung
atas penduduk lainnya di kampung.
Penjajahan yang semua terang-terangan, kemudian penjajahan yang disamarkan, dan sekarang
penjajahan yang wujudnya sama sekali bukan penjajahan, sehingga yang dijajah justru merasa
dijunjung dan disantuni. Yang terakhir itu bisa berlangsung karena cara utama penjajahan
mutakhir adalah tipu daya melalui pendidikan, hukum, kebudayaan dan kepalsuan-kepalsuan
politik. Bisa sedemikian mulus dan dominannya penjajahan dan tipu daya itu karena syarat
strategis untuk menjalankannya, yakni proses pembodohan global, melalui penguasan-penguasan
nasional, regional dan lokal berjalan sangat mulus.
Metode dan strategi yang paling mendasar dari penjajahan yang wujudnya adalah santunan dan
kasih sayang, adalah pola berpikir yang disembunyikan oleh para penjajah. Yakni pola Dajjalisme,
yakni tipu daya atas cara berpikir manusia sedunia: Neraka diyakinkan sebagai sorga, dan sorga
diyakinkan sebagai neraka.
***
Bahkan tahukah Anda bahwa pada waktu-waktu terakhir sekarang ini, kecanggihan penjajahan,
tipu daya dan pembodohan itu membuat saudara brutalku itu sering mengutuk dan mengamuk
kepada justru kami sekeluarganya sendiri.
Saudaraku itu seakan-akan pembenci para penjajah, tetapi sasaran amukannya adalah keluarganya
sendiri. Saudaraku itu tepat ketika menyatakan bahwa selama ketidakadilan ini tak berhenti
menimpa penduduk kampung dan ummat manusia di bumi, maka kemarahanku ini adalah
kewajaran hidup. Tetapi tetap saja sasaran amukannya adalah keluarga kami sendiri.
Para penguasa tipudaya dan lingkaran-lingkaran rahasianya di kampung kami sejak lama
mengkawatirkan ketangguhan hidup keluarga kami. Terutama karena ketangguhan itu, di samping
berasal dari jenis karakter kemanusiaan kami, juga diperkuat oleh kepercayaan yang dianut oleh
keluarga kami.
Maka satu-satunya jalan untuk melawan itu adalah dengan mengadudomba kami sekeluarga. Dari
soal-soal yang kecil-kecil hingga tema-tema yang besar dan mendasar keluarga kami diprovokasi
dan diadudomba. Hasilnya dua. Pertama, keutuhan keluarga diretakkan. Kekuatan kepercayaan
kami dilunturkan.
Demikianlah maka yang berlangsung kini adalah tuduhan terburuk menimpa saudaraku, dan nama
baik seluruh keluarga kami dicoreng-moreng semena-mena semau-mau para penipu daya. Dengan
situasi seperti itu, maka mereka dengan mudah merampok kekayaan-kekayaan kami secara
tersamar melalui berbagai cara yang diterapkan oleh penguasa dunia, yang pelaksana lapangannya
adalah para penguasa di kampung kami.
***
Dengan ini aku menyatakan dua hal kepada siapa saja, terutama kepada pelaku penjajahan, tipu
daya dan pembodohan pada skala seberapapun dan pada level apapun.
Bahwa saudaraku si brutal itu adalah saudaraku, dan tetap saudaraku.
Aku dan keluargaku tidak sependapat dengannya dalam sangat banyak hal yang mendasar maupun
yang tidak mendasar. Tetapi ia tetap saudaraku.
Aku dan keluargaku sangat tersiksa oleh perilakunya dan ada saat-saat kami kehabisan kesabaran
atasnya, tetapi ia adalah saudaraku. Dan tetap saudaraku.
Aku dan keluargaku sangat banyak bertentangan dalam hal nilai-nilai kemanusiaan,
kealamsemestaan dan ketuhanan. Dan situasi itu bisa saja membuat kami akan berkelahi bahkan
berperang sendiri di antara kami. Tetapi ia adalah saudaraku. Dan tetap saudaraku.
Di antara aku dan keluargaku sendiri menjadi korban dari perilakunya, sampai ke tingkat nyawa.
Tetapi ia adalah saudaraku. Dan tetap saudaraku.
Kalau ia berlaku salah, kalau ia mengamuk, kami sekeluargalah yang paling menderita. Dan
biarlah kami sekeluarga yang menanganinya. Para tetangga tidak usah mengejeknya, jangan
mentertawakannya, jangan menghina dan merendahkannya.
Aku memaafkan almarhum saudaraku yang suka bersama para tetangga mentertawakan saudaraku
itu. Aku memaafkan, melupakan dan menghapusnya.
Akan tetapi, ini hal kedua yang saya nyatakan: para tetangga yang meneruskan tertawa terbahak-
bahak, mengejek, melecehkan, merendahkan dan menghina saudaraku dan kami sekeluarga,
kunyatakan bahwa besok pagi ada matahari, dan segala sesuatunya belum selesai.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
6 Pebruari 2016

Daur (07)
Anak Asuh Bernama Indonesia
Engkau tidak perlu mubadzir menghabiskan umur menunggu rasa kecewa dan kecele oleh
kehidupan, tidak perlu berpanjang-panjang melewati jalan kebingungan, kubangan frustrasi atau
padang pasir keputusasaan untuk mempercayai dan memakai berikut ini dalam kehidupanmu:
Bahwa keberhasilan dan kebahagiaan hidupmu tidak terutama tergantung pada keadaan-keadaan
yang baik atau buruk di luar dirimu, melainkan tergantung pada kemampuan ilmu dan mentalmu
menyikapi keadaan-keadaan itu.
Misalnya engkau masih muda, jalanan ke masa depan masih jauh dan kau lihat ada banyak
matahari berjajar di cakrawala, tetapi keadaan di sekitarmu rusak binasa tak terkira, penuh
penyakit akut, bertaburan racun dan segala macam zat negatif yang membunuh akal, batin, mental
dan bahkan jasadmu.
Atau engkau sudah tua, udzur dan siap-siap berhijrah ke kehidupan yang berikutnya. Tetapi
keadaan yang telah kau temani berpuluh-puluh tahun bukan bertambah baik, melainkan bertambah
hancur luluh lantak. Engkau sekeluarga bersama istri dan anak-anak cucu-cucumu mungkin tidak
sangat mendasar penderitaannya. Tetapi masyarakatmu, Negaramu, kebudayaan dan peradaban
yang mengepungmu, sama sekali bukan bahan-bahan yang enak dikenang nanti sejak di kuburan
hingga ke alam barzakh.
***
Engkau masih muda belia atau sudah tua renta terkurung oleh posisi di mana engkau tak bisa
berbuat apa-apa atas situasi-situasi di sekelilingmu. Keadaan yang jauh lebih rusak dari yang
pernah engkau pelajari atau bayangkan tentang kerusakan. Situasi gila yang lebih gila dari segala
kegilaan yang pernah engkau saksikan dan pahami.
Susanana kemanusiaan, suasana politik, kebudayaan, bahkan yang kelihatannya sudah dilandasi
dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, yang lebih hina dan rendah dibanding segala kehinaan dan
kerendahan yang pernah engkau gambar di alam pikiran dan pembelajaran hidupmu.
Karena engkau orang yang bersungguh-sungguh dalam memikirkan dan merenungi segala
sesuatu, maka engkau merasa sangat tertekan oleh misalnya situasi dunia di mana manusia
mengagung-agungkan negara dengan meyakini bahwa ia lebih berkuasa dari kuasa Tuhan.
Para penguasa mendewa-dewakan jabatannya sambil mempercayai bahwa kekuasaannya melebihi
hakekat pergantian siang dan malam. Negara dan para penguasa yang duduk di singgasana
menyangka dirinya berposisi di atas para Nabi dan Rasul yang resonansi amanat di tangannya
berlaku sampai hari kiamat.
Bahkan mereka berpikir bahwa Tuhan bukan hanya tidak berkuasa atas diri mereka, lebih remeh
dari itu: Tuhan bisa diperdaya, dimanfaatkan, ditunggangi, diregulasi, dimanipulir, diperalat,
dijadikan properti kamuflase, pemalsuan dan penggelapan. Tuhan diangkat menjadi Kepala Dinas
pengabulan doa, merangkap Kepala Divisi Intelegen yang tugasnya menyembunyikan kejahatan
para penguasa, atau menutupi aib-aib mereka.
Itulah sebabnya mereka sangat percaya diri untuk menyelenggarakan penjajahan tak henti-
hentinya, dengan menggenggam nama Tuhan dan seluruh staf-Nya di seluruh alam semesta
sebagai alatnya.
Mereka menerapkan tipu daya yang terus menerus di- upgrade metode dan strateginya, dengan
mengolah, membolak-balik, merekayasa dan memanipulir nilai-nilai Tuhan, ajaran-ajaran-Nya,
kalimat-kalimat-Nya, untuk kepentingan pragmatis kepenguasaan mereka atas seluruh aset
kekayaan bumi.
Mereka menjalankan proyek pembodohan sangat massal di seluruh permukaan bumi, melalui
sekolah-sekolah dan universitas-universitas atau lembaga-lembaga kependidikan di luarnya,
terutama juga melalui media massa, memanfaatkan kelemahan mental para petinggi negara,
menunggangi inferioritas karier kaum cerdik pandai, serta mempermainkan rahasia keserakahan
dunia para pemimpin agama.
***
Suasana rusuh seperti itulah yang dalam waktu yang terlalu lama meracuni ruang batin
kemanusiaan sangat banyak orang, termasuk saudaraku yang beberapa kali kuceritakan di tulisan-
tulisan sebelumnya. Jiwa saudaraku itu terbakar di setiap siang dan membara di setiap malam,
sehingga hidupnya dipenuhi oleh kemarahan dan terkadang amukan.
Pernah aku omong sangat pribadi dengan saudaraku itu. Kau mau apa? Kamu bunuh semua
orang dholim itu dari Istana Negara hingga Balai Desa? Berapa jumlah mereka? Berapa tahun atau
berapa puluh atau ratus tahun yang kau perlukan untuk membunuhi mereka satu per satu, atau
sepuluh per sepuluh, atau dengan bom-bom dahsyat seratus per seratus? Sedangkan temanmu
kemarin melakukan bom bunuh diri dan hanya dirinya sendiri yang mati oleh bom yang
disandangnya?
Saudaraku itu sangat yakin akan kewajiban nahi munkar, mencegah atau melawan segala
kemunkaran, penjajahan, ketidakadilan, kecurangan, penipuan massal oleh media-media
komunikasi. Seberapa skala yang ia mampu? Sekampung? Sekecamatan? Sekabupaten seprovinsi?
Atau dari Sabang hingga Merauke? Atau di seluruh permukaan bumi?
Seberapa banyak mesiumu? Bagaimana strategi perangmu? Sudah tepatkah pengenalanmu
terhadap peta medannya? Sudah kau hitung kekuatan musuh-musuhmu? Sudah kau pilah berapa
orang di berbagai level dan segmen yang wajib dibunuh, yang cukup dipotong tangan atau
kakinya, yang hanya dipenjara, atau yang masih bisa kau ajak memasuki kebenaran yang kau
yakini? Mana draft pemetaan perang yang kau selenggarakan?
Atau kau sekedar akan menyelenggarakan revolusi, atau mungkin lebih lunak: reformasi? Atau
penggal kepala kedhalimannya saja: kudeta? Siapa nanti tokoh nomer satu pemerintahanmu?
Siapa saja menteri-menteri dan pejabat-pejabat kuncimu? Mana, perlihatkan kepadaku susunan
kabinetmu.
***
Aku akan mencari waktu untuk membeberkan apa yang kumaksudkan itu secara lebih rinci,
sekaligus meluas dan mendalam. Tetapi hari ini aku titip dua pertanyaan kecil, untuk kau bawa
dan olah dalam pikiranmu, atau kau buang itu sepenuhnya merupakan kedaulatanmu.
Seberapa jauh, seberapa luas, seberapa menyeluruh, seberapa mendasar kelak Tuhan melalui staf-
Nya menagih tanggung jawabmu tentang semua hal-hal besar yang membuatmu jadi pemarah dan
pengamuk itu.
Bagaimana kalau mulai nanti malam engkau coba elus-elus dengan kelembutan hatimu dan
kejernihan pikiranmu kata-kata berikut ini: Indonesia adalah salah satu dari sekian anak
asuhmu.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 7 Pebruari 2016

Daur (08)
Khoiron? Yaroh
Syarron? Yaroh
EMHA AINUN NADJIB 10 Februari 2016
#Daur #Esai
Kalau Allah bikin pasal Siapa melakukan kebaikan meskipun sezarrah akan memperoleh
balasannya, dan siapa yang melakukan keburukan meskipun sezarrah akan memperoleh
balasannya menurutmu bagaimana prosedur dan eksekusi teknisnya?
Apakah kalau engkau memukul seseorang maka sesaat berikutnya engkau akan dipukul secara
sepadan dan di tempat yang sama, entah siapa yang memukul? Apakah kalau aku mengutil
sejumlah uang maka sesaat berikutnya aku akan kehilangan uang sejumlah yang sama? Apakah
kalau seseorang menyakiti hati seseorang lainnya maka mendadak berikutnya ia juga akan disakiti
hatinya entah oleh orang yang ia sakiti atau oleh lainnya?
Dalam hal ini perlu dicatat atau syukur bisa dirumuskan beberapa hal. Apakah suatu perbuatan
jahat akan meresikokan pembalasan perbuatan jahat yang sama jenis dan kadarnya? Apakah asal-
usul pembalasan kejahatan adalah sama dengan sasaran kejahatan sebelumnya? Siapa yang berhak
menjadi pelaku pembalasan kejahatan?
Berapa lama pembalasan atas kebaikan atau kejahatan itu akan terjadi? Langsung? Beberapa jam
kemudian? Besok atau lusa atau minggu depan? Atau bulan depan, tahun depan, sepuluh tahun
lagi, kelak beberapa waktu sebelum si jahat mati, ataukah kelak di akherat?
Apakah lamanya waktu berbanding lurus dengan tingkat atau kadar kejahatan yang diperbuatnya?
Apakah semakin tinggi nilai kejahatan yang diperbuat akan dibalas semakin cepat, ataukah justru
semakin lambat? Apakah lambat atau cepatnya pembalasan atas kejahatan berbeda antara
kejahatan pribadi dengan kejahatan lembaga, institusi, kelompok, atau bahkan misalnya yang
dilakukan secara struktural oleh kelompok penguasa di sebuah negara?
Apakah balasan atas kejahatan yang bersifat kontan atau tunda itu berkaitan dengan jenis
kejahatannya, kadarnya, jenis karakter dan sejarah pelaku kejahatan itu, ataukah ada kriteria-
kriteria tertentu yang tidak mungkin diketahui dan dirumuskan oleh pikiran maupun kehendak
manusia termasuk kemauan pihak yang dijahati?
Masih banyak lagi liku-liku, lipatan-lipatan, putaran dan tikungan, detail, labirin, dimensi-dimensi
yang samar, serta berbagai titik atau simpul fenomena nilai beserta anomali-anomalinya, yang
mungkin perlu dicari, meskipun mungkin banyak yang tak kan pernah bisa dipetakan dan
dirumuskan.
***
Apakah orang yang rajin berbuat baik tidak memperoleh balasan kecuali kebaikan juga di dalam
lingkup waktu yang sama dengan perbuatan baiknya?
Bagaimana kalau ternyata banyak fakta bahwa orang yang berbuat baik justru mendapat balasan
keburukan yang bahkan berlipat-lipat? Bahkan kenyataan itu tidak berakhir sampai tiba
kematiannya? Lebih dari itu: kebaikan-kebaikannya tak pernah ditorehkan di lembaran sejarah
pada ingatan orang banyak, dan justru ia dicatat secara sangat seksama sebagai orang buruk?
Apakah orang yang hidupnya bermanfaat baik secara sosial dipastikan mendapatkan manfaat-
manfaat kebaikan juga dari lingkungan sosialnya, pada interval waktu yang sama antara produk
manfaatnya dan pendapatan manfaatnya dari semua yang ia beri manfaat?
Bagaimana kalau terdapat sangat banyak contoh dalam kehidupan bahwa sampai ia tinggal nama
di nisannya, tidak dicatat oleh siapapun produksi-produksi kemanfaatannya? Dan jika pun ada
fakta kemanfaat itu dalam kehidupan masyarakat luas: namun tidak dikaitkan dengannya sebagai
pelaku kebaikan yang penuh manfaat?
Apakah orang yang memperbuat kemashlahatan kepada sesama manusia dan rajin beribadah
kepada Allah, konstan menjaga iman dan akhlaknya, tidak memperoleh nasib apapun kecuali
kemudahan hidup, kemakmuran rumah tangga, kemudahan usaha, citra sosial yang baik, sukses
perjuangan hidupnya dan senantiasa mendapat perlindungan dari Allah dari bahaya-bahaya yang
ditimbulkan oleh sesama manusia?
Bagaimana kalau engkau sendiri mengalami bahwa ketekunanmu menyebarkan kemashlahatan itu
tidak membuat orang banyak mempercayaimu? Bahwa kekhusyukan dan kerajinan ibadahmu
tidak membuatmu punya citra baik di mata khalayak ramai?
Karena, misalnya, bagi masyarakat sekelilingmu orang baik adalah orang yang suka bagi-bagi
uang, menyumbang pembangunan masjid atau rutin berbuka puasa dengan anak-anak yatim di
Bulan Ramadlan, meskipun uang yang dibagi-bagi itu adalah hasil pencurian atas hak kekayaan
dan harta masyarakat yang menjunjung-junjungnya?
***
Dan orang-orang yang berbuat keburukan, merugikan orang lain, menyebar kemudharatan,
menaburkan penderitaan dan menyebabkan kesengsaraan banyak orang apakah mereka tidak
akan menjumpai apapun kecuali langkah yang keserimpet-serimpet, perjalanan hidup yang penuh
kesulitan, bertemu dengan yang serba mencelakakannya, jauh dari kegembiraan dan kebahagiaan,
dan akhirnya terjerembab dalam kehancuran?
Bagaimana kalau engkau justru dikepung oleh kenyataan-kenyataan sosial bahwa orang-orang
macam itu malah dijunjung dan dipuja-puja oleh masyarakat? Baik karena disinformasi maupun
karena rusaknya logika berpikir masyarakat? Bagaimana kalau para penjahat politik, para
perampok harta rakyat yang tak kentara, para perusak akal sehat dan penghancur logika itu justru
dilantik oleh pandangan umum sebagai pahlawan?
Apakah orang atau kelompok yang menganiaya, yang menjajah, yang menipudaya, yang
menginjak-injak hidup banyak orang, hidupnya akan terbanting-banting, jatuh dan terjerembab,
terlunta-lunta, sengsara hatinya, ambruk keluarganya, kemudian mati dalam keadaan yang terhina
Bagaimana kalau permukaan bumi ini sangat banyak dihuni oleh pelaku-pelaku kelaliman
structural dan penggerak-penggerak system pembodohan danpemiskinan, yang kehidupan
keluarganya kasat mata sakinah mawaddah warahmah gemah ripah loh jinawi?
Sebaliknya mereka yang dianiaya, dijajah, direndahkan, ditipu dan dihina, disongsong oleh
keberkahan hidup, justru tidak sehat raganya, sakit-sakitan tubuhnya, uring-uringan jiwanya, sama
sekali tidak sakinah keluarganya, jauh dari sejahtera penghidupannya, perjuangan hidupnya seolah
dihindari oleh kemudahan, bahkan luluh lantak terbengkalai dan terjerembab karier hidupnya?
***
Sedangkan referensi dari Tuhan sangat efisien: yang berbuat baik akan yaroh, yang berbuat buruk
juga
yaroh . Ya. Hanya yaroh . Ia melihat (hasil perbuatannya).
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Februari 8 Pebruari 2016

Daur (09)
Kehancuran Tanpa Ralat
EMHA AINUN NADJIB 11 Februari 2016
#Daur #Esai
Bagaimana kalau engkau naik motor bersama istri dan dua anak kecilmu, motormu diserempet
mobil. Motormu rusak di atas 50%. Istrimu luka agak parah. Anak bayimu gegar otak ringan.
Kakaknya Alhamdulillah tidak terkena suatu apa.
Mobil yang menyerempetmu itu dikendarai oleh anak petinggi negara. Karena menyerempet
motormu, mobil itu tak bisa dikendalikan sehingga menabrak pohon. Salah seorang
penumpangnya meninggal dunia. Beberapa yang lainnya luka ringan. Kecuali sopirnya yang sakit
parah dalam dadanya karena terbentur setir.
Polisi yang bertugas akhirnya tahu punya siapa mobil itu. Juga tahu bahwa yang meninggal adalah
salah seorang putra pejabat negara itu. Ini peristiwa serius. Tidak ada manusia siapapun di muka
bumi ini yang mau kehilangan anggota keluarganya. Apalagi karena kecelakaan. Itu mengubah
secara sangat mendasar dan hampir total susunan pikiran, atmosfir batin dan struktur kesadaran
siapapun yang mengalaminya.
Maka kemudian dalam proses penanganan hukum kecelakaan itu, harus engkau yang disalahkan.
Segala pemutarbalikan dan manipulasi fakta berlangsung dan terasa sebagai perjuangan
kebenaran, demi membela anak yang mati. Subyektivisme dan kepentingan sepihak menjadi alur
utama proses hingga ke pengadilan.
***
Engkau tidak punya saksi kecuali pernyataanmu sendiri tentang yang engkau alami. Tak seorang
pun yang ketika itu berada di tempat kejadian bersedia terlibat bersaksi. Karena berbagai macam
sebab: tidak mau terlibat kasus hukum. Tidak mau menjadi saksi yang jujur tapi nanti oleh
kekuasaan aparat hukum dan pengadilan malah dituduh memberikan kesaksian palsu.
Serta berbagai sebab dan latar belakang yang lain: trauma terhadap budaya hukum negara kita.
Tidak mau habis waktu untuk terseret proses hukum. Sedangkan untuk cari nafkah sehari-hari saja
sudah membuat hatinya hampir pecah dan pikirannya buntu.
Bagi khalayak ramai, peristiwa kecelakaan semacam itu tidak ada urgensinya untuk dipelihara
dalam ingatan. Begitu kegaduhan di jalanan itu berlalu, mereka pelan-pelan atau bahkan langsung
melupakannya. Jangankan serempetan antara mobil dengan motor. Meskipun ada ratusan bom,
walaupun ada uang trilyunan dicuri oleh Pemegang Amanah Rakyat, biarpun ada Pembesar
Negara omong besar dan janji besar kemudian bohong besar dan ingkar besar, pun sudah tidak
menjadi ingatan utama masyarakat.
Publik sudah selalu melupakan segala sesuatu yang sangat besar, bahkan yang ajaib, yang dalam
segala teori ilmu, pengetahuan dan pengalaman sejarah: mustahil dilupakan. Keajaiban sudah
beralih ke wilayah lupa itu sendiri. Rakyat negeri ini lupa secara ajaib, acuh tak acuh secara ajaib,
salah sasaran menyembah secara ajaib, salah tembak kutukan secara ajaib.
Sepanjang sejarah sejak Nabi Adam ada dua mesin manusia: akal sehat dan akal tidak sehat. Di
abad terbaru ini ada mesin canggih ketiga: yakni akal ajaib. Sedemikian ajaibnya akal bangsa
terutama negeri ini sampai-sampai yang tertinggal hanyalah keajaiban, sedang akalnya hilang.
Dominasi keajaiban dan hegemoni lupa serta hampir sirnanya logika dan kesadaran membuat
rakyat, masyarakat, publik, kelompok, bahkan per manusia, membuat mereka sama sekali tidak
bisa membedakan lagi mana hak mana kewajiban. Mana atas mana bawah. Mana kiri mana kanan.
Mana baik mana buruk. Mana benar mana salah. Mana mulia mana hina. Mana malu mana
bangga.
Bahkan sudah menjadi sangat samar-samar perbedaan antara Tuhan, Satria Piningit, Imam Mahdi,
Ratu Adil, Preman, Boneka dan Robot. Sudah direlakan secara akal pikiran maupun kejiwaan
bahwa seorang budak dilantik sebagai Nabi. Seorang badut dilantik sebagai Rasul. Seorang
Kumprung dinobatkan sebagai Dewa. Seorang Pekatik dijunjung sebagai Raja.
***
Dan engkau, sehabis peristiwa serempetan itu, meringkuk dalam kesengsaraan hidup, tanpa ada
batas kapan kira-kira ujungnya.
Engkau didenda, atau dihukum kurungan. Motormu tak tercover karena kau tak punya biaya.
Pekerjaanmu terbengkalai. Keluargamu ambruk. Istri dan anak-anakmu bekerja dan hidup darurat.
Ada di antara familimu bersimpati dan sedikit-sedikit menolongmu. Tapi sebagian besar dari
saudara-saudara sedarahmu menghindar dari kewajiban untuk menolong. Atau karena mereka
sendiri tak kalah susah dan repotnya dengan hidup mereka masing-masing.
Peran-peran sosialmu di masyarakat jadi mandeg. Di takmir Masjid. Di Paguyuban itu. Sejumlah
fungsi keorganisasian jadi macet. Nama baikmu terbelah. Sebagian teman-teman, tetangga-
tetangga dan masyarakat umum bersimpati kepadamu. Tetapi tak kurang di antara mereka yang
turut menyalahkanmu, menegasi eksistensimu, bahkan mensinisimu dan membuangmu dari peta
hati dan kesadaran mereka.
Posisimu yang terpuruk dalam kehidupan dunia, yang hanya satu kali ini, tidak pernah dilihat,
diperhatikan, apalagi direspon atau dibela oleh siapapun. Kehancuran tak diralat oleh bangunan
nilai kehidupan ummat manusia, meskipun di Negara Hukum. Sampai usiamu tua, sampai
dipanggil Tuhan ke rumah aslimu, sejarah dan ingatan masyarakat tetap mencatatmu sebagai
orang yang bersalah dan cacat hukum.
Dan mereka yang melalimimu, yang mencampakkanmu sekeluarga ke lembah yang gelap, dicatat
oleh sejarah sebagai figur yang sebaliknya. Mereka orang menang. Mereka orang yang sukses.
Mereka orang yang kaya dan sejahtera. Sekian bersaudara ada yang menjadi pejabat negara, ada
yang menjadi tokoh cendekiawan, ada yang menjadi ustadz, ada yang menjadi pengusaha kaya
raya. Pengusaha kaya raya ini pada suatu hari mengeluarkan biaya untuk merenovasi masjid
tempatmu dulu menjadi anggota takmirnya, menjadi masjid baru yang lebih besar dan jauh lebih
megah.
Dan salah satu anakmu menjadi muadzdzin di masjid itu. Anakmu yang lain menjadi karyawan di
perusahaan si kaya raya itu.
Apa katamu? Bagaimana bunyi orasi pikiranmu dan nyanyian di hatimu?
Engkau sukses atau gagal? Engkau kalah atau menang?
Apa itu sukses? Apa itu menang?
Kalau engkau sukses, nikmatilah sukses. Kalau engkau menang, kenyamlah menang. Kalau
engkau gagal dan kalah, siapa yang menolongmu?
Tuhan. Tuhan pasti menolong setiap hamba-Nya yang berposisi akhlak untuk ditolong. Tapi
kapan? Bagaimana bentuknya? Seberapa interval waktunya? Sama atau tidak dengan bentuk atau
wujud yang kau bayangkan tentang kemenangan dan kesuksesan?
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogyakarta 9 Pebruari 2016

Daur (10)
Berzigzag Rally Panjang Motor Nasib
Kalau engkau merasa berjaya dan menang, aku wajib mengajakmu memasuki makna kejayaan dan
kemenangan yang lebih inti dan sejati. Terus menerus tanpa henti meng-inti dan men-sejati.
Kalau engkau merasa gagal dan kalah, aku wajib, sebagaimana yang kulakukan atas diriku sendiri,
menghajarmu dengan kesadaran yang lebih pedih dan menyakitkan tentang kegagalan dan
kekalahan.
Atau kita lakukan sesuatu yang lain sama sekali. Macet pekerjaan fisik, kita beralih ke rohani.
Rohani lumpuh, pindah ke berpikir. Berpikir buntu, pindah ke keringat. Keringat membuat kita
terengah-engah, gendong anak, diayun-ayun dengan lagu derita yang penuh kesedihan namun
diam-diam menumbuhkan kegembiraan yang aneh.
Dan seterusnya. Kita bertarung melawan dinamika diri kita sendiri. Kita taklukkan jiwa kita
sendiri. Kita atur mental kita, mesin berpikir kita, lalu lintas hati kita. Kita khalifahi pengalaman
hidup ini sampai muncul samar-samar kehadiran dan keterlibatan Sang Penyayang di setiap sekon
perjuangan kita.
Aku tidak menganjurkan dari tengah kesulitan hidupmu itu engkau mencariku atau siapapun,
mencari siapapun di luar dirimu, kecuali tajalli-nya Allah dan berlangsungnya peran syafaat
kekasih kita bersama Muhammad, dari era Nur hingga zaman bin Abdullah menuju kelak Nur
kembali.
Engkau memperingatkan dirimu sendiri. Engkau menceramahi dirimu sendiri. Engkau menasehati
dirimu sendiri. Di dalam galih jiwa dan akal pikiranmu, engkau meneguhkan bahwa keadaan yang
mengerikan itu sama sekali tidak harus menjadi beban bagi hidupmu. Karena menurut janji
Kekasih kita, beban hidupmu hanyalah sebatas yang engkau sanggup menyangganya.
Engkau wanti-wanti dirimu sendiri: cukuplah engkau tekuni pencarian dirimu di dunia sampai
kelak berjumpa dengan-Nya, cukupkan engkau tingkatkan pembuktikan kasih sayang dan
tanggung jawabmu kepada keluarga, betapapun sulitnya itu, bahkan seringkali serasa mustahil.
Dan jika pikiran membawamu mengembarai bahkan memasuki neraka dunia yang mengerikan itu,
bersegeralah memohon ampun kepada Tuhanmu, kemudian mewakilkan masalah itu kepada-Nya.
Engkau tetapkan undang-undang sosial di dalam dirimu, bahwa satu kesalahanmu jauh lebih besar
dari seribu kebenaranmu. Sejumput keburukanmu mensirnakan segunung kebaikan yang kau
lakukan bertahun-tahun.
***
Hingga satu jam sebelum tengah malam, jelas bagimu bahwa untuk berikhtiar bagaimana
membayar hutangmu, engkau harus menunggu besok pagi. Apalagi masalah-masalah lain yang
juga membelitmu: bagaimana mungkin di tengah malam buta bisa engkau lakukan upaya-upaya
membereskannya, sedangkan hal itu menyangkut orang ini dan orang itu yang saat ini sedang tidur
nyenyak bersama keluarganya.
Sementara sudah kau pejam-pejamkan mata, tak kunjung bisa kau masuki ketidaksadaran dan
tidur. Jangankan nyenyak. Seluruh files masalahmu tidak mau surut, terus menempel di benakmu
ketika engkau tak bisa tidur maupun ketika terkadang setengah tidur.
Akhirnya engkau tenggelam sampai ke dasar laut kesadaran hidupmu. Engkau tergeletak tak bisa
bangun. Tergeletak dan entah bagaimana tiba-tiba saja muncul kata cinta di dalam pikiranmu.
Cinta itu memuai, membengkak, membesar, hingga memenuhi seluruh ruang pikiranmu. Engkau
marah karena tersiksa dan merasa aneh. Engkau pukul-pukul cinta itu, engkau tendang-tendang,
engkau cabut dari dirimu dan Engkau usir keluar dirimu.
Ternyata ia menjadi sosok. Tergeletak di sisimu. Engkau termangu-mangu menatapnya. Muncul
silang sengkarut pertanyaan-pertanyaan, serabutan ketidakmengertian.
Setelah engkau mengalami kehidupan di muka bumi lebih 60 tahun, engkau menemukan di
kedalaman yang sunyi dari samudera kalbumu, bahwa persaudaraanku dengan siapapun yang
berdasarkan hubungan darah, kalah tinggi kemuliaan nilainya dibanding persaudaraan yang
bersumber dari kesamaan iman. Kemudian ternyata persaudaraan iman kalah tinggi, pun kalah
mendalam, dibanding persaudaraan yang kandungannya adalah cinta sejati.
Apa-apaan ini? Mungkin seluruh kompleksitas masalah dan kebingungan hidupmu sedang
mengidentifikasi, menyusun, merumuskan dan merangkai bangunan nilainya sendiri, tanpa engkau
kehendaki.
Tentulah persaudaraan sedarah yang bermuatan kesamaan iman dan kesatuan cinta sejati adalah
harmoni yang paling sempurna, pada ukuran keterbatasan manusia. Tetapi persaudaraan
kesedarahan bisa retak oleh tiadanya keseimanan dan apalagi kecinta-sejatian. Bahkan
persaudaraan keseimanan ternyata pula bukan hanya bisa menghancurkan persaudaraan
kesedarahan, lebih dari itu bahkan sejarah membuktikan fakta-fakta kebencian, pertengkaran,
pengkafiran, pemusyrikan, perang, pembunuhan, bahkan peniadaan dan pemusnahan di antara
saudara-saudara seiman, meskipun di antara mereka ada yang saudara sedarah.
Akan tetapi pertalian antar manusia, bahkan pun tidak dengan sesama manusia, melainkan dengan
makhluk-makhluk lain umpamanya hewan atau jin yang kandungan utamanya adalah cinta
sejati: selalu masih menyisakan ruang bagi persaudaraan kesedarahan maupun keseimanan.
Apa ini?
Apakah beberapa Malaikat sedang membantumu mempetakan masalah-masalahmu? Ataukah
jiwamu sedang meracau? Ataukah ketidakberdayaan mentalmu sedang memaksa pikiranmu untuk
melamun kesana kemari tanpa bisa Engkau kendalikan?
***
Aku tahu yang Engkau maui dan nanti-nantikan adalah jawaban frontal atas problem-problemmu.
Suatu cara penyelesaian yang pragmatis, efektif, syukur efisien.
Tetapi alam gaib jiwamu malah membawaku ke dasar laut abstrak, selama Engkau tak bisa tidur
menunggu pagi tiba. Apakah itu yang disebut jalan keluar melingkar? Strategi siklikal? Mungkin
pola spiral antara sebab ke akibat dan antara akibat menuju pengubahan akibat menjadi sebab baru
yang lebih menyelematkan hidupmu?
Ataukah Tuhan sedang menginstruksikan kepada staf-Nya untuk memboncengkanmu naik Motor
Nasib untuk berzigzag dalam rally-rally yang panjang? Itu pun melajunya sangat berat untuk
melaju karena lapangan dan jalanannya di dasar laut?
Engkau pusing kepala olehnya atau pelan-pelan belajar menikmatinya?
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
10 Pebruari 2016

Daur (11)
Simpul-Simpul Masyarakat Jin

Aku sudah menyiksamu dengan menghamparkan kebuntuan, kesulitan, kemustahilan, beban-


beban berat untuk pikiran, bahkan masih kuincar banyak tema lain untuk melumpuhkan hatimu.
Masih kusiapkan pekerjaan rumah tentang mempelajari cinta dan belajar mencinta, tentang beda
antara dunia dengan cakrawala, bagaimana membangun dunia tidak berbatas tembok tapi
berdinding cakrawala, tentang betapa aku engkau dan siapa saja tidak akan bisa bersembunyi dari
waktu.
Engkau hidup di sebuah peradaban dengan budaya komunikasi yang sangat heboh dan riuh rendah
dengan kata dan kata dan kalimat dan kalimat. Padahal engkau dan semuanya sudah, sedang dan
akan semakin punya masalah dengan setiap kata.
Ada konflik dan pertentangan serius antara pikiranmu dengan setiap kata. Ada peperangan yang
tak pernah engkau sadari dan tak pernah engkau cari solusinya di dalam hubunganmu dengan
setiap kata. Setiap kata. Setiap kata dari beratus-ratus ribu kata. Setiap kalimat dari beribu-ribu
kalimat.
Negaramu semakin hancur oleh satu kata dibantu oleh beberapa kata. Masyarakatmu ambruk oleh
sejumlah kata. Harga dirimu dan semuanya luntur dan berproses untuk menjadi musnah oleh tidak
dipertahankannya sejumlah kata. Engkau dan kalian semua diperdaya oleh kata, oleh pejabat-
pejabat pemerintahan dan para pengklaim otoritas Negara yang cukup menggunakan sekumpulan
kata. Martabat dan hartamu digerogoti, digangsir, dirongrong, dikikis semakin habis oleh saudara-
saudaramu sendiri yang memperbudak dirinya menjadi petugas-petugas kata, kalimat, idiom,
ungkapan dan aransemen pemahaman.
Engkau dan semua berada di ambang kemusnahan harta tanah air dan bisa jadi dirimu sendiri dan
semuanya. Harta dirampok, martabat diinjak-injak dan dimakamkan, tinggal tubuh dan nyawa
bergentayangan. Nyawapun nanti tak berguna, tatkala engkau dan semuanya sudah berfungsi
penuh sebagai robot-robot, sebagai budak-budak, pekathik-pekathik, hamba-hamba sahaya yang
tuhanmu bukan Tuhan.
Jadi sebaiknya hari ini aku bercerita kepadamu tentang Jin.
***
Beberapa saat engkau mengambil jarak dari dirimu sendiri, dari Negerimu, dari masyarakatmu,
dari seluruh kosmos kehidupan sehari-harimu. Bahkan mengambil jarak dari keyakinan imanmu
yang sudah diubah oleh muatan-muatannya yang dijejalkan oleh kenyataan-kenyataan dunia yang
mengepungmu.
Senang sekali hatiku malam itu sekumpulan Jin datang bertamu. Baru pertama kali ini mereka
bertandang khusus secara agak resmi. Ada geli-geli dan lucunya, tapi mengasyikkan dan
menimbulkan kegairahan khusus.
Aku tidak jarang bertemu dengan para Jin ini itu, dari berbagai simpul, area, kelompok, bahkan
sekte. Berpapasan di suatu lintasan. Terkadang bersapaan atau mengobrol barang beberapa
kalimat, menanyakan keadaan masing-masing. Sesekali saling berbagai pengalaman dan data-data.
Sebelum aku teruskan jangan lupa Kitab Suci anutan hidupmu menyebut manusia selalu
belakangan sesudah Jin. yang mengipas-ngipas hati manusia, dari Jin dan manusia. Bahkan
dasar, asal mula dan sangkan-paran kehidupan manusia ini pun bersama-sama masyarakat Jin
terikat oleh batas pengabdian tidak Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk mengabdi
kepada-Ku.
Sesekali luangkan waktu pergi sowanlah kepada Baginda Nabi Rasul Sulaiman, sambil melirik-
lirik museum Kraton beliau yang ketapel Bapak beliau terdapat di dalamnya. Juga seruling
terindah Baginda Daud, yang kalau beliau meniupnya, maka seluruh makhluk langit dan bumi
memberhentikan waktu dan melapangkan sepi senyap untuk mendengarkan dan menikmatinya.
Sampai-sampai junjunganmu kekasihmu Muhammad saw menyesali kenapa suara seruling itu
mendadak berhenti, tatkala beliau berjalan lewat di sebuah perkampungan. Kemana perginya
suara seruling kakekku Daud. Kiranya cukuplah seandainya kelak sorga hanya berisi tanah dan
air dan sawah dan ladang, asalkan terdengar suara seruling leluhur kita bersama itu.
***
Bertamulah ke rumah istana Baginda Sulaiman, ajak sahabatmu yang memiliki ilmu dan
pengetahuan yang bukan sebagaimana yang dipahami oleh umum dan awam tentang alam,
tentang ruang, waktu, gelombang dan zarrah, dari bongkahan gunung hingga yang paling nano.
Atau kalau sebagaimana aku, engkau merasa tidak pantas untuk diperkenankan oleh Allah bertatap
muka dengan Baginda Raja Diraja itu, maka cukuplah engkau duduk, jongkok, atau berjalan lalu-
lalang di seputar halaman Istana beliau. Siapa tahu beliau sedang bercengkerama dengan hewan-
hewan kecil, dengan semut dan berbagai serangga.
Atau siapa tahu beliau sedang bermain memperagakan silat jurus-jurus puncak dengan Garuda,
Macan dan Naga. Lihat di sebelah sana Baginda Sulaiman sedang berbicara khusus kepada Naga
yang meringkuk melingkarkan panjang tubuhnya di hadapan beliau. Entah apa yang beliau
katakan kepada Naga itu sambil bertolak pinggang. Dan lihat itu Baginda kemudian mendatangi
Garuda yang sakit-sakitan, Baginda mengelus-elusnya, memijit-mijit bagian tertentu dari kaki,
cakar dan paruhnya, kemudian meniupkan hawa entah apa ke seluruh badannya.
Engkau harus lincah dan sanggup pada kilatan waktu yang sama dan sangat singkat: melihat ke
berbagai arah. Kalau perlu ke seluruh arah. Pandang itu hasil kerja Asif bin Barkhiyah , yang
mengalahkan Ifrith pendekar kelas utama masyarakat Jin. Ifrith memerlukan interval waktu antara
Baginda Sulaiman duduk di kursi singgasana hingga beliau berdiri. Sementara Asif memerlukan
waktu cukup sepersekian sekon lebih singkat dari sekedipan mripat beliau, untuk memindahkan
Istana Ratu Bulqis.
***
Ah, tapi itu sekedar bahan jadul untuk sangu kalau-kalau diperlukan di tengah perjalananmu. Kau
butuh mengembara dengan semangat jiwamu, tidak berhenti di dunia dan meresmikan dalam
pikiranmu bahwa dunia ini hilir atau terminal akhir dari hidupmu. Engkau butuh berjalan jauh
mendekat ke cakrawala.
Jadi apa hajat sekumpulan Jin itu bertamu?
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
11 Pebruari 2016

Daur (12)
Mempelajari Cinta Dan Belajar Mencintai

Setengah mati engkau membanting tulang mencari nafkah untuk keluargamu. Mulia sudah engkau
di hadapan Tuhanmu. Jadi kenapa engkau datang kepadaku?
Yang ada padaku hanya cinta.
Engkau bilang bahwa engkau mencari dan menunggu solusi atas masalah-masalah. Mumin sudah
engkau ini. Hamba Tuhan yang memperjuangkan keamanan. Keamanan diri dan keluargamu dari
masalah-masalah. Dan kelak kau perjuangkan juga keamanan ummatmu, masyarakat dan
bangsamu, keamanan dari kemiskinan, keamanan dari kehancuran martabat, keamanan dari batas
kemerdekaan di hadapan Tuhan.
Tapi kenapa engkau datang kepadaku? Yang tergeletak di meja tamuku tidak hanya cinta, tetapi
lebih abstrak dan bikin pecah kepala: cinta sejati.
Tentu saja itu terlalu muluk. Engkau mendambakan penyelesaian praktis, aku hanya mampu
siapkan siksaan.
Itupun dilematis. Kalau engkau sebut cinta saja, itu sudah terlalu dipersempit, dibiaskan,
disalahsangkakan, terlalu dipasti-pastikan atau dipadat-padatkan, atau sebaliknya ia terlampau
dimitologisasikan, dikhayal-khayalkan, didramatisir atau dilebai-lebaikan, berujung di perkawinan
tahayul, perceraian LGBT.
Sedemikian rupa sehingga kalau engkau coba mengkritisinya, membenahinya, mengukur jarak
antara denotasi dengan konotasinya, hasilnya tidak lain kecuali menambah pembiasannya, bahkan
melahirkan kemungkinan-kemungkinan salah sangka baru, yang memecah belah hati antara
manusia.
***
Sementara ketika setengah terpaksa aku pakai istilah yang agak mewah, yakni cinta sejati, aku
meyakini engkau akan menemukan ia lebih memerdekakan penafsiran dan penghayatan.
Daripada engkau menggenggam dunia tanpa cakrawala, kelak engkau akan tahu bahwa yang lebih
nyata adalah meraih cakrawala meskipun tak mendapatkan dunia.
Akal yang paling minimalpun mengerti atau sekurang-kurangnya memiliki naluri untuk peka
bahwa sudah pasti dunia ini akan meninggalkanmu dan engkau sendiri pasti meninggalkannya.
Untuk pergi atau pindah ke mana?
Ke suatu wilayah yang untuk sementara kita sebut cakrawala.
Sekurang-kurangnya ia terbiarkan abstrak, tidak mudah diterap-terapkan, tidak gampang dipakai-
pakai. Ia lebih cenderung dekat ke tiada, dan saya lebih memilih itu, daripada terlanjur
mengambil nyata yang ternyata belum pernah benar-benar nyata.
Lebih serasa hidup dengan tidak yang benar-benar tidak, daripada ya tetapi pada hakikinya
tidak ya. Ibarat orang dalam Agama, saya memilih posisi la ilaha, posisi tidak atau belum
menemukan (ada dan berperan-Nya) Tuhan, daripada terlalu bermantap-mantap illallah padahal
pada kenyataannya ternyata bukan Tuhan yang disembah, sehingga masih dan tetap sanggup
membenci, menyakiti atau bahkan membunuh sesama manusia.
***
Terkadang aku terdorong untuk menjelaskan cinta sejati itu misalnya melalu pembedaan sangat
mendasar antara cinta dengan mencintai.
Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Suatu situasi yang bergulung-gulung di batas
kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah keputusan social. Mencintai adalah perilaku,
langkah perbuatan kepada yang bukan dirimu. Bentuknya tidak lagi seperti yang ada di dalam
dirimu. Ia sebuah dinamika aplikasi keluar diri, bisa berupa benda, barang, jasa, pertolongan,
kemurahan, dan apapun sebagaimana peristiwa sosial di antara sesame manusia.
Engkau bisa mencintai meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan mencintai bisa engkau ambil
energinya dari nilai-nilai sosialitas yang bermacam-macam. Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa
kenikmatan bebrayan, bisa toleransi, empati, simpati, partisipasi dan apapun. Atau engkau ambil
landasan dari Tuhan: aku tetap mencintainya, menjalankan kebaikan kepadanya, meskipun di
dalam dirimu sudah tak tersisa rasa cinta yang eksklusif kepadanya.
***
Engkau bisa memasuki kedalaman makna cinta dan mencintai dengan berpindah-pindah pintu
untuk memasukinya. Engkau bisa menyelami lubuk-lucuk cinta dan mencintai dengan
merangsang terbukanya berbagai pori-pori nilai untuk engkau buka dan masuki.
Cinta itu suatu potensi, suatu keadaan, sebuah situasi batin, mungkin berujud ruang yang
membutuhkan waktu, atau bisa jadi ia terasa sebagai energi atau teralami sebagai semacam
frekwensi. Seluruh kemungkinan itu terletak di dalam diri manusia, ia ada dalam kesunyian
dirinya, ia belum fakta bagi selain dirinya.
Adapun mencintai adalah sikap sosial. Keputusan dari dalam diri ke luar diri dan untuk yang
bukan dirinya sendiri. Apabila cinta diaplikasi menjadi tindakan mencintai, maka begitu ia
mensosial: wujudnya, bentuknya, formulanya, prosedurnya, nada dan iramanya, sudah bukan
cinta itu sendiri. Sang cinta ada di balik itu semua.
Mencintai itu wajahnya seakan tak ada hubungannya dengan cinta, karena ia bisa berupa kerja
keras membanting tulang di pasar dan jalanan untuk keluarga. Ia bisa berujud kepengasuhan
dalam keluarga, kepemimpinan dalam bermasyarakat, kearifan mengurusi kesejahteraan rakyat.
Bahkan bisa berwujud undang-undang, kreativitas teknologi, serta apapun saja yang dikenal oleh
manusia sehari-hari tanpa mereka pernah menyadari bahwa itu semua bersumber dari keputusan
dan tindakan mencintai.
***
Ada kalanya suatu masalah diselesaikan tidak dengan berhadapan dengan masalah itu. Bisa juga
dengan berpindah konsentrasi, memikirkan atau melakukan sesuatu yang lain sama sekali dan tak
ada kaitannya dengan masalah itu.
Semakin engkau berkenalan dengan sifat-sifat kehidupan yang hampir tak terbatas keluasannya
dan tak terukur kedalamannya, semakin engkau lincah dan kreatif untuk tidak berhenti mengurung
diri atau dikurung oleh ruang sempit masalah yang sedang merundungmu.
Nanti, di tengah-tengah istirahat dari gegap gempita perjuangan duniamu, di tengah riuh rendah
peperangan melawan masalah-masalahmu, engkau duduk bahkan tergeletak dengan nafas
terengah-engah.
Tiba-tiba, semoga, engkau di sapa oleh cinta ilahiyah, ia tiba-tiba saja hadir seakan sebuah sosok
yang terbaring di sisimu. Ia menerbangkanmu dari dunia yang hampir bikin pecah kepalamu.
Engkau dibawa menyelam ke lubuk uluhiyah atau melebar meluas ke semesta rububiyah, di
mana segala fakta pemuaian, pertumbuhan, harmoni, pernikahan-pernikahan pada inti
universalitasnya, dan apapun saja yang merupakan indikator persatuan, penyatuan, kebersatuan,
kemenyatuan, manunggal, nyawiji, dan apapun saja kumpulan huruf-huruf yang dibangun dan
disusun untuk nilai dan makna datang mendaftarkan diri mereka masing-masing, satu persatu
dan bersama-sama, kepada ilmu dan pengetahuanmu.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
12 Pebruari 2016
LAINNYA

Daur 13
Gelap Jadi Cahaya, Beban Jadi Penyangga

Pada dua belas tulisan sebelum ini aku banyak menuturkan sesuatu yang sengaja baru besok atau
lusa aku tuntaskan. Semacam pekerjaan rumah yang mungkin membuat pikiranmu ruwet dan
kusut.
Kalau anak cucu dan para jm pusing kepala dan geram oleh alur kacau omonganku, tolonglah
bersabar pada orang tua yang mulai pikun dan udzur. Maka beliau-beliau yang lain siapapun tak
perlu mendengarkan atau membaca ocehan kakek kepada anak cucunya ini.
Seorang kakek terkadang mungkin memang sengaja bicara tak beraturan. Menjebak-jebak.
Berhenti padahal masih koma. Sengaja suatu tema dipotong, kemudian belok ke gang-gang yang
seakan tak ada kaitannya dengan tema utama. Pemilihan tema-temanya, lompatan-lompatan dari
tema ke tema, kadar tabungan penghayatan suatu tema sebelum besok nyicil tabungan berikutnya,
tata kepenulisannya, pertimbangan berpikirnya, irama penelusurannya, format redaksionalnya,
serta berbagai macam aturan kepenulisan lainnya semata-mata membatasi diri pada keperluan
internal keluarga anak cucu dan para jm.
Jika itu mengganggumu atau bahkan menyiksamu, berhentilah membaca dan tinggalkan tulisan
ini. Jauhilah aku dan Maiyah, sebab aku dan Maiyah tidak mengikat siapapun. Aku dan Maiyah
tidak harus ada dalam kehidupan ini. Aku dan Maiyah belum tentu disyukuri adanya, dan memang
sama sekali tidak harus. Aku dan Maiyah pun tidak ditangisi oleh siapapun tiadanya.
Kalau ada yang mencurangi tulisan-tulisanku untuk anak cucuku ini, misalnya melemparkannya
keluar Maiyah, memotong-motongnya, atau meletakkannya pada alam pikiran umum yang tidak
tepat untuk itu, atau apapun bentuk pencurangannya tidak akan berurusan denganku. Tidak
akan mendapat akibat apapun secara langsung dariku. Juga tidak diidentifikasi atau didata apapun
yang menjadi akibat dari pendhaliman itu. Tidak diamati, apalagi disyukuri atau disesali.
***
Apabila ada yang menjahati tulisan-tulisan buat anak cucuku ini, termasuk tulisan dan karya
apapun dariku, sudah ada yang mengurusinya. Kejahatan itu dilakukan oleh siapapun, yang
mencintai atau yang membenci, dari segmen apapun, dari level yang manapun, termasuk jika itu
dilakukan oleh anak-anak cucu-cucuku sendiri di Maiyah hanya akan memperoleh akibat,
entah berupa penghargaan atau pembalasan, entah pahala atau adzab, yang berasal dari asal usul
tulisan-tulisan ini sendiri. Yakni yang bukan aku.
Karena tulisan-tulisan ini bukan karyaku. Bukan hak milikku. Bukan kreativitasku. Bukan hasil
dari kemampuanku. Bukan produksi dari perjuanganku. Melainkan ada pemiliknya, yang
menitipkannya melalui aku, kepada anak-anak cucu-cucuku. Baik anak cucu yang sekarang,
maupun siapa saja yang pada akhirnya menjadi anak-anak dan cucu-cucuku.
Aku mensyukuri jika akibat itu berupa tambahan kemudahan hidup, berkah kesejahteraan,
kekuatan dan ketenteraman hidup. Aku juga tidak pernah membayangkan, mengharapkan,
memimpikan atau menanti-nantikan jika akibat dan pembalasan itu berupa proses perapuhan,
menyusutnya rejeki, terjatuh dan ambruknya sesuatu yang sudah dibangun, sakit jasad, kehilangan
sesuatu yang sangat dibutuhkan, atau apapun. Itu semata-mata urusan pemilik tulisan-tulisan ini
beserta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
***
Salah satu sebab logis dari sudah, sedang dan akan terjadinya balasan yang baik maupun yang
buruk itu, antara lain karena tulisan ini dititipkan atas dasar situasi ketidakberdayaan.
Aku tidak disuruh menulis untuk merayakan kegembiraan dan kebahagiaan. Karena siapapun yang
sedang mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan, tak perlu melonjak-lonjak, melompat-lompat
sambil berteriak-teriak mengibarkan perasaannya. Titipan tulisan ini berasal dari kesedihan,
penderitaan, kesengsaraan, keteraniayaan dan kelumpuhan sejarah.
Itu semua berlangsung dalam skala kecil individu-individu, lingkar keluarga, area
kemasyarakatan, juga wilayah yang lebih luas, misalnya negara dan dunia yang jika engkau
berpikir apa kemauan Tuhan menciptakan semua ini: berisi kemudlaratan yang kadarnya jauh
melebihi kemashlahatan. Terapannya pada manusia, personal maupun kolektif, adalah
kebingungan, kecemasan dan kesedihan.
Aku tidak dititipi tulisan yang sumbernya adalah keadilan, melainkan ketidakadilan. Bukan
bermata air dari keceriaan, melainkan keterpurukan. Bukan dari keindahan, melainkan
kekumuhan. Bukan dari pancaran cahaya, tapi kegelapan meskipun jangan lupa bahwa ilmu
yang berasal usul dari kegelapan itu fokus perjalanan yang ditujunya adalah justru cahaya.
Aku tidak diperintahkan untuk mengantarkan nyanyian-nyanyian sukses, lukisan keberhasilan dan
tercapainya kejayaan dan kemewahan. Perintah kepadaku adalah mengajak anak-anak cucu-
cucuku untuk menggali, meneliti dan menemukan bangunan kehidupan sebagaimana yang sejak
awal mula dulu dikehendaki oleh yang memerintah itu meskipun bahan-bahan yang tersedia
adalah kompleksitas permasalahan-permasalahan yang secara ilmu apapun tampak mustahil
diatasi.
***
Aku dititipi perjuangan bersama engkau semua anak-anak dan cucu-cucuku. Perjuangan yang
meskipun engkau dikepung oleh kegalapan, tapi engkau tetap sanggup menerbitkan cahaya dari
dalam dirimu.
Meskipun engkau terbata-bata di jalanan yang sangat terjal, engkau tetap mampu menata kuda-
kuda langkahmu sehingga keterjalan jalan itu bergabung ke dalam harmoni tangguhnya langkah-
langkahmu.
Meskipun engkau ditimpa, ditindih, dihajar dan seakan-akan dihancurkan oleh beribu beban dan
permasalahan, tetapi engkau justru menjadi anak-anak cucu-cucuku yang mengubah jalanan itu
menjadi rata bagi semua orang. Beban-beban itu menjadi tenaga masa depan yang dinikmati
semua orang. Dahsyatnya permasalahan yang memerangimu itu menjadi bahan bakar yang kau
sebar ke seantero bumi sehingga digunakan oleh semua orang untuk bangkit dan tegak
membangun hari-hari esoknya.
Sudah semakin banyak jumlah anak-anak cucu-cucuku yang kulihat sanggup mengubah kegelapan
menjadi cahaya, beban menjadi tenaga, tindihan menjadi penyangga, derita menjadi gembira.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 13 Pebruari 2016

Daur (14)
Perang Terhadap Kata

Apakah engkau menemukan dan merasakan bahwa tulisan-tulisanku terlalu menyeretmu ke daerah
antah barantah yang tak jelas ujung pangkalnya? Mencampakkanmu ke dalam hutan belantara
yang bersemak-semak berimbun-rimbun tak jelas barat timur dan selatan utaranya?
Anak cucuku dan para jm mohon memafhumi bahwa tulisan ini bukan untuk publik, melainkan
hanya buat kalian. Publik atau masyarakat umum, utamanya kaum cerdik pandai, sudah khatam
dulu-dulu, sehingga tidak butuh ini. Anak cucu dan para jm yang masih harus belajar dan terus
menerus belajar.
Ataukah engkau menyangka aku melemparkanmu ke seberang cakrawala, di mana setiap kata tak
engkau pahami maknanya, apalagi susunan dan maksudku di belakangnya? Atau sebagian dari
engkau berpikir bahwa aku menerbangkan pikiran, hati dan jiwamu ke angkasa yang tanpa kiri
kanan atas bawah? Ke langit yang semakin engkau tembus semakin sirna rumusannya?
Sudah pasti akan aku turuti reaksi dan kemauan sesaatmu. Aku akan ada bersamamu di ruang yang
terbatas, di atas tanah yang bisa dipijak secara sederhana, di dalam utusan yang lurus-lurus dan
datar-datar saja.
Meskipun demikian sebelumnya aku titip satu pertanyaan: yang kau sebut hutan belantara,
seberang cakrawala, angkasa tanpa kiri kanan dan langit yang tak ada rumusannya itu
bukankah memang di situlah hidupmu berada? Coba engkau diam sesaat, pelan-pelan tengok dan
rasakan kiri kananmu. Bukankah engkau memang sedang berada di kepungan urusan-urusan yang
setelah beberapa langkah kau tempuh: engkau terbuntu oleh hutan belantara yang remang dan
gelap? Engkau terkatung-katung secara tidak masuk akal seakan-akan berada di seberang
cakrawala?
Engkau mendengar ada yang disebut masyarakat, negara, hukum, demokrasi, pembangunan, pasar
uang, pilkada, pejabat, ulama, ustadz, preman, pengaturan harga, jembatan jebol dan kereta cepat,
dan seribu fakta lain bukankah itu semua adalah angkasa ketidakjelasan, langit
ketidakmenentuan, seberang cakrawala yang jauh dari masuk akal, serta senyata-nyatanya hutan
belantara?
***
Baiklah kita belok ke jalanan kecil sejenak, nanti kita akan kembali ke jalanan utama yang terjal
dan bergerunjal-gerunjal itu.
Sebenarnya yang utama bukanlah jalan yang mana dan yang bagaimana. Yang kita upayakan
adalah di jalanan apapun kita tetap memperjuangkan kedekatan hati di antara kita, sekaligus
kedekatan kita bersama kepada pangkal jalan dan ujung jalan. Engkau tahu, pangkal dan ujung
jalan itu Satu.
Maka langkah pertama memasuki jalanan kecil itu adalah, menurutku, adalah dengan mengubah
kata aku dengan saya, kata engkau dengan anda. Pilihan kata, sebutan atau panggilan ini
sangat menentukan rasa dekat atau jauh di antara kita. Bahkan mengendalikan dimensi makna dan
nuansa setiap yang tersambungkan di antara kita, baik kata maupun tali silaturahmi yang lain.
Apakah engkau merasa lebih dekat padaku kalau kusebut diriku aku dan kusebut dirimu
engkau? Pada yang kurasakan, kata aku itu kerelaanku memasukkanmu ke dalam diriku yang
lebih dalam. Ibarat tamu, kujamu engkau tidak di beranda, melainkan di ruang dalam, bahkan
sesekali kutuntun engkau memasuki kamar pribadiku.
Kupanggil engkau dengan engkau karena yang kupanggil bukan sekedar seseorang, bukan
sekedar orang di antara orang-orang, bukan sekedar warga dari suatu negara dan bagian dari
masyarakat atau institusi atau golongan. Engkau yang kupanggil adalah engkau yang di dalam,
yang lebih pribadi, yang mungkin agak kau bungkus dengan selubung rahasia.
***
Akan tetapi mungkin sekali bukan itu yang berlangsung di antara kita. Dengan engkau dan
aku bisa jadi engkau malah menjadi merasa asing. Dan akibatnya mungkin membuatmu
terlempar akan menjauh dariku.
Komunikasi bahasa dan perhubungan kata dalam pergaulan sosial yang kita alami selama ini
mungkin membuat aku-engkau itu menimbulkan semacam eksklusivitas. Kita jadi merasa kurang
santai, kurang akrab, kurang dekat, kurang sehari-hari, kurang egaliter kata anak-anak sekarang.
Kenapa gerangan ini? Bagaimana mungkin tindakan komunikasi yang memakai kata yang paling
privat justru menghasilkan kejauhan sosial? Apa yang menyebabkan seorang manusia yang
memasukkan saudaranya ke ruang yang terdalam dari jiwanya, menghasilkan hal yang
sebaliknya?
Ternyata kita punya masalah besar dan serius dengan kata. Ternyata perhubungan sosial dan
interaksi kebudayaan kita justru terancam jadi merapuh atau minimal menjadi tidak pernah matang
nilainya, justru oleh alat utamanya. Kata adalah salah satu instrumen andalan untuk
menyelenggarakan bebrayan dan membangun silaturahmi. Dan terbukti kata itu pulalah yang
potensinya sangat tinggi untuk merusaknya.
Hari-hari ini engkau bergaul dengan ummat manusia di seluruh dunia melalui terutama kata di
media massa, media sosial, hutan rimba dunia maya, persambungan lewat aplikasi mengobrol
tertulis dengan kerja jari-jari. Muwajjahah atau berjumpa wajah dengan wajah berkurang mungkin
sampai hampir 90%. Padahal dalam interaksi muwajjahah langsung pun kita masih punya
persoalan dengan kata, kalimat, ungkapan, istilah dan idiom.
Jangan bicarakan dulu akibat baik atau buruk hutan rimba maya itu dengan persoalan
tanggungjawab, kejujuran, kebenaran, ketulusan, membengkaknya hak dan menyusutnya
kewajiban. Jangan dulu. Itu tema yang seribu kali lebih besar dibanding urusan satu kata yang
sedang kita selami sekarang ini.
***
Silahkan engkau menggambar, mempetakan dan mensimulasikan jika kupanggil engkau dengan
anda atau kamu atau ente atau antum atau kowe atau elu atau koen atau you
bahkan aku melarikan diri menghindari resiko sehingga memanggilmu dengan namamu, atau jij
atau siro atau sira atau ndiko dan apapun sangat banyak kemungkinannya. Alias sangat
tinggi ketidakpastian dimensi silaturahminya. Sangat luas ketidakmenentuan nuansanya.
Apa yang kau pilih. Kepadamu aku menyebut diriku aku ataukah saya ataukah kami
ataukah ana ataukah ane ataukah reang ataukah alfaqir ataukah kawulo ataukah hamba
Allah atau kata apapun barangkali engkau punya gagasan. Semoga engkau menemukan fakta
bahwa sesungguhnya engkau dan aku, kita dan masyarakat, sesungguhnya sedang berada dalam
situasi perang terhadap kata. Bahkan negara dan koalisi negara-negara di muka bumi ini
menindasmu, merampokmu, menipumu, memperdayakanmu, memiskinkanmu, dengan alat paling
ampuh, yaitu kata.
Dari cn kepada anak cucu dan jm
Yogya 14 Februari 2016

Daur (15)
Maiyah lilAlamin

Tidak tega hati saya selama dua minggu ini Jamaah Maiyah saya kasih
pelok (bijih) padahal ternyata mereka masih belum merdeka dari kebiasaan makan buah mangga
manis dari saya.
Selusin lebih saya kasih tulisan-tulisan yang bersifat bijih pelok, yang bukan untuk dikonsumsi
sebagai makanan, melainkan untuk ditanam dan menunggu waktu tidak sebentar untuk berbuah
pada diri mereka masing-masing.
Selama ini memang kalau ketemu, saya langsung kasih buah mangga. Buah mangga dari kebun
saya. Kebun yang saya sendiri mempersiapkan dan mengolah tanahnya. Pohon mangga yang saya
sendiri yang menanamnya. Kemudian saya sendiri yang menjaganya dari hama-hama dan maling-
maling. Kemudian saya memetiknya, mengulitinya, mengirisinya, meletakkannya di piring,
akhirnya saya suguhkan kepada Jamaah Maiyah.
Mereka tinggal memakannya, menikmatinya dan bergembira. Andaikan para Jamaah Maiyah tak
punya gigi pun mangga saya tetap bisa diakses oleh mereka. Untuk mendapatkan mangga itu
mereka tidak harus membayar, tidak harus menyewa kursi untuk duduk menikmatinya, tidak harus
mendaftarkan diri dan mengemukakan identitasnya.
Tanpa syarat apa-apa. Bahkan tidak harus mencuci piring tempat mangga itu. Setelah kenyang
mereka boleh langsung pulang. Boleh tidak menyapa saya. Boleh tidak berterima kasih. Juga tidak
dilarang untuk bercerita kepada keluarga dan para tetangganya bahwa mangga yang tadi mereka
makan adalah beli di pasar, atau dikasih orang lain yang bukan saya.
Lebih dari itu mereka tidak dihalangi untuk mengambil mangga saya sebanyak-banyaknya, tidak
hanya yang dimakan di tempat. Ia tidak diawasi untuk membawa keranjang atau karung.
Memasukkan mangga sebanyak-banyaknya, diangkut pergi kemudian dijual di pasar. Selama
berinteraksi dengan masyarakat di pasar, para jamaah Maiyah juga sangat merdeka untuk tidak
sekedar menyembunyikan asal-usul mangga jualannya itu ia bahkan punya peluang besar untuk
meng-ghibah-i saya, ngrasani, mendiskreditkan nama saya, memanipulasi, bahkan pun menjelek-
jelekkan dan memfitnah.
Kreativitas dagang dan eksistensialisasi lain juga terbuka. Ambil mangga dari rumah saya dua tiga
karung, kemudian dibawa ke pasar, dicampur dengan mangga yang diambil dari kebun atau rumah
yang lain. Kemudian dijual dengan promosi bahwa itu adalah mangga saya.
Silahkan. Kebun saya adalah Maiyah lilAlamin.
***
Jamaah Maiyah berdaulat penuh untuk berterima kasih atau durhaka. Untuk jujur atau curang.
Untuk menyebarkan mangga dari saya dengan pemasaran akhlaqul karimah atau marketing
kedhaliman. Jamaah Maiyah menggenggam kedaulatan untuk memperlakukan saya sebagaimana
adanya atau semestinya, atau menganiaya saya, mendhalimi saya, mencurangi saya, memanipulasi
saya atau apapun.
Kebun mangga saya tidak berpagar. Sama sekali tidak ada pagarnya. Jika ada, Malaikat dan para
Nabi boleh ambil mangga kapan saja dan berapapun saja. Juga para Jin, druhun dimemonon
lengeng, maling-maling, penganiaya, pemakan bangkai sesame dan siapapun. Andaikan ada yang
benar-benar datang ke Maiyahan kemudian membunuh saya dan memakan bangkai saya, itu juga
sama sekali bukan urusan saya.
Itu semua hanya satu dimensi kenyataan dan kemungkinan di semesta raya Maiyah lilalamin.
Saya lempar pelok-pelok Perang Terhadap Kata, Alif Ba Ta Agamaku, Gelap Menjadi Cahaya,
KehancuranTanpa Ralat dan seterusnya. Itu pelok-pelok. Silahkan telan. Tidak perlu dikunyah,
sebagaimana kalau makan mangga. Silahkan bawa ke pasar, karena pasar penuh oleh manipulator.
Pasar adalah hutan belantara. Ambillah mangga saya, bikin oplosan juice mangga campur cyanida,
solar, ingus dan air kencingmu.
Bahkan sebagian jamah Maiyah adalah kaum Jin, yang bertamu ke Kadipiro. Dan saya menunggu
saat menceritakan itu semua di tulisan entah keberapa nanti. Sebab Maiyah lebih mudah dipahami
dengan teori dan ilmu Jin. Maiyah tidak bisa dipahami oleh manusia-manusia pasar, penghuni
hutan belantara, makhluk-makhluk yang skala hidupnya hanya sebatas kepentingan subyektifnya
sendiri, yang Hati-nya tidak Telanjang , yang
Perusak dijunjung sebagai Pendamai , yang rajin ber-Doa dengan modal Dosa, yang merasa punya
Cinta tapi tak pernah belajar Mencintai.
Bukankah semua pelok-pelok itu sudah saya sodorkan kepadamu? Dengan catatan sebagaimana
engkau membaca AlQuran: jangan menyangka bahwa untuk mempelajari Sapi engkau membaca
dan memperdalam Surah Al-Baqarah? Mengira bahwa Surah Al-Fil adalah bab pelajaran sekolah
tentang Gajah? An-Naml adalah bahan-bahan biologis tentang Semut?
***
Jika tulisan adalah buah, sejak akhir 1960-an saya berkebun mangga, manggis, salak, blimbing,
apel dan bermacam buah yang lain. Itu salah satu bagian dari perjalanan panjang saya, jika ada Jin
yang memahami maksud jawaban semua pertanyaanmu terdapat dalam sejarah hidup saya.
Bebuahan macam-macam yang saya sebar-sebar melalui hampir 70 buku dan ribuan tulisan lain
dalam berbagai macam bentuk itu hanya buah. Sangat jarang ada yang berpikir bahwa di belakang
buah itu ada pohon, daun, bunga, dahan, ranting, akar, tanah, kebun, pulau, hak dan kewajiban
atas tanah, komposisi tanah, sebab musabab kebun bisa diperkebunkan, dan beribu hal lagi.
Berdasar pengalaman itu, yang di dalamnya ada persoalan-persoalan Indonesia dan dunia, ada
Orla Orba Reformasi semu, ada Arab Spring, ada Huntingtonisme, ada pseudo-Demokrasi, ada
materialisme, individualisme, kapitalisme, industrialisme, ada jembatan-jembatan ambrol dan
pembangunan kereta cepat, ada semuanya dan semuanya maka akhirnya saya bikin pagar-pagar
di kebun-kebun saya.
Saya untuk masyarakat, publik, Indonesia dan dunia, saya ganti aku. Saya persilahkan hanya
kepada anak-anak cucu-cucu saya dan para Jamaah Maiyah kapan saja memasuki kebun-kebun
saya. Saya menulis hanya untuk kalian, tidak sebagaimana peruntukkan ribuan tulisan saya
sebelumnya. Kalau saya, berarti engkau mungkin temanku yang kuterima mengobrol di
halaman rumah atau di beranda. Tapi aku adalah saudara kesayangan yang saya persilahkan
masuk ke dalam rumah saya, bahkan sesekali saya ajak masuk bilik pribadi saya.
Kalau ummat manusia, bangsa Indonesia atau Ummat Islam, hubungannya dengan saya adalah
sebagai konsumen, minta yang cocok-cocok dan yang enak-enak. Jamaah Maiyah juga berhak
minta yang cocok dan yang enak, tapi bagi saya lebih dari itu. Jamaah Maiyah adalah pejuang,
pemeluk teguh nilai-nilai, pembalajar yang tekun, pencari kebenaran Allah yang sungguh-
sungguh.
Tetapi sesudah saya tidak maksimal manfaatnya, kemudian akuku kepada Jamaah Maiyah
malah membuatmu muntah-muntah karena kalian terbiasa oleh saya maka sudah saya lihat di
depan nanti audiens atau tujuan ibadah saya bukanlah ummat manusia di dunia, bukan bangsa
Indonesia, bukan Ummat Islam dan Jamaah Maiyah, melainkan Tuhan dan Kanjeng Nabi. Saya
tunggu hingga tulisan ke 40 nanti.
Adapun anak cucuku adalah bagian dari diriku sendiri yang beribadah kepada Tuhan dan bercinta
dengan Kanjeng Nabi.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
17 Pebruari 2016

Daur (16)
Darurat Aurat (1)

Tahukah engkau kenapa dalam tulisan-tulisan pribadiku kepada anak cucuku dan para jm tak
kusebut nama, lembaga, pihak, atau identitas-identitas resmi lainnya?
Kenapa tak kujelaskan peta teknis permasalahannya, momentum, waktu dan wilayah kejadiannya?
Kenapa kupakai kata atau idiom yang umum, universal, steril dan terkait seolah-olah hanya
dengan sesuatu dan makhluk yang antah berantah?
Kenapa kupakai idiom si Brutal, si Pendamai, si Perusak, Saudara, serta kosakata-kosakata yang
berlaku abstrak? Kenapa ketika misalnya aku tuturkan tentang ketidaklayakan atau
ketidakpantasan, tidak kuproyeksikan secara kongkret ke suatu dataran realitas? Apa maksudnya
itu? Ekspertasi kah? Kredibilitas pejabat kah? Keahlian dalam kepemimpinan kah?
Kenapa tidak kubeberkan fakta sebagaimana adanya? Bukankah ungkapkan kebenaran, meskipun
pahit? Betapa gagah dan indahnya ungkapan itu. Bagaimana kalau kepahitan itu membuahkan
amarah, dendam dan pertengkaran? Akibatnya kebenaran tak sampai, malah bertambah
kemudlaratan? Bagaimana kalau pertengkaran itu bukan antar orang seorang, bahkan tak cukup
antar kelompok, tetapi antar golongan yang besar, antar jumlah puluhan juta masyarakat?
Dari satu juta orang, berapa orangkah yang memilih pahit di antara rasa-rasa yang lain. Kalau
engkau ambil keputusan minum jamu yang sangat pahit untuk dirimu sendiri, tak ada persoalan
dengan siapapun saja. Tetapi kalau jamu pahit itu engkau cekokkan ke mulut orang, dan kalau
jumlah orang yang dicekoki jamu itu berpuluh-puluh juta, menurutmu apa yang bisa terjadi?
Kakiku boleh pincang dan jidatmu boleh nonong, dan kita terima kepahitan itu dengan legowo dan
ikhlas. Akan tetapi bolehkah orang-orang yang berpapasan dengan kita menyapa kita dengan si
Pincang dan si Nonong? Bolehkah mereka menyebarkan berita bahwa kakiku pincang dan jidatmu
nonong?
Suatu saat engkau dan aku mungkin terpeleset mencuri sesuatu dari tetangga. Kemudian setengah
mati kita minta maaf dan mengembalikan barang yang kita curi. Pun kita rela kita dipecat dari
jabatan kita karena mencuri, bahkan juga kita jalani hukuman. Lantas kita mati. Siapkah keluarga
kita mendengar pergunjingan orang-orang di gardu-gardu di warung-warung bahwa almarhum itu
dulu pencuri. Bahwa almarhum dulu itu melakukan sejumlah perusakan. Bahwa almarhum dulu
merintis pembiasaan pada masyarakat untuk menerima ketidaklayakan dan ketidakpantasan?
Apa pula katamu jika ternyata keluarga kita dan semua pendukung kita tidak tahu bahwa kita
pencuri. Atau hanya tahu sebagian dari kasus pencurian yang kita lakukan. Atau keluarga kita
menjaga semacam pertahanan psikologis dan pagar martabat keluarga, sehingga sengaja atau tak
sengaja selalu tidak mengakui bahwa kita dulu melakukan kesalahan-kesalahan.
Pertahanan psikologis dan martabat itu bahkan membuahkan inisiatif untuk membengkakkan
upaya-upaya pencitraan tentang nama baik kita, namun sebagian besar bertentangan dengan fakta
yang kita jalani ketika hidup dulu. Bahkan keluarga kita memonumenkan jasa-jasa kita yang
sebenarnya mengandung manipulasi sejarah. Keluarga kita membangun arca wajah dan badan kita
untuk mengabadikan kepahlawanan kita dalam sejarah yang sebenarnya mengandung kepalsuan
dan pemalsuan.
Itu baru masalah engkau dan aku. Sekedar di antara engkau dan aku saja sudah penuh Darurat
Aurat. Buah simalakama. Kalau kebenaran tidak dibuka, berdosa karena membuka aib aurat.
Sementara kalau kebenaran harus diaurati, ditutupi, keluarga kita dan masyarakat akan buta
selama-lamanya.
Padahal sejarah memuat ratusan bahkan ribuan kepalsuan dan pemalsuan, yang disembunyikan
atau justru diresmikan secara kelembagaan. Buku Sejarah terdiri atas ribuan lembaran yang
bertuliskan pembiasan fakta, pembalikan, distorsi, pengurangan dan penambahan, pengadaan yang
tidak ada dan pentiadaan yang ada. Tak usah 700 atau 400 tahun yang lalu. Tak usah 100 atau 50
tahun silam. Bahkan tak usah 10 tahun kemarin: hari ini pun, dan besok pagi, berita-berita sudah
diolah dan harus melewati mesin-mesin pemalsuan, pengkufuran dan kemunafikan.
Tidak usah merambah skala-skala besar rekayasa Kapitalisme, Sosialisme dan Islam musuh baru.
Tak usah dakwah demokrasi penguasaan kilang-kilang minyak di negeri-negeri kelas dua dan tiga.
Tidak usah sampai ke Illuminati dan Freemason. Tidak usah sampai perjudian dan perbotohan
pemilihan Kepala Pemerintahan, dengan segala domino-domino rahasia di balik program-program
pembangunan.
Cukup yang kecil saja, misalnya Bedug dan ziarah kubur. Engkau mempertengkariku karena tak
setuju pada dua hal itu. Padahal pangkal mulanya dulu terbalik, justru Kiai panutanmu yang
menganjurkannya, sementara Kiaiku tidak mencenderunginya. Dan setiap hari kita bertengkar
seolah-olah kita sedang mempertahankan nyawa dari maut, seolah kita saling mempertahankan
kekayaan sebuah benua.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
18 Pebruari 2016

Daur (17)
Darurat Aurat (2)

