Anda di halaman 1dari 14

KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

Bab 3
Konsep Penataan Ruang KSK Gunungapi
Sinabung dan Sibayak

3.1 Konsep Pengurangan Risiko Bencana

Penataan ruang sebagai alat untuk perencanaan dan pengambilan keputusan, memiliki tujuan utama
untuk menciptakan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan bagi sumberdaya lahan dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat (FAO dan UNEP, 1999). Namun demikian, penataan ruang yang
konvensional tidak/belum memasukkan aspek bahaya alam (natural hazards) sebagai faktor yang
menentukan alokasi guna lahan yang dibutuhkan serta kebijakan terkait untuk pengelolaan sumberdaya
lahan itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan integrasi antara penataan ruang dengan pengurangan risiko
bencana, dimana penataan ruang berperan sebagai salah satu instrumen bagi pengurangan risiko
bencana.

Penataan ruang merupakan metoda baru yang muncul dalam pengurangan risiko bencana. Penataan
ruang diyakini memiliki kemampuan sebagai instrumen yang efektif dalam mengurangi risiko bencana
terkait upaya memitigasi risiko dan kerentanan terhadap berbagai jenis bencana. Penataan ruang dan
pengurangan risiko bencana pada dasarnya memiliki kompatibilitas, dimana keduanya sama-sama bersifat
sistematis, berorientasi masa depan, berorientasi pengambilan keputusan, dan bersifat proaktif.

Penanganan bencana alam melalui penataan ruang merupakan tugas kompleks yang melibatkan multi
sektor dan multi disiplin serta memalui pendekatan secara holitsik integrasi, tematik dan spasial (HIT)
untuk mengurangi risiko bencana. Sejalan dengan kesepakatan global yang tertuang dalam Kerangka
Hyogo (kerangka kerja sendai dalam pengurangan risiko bencana), upaya pengurangan risiko bencana
lebih dikedepankan melalui manajemen penanggulangan bencana yang komprehensif. Kerangka Hyogo
juga menekankan pentingnya peran penataan ruang dalam pengurangan risiko bencana.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, pemerintah, pemerintah provinsi, maupun


pemerintah kabupaten//kota memiliki kewenangan dalam upaya pengurangan risiko bencana. Salah satu
upaya pengurangan risiko bencana tersebut adalah dalam bentuk penataan ruang.

Integrasi penataan ruang dalam pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan
pengelolaan bencana (disaster management), yaitu pada tahap “Sebelum” Bencana, tahap “Saat” terjadi
Bencana, dan tahap “Setelah” Bencana.

Pada tahap “Sebelum” bencana, upaya penataan ruang yang dapat dilakukan meliputi upaya pencegahan,
mitigasi, dan kesiapsiagaan. Terkait upaya pencegahan, penataan ruang berfungsi menata alokasi ruang

Bagian B – Laporan Akhir 3-1


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

yang menghindari terjadinya bencana, termasuk upaya alokasi ruang untuk mencegah terjadinya
bencana. Terkait upaya mitigasi, penataan ruang berfungsi menata struktur yang akan dibangun dalam
rangka memitigasi ancaman bencana. Sedang dalam tahap kesiapsiagaan, penataan ruang dapat
berfungsi dalam menata jalur evakuasi serta tempat evakuasi bencana.

Pada tahap “Saat” terjadi bencana, penataan ruang berfungsi dalam menata alokasi ruang untuk upaya
kedaruratan. Lokasi ruang untuk tanggap darurat diatur dalam penataan ruang, seperti lokasi evakuasi
dalam kondisi kedaruratan, dan lain sebagainya.

Sedang pada tahap “Setelah” bencana, penataan ruang berfungsi dalam upaya rehabilitasi, rekonstruksi,
dan pembangunan kembali, termasuk relokasi bagi permukiman yang sudah tidak dapat dihuni kembali
akibat bencana alam.

Pada dasarnya penataan ruang untuk kawasan rawan bencana didasarkan pada prinsip dasar sebagai
berikut:
1. Menciptakan tata ruang yang tanggap terhadap bencana alam serta aman dan layak huni bagi
penduduknya;
2. Tindakan mitigasi bencana alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang
wilayah
3. Melibatkan peran serta aktif masyarakat
4. Perencanaan mitigasi bertujuan mengembangkan suatu ”budaya keselamatan” (safe culture), yaitu
terciptanya masyarakat yang sadar akan bahaya yang mereka hadapi, mengetahui bagaimana
melindungi diri mereka, serta mendukung upaya –upaya perlindungan dari pihak lain dan masyarakat
secara menyeluruh.

Arahan penataan ruang kawasan rawan bencana bergantung pada setiap jenis bencana. Hal ini mengingat
setiap jenis bencana memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda serta mekanisme merusak yang
berbeda terhadap elemen yang berisiko. Oleh karenanya, upaya pengurangan risiko yang perlu dilakukan
juga dapat berbeda. Arahan penataan ruang sebagai bagian dari upaya pengurangan risiko bencana
dengan demikian perlu diawali dengan pemahaman terhadap sifat masing-masing jenis bencana, meliputi:
(a) bagaimana bahaya tersebut muncul; (b) kemungkinan terjadi dan besarannya; (c) mekanisme fisik
kerusakan yang diakibatkannya; (d) elemen-elemen dan aktivitas-aktivitas yang paling rentan terhadap
pengaruhnya; serta (e) konsekuensi-konsekuensi kerusakannya.