Engkau dan aku terseret-seret penuh siksa dan derita antara kuburan ke Barzakh karena ternyata
tak terkira hamparan dan tumpukan dosa-dosa kita selama hidup di dunia. Masih pula ditambah
penderitaan tanpa penyelesaian menyaksikan keluarga kita bertengkar berperang tak habis-
habisnya di permukaan bumi. Dendam dan kebencian membara di dalam dada semua golongan
anak turun kita.
Anak-anak cucu kita saling lempar melempar caci maki, fitnah, dhonn, klaim dan segala macam
jenis api kebodohan. Mereka bermusuhan dengan merasa saling mempertahankan kebenaran.
Padahal kebenaran yang mereka maksud adalah kebenaran jadi-jadian yang direkayasa dan
dicuciotakkan ke pikiran mereka. Kita merasa sangat sengsara rohani, melebihi nenek moyang
anjing-anjing yang meratapi anak cucunya berebut tulang.
Anak cucumu yang inti justru tidak menjadi pengikutmu, karena mereka yakin bahwa sangat
banyak pengikutmu yang sebenarnya mengibarkan bendera, ajaran dan nilai yang dulu bukan itu
yang engkau kibarkan. Demikian juga anak turun intiku menyendiri dan menjauh dari gegap
gempita orang-orang yang mengenal dirinya dan dikenal umum sebagai pengikutku. Karena anak
turun intiku itu mengerti dan setia kepada warisan-warisan orisinal dariku.
Namamu dan namaku disebut-sebut, dikibar-kibarkan, dijadikan pangkal segala gerakan, program,
penghimpunan dana dan apa saja yang mungkin mereka lakukan. Padahal gerakan yang mereka
kerjakan bukanlah kontinuasi bukan resonansi bukan alur lanjutan dari nilai-nilai yang dulu kita
tuturkan dan sebarkan.
Engkau yang melakukan perjalanan pendamaian di pelosok-pelosok, kini malah dikibarkan di altar
sejarah sebagai tokoh eksklusivisme dan radikalisme, bahkan rasisme. Sementara aku yang tak
pernah mendamaikan siapa-siapa, bahkan seringkali lingkungan yang kudatangi justru kemudian
menjadi pecah dan bertengkar, kini diumumkan sebagai figur utama perdamaian antar ummat
manusia.
Itu baru engkau dan aku. Sekali lagi, baru engkau dan aku. Engkau dan aku yang bukan siapa-
siapa. Yang dunia tidak merasa kehilangan ketika kita mati, dan tidak merasa kita ada tatkala kita
hidup. Baru engkau dan aku. Belum ribuan silang sengkarut lainnya yang skalanya besar, yang
nasional dan global.
Siapkah keluarga kita yang hidup di dunia apabila disebutkan siapa namaku dan siapa namamu
sebenarnya? Jelaskah di pandanganmu apa yang mungkin akan terjadi jika lembaran sejarah
menyebut nama kita dengan fakta-fakta riil yang menyertainya?
Sekedar auratmu dan auratku, sudah menyimpan bara darurat yang kita ngeri membayangkannya.
Belum lagi Indonesia dan NKRI, belum lagi Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur dan Megawati.
Bahkan apa yang ada dan sedang bergulir di lingkup kecil Istana hari ini saja pun engkau harus
mengauratinya. Sebab kebanyakan rakyat Indonesia lebih siap menyangga ketidaktahuan daripada
pengetahuan.
Yang darurat aurat bukan hanya orang, tokoh atau figur. Juga fakta peristiwanya, substansi
kejadiannya, hakekat peta masalahnya, lapisan-lapisan fakta samar di belakangnya.
Maka engkau kukasih pelok, bukan mangga.
Sebab aku tidak sedang berbicara kepadamu tentang orang, tentang tokoh, tentang pejabat, tentang
pemimpin dan apapun yang dari atas sana banyak menyebarkan kegelapan dan penggelapan ke
atap-atap rumah pengetahuanmu.
Pelok yang jangan dimakan tapi harus engkau tanam adalah hakekat persoalan dalam kehidupan.
Lika-liku kenyataan. Lapisan-lapisan nilai. Jarak sangat jauh antara yang engkau ketahui dengan
realitas yang sebenarnya. Suatu hakiki ilmu dan pengetahuan tentang probabilitas tak terbatas
dalam perikehidupan manusia, yang kreativitasnya di abad ini sedang meningkat naik ke puncak
kemunafikan, hipokrisi dan pemalsuan.
Kemunafikan yang kumaksud itu bukan sekedar peristiwa di dalam psikologi individu per
manusia. Kemunafikan sudah diterjemahkan ke dalam sesuatu yang disebut dan kemudian
dipercaya sebagai ideologi, visi missi, landasan pemikiran, program masa depan, bahkan Undang-
undang, Surat Keputusan, Peraturan, bahkanpun sudah dieksplorasi ke dalam Buku-buku
Pelajaran, informasi Media, kemudian melebar hingga obrolan di warung kopi, bengkel-bengkel
motor dan tepian perempatan jalan.
Anak cucuku dan para jm untuk sementara tambahkan kata pseudo di depan setiap kata yang
kau ingat. Pseudo-demokrasi, pseudo-Indonesia, pseudo-kepemimpinan, pseudo-halal dan banyak
lagi. Bahkan ada kata, idiom dan nama-nama sosial yang engkau tandai semacam X dengan kata
bukan. Misalnya bukan-negara, bukan-liberalisme, bukan-terorisme, bukan-madzhab dan lain
sebagainya.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
19 Pebruari 2016

Daur (18)
Hijrah Maiyah

Rasulullah saw tidak bisa mengatasi tantangan di Mekkah, maka beliau berhijrah ke Madinah.
Kita tidak mampu mengatasi masalah di negeri ini, maka kita berhijrah ke Maiyah.
Untuk diketahui, tulisan ini, mungkin juga berikutnya, merupakan lanjutan alur tema Darurat
Aurat, tapi secara teknis diberi judul yang lebih mendekatkan kepada muatan khususnya.
Dalam Perang Uhud pasukan Islam kalah. Tetapi letak kekalahannya tidak terutama pada
kekalahan dari musuh, sampai Rasulullah terluka dan dievakuasi ke sebuah celah di bukit Uhud,
sampai-sampai Punggawa Uhud menawarkan untuk menggugurkan batu-batunya untuk
menumpas pasukan musuh.
Letak kekalahan pasukan Islam di Uhud adalah karena mereka memenangkan nafsu dan
mengalahkan dua hal lainnya: pertama perhitungan rasional Rasulullah agar mereka jangan turun
bukit, meskipun musuh sudah lari tunggang langgang. Kedua, kepatuhan dan kepercayaan kepada
Rasulullah disekunderkan dari pendapat dan nafsu mereka untuk menuruni bukit.
Maiyah kalah kalau parameternya adalah kekuatan politik, ekonomi dan militer. Bahkan di ranah
media maya pun musuh berkeliaran bebas menghardik membuli memfitnah. Tetapi itu bukan
kekalahan meskipun juga belum kemenangan, jika parameternya adalah Perang Badar: Kita baru
saja pulang dari sebuah peperangan kecil, dan sekarang memasuki peperangan besar. Yakni
perang melawan nafsu.
Nafsu? Apa itu? Konteksnya apa saja? Skalanya seberapa? Dalam konteks Maiyah nafsu adalah
seluruh himpunan semangat untuk mengubah zaman, namun tidak memverifikasikan dirinya
kepada muhasabah aqliyah , perhitungan akal. Ialah misbah, cita-cita suci, niat dan visi jauh ke
depan yang dibersamai oleh
sunnatullah dan qudrotullah, tapi masih mengutamakan formula dan imajinasi karepku, bukan
tekun mempelajari kehendak-Ku minimal kehendak-Nya.
Kalau engkau Rasul Nabi atau
Auliyaullah , bisa langsung bersesuaian misbah mu dengan kehendak-Nya. Tapi warga
Maiyah adalah alUmmiyyin , kita awam dan faqir inda-Hu . Koordinat kita pada titik aktivasi
zujajah. Pembongkaran mesin akal dari kemapanan dan kebekuan hasil pendidikan zaman.
Maiyah mendidik diri sendiri untuk yang disebut Sabrang sudut pandang, sisi pandang, jarak
pandang, dimensi pandang, perspektif pandang. Melakukan pelatihan dan pembelajaran berpikir
linier, zigzag hingga spiral dan siklikal. Namun tetap dalam
maqamat yang disebut Kiai Tohar kita orang biasa, dengan kesaksian dan gerakan orang biasa.
Orang Maiyah tidak rendah diri untuk menemukan dirinya tidak berdaya atas sesuatu hal, dan
tidak menjadi mungguh menyangka dirinya berdaya atas hal lain. Orang Maiyah tidak
memfokuskan pandangan dan gerakannya pada perjalanan dirinya sendiri, melainkan pada Tuhan
dan penugasan-Nya.
Tetapi itu tidak berarti mengabaikan pembenci yang bebas merdeka menginjak martabatnya.
Sebab orang Maiyah pelaku tauhid, bergerak menyatukan diri dengan Maha Sangkan dan Maha
Paran. Maka martabatnya orang Maiyah yang diinjak adalah martabat Sang Maha Sangkan dan
Sang Maha Paran itu sendiri.
Tidak karena si Boss bermurah hati Sopir, tak perlu kejar penjambret itu, dia butuh makan, kita
masih bisa beli spion, sesudah spion mobil Boss dijambret maka pada penjambretan kedua si
sopir menoleh ke Boss nggak apa-apa ya Boss, saya nggak usah kejar penjambret itu, dia butuh
makan dan Boss masih bisa beli spion.
Maiyah menghadapi era sejarah penjambretan massal, nasional dan global. Mereka sendiri juga
korban penjambretan. Kalau pakai parameter Uhud, Maiyah tidak punya kemampuan militer
untuk meringkus masyarakat kelas penjambret. Tetapi kalau pakai kriteria Badar, orang-orang
Maiyah yang mengalir bergelombang bergenerasi-generasi, sudah, sedang dan akan menuju
kemenangan.
Maiyah tidak ikut menjambret, meskipun tidak sanggup menangkap dan mengalahkan kaum
penjambret. Maiyah tidak mampu menyelesaikan masalah nasional bangsa dan negerinya, tetapi
minimal mereka tidak menjadi masalah, apalagi menambah masalah kepada rakyat dan diri
mereka sendiri.
Sesungguhnya tidak tepat-tepat amat disebut bahwa Maiyah tidak mampu menyelesaikan masalah
penjambretan nasional. Maiyah memegang teguh suatu prinsip bebrayan horisontal, suatu pilihan
watak dan akhlak untuk tidak usil kepada siapapun saja, sebesar apapun masalahnya.
Masyarakat korban jambret belum pernah secara jahriyah atau transparan dan tegas memberi
mandat kepada Maiyah untuk bergerak meringkus kelas penjambret.
Masyarakat korban jambret dan Negeri Jambret itu sendiri tidak benar-benar menganggap ada
Maiyah, ada orang Maiyah, ada manusia Maiyah, ada Pasukan Maiyah. Jangankan lagi
diapresiasi, dihargai atau dipercayai. Dan andaikanpun masyarakat korban jambret mengamanati
Maiyah, orang-orang Maiyah baru akan bergerak sesudah lulus tabayyun secara vertikal. Tuhan
menegaskan kalian punya kehendak, Aku punya kehendak, yang berlaku adalah kehendak-Ku.
Itulah sebabnya kupersilahkan Maiyah memasuki ruang dalam rumah sejarahku. Itulah sebabnya
saya kuakukan hingga saat tertentu. Kusingkap sedikit auratku.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
20 Februari 2016

Daur (19)
Ajaran Kulit Mangga

Itulah sebabnya salah satu agenda Hijrah Maiyah adalah mewajibkan diri memasuki ranah sejarah
Muhammad sebagai manusia dengan segala segi dan gejolak kemanusiaannya.
Itulah sebabnya Syekh Nursamad jauh sebelum dipersatukan dengan Maiyah dituntun Allah untuk
berkonsentrasi pada penulisan Sirah Rasul, karena berabad-abad ummat manusia terlalu
ditenggelamkan hanya di dalam lautan teks hadits, dan sangat sedikit mengetahui, menghayati,
menikmati, mendalami dan mentakjubi kisah-kisah Muhammad sebagai manusia.
Itulah sebabnya Kiai Tohar selalu sangat bersikeras mempelajari kepribadian budaya Muhammad,
psikologi manusia Muhammad, geniusitas dan kebersahajaan pribadi Muhammad. Karena Kiai
Tohar tidak bisa terus-menerus menyaksikan para pengikut Muhammad meremehkan manusia-
Muhammad, menilai hampir semua adegan perjuangan beliau dengan take for granted namanya
juga Nabi, toh dia Nabi, lha wong Nabi.
***
Sebagaimana semua sunnatullah, ilmu yang lurus-lurus hanyalah sebagian kecil. Aurat inilah
yang sebagian besar manusia dan orang-orang sekolah tidak memperhatikannya, meskipun mereka
selalu mengalami di dalam kehidupan nyata mereka.
Darurat Aurat kupausekan pada tulisan ini, anak cucuku dan para jm kuajak masuk ke dalam
rumah, menengok dunia luar dari jendela dalam. Kemudian kutuntaskan Daurat Aurat kembali
sampai seri tulisan ke-40: berpuncak di Kepastian Wabal dan Fathu Maiyah.
Perhatikan milyaran pengikut Muhammad yang bergenerasi-generasi hingga sekarang diam-diam
sebenarnya tidak memerlukan Muhammad. Coba perhatikan. Ada (1) ajaran Allah dititipkan
Muhammad. Ada (2) pelantikan Allah atas kenabian dan kerasulan Muhammad. Dan ada (3)
manusia Muhammad.
Para Ulama hanya sibuk memperkenalkan yang pertama dengan yang kedua sebagai pakaian,
jubbah atau emblim. Yang disampaikan terutama hanya ajaran-ajaran yang toh dari dan milik
Tuhan, di mana kenabian dan kerasulan digunakan untuk legitimasi dan pemantapan hati
pengikutnya. Pada hakekatnya, karena yang sampai hanya ajaran, sebenarnya Tuhan
menitipkannya kepada bukan Muhammad juga tidak masalah. Andaikan Tuhan memutuskan
bahwa yang dititipi adalah Marzuki, Kruschev atau Kardjo, tidak ada persoalan yang timbul.
Kalau kita pakai lagi idiom mangga dan pelok, maka pengikut Muhammad hanya menikmati paket
irisan mangga dari Tuhan, terserah siapa yang disuruh membawanya ke ummat manusia. para
pengikut Muhammad tidak waspada bahwa inti makna sejarah mangga adalah pada peloknya.
Karena pekerjaan ummat manusia adalah
Tadib : berkebun peradaban dan bercocok tanam kebudayaan di muka bumi, menanam,
menyirami, memelihara, menjaga, hingga memetik buah hasil panennya, dengan bersabar diuji
oleh hama-hama, cuaca buruk dan para pencuri tapi untuk kemudian menanam lagi dan
menanam lagi.
Itupun, sekedar untuk mengingatkan orang Maiyah, bahwa milyaran pengikut Muhammad itu
tidak benar-benar menikmati manis dan sedapnya mangga. Semakin banyak pemimpin agama
yang menyaring buah mangga dengan disisakan hanya serat-serat fiqih dan dimensi hukumnya.
Seolah-olah agama hanya berdimensi hukum, tanpa terapan muamalah kebudayaan yang
mengamankan dan memberi nikmat. Seolah-olah agama hanya tombol pencetan on-off yang
menggerakkan atau menghentikan milyaran robot-robot pengikut Muhammad.
Yang dititipkan oleh Tuhan lewat Muhammad bukan hamparan sawah ladang, melainkan pagar-
pagar, tembok-tembok, dinding-dinding, batasan-batasan yang penuh trauma dan dikte, dakwah
yang menakutkan, tabligh yang mengerikan, ancaman neraka dan syarat yang hampir mustahil
terpenuhi untuk mendapatkan sorga. Bahkan para pengikut Muhammad tidak diberi pembiasaan
menghayati keputusan dimensi Wajib dan kemuliaan Sunnat. Karena domainnya hanya Halal-
Haram.
Semakin hari, semakin lama, semakin udzur zaman dan peradaban, akhirnya semakin terjelaskan
bahwa dari Tuhan, melalui Muhammad, yang sampai ke ummat kebanyakan bukan daging
mangga, melainkan kulitnya. Ibadahnya kulit, pemikirannya kulit, analisisnya kulit, tafsirnya kulit,
pelaksanaannya juga kulit. Padahal daripada memberi dan menyebar kulit mangga yang hanya
sangat sedikit manusia, kenapa tidak membagi-bagikan pelok saja dari Al-Quran, agar milyaran
pengikut Muhammad itu bercocok tanam mangga peradaban.
Maka sekali lagi salah satu paket hijrah Maiyah adalah memulai sungguh-sungguh belajar
mempelajari, mendalami, menghayati, hingga insyaallah mentakjubi kemanusiaan Muhammad,
karakter luar biasa Muhammad sebagai manusia, kasih sayang sosialnya, kemurahan hatinya,
kelembutan sikapnya, jiwa kedermawanannya, kecenderungannya yang sangat tinggi untuk
memudahkan proses kehidupan setiap manusia, dan berpuluh-puluh tonjolan karakter beliau.
Para pengikut Muhammad tidak cukup hanya makan mangga, atau seratnya, atau ternyata
kulitnya, tanpa menghayati asal usul mangga. Tidak bisa makan nasi tanpa ingat para petani yang
menanam padi. Tidak bisa makan buah apapun tanpa mengapresiasi tukang-tukang kebunnya.
Tidak sopan dan tidak berakhlak orang Maiyah menikmati makanan minuman tanpa menghayati
asal-usulnya, memahami susah payah, suka duka, gembira dan derita, riuh rendah dan
kesengsaraan orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan berat hingga makanan dan minuman itu
menjadi ada dan dinikmati.
Semakin para pengikut Muhammad menghayati kehidupan manusia-Muhammad, semakin
meningkat karakter rahmatan lilalamin mereka.
Semakin mereka mengerti dan seolah mengalami sendiri kualitas kemanusiaan Muhammad
meskipun itu juga berasal dari Tuhan semakin mereka menemukan yang dipilih menjadi
Puncak Universal Kenabian semua Nabi dan puncak Managemen Global segala Rasul: adalah
memang harus beliau. Harus beliau. Tidak bisa Kardjo, tidak mungkin Kruschev dan mustahil
Marzuki.
Demikian juga hakikinya dialektika Maiyah dengan para pelakunya.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
21 Pebruari 2016

Daur (20)
Melatih Ketidaklayakan
Mendidik Ketidakpantasan

Ini semacam dongeng sebelum tidur buat anak cucuku dan para jm. Kita tergeletak berjajar di
lantai Langgar. Lampu sudah dimatikan, kuharap di tengah dongengku jangan tiba-tiba kudengar
ada yang mengorok. Memang suaraku kubikin agak pelan, karena orang-orang yang di luar
Langgar tidak memerlukan dongeng ini. Meskipun demikian jangan sampai terjadi nanti aku
mendongeng berkepanjangan, ternyata kalian sudah tidur semua.
Pada zaman dulu ada seorang pengurus tertinggi sebuah negeri yang memilih para staf atau
punggawa-punggawanya menggunakan Ngelmu Katuranggan.
Turangga artinya kuda. Para pemelihara kuda meneliti dan memahami bermacam-macam karakter
kuda, kecenderungannya, bakatnya, staminanya, daya juangnya, mentalnya dan seluruh unsur-
unsur kejiwaan dan jasadnya. Peta pemahaman terhadap kuda ini ternyata kemudian bisa
diterapkan secara relatif kepada keberagaman manusia.
Sebuah negeri punya urusan yang beraneka-aneka. Pertanian, perekonomian, politik, kebudayaan,
pertahanan dan berpuluh pembidangan lainnya. Si pengurus tertinggi negeri itu tidak sekedar
mengidentifikasi para bawahannya berdasarkan ciri pribadi atau kecenderungan karakternya.
Tetapi juga mempetakan perjodohan setiap orang dengan urusan-urusan yang harus ditangani
bersama.
Perjodohan tidak berlangsung hanya antara lelaki dengan wanita. Bisa juga antara manusia dengan
hewan peliharaan. Antara setiap orang dengan arah dan mata angin, dengan jenis rumah, dengan
susunan pintu, tembok, kamar dan susunan depan belakangnya timur baratnya. Apakah itu
takhayul? Klenik? Gugon-tuhon? Khurafat?
***
Jawabannya: ya.
Kalau yang memberlakukan pola-pola itu tidak mendasarinya dengan dua hal. Pertama,
pengetahuan yang dibangun dengan penelitian, baik secara ilmiah modern maupun secara titen-
tradisional. Ia memilih dan mempercayainya secara buta dan dengan keyakinan yang tanpa nalar.
Kedua, pemahaman bahwa Allah menciptakan besar kecil, atas bawah, arah-arah, panas dingin,
kemarin dan besok, jasad dan udara, juga antara apapun dengan apapun semua itu dengan suatu
konsep. Tuhan menyusun itu semua dengan kemauan yang jelas. Tuhan menempatkan,
menjauhkan, mendekatkan, menempelkan, merenggangkan, antara apapun dengan apapun. Semua
itu
empan-papan dan dengan maqamat yang terang benderang di pandangan Penciptanya.
Termasuk gagasan Tuhan tentang anomali. Tentang perkecualian dan pengecualian. Illalladzina
kecuali mereka yang.
Dan pengurus tertinggi negeri yang kuceritakan ini sangat berhati-hati membaca jodoh tak jodoh
itu. Sangat waspada terhadap ketepatan, kelayakan, kepantasan. Misalnya ketika semua teori
komunikasi meyakini rumusan bahwa seorang petugas hubungan masyarakat adalah orang yang
fasih berbicara, yang lancar mengemukakan sesuatu, yang mumpuni kadar kemampuannya untuk
merangkum dan merangkai masalah-masalah si pengurus tertinggi negeri ini melakukan yang
sebaliknya.
Ia memilih punggawa komunikasi yang agak gagap, yang sangat lamban bicaranya, yang ekspressi
wajah dan sorot matanya tidak sedap dipandang, yang setiap tampil selalu menghabiskan waktu
yang panjang untuk informasi yang sedikit dan pendek.
Tentu saja pilihan ilmu dan metode yang terbalik itu bisa dilatarbelakangi oleh maksud baik
ataupun oleh niat buruk. Tetapi bukan itu tekanan pembicaraan kita. Yang kita beber adalah batas
pengertian tentang kelayakan, kepantasan, ketepatan, empan-papan.
***
Puluhan tahun ia mengurusi seluruh aspek negeri itu dengan pemahaman Katuranggan. Tidak
sangat berhasil, tapi juga tidak bisa disebut gagal. Tidak selalu benar, dan bahkan banyak
salahnya. Tidak pasti baik, bahkan sangat mudah orang mencari buruknya.
Tetapi minimal ia meletakkan lembu untuk menarik gerobak. Kerbau untuk membajak sawah.
Memakai wuwu atau jala untuk menjaring ikan, meskipun ia tidak tertutup pada kemungkinan
pukat harimau dan kapal besar pengeruk ikan. Dalam mengurusi segala sesuatu, ia selalu sangat
berhati-hati meletakkan orang atau sesuatu, berdasarkan pemahaman Katuranggan, ditambah
Ngelmu Pranotomongso. Ilmu tentang momentum. Tentang ketepatan waktu, di sisi ilmu tentang
ketepatan ruang dan isi ruang.
Sesudah yang saya ceritakan ini, berikut-berikutnya ada pengurus tertinggi negeri yang lain yang
tidak berpendapat bahwa ketepatan itu perlu. Atau minimal pengurus tertinggi yang ini punya
pandangan progresif bahwa ketepatan, kelayakan, kepantasan dan empan-papan tidak selalu
terikat pada ilmu baku Katuranggan dan Pranotomongso.
Ada sesuatu yang tampak tidak tepat tapi kemudian malah menghasilkan ketepatan. Bahkan ada
ketidaktepatan yang justru merupakan suatu jenis ketepatan. Orang yang pekerjaan sehari-harinya
menyabit rumput dan menggembalakan kambing dijadikan ketua nelayan. Jago rally motor diberi
tanggung jawab nyetir truk antar kota. Bahkan orang yang badannya sakit-sakitan disuruh jadi
ketua perguruan silat, hafidh Qurn diamanati jadi kepala teknologi.
Sejak itu penduduk seluruh negeri dibiasakan untuk melihat, merasakan dan mengalami banyak
hal yang tidak empan-papan. Masyarakat dilatih untuk memaklumi ketidaktepatan. Rakyat dididik
untuk terbiasa menelan ketidakpantasan.
Sejak itu sampai hari ini semua orang terbiasa memaafkan pelanggaran-pelanggaran hahekat
hidup. Terbiasa memaklumi jagoan pasar menjadi wakil rakyat. Terlatih untuk permisif untuk
ibarat orang shalat berjamaah: diimami oleh orang yang dalam keadaan najis
mugholladloh.
Sejak itu rakyat tidak merasa heran melihat siapapun menjadi apapun. Kursi pemimpin, Kiai,
pejabat, tokoh dan apapun yang tinggi-tinggi boleh diisi oleh siapapun tanpa hitungan kelayakan,
kredibilitas, hak ilmiah, proporsi nalar atau pola logika ekspertasi, kepantasan budaya maupun
kelayakan sosial.
Sejak itu budak boleh jadi raja, raja tak mengherankan ketika melorot jadi budak. Sejak itu kebun-
kebun buah dititipkan kepada kera-kera. Sejak itu kumpulan perampok dipasrahi mengamankan
gudang dari maling-maling.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
Yogya 22 Februari 2016

Daur (21)
Empat Huruf Yang Mengatasi Demokrasi dan Tuhan

Kekuatan besar dunia terus mempermainkan ummat manusia dengan melemparkan hati dan
pikiran mereka di sungai-sungai isu yang berganti-ganti: Islam musuh baru sesudah komunisme,
Arab Spring, Islam teroris, provokasi terencana untuk membuat Kaum Muslimin sedunia
bermusuhan, kemudian beberapa level isu, bom pura-pura hingga tema Wandu.
Kuharap anak-cucuku dan para jm tak usah membawa pembicaraan kita ini ke lapangan Indonesia
dan dunia. Ini bisik-bisik pribadi, aku kepada anak cucu dan para JM. Dunia dan Indonesia sangat
kuat dan berkuasa. Maka kalian kalau bisa berupaya agar jangan sampai dikuati dan dikuasai.
Kalian harus kuat dan berkuasa atas diri dan kehidupan kalian sendiri.
Kalau bisa jangan sampai terhanyut dan tenggelam oleh tipu daya global atau nasional apapun.
Maka selalu kutuliskan secara khusus dan berkala berbagai hal untuk itu, syukur menjadi bekal
untuk tidak terjajah oleh beribu tipu daya yang membanjiri kiri kananmu. Semata-mata buat anak
cucuku dan Jamaah Maiyah.
Sebenarnya jadwalku hari ini meneruskan PR lanjutan tulisan terutama perang terhadap kata dan
simpul-simpul masyarakat Jin. Tetapi alangkah menderitanya hatiku hari ini!
Hidup di dunia yang diciptakan sangat indah oleh Tuhan namun dibusukkan dan dikumuhkan oleh
peradaban ummat manusia yang penuh ketidakadilan dan keserakahan. Dan aku tersandera untuk
turut meramu obat untuk penyakit-penyakit yang seharusnya tak perlu ada. Ikut mencarikan jalan
keluar atas persoalan-persoalan yang sesungguhnya bisa tidak usah ada. Dipaksa berkata,
menyusun kalimat, menguraikan dan menjelaskan berbagai hal-hal yang semestinya tidak perlu
ada penjelasan apa-apa.
Hidup puluhan tahun di tepian jauh alam semesta dilepas oleh Tuhan dengan tugas untuk
mengembara mencari kunci demi kunci untuk membuka pintu-pintu rahasia-Nya. Untuk meraba
apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh-Nya. Mendengarkan bisikan-bisikan kesunyian untuk
menemukan apa hakekat kemauan-Nya, bagaimana alur skenario-Nya, apakah sudah mendekati
babak final skrip-Nya, ataukah masih jauh jauuuh di seberang cakrawala.
Tiba-tiba hari ini aku harus menuliskan sesuatu yang sangat merusak keindahan yang sudah
terbangun sangat lama di kedalaman jiwaku. Dunia dipenuhi oleh sampah-sampah hasil kerusakan
akhlak, oleh kemalasan dan kegelapan berpikir, oleh barang-barang dan peristiwa-peristiwa hina
produk dari keserakahan manusia, serta oleh berbagai jenis kekonyolan, kesempitan dan
kedangkalan yang awalnya terasa menggelikan, kemudian menyebalkan, dan akhirnya
memuakkan.
Mendadak aku diinstruksikan untuk menulis tentang Wandu. Betapa sengsaranya hatiku.
***
Wandu itu banci. Banci itu kelamin syubhat. Kemudian sebenarnya tidak ada kelamin syubhat,
tapi ditakhayuli oleh api nafsu yang menyamar sebagai hak alamiah. Lantas diambil alih oleh
akulturasi budaya di mana manusia tidak memiliki kontrol apapun untuk memahaminya dan untuk
menghindari terjebak terkurung dan diaduk-aduk oleh hakekat pembiasaan budaya itu.
Bahkan kemudian dilegitimasi oleh kekuasaan politik melalui legalitas hukum. Dan sesungguhnya
apa yang ditandatangani dan disebar-sebarkan itu tidaklah ada kaitannya dengan politik dan
hukum, melainkan berhubungan dengan niat perapuhan atas suatu kelompok masyarakat atau
bangsa. Perapuhan, pemecah-belahan, pengkebirian intelektual dan mental. Dan pangkal hajat
yang tersembunyi di belakang itu semua adalah skenario perampokan harta, penjambretan
kekayaan bumi di wilayah yang skala dan titik-titik koordinatnya sudah digambar di lembar kertas
perencanaan penjajahan.
Akhirnya hari ini semua orang di sekitarku senegara beserta beberapa masyarakat di beberapa
negara target lainnya, disibukkan oleh empat huruf yang heboh. Empat huruf yang dibiayai oleh
persatuan bangsa-bangsa untuk disosialisasi secara khusus sejak Desember dua tahun kemarin
hingga September tahun depan. Empat huruf yang di sejumlah negara besar di muka bumi semua
orang harus berpendapat sama tentangnya.
Empat huruf yang barangsiapa tidak menyetujuinya maka ia akan dihina dan dihardik. Empat
huruf yang lebih tinggi kekuasaan nilainya dibanding Demokrasi dan Freedom of Speech. Empat
huruf yang dibela total oleh Hak Asasi Manusia. Empat huruf yang hakekat kehadirannya bahkan
harus dipatuhi oleh Tuhan. Empat huruf yang mengubah sejarah penciptaan makhluk-
makhluk dan alam semesta. Empat huruf yang menambah lembaran catatan bahwa dulu Tuhan
tidak hanya menciptakan Adam dan Hawa, tapi juga Hawa dan Syahba, serta Adam dan Karta.
***
Ummat manusia semakin tidak percaya dan tidak merasa perlu meneliti batas dan jarak antara
sunnatullah atau ciptaan otentik alamiah dengan gejala budaya, interaksi kultur, fenomena
akulturasi dan pergesekan pengaruh di dalam kebudayaan kolektif manusia. Tidak bisa dan tidak
mau memperhatikan dan melihat perbedaan antara setan dari luar dengan setan dari dalam dirinya
sendiri, alladzi yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas . Tidak mampu dan tidak
bersedia menemukan pilah dan garis-urai antara ruh dengan nafsu, antara semangat hati dengan
gejolak api, antara cinta dengan kebinatangan, antara kesucian dengan pelampiasan.
Maka ummat manusia, terutama yang terpelajar, sudah tidak memerlukan pertimbangan mendasar
tentang apa yang harus dijalankan dan apa yang wajib tidak dijalankan. Apa yang layak dijunjung
dan apa yang seharusnya dihentikan. Apa yang bermasa depan untuk dianjurkan dan diaktivasikan
secara sosial, serta apa yang tidak bisa ditumbuhkan, tidak akan memuai menjadi pohon dan daun-
daun, serta sama sekali tidak akan pernah berbuah manfaat apapun bagi kehidupan.
Para aktivis empat huruf itu tidak menemukan apapun di dalam dirinya kecuali segumpal benda
yang berhakekat maut, segumpal sosok semu atau sekepulan asap khoyal yang baginya itu
merupakan kekayaan tertinggi dalam hidupnya. Ia lindungi sisa kekayaan itu dengan kotak baja
hak asasi manusia. Bahkan ia takut kehilangan gumpalan asap itu kalau beberapa saat saja ia
menoleh melihat apa sebenarnya asal-usul semua itu. Juga merasa akan kehilangan cinta semu
yang berperan sangat nyata di hati takhayulnya itu jika ia menatap cakrawala masa depan yang
jauh, tak usah masa depan dan regenerasi seluruh ummat manusia bahkanpun sekedar masa
depan dirinya sendiri dengan pasangannya.
***
Jika aku punya hak dan boleh memilih, takkan kutuliskan hal ini. Maka jika aku menuliskannya,
tidaklah sama sekali kumaksudkan untuk para empat huruf, bahkan juga tidak untuk masyarakat,
bangsa atau ummat manusia.
Aku menulis hanya untuk anak-anakku cucu-cucuku. Maka kubikin tidak gamblang, tidak mudah
dicerna, tidak seperti mangga yang sudah kukuliti kuirisi dan kusuguhkan di atas meja.
Aku menyampaikan kepada anak-anak cucu-cucuku bukan buah mangga, melainkan pelok, bijih-
nya. Tidak untuk dimakan, melainkan untuk ditanam di sawah ladang akal pikiran, untuk
diperkebunkan di semesta wawasan ilmu dan pengetahuan, untuk disirami dengan kecerdasan dan
disuburkan dengan menjaga persambungan dengan Maha Sumber Ilmu.
Ya Khuntsa.
Ya Mukhonnats.
Ya ayyuhal AlMukhnitsin.
Ya Luthy. orang menyebut mereka Qoumu Luth, alias Luthy. Tapi aku tak setuju sebutan itu.
Mereka bukan kaum Luth, karena Nabiyullah Luth yang mashum tidaklah sama sekali
mengajarkan kedangkalan, kesempitan, kesepenggalan dan kekonyolan itu.
Bahkan Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang oleh Allah disandera dalam cinta yang berupa
ujian hakiki alami berpotensi lebih besar untsa -nya atau
dzakar -nya, feminitas atau maskulinitasnya bukanlah warga empat huruf.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
23 Februari 2016

Daur (22)
Managemen keAdaman dan keHawaan

Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para jm memastikan pemahaman
bahwa empat huruf itu tidak sama dengan Mukhonnats, Wandu atau Banci. Sama sekali
berbeda.
Banci itu keadaan, yang menjadi identitas. Sepanjang tidak ditulari secara budaya, maka Banci
Mukhonnats Wandu adalah kehendak alamiah Tuhan. Di empat nomor tulisan ini kita belajar
pengelolaannya, ke dalam diri yang bersangkutan, maupun penanganan secara sosial.
Tetapi gay, lesbi, bisex dan transgender bukan keadaan, bukan identitas, melainkan
perbuatan atau perilaku sosial. Jadi empat huruf itu tidak menjelaskan identitas, melainkan
perilaku.
Tidak ada masalah kita lelaki, perempuan atau banci. Yang menjadi masalah adalah ketika lelaki
dan perempuan berhubungan seks tidak dalam pernikahan. Apalagi berhubungan seks sesama
jenis, dengan benda, dengan hewan, batang pisang atau tiang kayu, atau beramai-ramai berjenis-
jenis.
Kalau masalah yang timbul hanya terhadap hukum, moral atau norma sosial, masih tidak terlalu
mengancam kehidupan. Tapi kalau masalahnya adalah konflik dengan kemauan Tuhan, anak
cucuku dan para jm tolong jangan anggap ringan.
***
Yu Sumi, wanita yang kelelaki-lekakian, adalah seniorku dulu di desa. Guk Urip, lelaki yang
kewanita-wanitaan, juga senior era berikutnya. Dan Mas Bardi, lelaki gagah berbadan besar
gempal tapi kewanita-wanitaan, adalah juga senior hidupku di salah satu tempat perantauanku.
Tuhan menginformasikan bahwa Ia menciptakan makhluknya dengan potensi maskulinitas dan
feminitas dalam kadar yang berbeda-beda. Bahkan Ia sebut syuuban wa qabail , yang selama
ini diterjemahkan menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, meskipun ketika ayat itu turun
belum ada konsep atau perumusan tentang bangsa.
Syuub dan qabail tidak harus bermakna hanya suku atau tribe dan bangsa atau rumpun bangsa.
Penduduk negeri Benelux disebut tiga bangsa karena negaranya pun tiga, padahal sesungguhnya
mereka satu qabilah, atau satu bangsa, atau bahkan satu suku atau sub-bangsa. Semua itu sangat
relatif. Dan bagaimana pemetaan ciptaan Tuhan itu dipahami tidak dengan mempelajari konsep
dasar dari Tuhan, tetapi disimpulkan berdasarkan paham-paham temporer ilmu manusia. Yang
besok dibatalkan sendiri. Lusa dilanggar sendiri. Seminggu berikutnya diingkari, dibantah dan
dikutuk sendiri.
Mohon diingat oleh anak cucuku dan para jm, ini bukan tafsir, dan aku pun tak memenuhi syarat
untuk menjadi mufassir. Ini sekedar pesan pribadi kepada kalian, yang lebih baik tak usah
didengar oleh khalayak umum, agar tidak menambahi potensi perbedaan dan pertentangan.
Demikianlah ummat manusia bermain-main dengan arca dan patung-patung pemikiran dan
khayalannya sendiri. Patung bukan satu-satunya bentuk berhala. Justru mayoritas berhala dan
pemberhalaan bertebaran di peta pengetahuan dan pilihan ilmu kaum cendekiawan. Terutama di
hamparan hasil teknologi kebudayaannya. Abad 20-21 adalah peradaban ummat manusia yang
jumlah Latta-Uzzanya hampir tak bisa dihitung. Hampir seluruh arca yang diberhalakan itu
dikostumi dengan pakaian-pakaian agama, dijubahi dikerudungi dengan performa kesucian Tuhan
dan Nabi-Nabi.
***
Karena kemalasan berpikir, meneliti dan menganalisis, maka kumpulan-kumpulan manusia bisa
suatu hari keluar rumah dengan senjata tajam dan acungan tangan-tangan serta teriakan pekikan
yang menyebut nama Tuhan dengan penuh kegagahan dan keperkasaan membakar sebuah
patung, karena mereka tidak belajar untuk mengetahui bahwa arca yang perlu dibakar
sesungguhnya terletak di dalam dismanagemen berpikir mereka sendiri.
Apa yang kutuliskan ini mutlak tidak diperlukan oleh teman-teman kita sesama makhluk hidup
yang hampir mustahil memahami bahwa letak berhala-berhala yang mereka musuhi itu berada di
dalam akal mereka sendiri. Maka aku hantarkan nilai-nilai ini kepada anak-anak cucu-cucuku agar
jangan kelak menjadi keledai zaman yang mengulang-ulang ketidakmengertian dan memasuki
lobang-lobang ketidakpahaman sampai ratusan kali, mungkin ribuan kali, dan seperti tak ada
kemungkinan bahwa ribuan kali itu akan tidak bertambah dan diteruskan.
Anak-anak cucu-cucuku sudah hafal bahwa letak kekufuran, kemusyrikan, bidah, keterpelesetan
aqidah dan kesesatan dari garis tauhid, tidaklah berada di luar diri. Tidak di kota ataupun desa.
Tidak di bunyi ataupun sepi. Tidak di perempatan jalan atau di toko-toko besar. Tidak di
perkampungan atau gedung-gedung tinggi. Tidak di negara atau di rumpun suku-suku hutan
belantara. Tidak di dalam atau di luar masjid dan tempat-tempat ibadah ataupun persangkaan-
persangkaan ubudiyah yang lain.
Melainkan terletak di dalam akal dan hati masing-masing. Terletak di dalam ketidaktepatan atau
ketepatan tujuan utama kehidupan. Terletak di dalam lingkup niat dan hajat. Terletak di dalam diri.
Terletak di dalam diri. Jadi ambil pedang dan obor, berlarilah menghamburlah ke dalam diri
sendiri, tebas kebatilan akalmu dengan pedang dan bakar kebodohan pikiran diri sendiri dengan
api.
***
Yu Sumi di dusunku, seorang Hawa yang keAdam-Adaman, sampai akhir hayatnya tidak bisa
menemukan kepenuhan Hawa dalam dirinya, tapi juga hal itu tidak lantas membuatnya
berprasangka bahwa dirinya adalah Adam.
Tuhan menciptakan di dalam diri Adam terdapat potensi Hawa, yakni kelembutan, kasih sayang,
keluwesan. Adam melambai hatinya kepada Hawa dan anak-anaknya, bahkanpun kepada Qabil
sesudah membunuh Habil kakaknya. Tetapi hati melambai Adam tidak diekspresikan keluar
melalui tangan dan gerak tubuh yang melambai. Karena Adam diajari Tuhan untuk waspada dan
mengerti bahwa hidup adalah menata batas-batas.
Hawa juga memiliki unsur ke-Adam-an di dalam dirinya. Dan sebagaimana Adam, Ibu Hawa
menjaga batas bahwa ekspresi sosialnya harus mengutamakan ke-Hawa-annya dan mengelola ke-
Adam-annya untuk konteks-konteks tertentu di dalam metode pergaulan sosial.
Semua lelaki adalah Adam yang mengandung Hawa. Semua wanita adalah Hawa yang
mengandung Adam. Keduanya dan masing-masing adalah Khalifah, dan yang pertama-tama
mereka khalifahi adalah managemen internal dirinya sendiri, sebelum banyak omong dan
menghamburkan orasi-orasi tentang negara, demokrasi dan apapun keluar dirinya.
Lelaki bukan hanya kegagahan dan kekerasan, karena ia juga dibekali Tuhan kelembutan dan
kasih sayang. Wanita bukan hanya kelembutan dan kasih sayang, karena Tuhan juga
membekalinya dengan ketegasan dan kekerasan. Tidak ada anti-kekerasan. Yang ada adalah anti-
kekejaman. Tulang belulang wajib keras. Daging, otak, jantung dan paru-paru wajib lembut.
Darah wajib cair.
Tidak ada radikalisme, yang ada adalah radikalitas pada batas dan ukurannya. Kalau karena sakit
tertentu kaki harus diamputasi, maka harus diterapkan tindakan radikal memotong kaki. Kalau api
menguasai cahaya hati, maka dibutuhkan keputusan radikal untuk memadamkan api. Kekerasan
diperlukan untuk prosedur membuat anak dan mengabdi kepada sunnah regenerasi. Tetapi
kekerasan kelamin laki-laki harus diperjodohkan dengan kelembutan hatinya kepada istri.
Managemen keAdaman dan keHawaan di dalam diri setiap manusia memerlukan sekaligus
kelembutan dan kekerasan. Kepada nafsu syahwat harus keras dan radikal untuk mengatur
batasan-batasannya. Itulah sebabnya aku tuturkan kepada anak-anak cucu-cucuku tentang Yu
Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
24 Februari 2016

Daur (23)
Ahlul Glugu wal Kayu

Yu Sumi memakai celana atau sarung seperti lelaki. Pakai kaos, berjalan gagah seperti Werkudoro,
tangannya kokoh memegang arit, bendo, parang dan terkadang pedang jika diperlukan. Yu Sumi
memanjat kelapa tinggi dengan langkah naik yang sangat kuat, perkasa dan tangguh. Yu Sumi
mengurai sabut kelapa dengan jari-jarinya dan memecah batok kelapa dengan pojok jidatnya.
Sketsa sosok Yu Sumi ini kututurkan untuk anak cucuku dan para jm. Jangan sampai dibaca oleh
yang bukan kalian, sebab mungkin ini memalukan dan bisa jadi menjadi bahan tertawaan.
Sebagaimana aku, kalian tidak cukup terpelajar, bukan cendekiawan, tidak berbudaya modern dan
metropolitan. Kita orang dusun yang telapak kaki kita terlalu dekat ke tanah. Muatan dada kita
adalah hati petani, sedang di kepala kita tidak ada unsur intelektualitas kelas manusia modern.
Yu Sumi, yang Hawa, lebih kuat dari kebanyakan lelaki di desa saya.
Tetapi ia tidak melirik, melotot atau mengincar wanita-wanita, gadis-gadis atau Adam-Adam yang
keHawa-hawaan di desa. Yu Sumi tidak menjadi lesbisch lesbong lesboa atau lesung. Sampai
meninggalnya di usia hampir 60 tahun Yu Sumi tidak mencintai wanita, apalagi mencintai lelaki,
tidak berpacaran, tidak nikah. Yu Sumi bekerja keras.
Yu Sumi mengisi hidupnya dengan bekerja, bekerja, bekerja dan bekerja hingga kelelahan
kemudian tertidur. Yu Sumi tidak punya kekayaan dunia. Tidak punya pekerjaan tetap. Tidak
punya warung usaha atau apapun. Yu Sumi tidak cukup waktunya untuk memenuhi permintaan
para tetangga untuk membelah kayu, mencangkul dan nggaru nyingkal sawah, untuk melakukan
berbagai macam pekerjaan yang orang menyebutnya pekerjaan kasar dan rendahan.
Ya Ampun ya Salam alangkah kasar orang yang menciptakan istilah pekerjaan dan kasar. Dan
alangkah tidak punya kelembutan siapa saja di antara masyarakat yang menyebut pekerjaan Yu
Sumi adalah pekerjaan rendahan. Alangkah bodoh manusia yang menyebut Yu Sumi memanjat
pohon kelapa dan membelah kayu-kayu besar adalah pekerjaan kasar.
***
Itu pekerjaan keras. Memerlukan kekuatan dan kekerasan. Karena tidak mungkin membelah kayu
glugu dengan kelembutan. Betapa pentingnya kekerasan dalam bagian-bagian tertentu dari
kehidupan. Istilah pekerjaan kasar berasal dari manusia yang berhati kasar, yang diam-diam
merindukan kelembutan namun tak kunjung mendapatkannya. Istilah pekerjaan rendahan
bersumber dari orang-orang yang kenyataan martabatnya rendah, yang merindukan ketinggian
derajat namun tak pernah memperolehnya.
Yu Sumi wanita yang kuat dan keras, namun kekerasannya ia tumpahkan ke pohon kelapa dan
kayu-kayu, tidak kepada sesama wanita. Yu Sumi juga lembut dan mendalam cintanya, namun
kedalaman cinta itu ia kembalikan secara diam-diam dan sunyi kepada sumbernya. Yu Sumi
adalah
hardworker di dunia, namun di dalam dirinya ia adalah pengasih dan kekasih Tuhan, tanpa ia
puisikan, tanpa ia tasawufkan, tanpa ia romantisasikan dengan label Agama Nusantara, Agama
Pohon Kelapa, Ahlul Glugu wal Kayu atau apapun.
Yu Sumi dikatakatain sejumlah orang di dalam hatinya, namun tak pernah pengkatakataan itu
dikatakatakan melalui mulut mereka. Yu Sumi diejek-ejek oleh sejumlah anak-anak kecil yang
melihatnya sebagai keanehan: perempuan kok sarungan, wanita kok memanjat kelapa dan
membelah kayu-kayu. Tetapi tak usah Tuhan, Yu Sumi yang tak sekolah dan tidak nyantri pun
cukup untuk mengerti bahwa anak-anak tidak berdosa dengan ejekan-ejekannya itu. Dan Yu Sumi
tidak pernah bodoh untuk marah kepada anak-anak itu. Sebagaimana Tuhan pun tidak
menghukumi atau menghardik anak-anak manusia yang belum aqil (sanggup menggunakan akal)
baligh (mampu menyampaikan kebaikan).
***
Yu Sumi sangat bermanfaat hidupnya bagi para tetangga. Yu Sumi pekerja sangat keras, rajin,
tekun dan anti-kemalasan. Masyarakat desa tidak terpelajar tapi sepanjang hidup Yu Sumi mereka
menjaga aurat. Bahwa posisi khuntsa, kehadiran mukhannats Yu Sumi adalah aurat yang harus
mereka lindungi bersama. Tidak dibuka-buka. Tidak didiskusipublikkan. Tidak
dimedsosmedsoskan. Tidak menjadi agenda pemikiran dan undang-undang. Tidak dilebailebaikan
dengan bermacam akrobat ilmu dan pengetahuan, tidak dilebihlebihkan dengan pernyataan-
pernyataan dan ideologi.
Dan Yu Sumi menolong masyarakat dengan mengalah secara sosial dan mentransendensikan
secara keTuhanan, meskipun untuk melakukan semua itu Yu Sumi tidak memerlukan pengenalan
tentang berbagai kata dan istilah yang mumbul-mumbul muluk-muluk khas manusia dan
peradaban modern yang merasa dirinya pandai dan paling hebat.
Yu Sumi secara naluriah sangat mengerti satu hal. Bahwa eksistensinya adalah rahasia Tuhan, di
mana ummat manusia tidak sanggup menanggung dengan ilmunya, tidak sanggup menyangga
dengan pengetahuannya. Yu Sumi secara sukma dan jiwa tahu bahwa ia adalah rahasia Tuhan.
Pusat berkah atau celakanya terletak pada posisi nafsu seksualnya.
Dan Yu Sumi punya harga diri kemanusiaan yang sangat tinggi, karena memang demikian Tuhan
menentukan makhluk satu ini sebagai
ahsanu taqwim, sebagai masterpiece ciptaan-Nya, sehingga Tuhan memilih dan melantiknya
sebagai khalifah-Nya, sebagai wakil-Nya. Yu Sumi mengetahui itu semua karena ia belajar dengan
caranya sendiri, berdasar posisi sosialnya sendiri, serta membatasi diri pada kerahasiaan ketentuan
Tuhan yang ia pagari dengan waspada dan seksama di tengah pemetaan sosial masyarakatnya.
Karena mengerti tingginya derajat sebagai manusia, Yu Sumi dengan sangat radikal menumpas
nafsu seksualnya. Berat pada tahun-tahun pertama. Tapi segera Yu Sumi menemukan bahwa untuk
melawan nafsu hanyalah diperlukan satu lompatan kecil di dalam jiwa dan mentalnya. Nafsu sex
tidak seram bagi Yu Sumi. Tidak muluk-muluk dan tidak berkuasa atas dirinya.
Yu Sumi cukup tekan knop off dalam maintenance mentalnya. Sampai akhirnya sang nafsu
putus asa untuk berani-berani on di dalam diri Yu Sumi. Apalagi setiap kali sang nafsu mencoba
nakal menggodanya, Yu Sumi ambil nafsu itu dari dalam dirinya, dicabut, dikeluarkan, digenggam
dengan tangan kirinya, ia pelototi dan ia banting pecah berkeping-keping di tanah terjal desa kami.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
25 Februari 2016

Daur (24)
Hak Asasi Kanker dan Benalu

Jika tiba hari Jumat, ada desakan dari dalam diri keAdaman Yu Sumi untuk ikut berjamaah shalat
Jumat. Tapi itu akan membingungkan semua orang dan pasti menjadi sumber pertengkaran
masyarakat. Maka ia duduk di balik rerimbunan daun-daun di belakang masjid. Ia mendengarkan
khotbah dan merenung.
Penggalan kisah sederhana ini kuperuntukkan bagi anak cucuku dan para jm, karena masyarakat
umum tidak memerlukan butiran kecil ilmu dan pengetahuan yang tidak istimewa. Jadi anak
cucuku dan para jm simpan sendiri saja.
Ketika itu belum ada khotbah yang menyebarkan kebencian dan kutukan. Belum ada khotib yang
merasa dirinya selevel dengan Tuhan sehingga tak mungkin salah, yang pendapatnya pasti benar,
dan kebenaran yang ada di otaknya bersifat absolut. Waktu itu belum ada pemimpin agama yang
sombong dengan pandangannya, yang angkuh dengan ilmunya dan takabbur dengan merasa
pandainya.
Di zaman Yu Sumi hidup, juga Guk Urip dan Mas Bardi, belum ada manusia yang begitu
yakinnya bahwa ia dan mereka akan pasti menjadi penghuni sorga, dan mempercayai bahwa
siapapun yang tidak berpandangan dan tidak hidup seperti mereka akan pasti menjadi penghuni
neraka.
Sehingga Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi tidak pernah berjumpa dengan manusia yang
sombong karena agamanya, yang angkuh karena ibadahnya, yang merendahkan orang lain karena
imannya, yang mengutuk siapapun saja yang bukan mereka. Mereka bertiga belum pernah
mengalami pergaulan dengan manusia yang mampu menciptakan harmoni antara ibadah kepada
Allah dengan kekejaman kepada manusia. Yang merangkai dengan mantap iman kepada Tuhan
dengan perusakan dan penghancuran atas sesama manusia.
Indah benar hidupnya Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi karena di era mereka belum ada manusia
beragama yang meyakini bahwa bumi dan alam semesta adalah hak mereka, sehingga yang bukan
mereka harus dimusnahkan. Bahwa Tuhan menciptakan bermilyar galaksi, bertrilyun-trilyun
planet ini tidak untuk siapapun kecuali segolongan manusia, yang jumlahnya sangat sedikit,
sehingga cukup ditampung di beberapa Kecamatan di suatu negeri kecil. Tuhan menciptakan alam
semesta yang luasnya tak terukur ini tidak untuk siapapun kecuali untuk sejumlah manusia yang
hanya memerlukan sebuah pulau kecil di bumi yang sangat kecil untuk tempat tinggalnya.
***
Berbahagia benar Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang hidup tanpa pernah menjadi masalah
bagi lingkungan masyarakatnya. Yang masyarakat sekitarnyapun tidak pernah riuh rendah
memperdebatkan diri eksistensi mereka, karena ummat manusia pada zaman itu selalu
menjalankan toleransi tanpa menyadari adanya kata toleransi dan mereka sendiri tak pernah
mengucapkan kata toleransi dari mulutnya.
Masyarakat di mana ketiga sahabat kita hidup sangat mengerti aurat, memahami hakekat batas,
tahu persis apa yang harus dibuka dan apa yang sebaiknya ditutupi. Apa yang sebaiknya
dikendalikan dan apa yang tidak masalah jika dilampiaskan. Mengerti apa yang harus dikontrol
untuk tidak berkembang karena daya perusakannya luar biasa atas kehidupan dan masa depan.
Meskipun Yu Sumi aman mendengarkan khotbah Jumat dari kebun belakang masjid, tapi
sebenarnya ia menempuh jalan cukup jauh membelah desa untuk bisa sampai ke gerumbul tempat
ia bersembunyi dan nguping khotbah. Masjid itu terletak di jalur tengah desa, yang penghuninya
pada umumnya berkultur santri. Hanya ada masjid dan musholla di jalur tengah. Sedangkan di
jalur selatan dihuni oleh para petani abangan. Dan Yu Sumi sendiri tinggal di jalur utama. Jalur
dan lingkungan yang anak-anak sekolahan menyebut sebagai jalur masyarakat yang terbelakang,
kurang berbudaya dan belum mengenal agama.
Karena lingkungan sosialnya, hampir mustahil Yu Sumi berpeluang untuk belajar mengaji, duduk
di bangku sekolah atau belajar apapun kecuali dari kehidupan dan perenungannya sendiri. Padahal
Yu Sumi tidak pernah mendengar apa itu perenungan, apa itu santri atau abangan. Yu Sumi tidak
punya ustadz, tidak berguru kepada kiai, tidak pernah tahu selama hidupnya suatu benda ajaib
yang bernama televisi. Jangankan lagi gadget, internet, medsos, browsing, IT, demokrasi, Revolusi
Industri ke-IV, terlebih-lebih lagi Bank Syariat. Yu Sumi tidak punya mursyid, syekh, guru bangsa,
begawan, panembahan. Yu Sumi hanya tahu secara naluriah bahwa ada yang maha besar dan
berkuasa dalam hidupnya, ada hidup dan kelak ada mati, ada asal-usul dan titik tujuan, entah akan
ada akhirnya atau tidak.
Yu Sumi hanya punya Tuhan. Bahkan Muhammad hanya sesekali ia dengar nama itu dari khotbah
di masjid yang ia nguping. Tetapi Yu Sumi memiliki kecerdasan intelektual dan kewaspadaan
sosial, serta tahu secara alamiah bahwa ia tidak boleh menjadi beban bagi siapapun, tidak boleh
menjadi masalah bagi lingkungannya, meskipun tidak pernah berani beranggapan bahwa ia harus
atau bisa atau punya kemungkinan untuk bermanfaat bagi kehidupan di mana ia menumpang.
***
Maka ia mengambil keputusan untuk memenuhi waktunya untuk bekerja. Bekerja keras sepanjang
siang dan kalau perlu tambah separo malam.
Yu Sumi sangat sedikit berbicara. Ia menyapa dan menjawab sapaan siapapun yang ia berpapasan
dan bertemu. Tetapi ia tidak pernah berdiskusi, meminta, menuntut, membantah, berdebat,
membela diri, mempertahankan apapun. Ia bekerja saja dan bekerja saja. Sampai akhirnya Tuhan
memindahkannnya dari desa saya ke kampung baru yang hanya Tuhan yang tahu. Entah di bumi
ini, atau mungkin di planet lain, atau di luar galaksi, atau siapa tahu tetap di sekitar desanya
namun di koordinat dan gelombang yang berbeda.
Yu Sumi bekerja keras memenuhi hidupnya, sehingga unsur lain dalam dirinya, misalnya nafsu
sex, tersingkir dan bagaikan tak ada. Sepanjang hidup Yu Sumi aku hanya pernah melihatnya
berpakaian sarung yang itu-itu juga. Kira-kira ada dua lembar sarung, satu dua kaos dan baju.
Wajahnya tidak pernah mengekspresikan tuntutan, harapan, atau amarah dan perlawanan. Yu Sumi
madhep mantep bekerja dan bekerja.
Ia tidak pernah mendengar kata hak atau kewajiban. Dan beruntunglah dia. Sebab kalau ia sampai
tahu hak dan memahami artinya, kecerdasannya akan memberi ucapan-ucapan yang berbahaya
bagi dirinya: Aku berhak memenuhi nafsuku. Aku berhak kawin dengan sesama manusia apapun
jenisnya, bahkan adalah hakku juga untuk kawin dengan lembu, pohon pisang atau buah
mentimun. Aku berhak menjadi apapun sesuai dengan hak asasiku. Aku berhak menjadi kanker,
menjadi benalu, menjadi penyakit, menjadi kuman, bakteri, virus, racun, atau apapun yang aku
mau.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
26 Februari 2016

Daur (25)
Pandai Kepada Diri Sendiri

Kalau Yu Sumi mengerti apa itu kewajiban, terutama kewajiban kepada Tuhan, salah satu
kemungkinannya adalah ia akan menjadi ahli ibadah.
Ia merasa eman kalau sedikit saja mengurangi ibadahnya. Ia tidak melewatkan satu jam semenit
sedetik pun untuk beribadah. Tidak ada yang lebih mulia dari beribadah kepada Tuhan. Tidak ada
yang dipuji Tuhan melebihi hamba-Nya yang mengisi siang dan malam dengan ibadah.
Akibatnya Yu Sumi akan didatangi oleh semacam ujian. Ia sangat mungkin menjadi seseorang
yang karena tekun ibadahnya maka ia punya naluri untuk membandingkan dirinya dengan orang
lain berdasarkan kerajinan ibadahnya.
Tahap berikutnya ia memperoleh sub-ujian bahwa ia merasa dirinya lebih dekat kepada Tuhan
dibanding orang lain yang kurang beribadah, terlebih lagi dengan orang yang tidak beribadah.
Rasa lebih dekat kepada Tuhan itu bisa memperanakkan rumusan atau gambaran bahwa yang rajin
beribadah berderajat lebih tinggi dibanding yang tidak beribadah.
Rasa lebih tinggi itu bisa mengurangi jarak pergaulan Yu Sumi dengan orang lain yang tidak
setekun ia ibadahnya. Kemudian bisa berkembang menjadi rasa meremehkan orang yang tidak
beribadah, berikutnya merendahkan, berikutnya lagi bisa menjadi cibiran yang merendahkan,
meskipun hanya di dalam hati. Dan kalau tidak hati-hati, Yu Sumi bisa sampai pada suatu
anggapan yang berkembang menjadi pendapat yang diyakini, bahwa sesungguhnya yang lebih
berhak hidup di dunia adalah orang yang tekun beribadah dan dekat dengan Tuhan.
Pandangan itu bisa memuai menjadi keputusan sosial untuk memusuhi siapa saja yang tidak
beribadah. Memusuhi bisa membengkak menjadi keyakinan untuk membuang, membunuh atau
memusnahkan. Tuhan adalah Maha Tuan, semua manusia adalah abdinya. Barangsiapa tidak
beribadah, maka ia bukan abdi. Dan siapa saja yang bukan abdi, ia tidak berhak hidup di bumi
Tuhan. Sehingga harus diusir atau disirnakan.
***
Semua ummat manusia di peradaban apapun meyakini secara mantap dan hampir absolute bahwa
anak-anak manusia harus berpendidikan, berkebudayaan, harus belajar membaca dan menulis,
harus mencari ilmu dan pengetahuan.
Juga Yu Sumi. Tapi yang kukatakan kepada anak cucuku dan para jm ini tak perlu dibawa-bawa ke
para tetangga. Mereka tidak memerlukan pikiran seperti ini. Mereka sudah beres hidupnya, tidak
ada manfaatnya semua yang kukatakan kepada anak cucu dan para jm ini.
Mungkin Yu Sumi sebaiknya berpendidikan seperti mereka. Ia harus mengerti hak dan kewajiban.
Ia wajib mempelajari Islam, membaca Al-Qurn dan menjalankan peribadatan. Akan tetapi
berdasarkan seluruh sejarah Yu Sumi, dan berlaku khusus untuk Yu Sumi, aku harus menyimpan
di laci rahasiaku bahwa kewajiban-kewajiban itu kemungkinan besar malah membahayakan hidup
Yu Sumi.
Sebab di samping ada peluang besar bahwa dengan itu semua Yu Sumi menjadi manusia
sombong-agama dan merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang di sekitarnya yang
juga sangat penting adalah kemungkinan bahwa sesudah ia menjadi ahli ibadah: kadar kerja
kerasnya pasti berkurang.
Yu Sumi akan menjadi lebih banyak omong, sedikit kerja. Banyak omongnya pun isinya adalah
muncul dari tinggi hati, merasa lebih suci, yakin lebih dekat kepadaTuhan dibanding semua orang.
Mungkin sesudah menjadi ahli ibadah Yu Sumi menjadi punya masalah dengan memanjat kelapa
dan membelah kayu. Di samping energinya mengecil untuk kerja keras, mungkin saja bekerja
memanjatkan kelapa untuk tetangganya sangat kecil nilainya dibanding satu sujud dalam shalat.
Dan kalau karena kecerdasannya pada akhirnya Yu Sumi menjadi benar-benar pandai mengaji dan
tahu banyak ilmu, mungkin ia akan diminta mengajar di sana-sini. Ia menjadi sibuk, dan akhirnya
kehilangan keterampilannya untuk bekerja. Pada akhirnya ia bisa menjadi Ustadz atau Ustadzah
tidak karena ilmunya melainkan karena tidak punya kemampuan untuk bekerja.
Tentu kehidupan mengandung kemungkinan tak terbatas. Namun terang benderang bahwa Yu
Sumi dilindungi oleh Tuhan dengan formula eksistensinya, dengan keawamannya, dengan
kebutahurufannya, dengan ketidakmampuannya atas ilmu dan kepandaian, dan
mempertapakannya dalam kesibukan memanjat kelapa dan membelah batu.
Maka Tuhan tidak mentakdirkan Yu Sumi kawin dan beranak. Karena akan bisa menjadi masalah
orientasi bagi anaknya. Hampir mustahil anaknya, jika ada, akan mampu dan mau memanjat
kelapa dan membelah kayu, karena zaman dan lingkungannya sudah berubah.
Teknologi berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya adalah manusia kehilangan dirinya,
manusia menjadi luntur kemanusiaannya, manusia menurun kemampuan bekerjanya. Bahkan
manusia bukan hanya mewakilkan pekerjaan ini itu kepada robot dan onderdil teknologi industri.
Bahkan sudah cukup lama menjadi robot dan onderdil teknologi dan obeng tang catut industri.
***
Akan tetapi Guk Urip kawin dan punya anak, sekarang bahkan sudah mulai lahir cucu-cucu. Mas
Bardi juga kawin, meskipun tidak punya anak.
Siapapun yang pernah ketemu dengan Guk Urip dan Mas Bardi, langsung tahu bahwa mereka
melambai. Bahkan sangat melambai. Dan itu tidak karena akulturasi, tidak karena penularan dari
siapapun, tidak karena pengaruh lingkungan budaya.
Tetapi Guk Urip dan Mas Bardi tidak terlalu bodoh atas dirinya sendiri. Mereka melakukan
reformasi ke dalam dirinya sendiri, jiwa maupun jasadnya.
Sama dengan apapun dalam kehidupan, sesuatu direformasi, ditemukan proporsi dan harmoninya.
Ada besi yang dipotong atau disambung. Ada kayu yang digergaji atau disusun beberapa batang.
Ada cairan yang ditambah atau dikurangi volumenya. Ada gas yang dipadatkan atau dikurangi
kepadatannya.
Ada logam yang diambil sedikit dan logam lain diambil banyak. Ada sesuatu yang dipacu dan
lainnya dikontrol. Ada laju yang di-gas dan pada momentum tertentu di-rem. Ada sesuatu yang
dilampiaskan dan lainnya dikendalikan. Ada ini itu yang dihitung batas perkembangannya
sementara yang lain justru dipacu kesuburannya.
Memang demikianlah kehidupan. Juga diri setiap manusia sendiri adalah bagian, bahkan yang
utama, dari kehidupan. Ada sesuatu dalam diri manusia yang perlu dikendalikan, ditahan,
dipuasakan, dibatasi atau bahkan mungkin dihilangkan, misalnya daging tumbuh yang tidak pada
tempat dan proporsi alamiahnya.
Dan managemen diri semacam itulah yang dilakukan oleh Guk Urip dan mas Bardi. Apalagi Yu
Sumi.
Kalau engkau menyangka hidup ini isi utamanya adalah hak, dan itu menjadi landasan utama dari
perilakumu, menjadi hulu-ledak dari kelakuanmu, menjadi dasar pikiran untuk mengambil
keputusan menuju masa depanmu aku tidak akan mempersalahkanmu. Tidak akan
membantahmu. Juga tidak mengecam atau menghardik dan mengutukmu.
Hanya dua kata yang kalau kau minta, aku bisikkan ke telingamu: Tunggulah waktu.
Dari cn kepada anak-cucu dan jam
27 Februari 2016

Daur (26)
Di Tengah Hutan Belantara Indonesia dan Dunia

Buat anak cucuku dan para jm yang kita sama-sama belum tahu, kita ditertawakan kalau ada orang
di luar rumah kita yang mendengar dialog-dialog bodoh dan konyol kita. Maka belajarlah
menyimpan. Ada sesuatu yang sebaiknya kita sosialisasikan, ada sesuatu yang lain, termasuk
omong-omong kita ini, yang lebih afdhal kalau berlangsung di antara kita saja.
Indonesia sudah fix segala sesuatunya. Dunia ini seluruhnya sudah hampir tidak ada persoalan.
Hanya kita saja yang masih perlu belajar hal-hal tertentu dan mempelajari hal-hal lain. Anak
cucuku dan para jm tahu bahwa di dunia di luar rumah kita seringkali ada tulisan yang oleh
(nama) ku tapi bukan aku yang menulis. Ada tulisan ku 20-30 tahun yang lalu tapi disebar
seolah aku menulis kemarin sore. Ada banyak akun-akun ku yang bukan aku.
Ada banyak video hasil editan orang-orang yang berniat baik yang aku dipertengkarkan dengan ini
itu, diadu-domba soal macam-macam yang aku tak pernah memaksudkannya untuk beradu dengan
siapapun. Semua yang kuomongkan adalah untuk anak cucu dan para jm, dengan bahasa dan
konteks untuk anak cucu dan para jm, dengan nuansa, dimensi, urgensi dan tajaman-tajaman untuk
anak cucuku dan para jm.
Tetapi salah secara pemikiran, rendah secara rohani dan remeh secara mental, kalau dari
kedhaliman kepada kita itu hasilnya pada diri kita adalah kemarahan, dendam, niat pembalasan,
atau apapun yang mencerminkan kelemahan dan ketidakmatangan diri. Lebih hina lagi dan salah
kelola kalau karena hantaman-hantaman dan penganiayaan kepada kita lantas mengurangi kadar
kasih sayang kita semua kepada ummat manusia. Terutama kepada mereka yang melalimi kita.
Dunia ini kita serap ilmu, hikmah dan makrifatnya, tetapi kita tidak mempersoalkan dunia dan
tidak punya soal dengan dunia. Apalagi Indonesia, yang tidak kenal kita, yang tidak tahu ada kita,
dan anak cucuku hendaknya jangan kasih tahu bahwa ada kita. Bukan karena kita menolak
silaturahmi, tetapi karena kita tidak mampu berbuat apa-apa kepada dan untuk Indonesia.
Kita hidup tidak di arena peradaban manusia. Kita berada di tengah hutan belantara. Di mana
setiap orang bisa melakukan apa saja tanpa tanggung jawab. Di mana siapa-siapa yang harus
bertanggung jawab, bukan bertanggung jawab atas dasar keharusan hidup untuk bertanggung
jawab, melainkan dipilih berdasarkan kepentingan pihak yang menuntut tanggung jawab.
Kita beralamat di tengah hutan rimba di mana setiap makhluk boleh berteriak, menuding, memaki
dan memfitnah, tanpa terbentur oleh tembok tanggung jawab. Hutan belantara tidak memerlukan
tembok. Siapapun bisa melakukan kecurangan, kekufuran, kedhaliman dan penggelapan, tanpa
kawatir akan mendapatkan akibat apa-apa. Sebab hutan belantara tak ada batas nilainya, tidak ada
perjanjian antar makhluk-makhluknya, tak ada tata ruang dengan aturan-aturannya. Hukum bisa
ditegakkan untuk mencelakakan. Negara bisa dibangun untuk menyamarkan perampokan. Bahkan
agama bisa dikerudungkan sebagai pakaian untuk pencurian dan penipuan.
***
Aku beserta anak cucuku dan para jm ini hina papa, tidak memiliki apapun yang bisa kita berikan
kepada Indonesia dan dunia. Karena Indonesia dan dunia semakin berkembang menjadi hutan
belantara.
Bahkan kita mengaku saja bahwa karena kebelantaraan habitat yang mengurung kita, maka
kepada diri kita sendiripun kita tidak punya apa-apa untuk kita berikan. Kita hanya penyadong
kedermawanan Tuhan. Kita pengemis berderajat sangat rendah di depan pintu gerbang Istana
Tuhan. Itu pun permohonan kita belum tentu dikabulkan, karena belum cukup persyaratan hidup
kita untuk berhak mendapatkan kemurahan dari Tuhan.
Dari detik ke detik siang malam sepanjang tahun sejauh-jauh jatah waktu, kehidupan kita
tergantung absolut pada kasih sayang Tuhan. Jika ada sedikit kelebihan berkah-Nya kita akan
cipratkan kepada Indonesia dan sedekahkan kepada dunia, untuk lega-lega dan GR perasaan kita
sendiri, sebab Indonesia dan dunia tidak kurang suatu apa, sehingga tidak memerlukan apapun
dariku beserta anak cucuku dan para jm.
Maka jangan sampai aku beserta anak cucuku dan para jm menjadi masalah bagi hutan belantara.
Dan kita berjuang tanpa henti agar hutan belantara pun tidak menjadi masalah bagi kita.
Kegelapan hutan tidak membuatmu kehilangan arah, karena engkau belajar memancarkan cahaya
dari dirimu. Keliaran belantara tidak membuatmu takut dan keder, karena keberanian tidak terletak
di hutan melainkan di dalam susunan saraf rohanimu sendiri.
Ketidakberaturan rimba tidak membebanimu, karena kalau engkau menemukan, menyadari dan
memuaikan kebesaran dirimu, maka hutan belantara engkau genggam di tanganmu, engkau olah di
mesin pikiranmu, dan engkau jinakkan di semesta rohanimu.
Tetapi jangan lupa, engkau hanya menempuh batas untuk mengatasi dirimu sendiri di tengah hutan
belantara. Tetapi itu tidak pasti berarti engkau sanggup mengatasi hutan belantara itu pada skala
hutan dan kebelantaraannya.
Jangankan hutan belantara. Bahkan pun bagi Indonesia dan dunia: sudah jelas kita tidak punya
ilmu, daya dan kuasa untuk bisa mengatasi masalah-masalahnya. Maka sekurang-kurangnya kita
jaga diri agar jangan pernah menjadi masalah bagi Indonesia dan dunia. Kita sudah sangat
bersyukur bahwa Tuhan menciptakan kita, meletakkannya di tanah Indonesia, di permukaan bumi
dan di pinggiran dunia.
Jangankan menjadi masalah, meminta apapun jangan. Kalau diberi, kita pertimbangkan sepuluh
kali putaran. Kalau ada hak-hakku beserta anak cucuku dan para jm, kita lihat kemashlahatan dan
keutamaannya untuk kita ambil atau tidak. Sekedar menerima hak-hak yang disampaikan pun
jangan lakukan tanpa perhitungan kasih sayang. Apalagi sampai menagih hak, mengejar hak,
meneriakkan hak, mendemonstrasikan hak, mengibar-ngibarkan hak: mari anak cucuku dan para
jm berlindung kepada Tuhan dari kerendahan dan kefakiran mental semacam itu.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
28 Februari 2016

Daur (27)
Interupsi Markesot

Masih tersisa empat belas tulisan lagi untuk dibacakan. Tapi rupanya Markesot sudah tidak bisa
menahan diri melihat perkembangan situasi di ruangan itu bersama empat puluh orang teman-
temannya.
Mendadak ia berdiri.
Markesot melepas ikat pinggangnya, yang ternyata adalah cambuk. Berjalan keliling ruang,
terkadang melompat ke berbagai arah. Tertawa. Panjang. Sesekali sampai terguncang-guncang.
Kemudian terdengar suara ledakan-ledakan, memecah kesunyian di ruangan itu. Markesot
meletus-letuskan dan meledak-ledakkan cambuknya.
Seperti pesta mercon. Atau deretan bunyi semacam tembakan-tembakan senjata api. Ada yang
seperti suara mercon banting, tiba-tiba di sela-selanya ada ledakan agak besar. Semua bercampur
aduk dengan suara tertawa Markesot.
Suara tertawa Markesot terkadang menggelikan, di saat lain mengerikan. Seperti tertawa orang
yang sedang menjumpai sesuatu yang sangat lucu, tapi kemudian tiba-tiba suara tertawa itu
berubah aneh, seakan berasal dari dunia yang lain yang asing sama sekali bagi yang
mendengarnya.
Tertawa Markesot berganti-ganti mengungkapkan rasa lucu, kegembiraan, kesedihan, putus asa,
atau campur aduk antara berbagai macam situasi jiwanya.
***
Tentu saja empat puluh orang yang berada di dalam ruangan itu kalang kabut.
Tujuh orang di antara mereka, dikagetkan oleh letusan dan ledakan bertubi-tubi itu ketika sedang
duduk tertib dan khusyu. Tetapi kekagetan itu tidak membuat mereka beranjak. Mereka hanya
menggerakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya, sambil memejamkan mata dan
menundukkan kepala.
Masalahnya, tiga puluh tiga orang yang lain sedang tidur pulas ketika ledakan itu memecah
kesunyian di ruangan itu. Reaksi mereka bermacam-macam ketika mendadak mereka
dibangunkan oleh festival letusan dan hantaman ledakan itu.
Ada yang langsung terduduk, wajahnya kebingungan, matanya kosong menoleh ke kiri dan kanan.
Ada yang dari posisi berbaringnya langsung berdiri dan memasang kuda-kuda silat seakan-akan
sedang diserbu mendadak oleh Pendekar Kedung Prewangan, bertiga dengan Kiai Singorodra dan
Mbah Kalibuntu.
Bahkan ada yang dari keadaan tidur, dalam hitungan sekon langsung melompat keluar ruangan
dengan tangannya memutar-mutar kalung rantai besi yang diambil dari lingkaran pinggang di
balik bajunya.
Sebagian dari mereka ada yang kaget oleh ledakan-ledakan, duduk dengan mata masih tertutup,
sesaat kemudian tidur berbaring lagi. Yang lebih hebat lagi, beberapa orang hanya membuka
matanya sejenak dengan sedikit menggerakkan kepala, kemudian tidur lagi.
Dan yang paling hebat dari empat puluh orang itu adalah mayoritas di antara mereka yang sama
sekali tidak terusik oleh mercon atau tembakan, letusan atau ledakan, sekali atau berkali-kali.
Mereka sangat tenang. Nyenyak tidurnya tak terusik. Telinganya kebal, gendangnya dilapisi oleh
semacam plastik tebal hasil teknologi modern.
***
Padahal cukup lama bunyi tembakan dan mercon itu terdengar menyiksa ruangan. Bahkan ada
saat-saat ledakan cambuk Markesot itu menggelegar seperti datang dari langit. Lebih dekat
dibanding suara letusan gunung yang justru terdengar agak sayup dari kejauhan.
Terasa sekali ada ledakan yang sejatinya bukan suara ujung cambuk yang dihentakkan oleh tangan
yang kokoh perkasa, melainkan ledakan kawah amarah jauh dari kedalaman jiwa Markesot.
Seluruh jagat raya termuat di dalam ruh manusia. Ledakan yang khusus itu seakan-akan adalah
gabungan antara kemarahan dari pusat Bumi dan halilintar sambutan persetujuan dari langit.
Ledakan pada tingkat itu mestinya terdengar dari luar ruangan rumah perkumpulan empat puluh
orang itu. Tapi mungkin juga tidak sama sekali.
Itu bergantung pada sikap udara di dalam ruangan itu serta di luar rumah. Kalau udara
berkemauan untuk menghantarkan suara itu, maka yang di sekitar ruang itu akan mendengarnya.
Tapi kalau udara terikat oleh keputusan untuk tidak menghantarkannya ke luar rumah, dan cukup
mengedarkan suara itu di dalam ruangan rumah saja, maka demikianlah yang terjadi.
Sikap dan keputusan si Udara itu untuk menghantarkan suara atau tidak di sebuah skala ruang,
bergantung pada perjanjian yang dilakukannya dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan
suara itu. Bergantung pada perjanjian, atau pada kepatuhan udara kepada ini atau itu.
Termasuk jika udara mengambil keputusan sendiri berdasarkan kedaulatannya sendiri. Letusan-
letusan, ledakan-ledakan dan suara tertawa Markesot sedang menggaduhi ruangan, belum ada
waktu untuk mendiskusikan tema di sekitar keputusan si Udara. Termasuk dengan siapa dan apa
saja ia berkonstelasi, menyelenggarakan perundingan dan mengambil keputusan. Atau siapa yang
dipatuhi oleh Udara.
***
Kegaduhan itu kemudian berakhir pada satu bunyi ledakan sangat keras, menggelegar disertai
gemerincing.
Sesudah ledakan terakhir yang bergemerincing itu, Markesot berdiri di salah satu pojok ruang,
bertolak pinggang. Wajahnya meringis. Kemudian tertawa lagi tapi tidak sungguh-sungguh, suara
tertawa yang tidak berasal dari unit mesin yang memproduksi tertawa dari dalam diri Markesot.
Tapi akhirnya tertawa Markesot itu terputus mendadak. Markesot berwajah sangat serius. Matanya
menatap ke depan. Berkeliling sorot mata itu menimpa satu per satu wajah demi wajah di ruangan
itu, kemudian berhenti dan macet di tubuh-tubuh bergeletakan yang tidur sangat pulas. Dan itu
adalah mayoritas di antara empat puluh sahabat-sahabat Markesot.
***
Mereka orang-orang yang sangat bahagia hidupnya. Istiqamah dalam ketenteraman. Jantungnya
terus menjalankan irama secara stabil, tidak terganggu oleh peristiwa apapun di sekitar mereka.
Ritme ngorok mereka sangat mandiri. Nafas seratus persen teratur keluar masuknya. Hati mereka
tenang bagai ruang hampa. Pikiran mereka tak bergeming oleh apapun saja. Secara keseluruhan
jiwa mereka bagaikan pertapa. Duduk di tikar ketenteraman, mentalnya tegak teguh bagaikan
pilar-pilar baja raksasa.
Andaikan ada gempa besar, didahului oleh letusan amarah gunung, kemudian banjir lahar dingin
bercampur asap amat panas dari neraka yang dibocorkan ke permukaan bumi, mereka tidak
berubah sedikit pun dari ketenteramannya.
Mungkin mayoritas inilah yang dimaksudkan oleh Tuhan tatkala memanggil hamba-hambaNya:
Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Pengasuhmu dalam keadaan meridloi dan diridloi.
Ayo kalian berhimpunlah ke dalam golongan-Ku dan masuklah ke dalam sorga-Ku.
***
Sambil menatap wajah-wajah mereka dan merenungi kedalaman suasana yang beberapa jam ini
tadi berlangsung, Markesot mengeluh kepada dirinya sendiri:
Ternyata begini ini dunia. Tidak sejauh ini aku menyangka tentang remehnya manusia. Dan
kehidupan yang Tuhan kehendaki ini ternyata jauh lebih bersahaja. Sampai setua ini tetap saja aku
salah kuda-kuda.
Sesungguhnya yang terjadi bukanlah Markesot menginterupsi pembacaan tulisan-tulisan dan
suasana di ruangan itu, tetapi aslinya Markesot sedang menginterupsi proses pemikiran dan
penghayatan hidup di dalam dirinya sendiri.

Daur (28)
Tidur Sebagai Cara Membaca

Apaan itu si Markesot meledak-ledakkan cambuk? Memangnya film silat. Kisah khayalan para
pendekar. Di abad ke berapa lelaki memakai cambuk digulung melingkari pinggangnya
difungsikan sebagai sabuk. Apa di abad 21 ini masih ada romantisme Kiai Sabuk Tampar, yang
melawan halilintar dengan meletuskan gemerincing ujung cambuk ke angkasa.
Apaan itu berlari-lari sambil tertawa-tawa. Perilaku siapa yang seperti itu selain ekspressi orang
tak waras. Orang dewasa di zaman kapanpun dalam sejarah, tidak lazim berperilaku seperti itu.
Anak-anak kecil pun tidak mengekspresikan kebebasan kekanak-kanakannya dengan berlari-lari
sambil tertawa-tawa, kemudian berhenti bertolak pinggang memelototkan mata ke berbagai arah.
Andaikan Markesot hanya tokoh fiktif, tidak sepantasnya juga untuk diberi adegan menggelikan
semacam itu. Tidak ada novel, skrip teater, tradisional ataupun modern, yang mengarang pelakon
yang kalau bicara seolah-olah seorang filosof. Kalau berkomunikasi sering memakai bahasa orang
terpelajar, tapi berperilaku layaknya gelandangan yang tidak berpendidikan.
Atau preman setengah-setengah yang sok sakti dengan senjata tajam, meskipun tajamnya hanya di
rangkaian besi-besi kecil di ujung cambuk.
***
Pertanyaan, penilaian dan pernyataan seperti itu sama sekali tidak bisa disalahkan pada siapapun
yang melihat Markesot.
Akan tetapi andaikan ada yang benar-benar berjumpa dengannya, mohon tidak usah
melontarkannya kepada Markesot. Bahkan sinar mata dan pancaran wajah siapapun jangan
membuat Markesot mendengar bahwa di dalam hatinya berbunyi pertanyaan dan pernyataan
seperti itu. Markesot jangan dipancing untuk meluncurkan puluhan argumentasi untuk
menjelaskan dan membela apapun yang ia lakukan.
Dan hendaknya dimafhumi oleh siapapun saja bahwa yang sanggup melawan argumentasi
Markesot hanyalah Markesot sendiri.
Sudahlah diterima saja ia apa adanya. Daripada nanti kerepotan sendiri harus mendengarkan
Markesot menguraikan panjang lebar tentang Ilmu Peta Diri , di mana ia menjelaskan karakter
dan perilakunya secara amat sangat gamblang dan benar-benar tak terbantahkan. Mending
mengalah dan bertoleransi saja menerima Markesot sebagaimana sejatinya dia.
Toh dia tidak akan minta ditraktir makan. Ia pantang numpang tinggal di rumah siapapun.
Mustahil akan melamar minta pekerjaan. Pasti tidak akan mengganggu siapapun dan di manapun.
Terlebih lagi sangat-sangat mustahil ia merayu untuk dijadikan menantu siapapun yang punya
anak gadis secantik apapun.
Direlakan dan dilupakan saja cambuk itu, ledakannya dan tertawa gilanya. Toh memang benar
Markesot mengumpulkan empat puluh anak-anak, teman-teman, orang-orang, atau entah
bagaimana tepatnya menyebut mereka, di Patangpuluhan.
Mengumpulkan, berpesan sesuatu kepada masing-masing, semacam PR, untuk saling
menghidangkannya satu sama lain dalam pertemuan yang disepakati. Yakni setiap yang hadir
harus membawa tulisan, dua tiga sampai empat halaman. Tidak ada batasan. Masing-masing
berdaulat untuk menentukan apa yang ditulisnya. Bebas bentuknya. Tidak dipersyarakatkan
bermutu tidaknya.
Markesot bukan Guru mereka, senior mereka atau tokoh ini itu yang mereka segani. Bahkan kalau
bicara level sosial, mereka rata-rata lebih tinggi pencapaian sosialnya dibanding Markesot. Lebih
jelas pekerjaannya, jelas pangkat dan jabatannya, jelas sukses ekonomi dan kariernya. Sementara
Markesot boleh dikatakan tidak bisa dicatat apa prestasinya.
Jadi kenapa mereka tidak berkeberatan diminta berkumpul dan dikasih PR oleh Markesot?
Itu tidak ada hubungannya dengan peran, fungsi, level sosial, prestasi, reputasi, kewibawaan,
apalagi kekuasaan dan ketinggian derajat. Mereka juga bukannya segan, apalagi patuh, kepada
Markesot.
Mereka beramai-ramai datang dari berbagai tempat berkumpul di Patangpuluhan didorong oleh
satu sebab yang sangat sederhana. Kalau bersama Markesot mereka selalu gembira. Bertahun-
tahun di waktu yang lalu hampir tiap hari mereka bergaul dengan Markesot, yang terutama mereka
dapatkan adalah kegembiraan dan semangat hidup. Rasa tenteram, hati ringan menghadapi segala
sesuatu. Tenaga hidup serasa berlipat-lipat. Jiwa dan mental tetap kokoh kuat meskipun
menghadapi persoalan-persoalan seberat apapun.
***
Jadi kenapa tiba-tiba Markesot marah-marah? Memenggal proses, berlaku gila, bikin suara-suara
letusan, tertawa-tawa, menghentikan pembacaan tulisan-tulisan yang mereka telah membuatnya
dengan tidak mudah? Kenapa?
Yang paling terganggu adalah tujuh orang yang sejak awal tadi intensif mendengarkan tulisan
demi tulisan, mengajaknya masuk ke berbagai wilayah-dalam persoalan-persoalan. Kenapa
dipotong oleh Markesot? Apa dia tidak suka, tidak setuju atau menilai bahwa karya-karya itu
kurang memenuhi syarat?
Atau karena kebanyakan pendengarnya tidur? Bahkan ada yang mengorok terang-terangan. Ada
yang belum tuntas mendengar satu tulisan sudah tergeletak badannya. Siapa tahu ia memang
capek? Karena perjalanan sangat jauh di seberang pulau ke Patangpuluhan? Bukankah tidur adalah
solusi yang paling benar dan tepat untuk capek? Ajaran apa yang menganjurkan badan capek
diatasi dengan mendengarkan filsafat dan pemikiran?
Siapa juga yang bisa memastikan bahwa orang yang tidur adalah orang yang terputus
hubungannya dengan suara dan peristiwa di sekitarnya? Apakah ada orang yang tidur total?
Apakah jantung pernah tidur? Apakah darah pernah berbaring? Apa sesungguhnya yang terjadi
pada hati seseorang tatkala tubuhnya tidur? Apa pula yang berlangsung pada pikirannya?
Apakah pikiran pernah tidur? Apakah pikiran pernah tidak bekerja? Siapa yang pernah
menyempatkan diri berwawancara dengan pikirannya masing-masing, tentang apa yang
dilakukannya ketika tidur?
Bukankah Markesot sendiri yang sering menyeret-nyeret semua di sekitarnya ke wilayah imajinasi
dan eksplorasi probabilitas seperti itu? Apakah Markesot menyangka tiga puluh tiga teman yang
tidur itu dipastikan terputus hubungannya dengan tulisan-tulisan yang dibacakan?
Bagaimana kalau ternyata mereka mendengarkan sambil tidur? Mendengarkan dalam tidur?
Mendengarkan dengan cara tidur? Bukankah pernah ada dua Kepala Negara mengadakan
pembicaraan resmi dan salah satunya tidur?

Daur (29)
Universitas Patangpuluhan

Agak berlebihan-lah tujuh orang itu. Memang bisa saja ada kemungkinan seseorang tidur tapi
mendengar dan belajar. Ada perangkat-perangkat tertentu di dalam sistem kesadarannya yang tetap
bekerja meskipun resminya ia sedang tidur.
Markesot sendiri ketika dituduh oleh sejumlah orang bahwa ia seorang pemikir, ia membantah.
Saya bukan pemikir. Sama sekali bukan. Sebab yang berpikir adalah akal saya yang
mendayagunakan otak. Yang mengerjakan pemikiran bukanlah saya, melainkan kerjasama jasad
otak di bawah ubun-ubun saya, dengan pendaran magnet hidayah dari Tuhan yang menembus
batok kepala saya.
Tapi lupakan itu. Biasa, Markesot sok makrifat. Juga yang tidur dan mengigau biarkan terus
menjalani kedaulatannya untuk tidur dan mengigau. Tujuh teman Markesot ini tadi sudah
dicampakkan masuk ke hutan belantara Indonesia dan Dunia, tiba-tiba diputus arus listriknya
oleh Markesot. Kalang kabut hati dan pikiran mereka. Sampai terengah-engah nafas di dada
mereka.
Berdasarkan urutan tulisan-tulisan, hutan belantara itu harus segera diteruskan dengan Hujan
Deras Tidak Basah Kuyup, Bismillah Lompat Masuk, Persaudaraan dengan Hujan, Tuhan
Berakibat Sorga, Hujan Berputar-putar Abadi dan seterusnya. Semua itu tak sengaja
bersambung tema dan nuansanya satu sama lain.
Tidak karena kencan untuk itu. Tetapi karena empat puluh orang itu memang bertahun-tahun
mengalami pembiasaan penyatuan hati. Seberagam apapun pikiran, kesibukan pekerjaan dan
pengalamannya, tetapi mereka selalu menyatu di area jiwa yang lebih dalam.
Kalau Markesot seenaknya menghentikan kesatuan rangkaian itu, bisa merusak irama, komposisi
dan aransemen urat-urat saraf tujub orang yang sudah sangat khusyuk sejak awal tadi.
***
Salah satu dari tujuh orang itu tidak tahan untuk tidak protes kepada Markesot. Tetapi sebelum
mulutnya membuka, dilihatnya Markesot malah tertidur di pojok ruang. Mendadak saja tidur lelap
sambil duduk. Padahal gema ledakan cambuk dan suara tertawanya belum lenyap dari telinga
tujuh temannya.
Tujuh teman itu berpandangan satu sama lain. Kemudian bersama-sama mereka tertawa
terpingkal-pingkal.
Sangat bahagia. Memang beginilah Universitas Patangpuluhan. Suasananya. Nuansanya. Pola
interaksinya. Komposisi nilai-nilainya. Dimensi-dimensi yang baku, yang baru, yang
mengejutkan, yang aneh, yang liar. Iklim Universitas Patangpuluhan menyeret setiap penghuninya
untuk menemukan yang paling hidup dari kehidupan. Yang paling luas dari keluasan dan paling
dalam dari kedalaman.
Universitas Patangpuluhan seakan punya kedung kahuripan atau sumber daya hidup yang sangat
sukar ditemukan di universitas yang secara resmi benar-benar universitas. Bukankah orang-orang
di Pasar Patangpuluhan pun mafhum bahwa rumah hitam di belakang area pasar itu sama sekali
bukan gedung Sekolah, apalagi Universitas. Melainkan tempat mangkalnya orang-orang atau
entah siapa saja yang tidak jelas.
Rumah hitam yang pintunya tak pernah ditutup. Yang orang-orang berdatangan tanpa ukuran
waktu, siang, malam, tengah malam, menjelang Subuh, sesudah subuh, terus-menerus. Orang-
orang kecopetan di Stasiun Kereta atau Terminal Bus parkir di situ. Orang-orang frustrasi mau
bunuh ini itu mendarat di bawah pohon waru depan rumah hitam itu. Orang sakit, orang gila,
gelandangan dari luar kota, macam-macam makhluk lainnya, bercengkerama di naungan
kehitaman rumah itu.
***
Mungkin terasa agak muluk-muluk. Tapi memang ciri komunitas Markesot adalah pendidikan
kedaulatan diri. Menemukan sejarah diri. Asal usul diri.
Sangkan diri dan paran diri. Dari mana diri ke mana diri. Tidak dibatasi pakai Tuhan atau tidak.
Tidak disarankan untuk memilah antara alam dengan kebudayaan. Tidak diharuskan untuk
memulai sejarah itu dari kurun sebelum alam diciptakan. Boleh cukup dimulai dari Ibu Bapaknya,
atau klan keluarganya, suku-nya, atau wiwitan kebangsaannya.
Bahkan masing-masing berdaulat untuk melandasi tulisannya dari pandangan yang sesubyektif
apapun. Misalnya bahwa dulu setiap manusia menciptakan dirinya sendiri, sehingga sejak awal
hingga akhir kelak ia menggenggam hak asasi dirinya sendiri.
Manusia punya kebebasan untuk memenggal asal-usulnya dengan kedua orang tuanya, termasuk
dengan manusia yang pertama dahulu kala. Manusia berdaulat untuk mengklaim hak asasinya dan
tidak ada urusan atau ikatan dengan kewajibannya kepada sesama manusia, alam lingkungannya
serta bumi tempat tinggalnya.
Empat puluh orang yang berkumpul di Patangpuluhan itu sepenuhnya berdaulat atas diri dan
setiap keputusan yang diambilnya. Kedaulatan diri itu nanti mungkin berjumpa dengan nilai-nilai,
dengan benar atau salah, rasional atau tidak nalar, baik atau buruk, pas atau melenceng,
bermanfaat atau sia-sia. Dan bermacam nilai-nilai lainnya. Tapi itu nanti. Sekarang urusannya
berdaulat atas diri masing-masing terlebih dulu.
***
Siapakah sebenarnya empat puluh orang, empat puluh teman, empat puluh anak itu?
Barang siapa pernah sedikit tahu gambaran sosok Markesot, mestinya bisa mengidentifikasi juga
siapa empat puluh makhluk yang berada di sekitarnya.
Markesot mungkin bisa menjadi salah satu contoh tipologis manusia Negeri Katulistiwa. Manusia-
manusia komplit meskipun kebanyakan masih pada tingkat potensial-embrional. Orang yang
secara alamiah memiliki ragam bakat, multi-talent, komprehensif dan luwes mengatasi
pembidangan-pembidangan. Terampil untuk melakukan banyak hal sekaligus. Secara keseluruhan
sebenarnya tinggal satu-dua langkah bagi mereka ini untuk menjadi seperti yang di jaman dulu
pernah digambarkan sebagai manusia seutuhnya.
Markesot sendiri sangat komplit, sampai-sampai tidak jelas yang mana yang Markesot.
Bukan tipologi manusia spesialistik, meskipun tidak berarti di dalam proses hidup mereka harus
kalah dengan jenis manusia-spesialistik. Tapi sekaligus ragam bakatnya itu bisa justru menjadi
halangan banyak di antara mereka. Mampu melakukan banyak hal, sehingga sukar menentukan
satu hal untuk ditekuni. Akhirnya tidak mencapai satu hal pun, karena banyak bakatnya itu
dilakukan semua tapi setengah-setengah.
Terus terang, meskipun tolong tidak usah diucapkan ini dengan menyolok di depan siapapun saja,
sesungguhnya bagi pandangan umum: Markesot termasuk contoh manusia yang gagal seperti itu.
Tampak mampu melakukan banyak hal, tapi ternyata tidak ada satu halpun yang ia fokus dan
tekun.
Jadinya Markesot tidak mencapai dan tidak menjadi apa-apa.

Daur (30)
Ilmu Peta Diri

Padahal Markesot sendiri yang, sejak di Universitas Patangpuluhan dulu sok-sok berteori-teori
mengkategorikan manusia. Markesot sering mengemukakan, dalam konteks itu, empat macam
manusia.
Yakni manusia yang tahu banyak tentang banyak hal. Manusia yang tahu sedikit tentang banyak
hal. Manusia yang tahu banyak tentang sedikit hal. Dan manusia yang tahu sedikit tentang sedikit
hal.
Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan dan permakluman orang-orang yang terlanjur mengenal
Markesot, Markesot adalah manusia jenis pertama. Markesot tahu banyak tentang banyak hal,
sehingga gagal memilih yang mana di antara banyak pengetahuan itu yang ditekuninya.
Tahu, mengerti, bisa, mau, mengerjakannya dan sukses. Markesot pasti tahu, tapi belum tentu
mengerti, belum teruji bahwa dia bisa, dan jelas dia tidak pernah benar-benar mengerjakannya,
sehingga Markesot tidak mencapai sukses apa-apa.
Banyak di antara empat puluh teman-teman Markesot itu malah lebih berhasil mencapai sukses
dibanding Markesot. Ada yang nyata menjadi tokoh masyarakat, pejabat, pemuka organisasi,
pengusaha cemerlang, pemimpin di bidang keagamaan, penulis yang merajalela karyanya, bahkan
ada yang aktif sebagai dukun. Dan beragam lagi sukses mereka, dibanding Markesot yang tak
pernah berhasil menjadi apa-apa atau siapa-siapa di kalangan masyarakatnya.
***
Padahal, meskipun skalanya sangat lokal, Markesot adalah penggiat kemajuan hidup di hampir
segala bidang. Pembelajaran intelektual, penekunan spiritualitas, pendidikan politik, kritisisme ke-
Negara-an dan ke-Pemerintahan, perambahan dan pendalaman ideologi-ideologi, eksplorasi
teknologi bahkan multi-teknologi, dari stasioner mesin motor hingga pendistribusian dan negosiasi
penjadwalan hujan, dan bermacam-macam lagi pekerjaannya.
Markesot memang sangat berbakat teknologi, mesin, listrik, otomotif, logika fisikanya luar biasa,
memahami mesin pesawat dan arloji mini atau filosofi balase sepur atau rel kereta api, sama
bagusnya.
Tetapi Markesot tidak mencapai eksistensi apa-apa. Tidak menjadi engineer. Tidak punya patent
penemuan teknologi apa-apa. Tidak menjadi kepala montir di bengkel mobil. Tidak menjadi
teknolog. Tidak menjadi kepala unit atau apalagi Direktur bidang teknologi apapun. Tidak menjadi
tokoh kunci di pabrik mobil. Tidak apapun dan siapapun.
Markesot pernah menjelaskan secara sangat teknologis metode bagaimana menghentikan bocoran
lumpur yang meluap-luap dari perut bumi menjadi danau. Tetapi karena tidak ada yang bertanya
kepadanya, tidak ada yang meminta tolong kepadanya, bahkan pun tak ada yang sekedar bertanya
saja kepadanya, maka dia diam saja.
Markesot tahu semua itu sebabnya adalah karena memang tidak ada siapapun yang mengerti siapa
dia. Tidak ada yang pernah mengidentifikasi dan mengukur kemampuan-kemampuannya.
Hasilnya adalah tidak ada siapa-siapa yang percaya kepadanya. Markesot merasa sangat
menderita. Khususnya bab luapan lumpur itu. Bukan karena ia tidak dikenal, apalagi dipercaya.
Tapi karena ia tidak tega melihat suatu kemudlaratan yang menimpa banyak manusia, namun ia
tidak pernah mendapatkan perintah untuk menolong mengatasi keadaannya.
***
Markesot juga seorang pejalan rohani yang istiqamah luar biasa. Ahli wirid dan pelaku thariqat
yang mengerikan perjalanan hidup yang ditempuhnya. Terutama tanggungjawab tauhidnya. Tetapi
Markesot tidak punya Klub Dzikir. Tidak memimpin Kelompok Komunitas Wirid. Jangankan
menjadi Mursyid, Syekh ini Maulana itu.
Setiap orang yang ketemu Markesot, melihat sosoknnya, pakaiannya, wajahnya, cara
komunikasinya, lingkungan pergaulannya, tidak akan percaya kepadanya kecuali membayangkan
Markesot adalah seorang makelar serabutan di Pasar. Tidak ada tanda-tanda keunggulan apapun
yang tercermin di segala sisi penampilannya. Tanda kecerdasan ya tidak ada. Kearifan,
kematangan, kepandaian, kecanggihan, keterampilan, apapun lah.
Markesot tidak memancarkan cahaya yang membuat orang merasakan bahwa ia seorang yang
linuwih. Aura ya tidak. Wibawa ya tidak jelas. Benar-benar tidak ada yang layak diharapkan dan
diandalkan dari penampilannya.
Padahal Markesot puluhan tahun lamanya berkeliling ke banyak tempat sebagai seorang penggiat
sosial. Di berbagai peristiwa ia mampu memagnet banyak orang. Menyerap dan
menghimpunkelompok-kelompok masyarakat untuk diajak melakukan berbagai jenis kebaikan
bersama.
Bidang garapnya pun ragam dan luas. Yang berkaitan dengan kerjasama penghidupan ekonomi.
Kebersambungan sosial. Kreativitas budaya. Pendalaman rohani. Keterdidikan intelektual. Bahkan
penanganan psikologi. Pengupayaan kesehatan badan. Eksplorator penggalian kedalaman tenaga
batin. Pengobatan terhadap situasi benci dan bentrok kolektif. Serta bermacam-macam lagi
pengelolaan sosial yang jumlah bidangnya berbanding lurus dengan jenis permasalahan yang
muncul di masyarakat.
***
Tetapi, meskipun demikian, hasil puncak dari beratus kegiatan Markesot itu adalah pertanyaan
umum: Markesot? Siapa itu? Apa kegiatannya? Kok tidak eksis?.
Sehingga kalau ada yang menanyakan bagaimana Markesot menilai dirinya sendiri berdasarkan
cara pandang Ilmu Peta Diri yang Markesot sendiri yang sering memakainya untuk menjelaskan
manusia dan masyarakat?, Markesot pasti menjawab: Lihatlah seluruh hidup saya, maka akan
kelihatan contoh manusia yang paling gagal dari cara pandang itu.
Markesot sendiri yang dalam banyak kesempatan selalu menunjuk dirinya sendiri untuk
menjelaskan contoh orang gagal, orang tidak sukses, orang tidak berpestasi dan tidak punya
reputasi. Tidak perlu lantas siapapun memberinya stempel merendahkan diri untuk menaikkan
derajat. Sebab toh tidak ada fakta apa-apa tentang level tinggi posisi sosial Markesot. Fakta
membuktikan bahwa ia memang bukan orang yang sukses. Tidak ada padanya sesuatu yang bisa
diandalkan apalagi dibanggakan.
Hanya saja ke manapun Markesot pergi, di manapun ia berada, orang-orang disekitarnya entah
bagaimana menjadi bergembira, sehingga mereka sangat menyayangi Markesot. Sampai-sampai
ada orang yang menikahkan anaknya pun minta Markesot untuk memberi ular-ular alias nasehat
perkawinan.
Tentu saja sangat mudah bagi Markesot. Ia berpidato Pokoknya pengantin berdua dan siapa saja
para hadirin di sini, kalau mau selamat, enak dan bahagia: jangan ada yang menjalani hidup
seperti saya.

Daur (31)
Allah Bertajalli Padamu

Untungnya empat puluh anak-anak teman-teman orang-orang itu sudah terdidik di Universitas
Patangpuluhan untuk melihat sesama manusia tidak berdasarkan sukses gagalnya, kaya miskinnya,
pejabat bukannya.
Yang utama adalah cinta mereka kepada Markesot. Sejarah kasih sayang dan komitmen batin di
antara mereka, setelah bertahun-tahun berinteraksi di Patangpuluhan.
Mereka menyepakati satu hari di tengah liburan panjang akhir minggu. Tidak mudah
menemukan satu hari bersama itu, tapi juga tidak sulit-sulit amat. Sebagian mereka yang
sebenarnya tidak bisa, akhirnya bisa hadir, dengan cara memanjang-manjangkan liburan akhir
minggu.
Tempat pertemuan mereka di kampus pembelajaran mereka dulu, yakni markas rumah hitam
Patangpuluhan. Meskipun banyak dari mereka adalah sarjana berbagai Universitas, tapi mereka
menyebut Patangpuluhan juga Universitas. Kalau ditulis, pakai tanda petik, supaya tidak
menyombongkan diri. Tapi mereka mengalami bahwa di Universitas formal tempat kuliah, mereka
menghimpun pengetahuan plus sedikit metodologi. Sementara di Patangpuluhan mereka
mengembarai ilmu.
Mempelajari ilmu dan belajar menghidupkan ilmu. Mereka menghormati Ilmu Sekolahan di
Universitas, tapi menyempurnakan prosesnya dengan melatih Ilmu Kehidupan di Patangpuluhan.
Di kampus mereka mendalami suatu pembidangan pengetahuan fakultatif, di Patangpuluhan
mereka melatih praksis ilmu komprehensif.
Di Patangpuluhan mereka mengalami pengetahuan dan ilmu, data-data dan fakta, keadaan dan
situasi, kenyataan dan nuansa, garis-garis resmi dan kemungkinan dimensi-dimensi. Di
Patangpuluhan mereka bergaul hanya dengan buku, lembaran kertas dan huruf-huruf. Melainkan
mempelajari kehidupan secara darah daging, nggetih , ngaw-ruh. Tidak hanya mengukur
panjang lebar, tapi menyelam. Tidak hanya menghitung jumlah orang miskin, tapi menangis dan
marah. Tidak hanya mentransfer statistik data keuangan negara dan rakyat, tapi mengelola amarah,
rasa geram, mungkin juga dendam. Tapi apapun itu yang didalami dan dialami, tetap diletakkan
pada landasan cinta sejati kepada bangsanya, ummat manusia, jagat raya dan terutama Maha
Penciptanya.
***
Empat puluh orang yang berkumpul di markas Patangpuluhan itu disebut anak-anak ya bisa,
karena lepas dari perbedaan usia, mereka memang seperti anak-anak Markesot yang tinggal
bersama di rumah hitam Patangpuluhan tiga era sebelum sekarang. Mereka tidak hanya duduk di
depan meja membalik-balik lembaran buku-buku, tapi juga mempelajari kegembiraan dan
kesedihan, menyelami bayangan kebahagiaan dan fakta kesengsaraan.
Disebut orang-orang, karena mereka sekarang memang sudah menjadi orang, sesudah di
Patangpuluhan dulu belajar dan berlatih menjadi orang. Apakah ketika itu mereka belum orang?
Sudah, tetapi belum orang yang mampu melihat hewan di dalam dirinya. Belum orang yang
sanggup menemukan semacam dimensi malaikat di dalam jiwanya. Belum orang yang memiliki
Peta Ilmu Diri untuk mengidentifikasi ragam himpunan potensi di dalam dirinya.
Kalau pembelajaran tentang potensi
jasadiyah mungkin tidak terlalu sulit. Apa yang padatan, yang cairan, yang uapan, yang kosongan,
yang hampaan. Atau yang tanahan, kayuan, logaman, airan. Atau bumian, gunungan, angkasaan,
langitan. Serta berbagai termonologi lainnya. Itupun masing-masing satuan masih terus bisa
diperdalam, didetail, dimikrokan dinanokan. Hingga ke ada yang terkecil. Ke ada yang tiada.
Kemudian takjub kepada tiada yang sejatinya ada.
Itu baru jasadiyah. Belum yang
uluhiyah dengan keindahan mikro
mulukiyah -nya dan makro rububiyah -nya. Orang-orang Patangpuluhan menikmati syair-syair
ekstra indah
tajallullah atau lirik-lirik dendang lagu Allah yang ber- tajalli .
Orang patangpuluhan belajar mengidentifikasi diri- nafsiyah, diri-
ruhiyah, diri- fikriyah , diri- sirriyah atau diri- wujudiyah. Orang Patangpuluhan bercengkerama
dan bercanda dengan aku-badan aku-mental aku-sukma aku-nyawa aku-jiwa, bahkan aku- roso
aku-tan-ono aku- sirno aku- mukswo . Sampai samar-samar tampak Aku Tan Kinoyo Ngopo Aku
Tan Keno Kiniro .
Tuhan menyatakan bahwa manusia Ia beri hidayah, Ia pinjamkan kaki-Nya kepada orang itu untuk
berjalan. Ia pinjamkan tangan-Nya untuk bekerja. Ia pinjamkan mripat-Nya untuk melihat dan
telinga-Nya untuk mendengar.
Maka si manusia meletakkan dirinya terus menerus di jalan pembelajaran, mengasah kepekaan,
memperhalus kewaskitaan tentang kapan Allah seolah-olah ber-tajalli padanya. Maka kepada
semua engkau, amati momentum tatkala Allah ber-tajalli padamu.
Nanti pemetaan itu akan bergambar-gambar hingga tak tampak gambar. Berwajah-wajah sampai
tak berwajah. Berbagan-bagan seolah bukan bagan. Langit dan Bumi berganti, diri dan Diri
berseliweran dalam kesadaran dan peran.
***
Di Universitas Patangpuluhan kata orang disebut dengan disiplin yang tinggi untuk secara
dinamis dan irama cepat tempo tinggi menyetiai batas-batas yang tak terkira antara orang benar
atau orang-orangan, manusia sejati atau kepalsuan dan pemalsuan, antara denotasi yang didera
oleh konotasi, hingga ke konotasi yang justru memproses pematangan denotasi berikutnya.
Markesot mempersiapkan orang-orang Patangpuluhan untuk berdialektika dalam fungsi Dzat,
Sifat, Isim dan
Jasad , yang keseluruhannya merupakan Afal . Kinerja agung selama pengelolaan diri di alam
semesta. Tuhan fa-alun lima yurid. Allah maha bekerja melaksanakan kehendak-Nya. Manusia
bekerja meresonansi kinerja Allah itu pada posisi cipratan, pantulan, gema dan gelombang.
Markesot mempersiapkan itu semua di Universitas Patangpuluhan dengan hanya membukakan
pintunya kemudian melempar sejumlah kode dan simbol-simbol arah di tepian jalan, di
pepohonan, di bebauan dan atmosfir sepanjang perjalanan anak-anak Patangpuluhan.
Markesot bukan guru yang hidup dengan murid-muridnya. Bukan Kiai dengan santri-santrinya.
Mereka semua di Patangpuluhan maupun di terminal Suluk , terminal Shirath , terminal Syari ,
terminal Thariq , serta berbagai terminal berikutnya sampai hari ini, adalah teman-temannya,
sahabat-sahabatnya. Yang ia temani berproses menjalani pendidikan dan kehidupan yang
diselenggarakan oleh Tuhan.
Dan akhirnya, ketika anak-anak itu, orang-orang itu, teman-temannya itu, berkumpul di
Patangpuluhan di hari akhir minggu yang dipanjang-panjangkan, Markesot ternyata menemukan
sangat banyak kegagalan di era Universitas Patangpuluhan.
Sehingga dia melepas cambuk dari pinggang di balik bajunya dan ber-
acting seperti orang gila.
Mereka yang menyayangi Markesot mengatakan, Markesot keluar
jadzab-nya. Bahkan ada yang ngawur berkhayal, tunggu saja nanti kambuh
Wali -nya. Padahal itu perilaku yang meskipun tidak lazim tapi tetap ada penjelasan rasionalnya.
Sebenarnya Markesot sedang mengaduh. Sebenarnya itu rintihan, tapi ditutupi dengan kegagahan
suara ledakan cambuk. Sebenarnya Markesot sedang merasa kesakitan, karena jiwanya terluka.

Daur (32)
Perhimpunan nJarem Nasional

Semua tulisan yang sudah dibacakan sebelum Markesot menginterupsi, maupun yang tersisa,
sebenarnya memang yang demikian itu yang diharapkan oleh Markesot. Tetapi ternyata itu
membuat dirinya makin merasakan njarem, di hatinya maupun tubuhnya.
Sangat jelas sebabnya. Tulisan-tulisan itu memang lahir dari rasa
njarem masing-masing penulisnya, meskipun njarem kolektif ini belum disadari oleh teman-
temannya. Mereka ini cocoknya mungkin berkumpul di dalam Perhimpunan Njarem Nasional.
Ungkapan-ungkapan yang lahir tidak dari hati yang kebal. Karena di Universitas Patangpuluhan
memang disepakati bahwa mereka melarang diri mereka sendiri untuk memasuki, mempelajari,
melatih dan memperkembangkan Ilmu Kebal. Baik
Kajiwan maupun Kanuragan .
Komunitas Patangpuluhan menemukan bahwa upaya pengkebalan badan itu menyinggung
perasaan Tuhan. Ilmu Kebal berposisi menolak sunnah atau tradisi hukum alam yang diregulasi
oleh Tuhan bagi makhluk manusia. Salah satu dimensi keindahan hidup manusia antara lain adalah
rasa sakit, meskipun jangan sampai memproduksi rintihan yang berlebihan dan ratapan yang
berkepanjangan.
Rasa sakit mungkin membawa manusia pada ketidakseimbangan struktur kejiwaan. Tapi
bersamaan dengan segala sesuatu yang menyakitkan, sudah disediakan juga perangkat dan metode
untuk menawarnya. Sakit badan atau hati tidak perlu membawa manusia ke kelumpuhan tubuh
atau sakit jiwa, karena ia adalah bagian dari kelengkapan sebab musabab, untuk dikelola oleh
manusia menuju ketangguhan, kedewasaan, kematangan dan kesaktian.
Ketangguhan tidak sama dengan kekebalan. Kedewasaan tidak sama dengan kebebalan.
Kematangan tidak sama dengan fatalisme. Dan kesaktian adalah kekuatan rahasia yang disimpan
oleh Tuhan di dalam diri manusia, di luar kekuatan alamiahnya. Kalau pakai Kitab suci, kekuatan
alamiah itu disebut quwwah , sedangkan kesaktian itu sulthan .
***
Tuhan mengizinkan sulthan untuk dilantikkan sebagai pinjaman resmi dari-Nya kepada
manusia, sesudah berbagai tahap ujian, perjuangan, tawar-menawar kewajiban dan hak antara
manusia sebagai pelaku kehidupan dengan Tuhan sebagai Maha Pelaku segala lakon yang
dikehendaki-Nya.
Maka di kalangan para pejalan ilmu lelaku di Patangpuluhan, mereka memberanikan diri berdoa
memohon kepada Tuhan, La haula wa la quwwata wa la sulthana illa billahil aliyyil adhim ,
sebagai dorongan ekstra di tengah riyadlah perjuangan mereka membangun kemanusiaannya.
Dari quwwah menuju sulthan terhampar luasnya kemungkinan bekerja selama waktu yang
tersedia, di ruang sempit yang bernama dunia, yang sama sekali bodoh untuk menjadikannya
sebagai tujuan perjuangan.
Kenyataan-kenyataan sosial membuat njarem. Tipu daya negara dan pasar bebas membuat njarem.
Pencitraan eksistensi dan kemunafikan para pemimpin membuat njarem nasional dan
internasional. Adzab Tuhan berupa ketoprak kepemimpinan, sandiwara ketokohan atau kepalsuan
negara dan pemalsuan pemerintahan, menimbulkan
njarem massal.
Kenapa di media-media komunikasi ummat manusia dan bangsa Negeri Katulistiwa tidak ada atau
sekurang-kurangnya tidak ditonjolkan tema tentang kepemimpinan, apalagi kepemimpinan sejati?
Karena sistem yang sedang diterapkan harus menghindari dan menghalangi munculnya Pemimpin
Sejati.
Kenapa kesadaran tentang sejarah dan penghormatan kepada Leluhur diupayakan agar semua
orang terutama generasi muda meremehkannya? Karena hal itu merupakan penghalang besar bagi
pola penjajahan yang sedang dijalankan. Kalaupun ada yang mendasar dan mendalam secara nilai
dari masa silam bangsa Negeri Katulistiwa, harus dirumuskan dengan istilah yang meremehkan,
menyempitkan dan membuat rendah diri, yakni: kearifan lokal.
Kenapa wacana tentang kemunafikan tidak boleh dibiarkan menjadi
trending-topic pada suatu jangka waktu yang melebihi batas strategi kaum penjajah? Karena
kesadaran, detail dan komprehensi ilmu tentang kemunafikan akan membuka aib-aib besar para
stake-holders kekuasaan, bisa merusak tananan, membubarkan mekanisme yang sudah ditata
secara seksama.
Akal bulus politik, hipokrisi kebudayaan, manipulasi agama, penipuan-penipuan kata dan bahasa
melalui pelembagaan gagasan dan ideologi dari demokrasi, liberalisme, moderat,
fundamentalisme, radikalisme, madzhab, sekte, trend dan berbagai macam hologram pikiran
lainnya membuat njarem, linu-linu, pegal-pegal, rasa lumpuh, remuk redam.
Himpunlah data-data teknis, statistik, bagan-bagan, jurnal-jurnal atau bentuk apapun dari media
massa, dunia maya, buku-buku, perpustakaan dan apapun, untuk memperoleh pengetahuan teknis
mengenai itu semua. Lakukanlah pendataan sebagaimana kaum terpelajar di dunia dan Negeri
Katulistiwa. Tetapi di tulisan yang manapun di sini tidak akan kutambahi rasa njarem nasional-
globalmu dengan membeberkan hal-hal semacam itu.
***
Aslinya selama hidup Markesot sendiri hampir tak pernah berhenti merasakan
njarem . Dan sebenarnya ia meminta teman-temannya berkumpul di Patangpuluhan ini tak lain tak
bukan semata-mata untuk melaksanakan semacam niat jahat menjebak mereka semua agar
menyatu dalam kebersamaan njarem.
Dan ketika kemudian ternyata empat puluh orang itu memang datang dengan njarem-nya masing-
masing, akibatnya Markesot malah menjadi lebih parah njarem-nya. Sumbangan
njarem dari seluruh Negeri Katulistiwa yang dihimpun di rumah hitam Patangpuluhan itu jelas
membuat tidak selalu stabil menjaga citra kematangan dan ketenangannya.
Markesot tidak terus-menerus bisa berpura-pura bahwa ia seolah-olah bagian dari kehidupan
modern abad ini. Tatkala rasa njarem-nya tak tertahankan, keluarlah perwujudan bahwa belum
tentu ia murni keturunan Homo-Sapiens . Muncullah manusia purba yang selama ini acting
memperkenalkan dirinya sebagai Markesot. Atau andaikan bukan manusia purba, sekurang-
kurangnya ia bukan manusia asli Bumi. Mungkin ia transmigran dari entah planet apa di tatasurya
tetangga matahari atau dari belahan galaksi jauh di sana.
Gilanya muncul. Liarnya ketahuan. Cambuk keluar dari balik kostum sandiwaranya. Ledakan-
ledakan aneh memecah udara. Suara tertawa-tawa yang susah diidentifikasi itu impressi dari
sesuatu yang lucu, atau ekspresi dari kegembiraan. Tapi bukankah kandungan tawa itu lebih
banyak rasa deritanya?
Salah seorang teman Markesot membisiki sebelahnya. Sesungguhnya keliaran Markesot tadi
menunjukkan bahwa ia adalah manusia sejati. Dia orang biasa. Penderitaan jiwanya dan ekspresi
komunikasinya relatif sama dengan kita semua dan rata-rata orang.

Daur (33)
Untuk Anak-cucu dan
Jape-methe

Tidak ada manfaatnya memperdebatkan apakah Markesot itu gila atau waras. Hahahahakalau
glundhung-pringis pastilah selalu
pringisan tertawa. Tetapi hantu kaki-tiga yang karakternya sangat serius pun jadi tertawa:
Astagamakhluk-makhluk yang mengira dirinya waras, padahal mereka semakin tidak waras,
mempertanyakan waras-gilanya Markesot?
Wahai logika hancur. Wahai kemanusiaan kikis. Wahai akal dari Tuhan yang didayagunakan untuk
mengakali. Wahai sistem tipudaya. Wahai regulasi perampokan. Wahai budaya birokrasi
pengutilan. Wahai peradaban kemunafikan. Wahai semut dan harimau pun punya kepemimpinan,
dan ummat manusia kekasih Sang Pencipta melecehkannya. Wahai kumpulan makhluk rendah
diri. Wahai para khalifah tanpa martabat, tak punya harga diri, tak ngerti muruah. Kalian
meyakini diri kalian waras?
Hanya demi sopan santun saja Markesot membatasi tertawanya melihat makhluk-makhluk GR di
salah satu lingkup seputaran Katulistiwa yang heboh dan gaduh. Makhluk-makhluk kesayangan
Tuhan yang menyangka diri mereka waras, hidup di Negeri yang waras, menjalani budaya, hukum
dan politik waras, bangga sedang mengemis gemah ripah loh jinawi dari Kerajaan Yajuj dan
Majuj, demi mewarisi dan membebani penganiayaan ke masa depan, yang anak-cucu mereka tak
kan sanggup menanggung hutang-hutang dari kakek-neneknya sendiri.
Wahai inilah Markesot, seekor makhluk purba, jangan sebut seorang. Wahai inilah aku makhluk
asing, hadir sebagai tamu liar yang tak diundang di bumi. Dulu kutitipkan pernyataan ini melalui
seseorang untuk menyebarkannya:
kalau memang tak bisa
kau temukan wilayahku
biarlah aku yang terus berusaha
mengetuk pintu rumahmu
kalau tak bersedia engkau
menatap wajahku
biarlah para kekasih rahasia Allah
yang mengusap-usap kepalaku
Sebagaimana sia-sia warga Patangpuluhan itu mencari kebenaran tentang siapa nama Bapak dan
Ibunya Nabi Khidlir, beliau masih sugeng atau sudah meninggal, tinggi badannya berapa, apa
benar orang sakti dari kelamnya rahasia ini memutar Masjid Hagia Sophia, mengubah arahnya
menjadi menghadap Kiblat, hanya dengan menempelkan telapak tangannya di salah satu tiang
Masjid, kemudian menggeser seluruh bangunan raksasa itu.
Apa benar Nabi Idris sengaja ninggal sandalnya di dekat pintu sorga bagian dalam. Apa benar babi
tercipta dari gajah dan tikus tercipta dari babi pada saat Nabi Nuh kerja keras menakhodai kapal
agung penyelamat peradaban kaumnya yang beriman. Apa benar Iblis bergerilya memasuki sorga
melewati mulut naga yang menguap di depan pintu sorga, kemudian menelusuri lorong tubuh
panjang naga itu, kemudian keluar bersama tinjanya, dan ekor naga itu berada di dalam sorga.
Dengan begitu ia bisa mensubversi pemindahan Adam dari sorga ke tempat yang seharusnya,
yakni bumi.
Mungkin ada yang lebih jauh lagi menanyakan apa hubungan Markesot dengan tinja naga, dengan
gajah babi tikus, dengan kerudung Nabi Khidir dan terompah Nabi Idris, demi Tuhan seru sekalian
alam itu adalah pertanyaan yang paling bodoh dan sia-sia. Mahasiswa-alam Patangpuluhan dulu
pernah memperdebatkan sebenarnya yang benar itu Zulaikha sangat mencintai Nabi Yusuf ataukah
Nabi Yusuf yang sangat naksir Zulaikha.
Perdebatan itu terhenti oleh Markesot. Saya tidak punya data tentang cinta. Yang saya pelajari
hanya pisau yang dipegang oleh abdi-dalem Kerajaan yang tak sengaja mengiris tangannya
sendiri, karena takjub terpesona menatap betapa gantengnya wajah Nabi Yusuf. Pisau itu saya
simpan dan ada di tangan saya
Kemudian Markesot mengambil tasnya. Memasukkan tangan kanannya ke dalam tas itu. Ia
keluarkan lagi dalam keadaan tergenggam.
Kalian pejamkan mata, kata Markesot, hati kalian masing-masing memohon ampun keada
Tuhan. Supaya jiwa kalian bersih, dan mripat kalian diperkenankan Tuhan untuk mampu melihat
pisau ini
Kemudian sesudah teman-temannya diziinkan Markesot membuka matanya, Markesot pelan-pelan
membuka genggaman tangannya. Di telapak tangan itu ada gambar pisau kecil, hasil goresan
fulpen murahan.
Ini pisaunya di tangan saya, kata Markesot.
***
Berhentilah mempelajari pisau di tangan abdi-dalem Keraton di jaman hidupnya Nabi Yusuf. Ini
keadaan masih njarem dan semakin tidak waras. Jangan mengharapkan apapun dengan pedoman
seolah-olah ini zaman waras.
Sumbangan nasional njarem itu membuat Markesot merasakan kembali kegagalan hidupnya.
Jelasnya: kegagalan subversi Markesot di bumi. Tulisan demi tulisan yang dibacakan itu seperti
mengejek dan menjelentrehkan hamparan dan daftar kegagalan Markesot. Bagaimana tidak.
Mungkin gagal tidak di jagat Patangpuluhan, melainkan gagal di dunia dan Negeri Katulistiwa.
Tulisan-tulisan itu tidak ada masalah bagi Universitas Patangpuluhan. Tetapi itu kegagalan besar
bagi masyarakat dunia dan bangsa Negeri Katulistiwa.
Itulah sebabnya sejak awal Markesot menekankan: Tuliskan sesuatu, apa saja, tanpa syarat dan
batas, untuk anak cucumu dan sesama Jape-Methe , sesama pembelajar di Kosmos Patangpuluhan.
Sekali lagi, tulisanmu itu untuk anak cucumu entah sampai turunan keberapa, serta untuk Jape-
Methe.
Sebagian temannya bertanya, Jape-Methe itu apa, Cak Sot?
Markesot menjawab, Mungkin kalian pikun atau dulu lalai selama
sesrawungan di Patangpuluhan. Jape-Methe itu bocahe dhewe . Kalian selama di Patangpuluhan
kan orang kampung, bukan orang kota. Orang kampung di Patangpuluhan membaca b menjadi
huruf apa, c h d w berubah jadi huruf apa. Itu kan password peradaban kampung kalian
sendiri dulu. Jape-methe adalah sesama kita di jagat raya kita. Sesama teman di lingkup
Patangpuluhan
O iya ya, saya lupa., kata si pikun.
Kamu singkat saja Jape-Methe menjadi jm. Kelak, jm akan punya kepanjangan yang bukan Jape-
Methe
Apa itu?
Saya bilang kelak. Kok ditanyakan sekarang
Baik, Boss. Tapi saya nanya kenapa tidak J dan M huruf besar?
Tidak usah j dan m besar. Kecil saja. Jawabannya ada enam ribu enam ratus enam puluh enam.
Tapi ambil satu saja. Misanya karena kita tidak besar dan hanya kagum kepada Kebesaran
Tunggal, yakni yang ada pada Tuhan sendiri
Biasanya kalau singkatan ditulis huruf besar semua, Cak Sot
Biasanya siapa? Biasanya pada atau bagi siapa? Untuk sejumlah hal kita sudah bermurah hati
untuk mengakomodasi dan menyesuaikan diri dengan dunia dan bangsa Negeri Katulistiwa. Tetapi
untuk hal-hal tertentu setiap kita boleh memilih kata, bahasa, idiom, cara berpikir, metoda analisis
dan pola-pola pandang berdasar kedaulatanmu masing-masing. Jadi tak harus JM. Bisa jm saja
Tapi nanti orang tidak paham bahwa itu dua huruf singkatan dari dua kata?
Orang siapa? Orang di dunia? Orang dari Bangsa Katulistiwa? Itu semua wasiat untuk anak
cucumu sendiri dan kepada sesama jm. Orang di dunia dan di Negeri Katulistiwa tidak harus
paham, bahkan tidak perlu membaca wasiat itu. Kalian pikir mereka pernah benar-benar apa yang
mereka katakan, yang mereka baca dan dengar?
Kalau anak cucuku dan Jape-Methe juga tidak paham bagaimana?
Berarti bukan anak cucumu dan bukan jm. Berarti mereka belum manusia merdeka. Belum
manusia berdaulat
Merdeka dan berdaulat dari apa?
Belum memerdekakan diri dari dari kebiasaan ummat manusia dan bangsa Negeri Katulistiwa,
dalam hal cara berpikir, pola konsumsi komunikasi, teknik penyerapan serta pengambilan
keputusan tentang hulu hilir pangkal tujuan hidup
Jawaban Sampeyan bisa agak lebih sederhana, Cak Sot?
Belum merdeka dari tradisi kesempitan. Belum merdeka dari naluri berhubungan dengan sesuatu
hanya untuk peka terhadap keuntungan yang diambil. Belum merdeka dari subyektivisme yang
merugikan diri sendiri
Masih mewah bahasa Sampeyan, Boss
Belum merdeka dari kebiasaan masuk kebun hanya berpikir memetik buahnya, tidak ingat biji
buahnya, proses ketumbuhan pohonnya, perkawinan akarnya dengan tanah, keterkaitan tanah
dengan seluruh sifat bumi, ketergantungan bumi terhadap sunnah alam semesta dan kehendak
Penciptanya
Sedikit agak lebih sederhana, Cak Sot

Daur (34)
Aktivasi Akherat di Dunia

Terjadi omong-omong serius antara Markesot dengan anggota


Perhimpunan Njarem Nasional .
Puluhan tahun kalian menikmati semua yang enak-enak dari saya. Yang nyaman-nyaman, yang
sedap-sedap, yang menggembirakan dan meringankan hidup kalian. Dan itulah kesalahan besar
dalam hidup saya
Bukankah menggembirakan orang, meringankan beban orang, memberi keamanan dan
kenyamanan, adalah sedekah yang terbaik, Cak Sot? Kenapa itu kesalahan?
Karena saya kurang mengantarkan kepada kalian pelatihan dan pengalaman bagaimana menjadi
manusia yang selalu siap memberi kenyamanan, kegembiraan dan keringanan
Kan hidup kita yang miskin dan serba kekurangan di Patangpuluhan dulu dengan sendirinya
merupakan pelatihan untuk menjadi manusia yang siap menyamankan orang lain?
Apa kemampuan menyebar kegembiraan selalu dilatihkan dengan kemiskinan dan penderitaan?
Tidak juga. Tapi nyatanya selama di Patangpuluhan kita belajar dari pengalaman-pengalaman
itu
Siapa bilang di Patangpuluhan dulu kita miskin dan menderita?
Lho memangnya kaya dan bahagia?
Kebahagiaan tidak selalu berada dalam sebab-akibat dengan kekayaan. Juga penderitaan tidak
harus selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Kalau begitu cara pandang kita, Patangpuluhan dulu
bukan Universitas, tapi lebih cocok Usaha Dagang
Kan semua masyarakat hampir seratus persen menyepakati bahwa sukses adalah kaya harta,
memuncak karier, syukur termasyhur. Yang disebut kebahagiaan ya begitu itu
Kamu juga berpendapat begitu?
Tidak juga sih. Tapi kan jelas di Patangpuluhan dulu kita miskin
Tapi tidak menderita
Ada yang tidak, tapi Cak Sot mungkin tidak tahu ada juga yang merasa menderita karena semua
yang di rumah hitam itu miskin
Apa tanda-tandanya kita dulu miskin?
Makan tidak pasti
Terus?
Tidur menggeletak di sembarang tempat yang lowong
Oke
Seluruh kondisi rumah sangat tidak sepadan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Tembok-
temboknya lembab. Kamar hanya ada dua untuk puluhan orang. Kamar mandi terlalu tradisional,
harus menimba sendiri-sendiri dari sumur. WC-nya memalukan. Sampai-sampai dijadikan
parameter, kalau ada artis atau tokoh-tokoh bertamu, dan berhasil buang air besar di WC kita,
berarti lumayan insan kamil dia
Ya
Bagaimana tidak miskin. Pintu depan, samping dan belakang tidak ada kuncinya. Bisa dibuka
oleh siapa saja dan kapan saja. Itu tanda sangat gamblang bahwa tidak ada apa-apa di dalam
rumah itu yang menarik hati para pencuri untuk mengambilnya
Oke
Pintu depan ringsek, kayunya semakin pecah dan bolong. Kita ganti pintu dengan kayu yang
tidak lebih baik atau mahal. Tetangga sebelah merasa kita sedang memamerkan kemampuan
finansial dengan mengganti pintu. Maka dia perbarui pintu-pintu dan jendela-jendela rumahnya,
dengan harga mungkin sepuluh kali lipat dari harga pintu kita
Ya
Kita tidak tahu kalau sedang bersaing dengan tetangga. Sampai kemudian ketika pagar depan kita
lengkapi tali-talinya, tetangga sebelah itu merestorasi pagar bambu menjadi pagar tembok dengan
hiasan yang mewah. Kesadaran tentang kompetisi materialisme itu kemudian membuat kita
mengambil keputusan untuk mengecat rumah Patangpuluhan dengan hitam penuh. Tembok hitam.
Pintu hitam. Jendela hitam. Kaca hitam? Mana ada kaca. Deretan level-level untuk pentas teater
juga hitam. Seterusnya baju kita celana kaos dan semua pakaian kita menjadi hitam. Mungkin juga
hati kita
Oke
Oke ya oke ya oke ya.
Apakah kita menderita oleh itu semua?
Tidak sih
Tidak ada penderitaan di dunia. Hanya njarem
Njarem juga bisa menjadi penderitaan
Njarem itu lucu. Itu semacam rasa sakit yang berbasa-basi
Itu kalau hanya njarem. Yang kita alami ini juga keseleo, kecethit , bengkak
Menjadi kesengsaraan kalau yang
keseleo pikiranmu, yang kecethit hatimu, yang bengkak mentalmu
Tapi meskipun yang keseleo hanya badan, sakit juga
Sakit, tapi bukan penderitaan.
Kemudian Markesot omong panjang tanpa memberi peluang kepada teman-temannya untuk
menyela.
Penderitaan terjadi hanya di Akhirat kelak kalau pengelolaan kita salah atas dunia. Maka mulai
pertemuan hari ini bikin simulasi kesengsaraan. Hanya simulasi beberapa saat. Itu pun sekedar
dengan pergi jauh ke belakang. Melompat jauh ke wilayah-wilayah di balik produksi keenakan,
kenyamanan, kesedapan dan kegembiraan itu
Dan wilayah itu adalah wilayah pelatihan kanuragan-kajiwan yang sangat panjang. Yang berat
dan sengsara. Yang hampir-hampir tak tersangga dan setiap saat dibanting oleh rasa putus asa.
Pelatihan-pelatihan yang bisa sangat mengerikan agar kita pantas menjadi aktivis kehidupan sejati
Akhirat
Tetapi harus saya ulang dan ulang lagi: tidak ada penderitaan di dunia. Karena selama yang terasa
seolah-olah penderitaan itu membawamu kepada ingatan bahwa kau telah berbuat benar,
kemudian Akhirat tampak di depan kesadaranmu penderitaan itu berubah menjadi gizi
kesehatan. Sepanjang manusia mengaktivasi Akhirat dalam proses perjuangan hidupnya, maka
ujung tetesan hasilnya adalah Kalimah Thayyibah . Dan Kalimah Thayyibah meringankan yang
berat, mencerahkan yang gelap, membukakan yang buntu, menggembirakan yang tadinya serasa
sengsara
Dunia ini hanya diklat beberapa sesi. Maka pun tidak ada sukses di dunia. Semua bangunan
peradaban, kekayaan materialisme dan kejayaan-kejayaan pembangunan Kerajaan dan Negara,
adalah tipuan sesaat, artifisialisme dan tipu daya hologram dalam waktu. Karena beberapa saat
berikutnya akan kalian tinggalkan dan meninggalkan kalian
Kalau kalian tidak pernah tuntas mengalami yang orang-orang menyebutnya kesengsaraan dunia,
sebagai agenda-agenda pelatihan untuk aktivasi kehidupan sejati yang disebut Akhirat, yakni
keabadian sesudah ujung dunia saya bertanya: kenyamanan apa yang bisa kalian wasiatkan
kepada anak cucu dan sesama jm? Biji apa yang kalian lempar ke masa depan untuk mereka tanam
di kebun-kebun peradaban yang akan datang?
Ayo sekarang bangun semua, Markesot mengakhiri, kita lindas dan siksa jiwa kita dengan
pemandangan-pemandangan njarem berikutnya. Lompat masuk ke arena hujan deras. Pelajarilah
pergerakan dan jurus-jurus untuk memasuki sela-sela di antara derasnya air hujan. Kalian terus-
menerus dihujani, maka sekarang berlatih agar kalian punya kemampuan untuk mengguyurkan
hujan derasnya Tuhan

Daur (35)
Hujan Deras Tidak Basah Kuyup

Apakah aku menganjurkan agak anak cucuku dan para jm untuk menjauh dari hutan belantara
yang berisi semakin banyak ketidakberadaban manusia? Mengajak mereka untuk menghindar,
untuk pergi dengan sikap sok suci, atau bahkan meninggalkannya? Atau sekurang-kurangnya
menjaga diri agar steril dari lingkungan ketidakberadaban itu?
Sama sekali tidak.
Bahkan tidak juga mengajak untuk mengutuk dan membenci. Apalagi secara emosional dan
terburu nafsu merancang suatu bangunan negara atau pemerintahan baru yang disangka akan lebih
baik dari yang dilawan.
Mungkin menganjurkan untuk melawan dengan perhitungan yang benar-benar terukur. Atau kalau
sangat kecil kemungkinan untuk melawan, sekurang-kurangnya menjaga diri sendiri semampu-
mampunya untuk tidak menjadi bagian dari ketidakberadaban itu. Tetapi anak cucuku dan para jm
bertanya bagaimana mungkin kita diguyur hujan dangat deras tanpa menjadi basah kuyup?
Bagaimana mungkin menghindari budaya pencurian di kantor? Bagaimana mungkin aku
mengelak dari domino korupsi struktural yang sudah berlangsung seperti aliran darah yang
mengalir dan menjadi tulang punggung kehidupan di kantor? Yang budaya vertikal horisontal
antar petugas-petugasnya, atasan dan bawahannya, sudah hampir tidak mungkin menghentikan
sistem pencurian bersama? Yang bahkan aturan dan undang-undangnya disusun berdasarkan
kepentingan untuk memudahkan permalingan bersama itu?
Anak cucuku dan para jm menyatakan bahwa ia akan terpental jika tidak bergabung di dalam
kultur sistemik permalingan itu. Ia tidak akan bisa berkembang. Atau bahkan dimutasi,
dipindahkan ke daerah-daerah terjal, atau kalau kadar perlawanannya meningkat, ia akan dipecat,
meskipun prosedur teknis dan performanya tidak terlihat sebagai pemecatan.
***
Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana aku akan pergi selain di bawah hujan deras itu?
Wilayah mana yang bisa aku tinggali dan pekerjaan apa yang bisa kujalani yang berada di luar
area hujan deras itu?
Negara berubah menjadi pasar rimba penghancur semua yang lemah. Ideologi menjadi topeng,
agama berpusat pada kemunafikan, kemanusiaan diputus talinya dari belakang dan ke depan.
Kesucian rakyat dilacuri sampai benar-benar menjadi pelacur.
Peradaban yang pilarnya adalah Ksatria diambil alih oleh Raksasa. Jalan menjadi tujuan. Tuhan
dijadikan faktor produksi dan promosi. Kitab Suci dibuka dicari ayat-ayat yang diletakkan pada
tempat yang tidak seharusnya, karena gunanya firman Tuhan adalah untuk meneguhkan
pengambilan keuntungan harta benda dunia.
Pengurus negara yang berkewajiban melindungi dan menyejahterakan rakyat yang
mengamanatinya berlaku sebaliknya: menyusun sistem manajemen pemiskinan. Pemerintah yang
diperintah oleh rakyatnya untuk mengelola tanah airnya, melakukan penggadaian dan penjualan
besar-besar tanah dan air, isi daratan dan muatan lautannya. Penguasa yang digenggami kekuasaan
malah dikuasai oleh penguasa lain dan menandatangani surat-surat penguasaan oleh penguasa lain
itu atas harta benda rakyatnya.
Peradaban yang penghuni mayoritasnya adalah pengemis dan minoritasnya perampok. Setiap
warga mayoritas belajar di sekolah demi agar bisa mendaftar ikut merampok, kemudian jika gagal
mereka menadahkan tangan semoga memperoleh sedikit atau banyak cipratan dari hasil-hasil
rampokan.
Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana kami akan pergi? Sampai berapa lama kami mampu
bertahan tak ikut merampok, dan hingga kapan kami dengan keluarga-keluarga kami bertahan
lapar demi tidak menjadi pengemis? Hujan deras di mana-mana dan semakin deras. Desa-desa
menjadi kota, dan kota-kota menjadi hutan belantara.
***
Pemimpin besar kami, kata engkau anak cucuku dan para jm, menyebutkan bahwa hidup ini
diciptakan Tuhan dengan ummat manusia menjadi wakil kepengurusan-Nya agar kita semua
saling mengamankan, saling memperjanjikan dan mengundang-undangkan suatu tatanan dan
aturan untuk menjamin keamanan satu sama lain.
Keamanan nyawa, keamanan martabat dan keamanan harta.
Kami tidak sanggup menjaga titipan harta kekayaan Tuhan ini dari cengkeraman dan penguasaan
golongan-golongan makhluk yang menyelenggarakan program pengambilalihan kekayaan Tuhan
itu dari kami. Bertahap-tahap selama ratusan tahun titipan-titipan Tuhan itu lepas dari tangan
kami, dan Tuhan tidak menghalangi semua itu terjadi.
Kekayaan titipan Tuhan semakin kikis dan di ambang sirna. Dan demi supaya masih bisa bertahan
hidup, sebagian besar dari kami merelakan musnahnya martabat kemanusiaannya. Kami hidup di
tengah rakyat, masyarakat dan ummat yang sudah mengikhlaskan ambruknya martabat, asalkan
nyawa tidak hilang dan masih sekedarnya memperoleh sisa harta yang semakin kikis.
Penjajahan demi penjajahan, dengan bentuk dan formula yang terus diperkembangkan dan
dimatangkan, sampai tahap di mana kebanyakan manusia tidak lagi mengetahui bahwa mereka
sedang dijajah. Tidak hanya penjajahan yang samar dan tak kasat mata, sedangkan penjajahan
yang terang benderang berwujud penjajahan pun sudah tidak dipahami sebagai penjajahan.
Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana kami akan pergi? Ke manapun kami melangkah, tak
bisa lolos dari guyuran air hujan yang deras dan semakin deras.
Anak cucuku dan para jm menagih kalimatku sederas-deras air hujan, sela-sela kosong di antara
titik-titik hujan masih lebih luas dibanding jumlah volume seluruh air guyuran hujan.
Anak cucuku dan para jm mempertanyakan mana mungkin berjalan di bawah derasnya hujan, bisa
tidak basah kuyup?
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
8 Maret 2016

Daur (36)
Rimba Gelap di Depanmu
Loncat Masuk!

Anak cucuku dan para jm kemarin kuajak memasuki rimba hutan belantara dan menembus hujan
deras peradaban Abad 21, dunia dan Indonesia.
Kemudian anak cucuku dan para jm menagih kalimatku sederas-deras air hujan, sela-sela kosong
di antara titik-titik hujan masih lebih luas dibanding jumlah volume seluruh air guyuran hujan.
Anak cucuku dan para jm mempertanyakan mana mungkin berjalan di bawah derasnya hujan, bisa
tidak basah kuyup?
Jangan sampai didengar oleh para tetangga, ini sebatas kalimat buat anak cucuku dan para jm
bahwa jawaban untuk tagihan dan pertanyaan itu, juga beribu pertanyaan yang lain terletak
pada hidupku.
Jangan sampai anak cucuku dan para jm meniru aku, atau apalagi sepenuh-penuhnya bertekad
mengikuti jejakku. Sebab engkau semua bukan aku. Sejarahmu akan berkembang tidak seperti
sejarahku. Juga aku bukan panutanmu. Bukan sebagaimana nabi atau para pemimpin yang diikuti
oleh sebagian ummat manusia.
Jika kukatakan kepada bahwa jawabannya ada pada hidupku tak berarti hidupku ini penting,
khas atau istimewa. Tidak sama sekali. Ini sekedar informasi bahwa jawabannya ada pada
hidupku. Ada pada tidak sama dengan hidupku. Yang satu unsur atau muatan, yang lain
wadahnya.
Mohon tetap diingat bahwa muatan maupun wadahnya itu tak ada di lingkup dunia dan Indonesia,
sekurang-kurangnya mereka tidak melihatnya. Oleh karena itu semua omong-omong kita
lingkupnya sebatas aku dengan anak cucuku dan para jm.
Engkau semua tidak berkewajiban untuk mempelajari atau mengakui wadahnya, tetapi kalau
memang memerlukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, setidak-tidaknya carilah itu di
muatannya. Tengoklah, jenguklah, masukilah, telusurilah, telitilah, selamilah, temukan tetesan-
tetesan nilainya, butiran-butiran maknanya.
Jika engkau melakukannya, tekanan makna dan manfaatnya tidak terletak pada aku nya,
melainkan pada penemuan jawaban nya. Kalau hidupmu menuju masa depan yang remang-
remang nanti tidak terkait dengan jawaban itu, maka si aku menjadi lebih tidak engkau
perlukan lagi.
***
Sesuatu memasuki hatiku dan merasuki kepalaku, dan itu membuat jari-jari tanganku menulis:
rimba gelap di depanmu
loncat masuk! dan bukan berpikir
kapal di belakangmu musnah terbakar dan api terus
bernyala-nyala
api terus berkobar, menjilat-jilat, meremuk masa silammu
Kemudian itu disebut puisi. Kutulis pada 1973, kelak pada 1993 diterbitkan bersama puisi-puisi
lain menjadi sebuah buku. Jangan dipersoalkan dulu apakah itu puisi atau bukan. Yang kututurkan
kepada anak cucuku dan para jm hanyalah sezarrah jawaban di antara padang pasir jawaban-
jawaban yang lain.
Kalimat-kalimat itu titik loncat di belakangnya adalah peristiwa kapal dibakar atas perintah
seorang Panglima Perang ketika memasuki Spanyol. Keputusan itu merupakan buah strategi
mental bagi para prajurit untuk memojokkan mereka hanya di satu kemungkinan: maju! Tandang.
Melangkah ke depan. Tidak ada kemungkinan lain.
Ada kalimat dan bukan berpikir, bagaimana maksudnya? Apakah kita diperintahkan untuk
menjalani sesuatu tanpa pertimbangan pikiran? Tidak modern dan tidak ilmiah kalau bertindak
tanpa landasan pemikiran. Dan bukanlah manusia kalau sepak terjangnya tidak bertulang
punggung akal.
Hakikinya dan bukan berpikir berlaku pada satu dua detik pengambilan keputusan. Proses
berpikir bisa membuat keputusanmu lebih matang, tapi bisa juga karena hidup ini tak kan selesai
dihitung dan dipikir, maka tahap-tahap berpikirmu itu justru bisa menjadi serimpetan penghalang
yang membuatmu tidak jadi melangkah. Atau bahkan tidak pernah melangkah.
Sebagian anak cucuku dan para jm hidupnya termangu-mangu, karena langkah yang direncanakan
tidak pernah matang dalam pikiran. Akhirnya ia berubah menjadi pemikir yang perjalanan
hidupnya bukan perjalanan, melainkan ketermangu-manguan.
***
Terkadang engkau bisa berlaku seperti seorang arsitek yang setiap langkah ke depannya dihitung
dulu dengan seksama dan sesempurna mungkin. Kondisi tanah tempat ia akan mendirikan
bangunan, lingkungan sekitar tanah itu, bentuk bangunannya, detail-detailnya, dan yang terutama
ia tidak akan pernah menghitung semua itu jika tidak terlebih dulu tersedia dana untuk
membiayainya.
Sebagian dari urusan hidupmu bisa engkau kelola dengan cara arsitek. Tapi aku menduga sebagian
besar dari keharusan-keharusan perjuanganmu sama sekali tidak bisa engkau jalankan dengan cara
itu. Engkau bisa memikirkan dan memperhitungkan segala sesuatu yang akan engkau kerjakan,
tetapi ada beribu kemungkinan lain yang mustahil dijangkau oleh sangat terbatasnya kemampuan
pikiranmu.
Bahkan para arsitek, pun para penguasa dan pengendali kehidupan di bumi, tidak ada yang
mengerti persis apa yang akan terjadi lima menit yang akan datang. Gedung-gedung tinggi ambruk
oleh gempa atau oleh korupsinya sendiri. Para penguasa, Kaisar, Raja, Presiden, pengusaha,
ambruk, kecuali yang Tuhan membiarkannya dengan maksud tertentu, istidraj atau alat hidayah.
Dan tidak berarti yang dibiarkan itu bebas dari wabal-Nya. Hanya soal pergiliran waktu, pada
interval di dan antara dunia dengan akherat.
Kebanyakan di antara anak cucuku dan para jm bukanlah arsitek kehidupan dunia, terlebih lagi
ada Maha Pekerja dan Maha Arsitek Agung yang sejatinya sangat dominan akses dan peranannya.
Engkau kebanyakan adalah pejalan kehidupan, dengan api membakar hangus di belakangmu, dan
rimba gelap di depanmu. Aku menyaksikan juga bahwa engkau berani mengambil keputusan
loncat masuk!, dengan mental yang engkau menyebutnya bukan hanya tekad tapi nekad.
Engkau meloncat masuk dan memperkembangkan aji-aji dan kecanggihan silatmu untuk
bismillah menjalani apa yang engkau sedang dan akan jalani.
Anak cucuku dan para jm beralamat di min haitsu la yahtasib dan betapa dahsyatnya itu jika
diterjemahkan di dalam struktur urusan-urusan, dipahami dalam konstruksi langkah-langkah, dan
besoknya ditemukan di dalam fakta teknis yang ternyata bisa sangat sederhana.
Tapi meskipun demikian aku tahu engkau masih terganjal oleh pertanyaan bagaimana caranya
berjalan di dalam kegelapan rimba, bagaimana langkahnya supaya tidak basah kuyup di tengah
hujan deras?.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
9 Maret 2016

Daur (37)
Persaudaraan dengan Hujan

Markesot aslinya agak mengantuk juga mendengar beberapa sisa tulisan teman-temannya. Tapi
agak bergairah lagi melihat beberapa yang terakhir, karena mulai menyentuh peristiwa yang lebih
kongkret dan sehari-hari.
Memang ketika meminta tulisan untuk anak cucu dan jm mereka masing-masing, Markesot ada
kecolongan bicara pokoknya total merenung sampai tingkat mati, atau bahasa lain mati
merenung, khusus ketika mendalami sesuatu. Akibatnya banyak di antara mereka tidak tahan
oleh hasil kerjanya sendiri.
Markesot diam-diam mengkritik dirinya sendiri. Nggak usah berlebihan nuntut orang. Hidup di
jaman ini nggak ngerti apa-apa nggak masalah, asal bisa makan, punya rumah, kendaraan dan bisa
menyekolahkan anak. Pinter tidak wajib, ilmu gela-gelo thilang-thileng juga tidak apa-apa, asal
dapat laba uang lebih banyak. Bahkan tak punya harga diri juga jalan terus, asal mampu menawar-
nawarkan diri,
ndusel-ndusel ngrampek-ngrampek mlipir-mlipir ke siapa-siapa yang pegang akses, menjilat-njilat
pihak yang dibutuhkan.
***
Anak cucuku dan para jm sudah mengerti bahwa kalau Tuhan menciptakan alam semesta ini
hanya benda atau materi, maka tidak rasional dan tidak adil untuk menuntut orang tidak basah
kuyup ketika berjalan di bawah hujan lebat.
Kalau kehidupan ini hanya yang padat dan cair yang tampak oleh mata, maka tidak masuk akal
untuk meminta pakaian tetap kering ketika orangnya diguyur hujan deras. Kalau untuk
mengkonsep kehidupan ini Tuhan hanya bikin barang satu dua tiga dimensi, maka kehujanan
harus basah, kena api harus terbakar dan dipukul harus tergeser atau bahkan harus merasa sakit.
Kalau tidak ada yang seolah tak ada, kalau segala sesuatu indikator kenyataannya hanya panca
indera, kalau yang bisa dilihat didengar dan diraba adalah satu-satunya fakta, kalau yang tak
terlihat tak terdengar tak teraba volume atau jumlahnya atau ranahnya hanya sangat sedikit
dibanding yang terlihat terdengar teraba, dan bukan sebaliknya, maka hujan deras harus
mengakibatkan basah kuyup.
Bahkan Tuhan tidak hanya menciptakan langit yang berjumlah tujuh. Apakah Tuhan tidak Akbar
sehingga kesanggupan penciptaannya hanya tujuh lapis langit. Sedangkan di setiap langit
terkandung ketidakterbatasan yang tak terbatas. Jangankan sekedar peta antara terbatas dengan
tidak terbatas. Sedangkan tak terbatas itu sendiri jumlahnya tak terbatas.
Kalau kehidupan ini hanya lever, yang padanya tak ada hati yang semesta keluasannya tak bisa
dibatasi. Kalau segala yang diciptakan ini tanpa ruh, tanpa dimensi, tanpa nuansa, tanpa beda jauh
antara rasa dengan roso, tanpa nurani dan tidak sama dengan sanubari, tanpa aku yang bukan saya,
tanpa engkau yang bukan kamu, tanpa tampak langit yang sebenarnya bukan langit, tanpa badan
yang bukan tubuh bukan jasad, tanpa ruh yang bukan nyawa bukan jiwa bukan sukma, tanpa
rahasia tanpa sir tanpa misteri tanpa ghoib tanpa ghorib, bahkan tanpa hidup yang sebenarnya mati
dan mati yang hidup maka berhentilah pada kesadaran sangat lokal bahwa kehujanan itu basah
kuyup.
***
Bahkan alkisah ada sebuah rombongan musik: di awal tahun 2000-an diminta pentas di sebuah
lokasi terkenal nasional. Mereka bersama gamelan dan alat-alat modernnya diletakkan di
panggung terbuka beratap langit. Sementara sebuah kelompok lainnya yang termasyhur, oleh
Panitia dilindungi di bawah payung panggung besar.
Rombongan atap langit ini tidak disentuh oleh air tatkala sekitarnya hujan lebat. Sementara grup
masyhur yang berada di panggung dengan atap besar kokoh, malah diguyur hujan habis-habisan.
Tentu sama sekali bukan karena Rombongan-Alkisah ini memiliki kesaktian untuk tidak basah
kuyup oleh hujan deras. Yang terjadi sangat sederhana. Arus hujan dari angkasa ke bumi dibikin
tidak lurus dari atas ke bawah. Melainkan miring. Sehingga memasuki panggung kelompok
terkenal itu.
Anak cucuku dan para jm tahu hujan tidak mengguyur seantero bumi. Hujan adalah paket dengan
batas, yang bisa luas bisa sempit. Bahkan suatu curah hujan di suatu wilayah, hanyalah sepenggal
kecil dibanding luasnya permukaan bumi. Dan jika dibandingkan dengan betapa luasnya alam
semesta, maka sebuah curah hujan itu tak tergambar kecilnya oleh ujung pena yang terkecil.
Panggung terbuka Rombongan-Alkisah berada di luar batas lokal hujan itu, sementara kelompok
terkenal itu berada di dalam lingkup perbatasan antara hujan dengan tidak hujan.Rombongan-
Alkisahitu tidak tahu-menahu dan tidak pernah merencanakan apapun, apalagi memiliki
kemampuan dan kesaktian ini itu. Bahkan sudah merelakan mereka akan terguyur hujan, karena
tidak dilindungi oleh panggung besar seperti kelompok di belakangnya.
Kemudian ternyata hujan tak menyentuh mereka. Apakah yang melatarbelakanginya? Apakah ada
urusan moral? Misalnya persepsi bahwa penyelenggara acara itu melakukan diskriminasi,
kelompok terkenal itu dibikinkan pelindung hujan, sementara Rombongan-Alkisah dikasihkan
bulat-bulat kepada hujan? Sampai hari ini Rombongan-Alkisah itu tidak mencatat momentum
sejarahnya di awal 2000-an itu dengan mencantumkan kata diskriminasi, pelecehan, ketidakadilan
atau apapun.
Mereka hanya bersyukur dan takjub kepada manajemen Tuhan.
***
Mungkin mereka membawa atau mempekerjakan seorang Pawang Hujan? Demikian juga
penyelenggara acara itu pun ternyata memang menyewa seorang pawang yang mumpuni dan kelas
paling pakar?
Dan Sang Pawang sesudah peristiwa hujan itu bergegas khusus menemui mereka untuk
membungkukkan badannya, hampir seperti menyembah, untuk minta maaf dan mengakui bahwa
ilmu kepawangannya tidak ada apa-apanya dibanding Pawang yang dibawa oleh Rombongan-
Alkisah itu.
Tetua Rombongan-Alkisah merangkul pawang itu, mengajak minum kopi bersama, dan
mempersaudarainya. Kemudian dengan hati-hati menjelaskan bahwa kelompok mereka tidak
bawa pawang, tidak pernah kenal pawang hujan, sehingga selama lebih 4000 kali pementasannya
tidak pernah menggunakan pawang.
Bahkan Rombongan-Alkisah tidak pernah memiliki keberanian untuk menolak hujan. Mereka
selalu berpendapat bahwa hujan itu baik dan tidak hujan juga baik, sepanjang kita menyimpulkan
bahwa hujan dan tidak hujan terjadi hanya karena Tuhan mengizinkan atau tidak menghalanginya
untuk terjadi.
Di antara sekian ribu pemanggungan Rombongan-Alkisah, ada beberapa kali turun hujan,
meskipun alhamdulillah tanpa bicara apapun: hujan tidak pernah menghalangi para hadirin untuk
tetap bersama Rombongan-Alkisah itu, tidak membuat mereka pergi dari acara. Rombongan-
Alkisah mengajak hadirin untuk mempelajari hujan, asal-usulnya, kehendak yang menurunkannya,
baik buruknya bagi mereka, akibat-akibatnya dan apa saja yang terkait dengan turunnya hujan.
Puncak pencapaian diskusi tentang di bawah guyuran hujan biasanya adalah keikhlasan menerima
hujan. Kemudian kesadaran baru bahwa hujan punya banyak fungsi. Misalnya menyaring siapa
saja yang niat-niat baiknya sedemikian mendasar dan besar sehingga tidak bisa dibatalkan atau
dihalangi oleh hujan. Bahwa hujan menjadi cermin bagi ketangguhan atau kerapuhan badan dan
mentalnya. Bahwa hujan membuat mereka lebih kuat mentalnya, lebih meningkat daya
berpikirnya, lebih sublim rohaninya, serta sangat jelas mengikis kecengengan hatinya.
Rombongan-Alkisah itu mengalami bahwa ketika ribuan orang di depannya itu bersama mereka
mencapai ketepatan sikap terhadap hujan, mencapai kejernihan ilmu tentang hujan, mencapai
keluwesan jasad dan perasaan terhadap hujan, atau mencapai nikmatnya hujan di antara pergaulan
mereka dengan Tuhan dan alam maka hujan kemudian bersikap kooperatif. Puncak kesadaran
ribuan orang itu membuat hujan berhenti sesudah mengguyur 4-5 menit, bersabar dan toleran
kepada ribuan sahabat-sahabat barunya. Menunda hajatnya. Menyingkir ke area di sekitarnya.
Atau berpuasa beberapa jam dari haknya untuk mengguyur.
Nanti sesudah ribuan hadirin itu dengan Rombongan-Alkisah berdoa bersama dan acara diakhiri,
pelan-pelan atau langsung, hujan turun kembali.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
10 Maret 2016

Daur (38)
Bukan Sorga Berakibat Tuhan

Anak cucuku dan para jm jangan sampai mendramatisir dan menseram-seramkan kisah kecil
tentang Rombongan-Alkisah dan hujan. Mereka bukan siapa-siapa selain Salikin , pencari
kebenaran Allah, dan Abidin , pelaku pengabdian kepada Allah melalui ibadah kepada-Nya
maupun pelayanan kepada sesama makhluk-Nya, tak terbatas hanya kepada manusia.
Anak cucuku dan para jm tidak mengenal kultus, apalagi kepada individu. Hanya mengenal dan
mengerjakan pengabdian kepada Tuhan, asal-usul dan tujuan akhir kita semua. Pengabdian dengan
cara dan bentuk yang kita patuh kepada ketentuan-Nya. Dan jika ada wilayah muamalah di mana
kita dimerdekakan oleh-Nya untuk kreatif membangun dan memformulasikan pengabdian kita,
harus tetap waspada tidak sampai menabrak batas syariat-Nya.
Kita semua melayani lantai rumah yang kotor, kita menyapu. Kita melayani piring sehabis dipakai
makan, kita
pususi . Kita melayani hujan, kita pahami dan ajak berdiskusi. Kita melayani seluruh alam
semesta, khususnya bumi yang kita diamanati, dengan landasan dan pedoman menaburkan rahmat
bagi mereka semua. Kalau kita tidak mampu bergerak menyebarkan rahmat, minimal kita jadi
debu, yang berkohesi dengan trilyunan debu lain, agar manusia bisa punya landasan yang kokoh
untuk membangun jalanan, rumah dan gedung-gedung.
Anak cucuku dan para jm hanya ciptaan Tuhan yang rendah di hadapan-Nya. Tinggi atau rendah
derajat kita, mulia atau hina martabat kita, tidak kita pedomankan kepada apapun dan siapapun
kecuali kepada kemauan-Nya, konsep yang ditata oleh-Nya, nilai dan susunan yang dikelola oleh-
Nya. Anak cucuku dan para jm tidak menuding dan menuduh sesamanya. Tidak sibuk menilai kiri
kanannya. Tidak menghardik, membunuh atau memusnahkan.
***
Anak cucuku dan para jm selalu belajar dan mempelajari batas-batas pembagian peran antara
engkau semua dengan Pencipta. Neraka sangat mengerikan dan kita takuti, tetapi tidak karena
takut neraka maka kita tidak melawan Tuhan. Kita tidak mememerangi Tuhan tidak karena apapun
selain karena Tuhan itu sendiri, yang hadir ke jiwa, hati dan akal kita melalui berbagai formula
tajalli-Nya.
Sorga sangat menggiurkan dan kita idamkan. Namun bukan karena keterpesonaan kepada sorga
kita mencintai-Nya. Bukan karena pamrih masuk sorga kita mengabdi kepada-Nya. Sorga dan
neraka adalah akibat dari pilihan perilaku kita. Tetapi sorga dan neraka terlalu kecil dan remeh
dibanding semesta agung percintaan kita dengan-Nya.
Kita sangat percaya, yakin dan merasa nikmat kepada Tuhan. Bukan kita sangat percaya, yakin
merasa nikmat kepada sorga. Tuhan berakibat sorga, bukan sorga berakibat Tuhan. Tuhan
mencintai hamba-Nya yang mencintai-Nya maka ditempatkan si hamba itu di sorga. Tidak ada
peristiwa hamba Tuhan mencintai sorga maka sorga menempatkannya di Tuhan.
Tuhan menciptakan trilyunan matahari dan benda planet bulat-bulat, tapi tidak diberi akal. Tuhan
menciptakan batu-batu dan gunung, pepohonan dan binatang, tanpa anugerah akal. Hanya
manusia, maka mereka dikhalifahkan oleh-Nya di bumi, dengan terlebih dahulu ditanam chips
pada dirinya yang berupa akal.
Akal itu sendiri bukan pikiran bukan otak, tetapi soal ini anak cucuku dan para jm bisa cari waktu
yang khusus untuk mendalaminya. Hal akal ini dituturkan dalam konteks bahwa pandangan
manusia tentang sorga dan mereka dan apapun yang dialaminya di dunia maupun informasi-
informasi dari Tuhan sangat bergantung pada pengelolaan akal mereka.
***
Mekanisme mesin akal itulah yang memahamkan manusia pada logika tentang segala sesuatu.
Tentang dialektika logis. Tentang skala prioritas. Tentang batas segala sesuatu. Tentang matrix
wajib sunnah mubah makruh haram. Tentang jangka pendek jangka menengah jangka panjang.
Tentang substansial dan parsial. Tentang pokok dan cabang. Tentang tata ruang dan tata waktu.
Tentang sangat penting, penting, agak penting, tidak penting. Tentang atas dan bawah. Tentang
pohon, dahan, ranting, daun, bunga dan buah. Dan apa saja yang merupakan persyaratan wajib
dalam menjalani kekhalifahan.
Kalau ranting dipahami secara pohon, ruwetlah kehidupan. Kalau mahdloh dinilai sebagai
muamalah, silang sengkarutlah kehidupan beragama. Kalau kasus lokal tidak diketahui konteks
nasional dan latar belakang globalnya, bertengkar-tengkarlah rakyat suatu negara. Kalau tokoh-
tokoh ummat manusia tidak mampu memilah antara lautan dengan ombak, antara Kitab Suci
dengan tafsir, antara Tuhan dengan berhala, antara api dengan panas, antara gula dengan manis,
antara manusia dengan kemanusiaan, antara fungsi dengan robot, dan seribu macam
ketidakpahaman yang lain, maka sesungguhnya peradaban sedang bergerak menuju jurang untuk
bunuh diri bersama-sama.
Anak cucuku dan para jm aku harapkan tidak bertengkar berdebat ribut riuh rendah tentang sorga
dan neraka, tentang Tuhan dan patung, tentang masalah-masalah apapun yang besar-besar, apabila
engkau semua belum maksimal menggunakan mesin ilahiyah akalmu.
***
Sedangkan tentang hujan, sebagian dari anak cucuku dan para jm, pengetahuannya tidak pernah
berkembang sejak Guru SD dulu mengajarinya. Bahwa hujan adalah air laut yang menguap,
kemudian uap itu disapu ke sana kemari semau-mau angin, dan nanti ketika suhu menurun, sel-sel
uap itu bergabung satu sama lain berkelompok-kelompok, menyebabkan bobot baru, maka
gravitasi menariknya ke bumi, menjadi curah hujan.
Sebagian engkau menyangka bahwa hujan adalah atau hanyalah titik-titik air yang jumlahnya
sangat banyak, berjamaah terjun ke bawah dan membasahi bumi. Sebagian engkau membatasi
pemahamannya bahwa hujan hanya benda. Engkau tidak mempelajari bahwa hujan mungkin
hanya peristiwa ludah. Cairan yang diludahkan. Oleh siapa? Kenapa? Bagaimana? Untuk apa?
Untuk siapa? Kok turun sekarang, tidak tadi atau nanti? Kok di sini, tidak di sana? Kok yang ini
basah kuyup, yang itu sedikit basah, yang sana malah kering?
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
11 Maret 2016

Daur (39)
Hujan Deras Mengelilingi Kabah

Kita masih merenungi hutan belantara dan hujan deras, dan untuk anak cucuku dan para jm
kutuliskan kisah kecil seorang Bapak mengantarkan anaknya berjalan menuju Hajar Aswad.
Syarat membacanya adalah teguhnya pengetahuan dan keyakinan bahwa tidak ada kekuatan yang
benar-benar kekuatan, dan tidak ada kekuasaan yang sungguh-sungguh kekuasaan selain milik
Tuhan.
Tidak ada apapun dalam kehidupan ini yang berlaku, terjadi dan berlangsung, selain yang
direncanakan oleh Allah, diizinkan, dibiarkan atau disengaja oleh Tuhan untuk maksud-maksud
yang mungkin masih dirahasiakan.
Tidak ada mukjizat, tidak ada karomah, tidak ada maunah atau fadhilah apapun sepanjang sejarah
dan di zaman apapun kecuali yang sejatinya milik-Nya namun sesekali dipinjamkan oleh-Nya
kepada hamba-Nya untuk kemauan-kemauan yang para makhluk dipersilahkan mencari dan
menelusurinya, dalam jangka waktu hingga hari kiamat.
Tidak ada Nabi Muhammad membelah bulan kecuali Tuhanlah yang membelah. Tidak ada di
tangan Nabi Musa tongkat sakti melainkan Tuhanlah pencipta dan pemilik sejati tongkat yang Ia
muati kesaktian.
Tidak ada Nabi Isa menghidupkan orang mati kecuali Tuhan sendiri satu-satunya yang mampu dan
berhak untuk menghidupkan dan mematikan.
Tidak ada Nabi Sulaiman bercengkerama dengan semut, semua hewan, Jin dan Malaikat, kecuali
Tuhanlah yang mempersambungkan komunikasi di antara mereka. Tidak ada Nabi Yusuf yang
wajahnya sangat ganteng kecuali keindahan wajah Allah sendiri yang diusapkan ke muka Nabi
Yusuf.
***
Tidak ada Bapak yang sanggup menyembelih anaknya dan tidak ada anak yang mampu ikhlas
disembelih oleh Bapaknya, kecuali Tuhan sendiri yang menganugerahkan kekuatan hati kepada
Nabi Ibrahim dan meniupkan keikhlasan ke dalam jiwa Nabi Ismail.
Pun tidak ada penguasa di bidang apapun di muka bumi yang semena-mena menipu rakyatnya,
kecuali Tuhan memberinya tunda-waktu dengan maksud rakyat harus menelitinya dengan
kecerdasan dan kepekaan.
Tidak ada Pemerintah, Kaisar, Jenderal, Raja, Presiden, Konglomerat dan siapapun yang sejati
menguasai dunia, kecuali Tuhan sedang memegang kedua kaki mereka atau mencengkeram leher
mereka sampai waktu yang Ia tentukan untuk membenturkan mereka ke tembok kebenaran-Nya.
Tidak ada kegagahan yang sejati dan abadi, tidak ada kehebatan yang sejati dan abadi, tidak ada
kesaktian keampuhan kemegahan yang sejati dan abadi, kecuali Tuhan meminjamkannya untuk
menguji mereka yang diuji.
Tidak ada yang kelihatan dan tak kelihatan, tidak ada yang sepi atau yang terdengar, tidak ada
yang terang benderang atau yang tersembunyi, tidak ada yang transparan atau yang rahasia, tidak
ada yang wujud atau yang gaib, bahkan tidak apapun dan tidak ada tiada apapun, kecuali Tuhan
pemilik-Nya, pencipta-Nya dan distributor-Nya pada skala ruang dan jangka waktu yang secara
absolut dirancang oleh-Nya.
***
Seorang Bapak menyaksikan pemuda putranya berjalan mengitari Kabah di tengah jejalan ribuan
orang yang saling mendesak satu sama lain. Tatkala muncul tujuan untuk berjalan menuju Hajar
Aswad, muncul pulalah tindakan untuk menyingkirkan, membelah, mempertandingkan kekuatan
kaki, tangan dan sikut.
Dan putra si Bapak itu gagal mencapai Hajar Aswad. Ia terseret arus kembali melewati wilayah
batu hitam. Pada putaran berikutnya ia berusaha lagi dan terseret lagi. Demikian beberapa putaran
ia berjuang dan tetap tak berhasil membawa badannya mendekat ke Hajar Aswad.
Si Bapak menghampirinya, menuntun tangannya, mengajak minggir ke tepian area seputar
Kabah, semacam batas yang di atasnya melingkar terap-terap Masjidil Haram. Si anak diajak
duduk di lantai, menghela napas panjang melepas lelah. Si Bapak bersila menghadap Kabah,
menundukkan wajah, tampak membaca-baca entah apa. Kemudian tiba-tiba menggamit putranya,
mengajaknya berwudlu kembali, tentu dengan tidak mudah mencapai tempat wudlu.
Kemudian kembali ke tepian di mana mereka tadi duduk. Si anak dipersilahkan untuk melakukan
shalat dua rakaat sambil si Bapak juga melakukan hal yang sama. Setelah shalat si Bapak
mengajak anaknya berdiri dan berjalan mengikutinya. Si anak berjalan di belakang Bapaknya.
Si Bapak tidak berjalan dalam arus dan irama ribuan jamaah yang berthawaf. Melainkan dari
tepian area seputar Kabah itu ia berjalan lurus ke arah Hajar Aswad. Si Bapak berjalan tidak cepat
dan tidak lambat. Berjalan biasa saja sebagaimana umumnya orang berjalan. Si Bapak dan
anaknya yang berjalan di belakangnya tidak perlu menyesuaikan langkahnya dengan sangat
banyak orang yang berjalan ke arah yang bersilangan dengan arah ke Hajar Aswad. Langkah
mereka tidak tersendat-sendat karena di depannya banyak orang lewat. Tubuh mereka juga tidak
bergeser ke kanan atau kiri atau berhenti sejenak karena menunggu orang-orang yang lewat di
depan mereka.
***
Mereka berdua menembus hujan
Muthawwifin , ribuan orang yang berjalan mengelilingi Kabah. Bukankah jumlah dan kerapatan
orang-orang yang berthawaf adalah sejenis hujan deras, meskipun arahnya tidak dari atas ke
bawah, melainkan dari kiri ke kanan?
Tapi tidak. Mereka berdua tidak menembus hujan deras Muthawwifin . Mereka tidak berjalan di
sela-sela hujan. Mereka tidak memiliki strategi untuk tidak basah oleh guyuran hujan. Mereka
tidak memiliki ilmu dan kesaktian untuk menghindari perbenturan dengan ribuan orang yang
berjalan silang.
Bapak dan anaknya itu tidak melakukan perjuangan apa-apa kecuali melangkah berjalan saja.
Mereka tidak memiliki kemampuan atau kelihaian untuk menghindari tabrakan. Mereka hanya
berjalan. Hanya berjalan. Mereka tidak bertabrakan, berbenturan atau bersenggolan dengan
apapun.
Ketika tiba di Hajar Aswad, si Bapak menjulurkan kedua tangannya, memegang batu itu bagian di
atas yang biasa dicium oleh jutaan orang. Di antara dua tangan yang menjulur dan berpegangan di
batu itu dengan kedua kakinya terdapat ruang yang lapang, dan si Bapak mempersilahkan anaknya
untuk bergeser ke ruang itu agar mencium Hajar Aswad.
Si Bapak mengatakan kepada anaknya cukup sebentar saja menciumnya. Kemudian sesudah
selesai anaknya mencium, si Bapak dan anaknya diangkat ke belakang entah oleh siapa, dan
mereka ditaruh kembali berpijak lantai sekitar tiga meter dari Hajar Aswad.
Sekarang anak cucuku dan para jm mestinya bertambah pengertiannya bahwa di bawah guyuran
hujan, Tuhan menyediakan banyak kemungkinan: basah kuyup, basah sedikit, atau tidak basah
sama sekali. Terserah-serah Tuhan. Dan jika hujan deras itu berlangsung di alamatmu sekarang,
yakni di hutan belantara yang gelap secara keseluruhan dan remang-remang sebagian: toh engkau
sudah selalu belajar tidak untuk menunggu atau menagih cahaya dari luar, melainkan berikhtiar
memancarkan cahaya dari dalam dirimu sendiri.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
12 Maret 2016

Daur (40)
Tadib dan Kepala Dinas Tipudaya

Wajah Markesot tampak memancarkan kegairahan yang berbeda, ketika dan sesudah mendengar
kisah tentang
Rombongan-Alkisah dan Bapak Menuntun Anak berjalan lurus ke Hajar Aswad.
Rupanya bukan hanya teman-teman saya ini, Markesot membisiki dirinya sendiri, Saya sendiri
pun diam-diam lebih siap dan senang kalau ada makanan yang sudah jadi, tinggal mengangakan
mulut dan mengenyamnya.
Bagaimanapun pada setiap orang selalu ada rasa malas kalau dikasih bijinya saja, harus menanam,
berjuang menumbuhkan, menyirami, memelihara dan menjaga kesehatan tanaman. Seluruh anak-
anak Bangsa dan generasi muda di jaman mutakhir ini dihanyutkan oleh arus yang menanamkan
pembiasaan untuk konsumtif, dan sangat sedikit prosentase pembiasaan untuk kreatif.
Pendidikan yang mereka terima sehari-hari, di Sekolah maupun di kehidupan sehari-hari, adalah
menelan makanan matang. Bahkan makanan mentah pun sering dipaksakan untuk disuruh telan.
Anak-anak Bangsa tidak dibukakan pintu kemungkinan ke hari depan bahwa ada matang yang
berbeda, ada formula matang yang tidak sama dibanding yang pernah ada, ada cakrawala di
depan, bukan hanya ada tanah yang dipijak oleh telapak kaki sekarang ini.
Maka Markesot berpendapat, tetap penting membawa anak cucu dan para jm untuk memutari
Daurah, recycling , menjalani langkah ke depan yang kelihatannya lurus namun sebenarnya
berkeliling. Berkeliling tidak hanya kanan ke kiri atau kiri ke kanan. Melainkan bisa tak terbatas
daur arahnya, belakang ke depan dan depan ke belakang, termasuk menapaki derajat dan lintang
arah yang tak terbatas jumlahnya.
Maka biar saja mereka menulis, membaca dan mendengarkan sesuatu yang membuat mereka
merasa sedang makan keremangan dan menelan kegelapan, Markesot berpikir, kalau perlu lebih
lama dan lebih panjang mereka merasakan itu. Karena anak cucu dan jape-methe menjadi anak
cucu dan jape-methe justru karena mereka bukan bukan anak cucu dan
jape-methe . Sebab otak mereka dianugerahi aql oleh Allah. Otak mereka bukan otak ayam atau
kambing. Otak mereka berwujud gumpalan misteri dengan puzzling milyaran urat syaraf, bukan
bentang
lulang lembu atau kerbau.
Kalau nanti mereka tidur ngorok lagi, Markesot akan tidak hanya meledakkan cambuk, tapi
mungkin akan mengangkat rumah mereka dipindahkan ke tempat yang jauh, sehingga teman-
temannya terbangun di bawah atap langit.
***
Kita sedang basah kuyup oleh hujan deras, sehingga sebelum duduk bersama bercengkerama dan
belajar melanjutkan hidup diperlukan mencuci sejumlah pakaian dulu, menyeterika beberapa
lainnya, kemudian berpikir ulang untuk memilih baju yang mana yang akan kita pakai, sesudah
mengalami perubahan pandangan-pandangan.
Sudah jelas semakin banyak kemudlaratan zaman yang diawali dengan kata, sehingga untuk
mengatasinya kita perlu berunding ulang dengan setiap kata, setiap makna dan nilai. Yang seolah-
olah paling gampang adalah kita bersama-sama menyingkir ke daerah yang sejauh mungkin dari
peradaban rimba yang sedang berlangsung, mencoba babat alas kembali, menata tanah dan
tetanaman lagi, memperbanyak kerja dan berpuasa dari kata-kata yang kita angkut dari peradaban
yang kita tinggalkan.
Akan tetapi keputusan menyingkir secara fisik dan teritorial semacam itu adalah sikap yang
kurang jantan, tidak mencerminkan ketangguhan, dan merugi secara pencarian ilmu. Maka kita
lompat masuk atau sekurang-kurangnya tidak lompat keluar dari wilayah kehidupan yang
sangat membebani dan menyiksa. Kita terus terjang hujan deras dan terus mengarungi rimba
belantara, tetapi tetap dengan tak berhenti memperbarui diri kita, pandangan hidup kita,
pertimbangan-pertimbangan kita secara akal, mental, emosi dan rohani.
***
Sekarang bahkan kutambahkan kata-kata baru buat anak cucuku dan para jm dari Padhangmbulan
Jombang. Itu pun belum akan kukemukakan secara menyeluruh, hanya mengambil penggalannya
yang kita perlukan pada tahap ini.
Terhadap para Guru dan siswa di Sekolah Padhangmbulan, diterapkan halaqah ilmu kehidupan di
luar jam-jam pelajaran, yang bernama Tadib. Ini suatu proses yang terbalik dari yang bisa
dilakukan dan dialami oleh mereka yang mengajar maupun yang belajar.
Para Guru kulakan pengetahuan, atau mengambil rangsum dari Pusat Pendidikan Nasional satu
dua kilogram bahan yang disebut ilmu, kemudian disalurkan secara bertahap kepada murid. Para
siswa, puluhan siswa di seantero Negeri, adalah ember yang dituangi barang-barang, cairan yang
bernama ilmu pengetahuan, yang dipersilahkan untuk langsung diminum, ditelan, dipercaya,
dimasukkan ke dalam aliran darah, dan menjadi bagian terpenting dari kehidupan mereka.
Dalam proses Tadib mereka tidak dituangi, tapi justru diproses untuk kosong kembali, baru
kemudian digali kemungkinan-kemungkinan dari dalam diri mereka masing-masing.
Kemungkinan itu bisa bakat, kecenderungan, potensi, susunan faktor-faktor yang ditakdirkan
Tuhan pada diri setiap orang. Bisa juga sisa-sisa ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang sudah
mengendap, sudah mengalami sublimasi di dalam proses hidup mereka.
Di dalam proses penggalian, para siswa diajak mengembarai berbagai kemungkinan memahami,
menafsirkan, menganalisis, mendalami, menghayati, sekaligus membiasakan diri bersentuhan
dengan berbagai macam output atau hasil multi-pemahaman itu.
Satu-satunya yang kita izinkan untuk dituangkan adalah informasi dan bahan-bahan dari Tuhan
yang terpapar di Kitab Suci. Itu pun dibarengi dengan kejernihan memahami dan ketahanan
mental untuk tidak geram terhadap hasil pemahaman yang tidak sama atau apalagi yang
bertentangan.
***
Tadib itu, supaya tidak menjadi kelas pembelajaran bahasa, maksudnya pem-beradab-an.
Proses pembelajaran, tidak harus pengajaran, untuk menjadi manusia beradab.
Manusia melangkahkan hidupnya harus dengan seluruh kelengkapannya. Kelengkapan itupun
bukan barang jadi dan tidak pernh final. Ada proses perapuhan, tahap pengelupasan, daun
menguning dan tumbuh semai baru yang hijau, tahap kematian-kematian dalam waktu yang
bersamaan dengan itu muncul kelahiran-kelahiran baru.
Maka secara irama dan tahap, Tadib dibangun dan dijalani melalui tahap Talim, dari tidak atau
belum tahu menjadi tahu. Tafhim, dari belum paham menjadi paham. Tarif, tahu, paham tapi
belum benar-benar mengerti, sehingga memerlukan tahap ini. Kemudian Tamil atau Tafil,
banyak orang tahu dan paham, bahkan berhasil mengerti, tapi belum tentu bisa atau mampu
melakukannya. Dan puncaknya Takhlis. Tahu paham mengerti dan bisa, tapi tidak ikhlas
mengerjakannya.
Ternyata di antara tahapan-tahapan itu terkandung seluruh persyaratan segala ilmu dan
pengetahuan, yang tradisional maupun yang modern, yang bumi maupun langit, yang sekolahan
maupun yang pasar, yang metropolitan maupun yang sawah ladang. Di dalam kemenyeluruhan
Tadib kehidupan, tidak ada satu hal pun yang tidak berkaitan dengan hal yang lain. Sebab akibat,
kausalitas, hulu hilir, pangkal ujung, dunia akhirat, semua bersambungan satu sama lain.
Dan ternyata pula, sekedar menempuh jarak antara tidak atau belum tahu menuju tahu saja, setiap
anak manusia sudah tercampak ke dalam hutan belantara dan diguyur hujan deras hampir tiada
taranya. Ternyata seluruh persoalan peradaban, kebudayaan, politik, ummat, masyarakat, rakyat,
negara, golongan, kelompok, klub, juga individu per orang, kasusnya adalah ketidaklulusan ujian
di antara tidak tahu ke tahu.
Anak cucuku dan para jm sebaiknya mencatat, bahwa yang sesungguhnya terjadi tidak hanya
kasus tidak lulus ujian untuk tahu, tetapi sesungguhnya kehidupan di dunia ini dikuasai oleh
sekelompok dan sejaringan penjajah penipu pendusta yang salah satu program utamanya adalah
membuat sebanyak mungkin penduduk dunia untuk jangan sampai tahu.
Variasinya bukan hanya jangan sampai tahu, tapi juga tahu terbatas saja, tahu yang sebenarnya
bukan tahu, seakan-akan tahu, ketidaktahuan atas tahu dan tidak tahu atas ketidaktahuan.
Bingung? Berhentilah membaca. Sobeklah kertas dan buang tulisan ini. Berhentilah mencari
pengetahuan tentang hidupmu sendiri. Bersegera mendaftarlah kepada para penguasa pendusta
penjajah penipu, baik untuk terus ditipu asal dikasih makan, atau engkau akan naik pangkat
menjadi bagian dari sistem dusta. Syukur engkau diangkat menjadi Kepala Dinas Tipudaya.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
13 Maret 2016

Daur (41)
Al-Browsingul Karim

Anak cucuku dan para jm sudah tahu bahwa ini meja dan itu kursi. Tetapi engkau pasti juga
memahami bahwa sebutan meja dan kursi itu tidak berlaku bagi orang lain di luar lingkaran
perjanjian kelompokmu. Dan yang paling pasti nama meja dan kursi itu tidak berlaku bagi meja
dan kursi itu sendiri.
Apakah engkau tahu? Apa yang kau ketahui? Apakah engkau benar-benar tahu? Seberapa kadar
tahu-mu? Bagaimana menilai apakah engkau benar-benar tahu atau sebenarnya yang kau pikir
tahu itu ternyata tak tahu? Kalau engkau merasa tahu, apakah itu juga berarti engkau yakin bahwa
engkau tahu?
Apakah bagi yang bukan dirimu engkau benar-benar tahu? Ataukah diam-diam sebagian dirimu
merasa tahu tetapi sebagian yang lain menuduh sebenarnya engkau tahu? Tahukah engkau bahwa
hubungan antara tahu dengan dirimu ini bisa kita salami dan temukan detailnya, micro nanonya,
sampai tak terhingga?
Dari mana engkau tahu? Dari siapa engkau berubah dari tidak tahu menjadi tahu? Apakah benar
kau bisa percaya siapapun atau apapun yang memberimu tahu? Apakah kau tahu tentang yang
memberimu tahu sehingga kau yakini tahu-mu itu sebagai sungguh-sungguh tahu? Bagaimana
kalau tahu-mu itu hasil dari kebohongan orang yang tahu tidak sebagaimana yang kau tahu? Atau
tahu-mu itu produk dari dusta orang yang memberimu tahu?
Anak cucuku dan para jm, ini pertanyaan bisa berkembang secara deret hitung dan bisa
membengkak secara deret ukur. Tahukah engkau bahwa tahu-mu bisa jadi merupakan bagian yang
paling rendah dan rentan dari tidak tahu-mu?
***
Anak cucuku dan para jm jangan omong seperti sahabat-sahabatmu yang kurang pergaulan bahwa
kalimat-kalimat sangat filosofis Nanti malah timbul masalah dan pertengkaran antara
engkau dengan kata filsafat, filosofis, falsafi, failasuf.
Baiklah engkau mendarat di bumi, memilih contoh yang bersahaja. Engkau dikasih tahu oleh
Gurumu tentang sesuatu. Apakah Gurumu itu tahu karena dirinya sendiri atau ia juga dikasih tahu
oleh Gurunya sebagaimana ia mengasih-tahumu? Gurunya Gurumu itu dikasih tahu oleh siapa?
Oleh Gurunya juga?
Kalau nasab tahu-mu itu kita gambar, kau tahu dikasih tahu oleh Gurumu yang dikasih tahu oleh
Gurunya yang dikasih tahu oleh Gurunya, oleh Gurunya, Gurunya, Gurunya, sampai berapa jauh
dan panjang? Seberapa mungkin terjadi distorsi, pembiasan, pembengkokan, penyelewengan
bahkan pembalikan dari tahu-nya Guru yang jauh di atas Gurumu itu dengan tahu-mu?
Itu baru soal tahu. Belum tahap paham, mengerti, bisa dan mau hingga ikhlas. Anak cucuku dan
para jm hidup di dalam dan bersama masyarakat dunia yang sudah menggenggam pemahaman,
sudah memiliki pengertian, sudah melatih kebisaan, bahkan sudah sangat melakukan baik ikhlas
atau tak ikhlas namun sesungguhnya masih belum selesai persoalannya dengan soal tahu.
Tentu saja hidup ini tidak menuntut sebegitu detail, jernih dan mendalam atas apapun. Akan tetapi
anak cucuku dan para jm akan lebih terang benderang menempuh masa depan apabila mengerti
bahwa engkau semua ini merupakan bagian dari hutan belantara ketidaktahuan dan hujan deras
ketidakpahaman.
***
Baiklah anak cucuku dan para jm ambil jalan pintas saja: engkau sedang memasuki dunia maya?
Dari dunia yang engkau sendiri menyebutnya maya itulah engkau mengambil tahu tentang
segala sesuatu yang kau yakini tidak maya. Apakah engkau tahu siapa yang memberimu tahu itu
di dunia maya? Bagaimana caramu meneliti bahwa yang memberimu tahu itu bisa engkau percaya
untuk mengubahmu dari tidak tahu ke tahu?
Mungkin sejumlah data teknis yang kasat mata dan bisa diverifikasi secara wadag dan akademis,
tidak sedemikian besar bahayanya bagimu. Tetapi niat di balik penyebaran data itu, pamrih,
kepentingan, subversi, provokasi dan berbagai kemungkinan politik dan penguasaan, di belakang
sesuatu yang engkau yakini bahwa engkau tahu itu seberapa tahukah engkau?
Engkau masuk dan bangga menjadi bagian dari semesta maya. Apakah di dalamnya engkau
subyek ataukah obyek? Apakah tahu-mu dari dunia maya itu berposisi jernih sebagai pengetahuan
itu sendiri, ataukah merupakan bagian dari suatu susunan irama informasi yang di terminal
tertentu nanti engkau baru tahu bahwa engkau sedang dijebak?
Engkau bangga karena engkau merasa menjadi pelaku Era Informasi dan Komunikasi? Apakah
engkau berposisi sebagai pengambil keputusan tentang nilai-nilai yang disebarkan? Ataukah
engkau adalah narapidana yang dikurung di dalam sel-sel yang sebenarnya tertutup, tapi seolah-
oleh penuh keterbukaan oleh penyebaran nilai-nilai?
Engkau merasa sebagai bagian dari suatu pergaulan global internasional, padahal menu makanan
minuman informasi yang tersedia di sel-sel penjaramu direncanakan dengan seksama, strategis
dan terukur, dan engkau mengenyamnya dengan lahap dan penuh kebanggaan?
Ataukah engkau sebenarnya adalah pasien yang dipersilahkan minum pil sehari sepuluh kali,
yang engkau tak benar-benar mengerti apakah yang engkau minum itu alat penyembuhan ataukah
racun yang membunuh sejumlah faktor mendasar dari otak, akal dan jiwamu?
Kalau data dan fakta tentang labirin dan detail ini itu di dunia, sepanjang engkau memegang
metodologi selengkapnya untuk memverifikasi, memfilter dan menemukan tetesan esensial dan
substansialnya, tentu sangat berguna. Tetapi bagaimana kalau yang kau makan dan minum di sel-
sel itu diam-diam menanamkan nilai ke dalam mesin berpikirmu? Ke jalannya darah nilai-nilai
kehidupanmu?
Merasukkan benih-benih baru ke tanah dan akar kejiwaanmu? Atau minimal mengikis pepohonan
nilai yang seharusnya jangan sampai terkikis, dan menumbuhkan tanaman prinsip dan pola
pandangan yang semestinya jangan sampai tumbuh kalau engkau ingin tidak terjebak oleh
kehancuran di hari esokmu?
***
Bukankah engkau sedang disandera di tengah kegelapan hutan belantara dan diguyur oleh hujan
sangat deras yang engkau kewalahan untuk tahu? Apalagi paham? Apalagi mengerti? Apalagi bisa
atau mampu mengantisipasinya? Apalagi ikhlas untuk sepanjang hidup memperjuangkannya?
Jika anak cucuku dan para jm dikepung oleh kegelapan, engkau harus berlatih membangkitkan
cahaya dari dirimu sendiri. Jika ditindih oleh kepalsuan, engkau tak berhenti mendekatkan diri
agar disahabati oleh Yang Sejati. Jika terbuntu langkah dan tak berdaya, engkau tidak pernah
memisahkan diri dari Yang Maha Pembuka dan Maha Berdaya.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
14 Maret 2016

Daur (42)
Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW

Khatam sudah 41 tulisan dibacakan. Cocoknya sekarang khataman.


Tapi sebentar. Kok 41 tho? Dulu di awal katanya 33, satuan angka populer terutama dalam dunia
wirid. Kemudian berubah jadi 40. Apakah itu disesuaikan dengan jagat Patangpuluhan?
Mistik 40-an? Akhirnya malah jadi 41. Dari khazanah apa ini 41?
Tanpa memperlihatkan kepada 40 sahabat-sahabatnya, aslinya Markesot sangat kelelahan dengan
41 tulisan itu. Legalah sekarang. Fajar semakin mempertipis kegelapannya. Pagi segera tiba.
Kelelahan itu membuat Markesot menguras ruang kepalanya, lantas mengisinya dengan hal-hal
yang enteng.
Enteng gimana misalnya, Sot? Dongeng anak-anak. Yes . Dongeng anak-anak. Seakan diperintah,
berpuluh-puluh dongeng langsung mengalir masuk ke dalam pikiran Markesot. Ia tersenyum-
senyum sendiri, tapi ia tahan agar tak kelihatan.
Memang Markesot dulunya adalah seorang pendongeng.
Pernah dulu sebelum zaman Patangpuluhan ia mendongengkan kisah, atau mengisahkan dongeng,
terserahlah mana yang tepat, tentang Joko Lanjaran. Awalnya seolah ada kemiripan dengan Joko
Bodho, tapi sangat berbeda.
Sama-sama disuruh Simboknya pergi ke pasar untuk membeli kacang, juga sama-sama membeli
bijihnya. Tapi si Bodho hanya membeli 1 kacang, sedangkan si Lanjaran memborong 41 bijih
kacang.
Bodho dimarahi Simboknya kok cuma beli sebijih kacang. Kemudian dibuang di kebun belakang.
Ternyata langsung tumbuh, memanjang dengan sangat cepat menembus langit. Si Bodho
memanjatnya. Ternyata sulur kacang yang memanjang ke langit itu berakhir di sebuah taman
sangat indah. Ternyata taman itu bagian dari sebuah Kerajaan Dewa-Dewi.
Si Bodho terpana tapi juga bengong. Ketika dengan wajah bodoh ia menoleh ke kanan kiri
kemudian memandang semua arah, mendadak di belakangnya muncul seorang Dewi yang sangat
cantik jelita. Pastilah si Bodho tidak sanggup menggambarkan tingkat keindahan yang ia tidak
pernah menjumpai sebelumnya.
Dan ternyata Sang Dewi itu melamarnya. Menggandeng tangannya, mengajak menemui Raja
Dewata dan Permaisuri, yakni Bapak dan Ibunya. Singkat kata beberapa saat kemudian Joko
Bodho dilantik menjadi Putra Mahkota di Keraton Kahyangan.
***
Siapapun yang mendongengkan kisah ini biasanya mengakhiri dengan sejumlah pemaknaan dan
hikmah. Misalnya bahwa manusia tidak boleh merendahkan orang bodoh. Karena sebodoh
apapun, seseorang akan berangkat ke masa depan dengan nasibnya. Dan yang disebut nasib ini
tidak memiliki kewajiban untuk setia atau menuruti pemikiran dan rancangan manusia. Nasib
adalah sebuah rahasia yang asal usulnya dari langit.
Oleh penguasa langit, kebodohan manusia bisa dikawinkan dengan nasib yang indah. Sementara
orang pandai bisa saja dikawinkan justru dengan nasib yang buruk dan berat. Para pendongeng
atau penutur kisah biasanya menyimpulkan bahwa jarak antara nasib dengan kepandaian sangat
jauh dibanding jarak antara nasib dengan kejujuran.
Adapun siapa penguasa langit yang menggenggam hak mutlak untuk menentukan nasib manusia,
bergantung kepada pengenalan manusia di bumi atas entah siapa di langit sana. Pengenalan itu
bisa melalui informasi yang didapatkan dari pengalaman peradaban manusia berabad-abad. Bisa
diperoleh dari penelitian dunia batin. Bisa diambil dari informasi Agama. Bahkan bisa juga dipetik
dari kemerdekaan berkhayal.
Ada juga pemaknaan yang sifatnya mempertanyakan dan mengkritik. Misalnya Joko Bodho
adalah lambang keputus-asaan rakyat kecil, yang selama hidup bergenerasi-generasi selalu
diperdaya oleh orang-orang pandai. Selalu dikibuli. Dijadikan alas kaki. Diinjak. Dimanfaatkan
ketika diperlukan, kemudian dibuang ketika sudah tidak produktif sebagai alat kepentingan orang
pandai.
Maka si Bodho adalah figur eskapistik. Tokoh fiktif. Produk khayal orang-orang yang kalah.
Semua pemaknaan dan hikmah itu beredar dan berputar-putar terus melewati rentang waktu dan
mengendarai kurun demi kurun. Sampai kemudian tiba zaman di mana seluruh faktor itu: Joko
Bodho, kacang, bijih, Dewi, kahyangan, nasib, penguasa langit, rakyat kecil, dan semua yang
terkandung dalam bangunan kisah dan dongeng itu diletakkan di tataran paling bawah, bahkan
dipendam, dikubur, sesekali diingat dengan ejekan dan pikiran yang merendahkan.
***
Bisa jadi karena itu maka Markesot tidak pernah menuturkan kisah Joko Bodho, melainkan Joko
Lanjaran. Tentu banyak lagi kisah-kisah lain: Kinjeng Dom, Thok-thok Kerot, Kasan Kusen, Rojo
Tikus, Joko Kendhil, Man Dolin, dan banyak lagi.
Adapun Joko Lanjaran pulang dari pasar membawa 41 bijih kacang. Sampai di rumah, Simboknya
tidak ada. Entah ke mana, mungkin sedang membantu nutu pari di salah satu rumah tetangga.
Ketika Si Lanjaran berjalan sekitar rumah mencari Simboknya, kakinya terantuk tanah
brongkalan . Ia terjatuh, bungkusan bijih kacangnya tumpah ke tanah.
Sebagaimana dalam kisah Joko Bodho, bijih kacang itu langsung bersemi dan tumbuh. Tentu lebih
teateral, karena jumlahnya 41. Si Lanjaran terpana, tapi juga panik. Melihat sulur-sulur kacang
begitu banyaknya menjulur naik ke atas, menuju angkasa, menggapai langit, dengan pergerakan
yang sangat cepat. Si Lanjaran melompat ke salah satu sulur. Dan tanpa memanjat ia terikut
pergerakannya naik, terus naik.
Tak pernah terbayangkan si Mas Lanjaran ini akan terbang sangat tinggi melewati seluruh
hamparan galaksi-galaksi, sehingga tiba di langit lapis dua. Pergerakan kacang tak berhenti. Tapi
ketika menuju lapis langit tiba, Si Lanjaran melihat bahwa yang naik bersamanya tinggal 31 sulur.
Yang 11 berhenti di langit lapis dua. Seterusnya Si Lanjaran melihat lagi tanpa mengerti
maknanya: tinggal 21 tatkala akan menyentuh langit lapis tiga. Kemudian tinggal 11 menjelang
langit 4, dan tinggal sulur kacang yang ia naiki sendiri naik hampir mencapai langit lapis lima.
Kabarnya ada tujuh lapisan langit. Berarti masih ada dua langit lagi. Beberapa saat Si Lanjarang
menatap ke wilayah yang diperkirakannya menuju arah lapis langit yang keenam dan ketujuh.
Kemudian ia melihat dirinya sendiri. Menatap kakinya, sehingga tampaklah ruang maha luas yang
tadi dilewatinya. Si Lanjaran merasa ngeri. Sangat ngeri. Ia sendirian di tempat yang ia sama
sekali tidak paham dan tak pernah ia mimpikan atau bayangkan. Maka mendadak Si Lanjaran
pingsan.
Karena Joko Lanjaran kehilangan kesadaran, maka terpaksa saya gantikan, kata Markesot
melanjutkan kisah dongengnya.
Ketika itu salah seorang yang mendengarkan mengejar, Lantas bagaimana, Cak Sot? Sampeyan
terus ke mana? Kan Sampeyan gandholan sulur kacang yang sudah tidak bergerak lagi
Markesot menjawab, Ya saya tetap di sini sama kamu
Lho, katanya di langit kelima
Untuk sampai ke langit berapapun kamu tidak harus pergi ke mana-mana, cukup masuk ke dalam
dirimu sendiri. Karena seluruh jagat raya adalah bagian dari dirimu
Lho mosok yang sangat besar merupakan bagian dari yang sangat kecil
Yang kecil itu benda. Kalau kamu hanya badan, darah, daging, tulang, kamu kecil. Maka Tuhan
memuaikan manusia dengan nafsu. Kemudian Tuhan kasih yang lebih besar dari pemuaian nafsu
sehingga mampu menguasainya, yaitu kerjasama antara hatimu dengan akalmu. Sesudah itu kamu
ditawari oleh Tuhan untuk mengisi hatimu dengan iman dan mengolah akalmu dengan kreativitas
yang berupa mujahadah, ijtihad dan jihad. Kalau kamu berhasil dengan perjuangan iman dan
jihad-ijtihad-mujahadah dalam kehidupanmu, maka Tuhan menghormatimu dengan anugerah
karomah. Lima kan jumlahnya? Para Nabi, Rasul dan kekasih-kekasih rahasia Allah dibukakan
langit lapis enam. Sedangkan yang mendapat undangan khusus ke lapis tujuh adalah yang termulia
dari ahsani-taqwim , yakni Mr. VVVVVIP Muhammad SAW.

Daur (43)
Rendah Diri dan Sombong

Jadi khataman apa tidak s? Yang bagus ya khataman, untuk merayakan tuntasnya 41 tulisan, serta
untuk syukuran 40 orang bertemu kembali sesudah berpisah sekian puluh tahun.
Tapi khataman bagaimana? Ketika tulisan ke-41 dibacakan, semua teman-teman Markesot sudah
sepenuhnya tertidur lelap. Khataman dengan siapa, sedangkan 40 orang itu semua nyenyak dan
mengorok.
Lho, jadi tulisan ke-41 tadi siapa yang membaca? Kalau semuanya tidur, kemungkinan yang
membacanya tinggal Markesot, orang ke-41. Jadi satu-satunya jalan: bertanyalah kepada
Markesot.
Tapi apa ada yang tahu Markesot? Memangnya siapa dia itu? Di mana tempat tinggalnya? Apa
identitasnya? Keturunan siapa? Atau tak usah jauh-jauh cari sejarahnya. Memahami kata-katanya
saja susah bagi kebanyakan orang. Mana mungkin bisa menemukan manusia-Markesot?
Markesot jelas dulu seorang pendongeng. Sekarang jangan-jangan sesungguhnya ia adalah
dongeng itu sendiri. Jangan-jangan Markesot adalah tokoh di dalam dongeng yang didongengkan
oleh si Dongeng itu sendiri.
***
Yang salah memang Markesot sendiri, yang sejak kecil hidup tidak jelas. Waktu kanak-kanak
hingga hampir dewasa di desanya dulu tiap malam Markesot berada, tinggal, bersembahyang,
mengaji dan tidur, di Langgar-nya Wak Mad.
Sebenarnya tidak persis seperti itu. Markesot tidak pernah tampak duduk berjajar dengan anak-
anak lainnya menghadap dampar atau bangku rendah menghadap ke Al-Quran. Setiap waktu
mengaji, Markesot menghilang. Aslinya ya cuma melarikan diri. Sembunyi di luar tembok dekat
jendela. Kalau ada yang bertanya Markesot mengaku sedang menyimak anak-anak mengaji dari
kejauhan.
Padahal memang pemalas. Atau tidak berbakat mengaji. Atau rendah diri. Atau tidak berselera.
Atau entah apa. Yang jelas kalau semua sudah selesai ngaji selepas Isya, sesudah anak-anak
bermain gobak sodor, jumpritan, jenthik atau kekehan : baru dia nongol.
Agak aneh bahwa Wak Mad, kiai dusun itu, tatkala semua anak-anak mengaji nderes, tidak pernah
menegur atau menanyakan di mana Markesot. Termasuk kalau beliau berjalan naik Langgar
menuju Imaman, beliau tak pernah peduli ada Markesot atau tidak. Padahal kata banyak orang,
Wak Mad dan Markesot itu ber- nasab sama, entah di mana posisi antara mereka di susunan pohon
anak-turun dari nenek-moyang mereka.
Mungkin Wak mad diam-diam memperhatikan bahwa Markesot disukai oleh teman-temannya di
Langgar. Terutama karena kebiasaannya untuk mendongeng, menuturkan dongeng-dongeng,
menjelang semua anak-anak tidur berjajar di tikar dalam Langgar setiap malam. Wak Mad
mungkin diam-diam menghargai manfaat Markesot atas teman-temannya dan semua penghuni
Langgar karena dongeng-dongengnya.
Wak Mad kayaknya tidak tahu bahwa sering-seringnya anak-anak di Langgar itu semua tertidur
sebelum dongeng Markesot selesai.
Padahal inti dongeng adalah ujungnya. Ditambah resonansi berpikir dan imajinasi sesudahnya.
Sebagaimana Wayang Kulit, ujungnya adalah munculnya Wayang Golek: golekono, golekono ,
carilah maknanya, carilah nilai dan hikmahnya.
Mungkin pengalaman anak-anak tertidur sebelum tuntasnya kisah itu yang menyebabkan
Markesot dendam diam-diam. Sehingga sangat suka menyebarkan teka-teki, melemparkan sesuatu
yang tidak jelas, yang posisinya adalah pertanyaan-pertanyaan, godaan-godaan, yang sama sekali
tidak disertai gejala, pertanda atau pintu untuk menemukan jawabannya.
***
Memang semua kisah yang didongengkan selalu mengandung muatan keteladanan akhlak yang
baik, kemuliaan manusia, contoh daya juang, keindahan silaturahmi, bercahayanya kebersamaan
kemanusiaan dan bermacam-macam lagi. Dongeng tidak kalah dari pelajaran Sekolah. Dari
memori dongeng-dongeng banyak manusia berkembang menjadi pemimpin yang baik, setidak-
tidaknya menjadi manusia yang memiliki kebijaksanaan dan ilmu hikmah, yang sangat menjadi
dasar bagi setiap langkah dan keputusan yang diambilnya.
Sampai kemudian tiba era modern yang memenjarakan dongeng di dalam pemahaman yang
merendahkannya.
Dongeng dibedakan dengan kenyataan. Di dalam Ilmu Sejarah misalnya, yang fakta adalah yang
diungkapkan oleh orang Sekolahan, dengan berbagai alasan metodologisnya yang disebut ilmiah.
Sedangkan dongeng, Babat, kisah-kisah yang metodologi modern buta matanya untuk sanggup
melihat dan memahaminya, disebut khayalan atau reka-reka yang sebenarnya tidak pernah ada.
Sejak kanak-kanak Markesot sering tertawa sendiri, Hahaha, khayalan yang tidak pernah ada
seolah-olah mereka pernah adaseakan-akan ada yang benar-benar ada
Ketika mulai dewasa Markesot menjelaskan bahwa direndahkannya dongeng itu merupakan salah
cara untuk memisahkan bangsa kita dari sejarahnya. Menghapus masa silamnya. Mengubur
peradaban yang pernah dicapai oleh para leluhur. Sehingga bangsa kita menjadi kosong
pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Berikutnya bangsa kita menjadi tidak percaya diri.
Dengan kata lain, bangsa kita menjadi tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bisa dibanggakan di
dalam sejarah nenek-moyangnya.
Maka dijajahlah bangsa kita dengan semena-mena. Bangsa kita, melalui kurikulum pendidikan
Sekolah dan Universitasnya, melalui media massa, melalui jalur informasi apa saja, percaya
bahwa kebesaran pernah diraih oleh tiga peradaban besar: Mesir kuno, Yunani kuno dan Cina
kuno. Adapun bangsa kita sendiri sejak dahulu kala adalah budak-budak jajahan bangsa lain.
Bangsa kita dibikinkan Negara, padahal sesungguhnya itu bentuk penjajahan yang sangat
dikendalikan dari luar. Bahkan kaum cerdik pandai sangat pintar merendahkan bangsanya sendiri,
menyimpulkan bahwa Ibu-Bapak mereka adalah orang-orang bodoh karena tidak pernah
bersekolah seperti mereka.
Bangsa kita adalah bangsa yang tidak percaya diri, tetapi sombong dalam kerendah-diriannya, dan
sangat bangga bahwa mereka rendah diri. Bangsa kita marah kalau ada yang bilang bahwa mereka
hebat, karena yang hebat haruslah bangsa-bangsa yang bukan mereka.
***
Itu kata Markesot. Bahasa jelasnya: dongeng Markesot. Siapa yang percaya?
Markesot selalu bersikap pesimis dan berpikir negatif. Kenapa teman-temannya itu setia
kepadanya?

Daur (44)
Hanya Allah, Selebihnya Hanya Dongeng

Ternyata 41 itu romantisme dari masa kanak-kanak Markesot.


Dulu Wak Mad kalau bikin Yasinan di Langgar selalu berjumlah 41. Dibagi-bagi sesuai dengan
peserta yang datang. Kalau 10 orang, maka setiap orang membaca 4 kali Yasin, kecuali Wak Mad
yang membaca 5. Kalau kemampuan dan kecepatan baca mereka berbeda-beda, dirundingkan ada
yang dapat 1 atau 2 atau 3 atau berapapun yang layak.
Tapi sampai Wak Mad meninggal, Markesot tidak pernah mendapat penjelasan kenapa 41. Kok
tidak 40 atau 33. Atau tak usah pakai jumlah-jumlah, yang penting ikhlas semampunya. Markesot
sudah mencoba bertanya kepada banyak orang pinter tapi tidak ada yang jelas jawabannya.
Akhirnya Markesot mencari sendiri, membayang-bayangkan sendiri dan mendongeng-
dongengkannya kepada dirinya sendiri. Sebagaimana dikisahkan dalam dongeng Markesot Joko
Lanjaran tentang pencapaian 41 hamba Allah pada batas yang berbeda-beda, berdasarkan sub-sub
satuan 41.
Dongeng, bukan? Apalagi ungkapannya selalu dengan kata-kata besar, bahasa muluk-muluk. Coba
baca kembali: cahaya, kegelapan, dunia Jin, Indonesia, banci, hutan belantara, hujan deras,
kanker, zigzag, ketidaklayakan, aurat, kulit mangga, brutal, pendamai, doa dan dosa, jamaah
maiyah, perhimpunan njarem ,jape-methe, tajalli , peta diri.entah apa lagi.
Dideret-deret disusun-susun menjadi orkestra panjang penderitaan, lagu-lagu keluhan, puisi-puisi
ratapan, kecengengan-kecengengan dongeng yang didongengkan oleh tokoh di dalam dongeng.
Terkadang, kepada orang tertentu, Markesot berkata: Yakinlah bahwa semua yang kuomongkan
adalah dongeng. Rajinlah makan batu, karena sungguh batu bukanlah dongeng.
Kepada orang yang berbeda, Markesot menambahkan: Kalau suatu hari hidupmu dipenuhi batu
dan rumahmu ditimpa batu, tak ada masalah bagimu, karena toh batu adalah makananmu.
***
Mereka disihir oleh Markesot seakan-akan datang dengan membawa tulisan masing-masing.
Membacakannya satu demi satu. Apakah itu benar-benar terjadi? Teman-teman Markesot itu
kerasukan Jin. Dan Jin-nya tak lain tak bukan adalah Markesot sendiri.
Di tengah itu ia gila, meledakkan cambuk, tertawa-tawa sinting seperti yang mereka kenal dahulu
kala di Patangpuluhan. Akan butuh waktu cukup lama bagi 40 orang itu untuk menyimpulkan
apakah sehari semalam itu berada dalam keadaan jaga ataukah tidur.
Kalau tidak jelas jaga atau tidur, sadar atau tak sadar, dua kemungkinannya. Majdzub , kalau
positif, sebab mereka dijadikan medium atau wadah atau penyalur dari energi positif. Atau
kangslupan, kalau negatif, karena yang ngangslupi adalah hantu yang bernama Markesot.
Apakah kalau ditarik garis ke atas, dari Markesot, akan sampai ke Malaikat Jibril? Mana mungkin.
Kalau sampai ke Iblis, bisa jadi, meskipun tidak ada yang sekarang bisa memastikannya.
41 tulisan yang berisi omong besar dan festival kesengsaraan bangsa itu sudah pasti berasal dari
dongeng Markesot sendiri.
Tetapi hanya setan dan hantu-hantu yang sesekali mendengarkan kata-kata Markesot itu. Siapa
percaya?
Lihatlah keluar jendela sana. Tengoklah jalanan yang makin ramai dan macet oleh kendaraan-
kendaraan. Pandanglah gedung-gedung makin banyak. Itu adalah tanda-tanda kemajuan bangsa.
Tataplah bangunan-bangunan tinggi. Makin banyak dan makin tinggi mengancam langit. Apa itu
kalau bukan meningkatnya peradaban.
Tontonlah televisi, bacalah koran-koran dan majalah, bergabunglah memasuki medsos, media
sosial, media silaturahmi terbaik tercanggih tanpa ada yang akan lebih canggih lagi.
Bukalah internet. Kelilingkanlah penglihatanmu, tebarkan pendengaranmu, lengkapkan
kesadaranmu. Apa yang kurang dari Negara dan Bangsa ini? Makin maju. Makin makmur. Makin
canggih. Makin bergerak ke depan.
Nikmatilah kiprah para pemimpin Bangsa dan Negara, yang tegas, yang profesional, yang
mumpuni, yang merupakan pilihan terbaik dari segala pilihan yang pernah dilakukan sepanjang
sejarah.
Markesot saja yang tidak pernah bergerak ke depan. Markesot beku di masa silam. Mandeg
ditinggalkan oleh waktu.
Siapa yang paham kalimat Markesot kecuali setan dan hantu?
Maka sampai Markesot dewasa, kemudian menua, sampai ketika ia mengundang teman-temannya
ke Patangpuluhan, semua 40 orang itu seperti diseret masuk oleh Markesot ke dalam dunia
dongeng.
Padahal mereka sudah menemukan hidupnya masing-masing. Berkeluarga dengan sukses. Bekerja
dan berkembang. Berkarya dan berprestasi. Mungkin hanya karena sopan santunlah sajalah
mereka memenuhi permintaan Markesot untuk berkumpul di Patangpuluhan.
Lambat atau cepat mereka akan terbangun dari mimpi dan kerasukan sehari semalam. Tatkala
matahari terbit nanti dongeng Markesot akan berakhir, sihir Markesot akan sirna, khayalan
Markesot akan lenyap.
***
Tetapi sampai matahari hampir terbit, mereka masih tidur nyenyak. Sehingga tidak ada pertanyaan
pada mereka siapa yang membaca tulisan ke-41. Nanti kalau mereka bangun belum tentu juga ada
yang ingat tulisan ke-41, apalagi tentang siapa yang membacanya.
Lebih dari itu, siapa bilang tulisan ke-41 adalah tulisan yang dibacakan pada urutan ke-41? Atas
dasar ukuran apa dan berpedoman pada teori teknis redaksional yang bagaimana? Bagaimana
kalau tulisan yang dibacakan pada urutan ke-15 sebenarnya adalah tulisan ke-1, sementara yang
dibacakan pada urutan ke-18 fungsinya adalah tulisan ke-41? Atau berbagai macam kemungkinan
dan acakan yang lain?
Markesot pernah memberi pertanyaan: Ketika Baginda Adam diturunkan dan tiba di Bumi, itu
pas hari apa? Juga tatkala Ibunda Hawa menyusul, kaki beliau menginjak tanah Bumi pertama kali
pada siang atau malam hari?
Di kesempatan lain Markesot melontarkan banyak pertanyaan lain yang bisa dipastikan dia sendiri
tidak mampu menjawabnya. Berapa tinggi badan Nabi Khidlir? Lebih tinggi mana dibanding
Nabi Musa? Berapa luas bahtera Nabi Nuh? Berapa panjang landasan runaway pesawat di zaman
Nabi Hud? Berapa jumlah Aji-aji yang dikuasai oleh Nabi Sulaiman? Bagaimana bunyi dialog
antara Nabi Ibrahim dengan api Firaun yang membakarnya?
Kebanyakan makhluk kasat-mata di Bumi terlalu meyakini bahwa hari adalah benar-benar hari,
bahwa angka adalah hakiki angka, atau bahwa ruang dan waktu adalah sungguh-sungguh ruang
dan waktu. Mereka mengira Surat Al-Hadid adalah mata kuliah besi, atau Al-Baqarah adalah
firman buat para Cowboys .
Peradaban teknologi dan kebudayaan dibangun dengan pilar angka, padahal toh lenyap di
infinitas. Tuhan menganugerahkan kemerdekaan seolah tanpa batas, padahal kemerdekaan adalah
alat untuk menentukan batas, tapi kemudian batas-batas dibatalkan oleh ketidak-terbatasan atau
ketiadaan batas.
Segala sesuatu, apapun, jagat raya, alam semesta, hanyalah satu. Hanyalah tunggal. Hanyalah
Sang Maha Tunggal. Sang Hyang Maha Tunggal menggeliat, meregang, menghembuskan maha-
nafas, berlagak memuaikan dirinya, menciptakan konsep 1, 2, 3, 4, milyaran, trilyunan, sampai tak
terhingga. Dan semua regangan-Nya memerlukan waktu sangat lama untuk menemukan
sesungguhnya mereka semua hanya bagian dari Tunggal.
Bagian-bagian amat sangat kecil yang tak berarti dari Sang Maha Tunggal. Hanya Allah, kata
Markesot, selebihnya hanya dongeng.

Daur (45)
41

Karena tidak bisa mendapatkan bahan apapun tentang 41, maka si-41 justru sangat dan selalu
hadir dalam kesadaran maupun bawah sadar Markesot, sejak kanak-kanak hingga dewasa.
Melakukan apapun, pergi ke manapun, bertemu dengan siapapun, spontanitas Markesot adalah 41.
Kalau masuk hutan ia selalu menyempatkan diri untuk berhenti di berbagai tempat, hanya untuk
menghitung pohon hingga jumlah 41. Lewat jalanan, ia seperti orang kurang lengkap ingatan
menoleh sana menoleh sini, menghitung 41 warung, 41 tiang listrik, 41 motor, 41 wanita muda, 41
setengah tua, 41 nenek-nenek. Semua ia hitung.
Kalau belum beres hitungannya wajah Markesot tampak panik seperti akan ada gunung meletus.
Setiap kali selesai hitungannya, bercahaya matanya, gembira seperti sedang khataman Qur`an.
Dan di antara semua yang tampak mata yang dihitungnya, yang paling membuat mripatnya
berbinar-binar dan bibirnya tersenyum-senyum adalah tempat sampah, gelandangan, pengemis,
pengamen, batu atau kerikil yang berceceran, serta segala sesuatu yang segelombang dan sederajat
dengan dirinya.
Terus terang kadang-kadang bergerak-gerak menghitung sesuatu entah apa yang orang di
sekitarnya tak bisa melihat. Terkadang perilakunya menunjukkan bahwa ia tidak sendirian
menghitung sesuatu. Saat-saat tertentu Markesot tampak seperti sedang omong-omong dengan
teman di kiri-kanannya. Dan yang paling tidak diketahui adalah bahwa sebenarnya Markesot
sendiri sedang dihitung.
***
Dihitung oleh siapa? Bagaimana mungkin pertanyaan itu bisa dijawab. Markesot saja tidak jelas
ada dan tidaknya, apalagi yang menghitungnya. Bahkan tidak bisa dipastikan berapa sebenarnya
jumlah Markesot. Mungkin ia dihitung: Markesot-1, Markesot-2, Markesot-3sampai minimal
41.
Markesot sebagai angka saja tidak menginformasikan sesuatu yang pasti. Apalagi Markesot
sebagai apa: manusia atau hantu? Jin atau setan? Jangan pula bertanya Markesot sebagai siapa.
Sebab siapa adalah ruangan yang paling komplit kandungan nilainya.
Itulah sebabnya umumnya ummat manusia merasa kelelahan, sehingga mempersempit dan
menyederhanakan dirinya menjadi Insinyur, Ustadz, Budayawan, Saudagar, Presiden, Pedagang,
Menteri, Kuli, Staf Ahli, Komisaris, dan macam-macam lagi. Padahal semua hasil simplifikasi dan
penyempitan ini bukanlah siapa. Paling jauh ia sekedar apa.
Markesot pernah bercerita tentang ciptaan Allah yang paling indah, amat dicintai dan sangat
disayang, yang Allah memberinya nama Nur Muhammad. Se-zarrah dari Nur Muhammad ditiup
oleh Allah ke Bumi mewujud jadi Muhammad bin Abdullah, yang diberi jatah hidup dan tugas
amat sangat sejenak, 63 tahun ukuran Bumi.
Yang hanya se-zarrah itu keindahannya menghapus seluruh keindahan jagat raya. Kebesarannya
mengerdilkan seluruh alam semesta beserta isinya. Si Zarrah ini memulai membangun peradaban
Bumi begitu usianya memasuki 41 tahun. Allah menuturkan kepastian, di Surah 41 ayat 41, bahwa
siapa saja yang melakukan pengingkaran terhadap Qur`an-Nya sesudah kitab kedermawanan Allah
ini mendatanginya, maka di depan langkahnya ia ditunggu oleh celaka dan bencana.
Itu pasti. Tinggal soal waktunya yang disimpan Allah di laci rahasia-Nya. Sebab Allah menamai
kumpulan rahmat firman-Nya ini dengan nama-Nya sendiri: Kitabun Azizun . Dengan nama yang
sama pula Allah menggelari cipratan di Bumi dari se-zarrah Nur Muhammad yang dilahirkan oleh
Ibu Aminah dan Bapak Abdullah.
Allah, Muhammad, Al-Qur`an Segitiga Cinta. Tiga titik dalam satu bulatan cinta. Tiga yang satu,
satu yang men-tiga. Maka pada hakekatnya 33, 40, 41 atau angka berapapun adalah Tunggal. Di
awal dan di akhir, hanya Tunggal. Di antara Tunggal Awal dan Tunggal Akhir dibentang
gelembung besar panjang yang berisi puisi-puisi cinta dan dongeng-dongeng yang indah.
***
Berapapun adalah tunggal. Yang terbatas maupun yang tak terbatas, dikandung oleh Yang Maha
Tunggal. Markesot menghitung-hitung dan menikmati 41 di mana-mana untuk menemukan dan
meneguhkan Tunggal di dalam jiwa kehidupannya.
Coba kalau 7 ayat Al-Fatihah digelindingkan berputar 5 kali, sesudah itu pada putaran ke-6 ayat
ke-6 atau ke-41 kalau dari awal: ternyata adalah maqam makhluk manusia yang memanggul tugas
kekhalifahan: Ihdinash-shirothol mustaqim . Hidup manusia berposisi doa, berposisi belum atau
sedang. Sedang berjuang sepanjang hidup hingga hijrah melalui maut, untuk mendapatkan ridha
Allah.
Jadi di dalam urusan diridlai atau tidak diridlai oleh Allah, masuk sorga atau neraka, tersesat atau
tidak tersesat, bersertifikasi Muslim atau Kafir, tidak ada manusia yang bisa memastikan dan
dipastikan. Tidak berposisi untuk menuduh Kafir, bahkan tidak berposisi untuk meyakini diri
Muslim. Pada ketukan ke-41 putaran ayat-ayat Ibu Qur`an, semua manusia berada di tahap
Ihdinash-shirothol mustaqim .
Markesot GR mencari koordinat Surah ke-41 pada ayat ke-53, romantisme tahun kelahirannya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Ia menepuk dadanya sendiri di depan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri: Salahkah saya
meminta 40 orang sahabat-sahabat, menjadi 41 dengan saya, berkumpul di Patangpuluhan?
Bukankan sudah jelas Surah dan Ayatnya?
Padahal Qur`an itu setiap huruf adalah semua huruf, setiap ayat adalah semua ayat, setiap bagian
adalah pusat, setiap titik adalah bulatan. Surah apa saja ayat mana saja merupakan petunjuk, ilmu
dan hikmah bagi tema apapun saja dalam kehidupan ummat manusia, dari sate kikil hingga
Illuminati, dari upil hingga Bank Dunia, dari gathul hingga konglomerat Cina.
***
Jadi, sesudah wudlu, syukur shalat
likulli thayyibah , buka saja Al-Qur`an sebisamu, seikhlasmu, sambil pejam mata pun malah lebih
pasrah karena bebas dari pretensi pandangan mata.
Temukan dirimu dalam bukaan dua halaman yang kau peroleh di Qur`an itu. Cerdasi perlambang-
perlambangnya, peka terhadap ada-mu padanya, beban masalahmu dan jalan keluarnya. Atau
masukilah pakai cara apapun asalkan sopan kepada Al-Qur`an, berterima kasih kepada Rasulullah
dan berakhlak kepada Allah.
Biasa yasinan? Periksa ayat ke-41:
Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan
mereka dalam bahtera yang penuh muatan . Coba lihat-lihat lagi, benarkah Bangsamu tidak
memerlukan Bahtera Nuh, atau antisipasi semacam itu dalam formula apapun, besok, atau
mungkin hari ini, bahkan sejak beberapa waktu kemarin? Apa kamu pikir keadaan Bangsamu
baik-baik saja? Apa kamu sudah matang menilai, apakah yang menguasai Bangsamu itu Negara
ataukah Pemerintah?
Kalian kan orang-orang Mu`minum , kaum beriman. Bener beriman kepada Allah? Jangan-jangan
patuh kalian kepada berhala-berhala: uang, harta benda, jabatan, akses, konglomerat yang
membiayai pembelian kursimu?
Bisakah kalian memastikan bahwa yang tertera di ayat ke-41 Al-Mu`minun ini tidak akan terjadi
pada kalian: Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami
jadikan mereka (sebagai) sampah banjir maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim itu.
Berhentilah memperlakukan rakyatmu jadi sapi perah kepentingan golonganmu. Sapi Betina
ayat ke-41 sudah sangat lama melenguh: Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku
turunkan (Al Quran)dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah,
dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa.

Daur (46)
Markesot Masuk Dunia Maya

Seperti dongeng, pertemuan di Patangpuluhan itu diakhiri tanpa adanya Markesot. Sengaja
menghilang, sebagaimana kebiasaannya dulu, atau bagaimana, belum jelas.
Teman-teman Markesot yang berkumpul itu kelelahan karena nonstop saling mendengarkan
pembacaan karya di antara mereka hampir semalaman. Pagi itu beberapa di antara mereka yang
khusyuk semalaman, justru masih tidur pulas.
Lainnya yang semalaman lebih banyak tidur karena lelah dan malas mendengarkan, sudah duluan
bangun, dan bersiap untuk kembali ke tempatnya masing-masing.
Salah seorang bercerita kepada temannya bahwa semalam sambil setengah tidur samar-samar ia
mendengar, entah beneran atau entah mimpi, Markesot berkata:
Kali ini masalah yang mengancam Bangsa dan Ummat kalian jauh melebihi apa yang sering
kalian diskusikan, bahkan melampaui tingkat yang kalian pernah bayangkan. Bangsa kalian
sedang benar-benar dihancurkan, dan alat utama penghancuran itu adalah Bangsa kalian sendiri.
Ummat kalian sedang sungguh-sungguh dirusak, dan alat utama perusakan itu adalah Ummat
kalian sendiri. Hari ini kadar kehancuran dan kerusakan yang dicapai adalah bahwa Bangsa dan
Ummat kalian tidak menyadari bahwa mereka sedang dihancurkan dan dirusak. Bangsa dan
Ummat kalian hanya punya waktu beberapa tahun untuk mulai menyadari itu
Temannya merespon, Kapan Markesot tidak omong yang serem-serem. Dan kalau memang benar
demikian, kenapa sekarang dia justru menghilang?
***
Sebenarnya mereka tidak menganggap bahwa Markesot benar-benar menghilang. Biasalah
kelakuan orang itu, sejak dahulu kala mereka mengenalnya. Terkadang pergi mendadak entah ke
mana, kemudian datang juga tiba-tiba. Markesot tidak pernah bilang dia dari mana, semua orang
lainnya juga tidak pernah menanyakannya.
Awal-awalnya ada yang bertanya. Begitulah pergaulan. Sewajarnya saling menyapa dan bertanya.
Tapi sesudah menghilang, kalau ditanya dari mana, Markesot menjawab dengan tersenyum dari
mata turun ke hati. Saat lain menjawab dari Bandung ke Surabaya. Kalau pas cemberut
wajahnya, Markesot menjawab dari sono ke sini. Atau bahkan dari dunia ke akherat.
Ada yang beranggapan bahwa Markesot memang sok misterius. Lainnya merasa tidak punya hak
untuk tahu. Lainnya lagi berkesimpulan bahwa Markesot tidak lengkap etika interaksinya, tidak
informatif dan tidak punya imajinasi bahwa mungkin saja teman-temannya perlu tahu ke mana dia
pergi.
Tetapi ketika teman-teman itu satu per satu didesak jadwalnya untuk segera meninggalkan
Patangpuluhan, lama-lama mereka berpikir bahwa Markesot kambuh penyakitnya. Ia pasti
menghilang entah ke mana, sebagaimana dulu. Ia yang meminta mereka datang, ia juga
menyambut kedatangan mereka, tapi tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk pamit
sebagaimana normalnya orang bertamu-tamuan.
***
Tapi memangnya apa yang normal pada kehidupan Markesot? Coba saja amati rumah hitam
Patangpuluhan ini. Sewanya saja sepersepuluh dibanding harga umum. Yang punya rumah orang
Jawa tapi warganegara dan tinggal di Selandia Baru. Datang dua-tiga tahun sekali, tidak butuh
uang, sehingga sewanya tak pernah dinaikkan.
Selandia baru tergolong Negeri Sorga, makmur, cukup adil pengelolaan kebersamaannya, tidak
punya masalah dan tidak pernah bikin masalah dengan masyarakat lain di Bumi. Entah bagaimana
Si Jawa Prambanan itu dulu bisa sampai ke Selandia Baru. Sesekali ia mudik untuk klangenan,
merasakan kembali kampung halaman, datang ke Patangpuluhan, melihat-lihat, menikmati salah
satu bagian dari jiwa masa silamnya yang terbawa sampai sekarang dan kapanpun.
Beberapa kali malah Si Jawa Sepuh itu kasih biaya ke Markesot untuk memperbaiki beberapa hal
di rumah Patangpuluhan: temboknya yang lembab, kamar mandinya yang kacau, mengganti meja
kursi bambu yang sangat tidak layak pakai, dan beberapa hal lagi. Apakah itu normal? Di mana
ada empunya rumah yang menyewakan rumahnya sebegitu murahnya, bahkan memberikan biaya
perbaikannya?
Hanya fakir miskin jenis Markesot yang mendapatkan anugerah seperti itu. Semua teman
Markesot tahu bahwa memang rumah itu kosong puluhan tahun lamanya sebelum disewa oleh
Markesot. Jadi si Selandia Baru itu senang bukan main Markesot berkenan menyewa rumahnya.
Sebab aslinya memang tidak ada siapapun sudi menyewanya. Bukan hanya karena buruknya
keadaan rumah itu, tetapi terutama karena tempat itu adalah sarang hantu.
***
Ah, bukan. Bukan sarang hantu. Mana ada hantu mau bersarang di rumah hitam Patangpuluhan.
Hantu kelas bawah, kasta rendah, mungkin. Dan lagi, hantu apa dan siapa maksudnya? Energi
liar? Ruh orang tidak ikhlas mati? Anak turun Iblis?
Hantu dari sekitar Yogya? Apa Mbah Petruk, Kiai Gringsing, atau Syekh Jumadil Kubro itu hantu?
Atau Parpolo di keraton Merapinya. Jeyeng Westhi Parangwedang, Buto Kepolo Prambanan,
Mbok Bereng Parangtritis, Rajeg Wesi Plered, Nyai Panggung Kotagede? Apa perlunya beliau-
beliau ini ke Patangpuluhan? Apa menariknya Patangpuluhan? Mereka sudah mapan di
palenggahan masing-masing bersama komunitasnya.
Apalagi yang jauh-jauh. Apakah karena di Yogya banyak pendatang dari berbagai daerah, maka
masyarakat hantu juga mendistribusikan pasukannya untuk mengawal para perantau itu? Bolobatu
Blambangan, Endrayaksa Magetan, Lancur Blora, Lowar Subang, Kuru Bogor, Pujongga Pujonggi
Kediri, Telubrojo Cilacap, Wirasul Waringin Bali, Korep Ponorogo, Trenggiling Wesi Majenang,
Sido Kare Pacitan, Duduk Warih Labuhan dan sekian ratus komunitas hantu lainnya?
Apakah ada kaitan genekologis-historis antara mereka itu dengan Komandan-komandan
Batalyonnya Iblis di seantero Bumi: Komandan Tsabar, Komandan Dasim, Al-Awar, Miswath,
Zaknabur? Atau sekedar sayap-sayap jauh atau ranting dari dahan-dahan Kaum Jin Global: Jan,
Amir, Ifrith, Arwah? Atau komunitas hantu-hantu yang menyebar itu sebenarnya semacam bangsa
jajahan dari kolonial-kolonial dunia maya: Hudais, Hudavis, Jalnabur, Biter, Mansud, Qafandar,
Akwariya Zawal, Wahhar, Tamrih, Matkun, Ruhaa, Wasuth, Khanzab, Haffaf, Zalinbur Zalitun,
Tsabur, Walhan, Lagus, Abyad, Awan dan Watsin?
Ataukah karena sejatinya Markesot adalah bagian dari masyarakat maya itu? Sehingga sebenarnya
Markesot bukannya menghilang atau pergi tanpa pamit. Mungkin Markesot tetap ada di
Patangpuluhan, tetapi nyelip di salah satu lipatan gelombang yang teman-temannya tidak bisa
melihatnya dengan pandangan jasad?
Dan si Bapak dari Selandia Baru itu sesungguhnya adalah rekanan Markesot sesama hantu?
Sehingga membayar sewa rumah Patangpuluhanpun selama ini bukan pakai uang manusia,
melainkan mungkin dupa, kemenyan, bawang campur tanah kuburan, atau entah apa.
Semakin jelas: apa yang normal pada kehidupan Markesot? Kenyataannya maya. Realitas hidup
Markesot adalah Dunia Maya. Pantas dia tidak pernah mau beli gadget, tidak mau masuk internet,
alergi kepada medsos, pergi menjauh dari media massa.

Daur (47)
Pintu Tanpa Kunci
Rumah Tanpa Isi

Sungguh tidak normal kehidupan Markesot dan rumah hitam Patangpuluhan. Yang didengar
lamat-lamat semalam oleh salah seorang temannya, bahwa Bangsa kita sedang benar-benar
dihancurkan, dan alat utama penghancuran itu adalah Bangsa kita sendiri, bahwa Ummat kita
sedang sungguh-sungguh dirusak, dan alat utama perusakan itu adalah Ummat kita sendiri
termasuk omongan normal atau tidak normal dari Markesot?
Teman-teman Markesot sudah tidak bisa jenak lagi berdiskusi-diskusi. Mereka tergegas harus
balik ke daerahnya masing-masing. Mereka punya kehidupan mereka masing-masing. Punya
tanggung jawab kepada keluarganya. Punya kesibukan di tempat kerja. Punya program-program
dengan masyarakatnya. Mereka harus kembali ke wilayah itu.
Biarlah Markesot si Manusia Maya dengan dunianya yang juga maya sekarang mendadak hilang
menuju dunia lain yang lebih maya lagi. Tidak ada nomer handphone di tangan Markesot untuk
bisa dihubungi. Namanya juga dunia maya, mana ada handphone, frekwensi, BTS, provider,
GPRS-3G-LTE, browsing, unduh, unggahmemangnya Ande-ande Lumut, diunggah-unggahi
oleh Trio Kleting.
Kalau memang bab penghancuran Bangsa dan perusakan Ummat itu merupakan persoalan yang
sangat mendesak, nanti kan pasti Markesot mengirim surat lagi. Itu manusia masih berada di
kebudayaan perangko, amplop, yang dilem pakai ludah, kotak surat dan kring-kring bunyi bel
sepeda Pak Pos.
Salah seorang teman Markesot yang tinggal di seberang pulau jauh nyeletuk, Saya anggap saja
Markesot mendadak dipanggil oleh Kiai Sudrun ke dunia mega-maya, sebagaimana janji sama
Menteri batal karena dia mendadak dipanggil oleh Presiden. Saya harus segera ke airport. Kalau
ada teman-teman yang nanti kebetulan ketemu beliaunya, mohonkan saya pamit kembali ke anak
istri
***
Teman-teman lain jadi ingat. Iya ya. Markesot terkadang bercerita tentang orang yang namanya
Kiai Sudrun, tapi tidak pernah jelas juga siapa Drun Drun Sudrun itu
Orang Maya bercerita tentang tokoh maya, sahut teman lain.
Hasilnya membuat kita termaya-maya secara sangat maya
Padahal sepuluh tahun terakhir ini kita yang sudah enak-enak hidup nyata, diseret dan
dihanyutkan oleh Peradaban Maya, teknologi maya, globalisasi komunikasi maya. Sampai
akhirnya segala yang maya itu menjadi lebih nyata dari kenyataan hidup kita
Sekarang baru kita sadari bahwa sejak jauh sebelum ada teknologi maya, kita sudah termaya-
maya oleh kemayaan Markesot. Sebenarnya mana yang benar-benar maya atau benar-benar nyata:
dunia jasad dan manual kita, dunia teknologi maya, ataukah maya-nya Markesot dan Kiai Sudrun?
Maya yang ini harus pakai perangkat lunak dengan perangkat kerasnya, memerlukan telpon
genggam, smartphone, Tap Tip Tup, Pad Pid Pud, browsang-browing, Mbah Gugel
Cukup banyak di antara teman-teman Markesot yang berkumpul di Patangpuluhan itu yang
memang merasa canggung dengan kondisi rumah hitam Patangpuluhan, yang mungkin rumah-
rumah di zaman Ratu Sima atau Ratu Saba masih lebih layak huni. Ya ampun, untuk mandi masih
tetap harus menimba dulu. Itu pun sekarang jorongan alias saluran air dari sumur ke kamar mandi
sudah tidak selancar dulu.
Tempat sabun saja tidak ada. Odol sudah dilipat-lipat, diplenet-plenet sampai tinggal konsepnya
tanpa ada odolnya. Mandinya masih pakai cibuk
atawa gayung. Ini sastra Melayu klasik: gayung bersambut. Gayung plastik sudah sobek dan pecah
sepertiga. Wahai Tuhan seru sekalian alam, peradaban sudah sampai ke
shower, bathup, wastafel, closet, shampoo, conditioner .Markesot masih beralamat di peradaban
byar-byur, ndodok , dengan lubang buangan air besar yang agak sedikit lebih sopan dibanding
jumbleng.
Itulah sebabnya konsep keluarga itu penting. Markesot tidak pernah berkeluarga. Sehingga
hidupnya tidak pernah berkembang menuju peradaban yang manusiawi. Lelaki yang tidak beristri
akan selalu bodoh bagaimana mandi, bagaimana buang air kecil dan besar, bagaimana kramas,
bagaimana menyeterika baju, bagaimana menghindari gambar pulau-pulau di kaos, aduuuuh
apalagi deodorant dan parfum.
Itu baru di dalam rumah. Belum lagi nanti peradaban di luar rumah: jas, dasi, baju batik, sepatu,
kapan baju dimasukkan ke dalam celana, di mana beli sabuk yang normal sehingga bukannya
memakai cambuk dililitkan di pinggangnya.
***
Ada dua kemungkinan. Markesot tidak berbakat hidup bersama dan di tengah manusia di Bumi.
Atau memang dia bukan makhluk Bumi. Pintu rumah kok tidak pernah dikunci. Sesekali pintu
tertutup, tapi tidak dikunci, dan memang tidak ada kuncinya. Bisa dibuka oleh siapa saja, jam
berapa saja. Ada satu bagian yang dianggap oleh semua teman yang tinggal di Patangpuluhan
sebagai kamarnya Markesot. Pintu kamar itu juga tidak ada kuncinya. Di dalam kamar juga tidak
normal. Tidak ada almari pakaian, tempat tidur, rak buku, meja tulis, atau apa lah untuk pantas-
pantas disebut kamar. Di lantai pojok hanya ada tikar plastik, dengan bantal kayu potongan dari
dahan pohon sebelah, serta tumpukan barang-barang entah apa yang tidak pernah jelas karena
ditutupi oleh jaket Markesot.
Kamar Markesot lembab. Temboknya berlumut-lumut yang ia gores-gores agar terasa sebagai
lukisan abstrak ekspresionis. Pyan atau lapis anyaman bambu di bawah genting sudah sejak dulu
dijadikan properti tikus-tikus untuk karya instalasi yang alamiah. Ada jendela di bagian kamar itu,
tempat lompat Markesot kalau pergi menghilang di tengah malam.
Rumah hitam, rumah Patangpuluhan, rumah tanpa peradaban. Rumah tak ada isinya. Rumah tanpa
barang-barang yang pantas dipandang mata. Rumah yang hampir tak ada isinya kecuali
rangsangan untuk berputus asa dan iba bagi siapa saja yang memasukinya.
Bisalah dipahami kenapa pintu-pintu rumah itu tak ada kuncinya. Karena tidak ada calon maling
yang dungu sehingga merancang untuk mencuri sesuatu di dalam rumah itu. Satu-satunya yang
bisa dicuri adalah Markesot itu sendiri. Dan adakah di muka Bumi ini pencuri tak punya otak yang
ingin mencuri benda yang bernama Markesot?
Salah seorang teman Markesot pernah berpendapat, Markesot itu epigon Sufi Nasrudin Hoja
yang kalau ada maling masuk rumahnya malah bersembunyi, karena merasa malu kepada si
malang: tidak ada barang apapun yang layak dicuri.
Tapi dibantah oleh teman lain, Saya kira tidak ada kaitannya. Markesot memang miskin.
Kalaupun dia Sufi, itu karena memang miskin

Daur (48)
Markesot Mencari Kiai Sudrun

Dari dulu kita tahu, celetuk Tonj, katakanlah demikian nama salah seorang teman Markesot itu,
kalau dia menghilang, ya ke mana lagi
Ke mana memangnya?, Kasdu, sebut begitu nama teman lainnya.
Cari Kiai Sudrun
Tonj tersenyum. Pergi jalan kaki menjadi gelandangan kumuh, menyusuri jalanan selang-seling
rel kereta api
Merasa sedang menyamar jadi gelandangan kumuh, padahal memang aslinya gelandangan
kumuh
Kumuh, kumal, kemproh
Mencari Kiai Sudrun, di pesanggarahan di tengah hutan belantara
Di hutan belantara yang dirasakan atau dia anggap sebagai keraton
Dianggap keraton oleh Markesot atau oleh Kiai Sudrun?
Oleh keduanya. Karena sama-sama tokoh Dunia Maya
Tonj dan Kasdu tertawa bersama-sama.
***
Semua teman-teman Markesot sudah satu persatu meninggalkan rumah hitam Patangpuluhan,
kecuali Tonj dan Kasdu. Tanpa satu pun bertemu dan pamit kepada tuan rumah, karena sesudah
pertemuan maya, Markesot menghilang ke dunia yang lebih maya lagi.
Tapi the show must go on. Kehidupan harus diteruskan. Entah berat atau ringan tetapi mereka
harus meninggalkan Patangpuluhan, kembali ke kehidupan nyata. Terserah yang mana sebenarnya
yang nyata dan yang maya. Mereka sudah merdeka diputar-putar diombang-ambingkan oleh
Markesot untuk menghayati kebingungan di antara nyata yang maya dan maya yang nyata, yang
terus berganti-ganti hakekat dan syariatnya.
Hanya Tonj dan Kasdu yang tampaknya masih agak santai-santai di Patangpuluhan. Mereka tidak
terlihat akan harus segera pulang. Tapi seandainya meninggalkan Patangpuluhan, sebenarnya
belum tentu jelas juga pulang ke mana. Katakanlah kalau ke mana-nya jelas, yang tidak jelas
adalah konsep pulang-nya.
Di antara teman-teman yang lain, dua orang ini yang paling tidak profesional. Mungkin tidak
tepat-tepat amat disebut demikian. Kurang mapan, mungkin? Dari segi profesi, mereka kerjanya
sangat swasta, atau swastanya swasta. Tidak bisa disebut sebagai pekerja yang mandiri, dengan
bisa usaha atau penghidupan yang tertentu. Mandiri mereka berdua ini maksudnya hidup dari hari
ke hari dengan serabutan dan spekulatif.
***
Tonj dan Kasdu duduk-duduk di kursi bambu jebol-jebol di beranda Patangpuluhan. Celetak-
celetuk, terkadang tertawa, kemudian diam, masing-masing terhanyut dalam lamunannya.
Tapi kali ini mungkin serius lho dia mencari Kiai Sudrun itu
Apa kamu tahu apa beda antara serius dan main-main dalam perilaku Markesot?
Saya yakin kali ini Markesot serius dalam pengertian seriusnya kebanyakan orang
Kebanyakan orang kan seriusnya juga ternyata main-main
Saya tidak berbicara tentang kebanyakan orang. Saya berbicara tentang Markesot
Kan tidak mungkin bicara Markesot kalau tanpa komparasi di tengah kebanyakan orang
Tapi fokus saya Markesot, bukan kebanyakan orang
Di Patangpuluhan kita sejak dulu sudah sama-sama melihat bahwa hancurnya bangsa kita tidak
terutama terletak pada gagalnya managemen pengelolaan negara, tidak pada kekayaan bumi
rahmat Tuhan menjadi adzab bencana, tidak terletak pada budaya korupsi total, atau tidak pernah
tercapainya harapan untuk masyarakat adil makmur. Itu semua hanya akibat. Karena sebab
utamanya adalah manusia bangsa kita sudah tidak memiliki pagar yang jelas antara serius dengan
main-main, antara baik dengan buruk, antara benar dengan salah, antara mulia dengan hina, antara
malu dengan bangga
Saya ini omong tentang Markesot mencari Sudrun, tidak mempersoalkan Negara dan Bangsa
Lho mana mungkin Markesot mencari Kiai Sudrun kalau tidak membawa tema dan keprihatinan
tentang negara dan bangsa?
Lha memang itu yang tadinya mau saya katakan. Tapi kamu mendahului. Kamu berkomunikasi
tanpa irama. Dialog teater saja pakai progresi dan eskalasi
Gini saja. Anggap saya mewakili kebanyakan orang
Maksudmu?
Kebanyakan orang tidak kenal teater, apalagi progresi dan eskalasi
Tapi kan hidup mereka pakai progresi dan eskalasi, meskipun mungkin tidak menyadarinya
Itu namanya tidak kenal. Tidak tahu. Tidak mengerti. Kebanyakan orang hanya terhanyut oleh
progressi alam bercampur dengan eskalasi keadaan-keadaan zaman. Sebagian mereka beruntung
karena nasib alamiahnya bagus dan keadaan zaman melemparkan mereka ke tempat yang tidak
terlalu menyengsarakan. Tetapi kebanyakan dari kebanyakan orang hidup menjalani spekulasi dan
perjudian nasib habis-habisan
Kita termasuk yang mana?
Kita tidak berada pada semuanya. Jadi orang kebanyakan yang susah dan malas. Jadi orang
kesedikitan ya tidak punya keistimewaan apa-apa
Kok kesedikitan?
Banyak kebanyakan, sedikit kesedikitan
Tidak jelas ya bahasa kita
Tidak konsisten
Tidak logis
***
Tonj dan Kasdu termangu-mangu lagi.
Sesungguhnya diam-diam ada yang mengganjal dalam hati mereka berdua. Memang rata-rata
teman-teman Markesot itu berlagak cueg terhadap tidak adanya Markesot ketika mereka harus
pulang. Tapi semakin mereka pergi menjauh dari Patangpuluhan, semakin terasa ada sesuatu yang
tidak selesai. Ada sesuatu yang belum benar-benar terisi di dalam jiwa mereka. Sehari semalam
bersama Markesot itu pun seperti mimpi sejenak melayang-layang di dunia maya. Bahkan
mayanya maya.
Ketika tadi malam Markesot mendadak berlaku seperti orang gila dengan ledakan cambuk dan
suara tertawanya, sebenarnya diam-diam mereka menyadari bahwa bukan perilaku Markesot itu
titik urusannya. Melainkan sesuatu di belakangnya, yang melahirkan ledakan pada kadar yang
tinggi dan mendalam.
Dan kemudian Markesot tiba-tiba menghilang, mungkin ada beberapa kemungkinan yang
membuatnya mengambil keputusan itu. Bisa sederhana saja: Markesot sejak dulu memang takut
pada adegan perpisahan. Tidak tahan hati untuk berupacara pamit-pamitan.
Mudah-mudahan Markesot mencari Kiai Sudrun untuk meminta izin, atau sekurang-kurangnya
minta pertimbangan, Tonj nyeletuk.
Soal apa?, Kasdu menyahut.
Kudeta
Yesss!
Lho kok yes?
Kudeta to?
Ya
Lha ya itu bahasa sono-nya yesss!

Daur (49)
Informasi Bakul, Bakul Informasi

Tonj dan Kasdu merasakan kegairahan baru dengan kata kudeta dan siap merayakannya, bahasa
jelasnya: mengkhayalkannya. Tiba-tiba datang seorang tamu. Berjalan memasuki halaman rumah
hitam Patangpuluhan dengan langkah jlong-jlong-jlong sangat gagah bak Raden Werkudoro.
Sayangnya penampilan tamu itu sama sekali tidak kompatibel dengan kegagahan langkahnya.
Secara keseluruhan ia sangat kumuh. Rambutnya gimbal, tidak pernah kramas minimal tiga tahun.
Hanya pakai kaos, sangat kotor dan bercampur bolot. Celananya tidak lulus disebut celana, karena
robek di sana sini, terutama di bagian pantatnya. Tidak pakai alas kaki.
Tapi wajahnya ceria. Mulutnya tersenyum lebar. Sorot matanya penuh keyakinan. Gerak-gerik
tubuhnya mencerminkan optimisme.
Tonj dan Kasdu setengah terpana.
Tidak sepenuhnya terpana, karena selama mereka di Patangpuluhan di zaman dulu tamu-tamu
yang demikian sangat banyak ragamnya. Mereka sangat terbiasa menemui bermacam-macam
keadaan manusia.
Sambil melihat dan menunggu si tamu berjalan, Kasdu berbisik: Ini kira-kira Nabi Khidlir apa
Sunan Kalijaga?
Tonj menjawab: Insyaallah sejenis Kiai Sableng
***
Tak bisa nyeletuk lebih jauh, si tamu langsung duduk di salah satu kursi bambu jebol di beranda
itu. Ia menjatuhkan pantatnya dengan penuh kelegaan. Wajahnya menoleh ke berbagai arah,
menatap-natap ke genting, belok ke daun-daun pohon Waru, mampir langit sekilas, kemudian
kedua matanya menyorot tajam ke Kasdu dan Tonj berganti-ganti.
Mereka berdua tidak menanggapi si Bolot dengan tembakan sorot mata yang sama. Kasdu dan
Tonj memang menanggapi dengan membalas menatap mata si Bolot, tapi dengan urat syaraf
wajah yang longgar, dengan bibir yang sedikit tersenyum. Sedikit saja. Untuk memenuhi sopan
santun.
Sopan santun tuan rumah, mendadak si Bolot berkata, kalau melihat di halaman rumahnya ada
tamu, maka ia berdiri untuk menunjukkan penerimaannya, kalau perlu berjalan menyongsongnya
Tonj dan Kasdu berpandangan.
Tonj menjawab, di Patangpuluhan tidak ada tamu. Semua yang di sini adalah tuan rumah
Maka pintu rumah Patangpuluhan tidak pernah ditutup, tidak ada kunci atau gemboknya, Kasdu
menambahkan.
Si Bolot lompat tema, Cak Sot mana?
Sebelum dijawab ia berdiri, melangkah ke arah pintu, masuk ke ruang depan. Tangan si Bolot
bertolak pinggang. Ia memeriksa berbagai arah di dalam ruangan. Kemudian tertawa terbahak-
bahak.
Kok ada tivi di sini?, si Bolot meledak tertawanya, Hari gini, kok masih nonton tivi
Tonj dan Kasdu saling bertatapan lagi.
Cara memahami kalimat orang tidak waras sangat mudah, kata Kasdu, tinggal dibalik. Hari
gini kok tidak nonton tivi
Tamu bolot itu datang tidak untuk berseminar, sahut Tonj, pernyataannya bukan makalah. Jadi
tidak perlu memberi tanggapan
***
Terdengar suara Bolot lagi, Cak Sot selalu kasih pengumuman ke mana-mana, bahwa kita jangan
terperdaya oleh sesuatu yang ngakunya mengurusi informasi, padahal bakulan
Bakulan?, Tonj berbisik.
Bolot yang menjawab dari ruangan, Orang terkesan seolah-olah informasi adalah urusan nilai,
pengetahuan dan ilmu, padahal itu dagang. Memang tivi tidak bisa hidup kalau tidak sambi
bakulan. Tapi kalau yang diperdagangkan adalah informasi, maka informasi harus disunat
berdasarkan beberapa kepentingan. Pertama, kepentingan untuk memilih mana yang laku mana
yang tidak laku. Akibatnya kehidupan yang diinformasikan menjadi tidak utuh. Ketidakutuhan
informasi yang disuguhkan terus menerus akan melahirkan generasi yang disinformatif. Ilmu dan
pengetahuannya seperti hantu pincang, hanya punya kaki satu, matanya pun sebelah, keputusan-
keputusan hidupnya pun hanya pecahan-pecahan
Tonj dan Kasdu tak henti bertatapan karena heran pada Bolot. Ini gelandangan atau Dosen?
Masih untung kalau sekedar tidak utuh, Bolot melanjutkan, kalau informasi dipotong-potong,
dijungkir-balikkan muatannya, ditambahi sini dikurangi sana, berdasarkan kepentingan politik
golongan yang membiayai tivi, maka semua pemirsa tivi menjadi masyarakat bloon yang tiap hari
ditipu-tipu, dikibuli, diperdaya, dibuli, dikempongi
Tonj tidak tahan untuk tidak bereaksi. Sebenarnya yang di tivi memang informasi. Siapa bilang
bukan informasi. Memang kita semua ini dijadikan narapidana oleh para bakul informasi, dicekoki
dengan informasi-informasi bakulan
Kasdu memotong: Kamu serius mau mengemukakan makalah sanggahan?, kemudian ia
berteriak, Bolot! Ini ada seorang pakar yang menyiapkan sanggahan
Sanggrahan?, Bolot menjawab dari dalam, Sudah tutup
Tonj tertawa. Informasi dalam jarak beberapa meter saja biasnya sebegitu jauh. Sanggahan
menjadi Sanggrahan
Kemungkinan telinga si Bolot itu yang tidak waras
Atau artikulasi bicaramu yang tidak fix, sehingga informasimu bias
Si Bolot teriak dari dalam, Diskusi apa itu? Kok seperti orang tidak punya kerjaan. Sempat-
sempatnya mikir sampai yang begitu-begitu
Tonj dan Kasdu hampir berbarengan tertawa. Bagaimana ini. Gelandangan pakaian sobek-sobek,
pantatnya kelihatan, rambut gimbal, tidak mandi bertahun-tahun, mengkritik orang lain tentang
pekerjaan, seakan-akan ia direktur perusahaan bangunan.
Kalau saya wajar omong apa saja, Bolot melanjutkan, saya ngritik tivi, karena saya tidak punya
tivi. Saya ngritik negara, karena saya tidak punya kartu identitas. Saya tidak harus mengerjakan
apapun di kantor apapun, tidak ada istri dan anak untuk dipikirkan. Saya hanya gelandangan, jadi
saya punya waktu sangat lapang untuk bicara apapun, mengkritik siapapun, merenungi apapun
yang besar-besar maupun sampai yang kecil-kecil, huruf, garis, lekuk, titik, koma, semau-mau
saya
***
Tiba-tiba Tonj berdiri dari duduknya. Meraih rangselnya. Mengambil satu dua lembar pakaian.
Kemudian pergi masuk menemui Bolot. Tangan Bolot diseret ke ruang dalam sampai ke belakang.
Kamu mandi sekarang, ia mendorong Bolot masuk ke kamar mandi, ia tutup pintu. Bolot
menatap Tonj dengan wajah agak ragu.
Cepat mandi, Tonj setengah membentak, Ini celana dan kaos. Kamu pakai. Mandinya yang
lama. Minimum lima kali lipat dari biasanya orang mandi. Itu sudah sangat cepat kalau diukur
kamu sudah tidak pernah mandi lebih dari tiga tahun
Kemudian Tonj keluar mengambil bongkahan batu bata. Masuk lagi. Melemparkan batu bata itu
ke dalam kamar mandi melalui atas pintu. Ini untuk sikat gigi
Kemudian Tonj ke depan lagi dan membisiki Kasdu. Sepertinya saya ingat orang ini pernah
bertamu ke sini zaman dulu mencari Markesot. Gayanya sama. Pakaian gembel tapi perilakunya
perlente. Ketemu Markesot seolah-olah mereka sesama Direktur Bank
Sebentar, saya coba ingat-ingat, kata Kasdu.
Saya melakukan seperti yang dulu Markesot lakukan: menyuruhnya mandi, memberinya pakaian.
Ketika itu Markesot memberinya fatwa bahwa Bolot harus mulai bekerja. Markesot dulu bilang
kamu ini bisa jadi Guru SD, tapi mungkin semua SD tidak punya kemampuan untuk menerima
kamu.
Ya, yasaya ingat, Kasdu menyahut, setelah diikat disuruh kerja, dikasih sangu, kemudian
Bolot pergi, tapi satu jam kemudian ia balik lagi. Markesot agak marah, langsung berdiri bertolak
pinggang, membentak Lho kok kamu balik lagi?. Bolot menjawab, Waduh, saya masih kangen
sama Sampeyan, Cak Sot. Markesot lemas. Karena itu berarti nanti ia harus ngasih sangu lagi

Daur (50)
Kelas Sufi Bolot

Sebaiknya jangan ada yang berpikiran bahwa Mr. Bolot ini tokoh fiksi, figur khayalan, atau
pelakon karangan sebagaimana dalam drama atau novel.
Saya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga Ia mendatangkan makhluk jenis Bolot ini ke
rumahmu. Ikut mendidik anak-anakmu. Sesering mungkin. Syukur tinggal di rumahmu.
Alhamdulillah kalau ndungsel-ndungsel dan menguntitmu ke mana saja. Ya Tuhan kabulkanlah
harapanku. Apabila ada yang tidak setuju dan menolak doaku, saya tingkatkan permohonan saya
kepada Tuhan agar mendatangkan kepada tokoh lain yang lebih kumuh, lebih gila dan liar
dibanding Bolot.
Terus terang yang paling urgen bagi ummat manusia zaman sekarang ini adalah membongkar
kembali konstruksi pikiran dan pola pandangnya terhadap kehidupan.
Supaya besok tidak kaget, ketika saatnya tiba.
***
Sesudah Bolot pergi membawa sangu patungan Tonj dan Kasdu, dua teman Markesot ini berpikir
apakah gelandangan perlente ini nanti akan balik lagi ke Patangpuluhan sebagaimana dulu ketika
bertamu kepada Markesot?
Ternyata iya. Kasdu langsung bilang, Markesot tidak ada. Sejak kamu datang tadi Markesot juga
tidak ada. Kan kalau saya tanya kenapa kamu balik lagi ke sini, alasanmu pasti karena masih
kangen kepada Markesot, to?
Karena sudah pakai celana dan kaos dan berpenampilan normal, Bolot menjawab lebih gagah
dibanding ketika pertama datang tadi.
Apa bedanya ada Markesot atau tidak?, katanya, Apakah untuk bertemu Markesot harus ada
Markesot?, dan berkepanjangan, Hidup ini arahnya cuma satu, yakni bertemu dengan Tuhan.
Tapi apakah untuk berjumpa dengan Tuhan maka Tuhan harus ada di depan kita, tampak di
pandangan mata kita, duduk di sini ngopi bersama?
Benar-benar berkepanjangan.
Apakah untuk naik haji harus naik kapal atau pesawat ke Mekah? Orang gila keturunan siapa
yang mengharuskan saya beli tiket ke Arab? Sedangkan celana dan kaos saja belum tentu ganti
tiga tahun sekali. Siapa bilang untuk berthawaf saya harus berada di Masjidil Haram dan
mengelilingi Ka`bah dengan kaki jasad saya? Siapa tahu Pemilik Ka`bah terharu melihat
gelandangan seperti saya lantas suatu saat membawa Kabah ke saya untuk saya thawafi? Atau
bagaimana kalau ternyata sebelum saya berthawaf malahan Ka`bah itu sendiri yang duluan
menthawafi saya?
Tonj dan Kasdu berpandangan satu sama lain dengan tersenyum dan penuh kesabaran.
Hajar Aswadnya ikut sekalian bersama Ka`bah mendatangi kamu apa nggak?, Kasdu menyela.
Itu hak asasi dia, jawab Bolot, seolah-olah ia seorang Sufi agung campur cendekiawan modern,
Kan Tuhan menyatakan bahwa kalau saya mendatanginya selangkah, Ia menghampiri saya
sedepa. Kalau saya setengah meloncat kepada-Nya sedepa, Ia merapat ke saya sepenggalah. Hajar
Aswad mungkin sudah dibisiki oleh beberapa Malaikat tentang sialnya hidup saya. Orang dari
negeri jauh secara ruang maupun waktu. Jauh dari Kanjeng Nabi. Tempatnya sangat di seberang,
waktu kelahiran saya juga sangat terlambat dibanding masa hidupnya Kanjeng Nabi. Bukankah
karena itu maka rasa sayangnya Kanjeng Nabi kepada saya berlipat-lipat dibanding kepada para
sahabat yang hidup bareng beliau waktu itu di Mekah atau Madinah? Lha saya kan di Blitar
***
Tonj menyela, Kamu ini sedang senang atau sedih? Sedang merayakan keadaanmu atau
meratapi?
Apa bedanya perayaan dan ratapan untuk orang seperti saya. Kesenangan tidak mau mendatangi
saya, maka kesedihan pun saya usir dari hidup saya. Kalau kesedihan mau tinggal bersama saya,
harus nikah dulu dengan kesenangan di dalam diri saya. Kalau tidak, saya tolak kedua-duanya.
Jangan main-main dengan Pendekar dari Blitar
Memangnya kenapa kalau main-main dengan Pendekar dari Blitar?, Kasdu bertanya.
Ya ndak apa-apa. Pokoknya jangan gitu aja. Tidak pakai sebab atau karena atau maka. Hidup
cuma sekali kenapa direpotkan oleh sebab dan karena dan maka. Tiap hari, tiap minggu, bulan,
tahun, tiap siang dan malam saya berjalan, berjalan, berjalaaan, menthawafi dunia. Orang-orang
itu cuma mengelilingi Ka`bah tujuh kali saja bangga dan merasa berprestasi. Kalau diukur dengan
pencapaian orang menthawafi sorga, berapa ratus ribu kali saya sudah menthawafinya
Tapi kan bukan Ka`bah, celetuk Tonj, yang kamu lakukan selama ini kan berjalan ke mana-
mana di jalanan, alasannya karena tidak punya tempat tinggal. Sedangkan orang berthawaf kan
beribadah
Jadi melangkahkan kaki dan menggerakkan badan siang malam ini bukan ibadah? Apa namanya
kalau bukan ibadah? Tuhan kasih kaki, saya pakai untuk berjalan. Tuhan kasih saya badan, saya
gerakkan. Bukan ibadah bagaimana? Kalian pikir saya berjalan kaki ada tujuannya selain
mensyukuri bahwa saya punya kaki dan badan? Kalian pikir saya melangkahkan kaki untuk
mengejar uang, harta, cita-cita, karier, pangkat, jabatan, kemasyhuran, atau apa saja yang
menghina kaki dan badan? Saya berjalan karena Tuhan menciptakan saya berkaki, maka Tuhan
senang hatinya kalau saya berjalan. Saya berjalan di dunia, tapi tidak menuju dunia. Saya berjalan
di atas bumi, tapi tidak untuk memiliki bumi. Saya berjalan menyusuri alam semesta, tanpa pernah
saya punya pikiran untuk menguasainya, apalagi menaklukkannya. Saya berjalan karena hidup
adalah terus berjalan sampai saatnya nanti saya tidak lagi bisa berjalan
***
Yaaa tapi bumi dan alam semesta kan tidak sama dengan Ka`bah, Tonj menyela lagi, Beda
dong orang berjalan menyusuri jalanan seperti kamu dengan orang mengelilingi Ka`bah
Memang beda, jawab Bolot, tapi tidak berbeda. Sudah sangat jelas bahwa itu berbeda. Yang
satu halaman dalam Masjidil Haram dengan Kabah di tengahnya. Yang saya jalani ini ya mana
saja yang mungkin saya melangkahkan kaki. Tapi kalau kalian memakai alasan bahwa Ka`bah itu
rumah Tuhan, memang sebelah mana dari jagat raya ini yang bukan rumah Tuhan. Memang ada
bedanya rumah Tuhan yang ini dengan rumah Tuhan yang itu. Tidak sama rumah Tuhan yang di
sana dengan rumah Tuhan yang di sini. Tapi kan semua rumah Tuhan. Bahwa Tuhan menyebut
Ka`bah sebagai rumah-Nya, itu kan strategi geografis untuk mempersatukan ummat manusia yang
mencintai-Nya. Tetapi kenyataan hakikinya semua dan setiap adalah rumah Tuhan. Bahkan
Tuhan juga berumah di dalam dada saya..
Sejak kapan Tuhan berumah?, Kasdu menggoda.
Tuhan menyebut Ka`bah sebagai rumah-Nya itu kan cara untuk menyesuaikan diri dengan batas
pengetahuan dan ilmu yang Ia sendiri tentukan bagi manusia. Bahasa jelasnya, adaptasi terhadap
kedunguan manusia, meskipun Tuhan sendiri yang mentakdirkan manusia itu dungu, berilmu
hanya sangat sedikit
Termasuk kamu?
Pasti lah. Karena saya sangat tahu betapa dungu dan tak berartinya saya, maka saya tidak sudi
menghiasi hidup saya dengan keindahan dunia. Saya terima celana dan kaos dari Sampeyan tadi
bukan karena saya memerlukannya, tapi sebagai kewajiban menjalankan sopan santun kepada
sesama manusia. Aslinya saya
pengin -nya telanjang bulat seratus persen. Cuma saya kasihan kepada orang-orang sekitar yang
melihat saya. Saya tidak tega kepada anak-anak kecil dan siapa saja yang nanti pasti menyangka
saya orang gila, sehingga merendahkan dan memain-mainkan saya. Saya suka dianggap gila, saya
merasa nikmat untuk dimain-mainkan. Tetapi saya kerepotan berdoa kepada Tuhan agar
mengampuni mereka
He, Kasdu memotong, Kamu kok tidak jadi Dosen saja to? Kok malah nggelandang seperti ini.
Padahal rasa-rasanya kamu layak bikin Kelas Sufi lho. Atau apa saja lah. Yang penting hidupmu
berguna
Lho siapa manusia di dunia ini yang menginginkan ada manusia berguna? Yang mereka maui
adalah orang yang memberikan keuntungan kepada mereka, terutama keuntungan dunia, uang,
harta, jabatan, akses dan yang sejenis itu. Yang dimaksud guna atau manfaat sekarang ini adalah
keuntungan dunia. Sangat memalukan. Jadi saya tidak mau terlibat sedikit pun. Nol. Total.

Daur (51)
Apa Yang Perlu Direnungi Dari Nasib?

Sepeninggal Bolot, Tonj dan Kasdu termangu-mangu.


Sejak tinggal di Patangpuluhan dulu mereka, ratusan kasus seperti Bolot ini yang diam-diam
mengganjal di hati mereka. Kalau sesekali mereka bertemu teman lain, tetangga atau siapa saja di
muka bumi ini, selalu berkesimpulan bahwa Bolot itu karangan. Khayalan. Kelakar.
Kali ini pun ternyata mereka tetap termangu-mangu. Termangu-mangu itu bentuknya adalah wajah
melamun. Kalau ada tamu lagi datang, pasti menuduh mereka sedang berkhayal. Mungkin
merenungi diri dan nasib mereka masing-masing.
Padahal untuk apa nasib direnungi? Apa yang perlu direnungi dari nasib?
Tuhan bekerja menjalankan takdir-Nya, memproduksi nasib manusia dan apa saja ciptaan-Nya.
Takdir atas angin, menghasilkan nasib angin. Pun nasib ayam, sehelai bulu, setetes embun,
segundukan kecil gunung, hamparan ruang yang menggendong masyarakat galaksi, apa saja.
Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu,
ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan
kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.
Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi
sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari awal hingga
akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat pada era berikutnya sesudah
kepastian yang untuk sementara disebut kematian.
Ada peradaban suatu masyarakat yang menyimpulkan perasaan dan pengalamannya bahwa jarak
sangat jauh antara awal ke akhir penugasan yang ini hanyalah mampir minum. Ada ribuan orang
yang duduk bersama semalam suntuk memenuhi pikirannya dengan cinta kepada Tuhan dan
Rasul-Nya sehingga terasa seperti tak ada satu jam. Dan sebagian dari mereka yang memasuki
alam keTuhanan, sedikit bisa merasakan ka-lamhin bil-bashar , sekejapan mata.
Apa yang perlu direnungi dari nasib mampir minum sekejapan mata? Kecuali kebodohan
merasakan sekejapan mata itu seakan-akan 40 hari 40 malam, karena tak mengerti apa yang harus
dikerjakan oleh jiwanya dalam sekejapan mata itu.
***
Jadi Tonj dan Kasdu termangu-mangu sama sekali tidak karena merenungi nasibnya di dunia.
Tuhan sudah sejak semula menuliskannya di lembaran-lembaran kertas agung kehendak-Nya yang
Ia jaga dengan amat sangat seksama.
Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah
keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima,
kemarin, hari ini atau besok.
Nasib Tonj tidak baik. Nasib Kasdu tidak buruk. Nasib Markesot tidak gimana-gimana. Tidak ada
ukuran-ukuran semacam itu. Lebih bodoh lagi adalah perbandingan nasib. Kepiting tidak
merenungi nasibnya yang tak bisa terbang. Burung elang tidak menyesali nasibnya kok tidak
dijadikan ayam yang disantapnya. Panas tidak mencemburui dingin. Bumi tidak dengki kepada
langit. Malaikat tidak meratapi eksistensinya yang tanpa nafsu, meskipun juga tidak perlu kasihan
kepada manusia yang kebanyakan di antara mereka hancur lebur hidupnya oleh nafsu.
Bahkan yang kaya tidak ada alasan untuk menyimpulkan ia lebih sukses dibanding yang miskin.
Sebab hidup di dunia tidak ada kaitannya dengan pencapaian dunia. Yang berkarier memuncak
dengan jabatan, pangkat, kemasyhuran dan harta benda, tidak perlu bodoh untuk menganggap
yang lain yang tidak mencapai itu semua berada di bawahnya, di belakangnya atau di tempat lain
yang marginal.
Pun yang saleh alim khusyu sangat religius ahli wirid pakar ibadah dan apapun, sama sekali
dilarang dungu untuk merasa lebih mencapai keberhasilan dibanding yang lain.
***
Kalau kesalehan dipentaskan sebagai sukses hidup di dunia, menjadi cacatlah kesalehan itu.
Apalagi harta pangkat karier kekayaan yang dianggap pencapaian dunia, maka merosot jadi lebih
rendahlah ia dibanding dunia.
Shalat khusyu bukan pencapaian dunia, melainkan tabungan akhirat. Akhlak yang baik bukan citra
keduniaan, melainkan batu-bata jalanan ke sorga. Uang banyak adalah pencapaian dunia,
sedangkan manfaat uang itu adalah sukses akhirat. Harta bertumpuk menjadi keberhasilan dunia
atau akhirat bergantung pada pengolahan kompatibiltasnya, ke keduniaan atau ke akhirat.
Silahkan memilih apa saja yang membuatmu bergerak mendekat ke Allah dan membuat Allah
mendekat kepadamu. Tidak peduli kegembiraan atau kesengsaraan, asalkan membuat Tuhan dan
engkau berdekatan. Tidak peduli uang sedikit atau banyak, rumah besar atau kecil, mobil atau
sepeda, hafal Qur`an atau tidak, jadi presiden atau kuli pasar, hidup mapan atau gelandangan,
apapun saja, asalkan engkau olah menjadi alat untuk mendekatkan jarak antara Tuhan denganmu.
Jadi, masih heran dan tidak pahamkah kepada Bolot?
***
Maka Bolot tidak aneh. Apalagi bagi Tonj dan Kasdu. Pengalaman Patangpuluhan mereka dulu
membuat mereka terlatih menghadapi, melayani, mengatasi segala jenis manusia dan berbagai
macam persoalan yang mereka bawa.
Kalau ada yang menyebut Bolot itu gelandangan yang gila, mudah-mudahan itu sekedar basa-basi
bahasa yang berlaku sementara waktu di bumi, mohon jangan mendalam dan mendasar. Nanti
kamu kaget disapa olehnya di kehidupan berikutnya.
Jangankan Bolot, kata Tonj, saya yang masih tampak normal ini saja kesepian di tengah
tetangga dan masyarakat
Kenapa?, tanya Kasdu, karena mereka tidak paham?
Ya lah. Karena apa lagi kalau bukan karena itu
Apa mereka harus paham kamu?
Ya ndak harus
Apa masyarakat punya kewajiban untuk memahami hidupmu?
Ndak juga
Jadi?
Ya nggak apa-apa. Ini soal kesepian aja
Kenapa kesepian?
Karena hidup saya tidak sama dengan mereka
Kalau gitu ya bikin hidupmu sama dengan hidup mereka
Nggak mau
Kalau gitu jangan kesepian
Apa kesepian itu dilarang?
Nggak juga. Cuma tidak usah dikeluhkan
Siapa yang mengeluh
Lha kamu?
Saya cuma omong. Cuma membunyikan mulut tentang kesepian. Itu tidak berarti saya tertekan
oleh kesepian. Juga tidak berarti saya menolak kesepian
Kalau gitu jangan diomongkan
Apakah mengomongkan kesepian itu salah
Tidak. Saya juga kesepian, tapi tidak omong
Kenapa tidak?
Sebab kalau kesepian saya omongkan, ia batal. Kalau saya keluhkan, ia najis.

Daur (52)
Peradaban Bayi-Bayi

Orang yang menjalani hidup di jalan keinginan, cukup berbekal nafsu, ditambah sedikit ilmu yang
kompatibel dengan nafsunya itu. Tapi orang yang melakoni kehidupan mencari yang ia butuhkan,
bekal yang ia perlukan sejak awal adalah ilmu.
Bayi adalah tahap manusia ketika sama sekali masih belum mengerti beda antara keinginan
dengan kebutuhan. Bayi ditemani staf-stafnya Tuhan untuk menunjukkan kepada Ibunya apa yang
ia butuhkan, tapi si bayi itu sendiri tidak mengerti bahwa itu kebutuhan.
Kasdu dulu mendengar Markesot pernah nyeletuk, Sekarang ini sampai dewasa manusia tidak
belajar membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Rancangan pembangunan, kreasi
kebudayaan dan teknologi, hampir seluruh sisi peradaban ummat manusia di abad ini,
menunjukkan sangat jelas ketidakmengertian pelaku-pelakunya bahwa yang mereka bangun
dengan gegap-gempita itu bukan kebutuhan, melainkan keinginan.
Yang berlangsung sekarang ini adalah peradaban bayi-bayi. Bayi tidak bisa disalahkan, meskipun
ia membanting gelas, melempar Ibunya dengan piring, atau bahkan membakar rumah. Bayi tidak
percaya, atau tepatnya, belum paham, ketika dikasih tahu bahwa yang ia lakukan adalah perusakan
dan penghancuran.
Saya sudah bersumpah kepada diri saya sendiri, kata Markesot, tidak akan ngasih tahu apa-apa
kepada bayi. Bayi memimpin masyarakat, menjadi kepala negara, menyusun pasal hukum,
mendaftari para calon penghuni neraka, menjadi pemegang urusan hal-hal yang ia muati dengan
keinginan dan nafsunya. Tidak. Saya tidak akan senggol mereka. Kecuali hal itu menjadi bagian
dari tagihan Tuhan kepada saya kelak di akhirat, saya tidak akan sentuh. Dan apakah itu tagihan
atau bukan, saya tidak punya pengetahuan kecuali Tuhan menginformasikannya kepada saya.
***
Ada saat-saat Kasdu dan Tonj menyesali bahwa dalam hidup yang cuma sekali dan sebentar ini
mereka kenal Markesot.
Pergaulan dengan Markesot membuat pandangan hidup mereka jadi kacau. Kehidupan di dunia ini
menjadi tampak berbeda. Sangat berbeda. Dunia ternyata bukan kampung halaman. Bukan rumah.
Bukan tempat di mana manusia membangun kemapanan dan kejayaan. Dunia ini hanya area kerja
bikin batu-bata, untuk bangunan rumah mereka kelak di kampung halaman yang sejati.
Ada saat di mana pandangan itu membuat hidup mereka menjadi tegar, tangguh dan tenang. Tapi
di saat lain muncul situasi di mana mereka seperti ditimpa kesedihan dan rasa putus asa.
Ngawur orang-orang itu, Tonj nyeletuk.
Siapa? Ngawur bagaimana?, Kasdu bertanya.
Kebanyakan orang yang mengenal saya menyimpulkan bahwa hidup saya ini serabutan dan
spekulatif
Bukannya memang begitu?
Saya menjalani hidup tidak dengan spekulasi, melainkan dengan iman yang jelas, kepercayaan
yang teguh kepada kehidupan
Maksud orang-orang itu kamu tidak punya pekerjaan yang pasti sebagaimana umumnya orang
Berani dan meyakini bisa hidup tanpa pekerjaan yang pasti, apa artinya itu selain mencerminkan
iman yang total kepada Tuhan
Mungkin mereka tidak tega melihat anak istrimu kalau kamu tidak punya profesi yang jelas
Istriku mau kawin dengan saya justru karena kagum kepada keberanian dan iman saya itu
Apakah iman kepada Tuhan berarti hidupmu bergantung kepada kemurahan Tuhan melulu?
Lho tapi saya selalu bekerja keras
Kerja apa?, Tonj tertawa keras, kerja apaan?
***
Ya seketemunya. Pokoknya kerja keras. Tidak tergantung satu jenis pekerjaan. Saya bekerja keras
melangkah dari pekerjaan satu ke pekerjaan yang lain, yang kebanyakan tidak saling berhubungan.
Selesai satu pekerjaan, cari pekerjaan berikutnya
Itu namanya tidak punya pekerjaan tetap
Kan yang utama pekerjaan, tetap atau tidak tetap itu soal lain
Semua orang menyimpulkan bahwa lelaki, apalagi suami, terlebih lagi seorang bapak atau kepala
keluarga, haruslah punya pekerjaan tetap
Di mana ada pekerjaan tetap untuk saya? Saya tidak mau jadi anak buah, juga tidak mau jadi
boss. Satu-satunya kemungkinan hanya saya mengbossi diri saya sendiri dan menganakbuahi diri
saya sendiri
Terus letak orang selain kamu di mana?
Ya di hadapan saya di setiap pekerjaan. Saya butuh sebanyak mungkin orang untuk berunding,
tawar menawar, bertransaksi, atau juga tolong-menolong, dalam posisi tidak sebagai boss atau
anak buah
Apakah menjadi anak buah atau menjadi boss itu salah?
Sama sekali tidak. Cuma saya tidak sanggup berada di posisi seperti itu. Saya sekeluarga butuh
makan dan mengawal masa depan anak-anak saya, dan saya bekerja keras untuk itu, tapi hanya
bisa di luar posisi boss atau anak buah
Tapi sudah menjadi kesimpulan umum bahwa setiap lelaki harus punya pekerjaan tetap. Di situ
letak harga diri hidupnya
Pekerjaan tetap kamu apa?
Nggak ada juga sih
***
Mereka berdua tertawa berkepanjangan. Tonj dan Kasdu sadar benar bahwa hidup mereka
memang paling kacau dibanding teman-teman sesama jebolan Patangppuluhan.
Tapi kan tidak sekacau Markesot, kata Kasdu.
Markesot itu bukan kacau, kata Tonj, tapi pengecut
Kok pengecut?
Tuhan bilang harta dan anak adalah fitnah dalam kehidupan di dunia. Maka dia tidak beristri
tidak beranak. Mau enaknya sendiri
Saya sepertinya mengerti pertimbangan Markesot
Gimana
Kan Tuhan juga, melalui Nabi-Nya, menentukan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah hiasan.
Dan hiasan yang terindah adalah istri yang salehah, keluarga yang sakinah
Terus?
Markesot ngeri untuk punya istri dan anak, atas dua pertimbangan. Pertama, bisa saja punya istri
salehah dan membangun keluarga sakinah. Tapi anak-anak kita besok-besok? Apa kita jamin bisa
juga? Belum lagi cucu? Cicit?
Di situ itu gunanya iman dan kepasrahan kepada Tuhan
Markesot khawatir seluruh anak-cucunya sampai turunan keseratus keseribu pun masih
membawa risiko tanggungjawab Markesot. Kalau cicitnya besok-besok melakukan kedhaliman,
Markesot ikut menanggung dosanya. Karena hidup ini mengendarai waktu, di dalam ruang. Hidup
ini akseleratif, struktural dan historis, dari belakang maupun ke depan
Markesot memang ruwet
Pertimbangan yang lain yang membuat Markesot tidak berkeluarga lebih mengerikan. Tuhan
menyuruh kita berproses menyatukan diri dengan-Nya. Kita harus tidak eman kehilangan apapun
asalkan diterima bertauhid kepada-Nya. Kehilangan rumah dan harta benda, bisa kita tanggung.
Tapi kehilangan anak istri, demi penyatuan dengan Tuhan, berani kamu?
Oo itu yang yang Markesot takut
Ada tokoh besar menyatakan Wahai dunia, jangan coba rayu-rayu aku, sebab aku sudah
mentalak-tiga kamu. Markesot bertanya, talak tiga itu termasuk ke anak dan istrinya atau tidak?
Markesot waktu itu membisiki saya: Tokoh itu punya dua putra. Yang satu diracun oleh istrinya,
yang lain dipenggal kepalanya oleh musuhnya. Berani kamu menantang dunia untuk
menganggapnya kecil dan meninggalkannya?
Lho tapi kalau Markesot jadi panutan, semua orang lantas tidak kawin, tidak berkeluarga,
mandeg dong polulasi dan peradaban manusia?
Itu sudah saya tanyakan kepada Markesot dulu
Apa jawabnya?
Itu namanya kiamat. Alhamdulillah. Semakin cepat kiamat tiba, semakin segera jelas keadaan
kita. Daripada hidup di dunia menantikan akhirat di dunia yang tanpa akal, penuh penghuni sakit
jiwa, dan disiksa oleh bangunan-bangunan kemunafikan yang tak ada hentinya

Daur (53)
Begini Ini Indonesia?
Begini Ini Negara?

Akhirnya Tonj dan Kasdu pun kembali ke keluarganya. Tinggal rumah hitam Patangpuluhan,
tenggelam ke lubuk terdalam di lautan kesunyian.
Pas mereka mau pergi, Sapron, seorang yang sejak awal tinggal di Patangpuluhan dibawa oleh
Markesot dari dusun, muncul. Ketika teman-teman Markesot berkumpul, Sapron tidak tampak.
Begitulah masyarakat rumah hitam Patangpuluhan, tidak punya akhlak, datang tidak permisi,
pulang tak pamit.
Siapa Sapron?
Kalau Markesot lenyap ke mana, semua berpikiran mirip-mirip. Yaaa di sekitar mengejar Kiai
Sudrun.
Siapa Sudrun? Lapisan-lapisan tertentu masyarakat Patangpuluhan bertanya-tanya.
Kiai Sudrun? Kiai?
Belum pernah jelas Sudrun itu Kiai apa. Guru ngajinya dulu, atau Mursyid thariqatnya, atau
orangtua yang mengasuh Markesot di masa kanak-kanak. Yang paling mendekati kebenaran
kelihatannya ya mereka berdua adalah sahabat sesama gelandangan.
Seorang warga rumah hitam asal Madura, dulu, pernah mengatakan hati-hati kepada sebutan Kiai.
Jangan samakan dengan Ulama
Dia menjelaskan kalau sebutan Ulama itu berdasarkan kualifikasi ilmu dan akhlak seseorang, dan
yang melegalisasikan keulamaan seseorang adalah Tuhan sendiri. Tapi kalau Kiai, asal seseorang
disebut Kiai oleh sekumpulan manusia, atau bahkan oleh hanya seorang, maka ia sah menjadi
Kiai. Bahkan tidak hanya seseorang, segala sesuatu bisa digelari Kiai: hewan, benda, pohon, keris,
akik, gamelan, dan apa saja.
Jadi jangan terpesona kepada Kiai Sudrun. Jangan dimistik-mistikkan, diklenik-klenikkan,
diseram-seramkan, dihantu-hantukan, dijin-jinkan, diwali-walikan, apalagi dimalaikat-
malaikatkan.
***
Markesot mencari Kiai Sudrun itu mungkin sekedar peristiwa psikologi biasa. Peristiwa
konsultasi, atau urusan tanya jawab pengetahuan yang normal-normal saja. Bahkan tidak tertutup
kemungkinan ternyata Kiai Sudrun itu khayalan Markesot belaka. Markesot meracuni orang-orang
di sekitarnya dengan bisik-bisik khayalan tentang seorang tokoh misterius.
Mungkin Markesot sudah memuncak frustrasinya. Keadaan sudah semakin darurat, tapi kok
sampai hari ini tidak ada instruksi apa-apa ke Markesot.
Perintah? Perintah untuk apa? Untuk mengatasi keadaan? Untuk mengamuk? Untuk triwikrama?
Untuk menggalang massa dan memaksakan Revolusi? Untuk menggulingkan Pemerintahan?
Atau untuk seperti dulu melaksanakan Ilmu Sirep kepada Raja agar ia legowo untuk lengser?
Untuk menggedor pintu-pintu, gedung-gedung, kantor-kantor dan Istana, membentak, menggeram,
berteriak, memekik, dan merombak secara hampir total semua tatanan ini dari kekacauan yang
makin menjadi-jadi?
Apakah Markesot sedang bermimpi mengumpulkan jutaan orang, diajak mengangkat tangan,
menengadahkan kepala, membuka lebar telapak tangan mereka ke langit, kemudian di langit tiba-
tiba tertera tulisan:
Begini ini Indonesia?
Markesot menggerutu seolah sedang menjawab tulisan di langit:
Ratusan tahun aku mengenali Indonesia, dan yang begini ini bukanlah Indonesia
Indonesia adalah anak bungsu Bangsa Indonesia. Tapi Indonesia yang ini bukanlah Indonesia
yang saya kenal sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh Bangsanya
Kalau lembaran tulisan ini bermurah hati memberi ruang, maka tidaklah cukup untuk memuat
festival gerutuan Markesot.
Bangsa yang begini bukanlah bangsa Indonesia. Manusia yang begini, bukanlah manusia
Indonesia. Tata kelola alam dan kehidupan yang begini, bukanlah tata kelola Indonesia.
Kebudayaan dan peradaban yang begini, bukanlah kebudayaan dan peradaban Indonesia
Mosok begini ini Negara?
Yang akarnya begini, bukanlah akar Negara. Yang batang pohonnya begini, yang dahan
rantingnya begini, yang daun dan bunganya begini, bukanlah Negara. Maka tidak begini pulalah
buah yang dihasilkan oleh tata Negara
Negara kok dikuasai oleh Pemerintah yang diupahnya. Negara kok dimiliki oleh pejabat-pejabat
yang digajinya
Pemerintah kok mengaku mereka adalah Negara
Rakyat kok bawahannya Pemerintah. Rakyat kan pemilik tanah air, yang mendirikan Negara dan
mempekerjakan Pemerintah
Kemudian suara Markesot sedikit mengeras, meskipun tetap dalam lingkup gerutuan dan mimpi
ke dalam dirinya sendiri:
Wahai Bangsa, bangunlah dari tidur lelap akal pikiran kalian. Keluarlah beramai-ramai dari
penjara besar yang mengurung kalian. Jebollah tembok-temboknya
***
Tetapi memangnya siapa Markesot?
Kalau sesekali dunia menoleh kepada Markesot, dunia sinis bergumam: Who do you think you
are?
Bisa apa dia? Nunggu-nunggu dawuh seolah-olah dia kakang-kawahnya Ratu Adil. Seakan-akan
dia Master of Civilization. Lagaknya seperti Pendekar Zaman.
Coba tanyakan kepada Sapron, yang sudah hidup mengawal Markesot hampir 40 tahun: apa yang
pernah dicapai oleh Markesot selama rentang waktu itu? Apa prestasinya? Apa reputasinya?
Dia pikir Negeri Khatulistiwa ini akan hancur kalau tidak ada dia. Disangkanya Bangsa
Khatulistiwa ini ada yang mengenalnya. Memang ada sih sedikit-sedikit samar-samar sesekali
terdengar nama Markesot. Tetapi ia bukan siapa-siapa. Markesot bukan faktor.
Markesot benar-benar sama sekali bukan faktor.
Tetapi Sapron hafal, jangan sampai pernyataan seperti ini terdengar oleh telinga Markesot, sebab
itu akan menjadi peluang baginya untuk berpanjang-panjang menjawabnya, bahkan memperlebar-
lebar argumentasinya.
Kalau Nabi Musa memukulkan tongkatnya dan lautan terbelah, menurut kalian faktor utama
peristiwa itu adalah Nabi Musa ataukah tongkatnya?
Jangan pancing Markesot untuk berceramah.
Bukan kedua-duanya. Nabi Musa, apalagi sekedar tongkatnya, adalah sekedar alat dari faktor
yang menjadi asal-usul dan pencapaian peristiwa laut terbelah itu. Hanya alat. Hanya pelengkap
penderita. Bukan subyek utama. Subyek utamanya adalah Sang Maha Faktor
Jangan kasih panggung kepada Markesot.
Banjir penenggelam dua pertiga Bumi bukan karya Nabi Nuh. Hujan meteor, super-gempa, badai
pelibas peradaban, bukanlah bikinan Nabi Luth. Nabi Ibrahim tidak sakti sehingga tak terbakar
api, dan bukan Ibrahim pula yang memasukkan seekor lalat ke dalam kepala Raja Namrud, dan
membuat lalat itu menghuni kepalanya selama 400 tahun
Jangan menyia-nyiakan waktu dan energi hidupmu dengan membukakan peluang kepada
Markesot untuk menyiksa telingamu.
Masyarakat yang mendustakan ajaran Allah yang diperintahkan untuk disampaikan oleh Nabi
Sholeh, pada hari Kamis mendadak berwarna kuning wajah mereka. Jumatnya berubah merah.
Sabtu esoknya menghitam pekat, sebelum dilindas dan dimusnahkan seluruhnya pada hari
Minggu. Nabi Sholeh bukanlah tukang sulap agung melebihi Houdini atau Chris Angel yang
bermain-main warna pada wajah manusia

Daur (54)
Kemewahan Sebagai Barang Mainan

Lebih 40 tahun Sapron dijejali oleh ceramah-ceramah Markesot. Isi kepala, dada dan perut Sapron
adalah ceramah Markesot. Bahkan setiap helai rambutnya, setiap butiran darahnya, bermuatan
ceramah Markesot.
Mengalirnya darah di tubuh Sapron itu sendiri seakan-akan adalah ceramah Markesot. Gerak
alirannya, speed -nya, iramanya yang tercermin pada dinamika cepat lambat kembang kempis
jantungnya. Bahkan kotoran di antara kuku kaki dan daging jari-jari Sapron tidak lain tidak bukan
adalah ceramah Markesot. Tausiyah Markesot.
Mauidhah-hasanah Markesot. Makalah simposium Markesot. Artikel dan puisi Markesot.
Mampuslah Sapron dimarkesoti sepanjang dan hampir seluruh kehidupannya.
Akan tetapi Sapron terus dan tetap setia kepada Markesot.
Mungkin karena terikat secara persaudaraan sejak masa kanak-kanaknya di dusun dulu. Markesot
tukang dongeng, Sapron salah satu audiensnya di Langgar dulu.
Tetapi ternyata sampai Sapron mengikutinya di Patangpuluhan, hidup Markesot tetap saja
mendongeng dan mendongeng.
Jelas Sapron tidak mempersoalkan itu. Sejarah nasib membawanya ke situ, entah bagaimana
prosesnya dulu. Sapron sendiri tidak punya prestasi apa-apa, tapi sekurang-kurangnya ia punya
cinta dan kesetiaan kepada Markesot. Dan karena sejarah cinta dan persaudaraan sejati itu maka ia
selalu memaafkan Markesot dan tidak menuntut apa-apa.
Apalagi jelas Markesot tidak pernah bicara apapun tanpa ada Tuhan di dalamnya. Markesot tidak
pernah melakukan apapun yang bermuatan keperluan pribadinya. Markesot tidak pernah meminta
apa-apa untuk dirinya sendiri kepada siapapun kecuali Tuhan. Markesot tidak pernah mengganggu
orang, menyakiti orang, mengemis kepada orang. Markesot tidak pernah mengejar harta, jabatan,
membangun karier atau pencapaian-pencapaian apapun yang sifatnya keduniaan.
Bagi Sapron Markesot hanya semacam gelandangan. Dan karena gelandangan tidak ada alamatnya
di peta masyarakat dan di buku urusan pemerintahan kecuali untuk diremehkan dan dihardik,
maka Sapron diam-diam merasa terhormat dan bangga untuk menjadi penjaga dan pengawal
seorang gelandangan.
Kalau suatu hari Markesot marah di jalanan karena orang ngawur mengendarai mobil atau motor,
atau petugas pom bensin mengkorupsi volume literan jualannya, atau ada preman mentang-
mentang, atau apapun saja Sapron yang jaga-jaga. Markesot dikenal sebagai orang yang sehari-
harinya lembut dan agak pendiam. Tapi sewaktu-waktu ia mendadak sangat tegas, bisa
membentak-bentak siapa saja termasuk orang-orang berdasi.
Tapi terus terang sebenarnya tulang punggung keberanian Markesot adalah adanya Sapron. Kalau
terjadi perkelahian benar, Sapron yang bertandang. Markesot marah kepada Tentara yang
menendang seorang sopir gara-gara salah parkir, Tentara itu tidak berani bertindak apa-apa kepada
Markesot, karena memperhitungkan ada lelaki gagah gempal di belakang Markesot. Ya Sapron itu.
Markesot yang berlagak, Sapron yang jaga-jaga. Tidak seorang pun berpikir bahwa sebenarnya
Markesot tidak sehebat dan sepemberani itu. Rumusnya sederhana, kalau Markesot sendiri, ia
sangat lembut. Kalau ada Sapron, mendadak tegas.
***
Sapron, pemuda gagah tidak jelas nasibnya sebagaimana Markesot, tuan rumah permanen rumah
hitam Patangpuluhan. Seorang lelaki yang kesetiaannya boleh dikatakan membabi-buta kepada
Markesot sejak dulu kala. Terkadang Sapron ini yang diminta mengantar Markesot boncengan
motor, kemudian tak pulang beberapa lama. Kalau teman-teman menanyakan kepadanya, Ron,
Markesot kamu antar ke mana?
Sapron menjawab, Minta turun dari motor di dekat rel kereta luar kota sana, saya tidak tahu
lantas ke mana dia
Sapron rajin melukis kaligrafi kalau malam, siangnya makelaran apa saja: motor, barang-barang,
kadang mobil. Sapron mewarisi ilmu dan keterampilan otomotif dari Markesot. Bahkan pernah
disewakan tempat kecil untuk buka bengkel motor, tapi bubar.
Sapron pintar mesin, mengerti manusia pada umumnya, tetapi tidak memahami manusia yang
datang kepadanya membawa motor rusak. Sapron tidak tahu kalau mereka lebih senang ditipu
daripada disikapi secara jujur dan murah hati.
Kalau ada motor rusak datang, seharusnya Sapron mendramatisir dan menyeram-nyeramkannya.
Wah, Pak, ini butuh waktu antara lima hari sampai seminggu. Spare part ini dan ini dan ini harus
ganti.
Sapron bodoh. Ia periksa motor, ia tidak menemui kerusakan, hanya perlu pembenahan dan
fixing . Sapron menyentuh beberapa onderdil, diini-itu beberapa saat, kemudian motor jadi
fix dan jrong. Sudah beres, Pak.
Berapa biayanya, Pak? si empunya motor menjawab.
Ah, wong cuma nyentuh-nyentuh sedikit kok, jawab Sapron, nggak usah biaya Pak, Sampeyan
bawa saja
Sapron tidak memperoleh upah dari kerjanya karena kemurahan hati dan rasionalitas berpikirnya.
Juga tidak mendapat laba dari pembelian onderdil-onderdil baru yang mestinya bisa dikarang-
karang, karena toh umumnya pengguna motor tidak paham-paham amat atas liku-liku mesin
motornya. Sapron bukan pedagang. Apalagi kapitalis. Ia jenis petani pengabdi.
Tidak berarti Sapron orangnya kalem dan halus. Sesungguhnya tidak ada siapapun di sekitar
Markesot yang tidak usil, punya kecerdasan yang aneh, sangat suka berkelakar dan keputusan-
keputusan hidupnya sering menyimpang dari kebiasaan umum.
Suatu siang Sapron menjemput Markesot di Stasiun Kereta. Sapron berlari menuju Markesot yang
barusan turun kereta, membelah-belah kerumunan sambil teriak-teriak: Cak Sot! Cak Sot!
Ampunampun
Lho kenapa?, Tanya Markesot.
Mohon saya jangan dimarahi, Cak Sot
Ah, ada apa. Kapan saya pernah marah
Bener lho ya, jangan marah
Ada apa, ada apa
Mercy-nya Cak Sot hilangmemang tadi saya parkir agak jauh di luar sana, barusan saya cek
kok hilang. Gila benar maling-maling sekarang ini
Markesot kaget dan terpana. Wajahnya pucat mendadak. Sorot matanya kosong. Sesaat kemudian
pingsan, tubunya roboh, ditangkap Sapron dan satu dua orang di sekitarnya. Kemudian diangkat
keluar menerobos kerumunan orang.
Ada yang menawarkan kepada Sapron untuk diantarkan ke kantor kepolisian terdekat, lapor
Mercy dicuri orang. Lainnya menawarkan membayar taksi untuk membawa Markesot ke Rumah
Sakit. Tapi Sapron menolak dengan halus dan mengucapkan terima kasih. Sapron hanya
membawa Markesot ke sebuah pojok, mendudukkan di bongkahan batu bersandar pagar. Sapron
memijit-mijit kepala Markesot. Markesot memejamkan mata dan mungkin saja ia tertidur.
Beberapa lama kemudian ketika orang-orang sudah tidak berkerumun lagi, mereka berdua
akhirnya tidak menjadi perhatian sekitarnya, Sapron diam-diam mengambil motornya,
memboncengkan Markesot dan menghilang dari komunitas kecil yang tadi ikut gugup oleh
teriakan Sapron Mercy-nya Cak Sot hilang!
Apa maksudnya mobil Mercy hilang dicuri orang? Atas dasar fakta sejarah yang mana dan
bagaimana sehingga Markesot berkemungkinan punya mobil Mercy? Untuk apa Sapron teriak-
teriak berlagak kehilangan mobil mewah? Pencitraan di komunitas Stasiun? Iseng-iseng
memperindah kehidupan dengan khayalan di kalangan sesama orang miskin? Atau teknik pameran
sosial agar masyarakat menyangka mereka orang kaya?
Semua itu mungkin. Tapi yang pasti adalah bahwa kemewahan tidak pernah berperan lebih dari
barang mainan di mulut Markesot dan komunitasnya.

Daur (55)
Wali Negeri Khatulistiwa

Sesungguhnya sudah bulat hati Markesot: nanti tepat tengah malam ia akan pergi mencari Kiai
Sudrun, menelusuri jejaknya terserah sampai ke mana, tapi harus ketemu.
Tak peduli ia harus menembus gelombang apapun, menunggangi malam atau siang, menjejakkan
kaki di koordinat waktu di depan atau belakang. Tapi wajib ketemu. Kali ini tidak bisa tidak.
Kalau saya harus menyeberangi lautan untuk menemukan Kiai Sudrun, tujuh samudera akan saya
arungi, tekad Markesot, tetapi berhubung saya tidak bisa berenang, maka saya akan bernegosiasi
dengan laut, agar semua lautan bersedia untuk tidak rewel kalau saya lewati mereka tanpa
berenang
Kalau ingat hal rembug dengan laut ini Markesot tertawa sendiri. Banyak orang terkagum-kagum
kepada kisah tentang orang berjalan di atas air. Banyak tokoh bangsa Dayak ketika Perang Sampit
melaju dari berbagai arah berkumpul di suatu tempat arah utara barat Sampit, banyak di antara
mereka tidak menyeberangi sungai-sungai besar dengan perahu, melainkan dengan berlari di atas
air.
***
Ada legenda tentang Ibu Malih yang
dondom atau menjahit pakaian dengan jarum benang di dek sebuah kapal yang akan
mengantarkan ratusan jamaah haji. Pak Kiai mengantarkan santri-santrinya sampai memasuki
kapan. Dijumpainya si Ibu Malih sedang mengucapkan kalimat-kalimat wirid sembari dondom.
Pak Kiai mengingatkan Malih bahwa makhraj dan tajwid ucapannya banyak yang salah. Malih
langsung berhenti wiridan. Ketika Pak Kiai sudah kembali ke pelabuhan di pantai untuk
nguntapke kapal melaju, tiba-tiba ada orang terjun dari kapal, berlari di atas air, menuju Pak Kiai.
Orang itu langsung bertanya kepada Pak Kiai: Pak Kiai, Pak Kiai, Sampeyan tadi belum mengajari
saya bagaimana wirid yang benar
Ternyata orang itu adalah Malih. Pak Kiai langsung pingsan.
Markesot selalu tersenyum ketika teringat kisah-kisah yang orang menyimpulkan itu kisah sakti.
Padahal itu soal keakraban persaudaraan dengan alam. Itu soal tawar-menawar, saling murah hati
di antara manusia dengan alam. Sepertinya itulah gunanya Tuhan menentukan di antara para Rasul
dan Nabi, terdapat Baginda Raja Sulaiman.
Bahkan karena Markesot tidak berenang, ia mengupayakan semacam pengumuman yang meminta,
mengimbau, atau kalau terpaksa ya memaksakan, agar semua makhluk penghuni laut dari jenis
apapun, menyepakati suatu permakluman untuk membiarkan Markesot melintasi samudera dengan
sarana apapun saja.
Dengan kapal, perahu, jalan kaki dan berlari di atas permukaan air laut, menaiki kuda setengah
terbang, mesin kecepatan, alat strategi lintas ruang, teknologi peringkas jarak.
Atau mungkin tidak menggunakan semua itu. Terserah Markesot. Toh ia tidak mengganggu
kenyamanan hidup dan keamanan lingkungan perkampungan maya serta walayah gelombang di
mana para makhluk itu bertempat tinggal. Ia cuma mau ketemu Kiai Sudrun.
Tidak tertutup kemungkinan Markesot tidak melangkahkan kaki. Bahkan tidak pun berdiri. Tak
pula duduk bersila. Malahan mungkin berbaring saja. Melintasi lautan yang terbentang dan hutan
belantara yang terhampar di alam semesta dalam diri Markesot sendiri.
Sesekali mampir singgah di dalam mimpi orang-orang yang tidak mempercayai apa yang ia
lakukan. Markesot hadir dalam mimpi-mimpi mereka dan menuturkan sejumlah gangguan atau
godaan.
Terserah Markesot. Main transformasi-deformasi, pemadatan-pemuaian, kasat mata tak kasat
mata, menyatai maya memayai nyata, biarkan saja. Yang penting ia mau ketemu Kiai Sudrun.
***
Mana Kiai Sudrun ini?, jiwa Markesot meronta.
Mana Wali Qutub Negeri Khatulistiwa?
Wabah penyakit tiada tara. Maut tak bisa ditunda, tetapi kehancuran mungkin bisa dilompati
Tak kan berhenti Markesot sebelum menemukan Kiai Sudrun. Andaikan pun untuk itu Markesot
harus melintas planet-planet, pun galaksi-galaksi kalau memang diperlukan, atau memergoki Kiai
Sudrun di pojok-pojok perkampungan Jin, di perpustakaan digital di hutan-hutan, mengejar
persembunyiannya di ke dalam setetes embun.
Markesot akan mengajukan pensiun dini dari penugasan di Bumi, kalau Negeri Khatulistiwa
dibiarkan terus tanpa penjaga. Tanpa penyangga arasy. Tanpa pengawas. Tanpa pengontrol. Tanpa
pemelihara keseimbangan. Tanpa orang-orang tua yang berentang tangan dalam rahasia. Tanpa
hikmah Leluhur. Tanpa pelaksanaan amanah Auliya.
Sudah terlalu cukup bagi Markesot dan sudah usai usia kesabarannya untuk menyaksikan rakyat
Negeri Khatulistiwa terkatung-katung menjalani darma zaman dengan bekal kebutaan batin dan
ketulian rohani. Markesot tidak sanggup membiarkan terlalu lama masyarakat Negeri Khatulistiwa
tenggelam dalam kegelapan dan kegelapan tentang tiga hal: Kepemimpinan, Ukuran dan
Kemunafikan.
Krisis Kepemimpinan.
Kehilangan Ukuran-ukuran.
Dan menyempurnanya Kemunafikan.
***
Kenapa tujuh belas Gardu Penjagaan Khatulistiwa kosong tanpa penjaga hampir dua puluh tahun
terakhir. Ke mana para Wali? Lari dan bersembunyi di mana Wali Qutub -nya? Mana formasi
koordinator regional penjagaan Negeri Khatulistiwa?
Kalau tidak ada kepemimpinan di Langit Keempat, yang meresonansikan hidayah dan
mendistribusikan nilai, tidaklah adil untuk mengharapkan ada kepemimpinan di Negeri
Khatulistiwa yang berada di langit bawah kepengasuhannya. Ke mana ini Kiai Sudrun?
Sampeyan ini Pemuka Regional Kaum Wali. Sampeyan bukan hanya zuhud ,
istiqamah ajeg permanen pada kepatuhan kepada Allah, diperkenankan untuk melakukan hal-hal
yang tidak biasa
Sampeyan membawahi aparat-aparat dan staf-staf untuk melaksanakan tugas menjereng bumi
yang bulat menjadi seperti tikar raksasa. Sampeyan dipasang untuk berhak turut
memusyawarahkan proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan pemanasan suhu
permukaan Bumi, mengatur panas dinginnya gunung, mengendalikan angin, mendistribusikan
asap, pergerakan lempengan-lempengan Bumi, menakar keharusan gempa, mempergilirkan
letusan gunung-gunung
Ataukah Sampeyan sedang sibuk membantu para Malaikat mengangkat Arasy, untuk ditata
kembali karena ada rencana reformasi kemakhlukan dari Tuhan? Atau Sampeyan sedang bersujud
di Langit Keenam, menunggu sertifikasi qudroh sebagaimana yang dianugerahkan kepada Guru
Besar Khidlir? Izin Allah untuk berdasarkan pengetahuan tentang putaran waktu dan makrifat
bergulirnya zaman, Sampeyan boleh mencekik atau memuntir leher sejumlah Pemimpin di muka
bumi, utamanya di Negeri Khatulistiwa?
Bukankah Tuhan Maha Tak Terperi Ilmu-Nya dalam kemaha-andalan membagi tugas kepada
para staf dan makhluk-makhluk-Nya? Bukankah Rasul Pamungkas saja pun tak memperoleh
perkenan sejumlah hal yang Tuhan perkenankan kepada Baginda Khidlir?
Apakah kali ini ada rancangan khusus?
Perkenan untuk membocorkan Kapal Tanah Air, mengganti Nakhodanya, menyusun aturan-
aturan baru, bahkan membikinkan Kapal baru karena yang ada sekarang sudah tidak mungkin
berlayar tanpa bergoyang dan berguncang? Kemudian Sampeyan tegakkan Pagar Zaman itu,
menguak masa silam, menggali kekayaan simpanan, untuk menyiapkan kesejahteraan bagi anak-
anak cucu-cucu bangsa Negeri Khatulistiwa ini yang kekayaan buminya dikikis habis oleh Bapak-
Ibu dan Kakek-Nenek mereka?
Inilah saat-saat Markesot menjadi cengeng dan sangat tertekan oleh dirinya sendiri. Markesot
tenggelam oleh banjir yang berasal dari aliran dan kucuran airmatanya sendiri.

Daur (56)
Tak Ada Cita-Cita Yang Tercapai

Markesot mencoba membangkitkan hatinya, dengan memunculkan kembali keyakinannya sejak


lama bahwa dalam kehidupan di dunia yang sangat sejenak ini, belum pernah ada cita-cita yang
tercapai.
Belum pernah ada, bahkan tak kan pernah ada. Tidak juga pada para Rasul dan Nabi. Bahkan tidak
terjadi pada makhluk yang paling dicintai oleh Tuhan semesta alam.
Nanti dulu.
Kalau sekedar cita-cita menjadi presiden, pengusaha sukses, tokoh berprestasi, orang kaya dan
yang semacam-macam itu, sangat mudah mencapainya. Apalagi di zaman sekarang ini, di mana
siapa saja dianggap pantas menjadi apa saja. Di zaman di mana ukuran yang berlaku adalah
kepentingan pihak yang berkuasa, yang menguasai modal dan perangkat-perangkat sejarah.
Tetapi yang begitu-begitu itu namanya bukan cita-cita, melainkan ambisi. Jelasnya, ambisi pribadi.
Kita punya seratus piring nasi hari ini dan jutaan piring nasi untuk makan sampai ke masa depan,
sementara orang lain hari ini belum pasti akan bisa makan sepiring nasi itu bukanlah
pencapaian cita-cita.
Itu sukses karier pribadi. Dan karier pribadi itu memalukan di tengah sesama makhluk di jagat
raya, apalagi di hadapan Maha Pencipta dan Pemilik Sejati segala sesuatu.
***
Bahkan seandainya pun sukses yang dicapai tidak hanya berlaku pribadi, melainkan berlaku se-
Negara atau se-Dunia, tetapi terbatas pada kemakmuran, sandang pangan beres, transportasi
lancar, papannya gedung-gedung pencakar langit, sampai pun bisa berkomunikasi dengan teman
di kutub utara memakai jari-jari sambil buang air besar, ditambah merebaknya balon-balon maya
di atas kepulauan Nusantara itu bukan pencapaian cita-cita. Itu teknologi dan peradaban yang
tidak berlaku lagi begitu jantung manusia berhenti berdetak.
Segala sesuatu yang dibatasi oleh mati, bukanlah sukses. Sukses adalah suatu pencapaian yang
melampaui maut, yang abadi melintasi kematian, mengalir hingga titik simpul di mana awal dan
akhir menyatu.
Dan peradaban ummat manusia, meskipun mereka berbekal Kitab-kitab Suci maupun khazanah-
khazanah post-post-post-modernisme, yang batas pengetahuannya menyimpulkan bahwa yang
disebut kehidupan adalah yang di dunia, dan yang di luarnya atau sesudahnya disebut kematian
maka merekalah makhluk yang paling gagal, atau minimal yang terendah pencapaian ilmu dan
lelakunya.
Kemakmuran sungguh-sungguh tidak bisa menjadi parameter primer dari sukses kehidupan.
Indonesia anak bungsu yang sedang online hari-hari ini, dibekali oleh Bangsa yang melahirkannya
dengan pedoman sangat sederhana namun sanggup mengantarkan mereka menuju sukses sejati
dan abadi. Yakni: Adil Makmur.
Bukan Makmur Adil. Kalau kemakmuran ditempuh sebagai tujuan utama, semua peradaban
menjalaninya melalui jalan ketidakadilan. Sebaliknya jika keadilan yang ditempuh, maka
kemakmuran akan menemukan karakternya yang lebih luas dan multidimensional bagi manusia
dan kemanusiaan.
Keadilan adalah kemakmuran yang sejati. Kemakmuran yang berdiri sendiri, akan selalu
melanggar keadilan, dan sibuk mengembangkan ilmu dan metode untuk mengkamuflase
ketidakadilan supaya tampak sebagai keadilan.
Lelaku adil melampaui mati, kemakmuran sia-sia karena setiap orang hanya punya satu kepastian:
menunggu giliran mati. Dan manusia benar-benar akan mati kalau ilmunya menyangka bahkan
meyakini bahwa yang disebut mati itu sungguh-sungguh mati.
Maka Indonesia yang merasa sedang membangun kehidupan dengan mentuhankan kemakmuran,
aslinya sedang menempuh kematian yang sejati, sebelum tiba si ajal, yakni yang mereka sangka
kematian.
***
Markesot selalu tampak sangat santai, penuh kelakar dan senda gurau, sepanjang ia berada di
tengah orang banyak. Tapi perhatikan begitu ia sendiri, Markesot tampak sebagai manusia yang
hidupnya menangis.
Kenapa Nabi Muhammad Saw yang amat sangat dicintai Allah, dijamin sorganya, menjadi orang
agung yang sangat utama dalam sejarah ummat manusia, tiap malam berjam-jam menangis dalam
sujudnya?, Markesot pernah terpaksa menjawab pertanyaan seolah-olah ia seorang Kiai.
Karena cita-cita pribadi itu sangat mudah tercapai, apalagi bagi beliau yang segala sesuatunya
dijamin oleh Tuhan. Tetapi Kanjeng Nabi tidak pernah mengakui kepentingan pribadi itu sebagai
atau menjadi cita-cita. Yang rasional untuk disebut cita-cita adalah akhlak mulia ummat manusia
yang menghasilkan keadilan di bidang apapun di antara mereka. Dan beliau menangis tiap malam
karena tahu persis bahwa cita-cita itu tidak akan pernah tercapai selama kehidupan di dunia.
Terjadi peperangan besar yang pangkalnya adalah istri dan menantu beliau, yang gelombang rasa
sakitnya
njarem sampai di zaman sekarang ini. Apa sejatinya rahasia dibalik ketentuan Tuhan bahwa
makhluk
masterpiece bernama Muhammad bin Abdullah ini justru dituliskan oleh-Nya untuk punya dua
cucu, yang satu diracun istrinya sendiri dan yang lainnya dipenggal kepalanya, bahkan jenazahnya
diseret menempuh jalanan bergerunjal yang sangat jauh?
Siapakah di antara kita, yang bukan Nabi bukan Wali bukan Ulama bukan Kiai bukan tokoh
bukan siapa-siapa ini yang dianugerahi Allah penderitaan batin melebihi Baginda Muhammad?
Apakah istrimu bertengkar dengan menantumu? Apakah cucumu diracun oleh istrinya dan satunya
dipenggal kepalanya?
Masuk sorga itu pasti bagi Muhammad, tetapi ia mengisi malam-malamnya dengan tangis.
Masuk sorga adalah pencapaian pribadi, dan Baginda Muhammad tidak bergembira-ria merayakan
itu. Sebab hinalah bagi kepribadian beliau untuk bangga dan gembira oleh pencapaian pribadi.
Yang disebut cita-cita oleh Baginda Muhammad adalah keadilan akhlak ummat manusia di Bumi,
perkebunan luas rahmatan lilalamin , yang buahnya adalah kemakmuran rohani dan bonus
kemakmuran jasmani.
Tetapi beliau manusia mulia, dengan
software rohani paling canggih, tak cukup dikostumi geniousitas, mengerti dan melihat dengan
terang benderang bahwa tidak ada cita-cita yang tercapai selama hidup di dunia. Kakek Adam
ditikam oleh derita melalui tangan Qabil yang membunuh Habil kakaknya. Dan Baginda
Muhammad hampir tak punya muatan apapun di dalam dadanya kecuali dua hal. Pertama, Allah.
Kedua, kesedihan yang sangat mendalam atas ummatnya di masa depan. Sampai detik-detik hijrah
beliau dari alam yang ini ke alam berikutnya dihiasai oleh ratapan Ummatiiiummatiii
***
Markesot tidak pernah punya pencapaian sukses pribadi apapun dan ia memang tidak
mempedulikannya. Malam ini ia berangkat mencari Kiai Sudrun untuk memproses cita-citanya.
Apakah banjir yang menenggelamkan ummat Nabi Nuh adalah cermin kegagalan dakwah Nabi
Nuh? Juga apakah bencana-bencana besar yang menghancurkan masyarakat Nabi Hud, Nabi
Shaleh atau Nabi Luth adalah raport merah yang membuktikan kegagalan perjuangan beliau-
beliau?
Jelas bahwa cita-cita para Rasul itu tidak tercapai, tetapi itu tidak sama dengan kegagalan
Demikian tausiyah Ustadz Markesot.
Jelasnya, demikian cara Markesot menghibur dirinya sendiri, membesar-besarkan hatinya yang
layu.

Daur (57)
Tidak Tega Kepada Nabi Isa

Bagaimana mungkin Markesot bisa tahan untuk tidak mencari Kiai Sudrun. Hatinya sangat lemah.
Ia tidak tega kepada Indonesia khususnya, dan kepada seluruh Bangsa Negeri Khatulistiwa
umumnya.
Anak bungsu yang bernama Indonesia ini sedang sangat yatim seyatim-yatimnya. Hampir sama
sekali tidak ada yang memperhatikannya, tidak ada yang sungguh-sungguh mengurusi sandang
pangan papannya, tidak ada yang mengayomi hatinya, mendidik pikirannya dan melindungi
jiwanya.
Untung saja Indonesia ini anak yang tangguh, berkat bakat liarnya yang luar biasa. Kekurangan-
kekurangan dalam penghidupan tidak bisa membuat mereka merasa benar-benar kekurangan.
Ketidakcukupan bisa mereka cukup-cukupkan. Kalau ada uang seterbatas apapun di tangan
mereka, mereka selalu bilang cukup. Kalau uangnya kurang dari itu mereka tetap saja bilang
cukup. Dan kalau secara nalar uang di tangan mereka sebenarnya sama sekali tidak cukup, mereka
bilang bismillah dicukup-cukupkan.
Andaikan terjadi kiamat kecil, tanah di bumi kering kerontang, angin merobohkan semua
pepohonan, gempa meluluhlantakkan tempat-tempat tinggal mereka, air sembunyi ke dalam perut
bumi, panas matahari membakar ubun-ubun dan seluruh jiwa mereka, percayalah mereka adalah
kumpulan manusia yang tertangguh di seluruh permukaan Bumi. Dan bekal ketangguhan serta
daya hidup mereka adalah bismillah.
Penderitaan sudah puluhan tahun geleng-geleng kepala karena tidak sanggup membuat mereka
menderita. Kesengsaraan merasa miris untuk bergaul dengan mereka karena ujung-ujungnya si
kesengsaraan ini ditertawakan oleh mereka. Mereka juara tersenyum dan tertawa dalam kontes
peradaban di dunia.
Mereka diyatimkan seyatim-yatimnya oleh Lembaga Negara, oleh konstitusi dan sistem yang
diberlakukan oleh segelintir orang, oleh managemen nasional yang menamakan dirinya
pembangunan, perkembangan, kemajuan, move on. Bahkan dieksploitasi. Nama mereka dijadikan
ayat legalisasi proyek-proyek kepentingan pribadi dan golongan. Mereka diperdaya oleh pidato-
pidato dan pernyataan-pernyataan. Dikibuli oleh informasi. Dijebak dalam komunikasi. Dibodohi
pengetahuannya dan dikempongi akalnya.
Mereka memilih dan menggaji sejumlah orang diangkat jadi Pemerintah untuk menangani
keadilan dan kemakmuran mereka, tetapi pada kenyataannya Pemerintah yang selalu mereka
tolong. Mereka menambal setiap kebocoran yang ditimbulkan oleh Pemerintahnya. Mereka dan
anak cucu mereka yang membayar utang-utang rakus ngawur yang diselenggarakan oleh
Pemerintahnya.
Mereka memilih dan membayari Pemerintah yang tidak bekerja untuk membentang peluang
seluas-luasnya bagi pekerjaan dan penyejahteraan mereka. Mereka harus kreatif mencari,
menemukan dan membangun pekerjaan mereka sendiri, kemudian Pemerintah datang terus
menerus untuk mengawasi mereka, menghisap pajak demi pajak di setiap langkah mereka.
Kalau mereka melakukan kesalahan, Pemerintahnya bertindak setegas Malaikat yang tidak pernah
bersalah. Kalau Pemerintah yang salah, mereka harus memaklumi, memaafkan, meskipun tanpa
Pemerintah mereka minta maaf.
Di segala bidang Pemerintah yang mereka pilih menjalankan ketidakpercayaan kepada rakyatnya,
mengawasi usaha mereka, mengincar kemungkinan pemerasan dan penghisapan, mencurigai
kreativitas mereka, mengontrol identitas dan perilaku mereka.
Pemerintah pilihan mereka sangat rajin menunjukkan tindakan-tindakan yang dasarnya adalah
ketidakpercayaan kepada mereka, seolah-olah si Pemerintah itu pihak punya kualitas dan akhlak
yang bisa dipercaya.
***
Akan tetapi ketangguhan mental dan kedahsyatan daya hidup mereka ternyata tidak mengurangi
rasa tidak tega Markesot.
Saya bukan pejuang kemakmuran hidup di dunia, kata Markesot, konsentrasi saya adalah
berlangsung tidaknya keadilan. Keadilan adalah gelombang yang sanggup melampaui waktu, arus
nilai ruh yang memancar dari dalam jiwa manusia. Manusia memasuki keabadian dengan tiket
keadilan, sebagian dari kesejahteraan, tapi tidak dengan kemakmuran
Maksudnya?
Keadilan itu rohaniah utuh. Kesejahteraan ini separo jasad separo roh. Kalau kemakmuran itu
materialisme, dan materialisme itu lebih pendek usianya dibanding umur manusia yang
menikahinya
Banyak orang biasanya tidak mau terus mendengarkan penjelasan Markesot kalau sudah mulai
ruwet. Markesot itu, kata sebagian orang, tampil seolah-olah seorang Sufi, tapi jangan dipercaya,
sebab itu semata-mata karena ia miskin. Supaya tidak terlalu rendah diri oleh kemiskinannya,
maka ia berlagak sufistik.
Kalau boleh berterus terang, Markesot menjelaskan tentang adil makmur, menatap kasunyatan
hidup termasuk memotret fungsi peradaban para Rasul dan Nabi dari sisi dan jarak pandang yang
berbeda, fungsi pertamanya adalah menghibur dirinya sendiri.
Ya dirinya sendiri yang miskin itu.
Tetapi kalau dia kita tabrak dengan pernyataan itu, Markesot akan lincah menjawab bahwa
hiburan yang terbatas dan berhenti untuk diri sendiri adalah hiburan yang curang. Hiburan yang
tidak fair , tidak rasional, tidak ilmiah. Alih-alih hiburan sejati.
Kecuali, Markesot memperkuat alasannya, apabila manusia sanggup menciptakan dirinya
sendiri, membangun fasilitas alam semesta sendiri, membeber bumi dengan kesuburan dan
kekayaannya sendiri, kemudian menjalani hidup pun ia sendiri. Tapi kan tidak? Mana mungkin itu
terjadi.
***
Maka sebaiknya perluas kesabaran menghadapi jenis makhluk seperti Markesot ini. Anggaplah ia
tlethong lembu yang menjijikkan, tapi siapa tahu ia bisa berguna untuk dijadikan rabuk bagi
tanaman di kebun atau sawah kita.
Dengarkan saja. Siapa tahu ia termasuk yang Tuhan maksudkan di dalam rekomendasinya kepada
ummat manusia, bahwa tanda orang yang mendapatkan hidayah adalah yang mendengarkan
perkataan-perkataan, kemudian memilih yang terbaik untuk diwujudkan menjadi lelaku.
Hal-hal tentang Adil Makmur itu menghibur Markesot semata-mata karena membukakan harapan
atas masa depan Negeri dan Bangsa Khatulistiwa. Kalau Tuhan tidak menggariskannya untuk
turut membangkitkan dan mengalami kenikmatan realitas Adil Makmur Negeri Nusantara,
sekurang-kurangnya yang Markesot mimpikan tentang itu sendiri sudah sangat indah.
Dan sesudah Markesot mempersembahkan jiwa dan kehidupannya untuk niat mulia bagi Negeri
dan Bangsa Khatulistiwa, tercapai atau tidak, maka nikmatnya berniat mulia itu sah untuk menjadi
hak pribadinya.
Markesot pernah berkata, Saya tidak punya kekuatan dan ilmu untuk mengatasi masalah-masalah
bangsa kalian, sebagaimana kalian juga tidak memiliki bekal-bekal jasmani rohani yang
mencukupi untuk mengatasi masalah-masalah kalian.
Bahkan sekedar merumuskan komplikasi dan multi-lipatan masalah saja kalian semakin
kelabakan. Lebih dari itu semakin lama kalian semakin tidak merasakan dan mengetahui bahwa
sebenarnya kalian sedang dikungkung oleh masalah-masalah
Kalian tertawa-tawa dan hidup sangat tenang, bermain-main, bertamasya, berpesta, bersorak-
sorak, seolah-olah kalian tidak sedang menghadapi sesuatu yang tingkat penghancurannya sangat
tinggi dan serius.
Sungguh tidak normal. Markesot yang hidupnya penuh kesedihan dengan pergi ke mana-mana
dengan wajah yang penuh kesunyian, merasa tidak tega kepada Bangsa yang hidupnya penuh
senyum dan tawa, yang tenang, optimis, dan tidak mencerminkan kecemasan apa-apa untuk hari
ini maupun masa depannya.
Pernah ada yang mengajukan kepada Markesot pertanyaan yang agak mendalam, terutama apa
maksudnya tidak tega kepada Bangsa Negeri Khatulistiwa. Markesot menjawab,
Jangankan kepada Bangsamu, kepada Nabi Isa saja pun saya tidak tega. Tuhan sudah pasti tidak
marah kepada beliau, tetapi jangan dipikir beliau sendiri tidak mendalam kesedihannya merasakan
posisinya.
Lho aneh. Kan beliau itu Nabi, pasti Tuhan menganugerahinya kekuatan, keistimewaan dan
perlindungan.
Ya tapi kan beliau manusia seperti kita semua. Tuhan menciptakan manusia untuk saling
menyayangi dan tidak tega satu sama lain.
Daur (58)
Markesot Patah Hati

Rasa tidak tegaan yang terlalu cengeng dan bekal hidup berupa rasa bersalah di dalam jiwanya
kepada Tuhan yang terlalu dimendalam-mendalamkan, membuat Markesot mengambil kuda-kuda
rohani dan takaran sosial seolah-olah ia seorang Nabi, atau sekurang-kurangnya seorang Wali.
Tetapi sama sekali tidak dengan bekal ilmu, kekuatan mental, kualitas rohani dan kecerdasan
sejarah sebagaimana layaknya Tuhan menganugerahkan kepada utusan-utusan-Nya. Markesot
bahkan bukan orang istimewa yang memiliki keunggulan atas sesama orang awam pun. Markesot
tidak punya keunggulan ilmu, pengetahuan, kepandaian atau kehebatan-kehebatan apapun.
Aslinya terus terang bahkan Markesot tidak cukup berpendidikan. Di Pesantren hanya satu-dua
tahun, sekadar diajari alif ba ta ditambah beberapa mahfudlat dan satu dua ayat dan hadits. Jangan
sekali-sekali mempersoalkan apakah dia belajar Kitab Kuning, mengetahui khazanah ilmu-ilmu
agama dari abad ke abad, atau apakah dia mengerti nahwu sharaf. Sebab jawabannya sangat terang
benderang: sama sekali tidak.
Sesekali ada yang mempersoalkan kenapa dengan penguasaan yang sangat minimal atas hal-hal
yang menyangkut Agama kok dia sering bicara tentang Kitab Suci, sirah Nabi, hadits Rasul dan
yang sekitar-sekitar itu. Markesot menggerundal:
Lha wong Nabi Muhammad saja diumum-umumkan sebagai Nabi annabi al-ummiyyi atau
disebut buta huruf. Apalagi saya. Untungnya ke- ummiyyi -an Nabi itu melindungi beliau dari
informasi yang artifisial, membentengi beliau dari pengaruh dan potensi peniruan atas ilmu-ilmu
yang sudah ada sebelumnya, serta memerdekakan beliau dari intervensi dan kontaminasi bahan-
bahan yang mengepung beliau dari lalu lintas komunikasi dan informasi sejarah. Kebutahurufan
beliau itu membuat semua yang terungkap dari diri beliau selalu otentik, orisinal, asli, sejati, baik
yang berasal dari pengajaran dan wahyu Tuhan maupun yang diperkenankan Tuhan lahir dari
ketajaman berpikir dan kecerdasan akal beliau
***
Akan tetapi Markesot lupa bahwa tak akan ada seorang pun yang berpandangan bahwa yang ia
ceritakan tentang Nabi Muhammad itu juga merupakan fenomena yang terjadi pada dia. Markesot
bukanlah apa-apa, apalagi siapa-siapa.
Untung Markesot tidak berkata atau berlaku berlebihan, juga sama sekali tidak mengikat siapapun
yang mendengarkannya, sehingga ia tidak sampai dituduh sebagai Nabi palsu. Ia tidak peduli
dipercaya atau tak dipercaya. Ia mengungkapkan sesuatu tapi tidak berkeberatan orang yang
mendengarkan menolaknya. Ia tidak mempengaruhi siapa-siapa. Tidak menghimpun orang untuk
jadi anak buahnya. Ia hanya berteman dan sangat kuat mengikatkan tali persahabatan dan
persaudaraan.
Dan yang paling menyelamatkan nasib sosial Markesot adalah karena seseram apapun ia bicara, di
ujungnya hampir selalu ia meremehkan dan mentertawakan sendiri semua yang diungkapkannya.
Markesot termasuk pakar dalam hal mengejek diri sendiri. Sangat pandai berkalakar, melucu dan
merendahkan dirinya. Sepandai ia menjunjung setiap orang di sekitarnya, meskipun terkadang
junjungan yang ia lakukan diam-diam mengandung ejekan dan kritisisme yang sangat menohok
namun tak dirasakan oleh yang bersangkutan.
Markesot tidak menjadi masalah bagi siapapun, karena toh kebanyakan orang tidak pernah benar-
benar mempercayainya. Terkadang Markesot tampak seperti seorang yang terdidik secara modern,
tapi barangsiapa berpengalaman dalam pendidikan modern, tidak mungkin mempercayainya. Di
saat lain Markesot kelihatan seperti seseorang yang berasal dari perguruan tradisional yang
misterius dan penuh dimensi, tapi siapapun yang di dalam dirinya terdapat pengalaman dan
pengetahuan tradisional, takkan tergiur oleh Markesot.
Sehingga ketika Markesot diketahui sedang bersiap-siap sangat serius untuk pergi mencari Kiai
Sudrun, kebanyakan orang di sekitarnya juga tidak terpesona. Itu hanya semacam angin lalu dan
isu enteng-entengan saja.
***
Padahal Markesot sendiri sebegitu dramatis dengan tekadnya mencari Kiai Sudrun, yang katanya
demi keselamatan masa depan Bangsa Negeri Khatulistiwa.
Aneh-aneh, kata seorang sahabatnya Sapron yang kebetulan datang ke Patangpuluhan, Apa itu
Negeri Khatulistiwa. Khatulistiwa kan sabuk bumi. Tidak hanya melintasi kepulauan Nusantara,
tapi mengelilingi seluruh bulatan bumi. Negeri Khatulistiwa mestinya ya meliputi seluruh jalur
tengah bumi
Biar saja, biasa, Cak Sot selalu melebih-lebihkan atau menganeh-anehkan sesuatu yang
sebenarnya biasa-biasa saja, sahut Sapron.
Kenapa sih dia seperti enggan menyebut kata Indonesia?
Nggak ah. Kadang-kadang Cak Sot menyebut Indonesia juga kok
Apa karena nama Indonesia itu bukan bikinan bangsa yang bernama, atau dinamai, atau
menamakan diri Indonesia?
Ah, Cak Sot tidak pernah bicara begitu-begitu. Mungkin karena sangat sedih karena dia patah
hati kepada Indonesia. Tapi Cak Sot memang suka bikin istilah-istilah sendiri. Dia sering
mengecam saya, Pron, kamu ini saya kasih tahu kok tidak mengaku
Lho
Ndak tahu asal-usulnya. Kata mengaku itu maksudnya percaya
Ah, ndak lucu
Saat lain Cak Sot bilang Saya ini cemburu pada stang piston mobil ini. Yang dimaksud cemburu
itu curiga
Ah, ndak mutu. Itu main-main tapi tidak lucu
Sampai sekarang saya belum mampu menafsirkan kenapa kata percaya diganti ngaku dan kata
curiga diganti cemburu Mungkin ada hubungannya dengan ulang-alik kemunafikan yang
parah antara denotasi dengan konotasi dalam pemahaman bahasa kita
***
Kapan-kapan siapa saja yang kebetulan berjumpa dengan Sapron, tolong tanyakan apa maksudnya
ulang-alik kemunafikan yang parah antara denotasi dengan konotasi dalam pemahaman bahasa
kita, dijamin Sapron tidak paham. Paling-paling itu copy-paste dari mulut Markesot. Dan jangan
lupa, Markesot sendiri kemungkinan besar juga tidak paham. Mulutnya bisa jadi asal
mecothot saja.
Namun demikian Markesot sangat bersungguh-sungguh dengan niatnya mencari Kiai Sudrun. Ia
menjadi sangat dramatis di dalam dirinya sendiri, meskipun sang Negeri Khatulistiwa tidak
tergerak sehelai rumputnya pun oleh dramatika jiwa Markesot.
Markesot merasa hatinya kosong. Ia menemukan dirinya adalah jiwa yang ruangnya hampa. Tak
berisi apa-apa kecuali dua hal. Yakni seonggok kesedihan rasa bersalah kepadaTuhan, pikiran
yang penuh sesak oleh rumusan permasalahan Negeri Khatulistiwa. Serta pendaran-pendaran
gelombang kerinduan yang perih dan penantian yang amat sunyi atas hadirnya kasih sayang dan
pertolongan Tuhan terhadap Bangsa Negeri Khatulistiwa.
Padahal Bangsa yang menghuni Negeri Khatulistiwa tidak merasa ada apa-apa dan tiap siang dan
malam tertawa-tawa saja.
Tapi Markesot bagaikan penyair remaja. Bajunya angin, celananya bumi, topinya langit, jaketnya
alam semesta. Tak sehelai rambut pun di kepalanya yang ia potong, seakan-akan merupakan
pertanda waktu hingga entah kapan nanti ia akan memergoki Kiai Sudrun di suatu titik silang
antara ruang dan waktu.
Seolah-olah Kiai Sudrun itu siapa. Padahal Bangsa Negeri Khatulistiwa pun kebanyakan tak
mengenalnya dan tak pernah mendengar namanya.
Kiai Sudrun silakan seandainya Sampeyan bisa memadamkan listrik seluruh kota dengan satu
tepukan tangan, saya akan tetap kejar. Tidak akan membuat saya mengurungkan tuntutan terhadap
tanggung jawab Sampeyan, meskipun kabarnya Sampeyan bisa menggulingkan kereta api dengan
meletakkan sepuntung rokok di relnya, atau mampu merontokkan bebuahan seluruh kebun dengan
hentakan kakinya, serta bahkan pun sanggup membakar gedung-gedung besar dengan sorot mata,
itu tak akan membatalkan gugatan bumi langit saya kepada Sampeyan
Ampun. Ampun. Siapa paham bicaranya Markesot itu.

Daur (59)
Dilarang Memahami Markesot

Sapron mengatakan kepada temannya bahwa pernyataan terbaik yang pernah diungkapkan oleh
Markesot selama puluhan tahun ia bergaul dengannya adalah Dilarang memahami Markesot.
Kok dilarang?, temannya bertanya.
Mungkin aslinya Cak Sot menganjurkan agar siapa saja tidak harus atau tidak perlu mencoba
memaham-mahami omongan dia
Lha ya kok redaksinya berbunyi dilarang?
Supaya lebih mencolok perhatian. Kan orang zaman sekarang tidak bisa tersentuh oleh anjuran.
Larangan saja banyak dilanggar kok
Apa haknya melarang-larang orang?
Kita ambil saja sisi positifnya: Cak Sot ingin melindungi semua orang agar jangan terjebak
keruwetan pikiran gara-gara mencoba memahami penjelasan-penjelasannya
Kalau orang dilarang memahami, kenapa dia omong?, temannya terus bertanya.
Sapron meladeni semampu-mampunya.
Cak Sot pernah ngobrol sama saya. Kata dia omongan itu seperti tanaman. Masuknya kata,
kalimat atau susunan makna dari mulut orang ke telinga dan otak atau roso kita itu bersifat seperti
bermacam-macamnya biji tanaman
Ah, sok filosofis memang ya dia itu, sela temannya.
Kata Cak Sot orang hidup tidak bisa mengelak dari filsafat, meskipun tidak setiap orang perlu
menjadi ahli filsafat. Narik becak saja harus ada landasan filsafatnya, yang tercermin pada
pemahamannya kenapa dia narik becak, niatnya apa, manfaatnya apa. Filsafat itu kan akar ilmu.
Kalau kita narik becak tanpa fisolofi hidup yang jelas, misalnya niat mensyukuri anugerah badan
sehat atau mencari nikmatnya membanting tulang untuk menghidupi anak istri, kita jadi mudah
lelah
Memang Cak Sot pernah mengalami narik becak?
Bukan di situ letak masalahnya. Tapi pada keputusan filosofis setiap orang ketika melakukan
sesuatu. Terserah apa narik becak, menanam jagung, membengkeli motor, menjahit topi,
membangun gedung, mendirikan pabrik, atau apapun, pangkal filosofinya itu yang akan ikut
menentukan segala sesuatu yang akan terjadi pada dia, di luar takdir Tuhan
Lha maksudnya omongan itu sama dengan benih tanaman itu apa?
Kalau ada kata-kata atau kalimat-kalimat yang masuk ke otak kita, sifatnya berbeda-beda. Ada
yang langsung bisa dinikmati. Ada yang seperti rumput, nunggu dua tiga hari baru tumbuh
maknanya. Ada yang tiga empat bulan baru berbuah seperti jagung. Ada yang bertahun-tahun,
bahkan puluhan tahun, seperti pohon jati, baru orang yang dimasuki kata-kata itu menemukan
maknanya
Ya, paham kalau cuma itu. Tapi siapa yang mengurusi tumbuh tidaknya, bersemai tidaknya, atau
berbuah tidaknya kalimat-kalimat itu menjadi makna hidup?
Saya juga pernah menanyakan itu kepada Cak Sot. Kata dia yang menentukan ya akal pikiran
orang itu sendiri. Kalau dia membiasakan otaknya bekerja, ya mungkin akan dapat makna. Tapi
kalau dia malas memutar otaknya, apalagi sampai akal pikirannya membeku, ya kata dan kalimat
yang masuk itu akan hanya menjadi sampah
Kan tidak mungkin otak membeku
Ya mungkin tidak sampai beku, tapi nganggur. Kata anak sekarang, tidak
loading . Mesin berpikirnya karatan
Tapi buktinya banyak orang pikirannya biasa-biasa saja bisa sukses hidupnya. Banyak orang
tidak pinter bisa kaya. Banyak orang tidak intelektual tapi berperilaku baik, sementara yang
pandai-pandai malah sibuk dengan kesombongannya sebagai orang pandai
Itu bab berikutnya
Apakah makna itu penting? Apakah pemahaman terhadap kehidupan itu perlu? Buktinya
pemimpin-pemimpin kita makin lama makin tidak dipersyarati oleh matangnya pemahaman
terhadap kehidupan. Orang bikin Sekolahan dan Universitas, tapi di puncaknya mereka memilih
pemimpin tertinggi dengan tidak mempedulikan hasil Sekolahan dan Universitas. Pemimpin
tertinggi kita makin lama makin kurang berpendidikan, baik pendidikan sekolahan maupun
pendidikan kehidupan yang di luar itu dan lebih luas dari ilmu persekolahan
Ternyata diam-diam kamu terpengaruh oleh omongan-omongan Markesot juga rupanya
Ndak dong. Tidak perlu seorang Markesot untuk menemukan kenyataan seperti itu. Kuli-kuli
pasar saja tahu bahwa makin lama pemimpin-pemimpin itu makin tidak bermutu, makin tidak
jelas ukuran untuk layak menjadi pemimpin
Cak Sot sangat banyak bicara tentang kepemimpinan. Tapi yang kita bicarakan sekarang kan
justru dilarang memahami Markesot, terlebih-lebih lagi bab kepemimpinan
Kalau dilarang memahami ya mending tidak usah mendengarkan
Lho dengarkan saja, itu lebih menguntungkan
Ndak nalar kamu ini
Kita memang tidak perlu mendengarkan, apalagi memahami. Cukup mesin memori otak dan
perasaan jiwamu saja yang mendengarkan, kita bisa tetap main gaple
Gimana itu
Cak Sot pernah menasihati saya, Kamu tidak perlu berpikir. Wakilkan kepada otakmu untuk
berpikir, dan ucapkan di batinmu terima kasih kepada Tuhan yang telah selalu memperbantukan
gelombang akal-Nya membantu otak kita untuk mengolah nilai-nilai
Aduh filsafat lagi
Maka puluhan tahun saya dengarkan terus apa saja yang nyerocos dari mulut Cak Sot. Dia pernah
membisiki mungkin kalimat-kalimatnya bukan almari besi yang berisi emas berlian intan dan
tumpukan uang. Mungkin ada di antara seribu kalimatnya, terdapat satu kata atau kalimat yang
ternyata adalah kunci untuk membuka almari besi itu
Ya kalau ya. Kalau tidak?
Ya siapa tahu ya
Sangat spekulatif dong
Semua hal dalam hidup ini ya spekulasi, kecuali yang sudah terjadi. Padahal begitu terjadi, ia
langsung menjadi masa silam. Yang kita hadapi setiap detik adalah sesuatu yang kita belum tahu,
sehingga posisi kita selalu adalah spekulasi. Lha supaya spekulasi itu tidak membosankan dan
membuat kita putus asa, kita wujudkan menjadi usaha terus-menerus, kerja keras dan doa kepada
Tuhan
Doa ya kepada Tuhan, mosok kepada tukang patri
Lho jangan lupa ada lho sejumlah orang yang memperlakukan Cak Sot seperti Tuhan. Butuh
warungnya laku datang ke Cak Sot, bukan berdoa kepada Tuhan
Ah, itu kan cuma minta urun doa, minta bantuan agar Cak Sot juga ikut mendoakan
Tapi nanti kalau warungnya tetap tidak laku Cak Sot yang disalahkan, karena mustahil dia berani
menyalahkan Tuhan
Memang sih banyak orang datang ke Kiai atau Ulama, tapi muatan di dalam hatinya adalah
medukun . Diam-diam memperlakukan Kiai itu sebagai dukun. Jadi konstruksi hubungannya
berbeda dengan hubungan Kiai-Santri yang seharusnya. Kalau Kiai-Santri itu urusan pembelajaran
hidup menuju dan dalam lingkup ridlo Tuhan. Kalau medukun itu membawa hajat yang
semestinya dibawa langsung ke Tuhan, tapi dibawa ke Kiai, karena menyimpulkan bahwa si Kiai
itu orang dekatnya Tuhan
Jelas sekarang bahwa meskipun kamu tampaknya banyak membantah Cak Sot, tapi kamu diam-
diam menjadi murid tekun-nya Markesot
Itu jelas fitnah. Saya tidak pernah paham kepada Markesot
Makanya tadi saya bilang ke kamu pernyataan Dilarang Memahami Markesot, supaya kamu
merasa lebih aman. Untuk apa memahami Cak Sot. Dia cuma Ahli Dubur.

Daur (60)
Markesot Ahli Dubur

Yang dimaksud Markesot Ahli Dubur awalnya hanyalah pengetahuan tentang motor atau mobil.
Markesot bilang untuk mengetahui kebenaran mesin, kita tidak perlu membuka kapnya,
memeriksa seluruh peralatannya, apalagi membuka-buka detailnya, menganalisisnya, mengukur-
ukurnya, dengan metode dan kriteria yang tepat atau belum tentu tepat dengan fakta mendasar
kebenaran mesin itu.
Kebenaran mesin maksudnya adalah kualitas per onderdilnya, ketepatan penempatannya, presisi
konstruksinya, kelancaran putarannya dan maksimalitas hasil kerjanya.
Kalau mendengar kata kebenaran kata Markesot jangan lantas hanya berasosiasi ke Kitab Suci,
ucapan Nabi, buku filsafat atau pelajaran-pelajaran Sekolah dan Pesantren. Sebutir kacang juga
hadir dengan dan karena kebenarannya sebagai butir kacang. Seekor cacing bertempat tinggal di
dalam kebenarannya sebagai cacing. Sezarrah debu tak bisa beterbangan atau hinggap di tembok
kalau tak disertai oleh kebenaran hakiki dan syari jasadiyahnya sebagai debu.
Kebenaran bukan hanya berada di genggaman kaum Ilmuwan dan Ulama. Kebenaran adalah juga
hakikat utama setiap makhluk hidup maupun benda-benda. Kebenaran tidak hanya melandasi
bagaimana seorang kuli memanggul barang, tapi juga wajib adanya pada barang yang dipanggul,
pada cara si kuli memanggul, pada cara kakinya berkuda-kuda dan melangkah, termasuk pada
keputusan si kuli tentang di lokal lantai atau tanah sebelah mana ia memijakkan telapak kakinya
dari langkah ke langkah.
***
Kebenaran dalam ilmu bukan monopoli ilmuwan. Kebenaran kandungan Agama bukan kuasa
Ulama.
Kebenaran dalam negara tidak boleh didominasi oleh Pemerintah. Kebenaran dalam demokrasi
bukan hanya milik para pakar demokrasi. Kebenaran yang dianugerahkan Allah untuk mengakari
penciptaan semua makhluk adalah berada pada semua makhluk itu.
Bahwa hampir setiap penguasa punya kebiasaan untuk merebut kebenaran umum dipersempit
menjadi kebenaran lokal-subyektif mereka, itu adalah sumber konflik antara para penguasa
dengan Tuhan.
Dan Tuhan selalu membuka tangan lebar-lebar, mempersilakan makhluk-makhluknya siapa saja,
di mana saja, kapan saja, untuk menyelenggarakan pertengkaran melawan Tuhan. Barangsiapa
mau setia kepada-Ku, setialah. Barangsiapa mau berkhianat kepada-Ku, berkhianatlah.
Jadi bagaimana kebenaran mesin motor atau mobil? Menurut Markesot lihat duburnya.
Maksudnya tentu knalpotnya. Lihat apa yang keluar dari dubur motor itu. Asap hitam, asap putih,
disertai jenis suara atau geraman tertentu.
Kalau yang keluar dari dubur motor adalah tetesan-tetesan air, meskipun mungkin dibarengi
sedikit asap, juga suara knalpot yang sopan dan rendah hati, maka itulah kebenaran mesin motor.
Sejak Markesot memandu Sapron menata kebenaran mesin motor dan mobil, dan menegas-
negaskan keluaran di duburnya, orang-orang di sekelilingnya menjuluki Markesot sebagai Ahli
Dubur.
***
Kalau Anda punya motor, menaikinya tiap hari untuk pulang pergi bekerja, mengantarkan anak ke
sekolah, mengawal istri berbelanja, atau mungkin sebagian dari Anda memakai motor itu sesekali
untuk pergi ke tempat yang Anda jaga jangan sampai diketahui oleh istri dan keluarga Anda,
Markesot punya saran, meskipun tanpa menyetujui hal yang terakhir yang istri Anda tidak boleh
tahu itu.
Saran Markesot adalah, naiki dan nikmatilah motormu, kuasai bagaimana mengendalikannya,
pahami sedikit pengetahuan standard tentang mati hidupnya mesin, membesarkan mengecilkan
saluran bensin, nyetel stasioner, bongkar pasang roda dan beberapa kebisaan elementer. Tetapi
Anda tidak perlu mencari tahu terlalu jauh
Tidak usah mencari pengetahuan tentang siapa saja nama orang-orang yang dulu bertugas
memasang alat-alat sehingga menjadi motor Anda. Siapa penemu awal teknologi motor itu. Siapa
pemegang hak patentnya. Namanya siapa, punya anak berapa, kelahirannya kapan, alamatnya di
mana, di desa atau kota, RT RW RK berapa, hobinya mancing atau medsosan
Apalagi mempelajari sampai detail tentang bahan logam apa saja yang dipakai untuk
mengkonstruksi motormu. Sasisnya logam apa, bempernya, roda dan jerujinya, kaca spionnya
dibikin sendiri oleh pabrik motor atau pesanan dari pabrik kaca. Kalau ternyata pesanan, siapa
pemilik pabrik kaca itu. Modal perusahannya dari warisan keluarga atau pinjam uang dari Bank.
Si pemilik perusahaan itu punya penyakit apa, sudah berobat ke dokter mana, pengobatannya
medis modern atau tradisional
Anda juga tidak perlu meneliti peta pasar motor internasional. Yang paling laku di Negara mana.
Bagaimana sistem pembelian atau pengkreditan yang diselenggarakan. Ketika perusahaan motor
itu mengeksport produk motor mereka ke sini, pakai nyogok pejabatnya atau tidak. Kalau nyogok,
berapa. Nyogok sekali atau setiap kali memasok motor-motor. Yang disogok satu pejabat atau
banyak, satu kantor atau banyak, satu pintu atau semua pintu. Bagaimana uang sogokan itu
dituliskan di buku manajemen perusahaan, diletakkan di lajur CSR, zakat, infaq, shadaqah atau
uang iseng atau apa klausul lainnya
Adapun pejabat yang disogok, diteliti bagaimana penerapan uang sogokan itu dalam keuangan
keluarganya. Apakah istri dan anak-anaknya tahu. Apakah uang haram itu dipakai untuk beli beras
dan lauk untuk dimakan sekeluarga, serta dibelikan susu untuk diminum bayinya. Apakah
sebagian uang sogokan itu dipakai untuk menyumbang pembangunan Masjid atau Gereja atau
Kuil. Atau mungkin menyumbang khitanan massal. Dipakai untuk biaya umroh, membelikan
semen dan genteng untuk pembangunan gedung Pesantren. Atau untuk membeli sekian ratus
mushaf Al-Qur`an dan dibagi-bagikan ke Madrasah Penghapalan Qur`an. Dan banyak
kemungkinan lagi, yang memerlukan seribu halaman lagi untuk dituliskan
***
Kata Markesot, penelitian dan pengetahuan yang berderet-deret dan bertumpuk-tumpuk di atas itu
adalah wilayah kewajiban kaum ilmuwan dan para ahli Tafsir.
Kalian dan kebanyakan orang tidak menanggung kewajiban semacam itu, dan tetap berhak
memakai motor, menaikinya, mendayagunakan dan menikmatinya
Sebagian dari manusia dianugerahi oleh Tuhan kemampuan menggali ilmu sehingga mereka
bekerja sebagai Ahli Analisis dan Interpretasi, alias
Mufassir atau Ahli Tafsir. Kebanyakan manusia termasuk kita-kita ini mungkin memang tidak
disuruh oleh Tuhan untuk menjadi Mufassir. Kita semua sekedar Mutadabbir. Orang yang ber-
tadabbur . Orang yang men-
tadabbur -I Al-Qur`an
Apakah mereka tidak men-tadabbur-i Qur`an, ataukah hati mereka terkunci? Tuhan
memfirmankan itu di surah Muhammad kekasih-Nya. Firman itu berupa pertanyaan, padahal kan
tidak mungkin Tuhan bertanya. Bentuk pertanyaan itu mestinya semacam retorika atau strategi
komunikasi untuk lebih menonjok ke hati dan pikiran pihak yang difirmani
Kata Markesot, kalau tafsir, syaratnya adalah pencapaian kebenaran ilmu dan pengetahuan. Kalau
tadabbur , kriterianya adalah bertambahnya kebaikan dan iman pada diri manusia.
Kalau tadabbur, ayatnya jelas di Surah Muhammad, kata Markesot, Kalau tafsir, saya belum
tahu mana ayatnya, saya cari belum ketemu

Daur (61)
Tadabbur, Dubur, Knalpot Akhlaq
Kalian punya hak untuk mengucapkan, melakukan dan menikmati Bismillahirrohmanirrohim,
Hasbunallah wa nimal wakil, nimal maula wa nimannashir , alfatihah seutuhnya, ayat-ayat
apapun di surat apapun dan tentang apapun, tanpa kalian wajib tahu asbabun-nuzul -nya, asal-usul
kalimat itu, ayatkah atau haditskah atau wisdom para Ulamakah. Yang menjadi ukuran adalah apa
yang keluar dari dubur kehidupanmu
Kalian sebagai tukang becak dan kuli pasar tidak tahu bahasa Al-Qur`an, tidak menguasai
epistemologinya, tidak mungkin melakukan pembelajaran tentang asal-usul ayat ini itu, tidak
mengerti Makiyah atau
Maddaniyah , tidak paham Kitab apapun yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat itu, tidak pernah
melihat atau mendengar apa yang ditulis dan dikatakan oleh para Ulama Ahli Tafsir. Tetapi wahyu
Tuhan itu untuk kalian semua, tidak hanya untuk Nabi dan Ulama-Ulama penerus Nabi. Untuk
setiap orang dari kalian, dan pasti berlaku untuk setiap detail kehidupan dan penghidupan kalian di
tempat kerja, di rumah, di jalanan, di gardu, di warung, di tempat pemancingan, di jalur ronda
malam dan di manapun
Al-Qur`an dan kehidupan ini dihamparkan Tuhan tidak dikhususkan untuk Nabi dan Ulama,
apalagi hanya untuk dikuasai dan dimonopoli oleh Ulama Tafsir. Kalian beli beras untuk makan
anak istri saja belum tentu bisa, bagaimana mungkin pergi ke toko buku membeli Kitab Ulama
Al-Qur`an dan kehidupan bukan monopoli Nabi dan Ulama. Beliau-beliaulah yang menyangga
kewajiban untuk mengantarkan Al-Qur`an kepada kalian semua dengan bahasa, cara dan tawaran
pelaksanaan yang semudah-mudahnya. Kalian juga sangat berhak, bahkan dianjurkan oleh Tuhan
untuk bergaul seakrab-akrabnya dengan Kitab-Nya meskipun tidak benar-benar memahami bahasa
dan maknanya. Yang penting kalian mencintainya, mempercayainya, melaksanakan dan
menikmatinya
Asalkan hasilnya adalah kalian menjadi lebih baik hidup kalian sebagai manusia, lebih dekat
kepada Tuhan, lebih mencintai Nabi, Anbiya` dan Auliya` serta para Ulama yang sungguh-
sungguh Ulama. Asalkan yang keluar dari knalpot kehidupan kalian adalah tetesan-tetesan air suci
kesetiaan, pengabdian dan cinta kepada Tuhan. Itu saja ukurannya. Sangat sederhana. Tidak harus
berilmu tinggi. Tidak wajib menguasai Al-Qur`an, karena Ulama yang paling Ulama pun mustahil
menguasai Al-Qur`an. Mosok Al-Qur`an diturunkan untuk dikuasai. Yang harus dikuasai itu
nafsu!
Demikian fatwa Ahli Dubur.
***
Dengan demikian mestinya sekarang sudah sangat jelas betapa pentingnya dubur. Ia memiliki
kemuliaan khusus karena menjadi saluran pengetahuan untuk melihat seseorang sehat atau tidak.
Jangan pernah meremehkan dubur, sebab kalau sampai ia ngambeg lantas pergi meninggalkanmu,
bagaimana hidupmu nanti. Jangan pernah membuang dubur, sebab dia bukan gundukan yang bisa
kamu potong, kamu gergaji kemudian kamu buang.
Jangan pernah mengejek dubur. Cintailah dubur, meskipun bentuk cintamu tak perlu dengan
menjilatinya. Hargailah kerendahhatian dan keikhlasan dubur, yang tidak merasa cemburu, iri,
dengki atau dendam kepada mulut. Dubur tidak mempersoalkan nasib mulut yang selalu
dipergaulkan dengan barang-barang yang enak dimakan dan diminum. Sementara nasib dubur
sendiri justru sebaliknya.
Markesot sangat sering wanti-wanti agar ummat manusia selalu tumbuhkan penghormatan dan
apresiasi terhadap dubur. Penghargaan terhadap dubur adalah kewajiban semua bangsa, semua
suku, golongan, marga dan manusia siapapun.
Barangkali ada yang pernah tahu bahwa sesuatu yang keluar dari dubur Markesot pernah dibawa
ke Laboratorium dan ditemukan kandungan Uranium. Dokter memvonis bahwa sisa usia Markesot
tinggal 3,5 bulan lagi. Tubuh Markesot dimasukkan ke dalam bendosa dan hasil potretnya dari
leher ke seluruh dada Markesot hitam legam pekat sehitam-hitamnya. Sudah tidak ada fungsi
apapun padanya. Tinggal maut, kalau menurut batas ilmu manusia.
Syukur Alhamdulillah belum pernah ada dan memang tidak ada dokter yang Tuhan. Tuhan hanya
tunggal, hanya satu-satunya, ya Tuhan itu sendiri. Dokter wajib mendiagnosis, tapi keputusan final
ada di tangan Tuhan. Andaikan ketika itu yang mendokteri Markesot ternyata adalah Tuhan
sendiri, maka 3,5 bulan itu absolut. Untungnya dalam kehidupan ini tidak ada dokter yang Tuhan.
Justru sesudah lewat 3,5 bulan badan Markesot menjadi sangat subur, sehat dan bahkan agak
gendut, wajahnya nyempluk, sampai Markesot ngeri sendiri kalau berkaca. Akhirnya Markesot
berpuasa sampai badannya normal lagi seperti semua.
Cuma ada satu hal yang belum pernah diceritakan oleh Markesot, yakni selain kehendak Tuhan,
apa yang ia lakukan sesudah vonis usia tinggal 3,5 bulan itu, sehingga batas waktunya tidak
berlaku.
***
Yang jelas, sesudah diperiksa di Lab, Markesot bersilaturahmi dengan barang keluaran yang lewat
knalpotnya itu. Berkenalan baik-baik, saling menanyakan identitas dan latar belakang masing-
masing, dilandasi dengan assalamu`alaikum dan waalaikumussalam, bersumpah saling
menyelamatkan dan menjaga keamanan satu sama lain.
Apakah kamu disuruh Tuhan untuk memasuki badan saya?, Markesot bertanya kepada
Uranium.
Uranium menjawab, Benar-benar saya minta maaf karena terlena. Sore hari menjelang Maghrib
hari itu saya kebetulan agak ngantuk, dan tiba-tiba saja saya dilemparkan masuk ke dalam leher
dan dada Sampeyan. Ketika saya sadar, beberapa onderdil tubuh Sampeyan sudah terlanjur rusak
dan hampir hancur sama sekali. Saya merasa berdosa. Saya tidak tega melihat badan Sampeyan
sampai sangat kurus, turun 26 kg. Wajah Sampeyan menjadi persis Jrangkong . Tapi saya tidak
bisa berbuat apa-apa. Saya kan cuma benda
Oo gitu, kata Markesot, Siapa yang melemparkan Sampeyan memasuki tubuh saya?
Lha Sampeyan kan sudah tahu, jawab Uranium, kan Pasukan Sampeyan sudah menyelidiki
sampai tuntas. Sampeyan sudah mencatat siapa inisiatornya, siapa korlapnya, berapa orang
eksekutornya, kapan saya dilempar
Memang sudah jelas. Tapi kan saya lebih lega kalau Sampeyan sendiri yang menginformasikan
Nanti dulu. Saya perlu tahu Sampeyan marah atau tidak kepada saya? Sampeyan memaafkan
saya atau tidak?
Lho Sampeyan kan tidak salah. Yang salah yang melemparkan Sampeyan
Tapi bagaimanapun saya adalah alat yang dipakai untuk membunuh Sampeyan
Ah, ndak masalah. Sampeyan dengan saya sama-sama korban
Sampeyan memaafkan mereka yang berusaha membunuh Sampeyan atau tidak?
Ah, ya pasti memaafkan. Jauh sebelum mereka membunuh saya, saya sudah menghalalkan di
depan Tuhan. Sudah memaafkan sepenuh-penuhnya di dalam diri saya. Malah saya tidak tega
kepada mereka. Mereka juga korban dari kerendahan akhlaqnya, kelemahan mentalnya,
kekalahannya melawan nafsu, dan terutama ketidakpahaman pengetahuan mereka terhadap saya.
Andaikan saya kaya, pasti mereka masing-masing akan saya kasih rumah dan mobil
Sebentar, sebentar, Uranium menyela, Saya heran kok badan Sampeyan bisa saya masuki?
Kabar-kabarnya Sampeyan ini agak sedikit sakti dan punya pertahanan ilmu yang sukar ditembus
Ah, fitnah itu, jawab Markesot, Yang bilang saya sakti itu pasti orang yang sayang kepada
saya. Maka dia menakut-nakuti orang supaya saya aman. Dan lagi saya tidak punya pertahanan
apa-apa. Sehingga juga pernah mempertahankan diri, dari serangan apapun, fitnah, salah paham,
ancaman, pembunuhan maupun apa saja

Daur (62)
Revolusi Tlethong

Markesot bilang kepada Sapron:


Aslinya yang saya bicarakan adalah Revolusi Tadabbur. Tapi rasanya terlalu muluk dan
mengandung ancaman, terutama bagi orang yang tidak paham. Terlebih lagi bagi yang salah
paham. Yang ancaman utama adalah bagi mereka yang menyembunyikan fenomena tadabbur,
dalam rangka mempertahankan kekuasaannya atas para pemeluk agama. Jadi, kalau omong ke
orang, bilang ini adalah Revolusi Tlethong
Maksudnya tlethong sapi, Cak Sot?
Terserah. Sapi, kerbau, apapun
Kok tlethong ?
Tidak setiap orang harus mempelajari riwayat sapi, segala sisi ilmu dan pengetahuan tentang
sapi. Bahkan kebanyakan para peternak sapi juga tak sejauh itu harus memahami. Yang perlu
mereka ketahui hanya sejumlah hal pokok: bagaimana memelihara sapi, apa makan minum sapi,
bagaimana sapi malam sapi siang, intinya cukup mengetahui bagaimana menjadikan sapi
bermanfaat bagi kehidupan
Sapron merespons, Sudah sering saya bilang ke orang-orang bahwa mereka tidak harus
memahami kalimat-kalimat Markesot secara keseluruhan, lebih tidak perlu lagi memahami
kehidupan Markesot. Cukup ambil tlethong-nya Markesot, satu kata-katanya saja, satu kalimat
atau beberapa kalimat Markesot, tanpa peduli pada kalimat-kalimat yang lain: kamu amat-amati,
kamu pikir-pikirkan dan cari kegunaannya, misalnya untuk rabuk
Sapron mengatakan kepada teman-temannya, Awalnya saya menyebut Cak Markesot itu ahli
dubur. Ternyata lebih khusus lagi: beliau itu Ahli
Tlethong
Markesot tidak usah dipahami secara menyeluruh sebagai seekor sapi. Cukup ambil sedikit
tlethong-nya. Itu pun tak harus benar-benar paham
tlethong itu apa. Asalkan tlethong itu membuat hidup kita lebih baik, hati kita lebih bersih, pikiran
kita lebih jujur, mental kita lebih tangguh, iman kita menjadi lebih kuat dan dalam, kedekatan kita
kepada Tuhan dan kekasih-Nya meningkat: itulah yang namanya tadabbur
Cak Sot bilang tadabbur bukan segala-galanya. Perlu juga tafakkur. Kalau Tuhan berkisah
tentang alam, saran-Nya adalah tafakkur, merenungkan, memikirkan, mendalami
Kalau tadabbur, itu mencari dan menemukan manfaat, meskipun pengertiannya terbatas. Jadi
kalau pakai terminologi dan metodologi dari Tuhan, kepada Kitab Suci itu tadabbur, kepada alam
semesta itu tafakkur. Tafakkur itu untuk orang pandai, cendekiawan, sejumlah orang istimewa.
Tadabbur itu untuk semua orang. Orang tidak harus pandai, tapi harus bermanfaat bagi
sesamanya
***
Revolusi Tlethong yang kandungannya adalah Revolusi Tadabbur adalah mengupayakan agar
sebanyak mungkin orang melakukan tadabbur Qur`an dalam hidupnya. Harus disebarkan
kesadaran tentang pembiasaan tadabbur. Supaya orang tidak berabad-abad merasa jauh dari
Tuhan, merasa awam dalam beragama, merasa tidak mengerti Kitab Suci Tuhan.
Memang pernah suatu kali Sapron mengejar Markesot, Kenapa kok Sampeyan sering
mengulang-ulang dan menekan-nekankan pembicaraan soal Tadabbur?
Markesot menjawab, Karena ummatmu sangat membutuhkan Revolusi Tadabbur
Maksud jelasnya bagaimana?
Saya harus bilang revolusi, meskipun prakteknya nanti cuma evolusi, itu pun bisa saja sangat
lamban
Kalau memang yang mungkin terjadi adalah evolusi, kenapa bilang revolusi?
Kalau saya pakai revolusi, hasilnya evolusi. Kalau saya pakai evolusi, mungkin tidak ada
hasilnya. Cari sembilan macam buah! Saya sebut Sembilan tapi siap yang didapatkan mungkin
hanya satu dua buah. Kalau saya bilang temukan satu buah saja, mungkin tak kan pernah ketemu
buah
Ah, Sampeyan terlalu under-estimating masyarakat kita
Nggak melihat rendah. Kita harus ambil standar sepahit mungkin dalam mengerjakan masa
depan. Kesiapan utama adalah akan gagal. Kalau berhasil, tidak perlu persiapan setinggi atau
sebesar persiapan untuk gagal
Kelihatannya Cak Sot sudah agak paranoid, selalu merasa dikejar atau dikepung oleh kegagalan
Ah, kamu berlagak pilon. Sejak dulu di Patangpuluhan kita kan tidak mengenal sukses, apalagi
gagal. Bengkel motormu akhirnya kan tutup, tapi saya tidak pernah bilang itu gagal
Mbok jangan sebut-sebut itu lagi, Cak Sot
Lha malah kamu yang diam-diam merasa gagal. Kalau memang mau masuk tema sukses-gagal,
saya katakan sebenarnya bengkel motormu itu sukses, maka bangkrut dan tutup
Kok sukses?
Lho kamu selama mbengkel kan sukses untuk jujur, tidak menipu konsumen, tidak morotin orang
yang membengkelkan motornya. Kamu Sapron Bengkel, tapi tetap mengutamakan Sapron Wong.
Kebanyakan orang kan mengutamakan Dadap Pedagang, menyisihkan Dadap Wong, Presiden
Pedagang melupakan Presiden Wong. Juga posisi, fungsi-fungsi, jabatan dan kedudukan-
kedudukan lain yang bermacam-macam. Kemanusiaan nomor sekian, bahkan boleh tidak berlaku
***
Kenapa revolusinya Tadabbur? Kok bukan revolusi sosial, revolusi ideologi, revolusi mental,
revolusi politik, revolusi nilai?, Sapron mengejar.
Karena kata sosial sudah menjadi sangat relatif dan lama-lama tinggal teori. Komunalitas
manusia makin terkikis, sosialitas antar manusia dipersambungkan terutama oleh kepentingan,
bukan hakikat maiyah atau takdir kebersamaan hidup. Kepentingan masing-masing, atau
kepentingan yang ketemu persambungannya satu sama lain, tapi substansinya tetap kepentingan
Revolusi ideologi? Ideologi sudah semakin meninggalkan jiwa manusia. Ideologi semakin
menjadi perangkat di tangan kepentingan
Revolusi mental? Itu juga aksesori yang menawan dari kepentingan yang menyamar di
sebaliknya. Revolusi mental mustahil dilakukan oleh manusia yang tidak pernah mengurus skala
prioritas mental, bahkan tidak mengerti persis letak atau dimensi mental dalam konstruksi
kejiwaan manusia. Mental, moral, intelektual, spiritual, bermacam-macam, dideret-deret,
ditumpuk-tumpuk di rak-rak toko politik kepentingan
Revolusi politik? Di mana politik? Apa politik? Kapan politik? Bagaimana politik? Semua itu
bukan politik karena tanpa kenapa politik dan untuk apa politik.
Politik adalah mandat penataan keadilan dan kalau bisa disertai kesejahteraan bagi yang
memandati untuk dikerjakan oleh yang dimandati, karena mereka digaji sangat besar. Tetapi yang
disebut politik saat ini adalah peluang lima tahunan bagi mandataris politik untuk mencari laba
pribadi dan golongan, dengan cara menipu-daya para pemberi mandat, meracuni mereka, menyihir
mereka, meninabobokkan mereka
Revolusi nilai? Nilai apa? Sejak di Raport sekolah SD, ada daftar nilai-nilai, padahal yang
dimaksud adalah deretan angka-angka. Angka bukan nilai. Angka itu rangka dasar materialisme.
Seluruh pelajaran sekolah hingga undang-undang negara dan peraturan pembangunan, berisi
angka-angka, bukan nilai-nilai
Yang disebut nilai sesungguhnya hanyalah materialisme. Kejasadan. Kebendaan. Keduniaan.
Kalau orang memahami nilai, ia mengerti bahwa alamat nilai tidak di dunia, karena nilai
memperlakukan dunia sebagai jalan untuk memperjuangkan dan menabung nilai. Nilai tidak
berada di lembaran uang, melainkan terletak pada cara uang diperlakukan. Nilai tidak terletak di
harta benda, kekuasaan dan kemakmuran, melainkan beralamat di substansi perilaku per manusia
terhadap benda-benda itu

Daur (63)
Dunia Bukan Tempat Membangun

Tak henti-hentinya Markesot bicara tentang tadabbur. Terkantuk-kantuk Sapron


mendengarkannya. Tapi karena kesetiaannya, Sapron sebisa-bisa selalu meresponsnya.
Dunia bukan tempat membangun, melainkan tempat mencari menemukan bahan-bahan
bangunan, begitu filosofi Markesot.
Lantas membangunnya di mana?, Tanya Sapron.
Tidak di dunia
Lha di mana?
Pokoknya tidak di dunia yang ini
Lha di dunia yang mana?
Yang lain, yang sesudahnya
Akhirat?
Akhirat itu bukan nama, tapi pertanda. Aran. Tetenger. Inisial untuk memahami bahwa ada
sesuatu sesudah akhir dunia
Ada kehidupan yang lain sesudah kehidupan di dunia?
Yang benar-benar kehidupan ya bukan yang di dunia ini. Kan cuma sebentar sekali. Manusia
berjuang untuk memiliki dan membangun sesuatu, belum tentu berhasil, besok tiba-tiba tua dan
mati. Jadi untuk apa memfungsikan dunia yang sangat sejenak ini sebagai ruang dan waktu untuk
membangun sesuatu?
Sapron protes. Wajar dong orang hidup di dunia, berkeluarga, mencari nafkah, memastikan
sandang pangan papan. Punya rumah sendiri. Menyekolahkan anak-anak. Menggelar tikar
persiapan untuk masa depan anak turunnya. Kalau bisa rumahnya yang nyaman dan bagus.
Kendaraannya jangan butut-butut amat. Punya tabungan
Markesot menjawab. Itu bukan hanya wajar. Itu juga rancangan dan perintah Tuhan: jangan
lupa nasibmu di dunia tatkala kita menempuh perjalanan menuju Tuhan, sangkan -nya manusia
sekaligus paran -nya
Berarti kan membangun dunia dan tempatnya juga di dunia?, Sapron mengejar.
Sekadarnya saja. Karena toh setiap manusia sebentar saja akan pindah dari dunia ke dunia
berikutnya yang sama sekali tidak sama rumus dan konstruksinya dengan dunia yang ini
Berhias sedikit selama singgah di dunia kan tidak salah?
Lho dunia ini dirancang Tuhan memang untuk sekadar hiasan. Dunia ini dikonsep bukan sebagai
substansi, melainkan ilustrasi. Ilustrasinya jangan melebihi dan mengalahkan substansinya. Itu
bodoh dan pasti rugi sendiri. Apalagi karena terlalu mensubstansikan ilustrasi maka manusia
melakukan korupsi, perebutan, penjajahan, perampokan, penindasan, penguasaan, sekadar untuk
berhias beberapa saat. Dungu itu
Kan sepanjang sejarah isi dunia selalu kelakuan manusia yang seperti itu, menindas, merampok,
menipu, memperdaya, merekayasa, dari jalanan, kampung-kampung hingga Istana Negara
Ya. Benar. Dungu memang
Lha Cak Sot maunya mengubah sejarah ummat manusia yang sudah mengakar kedunguannya?
Saya tidak punya kepentingan untuk mengubah apa-apa. Saya cuma mengungkapkan apa saja
yang benar menurut saya. Dan yang benar menurut saya itu tidak mengikat siapapun. Benar untuk
saya tidak harus benar bagi yang bukan saya
Tapi saya repot menjawab banyak orang yang menanyakan tentang omongan Sampeyan
Lebih baik repot menjawab daripada mencuri
Bagaimana logikanya itu?
Ya repot menjawab itu lebih baik daripada korupsi
Ooo ini semacam sholat lebih baik daripada tidur
Alhasil Sapron lupa bahwa seharusnya jangan menjawab atau merespons atau apalagi membantah
Markesot.
Dulu ada tokoh ludruk namanya Markuwat. Semua pelakon lain menyepakati untuk jangan sekali-
kali mengajak omong Markuwat. Kita omong sak-kecap , Markuwat omong
rong-kecap . Kita dua-kecap , Markesot sepuluh kecap. Kita tandingi sepuluh
kecap , markuwat kecap-kecap tanpa koma tanpa titik dan tanpa henti
Jadi Sapron berpikir biarlah Markesot
kecap-kecap semau-mau dia, akhirnya nanti toh akan berhenti sendiri.
Dunia ini, kata Markesot, sangat segera akan musnah. Atau kita sendiri terlalu cepat akan
meninggalkannya. Dunia bukan rumah permanen, ia hanya rumah singgah. Dunia hanya terminal
sementara, di mana manusia melakukan perjalanan menuju rumah sejati. Dan satu-satunya jalan
untuk mencapai rumah sejati adalah perjuangan nilai, bukan perjuangan dunia
Siapa yang percaya sama omongan Sampeyan, Cak Sot, ternyata Sapron tidak tahan juga untuk
tidak merespons.
Omongan saya tidak ada kaitannya dengan kepercayaan orang. Kalau omongan Tuhan, itu baru
bermasalah pada orang yang tidak mempercayainya, jawab Markesot.
Lha omongan Sampeyan hubungannya dengan apa?
Ini semacam latihan menghadapi Malaikat besok-besok
Mosok Malaikat bertanya sampai yang ruwet-ruwet begitu?
Malaikat itu makhluk yang aslinya lembut, sehingga selalu bersikap detail. Mereka mendata
kelakuan kita tidak hanya pada ekspresi jasad dan pergaulan sosial, tapi juga perilaku sejak di
alam pikiran
Kalau kepada orang bisa, metode komunikasi Malaikat bagaimana?
Justru lebih mudah. Tidak perlu wawancara seperti kepada kamu dan saya. Malaikat cukup
melakukan pendataan langsung dengan memeriksa munculan-munculan gelombang saraf-saraf
otak mereka
Malaikat juga bawa kalkulator untuk menghitung pembangunan angka-angka kita di dunia?
Malaikat semua adalah supra-kalkulator, dan itu bukan fungsi utama mereka, sebab angka itu
soal mudah. Yang substansial bagi para Malaikat adalah nilai. Terdapat beda serius dan mendasar
antara angka dibanding nilai. Angka akan ditinggalkan di dunia oleh manusia, karena ia bukan
kekayaan
Lho kok angka bukan kekayaan. Kan kekayaan tidak berwujud kalau tidak dihitung dengan
angka
Kalau orang biasa seperti kamu biasanya menggunakan angka tidak untuk menghitung kekayaan,
tapi utang
Bukannya pejabat-pejabat tinggi dan pengusaha-pengusaha kaya juga tidak menggunakan angka
untuk menghitung kekayaan mereka?
Maksudmu?
Kalau para petinggi Negara kan hanya tahu angka kurang, tidak mengenal angka lebih
Itu bedanya dengan kamu. Pada hidupmu angka sangat sering tampil dalam kasus utang. Tapi
pada tema kekayaan, angka tidak berguna, karena tidak ada kekayaan yang perlu dihitung
Bukannya Sampeyan yang begitu itu, Cak Sot?
Lho bukan sombong ya, bagi saya yang kekayaan adalah nilai. Angka itu ilmu yang baik, tetapi
ia membunuh manusia yang menyangka angka adalah nilai. Maka setiap angka harus dinilaikan.
Uang harus diabadikan. Dunia harus diakhiratkan
Sapron memotong: Nanti kalau terlalu banyak omong ruwet-ruwet tentang angka dan nilai
Sampeyan bisa-bisa dituduh anti-angka lho, Cak Sot
Markesot menjawab, Lho kan sejak dulu saya dituduh anti-dunia, bahkan anti-kehidupan. Itu
sebabnya saya tidak punya tempat dalam kehidupan
Mungkin tuduhannya dispesifikkan: Markesot frustrasi karena tidak punya tempat di masyarakat,
tidak berada di titik koordinat manapun dalam kehidupan. Ia bukan penduduk legal di dunia, maka
ia selalu rewel omongannya
Lebih besar mana dunia dibanding manusia? Yang makro dunia ataukah manusia? Yang paling
diciptakan di puncak kemuliaan, manusia ataukah dunia?
Orang akan berargumentasi: manusia yang tidak punya peran dalam kehidupan dunia, ia adalah
butiran debu di tanah. Dan karena Markesot hanya sebutir, maka ia boleh tidak ada. Tidak ada
bedanya bagi dunia Markesot ada atau tidak ada
Saya tidak perlu bermanfaat bagi dunia, kalau dunia menuntut saya bermanfaat baginya. Dunia
hanya perangkat untuk manfaat akhirat saya. Dunia tidak boleh memenjarakan saya. Dunia jangan
pernah berpikir mampu menyandera saya
Orang akan melebar tuduhannya: Markesot terdesak ke pojokan tasawuf. Bicaranya meniru-niru
filosofi kaum Sufi. Tapi Markesot bersufi-sufi ria itu sebabnya hanya satu: karena dia tidak punya
dunia, dia miskin dan bukan siapa-siapa.

Daur (64)
Wirid Makalah

Ketika ditanya oleh Sapron kenapa seperti tak henti-hentinya mengungkapkan hal tentang
tadabbur, Markesot menjawab: Wiridan
Kok wiridan?, tanya Sapron, Wiridan kan baca doa diulang-ulang, baca asma Allah atau entah
apa lainnya dalam bahasa Arab
Itu juga wiridan, ini juga wiridan
Wiridan kan biasanya khusushan sesudah shalat atau bersila tengah malam, memutar biji-biji
tasbih, umik-umik baca ini 1000 kali, baca itu 3333 kali dan yang semacam itu
Itu juga wiridan, ini juga wiridan
Wiridan kok seperti presentasi makalah, saat dan tempatnya juga tidak menentu, bahkan sambil
methingkrang angkat kaki, bahkan diselai minum kopi
Ini juga wiridan, itu juga wiridan. Garis lurus dari jiwa kita ke Allah, syukur dikabulkan muncul
garis lurus dari Allah ke jiwa kita. Seperti garis sinar laser, bukan cahaya yang menyebar. Muatan
garis lurusnya wirid, posisinya dzikir, membangun tegangan ingat kebersamaan dengan Allah,
arusnya bisa dimuati pengharapan, keluhan, permohonan, pernyataan cinta dan kepasrahan total
Wirid dan dzikir katanya spiritual, bukan intelektual
Bangunan dan mekanisme wirid ditata secara intelektual. Apalagi dzikir. Mengingat.
Memadatkan ingatan. Itu peristiwa di kepala. Menyatu nuansanya dimensinya dengan dada hati
qalbu fuad shudur. Kalau mantapnya mengingat sesuatu 4444 kali ke hadapan Allah, itu juga
pekerjaan sel-sel otak, hati tak bisa menghitung, sementara kepala tak paham cinta
Wah, ndak cocok dengan yang dipahami umum, terutama para pengikut Thariqat
Kita perlu angkat topi kepada para pengikut Thariqat. Mereka hamba yang memperjuangkan
kemuliaan dan cinta di hadapan Allah. Kelemahan mereka biasanya ada satu: menyangka hanya
mereka yang berthariqat. Mengira wiridan hanya sebagaimana yang mereka tradisikan. Sehingga
kurang waspada dan kurang mensyukuri sesungguhnya ada cara-cara tanpa batas untuk mencintai
Allah. Tidak terbatas kata-kata yang diucapkan, tidak terbatas cara mengucapkan, tidak terbatas
bahasa tubuh dan kulturalnya. Kebanyakan mereka hanya mengenal satu jenis aplikasi, dan
mereka berpikir bahwa wirid dan dzikir sama dan sebangun dengan aplikasi yang mereka ketahui
dan lakukan
Jadi Sampeyan sebenarnya juga ahli-wirid, Cak Sot?
Ahli wirid bukan pakar wirid. Ahli wirid maksudnya setiap jiwa manusia adalah rumah rohani, di
mana masing-masing hamba yang dititipi jiwa oleh Allah itu menjadi tuan rumah. Kalau di dalam
jiwanya berlangsung wirid dan dzikir, maka dia adalah tuan rumah wirid dan dzikir
Wah, jadi kata ahli itu kacau ya pemaknaannya?
Rata-rata kata dikacau oleh pemaknaannya
Wirid Makalah itu mungkin-mungkin saja ya?
Lho apa yang tidak berdzikir: nafasmu, detak jantungmu, mengalirnya darahmu, berputarnya sel-
sel terkecilmu. Tuhan memberitahukan bahwa semua yang di langit dan bumi bertasbih kepada-
Nya, shalat kepada-Nya, berdzikir dan wiridan kepada-Nya. Tidak hanya manusia dan makhluk
hidup lainnya. Tapi juga gunung, angin, daun, embun, asap, ikan-ikan dan burung-burung. Bahkan
burung disebut langsung oleh Tuhan sebagai contoh makhluk yang bertasbih dan sholat
Lucu ya kambing berdzikir, anjing wiridan, angin semilir bertasbih, gunung menegakkan
shalat
Allah menginformasikan bahwa mereka semua itu mengetahui caranya masing-masing untuk
bertasbih dan melakukan shalat. Jadi kasihan kalau para pelaku Thariqat dan manusia yang rajin
beribadah menyangka hanya mereka yang shalat dan tasbih kepada Allah. Lebih kasihan lagi kalau
karena itu mereka lantas merendahkan orang-orang yang tidak melakukan seperti yang mereka
lakukan. Mereka jadi sombong karena merasa lebih dekat kepada Tuhan dibanding siapapun saja
yang bukan anggota Thariqat mereka
Lebih lucu lagi kalau orang mendengar kata tasbih, yang muncul di benaknya adalah bulatan-
bulatan benda kecil yang ditali, diikat, disatukan dalam suatu rangkaian bulatan
Tuhan memberi ujian kepada manusia, Tuhan mengisi jiwa mereka dengan kesukaan kepada
benda. Untuk diuji apakah mereka berhenti pada benda itu, tasbih butir-butir itu, atau menemukan
bahwa hal itu hanya alat untuk rohani tasbih yang sejati kepada-Nya
Jadi orang yang ndremimil mulutnya mengucapkan nama-nama Tuhan, sambil duduk di bawah
pohon, dengan wajah melamun, ekspresinya tidak bersambung dengan lingkungannya itu tidak
pasti orang gila, atau orang frustrasi, orang ngengleng, tapi jangan-jangan dia sedang wiridan ya?
Lho jangankan yang ndremimil dan duduk. Kalau orang membiasakan mengisi jiwanya dengan
ingatan kepada Tuhan, ketika tertidur pun aliran darahnya, detak jantung dan keluar masuk
nafasnya wiridan
Kalau tercampur-campur dengan ingatan kepada yang selain Allah?
Pasti tercampur. Memori di kepala manusia yang menggerakkan saraf-sarafnya dan mengaliri
darahnya, pasti bermuatan hal-hal yang ia serap dan rekam dari peristiwa-peristiwa di dunia. Dan
itu mereka bawa masuk ke ruang wirid mereka, untuk dilebur menyatu ke dalam ingatan kepada
Allah
O, jadi konsentrasi khusyuk kepada Allah tidak harus berarti membuang segala sesuatu yang
selain Allah
Lho kok dibuang. Dibawa, dipanggul, dimuat oleh otak, hati dan jiwa, kemudian ditumpahkan ke
ruang dzikrullah, menyatu dengan Allah dan musnah. Apa saja musnah pada Allah. Bukannya
dunia mengandung Allah, tapi Allah mengandung dunia. Jangan pernah bilang di dunia atau dalam
kehidupan ada Tuhan. Terbalik. Di dalam Tuhan ada dunia dan kehidupan
Memang sukar ya mengatur konstruksi kesadaran. Mentang-mentang kita percaya adanya Tuhan,
lantas menganggap Tuhan adalah bagian dari kita. Kemudian Tuhan menjadi karyawan yang kita
suruh siap memenuhi keperluan-keperluan kita. Tuhan kita angkat menjadi Kepala Dinas
Pengabulan Doa
Tidak perlu marah pada kenyataan itu. Tuhan memang menciptakan manusia dengan berbagai
kelengkapannya termasuk kelemahan, minimalnya ilmu, sedikitnya pengetahuan, lalainya
kesadaran dan konyolnya hitungan
Tapi tetap saja menggelikan kalau melihat Sampeyan ndridhil omong seperti sedang
mempresentasikan makalah ilmiah, tapi Sampeyan sebut itu wiridan
Lho ndak usah perduli bentuknya. Seaneh apapun munculannya, bentuknya, formulanya,
bunyinya, ekspresi tubuhnya, asalkan yang berlangsung di dalam jiwa manusia adalah ketekunan
untuk mencintai-Nya, kerajinan untuk menyapa-Nya, disiplin untuk setia kepada-Nya, itu wiridan
namanya
Jadi wiridan tidak harus wudlu dulu, shalat, bersila, pegang tasbih, terus umik-umik bibirnya,
bergerak-gerak tubuhnya ke kiri ke kanan ke depan ke belakang.
Itu juga baik. Karena manusia memerlukan caranya masing-masing untuk mendorong jiwa maju
lebih mendekati Tuhan
Kalau ada yang caranya butuh bebauan atau wewangian untuk lebih mudah membangun suasana
kejiwaanya, sehingga dia membakar kemenyan? Katanya itu syirik
Kemenyan itu salah satu jenis tanaman ciptaan Tuhan. Kemenyan tidak ada kaitan dzatiyah
dengan syirik akau kufur. Kasus kafir dan musyrik terletak di dalam jiwa manusia. Sudah pasti
kemenyan bisa menjadi sebab yang dilewati atau dipakai manusia untuk syirik kepada Tuhan
Memang banyak yang begitu tho?
Tidak hanya kemenyan, juga mobil, uang, jabatan, harta benda, mall, sukses, reputasi, eksistensi
diri dan apa saja bisa menyebabkan manusia menomersatukannya dengan menomerduakan Tuhan.
Bahkan shalat, kesalehan, ketekunan ibadah, pun bisa membuat manusia menyembahnya,
sehingga bukan lagi Tuhan yang dinomersatukannya. Tetapi letaknya syirik bukan di harta benda
atau kemenyan, melainkan di dalam dismanajemen internal jiwa manusia
Kalau bakar kemenyan untuk merangsang datangnya Setan atau Jin?
Silakan Setan Jin Peri Perayangan Druhun Dimemonon Lengeng datang ke kita. Gunanya bisa
untuk melaporkan kepada Tuhan bahwa mereka tidak mampu mengganggu kekhusyukan ibadah
kita kepada-Nya. Mereka itu makhluk ciptaan Tuhan, kita bertoleransi dan mempersilakan mau
apa saja, tapi jangan pernah menyangka bahwa mereka sanggup mempengaruhi iman kita kepada-
Nya

Daur (65)
Menguras dan Menghimpun Tenaga Hidup

Kepada orang yang jelas-jelas membunuhnya saja Markesot tidak benci, tidak mendendam,
bahkan tetap santun dan menjunjung.
Sapron heran, Cak Sot kok bisa to dianiaya orang sampai tingkat hampir mati kok tidak marah,
tidak dendam, malah lebih santun dan lebih menyayangi mereka yang mendholimi Sampeyan?
Ah, jawab Markesot, Marah itu menguras tenaga. Dendam itu mengikis energi hidup. Kalau
memaafkan itu menghimpun tenaga, bahkan Tuhan melipatgandakannya
Markesot memang sangat melindungi jangan sampai orang-orang yang membunuhnya itu tahu
bahwa Markesot tahu mereka bunuh. Markesot tidak tega. Jangan sampai mereka merasa bersalah
seumur hidup sehingga frustrasi.
Kalau frustrasi, jangan-jangan nanti tidak bisa mengatasi. Lantas stress tiap hari. Depresi sewaktu-
waktu. Tidur mereka tidak tenang. Mengigau. Bahkan bisa jadi terus ambil narkoba. Atau suka
menghamuk.
Di tengah-tengah proses Markesot sakit, terbakar dalamnya leher dada hingga perut sampai hitam
legam luluh lantak, salah seorang pembunuh menelpon Markesot. Mungkin untuk ngecek
keadaannya, sudah mati atau belum.
Markesot menjawab telepon itu dengan riang gembira, meskipun tremor seluruh badannya.
Markesot bersyukur dan berterima kasih beliau-beliau berkenan menghubunginya.
Mas, kata Markesot, Kapan-kapan mbok saya dikirimi mobil, jangan hanya knalpotnya, kan
panas, nanti mlepuh tangan dan badan saya
Juga tidak ada upaya Markesot untuk mem- pinter -i siapa dan kenapa ada orang-orang yang
mengirim uranium ke dalam tubuhnya. Mem- pinter -i itu maksudnya menyelidiki, mendata,
menganalisis, merangkumnya untuk dijadikan laporan kepada dirinya sendiri.
Markesot cuma ambil tlethong dari uranium itu, artinya: mencari dan menemukan manfaat dari
pergaulannya beberapa minggu dengan uranium.
Memang Sapron banyak dikejar oleh teman-temannya tentang uranium santet Markesot. Itu
pengalaman nyata atau khayalan.
Sapron menjawab yang tidak bisa kita bantah adalah fakta tentang hasil Lab, baik tentang uranium
dalam keluaran dubur Markesot maupun kondisi bagian dalam tubuh Markesot.
Kemudian vonis Dokter bahwa hidup Markesot tinggal 3,5 bulan. Ditambah kenyataan kasat mata
bahwa berat badannya turun sangat jauh karena mekanisme onderdil-onderdil dalam tubuhnya
memakan lemaknya sendiri, karena makanan yang masuk tidak bisa diolah.
Apakah itu santet, tenung atau apapun, itu soal konsep dan cara pandang, kata Sapron, sampai
sekarang tidak ada penjelasan medis yang bisa menjelaskan
Juga apakah peristiwa terjadi dalam sebab akibat yang temanya dendam pribadi, politik kelompok
atau apapun, itu juga ranah penelitian, penyelidikan, analisis, tafsir kemudian hipotesis. Bisa ini
bisa itu. Markesot tidak mengejar hal itu sama sekali, meskipun teman-temannya yang melakukan
sampai seluruh faktanya ketemu.
***
Yang jelas Markesot sendiri sembuh mendadak: suatu malam ia menghilang, paginya datang segar
bugar. Besoknya mulai pulih tubuhnya, bahkan akhirnya menjadi gemuk.
Sapron menjelaskan bahwa Markesot itu tidak penting untuk dijadikan bahan penelitian. Tidak ada
perlunya mencari tahu apakah pengalamannya itu benar atau tidak, siapa yang menyantet
seandainya itu santet, kenapa disantet, bagaimana latar belakang dan peta permasalahannya. Juga
tidak perlu diteliti apa yang dilakukan oleh Markesot sehingga pagi itu ia menjadi segar kembali.
Kalau kita memperlakukan kehidupan dan omongan Markesot dengan pendekatan Ilmu Tafsir,
akan mubadzir, menghabiskan waktu dan bisa bikin kepala kita pecah, kata Sapron.
Umpamanya kita wawancara Markesot, bisa malah ruwet. Sebab jawabannya bisa polos, bisa
taktis, bisa mbombong , bisa menghindari perdebatan sehingga membatasi pembicaraannya, dan
banyak kemungkinan lain. Terlalu banyak sub-sub teori dan metodologi untuk mendata,
menganalisis dan menyusun hipotesis.
Jangan pula pernah menyangka kita akan sampai pada konklusi tentang kehidupan Markesot.
Karena di samping multidimensional, Markesot juga sangat dinamis segala sesuatunya. Markesot
bukan barang mati yang kita otak-atik kita jadikan obyek dengan pisau teori yang kita siapkan.
Alhasil, Markesot sebenarnya bukanlah Markesot, sementara karena ia bukan Markesot maka
sesungguhnya itulah Markesot.
***
Jadi, sekali lagi, Sapron menegaskan, bergaul dengan Markesot jangan menafsirkan, apalagi
menafsir-nafsirkan. Sebab tafsir itu harus dilakukan dengan metodologi yang solid, pengetahuan
yang lengkap, daya analisis secerdas mungkin, serta jujur objektif di semua alurnya.
Hal semacam itu tidak mungkin berlaku untuk kebanyakan orang. Sama dengan dalam menjalani
agama, bagaimana mungkin seorang pekerja bangunan, penjaja makanan, tukang parkir dan
masyarakat di level itu lainnya sempat dan mampu melakukan pekerjaan tafsir.
Tuhan menghamparkan pengetahuan, menanam ilmu di petanahan jiwa dan akal ummat manusia,
menurunkan Kitab-Kitab Suci, tidak diperuntukkan hanya untuk orang pandai, kaum sekolahan,
ahli analisis dan interpretasi.
Semua itu dianugerahkan oleh Tuhan kepada semua manusia hamba-hamba yang Ia kasihi.
Kepada para profesor dan doktor di gedung-gedung Universitas, hingga pedagang-pedagang di
pasar kumuh, penduduk tepian hutan, perbukitan dan gunung-gunung yang terasing dari
kebudayaan buku dan gebyar teknologi.
Anugerah Tuhan itu tidak boleh dimonopoli oleh siapapun. Apalagi kalau memonopoli dengan
merasa dirinya lebih tahu dari orang lain, lebih pintar dan terpelajar dari orang umum. Tuhan
dimiliki sendiri, mereka menjadi satu-satunya agen yang berhak atas Tuhan, sorga dan neraka.
Barang siapa taat kepadanya, akan dapat pahala dan masuk sorga. Barangsiapa tidak sama
pandangan hidup dan keagamaannya dengan dia, maka akan diadzab oleh Tuhan dan masuk
neraka.
Orang-orang pandai yang bersikap seperti itu, sesungguhnya sedang mentuhankan dirinya,
sehingga siapapun yang berpendapat harus sama dengan pendapatnya. Siapapun yang berlaku dan
beribadah harus sama dengan cara dia berlaku dan beribadah.
Tidak boleh ada cendekiawan yang menganggap bahwa ilmu hanya milik mereka dan yang bukan
mereka adalah makhluk-makhluk bodoh. Tidak boleh ada ulama yang menganggap bahwa jalan
untuk bertemu dan menyembah Tuhan harus melalui buku administrasi kekuasaan mereka.
Tidak boleh ada siapapun, terserah apa pangkatnya, jabatannya, turunannya siapa, sekhusyuk
apapun ibadahnya dan setinggi apapun ilmunya, yang mengumumkan bahwa Tuhan hanya bisa
dicapai oleh ulama karena mereka mampu menafsirkan.
Sehingga barangsiapa di antara orang-orang kecil, orang-orang bawah, orang-orang yang mereka
sebut bodoh, yang ingin bersilaturahmi dengan Tuhan, menyampaikan cinta dan kesetiaan ibadah
harus melalui mereka. Hanya mereka yang mampu dan boleh menafsirkan Kitab Suci dan
kehidupan. Orang-orang kebanyakan harus menjadi pengikut mereka, bukan pengikut Nabi.
Orang-orang kebanyakan harus menyembah mereka, bukan menyembah Tuhan.

Daur (66)
Bebendhu Tan Kasat Moto
Pepeteng Kang Malih Rupo

Sebelum Markesot pergi, Sapron menyempatkan diri untuk memperoleh konfirmasi tentang satu
hal. Yakni kenapa sekarang banyak bicara tentang dunia dalam manusia, bukan struktur sosial.
Kenapa omong banyak tentang rakyat, bukan negara dan pemerintahnya.
Memang tepat tengah malam Markesot meninggalkan rumah hitam Patangpuluhan. Tujuannya
Sapron hampir memastikan: menuju suatu tempat untuk menemui Kiai Sudrun.
Begitulah Markesot. Selalu sibuk dengan kecemasan dan rasa daruratnya sendiri atas dunia dan
ummat manusia. Sementara dunia tenang-tenang saja tak kurang suatu apa, dan ummat manusia
tidur dengan nyenyaknya.
Bahkan dunia dan manusia tak kenal pula pada Markesot yang mencemaskannya. Kalaupun ada
satu dua yang mengenalnya, mereka cueg-cueg saja, tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan,
apalagi dengan kecemasan setingkat kecengengan Markesot.
Beberapa saat yang lalu sambil menyiapkan sejumlah hal, pakaian, beberapa kertas sobekan,
sebuah bungkusan kain kumal yang entah apa isinya, Sapron mendengar Markesot rengeng-
rengeng lagu Jawa yang ia tembangkan dengan sangat buruk sekali:
Bebendhu tan kasat moto, pepeteng kang malih rupo , itu diulang-ulang. Alhamdulillah
hanya Sapron sendiri yang mendengarnya. Volume suara Markesot tidak sampai melebar-lebar ke
telinga para tetangga. Sehingga Sapron tidak perlu menanggung rasa malu.
Tembang itu dilantunkan oleh Markesot, bergantian dengan sebuah lagu yang Sapron ingat pernah
dinyanyikan oleh orang yang tidak terkenal sama sekali, lagu itu juga tidak popular dan tidak laku:
Akhirnya akan sampai di sini
Di amanat Ilahi Rabbi
Orang-orang tak lagi bisa menanti
Zaman harus segera berganti pagi
Aku tangiskan teririsnya hati
Para kekasih di dusun-dusun sunyi
Terlalu lama mereka didustai
Sampai hanya Tuhan yang menemani
Ya Allah
Sudah tak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan
Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu itu adalah tangan-Mu sendiri
Tak akan ada yang bisa menghalangi
***
Sapron turut siaga kalau-kalau Markesot memerlukan sesuatu sebelum pergi dari rumah hitam.
Sapron menggerundal lirih kepada dirinya sendiri.
Apa itu bebendhu tan kasat moto. Kalau bebendhu ya kasat mata. Gempa. Longsor. Banjir.
Gunung meletus. Badai puting beliung. Air laut meluap ke darat.
Pepeteng kok malih rupo Kalau
peteng ya gelap. Kalau gelap ya rupa apa saja tidak tampak. Berubah wajah kayak apapun kalau
dalam kegelapan ya tidak kelihatan
Akhirnya akan sampai di sini . Di sini di mana. Dari dulu ya di sini. Sesekali ke sana, sananya
tidak pernah jelas. Bahkan di sini di rumah hitam ini juga tidak jelas. Di amanat Ilahi Rabbi.
Amanat apa? Memangnya Markesot Nabi? Kok merasa diamanati Tuhan. Ayam juga diamanati
Tuhan. Pohon juga diamanati Tuhan.
Orang-orang tak bisa lagi menanti Siapa yang tak bisa lagi menanti? Orang-orang tenang-
tenang semua, tertawa-tawa, cengengas-cengenges, tak kurang suatu apa. Kalau memang menanti,
apa yang dinanti? Ratu Adil? Satrio Pinilih? Imam Mahdi? Mesiah? Kalau menanti laba atau uang
lebih banyak, memang. Tapi bukan yang serem-serem muluk-muluk seperti di syair lagu itu.
Zaman harus segera berganti apanya yang berganti. Pager ganti handphone. Mesin ketik ganti
komputer. Pejabat ganti preman. Pemimpin ganti gentho. Ulama ganti Gus. Kiai ganti Ustadz.
Informasi ganti rerasanan. Komunikasi ganti penggelapan. Silaturahmi ganti
pisuhan.
Aku tangiskan teririsnya hati. Silakan dikulum-kulum dan ditelan sendiri sana tangismu.
Para kekasih di dusun-dusun sunyi. Kan Sampeyan sudah siap-siap mau pergi entah ke
kesunyian dusun atau hutan atau gunungsilakan
***
Walhasil di ruang kesetiaan Sapron kepada Markesot, terkandung ketidakpahaman,
kesalahpahaman, kelelahan, rasa sebal, tapi juga penasaran, gairah untuk lebih menyelam, dan
bermacam gejolak yang saling bertentangan, namun juga dorongan untuk menggumpalsatukan.
Begitulah dzat yang bernama cinta.
Ia penuh api, sangat membakar, tapi di ujungnya cahaya juga yang mempersatukannya.
Ketika Sapron mengejar Markesot kenapa yang dipandang terutama manusianya dan bukan
tatanan sosialnya, kenapa yang disentuh rakyatnya dan bukan negara dan pemerintahnya, jawaban
Markesot lebih pelik lagi untuk bisa dipahami.
Di wilayah yang tidak saya pandang itu, adzab sedang berlangsung, kata Markesot, tak ada
sesuatu yang bisa saya lakukan atasnya. Ada, tapi masih di tangan Tuhan. Ranah yang saya
berpaling itu sedang dikepung oleh kegelapan. Yang saya perhatikan adalah sisa-sisa wilayah
kemanusiaan yang mengandung benih masa depan. Yang saya datangi di ujung kegelapan malam
adalah semburat fajarnya, yang akan segera menerbitkan matahari pagi
Aduh. Ini penyair remaja lagi, karya orang tua.
Kok adzab sedang berlangsung. Adzab gimana. Kereta cepat sedang dibangun. Infrastruktur
diratakan. Jutaan orang lalu-lalang menaiki pesawat, kereta, bis dan kendaraan pribadi. Mal-mal
penuh sesak. Uang berputar menciptakan siklon di semua tempat.
Satrio Piningit telah turun ke bumi dan memimpin negara. Segala yang dilakukannya selalu baik.
Setiap langkahnya tidak ada yang buruk. Seburuk apapun tetap baik. Sesalah apapun tetap benar.
Sebodoh apapun tetap pandai. Sebanyak apapun janji tidak dipenuhi, yang salah adalah janjinya,
bukan yang berjanji.
Rakyat sangat waskita dan cerdas memilih pemimpinnya. Pemimpin yang mereka pilih hampir
semutu Tuhan itu sendiri. Negeri ini sudah tidak memerlukan tokoh apapun dan juru selamat
sedahsyat apapun. Rakyat sudah menentukan dan mengangkat pemimpin yang mereka puja
melebihi Tuhan, mereka junjung melebihi Nabi.
Dajjal, Yajuj Majuj, tak perlu dikawatirkan lagi. Konspirasi global, sindikat konglomerasi dari
utara, rekayasa-rekayasa yang memasuki penyusunan Kabinet, yang mengatur lalu lintas modal,
yang menentukan skala prioritas pembangunan, dan apapun saja yang diseram-seramkan itu,
hanyalah isu dari orang-orang yang tidak mendapat bagian.
Bangsa ini tidak takut kepada Dajjal, Iblis dan Setan, karena sudah dipimpin oleh Tuhan langsung.
Bangsa ini tidak merindukan Imam Mahdi, Satrio Pinilih, Mesiah, Ratu Adil, karena pemimpin
yang mereka pilih sudah sangat adil, sangat pinilih setiap gerak geriknya, sangat mesianistik
kebijakan-kebijakannya. Pemimpin mereka sangat mahdi, sangat terbimbing, sangat dituntun
oleh hidayah, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu .
Bahkan Sang Pemimpin sudah menggerakkan revolusi mental, move on, dan berbagai macam
gelombang besar sejarah, yang kalau bukan Tuhan, tak mungkin sanggup menyelenggarakannya.
Sang Pemimpin bangsa ini can do no wrong , tak bisa salah. Dan siapakah itu kalau bukan Tuhan?

Daur (67)
Shirothol Mus- Takkim
Tolong untuk sementara tidak usah peduli Markesot sekarang ini sedang pergi mencari Kiai
Sudrun atau Syekh Klanthung atau Maulana Saridin atau monggo siapa. Tuhan melarang manusia
untuk menganiaya dirinya sendiri, apalagi memecah kepala dengan mempelajari Markesot.
Si Markesot itu kalau ditanya orang, menjawab sekenanya. Pertanyaan yang sama, ditanya oleh
sekian orang, jawabannya berbeda-beda. Jalan kaki berpapasan ditanya Ke mana Cak Sot?
Ia menjawab, Ke Imogiri
Ditanya orang berikutnya menjawab, Ke rumah teman
Ke kuburan
Ziarah
Ke mana hayo
Seperti biasanya
Bisnis
Cari warung
Angin-angin
Ada teman sakit
Buang sebel
Kondangan
Mau pijat
Ada janji
Jalan aja
Ada seratus orang bertanya, seratus pula jawabannya. Semau Markesot. Terserah apa yang sedang
ada di hati atau pikirannya. Sekeluarnya kata dari mulutnya.
Apakah orang macam itu bisa dipercaya? Apakah jawaban-jawaban seperti itu peduli kepada
pertanyaannya? Apakah itu sikap sosial yang jujur? Apakah itu apresiasi terhadap bebrayan ?
Apakah itu sopan secara silaturahmi?
***
Pernah ada yang memberanikan diri menanyakan kepada Markesot kenapa kalau ditanya
jawabannya selalu tidak sama.
Sekadar pertanyaan sedang berjalan kaki mau ke mana, jawabannya tak menentu. Tidak konsisten.
Tidak ada akurasi fakta. Itu semacam kebohongan yang berlapis-lapis dan terus-menerus.
Itu baru tema elementer, sederhana, teknis, sehari-hari: berjalan dari suatu tempat ke tempat lain:
terdapat ratusan jawaban dan ribuan dimensi, konteks, sisi, sudut, jarak. Jangankan lagi bicara
tentang negara, mekanisme pemerintahan, lalu lintas politik, putaran-putaran sosial yang yang
99% tak tampak oleh mata.
Tapi Markesot membantah, Saya tidak ingat kapan, bagaimana, di mana dan soal apa saya
berbohong
Ke Imogiri?
Memang saya ke Imogiri
Ke rumah teman?
Teman itu tinggal di Imogiri
Ke kuburan?
Bersama teman itu janji mau bareng ke kuburan
Ziarah?
Ke kuburan mosok belanja
Tapi kan bisnis?
Bisnis itu kesibukan berusaha dan bertransaksi. Ziarah itu membeli kemurahannya Allah
Kok cari warung?
Lelah naik turun tangga pemakaman, terus lapar
Angin-angin?
Mendaki sampai ke ketinggian itu olahraga juga, di alam terbuka, segar disapu-sapu angin
Kok ada teman sakit?
Teman yang saya datangi itu memang sedang sakit hati karena ditipu orang. Itu merugikan
dagangnya serius dan mengguncang keluarganya
Buang sebel?
Kapan di dunia ini kita sempat tidak sebel, sehingga harus terus-menerus membuangnya?
Kondangan?
Teman yang sedang guncang itu meminta saya untuk datang, mungkin untuk mengeluh dan
sedikit berbagi
Mau pijat?
Kata pijat itu terbuka, bisa berarti dipijat bisa juga memijat. Kalau ada teman punya masalah kan
kita pijat-pijat hatinya supaya kendur, berkurang tegangannya
Ada janji? Jalan aja?
Lha ya janji ke rumah teman. Hidup ini juga sejak lahir hanya berisi pemenuhan janji. Nyicil
membayar janji kepada Tuhan. Itu berat. Maka saya tidak mau merasakan berat atau ringan. Saya
jalan saja. Banyak orang tidak memenuhinya. Kebanyakan orang bahkan tidak tahu dan tidak
ingat bahwa mereka lahir dari perjanjian dengan Tuhan
***
Itu sekadar urusan satu garis pendek, teknis geografis pula: Patangpuluhan Imogiri. Jangankan
garis-garis panjang sejarah dan peradaban. Jangankan lagi garisnya lengkung, lipatan, putaran.
Terlebih lagi saling-silang garis ruwet kebudayaan, rahasia sindikat politik, garis-garis abstrak
jiwa manusia, rekayasa global, Raja memutuskan untuk mentuhankan Isa, Nusantara dikebiri jadi
Indonesia. Tak terbayangkan biasnya.
Tak terbatas. Tak terukur jarak antara kebenaran dengan yang mungkin dimuat dan disampaikan
oleh informasi. Apapun metodenya. Secanggih apapun teknologinya. Sehalus apapun perangkat
lunaknya. Serohani apapun persambungan frekuensinya.
Seorang wartawan pernah tersesat ke Patangpuluhan dan entah atas dasar apa ia mewawancarai
Markesot. Pasti tidak ada alasan jusnalistiknya. Mungkin wartawan itu, untuk membuat berita atau
tulisan tentang Bulan Ramadlan, mencari seketemunya orang untuk dihimpun dan dirangkum.
Yang diwawancarai ada Ulama, ada pengusaha, ada Takmir Masjid, ada pedagang pasar, ada
tukang becak, dan Markesot termasuk golongan yang tidak jelas golongan dan kategorinya.
Kalau puasa, Bapak sukanya berbuka makanan apa?, tanya si wartawan.
Markesot menjawab sambil tidak paham kenapa dia ditanyai dan kenapa dia harus menjawab.
Pokoknya makanan apa saja asal tidak susah memakannya
Maksudnya bagaimana itu, Pak?
Misalnya daging, itu kan susah mengunyahnya
Lumayan panjang wawancaranya. Besoknya keluar di Koran: Seorang penduduk Patangpuluhan
menyatakan bahwa ia anti-daging
Berita itu sangat merugikan Markesot. Sebab sesudah itu semua tetangga dan teman-teman kalau
menawari atau mengirimi makanan ke Markesot, selalu hanya tempe, tahu, urap, paling jauh
lontong.
***
Itu baru kalimat yang lurus-lurus dan sangat elementer: Pokoknya makanan apa saja yang tidak
susah memakannya. Sudah sedemikian jauh pembiasannya, penyelewengan, dan peralihan
substansinya.
Padahal hampir seluruh pengetahuan, ilmu, kebudayaan, politik, peradaban abad sekarang ini
sejak lama dirancang dan dikendalikan oleh Takkim. Bukan shirothol mustaqim . Takkim itu suatu
program strategis yang meracuni kurikulum Sekolah dan Universitas, media cetak dan tayang,
internet, dan apa saja yang masuk ke otak penduduk bumi. Goal -nya: membalik hakikat
kebenaran.

Daur (68)
Tarikat at-Takkim-iyah

Takkim itu membalik hakikat kebenaran bagaimana maksudnya?


Pada masa sebelum Muhammad Saw lahir, melalui Raja yang sangat berkuasa Takkim
menyebarkan pembalikan dan pembiasan: manusia dilantik jadi tuhan, aqidah dijungkirbalikkan,
iman rasional digantikan oleh indoktrinasi pemahaman tentang Tuhan, Kitab Suci dirusak, diubah-
ubah, dikurangi ditambahi, dipalsukan, yang sakral diprofankan, yang halal diharamkan, yang
haram dihalalkan, preman diumumkan sebagai suci, orang baik di-Nabi-kan, dan berbagai macam
penghancuran ilmu dan iman.
Di masa Muhammad Saw dan sepeninggal Beliau hingga saat ini Takkim memupuk kemunafikan.
Kalau permusuhan antara Muslim dengan Kafir, itu masalah sederhana dan relatif jelas garis-garis
batas dan perseberangannya.
Tapi kalau yang dominan adalah atmosfir kemunafikan, maka kaum Muslimin dan kaum Kafirin
tidak bisa lagi berperang satu sama lain, bahkan sekadar mendata, mengidentifikasi dan
memverifikasi, pun tak bisa. Yang terjadi akhirnya adalah perang brubuh, permusuhan yang silang
sengkarut, multi-polar. Sampyuh .
Kelihatannya utara ternyata selatan, dan setelah didata sebagai selatan ternyata barat, sesudah
diincar sebagai barat ternyata timur, akhirnya tata ofensif dan defensif didasarkan pada fakta
timur, ternyata utara. Merah bukan merah, hijau itu ungu, ungu samaran jingga, jingga berubah
mendadak jadi kuning, kuning mengaku biru, biru diumumkan sebagai hijau, hijau ditutupi hitam,
hitam dipasangi pemancar cahaya sehingga semua orang meyakini itu adalah putih.
***
Kaum Muslimin hari-hari ini sedang asyik-asyiknya menikmati permusuhan di antara mereka,
salah satu produk adu domba program strategis Takkim global. Islam dan Indonesia, khususnya
Jawa, adalah barang mainan yang paling menyenangkan para Takkimun.
Kaum Muslimin sangat lahap menjalani kebencian satu sama lain. Sangat merasakan sedapnya
memaki dan mengutuk sesamanya. Sangat serakah menyelenggarakan travel biro pengiriman
orang-orang Islam sesama mereka sendiri ke neraka. Sementara penduduk bumi yang bukan
Muslim dibukakan jalan untuk membangun real estate di sorga.
Di masa hidup Muhammad Saw kemunafikan dipupuk oleh Takkim tokoh Musailamah. Sempat
dijuluki al-kadzdzab, si pembohong. Tetapi justru keturunannya sangat banyak di kalangan kaum
Muslimin sendiri, sehingga Markesot pergi mengambil jarak sangat serius dari Negeri
Kemunafikan yang secara bergantian diperintah oleh anak turun Musailamah sang Idola.
Sepeninggal Muhammad Saw Beliau digambar-gambar citranya dengan ragam manipulasi.
Dibangun sejumlah pengelompokan yang dipermusuhkan, sampai tingkat toh -darah dan nyawa
ratusan ribu orang. Dan itu menimbulkan map dendam dan permusuhan sampai hari ini.
Kaum Muslimin hari ini sangat rakus melahap permusuhan mak nyuss di antara mereka. Sebab
Sang Takkim sudah membekali mereka selama berabad-abad dengan satuan-satuan ilmu,
metodologi dan strategi bagaimana mendangkalkan pandangan mereka tentang Islam, AlQur`an
dan Nabi mereka Muhammad Saw.
Pembekalan untuk proyek pendangkalan dan penyempitan itu didasarkan pada idolatri dan
pemujaan terhadap filsafat Yunani Kuno, ditemani Cina Kuno untuk fungsi ilustratif-estetiknya,
serta dikawal Mesir Kuno diambil departemen Fir`aunnya.
Islam dan Nusantara dilarang bangkit, jangan sampai kebesarannya disadari oleh orang-orangnya.
Jangan sampai bangsa penghuninya terbangun dari tidur lelapnya. Jangan ada di antara mereka
yang mulai bertanya: Ah,
mosok begini ini Islam. Ah, yang begini ini bukan bangsa Indonesia. Bukan NKRI. Bahkan bukan
Negara
***
Kalau saya terus-teruskan omong yang begini-begini, nanti kalian makin banyak tanya-tanya ke
saya, kata Markesot suatu saat.
Jangan main-main, Cak Sot, salah seorang memprotes, Kalau mengawali, wajib mengakhiri
Kalau bercerita harus tuntas dong
Tidak adil meninggalkan orang lain dalam keadaan otaknya terburai,
prothol prothol , karena tidak bisa menghimpun pemahamannya atas omongan Sampeyan
Tapi Markesot tidak peduli. Ia malah kemudian menyerbu mereka dengan pertanyaan dan terus
mengejar jawabannya.
Apa gunanya kamu bertanya kepada saya. Seandainya saya bisa menjawab, tidak akan
menghasilkan nilai apa-apa, tidak mengubah apa-apa. Tanya jawab dengan saya bisa merugikan
kamu, tapi tidak memberi keuntungan apa-apa. Kenapa tanyanya tidak ke Tuhan saja, supaya
langsung efektif terhadap hidupmu, nasibmu, masa depan anak-anakmu
Tanya apa ke Tuhan?
Ya banyak sekali
Misalnya?
Markesot menemukan jalan untuk me-
nylamur -kan mereka ke wilayah tema yang berbeda, sehingga mudah-mudahan mereka sejenak
melupakan yang sebelumnya.
Sepanjang kita dilibatkan dalam hidup yang ini, katanya, Tuhan sangat serius menegas-
negaskan soal pentingnya iman, aqidah, akhlaqul karimah, shirathal mustaqim, barokah dan adzab,
ibadah terus-menerus, sorga dan neraka. Tapi bersamaan dengan itu Tuhan memberi pernyataan
bahwa kehidupan di dunia ini sebenarnya hanya permainan dan senda gurau. Gimana dong
Sialnya Markesot sering mengemukakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tidak lantas mencoba
ikut menjawabnya. Ketika orang lain tidak merasa memerlukan jawaban atau penjelasan tentang
sesuatu hal, Markesot malah menguraikannya panjang lebar.
Teroris sejati ya Markesot ini. Kerjanya mengganggu pikiran orang. Ngasih pekerjaan rumah ke
setiap orang yang berjumpa dengannya.
Ninggali beban-beban pertanyaan, keraguan, penasaran, kebingungan, ganjalan, di dalam pikiran
setiap orang.
Manusia diwajibkan selalu bersyukur. Dan tema syukur itu diseberangkan atau dipertentangkan
dengan kufur. Siapa tidak syukur berarti kufur. Jadi, sedikit saja kita lalai bersyukur, kita jadi kafir.
Mudah sekali kita terpeleset menjadi kafir. Sekarang banyak orang dan kelompok yang rajin
mengkafir-kafirkan orang atau golongan lain. Padahal tak usah dikafirkan pun kita sudah lama
pandai dan terbiasa untuk terpeleset jadi kafir.
Saya sendiri ini contoh yang gamblang, kata Markesot, Kafir saya banyak pastinya, muslim
saya belum tentu semua. Kalau orang mengkafir-kafirkan saya, malah mendapatkan tiga macam
kerugian
Kok aneh. Kan tindakan pengkafiran itu bisa merupakan bentuk nahi munkar, memberi
peringatan, mengkritik dan menganjurkan perubahan dan perbaikan pada yang dikafirkan. Kok
malah mendapat tiga macam kerugian.
Pertama, Markesot tidak peduli, Kemungkinan besar Tuhan tersinggung perasaan-Nya karena
ada makhluk yang mengambil alih hak-Nya. Kok lancang. Berani-beraninya. Melebihi Firaun
Kedua, karena tudingan pengkafiran itu ungkapan budaya dan formula komunikasinya
kebanyakan merupakan makian dan kutukan, maka bisa-bisa malah mengurangi dosa orang yang
dikafirkan
Dan ketiga, begitu saya dikafirkan, yang spontan muncul di hati saya adalah rasa geli, dan yang
nongol di otak saya adalah rasa takjub kepada dekadensi pengetahuan orang yang mengkafirkan
saya. Kok baru sekarang dia tahu bahwa saya kafir. Kekufuran adalah faktor dominan yang
memenuhi hidup saya, sementara kemusliman merupakan minoritas. Itulah sebabnya tak berhenti
saya berjuang untuk berbuat baik, demi mengimbangi dominasi kekufuran hidup saya.

Daur (69)
TKI-1

Semakin kita mengafir-ngafirkan Markesot, semakin ia menertawakan kita. Kalau kita cari-cari
contoh untuk memuji kemusliman dia, semakin ia demonstrasikan tindakan-tindakan yang
membatalkan pemusliman kita atasnya.
Semakin kita menafsir-nafsirkan Markesot, semakin parah ia berlaku dan berkata sesuatu yang
semakin susah ditafsirkan. Semakin kita mempelajari Markesot, semakin pelik ia untuk dipelajari.
Semakin kita menyimpul-nyimpulkan Markesot, semakin ia balik kecenderungannya sehingga
menjauhkan kita dari kebenaran. Kalau kita menyimpulkan Markesot sangat sehat, ia berlaku
sakit. Kalau kita simpulkan ia sakit, ia overacting menunjukkan tingkat kesehatan melebihi orang
lain.
Kalau kita simpulkan ia pandai, ia menyirami kita dengan kebodohan. Kalau kita simpulkan ia
bodoh, ia lemparkan kita ke kegelapan untuk membuktikan bahwa kita tidak mampu
memancarkan cahaya untuk menerangi kegelapan itu.
Kalau tetap ngeyel dan bermaksud mengikuti jejak perjalanan Markesot mencari Kiai Sudrun,
mudah-mudahan di tengah jalan dicegat oleh Pangeran Sabranglangit dan diperingatkan:
Kalau berjalan untuk mempelajari, balik sekarang. Kalau sekadar belajar dari, silakan terus
Coba dulu belajar dari lirik lagu yang sering direngeng-rengengkan oleh Markesot dengan sangat
buruk secara estetik-musikal. Daripada menambah tumpukan masalah di kepala, mending
ditadabburi saja. Itu pun tanpa berharap jauh-jauh bahwa hasilnya adalah tambahan iman dan
kedekatan kepada Tuhan.
Cukuplah sesudah mendengar syair itu muncul kegembiraan. Kalau tidak kegembiraan ya paling
tidak terbit ketenangan. Kalau ketenangan masih terlalu mewah, minimal hadir situasi jiwa yang
tidak terlalu galau, atau agak sedikit lebih menjauh dari keputusasaan.
Kalau harus menafsirkan syair lagu Markesot itu, assalamualaikum sajalah, pamit dan salam
mesra untuk Markesot. Tiga huruf Qur`an Alim dan Lam dan Mim saja tidak ada ahli yang paling
tinggi ilmunya sanggup menafsirkannya. Semua angkat tangan dan menyatakan hanya Allah
yang mengetahui maknanya.
Iya lah. Wong Allah sendiri yang bikin susunan tiga huruf itu. Mosok Iblis punya kemungkinan
untuk mencuri maknanya, sebagimana Iblis suka nyuri-nyuri nengok-nengok lembaran-lembaran
Lauhul Mahfudh .
Iblis masih lumayan bisa mbalap waktu, melampaui rentangannya, juga mampu memadatkan
ruang dan meringkas keluasannya, sehingga bagaikan Maling Cluring ngindhik buku besar
Lauhul Mahfudh .
Lha manusia zaman sekarang memanjat pohon kelapa saja kakinya
kram-krom-kram-krom krom-kram-krom-kram . Gitu kok sok memusuhi Iblis dan Setan.
Mulutnya memekik-mekik anti Iblis dan Setan, padahal Iblis bertahta di dalam jiwanya dan Setan
mengalir di darahnya.
***
Beberapa kalimat lirik lagu Markesot saja akan bisa menyebabkan perkelahian antara beberapa
orang yang mendengarkannya. Itu kalau mereka berpretensi untuk menafsirkannya, memahami
peta batin dan rangkaian muatan nilainya.
Silakan kalau mau bertengkar. Dengarkan lagunya yang menggelikan, baca kembali di memori
otak kalimat-kalimatnya. Perlombakan kemampuan untuk menggambar rangkumannya.
Pertandingkan kecerdasan untuk menemukan alurnya, kronologi muatannya, puzzling muatan-
muatannya, konsistensi tematik dan disiplin kontekstualisasinya.
Kalau pertengkaran menjadi perkelahian kemudian ada rencana untuk memuncakinya dengan
bunuh-bunuhan, maka datanglah ke Markesot dengan cara pandang akademis yang diperoleh dari
Sekolahan. Satu kata dari mulut Markesot bisa menjadi landasan untuk bertengkar. Itu baru satu
kata. Belum satu kalimat. Belum lagi seluruh alam pikiran dan semesta batinnya. Belum lagi jagat
kehidupan Markesot.
Jangankan lagi Qur`an. Supaya hidup selamat, bertadabburlah. Di dalam tadabbur, mungkin
diperlukan sedikit tafsir. Tapi kalau sudah coba menafsirkan, hendaklah dibatasi yang diperoleh itu
adalah kebenaran penafsiran, belum tentu sama dengan kebenaran yang ditafsirkan.
Kalau ingin menyebarkan kerusakan di muka bumi, berkelilinglah memaksakan hasil
penafsiranmu sebagai kebenaran mutlak di depan siapa saja. Terapkan hasil penafsiranmu sama
dan sejajar dengan kebenaran Qur`an. Jangan biarkan ada orang yang berbeda dari kamu. Karena
kamu merasa bahwa kalau berbeda dari kamu berarti menentang Qur`an. Kalau menentang Qur`an
berarti mendurhakai Tuhan. Dan kalau mendurhakai Tuhan berarti masuk neraka.
Kalau ingin merusak silaturahmi sosial di bebrayan masyarakat, kalau ingin ummatmu terpecah
belah, kalau ingin bangsamu saling menghancurkan satu sama lain, datanglah kepada mereka
untuk memaksakan hasil-hasil penafsiranmu. Paksa setiap orang untuk meyakini bahwa setiap
produk tafsirmu adalah kebenaran sejati sebagaimana firman Tuhan.
Tapi kalau takut bertengkar, tidak berani berkelahi dan ngeri untuk bunuh-membunuh, maka
berdaulatlah kepada Markesot.
***
Lho kok berdaulat kepada Markesot.
Ya. Kan sudah disentuh soal itu berulang-ulang. Tapi mungkin tetap saja tidak benar-benar
diperhatikan. Berdaulat kepada Markesot sebagai bagian dari pembelajaran kedaulatan. Setelah itu
satu persatu dan semua yang lain, kecuali kepada yang justru berdaulat atasmu. Tuhan namanya.
Berdaulat kepada Markesot itu ekstremnya bunuh Markesot di dalam dirimu . Silakan
mendengarkan omongannya, tapi jangan melakukan apapun karena mengikutinya. Silakan
menghayati hidupnya dan menggali segala sesuatu darinya, tetapi jangan melangkah ke manapun
dan untuk apapun kalau dasarnya adalah mematuhinya. Bodoh, memalukan dan menggelikan
kalau ada orang kok taatnya kepada Markesot. Si Sarpon itu, umpamanya, bukan taat, tapi setia.
Berdasarkan susastra dan retorika ayat di Kitab Suci, yang mutlak harus ditaati, pantas, tepat dan
mumpuni untuk dipatuhi, hanya Tuhan dan Utusan-Nya. Yang lain, Wali, Maulana, Syeikh,
Mursyid, Ulama, Kiai, Panembahan, Begawan, Brahma, Santo Santa dan sebagainya, relatif
posisinya untuk ditaati atau tidak.
Kalaupun di antara beliau-beliau itu ada yang ditaati, sebenarnya itu jalur ketaatan saja. Pangkal
subjek yang sejatinya ditaati ya Tuhan dan Utusan-Nya itu. Bahkanpun kedua orang tua, perintah
Tuhan kepada anak-anak adalah berbuat baik saja. Apalagi ustadz, tak ada kaitan apapun dengan
ketaatan.
Lebih-lebih presiden atau menteri-menteri dan para pejabat, mereka justru wajib taat kepada
undang-undang negara. Mereka digaji untuk itu. undang-undang adalah tulang punggung
kedaulatan rakyat. Hakikinya presiden dengan seluruh jajaran kepemerintahannya berposisi wajib
taat kepada rakyat. Sebab rakyat yang pegang sertifikat hakiki kepemilikan Tanah Air yang di
atasnya didirikan bangunan negara.
Presiden adalah buruhnya negara, bukan kepala negara. Kalau presiden adalah kepala
pemerintahan: masih masuk akal dan proporsional. Kalau pakai istilah sekarang, presiden adalah
TKI-1, tenaga kerja Indonesia nomor urut satu. Bukankah Markesot sudah sejak lama
menguraikan konteks ini, misalnya pemerintah bukan negara, pegawai negara bukan pegawai
negeri, tidak ada bawahan patuh kepada atasan, karena yang atas maupun yang bawah berposisi
sama untuk patuh kepada undang-undang?
***
Nah, berdaulat kepada Markesot adalah jangan ditelan mentah-mentah uraiannya tentang negara
dan pemerintah ini. Jangan membabi-buta percaya dan ngikut dia. Ambil jarak intelektual dulu,
siapkan kejujuran akal dan kebersihan hati. Ajak teman-teman pelan-pelan berdiskusi tentang itu.
Kalau menurut kalian itu salah, tak usah berjuang mengubahnya. Kalau itu benar, jangan tidak
berjuang.

Daur (70)
Mursyid Peradaban
Dari Barat dan Utara
Yang paling tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Patangpuluhan adalah
wanti-wanti Markesot kepada mereka: Masing-masing kalian harus menaklukkan saya di dalam
diri kalian. Haram hukumnya Markesot berkuasa atas pikiran kalian, mental kalian, hati dan sikap
hidup kalian. Masing-masing dari kalian wajib berdaulat atas diri kalian sendiri
Beberapa teman pernah mendengar secara khusus:
Kalau oleh saya saja kalian bisa dijajah, bagaimana mungkin kalian berpotensi untuk menjadi
patriot bangsa kalian. Kalau kalian terlalu gampang terpesona, kagum, takjub, sedikit-sedikit
anyenyubyo, akan terkisis harga diri kalian, kemudian mental kalian akan menjadi sangat empuk
untuk dimakan oleh orang lain
Kalau oleh orang yang bukan siapa-siapa seperti saya ini kalian gampang terseret, maka
gelombang besar global dari arah barat, kemudian dari utara, arus badai penguasaan atas seluruh
dunia, sejak hampir delapan abad yang lalu terlalu muluk dan berlebihan. Karena kalian
sebenarnya cukup ditaklukkan dengan sejumlah peluru dan beberapa lembaran uang
Maka kalian harus berdaulat atas diri kalian sendiri, agar siap juga mendaulati saya. Mengatasi
saya di dalam diri kalian. Menjadikan saya hanya sebagai tambahan unsur, misalnya alat
bercermin, di dalam diri kalian. Jangan sampai saya mendominasi kedalaman jiwa kalian
***
Sejumlah teman lain mencoba secara bertahap memahami bahwa yang dimaksud adalah,
misalnya, ambil
tlethong Markesot saja dulu, kemudian dicoba di-daulat-i, diolah, diproduksi menjadi kegunaan,
diasah menjadi manfaat
Markesot justru mungkin harus dilihat dulu sebagai lambang dari sesuatu yang biasa saja.
Seseorang yang sama sekali tidak luar biasa. Mungkin bahkan simbol kerendahan. Karena toh
kerendahan bisa berguna untuk pijakan mendaki ketinggian.
Markesot adalah contoh keremeh-temehan, yang bisa bermanfaat untuk menggali bobot nilai
kehidupan. Markesot adalah pertanda kebodohan. Dan temukanlah betapa kebodohan sangat
menolong setiap manusia untuk merindukan, mencari dan menemukan sejatinya ilmu dan
pengetahuan.
Tapi bagaimana maksudnya berdaulat kepada Markesot?
Mereka makin lama makin menyepakati untuk jangan sekali-sekali mempelajari Markesot. Cukup
belajar dari tlethong-nya saja. Ambil sedikit
tlethong itu, pandangi dengan kedaulatan ilmumu, gunakan dengan hak pribadimu untuk merabuki
tanamanmu.
Lupakan apa siapa bagaimana kenapa di mana Lembu Markesot.
Barangsiapa mempelajari Markesot, ia akan terjajah olehnya. Barang siapa belajar dari atau
kepada Markesot, sebagaimana kepada tlethong, ia akan memperoleh manfaat sesuai dengan kadar
kedaulatan yang diterapkannya.
***
Setiap murid memerlukan Guru. Masalahnya bagaimana murid yang justru baru akan belajar
menapaki ilmu, bisa memiliki ukuran untuk menentukan apakah seseorang di hadapannya itu
Guru atau bukan, layak di- meguru -i atau tidak. Sebagaimana setiap Salik yang hendak
menempuh thariqat memerlukan seorang Mursyid.
Mungkin orang-orang di sekitarnya memberi informasi bahwa itu ada orang alim saleh mendalam
ilmu rohaninya sehingga disimpulkan ia adalah Mursyid. Atau orang-orang tertentu hadir ke
banyak orang berlaku sebagai Mursyid. Tetapi bagaimana orang yang baru akan melangkah
mencari bisa menentukan bahwa ada orang lain yang sudah menemukan?
Tanda seseorang sudah menemukan adalah bukti adanya sesuatu yang ditemukan. Bagaimana
mungkin orang yang belum pernah menemukan punya kemampuan untuk memastikan bahwa
sesuatu itulah yang sudah ditemukan. Bukankah ia justru sedang akan mulai mengenali parameter
tentang sesuatu yang ditemukan?
Syukur kepada Tuhan andaikan yang mengaku Mursyid di hadapanmu itu memang sungguh-
sungguh seorang dengan kualitas pengalaman yang panjang dan mendalam hingga selayaknya
disebut Mursyid.
Sedangkan, kata Markesot suatu malam, yang berlangsung sekarang adalah tamu-tamu asing
dari Barat dan Utara datang sebagai Mursyid Peradaban, dan kalian mempercayai mereka. Kalian
merasa lebih rendah dari mereka. Kalian membungkuk-bungkuk kepada mereka. Bahkan iman
kalian kepada mereka menggeser posisi iman kalian kepada yang sesungguhnya kalian butuhkan
untuk diimani
***
Bangsa-bangsa dari Barat dan Utara datang ke sini untuk mempelajari bangsa kalian, tetapi kalian
memperlakukan mereka sebagai Mursyid Peradaban, Guru Besar Kemajuan, Sang Pencerah Akal
dan Kebudayaan, Profesor Ilmu dan Teknologi.
Mereka datang membawa kegelapan berjangka, tetapi mengajarkan kepada kalian bahwa yang
mereka bawa adalah Abad Pencerahan. Mereka datang menelanjangi jati diri kalian, mencopoti
pakaian kebudayaan kalian, mengikis martabat kebangsaan dan kemanusiaan kalian. Tetapi kalian
menyikapi mereka dengan puja-puji dan junjungan melebihi Nabi-Nabi kalian sendiri.
Sekarang bahkan mereka tidak perlu datang ke sini untuk mempelajari. Cukup menggunakan
frekuensi, penyerapan digital hingga balon-balon di angkasa. Yang mereka kirim untuk datang
menyerbu dan tinggal bersama kalian adalah jutaan sampah-sampah buangan dari kampung
halaman mereka. Yang tata budayanya jauh di abad belakang kalian.
Hasilnya adalah penjajahan kepada bangsamu. Berabad-abad mereka mempelajarimu, menyerap
segala hal tentang dirimu, fakta-fakta, data-data, karakter, kekayaan, kekuatan dan kelemahan.
Kamu menjadi janda cantik bahenol yang ditelanjangi, kemudian ditiduri semau-mau mereka.
Bangsamu dibikin bangga dilibatkan dalam kemewahan Peradaban Teknologi Informasi.
Bangsamu merasa sedang melaju di jalan raya kemajuan dan kehebatan.
Bangsamu meyakini sedang menguasai informasi dan menguasai dunia. Padahal bangsamu sedang
dijadikan narapidana, sandera, konsumen total, disetir, dikendalikan, dianiaya dengan halusinasi,
dibutakan melalui lampu-lampu yang menyilaukan kesadaran. Untuk akhirnya menjadi bodoh,
tidak mengerti dirinya sendiri, kemudian dijajah, dirampok hartanya, disirnakan kepercayaan
dirinya.
Tapi bangsamu bangga dianiaya. Bangga diperbodoh. Merasa sukses padahal diperbudak. Yakin
sedang menjalani puncak peradaban, padahal mereka adalah pelengkap penderita.
Bangsamu kehilangan ukuran tentang hampir segala sesuatu. Bangsamu bangga ketika seharusnya
malu, dan malu ketika semestinya bangga. Bangsamu melawan hal-hal yang sejatinya perlu
ditaati, dan taat kepada sesuatu yang sewajibnya dilawan.
Bangsamu adalah bangsa Muqallidin , pembebek yang menjijikkan. Bangsamu disembelih, tapi
tidak sebagai Ismail.
Daur (71)
Si Adzab Gentayangan

Semua yang berada di lingkup atmosfer Patangpuluhan, entah yang masih tinggal di situ atau yang
sudah bertebaran di berbagai pulau dan pelosok-pelosok, diam-diam mencatat bahwa tahun-tahun
terakhir ini ada semacam gejolak perasaan atau gelombang batin yang tak menentu pada
Markesot, yang menyangkut lingkungannya, manusia-manusianya, masyarakatnya, bangsa dan
negerinya.
Betapapun Markesot sangat menahan diri dan menyamarkan gejolak itu, tapi akumulasi nuansa
jiwanya tampak mencerminkan hal itu semakin jelas. Misalnya, cukup lama ia seperti menghindar
untuk menyebut kata Indonesia. Menggantinya dengan, misalnya Nusantara atau Negeri
Khatulistiwa.
Saat-saat awal ia hanya mengambil jarak. Tahap berikutnya ia bungkam untuk berbicara tentang
yang namanya ia ganti itu. Tidak mau menyebut nama presiden dan menteri-menteri. Bahkan
kalau ada dua foto besar terpampang di tembok ruang dalam sebuah gedung atau kantor, Markesot
langsung keluar.
Ketika beberapa kali ada yang memberanikan diri bertanya, jawaban Markesot bermacam-macam.
Saya ini lemah. Hati saya cengeng. Perasaan terlalu mudah terjerumus ke dalam kesedihan. Tidak
jelas kenapa tadi begitu saya masuk ruangan itu lantas batin saya menangis. Menangis sangat
mendalam. Sehingga saya tidak tahan dan keluar
Rasanya di dalam ruangan tadi ada semacam getaran atau aura atau mungkin wibawa yang luar
biasa kuatnya, sampai rasanya saya mau pingsan. Jadi saya tidak kuat
Saya ini penakut. Saya tidak berani makan nasi kalau saya tidak benar-benar yakin bahwa itu
nasi. Saya tidak berani mengakui sesuatu kalau secara batin maupun akal saya tidak memperoleh
keyakinan atas sesuatu itu. Yang kecil-kecil dan remeh saja saya takut untuk mengakui. Apalagi
Tuhan, kiai, presiden, menteri atau yang besar-besar lainnya
Kalian tahu saya ini boleh dikatakan tidak punya tempat yang jelas di peta kehidupan dunia. Saya
tidak mampu meletakkan pantat saya di kursi, kalau menurut pemikiran saya itu bukan kursi. Saya
seorang warga negara resmi, tapi sebagai warga saya kebingungan karena banyak sekali faktor
yang membuat saya ragu-ragu apa benar ini negara
***
Mungkin ada yang masih ingat, ketika Sapron bertanya kenapa Markesot sekarang lebih banyak
berurusan dengan manusia dan bukan konstruksi sosialnya, juga dengan rakyat tapi tidak
negaranya, sebagaimana dulu-dulu: Markesot menjawab, Saya menjauh dari wilayah adzab
Terus terang saja ketika mendengar jawaban itu diam-diam Sapron tertawa geli namun ditahannya.
Cak Sot itu kalau omong seakan-akan ia adalah warga Planet Berkah yang ulang-alik dari dan ke
sorga, sehingga ia melihat yang di sini ini sebagai wilayah adzab. Padahal sebagian orang
berpendapat bahwa hadirnya Markesot di bumi ini aslinya merupakan wujud adzab
Kalau masyarakat umum melihat kehidupan Markesot, apa kesimpulan mereka kalau bukan
perwujudan adzab. Markesot adalah adzab mlaku, suatu istilah sebagaimana kalau orang kutu
buku disebut perpustakaan berjalan. Atau contoh lain yang indah: Muhammad Saw adalah
Qur`an hidup, atau Quran adalah Muhammad literer
Apanya yang bukan adzab pada Markesot? Coba perhatikan: miskin, tidak punya harta benda apa-
apa kecuali pakaian dan beberapa perangkat remeh lainnya. Tidak pernah maju, begitu-begitu
melulu hidupnya. Tidak punya karier. Jangan tanya apakah Markesot punya masa depan,
sedangkan cita-cita dan keinginanpun ia tidak punya.
Markesot itu sebatang kara pun tidak. Ia sebatang lilin: menyala tapi tak bisa menerangi ruangan
secara maksimal. Itu pun untuk menyala ia harus membakar dirinya sendiri. Dan lagi nyalanya
sangat sebentar. Sungguh adzab. Markesot adalah adzab gentayangan.
Cukup satu Markesot saja di bumi. Tidak. Di seluruh alam semesta cukup dia saja. Jangan sampai
ada Markesot lain. Siapa tega melihatnya. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah berkenan
membatasi jumlah makhluk semacam Markesot itu cukup satu saja.
Si adzab gentayangan itu sudah makin udzur usianya. Tubuhnya makin lemah, padahal tak punya
istri. Kulitnya makin keriput, padahal tidak punya tabungan. Rambutnya makin memutih, padahal
tak punya anak. Jaraknya dengan maut makin mendekat, padahal tidak jelas asal-usulnya, masa
silamnya, apalagi masa depannya.
Ya ampun apakah Tuhan akan membiarkan dia mati nelangsa nanti. Menjalani kehidupan tanpa
karier, tidak pernah mencapai sukses, tidak punya motor apalagi mobil, rumah kontrakan abadi,
karyawan ya bukan, berkarya ya tidak. Walhasil apa namanya yang seperti itu kalau bukan adzab.
Lelaki tua yang wajahnya penuh kerut-merut derita bernama Markesot ini ahli servis motor dan
mobil, tanpa satu kali pun pernah punya motor, apalagi mobil. Terkadang kalau dia omong,
bagaikan seorang filosof, tetapi filsafat makin tidak marketable dan para pakar filsafat tak satu pun
mencatat nama Markesot.
Markesot selalu menyebarkan kesan seolah-olah dia pengikut Nabi Muhammad Saw di bidang
konsumsi: Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang. Padahal kasusnya
bukan soal ilmu kesehatan atau ketinggian akhlaq terhadap ketersediaan pangan di bumi.
Masalahnya adalah Markesot memang miskin, tidak lancar memperoleh makanan.
***
Di zaman mudanya, tatkala Markesot masih lebih gelandangan dibanding sekarang, Markesot
mengatur makannya dengan menyusun daftar sekian teman-temannya, kemudian menggambar
map yang berisi titik-titik tempat tinggal mereka.
Pagi bertamu ke sini, siangnya dolan ke sana, malamnya nongkrong di tempat teman berikutnya.
Tentu tidak untuk terang-terangan minta makan, melainkan berspekulasi siapa tahu di tempat-
tempat itu ia diajak makan, di rumah teman-temannya itu atau ditraktir ke warung.
Besoknya, lusa dan seterusnya, sudah terdaftar nama teman-teman yang berbeda. Meskipun
demikian memang sering tidak mudah mengatur hati dalam situasi miskin. Selalu ada unsur salah
tingkahnya, rasa malu, atau seperti Markesot sedang membanting harga dirinya sendiri setiap kali
mengharap dikasih makan oleh temannya.
Suatu siang Markesot bertandang ke rumah salah seorang temannya. Membohongi dirinya sendiri
pura-pura tidak ada urusan makan. Tapi diam-diam di pojok hati kecilnya memang ia ke situ untuk
berspekulasi siapa tahu akan dikasih makan. Tuhan Maha Agung, ketika Markesot mengetuk pintu
ternyata temannya sekeluarga memang sedang makan siang.
Temannya sangat gembira didatangi Markesot dan langsung berdiri menyongsong kemudian
mengajaknya bergabung makan siang dengan keluarganya. Markesot spontan menjawab: Wah
baru saja saya makan. Terima kasih. Saya minum saja
Padahal dia sesungguh-sungguhnya sedang kelaparan.
Di hari lain Markesot mendatangi temannya sedang latihan teater di sebuah gedung kesenian.
Setelah pura-pura menikmati sejumlah adegan, Markesot mengajak temannya ke warung untuk
makan. Dengan harapan temannya itu akan mentraktir, karena mustahil Markesot yang tak punya
uang harus mentraktir.
Temannya menjawab, Saya sudah makan, nggak apa-apa saya ditinggal saja, kebetulan juga
masih ada adegan yang harus saya latih
Akhirnya Markesot melangkah keluar gedung. Berjalan menyusuri jalanan, muter alun-alun,
selama waktu yang kira-kira sama dengan keperluan makan di warung. Setelah itu ia balik ke
gedung, acting seolah-olah ia kekenyangan habis dari warung.
Maka kalau Markesot berkata saya menjauh dari wilayah adzab, si adzab berkata biar aku yang
mendekat kepadamu.

Daur (72)
Agamaterialisme

Memang bagi kebanyakan orang kemiskinan adalah bencana, dan kebanyakan orang
menyimpulkan secara kolektif bahwa bencana itu mirip-mirip dengan adzab. Yah kira-kira hampir
sama dan sebangun.
Sementara itu orang tidak kebanyakan juga kelihatannya kurang berminat untuk mengurusi
apakah antara adzab dengan bencana itu sama ataukah berbeda. Kalau sama, kok bisa sama,
bagaimana konteks sebab dan akibatnya. Kalau tidak sama, seberapa jaraknya.
Bencana, adzab, mushibah , celaka, sial, kemudian banjir, gempa, gunung meletus, badai,
halilintar, petir, bercampur-aduk di dalam satu tabung makna. Ditambah lagi fakir, miskin, tak
punya apa-apa, sengsara, berat, susah, sedih, derita, aib, malu.
Kalau racun berwarna kuning, kebanyakan orang berasosiasi bahwa yang membunuh bukan hanya
racun, tapi juga kuning. Kalau kemiskinan itu berat dan menderita, maka segala penderitaan dan
semua yang berat disimpulkan sebagai bencana, akhirnya bencana dikonklusikan sebagai adzab.
Manusia mengalami kelelahan untuk mengurai pengetahuan dan memilah gigir-gigir ilmu.
Rentang jarak yang bisa sangat panjang antara keadaan miskin dengan adzab, ditekuk, dilipat-
lipat, digumpalkan menjadi satu titik. Peradaban panjang materialisme membawa ummat manusia
menyisakan satu pengertian makna: bahwa kemiskinan adalah adzab.
Semua jenis kegiatan yang menghasilkan kekayaan harta benda, dianggap berkah. Segala
perjuangan yang ujungnya adalah kebangkrutan keduniaan, dipahami sebagai adzab.
Sehingga mereka bersedia dijajah asal tidak miskin. Bahkan harta milik sebuah Bangsa dirampok
tidak masalah, asalkan penduduk Negara Bangsa itu disisakan sedikit untuk penghidupan
keluarganya. Kemiskinan itu hina, sehingga lebih baik ikut Iblis asalkan kaya, daripada setia
kepada Tuhan tapi disuruh bersabar dalam kemiskinan.
***
Sampai-sampai membangun tempat ibadah pun tidak soal meskipun Setan yang membiayainya.
Sehingga tidak perlu memverifikasi halal haramnya bantuan yang diberikan untuk pembangunan
rumah ibadah itu.
Kemiskinan di dunia dimaknai sebagai bencana yang membuat manusia merasa hina dan rendah.
Tidak hanya rendah di hadapan sesama manusia, tapi juga di depan dirinya sendiri. Adapun di
depan Tuhan, mereka merasa tidak ada bahan untuk mengukurnya. Tidak ada mata kuliahnya.
Tidak ada universitas dan fakultasnya.
Kehilangan martabat kemanusiaan tak masalah, asal tetap punya pekerjaan, bisa menghidupi
keluarga dan memastikan kemakmuran. Tidak punya harga diri pribadi, harga diri kemasyarakatan
dan kebangsaan, itu bukan persoalan, karena yang utama adalah tegaknya materialisme dalam
kehidupan di dunia.
Manusia dan bangsa jenis itu, benderanya adalah Anti Kemiskinan, bukan Anti Pemiskinan ,
karena mereka melihat kekayaan dunia sebagai benda, bukan sebagai bahan-bahan di dalam tugas
akhlak. Jargon mereka Anti Kebodohan , bukan Anti Pembodohan , karena faktanya
kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan dalam rangka anti-kebodohan ternyata adalah
penumpukan kebodohan.
Seolah-olah Nabi pamungkas junjungan mereka adalah orang yang kaya raya seperti kakeknya,
Sang Raja Sulaiman. Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar bahwa junjungan mereka itu
sangat sering mengganjal perutnya dengan batu agar tak terlalu merasa sedang lapar. Seakan-akan
tak ada yang pernah menginformasikan kepada mereka bahwa luas rumah junjungan mereka itu
panjangnya 4,80 X lebarnya 4,62 X tingginya 2,5 meter. Lebih sempit dari rata-rata kamar mandi
mereka.
Seolah-olah para pemuka masyarakat mereka menyembunyikan fakta bahwa kekayaan beliau
dibagi-bagi ke kelompok-kelompok ekonomi kecil di seantero Madinah. Sehingga beliau sendiri
menempuh pola hidup yang jauh lebih miskin dari kebanyakan manusia zaman sekarang.
Kemudian miliaran pengikut beliau berabad-abad mengibarkan bendera Anti Kemiskinan. Dan
kemiskinan yang dimaksudkan adalah pada konsep materialisme dan ideologi keduniaan.
Mayoritas penduduk bumi adalah pemeluk Agamaterialisme.
Tanpa penggambaran bahwa dunia adalah babak penyisihan, kemudian manusia maju ke babak-
babak berikutnya, perdelapan final, perempat final, semifinal sampai final menjelang ketentuan
final di depan gerbang Stadion Sorga dan Neraka.
***
Seakan-akan Tuhan tidak pernah memberi pernyataan bahwa Tidaklah Kuberikan ilmu kepada
kalian kecuali sangat sedikit . Sehingga mereka pasang standar bahwa manusia itu harus pandai,
maka harus Anti Kebodohan .
Ummat manusia di muka umumnya lalai dari penglihatan bahwa audiens utama hidup mereka
adalah Tuhan sendiri. Innallaha Khobirun bima ta`malun . Sesungguhnya Allah mengabarkan
apa yang kalian lakukan. Allah penonton pentas dunia kita, Allah wartawan pengumpul data dan
pemotret kelakuan kita, Allah redaktur penayang make up wajah kita. Kemudian Allah jaksa
penuntut dan hakim kita.
Kealpaan manusia atas fakta panggung dan audiens itu membuat mereka mampu gagah perkasa
mementaskan kepandaian, dengan jargon Anti Kebodohan. Mereka tidak menyusun kurikulum
pada konteks dan urusan apa kepandaian diperkenankan Tuhan untuk diperlukan dan digunakan.
Itu pun dengan batas takaran kepandaian yang dilapisi baja kewaspadaan.
Mereka juga tidak meneliti pada proporsi yang mana kebodohan sangat dibutuhkan oleh manusia
demi keselamatannya. Manusia menyangka semakin ia tahu semakin baik dan selamat hidupnya.
Manusia tidak mensimulasi kemungkinan-kemungkinan di mana kepandaian perlu dibatasi,
sebagaimana kebodohan juga ditentukan kadarnya. Semua demi ketepatan letak keselamatan
dalam konstruksi kehidupan yang disusun oleh Tuhan.
Telinga manusia dibatasi jangkauan pendengarannya, agar ia tidak perlu menjadi kalap dan gila
karena kesanggupannya mendengar omong-omong orang di jarak yang jauh.
Mata manusia juga dibatasi hanya bisa melihat pada garis lurus, sebab kalau penglihatan bisa
berbelok dan melingkar, maka pakaian orang lain tidak ada fungsinya. Dan kalau pakaian tidak
berfungsi berarti semua orang telanjang. Dan kalau semua orang telanjang, peradaban dan
kehidupan hanya berumur beberapa minggu.
Demi keselamatan hidup manusia, Tuhan menentukan batas penglihatannya, pendengarannya,
jasad maupun batinnya, pengetahuan dan ilmunya, kekuatan dan kesanggupannya. Allah Maha
Penakar. Allah Maha Pakar Batas.
Tetapi dasar manusia. Pada konteks di mana mereka butuh membatasi, mereka kejar ketidak-
terbatasan. Pada konteks lain di mana mereka merdeka dari batas, mereka malah membatas-batasi.
Hasilnya kebudayaannya, ketika mereka tidak punya jalan selamat yang lain kecuali memilih
patuh, misalnya kepada sunnah dan qadar Tuhan, mereka malah memilih kebebasan dan
demokrasi. Sebaliknya ketika Tuhan membuka kedaulatan bagi mereka, misalnya di wilayah
pemikiran, kreativitas atau teknologi, mereka malah menjadi pembebek-pembebek kepada
sesamanya.
Mereka balik dunia dijadikan akhirat, akhirat diduniakan. Rohani dijasmanikan, sambil bingung
bagaimana merohanikan jasmani. Materialisme dituhankan, Tuhan dimaterikan.
Itulah yang oleh Markesot ditembangkan bebendhu tan kasat mata, pepeteng kang malih rupa .
Agamaterialisme. Tampak seperti Agama, padahal materialisme. Tidak terasa materialisme, karena
wajahnya Agama.

Daur (73)
Relawan Adzab

Sedahsyat-dahsyat pencapaian peradaban dan kecanggihan teknologi ummat manusia di abad ini,
masih tertinggal jauh di belakang peradaban Irom dzatil imad kurun Nabi Hud, ketinggian
gedung-gedungnya ataupun panjang lebar runaway pesawat-pesawatnya.
Pun belum mencapai sekadar teknologi komprehensif Piramida-nya dinasti para Fir`aun. Atau
keakraban silaturahmi dengan makhluk-makhluk luar angkasa para penghuni Pulau Jawa. Atau
bahkan pun dibanding penguasaan waktu dan kesemestaan ruang bangsa Maya dan Inka di
kantung raksasa bawahnya pulau yang sekarang diklaim bernama Amerika.
Dan semua itu hancur luluh lantak karena konflik dengan Tuhan. Disisakan sangat sedikit
sehingga tidak sampai musnah total, untuk keperluan pembelajaran bagi para pembangun
peradaban di abad-abad berikutnya. Yang hari-hari ini sedang bertahta di puncak keangkuhannya,
hampir tiba di jurang kehancurannya.
Dan kalau ukuran kemajuan dan ketertinggalannya, parameter kejayaan dan keterpurukannya,
serta ketinggian dan kerendahan ke-adab-annya diambil dari Agamaterialisme, maka dalam skala
sangat kecil: Patangpuluhan adalah simbol dari segala macam jenis kegagalan, ketertinggalan,
keterpurukan, bahkan kekumuhan dan kehinaan.
Tidak seserpih apapun yang kasat mata di Patangpuluhan yang lulus untuk disebut maju dan jaya.
Supremasi cat rumahnya saja warna hitam. Tembok-temboknya lembab dan kusam. Tak ada tata
rumah tangga yang biasanya diwakilkan kepada meja kursi tamu yang pantas. Almari-almari yang
ganteng dengan benda-benda
mejeng tak jelas gunanya. Ranjang kasur sprei bantal guling yang mencerminkan bahwa
penghuninya cukup berbudaya.
***
Tak ada. Tiada. Benar-benar tak ada gebyar dan tiada sesuatu yang bercahaya. Tamu-tamu yang
datang pun makhluk kumuh dan rendahan, yang keperluan-keperluan kedatangan mereka tidak
ada gaya, style , atau aura yang membanggakan.
Tamu-tamu Patangpuluhan keperluannya komplet, tapi kelasnya rendahan. Misalnya orang-orang
yang barusan kecopetan, dan itu biasanya kiriman dari Terminal Bus atau Stasiun Kereta Api,
entah siapa yang mengirim mereka. Sampai hari ini tidak tertemukan siapa provokator yang
yuwaswisu fi shuduri orang-orang susah itu agar njujug-nya ke Patangpuluhan.
Rumah hitam Patangpuluhan adalah keranjang sampah.
Yang paling rutin adalah orang datang dengan masalah psikologis dan rumah tangga. Kalau orang-
orang gila, ngengleng, tidak berfungsi sejumlah saraf di otaknya, tidak dikategorikan sebagai tamu
di Patangpuluhan. Mereka adalah kawan-kawan karib.
Tampaknya memang situasi Patangpuluhan adalah tempat yang paling pelik untuk mengurai beda
antara bencana dengan adzab.
Karena yang datang kadang-kadang memaksa Markesot menjadi Kiai atau Dukun. Yang medukun
bisa minta nomer, bisa konsultasi pesugihan atau
pengasihan. Plus orang kesurupan.
Yang menuduh Markesot adalah Kiai, datang dengan pertanyaan-pertanyaan pelik atau justru
pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tidak perlu ditanyakan oleh setiap makhluk yang punya
akal.
Ada yang datang, angkat tangan ke jidat, tabik seperti prajurit kepada atasannya. Kemudian duduk
dan melaporkan:
Saya berasal dari Kalimantan. Kuliah di Yogya. Orang tua saya bangkrut. Sudah hampir setahun
saya terpaksa mencari uang sendiri untuk makan, tempat tinggal dan bayar kuliah. Beberapa
minggu terakhir saya kelaparan. Saya datang ke kantor Palang Merah untuk menjual darah saya.
Setiap saya kelaparan saya jual darah. Makin lama saya makin lemah. Sekarang kondisi saya
bingung dan agak sedikit gila
***
Kisah para tamu Patangpuluhan kalau ditulis bisa melahirkan beberapa puluh novel, beberapa
ratus novelet, ribuan cerita pendek dan puisi-puisi yang susah dibatasi jumlahnya.
Dan karena tidak mungkin ada sekian puluh novelis, sekian ratus penulis novelet, sekian ribu
cerpenis serta kumpulan penyair ummat manusia dan masyarakat Jin yang jumlahnya tak terbatas,
yang bisa berenang di gelombang samudera Patangpuluhan, maka urusan penulisan ini sebaiknya
diabaikan saja.
Yang perlu dikemukakan di sini sekadar penjelasan-terpaksa Markesot ketika dikiaikan oleh tamu-
tamu yang datang bertanya tentang bencana dan adzab. Markesot sedikit tahu Alif tapi agak
bengkong, tapi sejumlah orang mengira dia pintar ngaji dan paham agama.
Bab nahwu shorof, ilmu balaghah, manthiq dan yang begitu-begitu Markesot hanya dengar-
dengar, tapi sering ada tamu-tamu aneh yang berkonsultasi atau berdiskusi dengan Markesot soal
ushulul-fiqh, aqidah, tasawuf, kenapa Nabi Muhammad kok rajin bertapa, kenapa Iblis ditugasi
seperti itu, Sayidina Ali waktu ke Jawa Timur nginap di mana, kapan pas-nya Gadjah Mada
bersyahadat, dan macam-macam lagi.
Hal Kitab Kuning, Markesot melihat saja belum pernah, bahasa Arabnya sebatas Anta Antum
Ente. Tapi ada orang-orang tersesat ke Patangpuluhan tanya-tanya ke Markesot soal adzab.
Seolah-olah dia pakar adzab. Padahal bisa jadi adzab adalah Markesot itu sendiri. Sekurang-
kurangnya relawan adzab.
Kalau dagang saya sukses, itu rejeki atau adzab?, bertanyalah seorang tamu kepada Markesot.
Dan Markesot merasa wajib menjawab.
Tergantung tiga faktor. Pertama, kekayaan yang Sampeyan hasilkan dari sukses dagang itu
Sampeyan bikin menjadikan hidup Sampeyan lebih baik atau tidak, lebih bersyukur dan lebih
dekat ke Tuhan atau tidak, lebih membuat keluargamu sakinah mawaddah wa rahmah atau tidak
Markesot diam-diam geli sendiri mendengar ucapan terakhir mulutnya itu. Dia tidak punya rumah,
bagaimana mau sakinah. Tidak punya istri dan anak-anak, bagaimana mengalami mawaddah.
Kalau rahmah memang melimpah, sebab Tuhan Maha Rahman Rahim, meskipun formula rahmah-
Nya kepada Markesot di mata orang lain tampak seperti adzab.
Faktor kedua, asal-usul dan lalu lintas mekanisme semua aspek dalam pekerjaan dagangmu itu
bersih atau tidak, halal atau makruh, haram atau syubhat, menurut hitunganmu Tuhan marah atau
tidak, Robbun Ghofur atau tidak, Tuhan memaafkanmu atau tidak, kalau memang ada sesuatu
pada dagangmu yang membuat Tuhan surut senyum-Nya
Adapun faktor ketiga, lanjut Markesot, tertulis di Lauhil Mahfudh. Sudah tertera di halaman
sekian di Kitab Agung karya Allah Swt itu bahwa sukses dagangmu itu dikehendaki Tuhan untuk
suatu maksud dan rancangan
Apa maksud dan rancangan Tuhan terhadap dagang saya?
Saya belum membaca bagian yang menyangkut Sampeyan. Kapan-kapan saya cari waktu untuk
membuka isi lembaran nasibmu di Lauhil Mahfudh
Kapan kira-kira?, tanya si tamu, seolah-olah sedang minta ketegasan hari apa Markesot bisa
mampir ke rumah dia.
Ya nantilah. Saya sangat sibuk. Ya di dunia, ya di luar dunia, di banyak planet di alam semesta.
Untuk Lauhil Mahfudh saya biasanya menyempatkan waktu khusus, karena urusannya langsung
dengan karya Allah Swt. Kita harus suci, jiwa harus bening, hati jernih, pikiran kosong, dan jasad
tidak berhadats
Si tamu terkagum-kagum. Masyaallah, Sampeyan sering ya membuka-buka dan membaca Lauhil
Mahfudh?
Ya ndak terlalu sering. Kan saya sudah bilang hanya pada waktu-waktu yang khusus
Sebelum ini banyak juga orang yang minta tolong untuk membuka Lauhil Mahfudh seperti saya
Lumayan banyak. Dan saya selalu penuhi. Berdosa kalau saya tidak memenuhi permintaan
sesama manusia. Jadi tidak bisa saya hitung jumlah persisnya saya membaca Lauhil Mahfudh.
Yang pasti hanya satu, yaitu saya belum pernah berhasil, tidak pernah berhasil, dan tidak akan
pernah, serta tidak akan diizinkan oleh Tuhan untuk mampu membaca Kitab Agung itu. Jadi
kesimpulannya, saya tidak tahu. Jangankan yang urusan kecil seperti dagang Sampeyan ini. Lha
wong setiap ada presiden terpilih, saya tidak pernah tahu itu berkah ataukah adzab

Daur (74)
Wali Klingsi

Salah satu hal yang diincar untuk dikonfirmasikan kepada Kiai Sudrun oleh Markesot ya bab
adzab ini.
Tapi sekali lagi biarlah urusan Markesot dengan Kiai Sudrun nanti belakangan saja. Biarkan
Markesot sudah menghilang. Mungkin juga sudah menemukan Kiai Sudrun. Biarkan saja. Sekadar
Markesot saja pun sudah terasa seperti adzab yang memecah kepala, jangan pula ditambah dengan
level adzab yang lebih tinggi.
Lebih baik jangan pernah ketemu dengan Kiai Sudrun sepanjang hidup. Sebab dia tahu persis
jumlah detail uangmu yang di dompet, di saku celana, di almari rumah, di bank, bahkan di balik
kendit istrimu. Dan begitu ketemu, dia langsung minta duit. Dia pula yang menentukan
jumlahnya. Kalau misalnya sejak sebelumnya sudah kita siapkan uang khusus untuk Kiai Sudrun,
dia pasti menolak. Dia akan tunjuk uang yang jumlahnya lebih besar yang kita simpan.
Dulu Neneknya Markesot diantar Markesot bertamu ke rumah Kiai Sudrun untuk menanyakan apa
benar suaminya, yakni Kakek sambung Markesot, selingkuh dengan Jin. Nenek Markesot memang
luar biasa pencemburu. Kalau pergi malam-malam dengan suaminya, lantas di dekat kuburan ada
Kuntilanak atau Sundel Bolong, si Nenek ribut bukan karena takut ketemu hantu, tapi sibuk
mengawasi jangan-jangan suaminya ada main dengan hantu itu.
***
Pada kunjungan sebelumnya si Nenek pernah menyiapkan sejumlah uang untuk Kiai Sudrun, tapi
ditolak dan Kiai Sudrun menyebut sejumlah uang sambil menuding arah dada Nenek. Ternyata
memang Nenek bawa uang lumayan banyak diletakkan di dalam BH-nya, disisihkan sekadarnya
untuk Sudrun. Akhirnya semua uang Nenek dikasihkan ke Kiai Sudrun.
Kalau tidak karena curiga suaminya gendhakan dengan Jin perempuan, si Nenek tidak cenderung
untuk menemui Kiai Sudrun lagi. Tapi apa boleh buat. Namun demikian karena pengalaman uang
dalam BH dulu, si nenek kali ini agak salah tingkah begitu memasuki halaman rumah Kiai
Sudrun. Spontan Nenek belok ke Musholla di depan sebelah kiri rumah Kiai Sudrun. Ia berwudlu,
kemudian melakukan shalat.
Tiba-tiba ketika si Nenek ruku` membungkukkan badan, tubuhnya disorong ke depan oleh Kiai
Sudrun sambil berteriak Gak njaluk gaaaak!. Saya tidak minta duitmu. Tidak. Begitu
terjemahannya. Si Nenek terjerembab ke depan. Untung beliau petani tangguh yang badannya kuat
dan sehat. Si nenek bangun terbata-bata sambil mendengar Kiai Sudrun tertawa terkekeh-kekeh
dan berlari masuk rumahnya.
***
Sebaiknya disebar suatu travel warning ke teman-teman dan siapa saja yang mungkin bisa dikasih
tahu. Sekarang ini sedang susah-susahnya cari duit, jangan pula ketanggor Kiai Sudrun untuk ia
rampas uang kita.
Kalau umpamanya ada yang terpaksa seperti Nenek Markesot tadi butuh ketemu Kiai Sudrun,
datang saja sendiri. Jangan ajak teman, apalagi saudara atau famili. Nanti Kiai Sudrun bisa-bisa
nyangoni bahan dan sumber konflik untuk pertengkaran sepulang kita dari rumahnya.
Bayangkan kita diantar seorang kawan bertamu ke rumah Kiai Sudrun. Belum dipersilakan duduk,
Kiai Sudrun sudah menuding-nuding kawan kita:
Harga lembunya sepuluh juta kok kamu bilang ke Bapakmu laku hanya tujuh juta?
Pernah ada Sekretaris Desa diajak temannya, Kiai Sudrun mendampratnya:
Uang bantuan desa kok malah kamu belikan semen dan kayu untuk ndandani rumahmu
Temannya Sapron dulu juga dimarah-marahi seolah-olah Kiai Sudrun itu Pakdenya:
Saya tidak suka sama kamu. Kamu ini pemarah. Temanmu di SMP sekarang jadi Bupati,
sementara kamu tukang becak. Kenapa marah? Seharusnya Bupati itu yang frustrasi dan uring-
uringan. Karena dia dicampakkan oleh Tuhan di kubangan yang banyak najisnya. Sedangkan
kamu disayang Tuhan. Dilindungi dari malapetaka dunia. Kaki dan tanganmu disuruh menjalani
ibadah tingkat tinggi tiap hari. Kok malah jadi pemarah
***
Sapron mengantarkan kakaknya sakit parah, perutnya mlembung besar, tersiksa luar biasa, sangat
susah buang air besar. Badannya menyusut cepat. Beberapa kali ke dokter tidak ada yang bisa
memastikan dia sakit apa. Mungkin karena ketika itu dokter belum punya alat teropong untuk
melihat apa isi perutnya. Akhirnya menghadap ke Kiai Sudrun.
Begitu melihat si pasien yang kurus pucat dengan wajah penuh derita, Kiai Sudrun malah tertawa
terbahak-bahak. Keras dan lama sekali tidak berhenti tertawanya. Sapron disuruh membeli obat
urus-urus . Kakaknya disuruh makan dulu sekuatnya kemudian minum serbuk itu.
Dalam waktu tak ada satu jam kakak Sapron berlari mau ke belakang. Tidak bisa menahan ingin
buang air besar. Sapron memapahnya dan mengantarkannya ke pakiwan. Sebentar kemudian
Sapron ganti yang menderita. Ia mau mengucapkan
kalimah-kalimah thayibah tapi
pekewuh lha wong di dalam pakiwan . Mau tertawa juga ia tahan karena mungkin akan menyakiti
hati kakaknya.
Dari perut kakak Sapron pletok-pletok satu persatu keluar butiran-butiran
klingsi , biji asam. Sapron dengan sabar dan telaten menemani perjuangan kakaknya, sambil diam-
diam menghitung. 63 biji semua jumlahnya yang kost selama ini di dalam usus kakaknya.
Lega hati mereka berdua. Kakak Sapron mulai tulus senyumnya. Bergegas Sapron menuntun
kakaknya untuk bersegera melaporkan keadaannya kepada Kiai Sudrun serta menghaturkan beribu
terima kasih. Tetapi sebelum masuk ke rumah, Kiai Sudrun sudah berdiri metenteng di depan
pintu. Bertolak pinggang sambil masih tertawa-tawa kecil. Rupanya sudah memanggil dua becak
pula.
Ayo!, perintah Kiai Sudrun, pergi ke toko kita. Tolong belikan saya mobil
***
Mau pingsan Sapron rasanya. Apa maksudnya membelikan mobil?
Mobil satu saja cukup, teriak Sudrun dari atas becak. Sapron dan kakaknya di becak lainnya.
Sapron tidak bisa menjawab. Gimana ini maksudnya.
Cukup satu mobil saja, Kiai Sudrun mengulang, tidak perlu 63 mobil.
Klingsi kan murah harganya
Sapron berkeringat dingin, badannya gemetar. Urusan klingsi saja kok imbalannya mobil,
Sapron menggerundal sendiri, Dasar Wali Klingsi
Beli mobil pakai duit berapa Mbah, bukan sekadar pakai uang Mbah-nya siapa. Sapron frustrasi
berat, sementara Kiai Sudrun nyanyi-nyanyi tertawa-tawa seperti anak belum masuk Sekolah
Dasar.
Alhasil becak meluncur beberapa kilometer, diarahkan oleh Kiai Sudrun. Berhenti di depan
sebuah toko. Kiai Sudrun turun dan menyuruh mereka berdua pun turun.
Sapron matanya kabur, pikirannya rusak, hatinya hilang. Setelah masuk toko mengikuti Kiai
Sudrun baru pelan-pelan ia sadar bahwa ini adalah toko mainan anak-anak.
Kiai Sudrun berjalan mantap seolah-olah ia pemilik saham mayoritas toko itu. Ia tidak melihat-
lihat keliling, melainkan menuju ke suatu pojok yang sepertinya ia sudah tahu persis, bahkan
seolah-olah ini semua adalah miliknya. Kiai Sudrun mengambil sebuah truk kecil terbuat dari
kayu.
Sapron terpana. Gusti Pengeran. Mobil-mobilan, truk-trukan. Belum sempat mengatur nafas Kiai
Sudrun nerocos terus, Terima kasih atas hadiah ulang tahun saya ke 67. Seharusnya hari ini saya
masuk Gua, tapi demi klingsi, saya nunggu kedatangan kalian
Kemudian Kiai Sudrun menemui pelayan toko, minta tali, diikatkan ke bagian depan truknya.
Lantas ia berlari keluar toko menyusur trotoar, menghambur menyeret truknya sambil berteriak-
teriak riang gembira.
***
Kelak, beberapa puluh tahun kemudian, ketika Sapron menceritakan pengalamannya itu kepada
Markesot, seluruhnya sampai detail, Markesot terhenyak kaget.
Gua?, kata Markesot, Al-Kahfi. Ayat 67? Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan
sanggup bersabar bersamaku.

Daur (75)
ngiler.com

Masih belum yakin untuk membatalkan keinginan ketemu Kiai Sudrun? Atau malah semangat
untuk menangkap fenomenanya? Mau menafsirkan jenis kemakhlukannya? Mau meneliti dan
menginterpretasi fenomena kasyaf-nya? Kiai Sudrun hanyalah lelaki tua yang dari tepian bibirnya
selalu mengalir air liur tanpa henti-hentinya.
Kiai Sudrun adalah ngiler.com.
Ia berjalan, di dalam pagar tepi jalan ada kebun. Di kebun ada pohon mangga sedang berbuah. Ia
yang badannya kecil kurus pendek meloncat-loncat, tangannya coba meraih salah satu buah
mangga yang menggelantung ke luar pagar.
Akhirnya Kiai Sudrun berhasil meraih mangga itu. Tapi segera tuan rumah pemilik kebun
meneriakinya. Melarang ambil mangga dan menghardiknya. Kiai Sudrun gagal memakannya. Ia
lemparkan ke dalam kebun, mengena ke pohon mangga yang ia ambil buahnya.
Ya sudah, kata Sudrun sambil ngeloyor pergi, kalau memang eara (sebutan lokal untuk Tuhan)
yang punya tanah dan pohon ini melarang saya menikmatinya, saya cari buah yang lain. Kebun
milik Pengeran tidak ada batas keluasannya
Besok paginya pohon mangga itu rontok daun-daunnya, kering pohonnya, beberapa hari
berikutnya mati.
Sudahlah.
***
Mau mendaftarkan diri agar Sudrun masuk, mengetuk pintu dan mengobrol dalam tidur kita? Mau
melihat Sudrun main-main di beranda Masjid, buka sarung dan kencing ngathar diobat-abitkan di
lantai tanpa ada bekas kencingnya?
Mau disiksa oleh Sudrun mematikan semua lampu listrik di rumahmu dengan satu tepukan
tangan? Gatal ingin menonton Sudrun meletakkan punting rokoknya di atas rel sehingga keretanya
terguling?
Atau mau mendampingi dia tidur di pojokan guthekan Masjid, sarungnya tersingkap sehingga
barangnya tampak?
Makin malas dan bosan melihat dunia, manusia, masyarakat dan negara, sehingga mending
mendengarkan ratusan kisah-kisah Kiai Sudrun? Dengan tujuan khusus agar orang-orang di
sekitar kasih stempel sesat, musyrik, kafir, teman Setan dan calon penghuni neraka?
Sementara lainnya mengklaim bahwa itu kisah-kisah khayal, tidak ilmiah, tidak realistis? Karena
yang nyata adalah yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga dan tersentuh oleh perabaan?
Apakah ada yang menyangka bahwa Kiai Sudrun punya keinginan, apalagi keperluan, untuk
membuktikan dirinya? Untuk membela kebenarannya? Untuk mempertahankan martabat
hidupnya? Coba jelaskan kepada Kiai Sudrun apa itu diri, apa kebenaran dan martabat hidup?
Siapa pakar-pakar ilmu di muka bumi, ahli batin, jagoan kebijaksanaan, penguasa, sakti,
mumpuni, orang besar, dukdeng , yang mewakili dunia untuk menguraikan hal itu? Berdoalah
agar tidak membuka sarungnya, memancarkan kencingnya, atau mengambil dan menggenggam
pisau panjangnya entah dari mana, kemudian ditusukkan ke dadamu, tanpa engkau terluka dan
merasakan apa-apa.
***
75 tahun sebelum terjadi luapan lumpur hingga menjadi lautan kecil di suatu wilayah, Kiai Sudrun
bertempat tinggal di situ. Pada suatu sore ia berkata, Nanti kalau lumpur muncrat dari perut bumi
dan menenggelamkan daerah ini, saya tidak butuh ikut meminta ganti rugi
Di jengkal dan garis tanah tempat Kiai Sudrun berdiri itulah luapan lumpur berhenti. Kampungnya
Kiai Sudrun tidak tenggelam oleh lumpur, namun daerah itu disebut Peta Terdampak. Karena
penghidupan mereka terkena multi-efek dari perubahan geososial, geoekonomi, dan geokultural
yang ditimbulkan oleh lumpur.
Kiai Sudrun tidak termasuk di antara 13.200-an keluarga yang punya rumah baru berkat lumpur
yang menenggelamkan rumah-rumah mereka, dengan harga lima kali lipat dibanding harga
semula tanah dan rumahnya. Kiai Sudrun tidak terlibat dalam rezeki melimpah rumah baru, juga
tidak terlibat dalam sikap kurang bersyukur dari ribuan orang yang dilimpahi rezeki itu.
Alkisah terdapatlah satu makhluk Allah yang berasal dari suatu Planet luar bumi, diperintah oleh
Ibunya untuk membangun rumah bagi 13.200-an keluarga itu, atau sekurang-kurangnya
memberikan biaya agar mereka bisa mendirikan rumah-rumah yang lebih bagus dari sebelumnya.
Makhluk itu ditimpa fitnah besar-besaran, ditindih kutukan besar-besaran dan dipenjara oleh
kebencian besar-besaran. Hukum negara menyatakan ia tidak bersalah atas luapan lumpur itu, dan
atas kepatuhan kepada Ibunya ia mengeluarkan uang triliunan untuk membangun rumah-rumah
sebanyak itu. Dan yang diperoleh dari sedekah agungnya itu bukan rasa syukur dan ucapan terima
kasih, melainkan kutukan, fitnah dan kebencian.
***
Untunglah jika dilihat dari langit, ada Kiai Sudrun di wilayah itu. Meskipun tetap saja secara
khusus para pengkufur nikmat yang kadar pengkhianatannya tinggi, sudah didaftar untuk
memperoleh wabal dari hukum Tuhan.
Ada yang pecah berantakan keluarganya, ada yang pabriknya diluluh-lantakkan oleh api, ada yang
masuk penjara karena terbuka kedok kedhalimannya, ada pengusaha yang berubah menjadi
karyawan pom bensin, ada yang sakit parah, dan bermacam-macam lagi.
Khusus di wilayah itu dengan urusan lumpurnya, seorang makhluk Planet lainnya sejak awal
menancapkan tonggak hukum Tuhan, bukan hukum negara, kepada semua yang terlibat:
Kalau kalian bersyukur, Kutambahi limpahan rahmat dari-Ku. Kalau kalian khianat,
sesungguhnya siksa-Ku sangatlah dahsyat
Pancangan hukum Tuhan itu juga lambat atau cepat akan menimpa pelaku-pelaku negara, yang
dalam persoalan lumpur bersikap tidak adil, lalim, mengambil keuntungan, dan tidak
memperhatikan akhlaq kehidupan ciptaan Tuhan. Si makhluk kedua dari Planet itu juga
menyatakan bahwa lulus tidaknya para penduduk lumpur di hadapan Tuhan di dalam meng-
akhlaq-i masalah lumpur, akan menentukan bangkit atau hancurnya negara dengan sebagian
rakyatnya.
Ketika itu Kiai Sudrun yang mendorong dan memastikan pertemuan antara Presiden dengan
perwakilan masyarakat yang kampung dan rumah-rumahnya ditenggelamkan oleh lumpur.
Di waktu sekitar maghrib, di sebuah gardu pojok kampung tepian lumpur, Kiai Sudrun
mendatangi salah satu anggota rombongan yang akan berangkat berunding dengan Presiden.
Jangan tidak berangkat. Sudah benar jalannya. Presiden menunggu tanpa terkait dengan protokol
kepresidenan. Nanti Presiden hanya ikut runding, tapi bukan dia yang memimpin
***
Ada yang bertanya, kalau memang ada orang yang seaneh dan sesakti Kiai Sudrun, kenapa dia
tidak bereskan kekacauan keadaan negara dan bangsa ini? Kenapa dibiarkan runyam
berkepanjangan seperti ini.
Kiai Sudrun aneh? Apanya yang aneh. Kiai Sudrun ya begitu itu. Kalau tidak begitu, malah aneh.
Kiai Sudrun sakti? Mana ada yang sakti selain Tuhan? Apapun kekuatan, kehebatan dan kesaktian
yang tampak ada pada manusia, Tuhanlah yang memilikinya.
Kenapa tidak membereskan keadaan?
Kiai Sudrun tidak pernah menciptakan dirinya sendiri. Tidak pernah mentakdirkan, merancang,
dan menugasi dirinya sendiri. Untuk membereskan kekacauan ataukah untuk membangun
keindahan, bukanlah Kiai Sudrun direktur utamanya. Bahkan Sudrun menjadi Sudrun bukan pula
ia yang mengarsiteki dan mengaransirnya.
Kalau ada yang menabrak Kiai Sudrun dengan tuntutan seperti itu, yang pasti ia dapatkan adalah
ngiler.com.

Daur (76)
Bimbingan Belajar Dajjal

Hal lain yang diincar oleh Markesot untuk diserbukan ke Kiai Sudrun adalah kenapa sesudah era
Nabi pamungkas Muhammad Saw Allah mengubah kebijakan-Nya. Baik policy dasarnya maupun
detail regulasinya.
Misalnya, pelaksanakan logika iman-berkah dan kufur-adzab oleh Allah sangat berbeda sebelum
dan sesudah Nabi terakhir. Dulu kontan, sekarang bertahap, dicicil-cicil, bahkan ditunda hingga
akhirat.
Dulu kekufuran, pengkhianatan terhadap Maha Sangkan Paran bertabrakan langsung dengan
tangan as-Syadid. Banjir bah, gempa, badai,
pageblug, jutaan lalat menghisap darah memakan daging meremukkan tulang hingga kepala Raja
Namrud dimasuki seekor lalat selama 400 tahun. Pokoknya Allah bersegera show of force.
Rata-rata semua peradaban ummat manusia dihancurkan oleh Allah karena selingkuh dengan yang
selain Allah. Sekarang Allah banyak hadir sebagai
as-Shobur Maha Sabar, as-Syakur Maha Pensyukur. Allah tampak oleh manusia lebih
mengedepankan ar-Rahman ar-Rahim , Maha Pengasih Maha Penyayang.
Kalau memakai terminologi gender, sebelum Muhammad Saw Allah lebih bersikap maskulin,
sesudah itu sampai sekarang lebih feminin, santun, mengayomi, melindungi, mengampuni,
bahkan orang-orang yang mengkonstruksikan kelaliman internasionalpun seakan-akan malah
digendong-gendong oleh Allah.
Taipan yang memperbudak politik nasional dininabobokan, dimanjakan. Pemimpin-pemimpin
palsu, budak-budak pekatik-pekatik yang dipemimpin-pemimpinkan, jalan melenggang tanpa
halangan apapun yang signifikan. Rakyat kecil dipermainkan hatinya, didustai pikiran dan
pengetahuannya, dirampok hartanya, dikikis hak-haknya.
Dan mereka yang melakukan itu seakan-akan tak akan bertemu dengan ketentuan Allah barang
siapa berbuat baik akan memperoleh balasan, barang siapa berbuat buruk akan mendapatkan
balasan
Allah memang menyatakan mereka melakukan tipu daya, dan Aku Maha Penipu Daya, biar
Kukasih tenggang waktu sejenak .
Dan ratusan juta orang robek-robek hatinya, ambyar pikirannya, putus asa jiwanya menantikan
berapa lama amhilhum ruwaida itu. Berapa generasi harus melewati kelahiran, kehidupan dan
kematian untuk tiba pada era wa makarallah , zaman di mana Allah makar atas para
penyelingkuh cinta-Nya, pengkhianat kemurahan-Nya serta pendurhaka hak-hak-Nya.
***
Masalahnya para perampok hak-hak Allah di bumi, khususnya di wilayah perdelapan Khatulistiwa
ini, berlaku seakan-akan mereka mendapat mandat dari hakiki eksistensi Al-Malik Al-Jabbar
Al-Aziz Al-Mutakabbir dan banyak kuasa Allah yang lain, tanpa mendapatkan risiko apapun.
Sekurang-kurangnya demikian batas yang bisa dilihat dan dipahami oleh keterbatasan ilmu
manusia.
Dengan modal keuangannya yang sangat dominan, dengan seluruh kelengkapan fasilitas
kekuasaanya, perangkat keras maupun lunak, mereka menyandera mayoritas penduduk, melalui
strategi yang membuat mereka yang disandera tak merasa disandera.
Yang dipenjara malah merasa ditampung di rumah mewah. Yang ditindas malah merasa disayangi.
Yang diperkosa malah merasa dicintai. Yang dirampok malah merasa disantuni. Yang dihina malah
merasa bangga.Yang direndahkan malah merasa dijunjung. Yang dilecehkan malah berhimpun
menjadi sahabat para peleceh.
Pantaslah Markesot suka rengeng-rengeng:
Terlalu lama mereka didustai
sampai hanya Tuhan yang menemani
Terlalu lama didustai, sampai tumbuh kesanggupan untuk ikhlas terhadap dusta, kebal terhadap
dusta, sampai akhirnya mampu menyulap dalam khayalannya dusta-dusta itu menjadi seakan-akan
anugerah.
Ini semacam jaringan nasional dan internasional Bimbingan Belajar yang diselenggarakan oleh
Dajjal. Atau semacam Pesantren Kilat Dajjalisasi dan Dajjalisme.
Dajjal?
Siapa percaya Dajjal? Siapa percaya ada Dajjal?
Itulah yang Markesot cemaskan sehingga dikejarnya Kiai Sudrun.
Seluruh situasi dan keadaan ini sebenarnya merupakan wujud peremehan terhadap Tuhan. Tuhan
dianggap tidak berkuasa, tidak bekerja, tidak berkehendak, tidak punya rancangan apa-apa, tidak
menyusun Lauhil Mahfudh, bahkan pada hakikatnya seluruh perilaku mereka itu suatu pernyataan
bahwa sebenarnya Tuhan tidak ada.
Tuhan saja dianggap tidak ada. Apalagi Dajjal.
Apalagi Markesot, yang sebenarnya tidak sukar dibuktikan bahwa ia belum pernah benar-benar
ada, meskipun tidak bisa dikatakan bahwa ia aslinya tidak ada.
***
Tahun-tahun terakhir ini bangsa santri Dajjal ini bahkan sangat mencintai dusta. Kangen kalau tak
didustai. Mempertahankan kerinduan kepada pendusta. Mengangkat dusta sebagai pemimpin.
Membelanya dengan sepenuh nyawa. Menegakkan Negara dengan Supremasi Dusta.
Bagian dari bangsa yang sudah rutin dikursus oleh Dajjal, sebagaimana diketahui bersama sejak
lama: menjadi sangat pandai untuk melihat kegelapan sebagai cahaya, menyangka neraka adalah
sorga, meyakini kebatilan sebagai kebenaran, bahkan adzab dikira berkah.
Jangankan mempelajari pemetaan dengan presisi tinggi untuk memilah yang mana rahmat yang
mana barokah. Mereka para peserta kursus Dajjal bahkan bergembira ria ketika ditimpa adzab, dan
kecewa bahkan marah tatkala dianugerahi barokah. Mereka berpesta pora membuang barokah dan
membangun jaringan sahabat dan relawan adzab.
Mata pandang para peserta didik Bimbingan belajar Dajjal ini memang dididik untuk jangan
sampai memiliki spektrum dan perspektif untuk melihat adzab. Bebendhu -nya harus didesain
tidak kasat mata. Kegelapan harus ditampakkan pada mereka sebagai cahaya. Penglihatan mereka
hanya dilatih untuk melihat benda. Mereka dicanggihkan matematikanya, khusus untuk
menghitung jumlah uang, serta membangun teknologi untuk memperluas kekuasaan dan
penguasaan.
Kalau ada penyair menulis, sampai hanya Tuhan yang menemani, mereka mentertawakannya.
Tuhan menemani? Benarkah Tuhan menemani? Apakah mereka ingin dan mau ditemani oleh
Tuhan? Apakah Tuhan sebegitu pentingnya? Bagi para santri Dajjal ini apakah Tuhan lebih urgen
dibanding uang?
Bahkan Tuhan ditantang, Ayo Tuhan, silakan menemani mereka. Silakan. Seluruh tata kuasa, peta
akses, ketersediaan modal, ada di genggaman tangan kami. Ayo Tuhan, silakan menemani wong
cilik , kaum tertindas,
mustadlafin, madhlumin , ummat yang teraniaya. Bukankah mereka percaya bahwa doa orang
teraniaya itu sangat manjur untuk Engkau kabulkan? Ayo, silakan kabulkan
***
Markesot sungguh rindu-dendam kepada Sudrun. Bagaikan terbang ia melacak keberadaannya.
Ya Allah
Sudah tak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan
Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu itu adalah tangan-Mu sendiri
Tak akan ada yang bisa menghalangi

Daur (77)
Hidup Mati Berulang Kali
Aku berlindung kepada-Mu ya Allah, dari segala ingatan tentang rumah negaraku, beserta para
pembantu rumahtangga yang kami bayar sangat mahal untuk merusak rumah kami, menaruh
beban sangat berat ke hati kami, merancang pembangunan pecahnya kepala kami, menjual murah
kekayaan kami dan menggadaikan martabat kebangsaan kami.
Markesot bergumam kepada dirinya sendiri, yang ia harapkan diterima oleh Tuhan sebagai doa.
Ternyata Markesot sedang berjalan kaki menyusuri rel kereta api. Lurus, jauh, seakan berujung di
cakrawala.Terutama sepanjang malam hari. Pada siang hari, ia terus berjalan hanya jika kiri
kanannya sepi.
Sangat jelas: jalan kaki menyusuri rel, dengan bunyi gerundalan dan doa seperti itu, apa lagi kalau
bukan keputusan orang bingung, frustrasi.
Atau putus asa. Atau gila.
Kemungkinan besar Markesot sudah angkat tangan terhadap beban-beban permasalahan bangsa
yang semakin kompleks, ruwet, silang sengkarut. Jangankan menyusun pikiran untuk
menyelesaikannya. Sekadar menatapnya saja sudah pusing kepala. Apalagi merumuskannya, bisa
retak kepalanya.
Bahkan hanya coba menggambarnya saja, tidak ketemu garisnya, jarak ruangnya, lekuk-liku
lipatan-lipatannya, ketidakteraturan kumpulan titik-titiknya.
***
Tapi sudahlah. Keputusan yang paling masuk akal adalah melarikan diri entah berapa lama. Pergi,
jalan kaki, menghindar dari wajah manusia dan setiap indikator negara, politik, kebudayaan,
terutama pemerintah. Ngakunya mencari Kiai Sudrun untuk menumpahkan curahan hati.
Wahai Tuhan yang Maha Dermawan, kira-kira berapa lama lagi jatah waktu hamba untuk
mengalami dan memprihatini komplikasi masalah-masalah ini. Sampai kapan hamba akan
menanti perintah-Mu untuk turut mengatasi semua itu sebagaimana beberapa kali di waktu-waktu
yang lalu. Sedangkan hamba bukanlah siapa-siapa yang layak mendapatkan perintah-Mu. Bahkan
pun hamba bukan siapa-siapa di tengah manusia
Kalau sampai habis jatah waktu hamba, dan belum apapun yang hamba lakukan untuk menolong
keadaan ini, masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang waktu berikutnya dan
berikutnya lagi? Sebab di dalam hitungan hamba, kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini
memerlukan dua atau tiga kali hidupku
***
Tidak terlalu menjadi masalah bagi hamba kenyataan bahwa ummat manusia dan bangsa tidak
memiliki pemimpin. Sudah hamba kuatkan hati menyaksikan tanaman-tanaman tak bisa tumbuh
karena tanahnya makin dirasuki narkotika dan airnya beracun. Melihat pohon-pohon kerdil karena
dikuasai oleh benalu. Menatap kebun-kebun nangka yang kini ditanami cempedak. Memandang
kambing dibedaki, dikostumi dengan celana, baju, jas, dasi dan sepatu, kemudian dijunjung
dinaikkan panggung, dan diperkenalkan sebagai Satrio Piningit
Hamba tangguh-tangguhkan hati untuk berada di tengah lalu lalang manusia hidup yang
kehilangan proporsi, ketepatan, empan papan, pepantes, logika, ekspertasi, kematangan,
kedewasaan. Hamba kuat-kuatkan bergaul dengan manusia-manusia yang tinggal jasadnya, tulang
dagingnya, aksesori hedonisnya, ditambah sedikit perasaan yang kekeringan nurani dan akal yang
hampir lenyap nalarnya
Yang hamba sedang berjuang untuk kuat memanggulnya adalah kenyataan bahwa kebanyakan
manusia sudah hampir total kehilangan pemahaman tentang Pemimpin, Kepemimpinan,
Kasepuhan, Imam, Begawan, Punakawan, Panembahan, Ahlul-ahwal, Pawang, dan apa saja yang
maqamat-nya menjaga keselamatan ummat manusia
Karena kebodohan hasil keterperdayaan massal, mereka memilih, mengangkat, menjunjung dan
mati-matian membela pendusta, penindas, perampok dan penipu, yang mereka sangka pemimpin.
Hamba tidak tega melihat wajah-wajah mereka, hancur hati hamba membayangkan putra-putri
mereka, anak cucu mereka, generasi demi generasi berikutnya, akan mengalami hidup yang
bagaimana sesudahnya. Apakah jurang akan makin dalam, kubangan hidup makin busuk,
kegelapan makin kelam, sampai akhirnya warna tinggal hitam
***
Begitulah. Kalau orang menyepi, ancaman pertama yang muncul adalah kecengengan. Kalau
orang menyelinap ke jalanan-jalanan yang sunyi, dan yang ia panggul adalah kesedihan, jodoh
yang mendatanginya adalah kecengengan. Mungkin yang terasa seperti kekhusyukan dan
kedalaman, tapi sebenarnya ya kecengengan.
Tapi ke mana pula tujuan Markesot pergi?
Kalau Markesot sudah tahu ke mana, ia tak perlu melangkahkan kakinya. Ia berjalan justru untuk
mencari tahu akan ke mana.
Kan mencari Kiai Sudrun? Itu jelas. Tapi siapa bisa menunjukkan Sudrun ada di mana? Ia tidak
bisa dicari di timur, barat, selatan ataupun utara. Juga tak bisa dikejar ke perut bumi atau di
tembusan-tembusan angkasa. Bukan itu ukurannya.
Andaikan saat ini jelas di mana Kiai Sudrun berada, jangan dipikir satu menit sesudahnya ia tetap
berada di sana. Apalagi Kiai Sudrun itu jika berada di suatu tempat, ia bisa ada di tempat lain pula
pada saat yang sama. Jangan marah, lebih baik meneruskan belajar fisika, ilmu gulungan ruang
dan lipatan waktu, serta ketidakterbatasan semesta di mata benda dan otak manusia.
Markesot pun tak cemas meski belum jelas tujuannya.
Ah, tapi sebenarnya sangat terang benderang yang sedang dilakukannya: yakni melangkahkan
kakinya. Terus melangkahkan kakinya, sampai pada suatu titik silang ruang dan waktu di mana ia
akan menghentikan langkahnya.
Manusia selalu sok tahu tentang tujuan hidupnya. Padahal alamat tujuan itu sudah tertera sangat
gamblang di kandungan hati dan peta kesadaran pikirannya. Yang perlu dilakukan hanyalah terus
melangkahkan kakinya.
***
Yang tidak lazim adalah doa Markesot. masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang
waktu berikutnya dan berikutnya lagi?
Apa maksudnya ini? Nanti setelah mati mau hidup lagi? Mau kolusi dengan Tuhan supaya diberi
kesempatan hidup tidak hanya satu kali? Kalau umpama iya, hidup yang kedua sebagai siapa?
Tetap sebagai Markesot? Atau dititipkan kepada seorang bayi yang lahir sesudah kematiannya?
Atau bukan jadi siapa, melainkan menjadi apa? Misalnya ular, kambing, burung elang, jin?
Bagaimana kalau Tuhan kasih jatah kedua hidupnya Markesot tapi ditugasi menjadi prajurit Setan
bawahan Panglima Iblis? Atau minimal Markesot lahir kembali sebagai hantu. Tapi kalau sekadar
menjadi hantu, namanya tidak
move on. Sekarang pun Markesot semacam hantu juga.
Terus, coba dengar kembali, betapa sembrononya kalimat ini: sebab di dalam hitungan hamba,
kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini memerlukan dua atau tiga kali hidupku.
Who do you think youre , Cak Sot? Memangnya Sampeyan ini siapa? Nabi Isa? Ditarik sejenak
oleh Tuhan dari medan perang, menunggu beberapa saat untuk dikembalikan menjadi Panglima
melawan segala komplikasi dampak global Dajjal dan Yajuj Majuj?
Sedangkan Muhammad Saw kekasih Allah Swt, sedangkan seluruh Nabi dan Rasul, semua
hamba-hamba suci dari Siti Maryam hingga Raden Syahid, hanya diberi jatah satu kali terlibat
dalam kehidupan yang ini. Masih mending Nabi Nuh As dikasih durasi 900 tahun, padahal
masterpiece ciptaan-Nya sendiri hanya 63 tahun.
Jadi apa-apaan ini Markesot. Mau seperti Chairil Anwar, Aku ingin hidup seribu tahun lagi?
Mau hidup mati hidup mati berulangkali? Memang ada skenario penciptaan seperti itu oleh
Tuhan?

Daur (78)
Belajar Hidup Sesudah Mati
Muhammad Ainun Nadjib 20 Apr 2016 Daur, Esai
Kemungkinan besar makhluk macam Markesot ini tergolong yang dimaksud Tuhan di dalam
pernyataan dan informasi-Nya: Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu
selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri, dan
Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya
Kemudian, Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada
kehidupannya di dunia, bahkan lebih loba lagi dibanding orang-orang musyrik. Masing-masing
mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan
menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan
Markesot melangkahkan kaki di tengah rel. Kalau dilihatnya di depan ada orang, ia segera
menundukkan kepalanya. Pura-pura sibuk mikir dengan ekspresi wajah yang seolah sedang
merenung. Ia berharap orang tidak menyapanya karena itu.
Kalau ada kereta akan lewat, baik yang tampak jauh di depan, atau yang terasa getarannya dari
arah belakang, Markesot menepi. Kalau ada sungai atau semacam lembah kecil, syukur ada
rerimbunan pohon, ia bersembunyi. Ia khawatir di antara penumpang kereta api ada alumnus
Patangpuluhan yang tak sengaja melihatnya, kemudian mengambil kesimpulan bahwa Markesot
sudah semakin sempurna sakit gilanya.

Markesot agak bingung memahami pemberitahuan dan teguran Tuhan: dan sesungguhnya engkau
telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah engkau tidak mengambil pelajaran
untuk penciptaan yang kedua?
Ini maksud Tuhan berlakunya kapan? Kalau nasihat pembelajaran itu untuk dilaksanakan dalam
kehidupan di dunia yang sekarang, penciptaan yang pertama itu maksudnya kapan? Dalam
kehidupan yang sebelumnya?
Kalau maksudnya adalah pada kehidupan yang sekarang, kenapa pakai kata-kata penciptaan yang
pertama? Kenapa bukan, misalnya, penciptaan di dunia?
Kalau ada penciptaan yang pertama, apakah itu berarti ada penciptaan yang kedua, ketiga,
keseribu-lima-ratus dan yang berikut-berikutnya? Kalau Tuhan berkehendak ada penciptaan yang
pertama, Ia berhak mutlak pula untuk menyelenggarakan penciptaan hingga ke berapa pun.
Sebagaimana informasi dari Rasulullah Saw bahwa tadi malam Beliau diajak Malaikat Jibril untuk
berisra`miraj. Sekarang kita tak sengaja menyimpulkan Rasulullah Saw berisra`mi`raj satu kali.
Padahal tidak ada bagian dari informasi itu bahwa beliau berisra`mi`raj hanya satu kali. Andaikan
ternyata beliau naik hingga langit tujuh seminggu dua kali, apa kita marah dan membantah?
Ataukah penciptaan yang pertama itu maksudnya di dunia, dan yang kedua kehidupan di
akhirat? Tetapi kalau manusia sudah menjalani akhirat di sorga ataupun neraka, apa perlunya
pembelajaran dari dunia penciptaan yang pertama? Di sorga kita tidak berjuang dan belajar lagi,
tinggal menikmati. Di neraka apalagi. Mustahil di neraka ada klub pembelajaran bersama.
Jadi, belajar hidup sesudah mati yang ditegurkan oleh Tuhan itu maksudnya kapan? Kalau di
akhirat kan tidak mungkin.
***
Tuhan langsung yang menginformasikan: Mereka tidak akan merasakan mati di dalam sorga
kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka
Di sorga tidak ada kematian, jelas. Kholidina fiha abada. Kekal abadi. Meskipun kekal abadinya
makhluk tetaplah relatif dan tergantung keputusan Tuhan yang mutlak kekal abadi-Nya.
Kecuali mati di dunia? Apakah di dunia itu berarti hanya di bumi sini dan hanya sekali, yang
sedang kita alami? Pelajarilah betapa besar dan agungnya alam semesta, kemudian tertawakanlah
betapa tak seperseribu-debu-pun bumi kita. Perhatikanlah tak terjangkaunya ruang dan waktu oleh
pengetahuan manusia, kemudian pikirkanlah bahwa Tuhan hanya mendayagunakan seperseribu
debu yang bernama bumi, dan mengambil durasi kehidupan makhluk yang seper-tak-terhitung dari
bagai tak berujungnya waktu.
Kita manusia di bumi adalah makhluk besar kepala, merasa paling hebat dan paling pandai. Dan
siapakah di antara manusia yang menjawab pertanyaan awal tadi: dan sesungguhnya engkau telah
mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah engkau tidak mengambil pelajaran untuk
penciptaan yang kedua? kapan dan di mana berlakunya?
Markesot nekat bermanja kepada Tuhan, ia bergumam : Matikanlah hamba sekian kali.
Dan itu agak menjebak, karena di sebaliknya ada kalimat yang tidak Markesot ucapkan:
Hidupkanlah hamba sekian kali.
Karena bagaimana mungkin ada kematian bisa dilaksanakan jika tak didahului oleh kehidupan.
Terserah ketentuan-Mu ya Tuhan, berapa kali Engkau matikan aku sesudah sekian kali Engkau
hidupkan. Terserah Engkau kau hidupkan aku sebagai siapa atau apa, di mana atau tak di
manapun, tetap di bumi ini atau di salah satu satu triliunan bumi yang lain. Terserah Engkau pula
kapan hal itu Engkau laksanakan. Langsung boleh, agak ditunda aku akan bersabar, belakangan
pun aku bersedia
***
Belum diteliti apakah sejak Nabi Adam dulu sudah pernah ada manusia yang mengemukakan hal
semacam itu kepada Tuhan.
Sebenarnya perlu dicari maksud baiknya Markesot. Mungkin karena selama ia menjalani hidup di
dunia yang sekarang ini ia merasa kurang berguna bagi sesamanya, sehingga ia melamar kepada
Tuhan give me the second chance, beri hamba kesempatan kedua.
Kalau agak muluk-muluk, mungkin Markesot menyimpulkan bahwa kompleksitas kerusakan yang
dibangun oleh ummat manusia sudah sampai pada tahap di mana Markesot tidak mungkin mampu
turut mengatasinya. Juga ia sudah semakin berumur. Tak ada waktu lagi untuk perjuangan dengan
multisolusi peradaban yang kelihatannya memerlukan hidup tiga atau empat kali.
Jadi tidak mudah juga untuk memastikan bahwa gagasan Markesot itu salah seratus persen. Kalau
itu gila dan terlalu liar, lebih mendekati kebenaran. Lha Tuhan sendiri menyatakan dengan tegas,
Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal tadinya kamu mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, dan akhirnya kepada-Nya kamu
dikembalikan?
Kalau mati adalah ujungnya hidup, kalimat padahal tadinya kamu mati itu maksudnya
bagaimana. Kalau tadinya kamu tidak ada, agak mudah dipahami.
Lantas lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, dan dihidupkan-Nya
kembali itu hitungan angka padat hidup, mati, hidup, mati ataukah ia bisa berarti
tanpa batas hitungan: hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup
mati hidup mati hidup matibaru mencapai final dan kita dilantik menjadi juara di sorga, atau
menjadi makhluk kalah melawan dirinya sendiri di neraka.
Dan sepertinya Markesot belum begitu cocok untuk disebut sebagai seorang musyrik yang
berkata, sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Qurn: Tidak ada kematian selain kematian di
dunia, dan kami sekali-sekali tidak akan dibangkitkan
Dia bahkan agak rakus kebangkitan.

Daur (79)
Para Filosof di Rongsokan Gerbong
Muhammad Ainun Nadjib 21 Apr 2016 Daur, Esai
Menjelang tengah malam Markesot berhenti di sebuah stasiun dan kelihatannya akan bermalam di
situ.
Di sejumlah stasiun kereta api ada gerbong-gerbong lama yang terbengkalai. Dipakai sudah tidak
layak, dibuang tidak ada tong sampah yang cukup untuk memuat gerbong kereta. Gerbong
rongsok itu oleh sejumlah orang yang mengerti ilmu hidup biasanya dijadikan bermanfaat.
Misalnya untuk tempat tinggal, untuk sementara waktu atau seterusnya kalau mungkin.
Di dalam gerbong sampah itu mereka berteduh dari panas dan hujan. Untuk tidur jika malam. Atau
untuk ngrumpi sesekali dengan sesama handai taulannya untuk saling mengungkapkan filosofi-
filosofi kehidupan, kebijaksanaan, kesabaran dan ketabahan.
Di antara para filosof itu ada yang bujangan, ada yang bersama keluarganya. Tujuan mereka
berkomunitas di dalam gerbong rongsok itu antara lain untuk menjaga jangan sampai ada barang
atau sesuatu yang tidak bermanfaat. Secara khusus mereka juga melaksanakan suatu wisdom,
misalnya, melatih dengan lelaku total untuk ikhlas tidur di tempat yang semua manusia tidak mau
tidur padanya.
Mereka juga memakan makanan yang bisa dikatakan semua orang tak ada yang mau
memakannya, dan itulah sebabnya mereka membuangnya karena dipahami sebagai sisa-sisa
makanan. Mereka pun memakai pakaian yang hampir bisa dipastikan semua orang tak mau
memakainya. Demikian pula dalam hal-hal lainnya.
***
Komunitas filosof itu merasa kasihan kepada kebanyakan orang yang hidupnya sangat ringkih dan
penuh ketergantungan. Hampir semua orang harus makan makanan sehat agar tidak sakit,
sementara para filosof itu hampir tidak pernah sakit meskipun memakan makanan yang dibuang
orang ke tong-tong sampah, yang sudah tidak segar, sudah basi dan sama sekali tidak enak
rasanya.
Para filosof heran kenapa orang baru bisa makan kalau makanannya enak dan segar. Kenapa
penduduk bumi baru memakai pakaian kalau pakaiannya bagus, bersih, halus dan necis. Kenapa
makhluk di dunia ini baru bisa tenang hatinya kalau sudah punya rumah sendiri, ruangan tertutup
sendiri, ranjang tidur sendiri, kamar mandi sendiri. Kalau mereka masih menyewa, mereka merasa
belum sukses hidupnya, bahkan merasa belum jadi orang.
Komunitas filosof itu tidak bisa memahami kenapa untuk menjadi orang, makhluk-makhluk Tuhan
mempersyaratkan bahan-bahannya adalah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, bahkan kekayaan
dan kemegahan. Padahal semua itu tidak terlalu ada kaitannya dengan orang.
Bahkan kabarnya dalam rangka memperjuangkan diri menjadi orang, para penghuni bumi ini
merasa penting untuk menyakiti orang, membohongi orang, menganiaya orang, menindas orang,
mencuri milik orang, menyingkirkan orang, sampai-sampai juga rela menyelenggarakan
peperangan di antara sesama orang, membunuh berjuta-juta orang, dan semua itu tujuannya adalah
agar menjadi orang.
***
Demikianlah di dalam gerbong-gerbong buangan orang itu para filosof biasanya melepas lelah di
bawah atap gerbong itu sesudah mencari sisa-sisa makanan sekitar restoran, mal, supermarket,
atau rumah orang-orang kaya.
Terus terang, kehidupan di gerbong-gerbong semacam itu adalah bagian sangat penting dari
kehidupan Markesot berpuluh-puluh tahun. Tapi tidak perlu lantas berpikir atau apalagi menuduh
sesungguhnya Markesot adalah seorang gelandangan. Apalagi hanyalah seorang gelandang.
Orang hidup mungkin cuma sekali, dan sangat pendek waktunya, sehingga tidak perlu diluangkan
untuk mendengar jawaban Markesot terhadap tuduhan bahwa ia gelandangan:
Memang cita-cita saya adalah menjadi gelandangan. Kalian keberatan? Dan karena keberatan itu
maka kalian selalu mengganggu-ganggu saya, menanyakan ini-itu tak ada habisnya, minta tolong
sana-sini tak ada ujungnya, tak ada batas jenis urusannya, tak ada kemenentuan ragam urusannya?
Sehingga saya selalu harus mengalah, tidak pernah benar-benar punya waktu untuk menikmati
cita-cita saya
Pastilah pandangan masyarakat umum sukar meletakkan pola pikir hidup Markesot itu dalam peta
nilai yang mereka pakai secara umum sehari-hari. Dalam konsep sosial, filsafat kebudayaan atau
tata nilai peradaban apapun sejak Nabi Adam hingga sekarang, tidak pernah ada fenomena bahwa
seorang manusia hidup di bumi bercita-cita menjadi gelandangan.
Cita-cita itu ya menjadi Kepala Gudang, sopir bis, teknisi mesin kapal, kasir Bank, semacam-
semacam itu. Atau agak meningkat sedikit: jadi Camat, insinyur, dokter, ustadz, dukun, tabib,
yang begitu-begitu. Atau minimal bercita-cita ingin menjadi Presiden, Menteri, Ketua Parlemen,
Raja atau Ratu, orang terkaya se-Negara, syukur sedunia.
***
Bercita-cita itu yang agak pantaslah. Cita-cita kok jadi gelandangan. Mestinya gantungkan cita-
citamu setinggi langit, ini Markesot kok malah bercita-cita menjadi gelandangan, tidur di gerbong-
gerbong rongsokan.
Tapi bagi siapa saja yang sedikit mengenal latar belakang riwayat Markesot, hal itu agak sedikit
bisa dipahami. Kira-kira yang dijadikan model oleh Markesot bab gelandangan itu kalau tidak
Mbah Dul ya Gus Rur. Mereka berdua ini memang gelandangan kaliber besar.
Mbah Dul ini orang cukup kaya, putra-putrinya beres sekolah dan gambaran masa depannya.
Ketika anak-anaknya sudah berkeluarga semua dan mapan hidupnya, Mbah Dul menjual
rumahnya, kemudian dibelikan tanah dan ia dirikan Masjid. Setelah Masjid berdiri, beres
kepengurusannya, Mbah Dul menghilang jadi gelandangan.
Benar-benar gelandangan. Benar-benar tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit. Kumuh.
Kotor. Tidak pernah mandi. Jalan kaki terus siang malam entah ke mana saja. Kalau malam cari
tempat di pojok luar pasar atau sudut bangunan untuk menggeletak.
Makan minum cari di tempat sampah atau buangan makanan lainnya. Tidak pernah minta-minta
atau mengemis, kecuali sesekali kepada orang yang ia pilih dengan pertimbangan yang ia sendiri
yang tahu. Awal-awalnya kepalanya dikerudungi, mungkin khawatir dikenal orang. Tapi lama-
lama kerudung ia lepas, karena toh wajahnya sudah menghitam, rambutnya gimbal dan seluruh
penampilannya sudah bukan orang lagi.
Kalau melihat hidupnya, sukar membayangkan Mbah Dul pernah melakukan shalat. Sayang seribu
kali sayang di masa hidup Mbah Dul belum ada gerakan Takfiry, arus golongan orang beragama
yang tugasnya khusus menjadi Dewan Juri iman orang lain, memberi semacam sertifikat bahwa
orang itu kafir, musyrik, sesat, diadzab Tuhan dan masuk neraka.
Andaikan ketika itu sudah ada arus global Takfiry, insyaallah ramainya kebencian dan
pertengkaran di antara Kaum Muslimin bisa dimulai sejak dulu, tidak perlu menunggu lama
sampai era saat ini.
Memang semua itu indah dan menggiurkan. Tidak heran kalau Markesot terpesona untuk
mengikuti jejak Mbah Dul.
Tapi mengikuti jejak yang mana? Berkeluarga dan mencukupi putra-putrinya sampai mapan
berkeluarga? Tidak. Membangun Masjid? Tidak. Yang ditiru Markesot hanya gelandangannya.
***
Gus Rur? Beliau ini punya Pesantren. Menata segala sesuatunya, menyiapkan bangunan-bangunan
untuk mengaji dan tempat tinggal para santri. Ustadz-ustadznya pun disiapkan infrastruktur
penghidupannya.
Pembagian tugas dan manajemen pembelajaran sudah diatur sedemikian rupa, sehingga Gus Rur
merasa aman, kemudian menghilang, pergi jalan kaki tanpa membawa tas atau bekal apapun.
Hanya pakaian yang dipakainya. Selebihnya, berideologi seperti ayam kampung, kucing liar atau
burung-burung yang merdeka.
Lha Markesot nggelandang tapi Pesantrennya mana?

Daur (80)
Semoga Yang Kaya Makin Kaya

Muhammad Ainun Nadjib 22 Apr 2016 Daur, Esai

Sebelum masuk gerbong dan berjumpa dengan rekan-rekannya komunitas filosof, Markesot tak
sengaja sudah menyiapkan semacam doa.

Ya Allah, jadikanlah orang-orang yang kaya menjadi semakin kaya, agar supaya kami semakin
terjamin untuk mengais sisa-sisa makanan mereka
Ya Allah, lapangkanlah jalan bagi para koruptor untuk melaksanakan hajat korupsinya, agar
meningkat kesembronoan mereka terhadap harta bendanya, sehingga semakin terbuka pula
peluang bagi kami untuk mencopet, menjambret, menggangsir atau syukur merampok rumah
mereka
Ya Allah, mudahkanlah jalan kami untuk mengurangi dosa-dosa para koruptor dan para perakus
harta, dengan cara mengurangi kekayaan mereka meskipun hanya sedikit
Terimalah pengorbanan kami, catatlah pencurian kami sebagai dosa. Tapi juga terimalah dosa-
dosa ini sebagai wujud pengorbanan kami untuk memperjuangkan proses penyeimbangan
distribusi rahmat-Mu, keseimbangan sosial ekonomi masyarakat, serta cicilan rahmatan
lilalamin
***
Di tengah komunitas komunitas filosof di gerbong-gerbong, bawah jembatan, Wesel 16 atau
manapun tempat yang memungkinkan mereka berteduh sementara atau bersarang permanen, ada
yang memanggil Markesot Kiai, saat lain dipanggil Tumenggung atau Kopral.
Disebut Kiai karena Markesot paling sok mengait-ngaitkan apa-apa dengan Tuhan. Dipanggil
Tumenggung karena Markesot yang paling bisa berhubungan dengan lingkungan sosial di luar
komunitas mereka. Adapun Kopral, karena Markesot yang punya sambungan dengan titik-titik
penting peta tokoh-tokoh lokal-regional-nasional yang masyarakat menyebutnya Preman, Gali,
Korak, dari level Gentho, Dauri, Buto Kempung, Buto Mati, Tikyan dan seterusnya.
Sebentar. Tadi disebut Wesel-16? Apa itu? Kereta api berjalan berdasar atau di atas atau mengikuti
rel. Kapan rel digeser, kereta api ngikut.
Yang berkuasa selalu yang bawah, kata Markesot, kereta api yang di atas, bisa anjlog bisa
terguling atau berjalan lancar, tergantung relnya. Problemnya, rel yang sangat dahsyat
kekuasaannya ini, diatur dan taat kepada pegawai Stasiun.
Untuk memindahkan rel, digunakan Wesel yang digerakkan secara manual ataupun dengan
menggunakan motor listrik, atau sekarang bisa pakai komputer digital. Jadi wesel itu bukan hanya
kertas hijau-kelabu tanda pengiriman uang di jaman Mataram pasca-Majapahit. Wesel-16 artinya
alat ke-16 di sebuah Stasiun untuk pengaturan rel.
***
Tapi apa hubungannya dengan komunitas kaum filosof? Yang berkaitan dengan komunitas filosof
bukan kereta apinya, juga bukan relnya, apalagi dengan weselnya. Hanya gerbong rusaknya.
Para filosof tidak ada urusan atau kepentingan terhadap Perusahaan Kereta Api. Pertama karena
perusahaan tidak butuh orang, yang dibutuhkan adalah uang sebanyak-banyaknya. Kedua, kereta
api tidak mengaitkan diri dengan orang, yang ia butuhkan adalah penumpang. Itu pun tidak harus
benar-benar penumpang, yang penting siapapun dan apapun saja yang membeli tiketnya.
Bahkan kalau ada Jin membayar untuk memborong satu gerbong, di-support Setan membeli 200
tiket, tapi Jin dan Setan tidak naik kereta itu dan membiarkannya kosong: perusahaan kereta api
tidak berkeberatan apa-apa. Malahan itu lebih baik dan aman bagi petugas kereta api maupun bagi
para penumpang, daripada mereka duduk segerbong dengan anggota-anggota Jin dan Setan.
Jadi Wesel-16 itu sekadar dipakai saja sebagai sebutan untuk memudahkan siapapun menemukan
lokasi Las Vegas di dekat Wesel-16 itu.
Lho kok Las Vegas? Di area sebelah Wesel-16 itu ada tempat perjudian, pelacuran, minuman
keras, mungkin juga narkoba, bertaburan lelaki perempuan banci berkomunitas pada jam-jam
tertentu, melaksanakan hajat-hajat mereka, pada tingkat ekonomi terendah.
Ada gerumbul dedaunan yang sangat rimbun di beberapa sudut. Lelaki perempuan banci
melaksanakan transaksinya di balik gerumbul daun itu. Kalau ada siapapun yang disuruh orang
untuk menjadi Presiden, Gubernur atau Walikota strip Bupati, pertama-tama yang harus ia datangi
adalah Wesel-16. Itulah usus terdalam kehidupan rakyatnya.
***
Tetapi bukan Wesel-16 area yang didatangi Markesot malam itu. Setelah menyusuri rel sekian
puluh kilometer, ia bermaksud menginap di Rumah Singgah kaum filosof, yakni gerbong
rongsokan, yang mungkin di dalamnya bisa ia jumpai sejumlah kawan lamanya, atau mungkin
banyak juga pendatang-pendatang baru yang Markesot belum mengenalnya.
Sejak lama sejumlah filosof meminta kepada Markesot untuk diajari nyluring. Sebagaimana
dimafhumi bersama, menjadi Maling Cluring adalah cita-cita paling ideal bagi kalangan tertentu
di komunitas filosof.
Keterampilan mencopet, umpamanya, sudah merupakan tingkat kecanggihan yang umum jangan
meremehkan. Pada seorang pencopet, keprigelan jari-jari dan tangan, peletakan badan di tengah
keramaian dan keluwesan seluruh batang tangan, kejelian terhadap posisi dan momentum,
pendayagunaan kecepatan dan kehalusan, berani tanding melawan para pesulap level tertentu.
Tetapi jurus copet masih tergolong rendah dalam konstelasi ilmu lelaku para filosof. Kalau
jambret adalah gabungan antara kekurang-terampilan mencopet dicampur keberanian, mental
nekad dan sedikit kebodohan.
Meskipun demikian jangan abaikan ada pencopet kaliber internasional. Tidak sekedar korban beli
tiket naik kereta api kemudian menggerayangi koper-koper dan tas-tas tatkala para penumpang
tidur lelap. Atau sewa pakaian necis masuk Mal dan gedung-gedung fasilitas umum melaksanakan
sejumlah ilmu sulap memindahkan uang atau perhiasan atau barang dari suatu koordinat ruang ke
koordinat lainnya.
***
Pencopet internasional punya modal besar. Ke kantor Imigrasi bikin passport. Membawa map
berkas-berkas identitas ke Kedutaan Negara yang dimaksud untuk mendapatkan visa. Beli tiket
pesawat ulang-alik. Selama sekian belas jam di pesawat menerapkan innalladzina amanu wa
hajaru wa jahadu: sesungguhnya mereka yang beriman, berhijrah dan berjuang.
Percaya bahwa sangu dan barang para pelancong lintas negara pasti lebih banyak dibanding
penumpang kereta, bis atau kapal antar pulau. Berhijrah, bergerak pindah-pindah wilayah, tidak
hanya dari Pasar Senen ke Pasar Beringhardjo, dari Stasiun Tugu ke Stasiun Gubeng, tapi dari
Jakarta ke Sydney atau Abu Dhabi atau Seoul atau minimal Hongkong ulang-alik.
Tetapi pencopet internasional semacam itu bukan minat umum komunitas filosof. Mereka
eksklusif. Segmen sosiologisnya tertentu. Berasal dari sebuah wilayah Kecamatan di sebuah
pulau. Tradisi budaya dan pendidikan sejak kanak-kanaknya mempersiapkan itu semua. Dan itu
turun temurun.
Maling Cluring, yang dimintakan aji-ajinya kepada Markesot, lebih sederhana dan pragmatis.
Sasarannya adalah rumah, kantor atau bangunan-bangunan. Maling kelas rendah meng-gangsir,
melubangi bagian bawah dari tembok rumah, berperang melawan cor-coran batu semen. Kelas di
atasnya mendobrak pintu atau menjebol jendela. Kelas lebih canggih menggunakan keterampilan
olah batang-batang besi kecil untuk membuka gembok dan rumah kunci.
Maling Cluring cukup menggunakan cahaya untuk memasuki rumah atau ruangan berdinding.
Asal ada cahaya melintas menyambung bagian dalam dan bagian luar, bisa di-cluring-i. Ada yang
kemampuannya terbatas, cahaya harus berasal dari dalam keluar, baru ia bisa masuk. Semester di
atasnya bisa cahaya dari luar. Atau asalkan ada cahaya.
Markesot belum memenuhi permintaan Ilmu Cluring. Ia masih selalu menjawab: Harus lulus
dulu satu ilmu, baru mungkin mempelajari cluring
Ilmu apa itu?, mereka bertanya.
Ilmu tidak mencuri, jawab Markesot.

Daur (81)
Akik Fosil Tlethong
Muhammad Ainun Nadjib 23 Apr 2016 Daur, Esai
Ketika Markesot bergeser dari jalur rel menuju ke gerbang rongsok, ada gelas plastik berisi kopi
panas melayang mendatanginya. Mendekat ke arah mulutnya. Markesot mengambil dan
memegangnya sambil tertawa kecil.
Masih saja anak-anak ini hobi sulapan, gumamnya.
Bermacam-macam cara makhluk Tuhan bersapa dan membangun kemesraan. Di komunitas kaum
filosof lain pernah Markesot datang disuguhi gethuk dan dipersilakan, Silakan dimakan Cak Sot,
yang berwarna merah itu yang paling enak
Markesot mengambil yang merah, tapi sebelum dimasukkan ke mulutnya, salah seorang filosof
bilang, Yang merah Cak, kok ambilnya yang hijau.
Ternyata yang di tangan Markesot memang gethuk hijau. Dan Markesot langsung
memasukkannya ke mulut dan memakannya. Sebab kalau dia tukar lagi, nanti disulap lagi
warnanya: Lho kok ambil yang kuninglho kok malah makan yang coklat.
Begitulah cinta dan kasih sayang.
Saat lain ketika Markesot datang menyapa hamba-hamba Tuhan di Wesel-16, seorang sahabat
mempersilakan Markesot mandi-mandi. Padahal mandi bukanlah tradisi primer mereka maupun
Markesot sendiri. Tapi untuk menghormati tawaran itu Markesot pun melangkah ke kamar mandi.
Memang ada kamar mandi, semacam kamar mandi, di belakang salah satu gubug darurat mereka.
Tapi tidak ada air di baknya. Markesot balik ke kerumunan para filosof dan bilang tidak ada air.
Jangan ngaco, Cak Sot, kata salah seorang, bak kamar mandi kita selalu penuh air. Kita bukan
kaum gelandangan. Kita masyarakat berkelas
Ketika Markesot kembali ke kamar mandi, ternyata memang airnya penuh. Markesot menyiapkan
diri untuk benar-benar mandi, demi silaturahmi. Tapi begitu pakaiannya dilepas dan Markesot
mengambil gayung, tiba-tiba baknya kosong lagi.
Markesot ingat pernyataan Tuhan: Dan sekiranya ada suatu bacaan, yang dengan bacaan itu
gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang
yang sudah mati dapat berbicara, tentu AlQuran lah ia. Sesungguhnya segala urusan adalah
kepunyaan Allah
Kalimat kuasa Tuhan berlaku tidak hanya di masjid-masjid, rumah-rumah ibadah dan tempat-
tempat lain yang merupakan satu-satunya wilayah yang dipahami oleh orang banyak sebagai
tempat suci. Kesucian Tuhan berlaku di mana saja dan kapan saja Ia mau. Jangankan sekadar
gethuk merah hijau, gelas melayang atau air pasang surut di bak kamar mandi. Gunung raksasa
pun diguncang dan orang mati berorasi.
***
Markesot menghirup kopi di gelas plastik itu sambil melangkah ke gerbong rongsok. Ada
gemeremang di dalam. Sejumlah orang, kebanyakan perempuan, mengerubungi seseorang.
Masyarakat umum menyebut perempuan-perempuan itu pelacur jalanan, sampah masyarakat,
sekarang ditambahi gelarnya: diadzab Allah, calon penghuni neraka.
Sungguh bodoh para pemberi gelar itu. Sepelacur-pelacur mereka ini mereka hanya melacurkan
seonggok benda kecil titipan Tuhan, bukan melacurkan harta benda tanah air, martabat bangsa dan
harga diri rakyat.
Produser sampah memang masyarakat. Mereka mengutuk sampahnya, padahal itu produk mereka
sendiri. Yang memproduksi sampah lebih hina dari sampah, sebab mereka pabriknya.
Tuhan Maha Suci dan tak akan tak pernah menciptakan sampah. Orang-orang yang mendalami
ilmu dan mengembarai hamparan pengetahuan, oleh Allah diberi kalimat Robbana ma kholaqta
hadza bathila, wahai Tuhan sungguh tak sia-sia Engkau ciptakan semua ini.
Tlethong lembu pun bukan sampah. Apa saja bukan sampah. Para penggede di antara manusia
membeli akik fosil tlethong sangat mahal. Semua yang disampahkan oleh manusia, diawetkan
oleh Tuhan diproses menjadi mutiara, berlian, intan, batu mulia.
Kekasih yang paling dicintai oleh Tuhan digelari oleh para filosof dan pemakrifat kehidupan
sebagai Yaqut. Dan semua yang bukan kekasih utama Tuhan berendah hati mengucapkan wa
nahna jamian kal-hajar, dan kita semua adalah batu-batu biasa.
Diadzab Allah? Siapa nama Ustadz Syekh Kiai Ulama Mursyid yang menjabat sebagai Menteri
Humas-nya Allah? Sekjen Akhirat? Kepala Takmir Neraka, yang memegang daftar calon-calon
penghuninya? Atau siapa nama keponakan Tuhan, nak-ndulur Tuhan, atau mungkin besan-nya
Tuhan, sehingga mulutnya membunyikan kalimat yang seharusnya hanya diucapkan oleh Tuhan?
Tahu apa mereka tentang neraka dan sorga. Tentang sorga yang neraka dan neraka yang sorga.
Tentang seolah sorga padahal neraka, seakan neraka padahal sorga. Tentang sorga yang
diinformasikan sebagai neraka, dan neraka yang diiming-imingkan sebagai sorga. Tentang sorga
dunia yang menjelma neraka, tentang neraka dunia yang diolah menjadi sorga.
***
Markesot tahu jenis apa atau biasanya siapa yang dikerubungi seperti itu. Banyak orang datang
untuk minta pesugihan, ingin sawab supaya kaya. Banyak pejabat datang ingin kamukten,
maksudnya supaya lancar naik pangkat dan tambah kekayaan.
Tapi mereka rata-rata ditolak. Yang diterima adalah yang disebut pelacur-pelacur jalanan. Siapa
manusia di muka bumi yang berani-berani meletakkan kesimpulan di dalam pikiran bahwa ada
perempuan yang menginginkan dan berjuang untuk menjadi pelacur? Apalagi bercita-cita menjadi
pelacur jalanan?
Kalau ada makhluk Tuhan yang berpikiran demikian, mari berdoa agar kita dipertemukan
dengannya di bulak jalan, atau di manapun yang sepi, yang tidak banyak orang. Kita ketemu dia
dan kita tampar mukanya. Kalau perlu kita ludahi wajahnya.
Hati Markesot selalu tergeriap kalau melihat para pelacur jalanan. Jaga agar masyarakat terus
menyebut mereka pelacur jalanan, agar rahasia kemuliaan mereka terjaga di depan Tuhan.
Di semua khazanah Agama maupun Agama pelacur jalanan selalu menjadi simbol ekstrem dari
pengampunan Tuhan. Karena mengalah kepada anjing, memberikan minumannya pada kondisi ia
di puncak kehausan, Tuhan mengampuni kesalahannya dan kontan mensorgakannya.
Pun anjingnya. Puntadewa berdarah putih si Raja agung Amarta tidak bisa meneruskan perjalanan
vertikalnya melampaui langit keenam. Anjingnya yang melenggang ke langit tertinggi. Anjing dan
pelacur selalu berjodoh. Dua kata paling dihinakan oleh ummat manusia justru menjadi dimensi
paling sakral pada amsal-amsal yang diturunkan oleh Tuhan.
***
Markesot terkejut setengah mati ketika akhirnya melihat siapa yang dikerubungi oleh para pelacur
itu. Hampir spontan ia berlari menghambur mendatanginya. Tapi Markesot menahan diri.
Setelah situasi mereda dan memungkinkan, Markesot tidak tahan untuk menyapa: Lho,
Sampeyan kok ada di sini?
Orang di pojok itu kaget oleh suara Markesot. Lha di mana kalau tidak di sini?, sahutnya.
Kan sejak 41 tahun yang lalu Sampeyan sudah tidak di sini
Ah Sampeyan ini. Yang namanya ada ya di sini. Kalau di sana belum tentu ada
Maksud saya Sampeyan kan sudah mutasi
Mutasi bagaimana
Dipindah-tugaskan
Orang itu tiba-tiba marah. Kamu ini buka-buka rahasia. Dasar intel kampung. Pergi sana, sana,
semua pergi!
Orang itu mengusir semua yang tadi mengerubunginya. Semua yang ada di gerbong rongsok
keluar ruangan, kecuali dia dan Markesot.
Maaf ya, maaf ya., kata Markesot sambil mengantarkan mereka turun dari gerbong.
Ketika kemudian Markesot membalikkan badan untuk kembali ke orang itu, ia sudah tidak ada.
Markesot tentu saja tidak kaget atau heran. Beginilah kalau urusan sama akik fosil tlethong.

Daur (82)
Ilmu Maling
Muhammad Ainun Nadjib 24 Apr 2016 Daur, Esai
Markesot sebenarnya tetap kaget juga oleh lenyapnya orang itu, meskipun ia mengenal
perilakunya sejak dulu. Tapi ia berlagak tidak terkejut dan senyum-senyum saja. Ia menengok
keluar pintu gerbong dan berkata kepada kerumunan orang di luar.
Minta maaf tunggu sebentar ya, katanya, Masih ada satu hal penting yang beliau bicarakan
Padahal orang itu sudah lenyap entah ke mana.
Tidak usah berpikir seram-seram dan misterius. Bisa jadi itu Ilmu Maling biasa: menunggu,
mencari dan menemukan momentum sepersekian detik ketika semua orang berlubang
konsentrasinya atau lalai fokusnya, di situ si Maling meloloskan diri.
Jangan disimpulkan beliaunya itu punya Aji Panglimunan, bisa menghilang, apalagi sampai
dimusyrik-musyrikkan. Mohon jangan terlalu banyak tuhan-tuhanan yang gaduh memvonis-vonis
menuduh-nuduh.
Allah itu satu saja dan memang sungguh-sungguh dan sejatinya hanya Satu. Aku ini Maha
Ganjil, dan Aku menyukai semua yang ganjil, demikian Ia menyatakan.
Pantas Markesot suka mengganjil-ganjilkan diri, supaya ia dianggap ber-maqam di jalur
keganjilan Tuhan.
Suka mendadak hilang, atau berperilaku sedemikian rupa sehingga sejumlah temannya
menyimpulkan bahwa ia berada di beberapa tempat sekaligus.
Markesot berharap mereka akan menyimpulkan ia dikawal oleh semacam kesaktian atau
keajaiban. Padahal yang diterapkannya sekadar Ilmu Maling yang mendayagunakan strategi
momentum ruang dan waktu, serta psikologi keterlenaan manusia.
***
Markesot pernah dimintai tolong oleh temannya salah seorang temannya di suatu kota kecil untuk
mengobati anaknya. Markesot datang dan diinapkan di sebuah hotel setengah mewah yang
menjadi berkurang kemewahannya karena ada tamu bernama Markesot.
Sore hari ia dijemput. Tetapi temannya itu tidak bisa menemui Markesot di kamarnya. Sementara
teman temannya Markesot menunggu di mobil yang ia setiri. Temannya mengetuk pintu kamar
Markesot berulang-ulang tak ada jawaban. Tak ada bunyi-bunyi atau gejala apapun yang
menunjukkan Markesot ada di kamar itu.
Mungkin sudah keluar. Maka temannya ke resepsion. Tapi dijawab bahwa penghuni kamar itu
belum menitipkan kunci, jadi mestinya masih ada di kamar. Maka temannya kembali ke kamar
Markesot, mengetuk-ngetuk pintu lagi, membunyikan belnya berulang-ulang, tak ada jawaban
juga.
Akhirnya temannya Markesot balik ke mobil dan memberitahukan bahwa ia belum bisa ketemu
Markesot. Sebaiknya menunggu sebentar. Beberapa saat kemudian temannya Markesot mencoba
ke kamar lagi, tak ada jawaban lagi, ke resepsion lagi, jawabannya sama: si tamu kumuh itu
belum keluar kamar.
Maka dengan mulai putus asa temannya Markesot kembali ke mobil. Duduk di sebelah kiri
temannya yang duduk di belakang setir. Agak pekewuh dan malu juga ia kepada temannya itu. Dia
sudah mahal-mahal menyewa kamar hotel, Markesot sudah menempatinya, dengan harapan
masalah anaknya siapa tahu bisa diatasi. Tapi ternyata Markesot sirna.
***
Maaf ya, ia mencoba mengemukakan rasa bersalahnya kepada temannya, dan bersikap sopan
sedemikian rupa agar rasa bersalahnya itu terkurangi.
Tidak apa-apa. Kita coba sabar agak lebih lama, sahut temannya.
Markesot memang begitu itu orangnya. Tidak bisa dipegang ekornya
Apa dia berekor?
Temannya Markesot agak lega karena temannya tidak sekecewa atau semarah yang ia bayangkan.
Malah bergurau.
Yaaah, semua bedhes pasti berekor, jawabnya.
Berapa panjang kira-kira ekornya?
Saya belum pernah mengukurnya, dan tidak akan pernah
Markesot itu aslinya dari mana?
Dia tidak asli
Kalau gitu palsunya dari mana?
Ya palsu
Maksudnya?
Paling asu
Rupanya jengkel betul hati temannya Markesot itu. Mereka berdua tertawa.
Tapi tiba-tiba ada suara terdengar: Kita ini nunggu apa kok ndak berangkat-berangkat?
Mereka berdua menoleh. Ternyata Markesot duduk di jok belakang. Tentu saja mereka terkejut,
terutama teman temannya Markesot. Memang bedhes ternyata. Kurang ajar, ia menggerutu
dalam hati.
Akhirnya mereka pun berangkat. Markesot bertugas sebagai Dukun menangani masalah adiknya
temannya temannya. Tentu saja bisa beres. Bukan karena Markesot punya kemampuan untuk
membereskan. Tetapi karena Tuhan masih belum tega mempermalukan Markesot di depan teman-
temannya.
Mungkin saja Tuhan merasa kasihan kepada Markesot: jomblo, miskin, tidak pernah mencapai
sukses di bidang apapun, tidak punya reputasi dan prestasi, tidak bahagia dan kesepian hampir
sepanjang hidupnya hingga udzur usia.
***
Meskipun temannya merasa sangat jengkel, tapi di tengah jalan pada suatu kesempatan ia berbisik
kepada Markesot: Cak Sot, wiridnya apa?
Wirid apa?, Markesot belum paham.
Supaya bisa ngilang
Apa hubungannya ngilang dengan wirid?
Ya terserah apa namanya, wirid, mantra, japa-japi, aji-aji
Ah, mana saya tahu
Lho tadi kok bisa ngilang?
Ngilang gimana?
Lha tadi Sampeyan saya cari bolak-balik tiba-tiba sudah ada di dalam mobil
Markesot tertawa. Itu teknik Ilmu Maling, jawabnya.
Ilmu Maling gimana?
Ya ilmu maling. Mencari sela-sela peluang dalam rentang waktu dan peta ruang
Ah, ya ndak lah
Umumnya manusia tidak mampu berkonsentrasi konstan dan penuh. Selalu banyak lubang-
lubangnya, jeda-jeda keterlenaan meskipun hanya satu sekon. Matanya, telinganya, saraf-saraf
rasanya, tidak selalu stabil. Di situlah pintu yang dimasuki maling
Temannya tetap membantah. Kan jarak dari kamar Sampeyan ke mobil cukup jauh. Kalau
Sampeyan berjalan sepanjang jarak itu kan pasti ada yang melihat. Juga ketika Sampeyan
membuka pintu mobil kemudian menutupnya kembali, pasti terdengar
Buktinya tidak kelihatan dan tidak terdengar
Berarti Sampeyan tidak berjalan dari kamar ke mobil, dan tidak membuka menutup pintu mobil,
tapi entah bagaimana pokoknya tiba-tiba sudah ada di dalam mobil
Tidak mungkin saya tiba-tiba berada dalam mobil. Harus berjalan melangkah dulu dan harus
membuka pintu mobil, terus masuk, kemudian menutup pintu mobil. Pelan-pelan, lirih, sehingga
tidak terdengar
Sudah tho Cak Sot, mbok saya dikasih wiridnya
Saya sungguh-sungguh tidak punya wirid yang kamu maksud

Daur (83)
Konflik Dengan Allah
Muhammad Ainun Nadjib 25 Apr 2016 Daur, Esai
Bagusnya Markesot tidak usah mendongeng atau apalagi memamerkan sulap-sulap picisan kelas
restoran dan caf rendahan. Tidak usah mendemonstrasikan adegan online-offline kuno. Tidak
akan ada yang bertepuk tangan, kasih aplaus, apalagi standing ovation.

Ini zaman pasca-pasca-modern dan sudah menapaki ultra-degree pencapaiannya. Markesot move
on lah. Jangan terlalu jadul. Sekarang ini andaikan Kiai Sudrun menggulingkan kereta api dengan
sebuah tiupan, atau membakar Mal dengan lemparan pasir sacawuk, tidak akan ada orang yang
heran atau kagum. Bahkan koran-koran, media cetak, media tayang, medmas dan medsos akan
belok beritanya: ada orang musyrik sesat mulai sakit jiwa sehingga bermimpi merobohkan Mal
raksasa.
Markesot perlu sedikit tahu bahwa sekarang ini ia hidup di peradaban yang sama sekali berbeda
dengan peradaban yang ia alami ketika hidup yang dulu. Kalau Markesot memang canggih, atau
kalau perlu nge-bon Kiai Sudrun yang ia unggul-unggulkan: cobalah bikin banjir besar, gempa
dahsyat, luapan air samudera, lima triliun tawon mengamuk menyerbu kota-kota seantero bumi,
letusan 21 atau setidaknya 19 gunung sekaligus atau sekurang-kurangnya berurutan.
Atau jenis kedahsyatan apa saja minimal seperti di zaman Raja Namrud, Nabi Nuh, Nabi Hud,
Nabi Sholeh, Nabi Luth dan lain-lainnya. Itulah yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh ummat
manusia di era sekarang ini.
***
Ummat manusia yang mendapat giliran menghuni bumi kali ini adalah jenis makhluk manusia
yang paling tinggi hati. Merasa paling pandai dibanding manusia kurun-kurun sebelumnya.
Mereka sedang merasa berada di puncak peradaban, dan diam-diam sangat meyakini bahwa yang
sedang mereka capai ini sungguh-sungguh puncak prestasi segala jenis manusia yang pernah
Tuhan ciptakan.
Markesot sebenarnya juga tahu bahwa manusia penduduk bumi pergiliran ini hanya mengerti
bahwa yang disebut adzab adalah peristiwa-peristiwa hardware. Yang kelihatan mata, yang
terdengar telinga dan yang terasa oleh perabaan atau perasaan-perasaan jasad. Ya itu tadi: gempa,
tsunami, gunung meletus, angin siklon anti-siklon, badai, longsor, banjir bandang, bebendhu,
pageblug.
Bagi manusia di bumi saat ini kehancuran akal sehat bukan bencana, apalagi adzab. Hancurnya
logika itu persoalan remeh dibanding rumah ambruk. Ambruknya akhlaq, rusaknya mentalitas,
gelapnya spiritualitas atau berbagai jenis penyakit jiwa lainnya, bukan masalah primer.
Masalah utama yang mereka rasakan sebagai bencana atau adzab adalah tidak punya rumah,
kendaraan, simpanan uang di Bank, pekerjaan tetap, laba terlalu sedikit, tidak punya akses untuk
bareng-bareng merampok hak orang banyak, dan yang semacam-semacam itu.
Posisi konflik dengan Allah, misalnya, bukan persoalan serius bagi kebanyakan manusia yang
sekarang ini. Bawah sadar mereka diam-diam berpendapat bahwa toh aslinya Tuhan belum tentu
ada, dan kalau nanti sudah mati kan semua selesai. Darah daging hancur dalam kuburan, jantung
hati otak remuk dan menyatu dengan tanah. Selesai. Tak ada masalah apa-apa lagi.
***
Dengan demikian andaikan pun Markesot bersekongkol dengan Kiai Sudrun mendorong para
pengurus gunung untuk meletuskannya, bernegosiasi dengan pengelola laut untuk meluapkan
airnya, tawar-menawar dengan panitia bumi untuk mengaduk lempengan-lempengannya, atau
mempengaruhi penggembala angin untuk membadaikannya jangan dipikir itu akan mengubah
apa-apa pada manusia.
Mereka berpikir toh semua mati. Selesai sudah. Bareng-bareng. Tak ada persoalan lagi. Ingat pun
tidak. Namanya juga mati. Tiada.
Jadi Markesot hendaknya mulai menyadari bahwa ia hidup di tengah lingkungan peradaban dan
alam pikir golongan-golongan manusia yang sama sekali bukan seperti yang ia sangka atau
bayangkan. Jangankan gempa bumi dan banjir bandang, sedangkan seandainya para Malaikat
datang secara fisik ke bumi, mereka jangan disangka akan terkejut.
Malaikat berbagi tiga-tiga per-Negara mendatangi manusia, umpamanya. Kehadiran mereka resmi
dan protokoler. Mereka mewujud secara jasad dengan kostum yang diperhitungkan akan
mempermudah manusia mengenali bahwa mereka Malaikat. Kemudian bertamu ke Istana-istana
Negara dan Kerajaan. Menyampaikan sejumlah hal yang dibawa dari alam-malakut, misalnya.
Markesot jangan pernah berpikir bahwa itu akan menjadi peristiwa shocking, berkaliber
guncangan besar, yang menjadi headlines di media-media. Jangan ge-er. Berita yang akan tayang
adalah sebutan bahwa sekelompok orang aliran sesat yang datang ke Istana karena putus asa. Atau
itu adalah barisan sakit hati, kelompok yang tidak kebagian korupsi.
Bisa-bisa mereka malah digebugin oleh rombongan Polisi, diusir atau ditangkap sebagai kelompok
makar. Kecuali para Malaikat itu diizinkan untuk mengangkat istana dengan dua jari tangan
kirinya, kemudian diperkenankan membanting Istana itu atau melemparkannya ke tengah laut atau
ke kawah membara di puncak gunung.
***
Kiai Sudrun pernah berbaring telentang di tengah jalan raya jalur hubungan antar kota. Ia kayal-
kayal, menggerak-gerakkan kakinya seperti bayi, menangis sejadi-jadinya. Dan sekeras-kerasnya.
Jalanan macet. Ratusan kendaraan dari dua arah berbaris sangat panjang tidak bisa meneruskan
perjalanan. Masyarakat dari sekitar lokasi Sudrun kayal-kayal itu berdatangan dan berkerumun.
Beberapa Polisi datang. Karena melihat yang telentang itu orang tua, maka Polisi bersikap
sehalus-halusnya dan sesopan-sopannya.
Mbah ini kenapa?
Kiai Sudrun terus kayal-kayal dan menangis. Tentu saja Polisi tidak tahu siapa orang tua ini.
Kebanyakan orang yang berkerumun juga tidak tahu. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang
senyum-senyum melihat adegan itu.
Masalahnya, bagaimana Polisi tidak bersikap sopan, lha tempat di mana Kiai Sudrun telentang
kayal-kayal itu hancur aspalnya. Bongkahan batu-batu dan serpihan-serpihan aspal bertebaran
seperti barusan ada mini-meteor jatuh dari langit menimpa jalan raya. Bahkan setiap kaki dan
tangan Kiai Sudrun menyentuh lantai jalan, aspalnya hancur dan terlempar ke sana kemari.
Mbah ada apa ini? Kenapa menangis?
Para Polisi punya niat untuk mengangkut saja orang tua ini ke tepian jalan. Tapi mereka ragu-ragu
karena menyaksikan aspal hancur dan belum bisa menyimpulkan peristiwa apa ini. Terutama siapa
orang ini.
Untung akhirnya Kiai Sudrun bangun berdiri. Ia berjalan ke pinggir jalan raya. Sambil terus
menangis ia marah-marah: Kalian semua ini keterlaluan. Dasar nggrangsang bondho kabeh, dasar
matanya hanya dilatih untuk melihat duit. Dari pagi tadi Kanjeng Nabi datang ke sini, berkeliling
melihat-lihat warung-warung kalian, lalu-lalang kendaraan, memperhatikan semua kegiatan kalian
dengan penuh kasih sayang. Tapi tidak seorang pun dari kalian yang menyapa. Dasar menungso
kedunyan kabeh

Daur (84)
Proposal Wabal Pra-Neraka
Muhammad Ainun Nadjib 26 Apr 2016 Daur, Esai
Atau Markesot bikin proposal ke Allah, ditandatangani oleh Kiai Sudrun, agar Allah mempertegas
ketentuan adzab-Nya kepada siapapun sesuai dengan kedurhakaan politik dan moral negara-
negara manusia.
Agar Allah menunjukkan kekuasaan absolut-Nya untuk melemparkan wabal atau balasannya atas
perbuatan siapapun saja. Perbuatan baik akan memperoleh wabal berkah. Perbuatan buruk akan
mendapatkan wabal murka dan adzab.
Sudah lebih dari dua milenium, atau mungkin sejak Adam khalifah pertama, bahkan siapa tahu
sejak sebelum ada keputusan Tuhan menciptakan Adam: sudah dituliskan ketentuan-ketentuan
tentang berkah adzab dari Sang Maha Pencipta.
Di dalam setiap ruang kependidikan agama, anak-anak yang belum detail-fasih mengucapkan za
dzal dho dlot sin syin shot tsa oleh orang-orang tua mereka sudah dibikin hafal hukum dasar
bahwa kalau engkau bersyukur, akan Kutambahi nikmat, kalau engkau kufur akan kutimpakan
adzab. Sangat sangat jelas.
Tidak sekali dua kali Tuhan melontarkan pernyataan: sesungguhnya Aku telah menyiapkan adzab
yang menghinakan bagi mereka yang kufur. Disediakan minuman berupa air mendidih bagi
mereka, disebabkan oleh kedurhakaan mereka. Telah pasti berlaku ketentuan adzab bagi siapa saja
yang kufur. Adzab yang dahsyat, api yang menyala-nyala.
Atas sebagian orang telah ditetapkan adzab atasnya. Secara khusus ditetapkan juga adzab yang
keras kepada siapa saja yang terlibat penyiaran berita-berita bohong di media massa media sosial
dan segala jenis media informasi lainnya. Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka
buruk terhadap Allah.
Mereka akan mendapat giliran kebinasaan yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk
mereka. Dia-lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari
bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan yang saling bertentangan
dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.
***
Markesot sering bergumam di dalam dirinya sendiri, Kalau aku ternyata adalah bagian dari
golongan yang juga pantas untuk ditimpa adzab, ya timpakanlah ya Allah
Markesot sangat takut bahkan ngeri kepada adzab Tuhan, tetapi di sisi lain ada semacam
kegembiraan kecil, bahwa hukuman juga berarti pembersihan. Kalau Markesot diadzab Allah,
ditimpa wabal atau pembalasan Allah atas perbuatannya, pada posisi pra-neraka, itu adalah hal
yang justru harus disyukuri, karena memerdekakannya dari dosa-dosa seiring dengan tahap-tahap
pengikisan dosa-dosa itu oleh wabal-Nya.
Kalau Markesot mengajukan proposal Wabal pra-Neraka, ia bukan sedang membenci dan
mengutuk suatu golongan manusia dan memohon Tuhan menghancurkan mereka. Pengajuan
Markesot itu harus berarti bahwa ia sendiri siap menanggung logika sebab-akibatnya.
Semua dan setiap orang ingin dihindarkan dari adzab neraka dan ingin tergabung dalam golongan
para kekasih Tuhan. Tetapi cinta Allah bukan sesuatu yang bisa dicapai dengan proses penguasaan,
melainkan ditempuh dengan perjuangan kebaikan dan kesetiaan.
Dan salah satu alasan atau sebab yang membuat Markesot sangat bernafsu memohon wabal
Allah sebenarnya adalah karena diam-diam kebanyakan manusia tidak takut-takut amat kepada
neraka. Banyak pemeluk-pemeluk agama sangat serakah untuk minta masuk sorga, tapi perilaku
dan keputusan sehari-hari mereka terutama dalam kehidupan bernegara mencerminkan bahwa
aslinya mereka meremehkan neraka.
Mereka concern kepada sorga karena sorga dianggap punya akses melimpah untuk memperoleh
laba kekayaan dan kemewahan. Kekayaan yang dimaksud tentu saja kekayaan menurut konsep
keduniaan mereka. Siapapun yang memperhatikan pola perilaku manusia di dalam mengurusi
kehidupan bernegara dan perhubungan-perhubungan sosial mereka, akan menyimpulkan bahwa
itu bukan tingkah laku makhluk Tuhan yang takut kepada neraka.
***
Jadi, gumam Markesot, Perkenalkanlah karakter neraka itu, ya Allah, kepada hamba-hambaMu
yang punya potensi besar untuk kelak Engkau campakkan ke dalamnya. Supaya mereka agak
merasa ngeri sedikit.
Masalahnya, jika ini tidak kurang ajar untuk menyebutnya masalah: ialah konsep tangguh dari
Tuhan. Adzab pasti ditimpakan, tetapi ditangguhkan. Diulur sampai jangka waktu tertentu. Dan
jangka waktu yang dimaksud itu berapa lama, merupakan rahasia Allah yang paling dirindukan
oleh para pecinta-Nya untuk dikuakkan.
Allah berfirman, beri tangguhlah orang-orang kafir itu barang sebentar. Tuhan Maha Besar.
Allahu Akbar. barang sebentar. Barang sebentar. Siapakah para ahli kasyaf yang mungkin
dikasih bocoran oleh Tuhan tentang berapa lama barang sebentar itu.
Kalau ada yang memperhatikan agak mendalam kenapa Markesot bersikeras dan begitu sungguh-
sungguh melakukan perjalanan mencari Kiai Sudrun, antara lain dorongannya adalah barang
sebentar itu. Meskipun Markesot siap-siap nanti Sudrun akan mentertawakannya dan menjawab:
Apa kau yakin ada Malaikat, entah Baginda Jibril atau siapapun Malaikat lainnya yang dimurahi
oleh Allah dan dikasih tahu tentang barang sebentar itu? Kalau kamu bisa memastikan dan
menginformasikan kepadaku Malaikat siapa yang mengetahui hal itu, maka ada kemungkinan
saya menanyakan kepada beliau.
Jawaban Kiai Sudrun itu nanti akan menghancurkan hati Markesot. Karena diam-diam memang
terpikir olehnya untuk meminta Kiai Sudrun menanyakan kepada satu dua Malaikat yang paling
dekat Tuhan, kenapa ada perubahan kebijakan sesudah lahir dan diutusnya Muhammad sebagai
Duta Terakhir, khotamal-anbiya.
Kenapa adzab-adzab tidak kontan lagi. Kenapa hukuman-hukuman ditunda. Kenapa pembalasan
terhadap para pengingkar nilai-nilai Tuhan diulur-ulur. Kenapa ada klausul amhilhum ruwaida.
Bahkan begitu banyak pecinta Allah cepat dipanggil oleh-Nya. Kenapa begitu berurutan para
penyetia tauhid tinimbalan, sementara manusia-manusia kacau balau akhlaqnya akalnya
mentalnya malah disuntik formalin sehingga awet hidup di dunia. Kenapa Allah terlalu
membiarkan diri-Nya dilecehkan oleh banyak sekali golongan-golongan manusia.
Diremehkan, dianggap tidak ada. Tidak diagendakan dalam tahap-tahap tujuan hidup. Tidak
dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan, terutama yang besar-besar seperti
program pembangunan oleh kebanyakan pemerintah yang secara terbalik-nilai menguasai negara
dan menyandera rakyat yang memiliki negara.
Alhasil, Markesot ini ge-er meletakkan dirinya seolah-olah ia ditugasi untuk mengelola dan
menjaga nasib Bangsa dan Negara di mana ia hidup. Ia juga kurang bersabar terhadap irama
kehendak Tuhan. dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat
tangguh
Jadi, Cak Sot, kenapa mempertanyakan policy tangguh-Nya, apa karena kurang yakin bahwa
Allah itu Maha Tangguh?

Batas Syafaat

Daur (85)
Batas Syafaat
Muhammad Ainun Nadjib 27 Apr 2016 Daur, Esai
Sedangkan Rasulullah Saw kekasih utama Allah dibatasi usulannya yang menyangkut neraka dan
sorga, hanya sebatas hamba-hamba Tuhan yang mempercayai dan mencintainya.
Pasti Rasulullah mencintai dan ingin menyelamatkan seluruh ummat manusia, tetapi Allah
terapkan galengan-galengan: pecinta kekasih-Nya itu diselamatkan, tetapi para pelecehnya,
penghinanya, lain masalah.
Lho siapa Markesot, kok nekat mau menawar regulasi wabal? Ia tidak berjasa hidupnya,
jangankan kepada ummat manusia, atau sekadar kepada lingkaran teman-temannya saja pun,
bahkan Markesot tidak berjasa atas dirinya sendiri.
Tuhan memegangi tangan kinasihnya itu dengan hak patent Syafaat, yang diberlakukan hanya
untuk mereka yang mengikuti jejaknya. Selebihnya, hanya bisa ditangisi tiap malam hingga dini
hari oleh beliau dalam sujud-sujudnya.
Barangsiapa ittiba Rasul, ia memperoleh hak syafaat. Yakni hak untuk ditolong oleh Muhammad
Saw berdasarkan aturan khusus dan hak prerogatif yang dianugerahkan oleh Allah Swt. Ditolong
untuk diampuni dosa-dosanya yang tidak didapatkannya jika ia tidak berjalan di belakang langkah
Rasulullah.
Disyafaati untuk terhindar dari bahaya tatkala semestinya ia terkena bahaya. Disyafaati untuk laku
jualannya lebih banyak pada posisi seharusnya hanya laku sedikit. Disyafaati untuk disembuhkan
oleh Allah pada kondisi rasional yang semestinya tak sembuh. Atau disyafaati dengan terbukanya
jalan keluar atas persoalan yang pada kondisi normal seharusnya tertutup jalannya.
Memang meskipun berada di shaf paling belakang, sejak kanak-kanak Markesot mengambil
keputusan pribadi untuk menjadi pengikut Muhammad Saw. Walaupun hanya secuil, berarti ia
punya hak disyafaati juga. Tetapi khayal kalau ia membayangkan potensi syafaat itu ia terapkan ke
tingkat penawaran terhadap aturan balasan Allah atas kelakuan manusia.
***
Ada saat-saat di masa mudanya Markesot mengembara ke berbagai wilayah dimensi, peta
spiritual, atlas budaya dan apa saja sekena-kenanya. Banyak madzhab, aliran, sekte, kelompok
thariqat, bermacam-macam gua kebatinan ia masuki. Beberapa kali pimpinan kelompok ini itu
menawari Markesot untuk membaiatnya.
Di sela pertemuan-pertemuan, kepada salah seorang di tempat itu, yang kelihatannya berposisi
sama dengannya, Markesot bertanya:
Baiat itu apa?
Itu ucapan janji iman dan kesetiaan kepada Allah, dijawab oleh seseorang itu.
Saya yang dibaiat?
Ya
Sampeyan juga?
Ya
Siapa yang membaiat kita?
Beliau Mursyid kita?
Siapa beliau itu?
Mursyid kita
Mursyid itu apa?
Yang menuntun jalan kita
Kenapa beliau yang menuntun kita?
Karena beliau alim sehingga lebih mengerti jalan menuju Allah
Sampeyan sudah tahu jalan menuju Allah?
Belum
Apalagi saya
Makanya kita perlu dibimbing oleh Mursyid
Bagaimana caranya kita yang belum tahu jalan ke Allah bisa menyimpulkan ada seseorang yang
sudah tahu jalan ke Allah?
Beliau kan Mursyid
Bagaimana kita tahu bahwa beliau Mursyid?
Kata semua orang di sini beliau itu Mursyid
Waduh saya belum punya pengetahuan batin dan kealiman yang membuat saya bisa tahu beliau
Mursyid atau bukan
Semua orang di sini bilang begitu
Kalau begitu semua orang saja yang membaiat Sampeyan
Lho kok gitu?
Kan Sampeyan percayanya kepada semua orang, bukan kepada yang disebut Mursyid itu
Lho mereka semua percaya bahwa beliau Mursyid
Makanya semua orang saja yang membaiat Sampeyan, kecuali beliau menyebut bahwa diri
beliau itu Mursyid
Memang saya pernah juga mendengar beliau menyebut diri beliau Mursyid
Bagaimana caranya Sampeyan tahu dan menyimpulkan bahwa beliau Mursyid?
Semua orang di sini percaya bahwa beliau memang Mursyid
***
Pembicaraan mereka berputar-putar melingkari garis dan titik-titik yang sama. Dan Markesot
ternyata sangat menikmati. Mungkin karena hidup Markesot sendiri memang hanya muter-muter
tanpa pernah mencapai suatu pencapaian.
Kenapa tho kita dibaiat?, Markesot bertanya lagi.
Untuk menandai dan meneguhkan imanmu kepada Allah dan istiqamah jihadmu membela
kebenaran Allah
Pertanyaan saya: kenapa kita dibaiat?
Untuk menandai dan meneguhkan iman kita kepada Allah dan istiqamah jihad kita membela
kebenaran Allah
Saya perjelas pertanyaan saya: bagaimana penjelasannya kok saya berposisi dibaiat dan
Panjenengan berposisi membaiat?
Untuk menandai dan meneguhkan iman kita kepada Allah dan istiqamah jihad kita membela
kebenaran Allah
Begini lho, kenapa kok orang itu yang membaiat kita?
Untuk menandai dan meneguhkan iman kita kepada Allah dan istiqamah jihad kita membela
kebenaran Allah
Maksud saya, misalnya begini: kenapa bukan kita yang membaiat beliau, atau beliau yang kita
baiat?
Markesot nyerocos.
Tapi terus terang kalau saya tidak akan pernah mau membaiat siapapun, sebab di depan Allah
saya tidak mampu menolong orang yang saya baiat
Orang itu menjawab agak jengkel, Ya mustahil lah Pak.
Maksudnya?, Tanya Markesot.
Tidak mungkin ada orang, sebodoh apapun dia, yang mau dibaiat oleh Njenengan
Lho kenapa?
Siapa yang percaya bahwa Njenengan seorang Mursyid
Kok Sampeyan percaya bahwa beliau Mursyid?
Kan jelas tanda-tandanya. Cara berpakaiannya saja sudah menunjukkan kealiman beliau. Belum
lagi kefasihan bicaranya. Kalau ngimami shalat juga enak. Dan yang utama beliau pernah belajar
di Arab

Anda mungkin juga menyukai