Konsep penataan ruang pada kawasan rawan letusan gunungapi perlu diawali dengan pemahaman
terhadap karakteristik bahaya letusan gunungapi serta mekanisme kerusakan terhadap elemen dan
aktivitas yang berisiko. Bahaya Gunungapi dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu bahaya secara
langsung (primer) dan bahaya secara tidak langsung (sekunder). Kedua bahaya tersebut dapat
menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa manusia.
1. Bahaya langsung (primer) merupakan bahaya yang ditimbulkan secara langsung pada saat terjadi
letusan gunungapi. Hal ini disebabkan oleh lemparan material yang langsung dihasilkan oleh letusan
gunungapi seperti: aliran lava, atau leleran batu pijar, aliran piroklastika atau awan panas, jatuhan
piroklastika atau hujan abu lebat, lontaran material pijar. Selain itu bahaya primer juga dapat
ditimbulkan karena hembusan gas beracun.

Bagian B – Laporan Akhir 3-2


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

2. Bahaya tidak langsung (sekunder) merupakan bahaya akibat letusan gunungapi yang terjadi setelah
atau selama letusan gunungapi tersebut terjadi. Bahaya tidak langsung yang umumnya terjadi di
Indonesia adalah bahaya lahar, baik lahar dingin maupun Lahar Panas. Lahar Panas, Terjadi bila
Gunungapi mempunyai danau kepundan. Bila terjadi erupsi (gejala keluarnya magma melalui saluran,
maka lumpur panas terdiri dari air danau yang mendidih beserta hasil-hasil gunungapi lainnya akan
mengalir ke bawah dengan deras.

Mekanisme kerusakan akibat letusan gunung berapi bergantung pada jenis bahaya yang muncul. Letusan
eksplosif atau bertahap, yang mengeluarkan abu panas, aliran piroklastik, gas, dan debu. Kekuatan-
kekuatan letusan bisa menghancurkan bangunan-bangunan, hutan-hutan, dan infrastruktur yang dekat
dengan gunung berapi. Gas-gas beracun juga dapat mematikan apabila terhirup oleh manusia. Abu panas
yang jatuh akibat letusan Gunungapi dapat menyebar hingga berkilo-kilo meter di sekitar gunung. Abu
panas tersebut dapat membakar dan mengubur tempat-tempat hunian manusia.

Debu vulkanik juga dapat terbawa angin dalam jarak yang jauh dan jatuh sebagai polutan di tempat-
tempat hunian yang jauh sekali jaraknya. Sementara lava cair yang dilepas dari kawah vulkanis bisa
mengalir berkilo-kilo meter jauhnya sebelum akhirnya membeku. Panas lava akan membakar sebagian
besar barang-barang yang berada pada jalur aliran lava. Letusan Gunungapi juga dapat mengubah pola-
pola cuaca setempat, dan menghancurkan ekologi setempat. Selain itu, gunung berapi juga
mengakibatkan gerakan kuat ke atas dari daratan selama proses pembentukannya.

Yang perlu diperhatikan juga selain bahaya utama yang dapat menghancurkan dan merusak kawasan
permukiman penduduk di wilayah yang dikategorikan rawan, bahaya sekunder juga harus diwaspadai,
seperti aliran lahar dingin, banjir bandang, maupun longsoran vulkanik yang dapat menghancurkan
permukiman penduduk.

Dalam rangka pemantauan aktivitas gunungapi, PVMBG – Kementerian ESDM telah melakukan pemetaan
kawasan rawan bencana gunungapi serta pemantauan terhadap sejumlah gunungapi yang masih aktif di
Indonesia. Pemetaan kawasan rawan bencana gunungapi dilakukan untuk menentukan kawasan-
kawasan yang rawan bagi penduduk terhadap ancaman bahaya letusan, awan panas, aliran lava, aliran
lahar, lontaran batu pijar, dan hujan abu dalam bentuk peta. Sementara itu pemantauan gunungapi
dilakukan untuk memantau kegiatan gunungapi dengan menggunakan berbagai metoda. Tujuannya
untuk menilai aktivitas kegiatan gunungapi. Apabila terjadi peningkatan aktivitas gunungapi, Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah memiliki prosedur tetap. Tabel di bawah menunjukkan
tingkat bahaya gunungapi berdasarkan peningkatan aktivitas gunungapi.

Bagian B – Laporan Akhir 3-3


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

Tabel 3-1
Tingkat Bahaya Gunungapi

NO. TINGKAT BAHAYA DESKRIPSI


1. Aktif Normal (Level I) Kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan dari hasil visual, kegempaan, dan
gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
2. Waspada (Level II) Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang tampak secara visual atau
hasil pemeriksaan kawah, kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya.
3. Siaga (Level III) Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah,
kegempaan, dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis,
perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.
4. Awas (Level IV) Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap.
Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan utama.
Sumber: PerMen ESDM No. 15/2011.

Kaitan antara tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat berdasarkan tingkat bahaya dan kawasan
rawan bencana gunungapi adalah:

Tabel 3-2
Tindakan Masyarakat Berdasarkan Tingkat Bahaya Gunungapi

TINGKAT
NO. KRB I KRB II KRB III
BAHAYA

1. Aktif Normal Masyarakat dapat Masyarakat dapat Masyarakat dapat


(Level I) melakukan kegiatan melakukan kegiatan melakukan kegiatan
sehari-hari sehari-hari sehari-hari dengan
tetap mematuhi
ketentuan peraturan
dari Pemda setempat
sesuai rekomendasi
Kementerian ESDM

2. Waspada Masyarakat masih Masyarakat masih Masyarakat


(Level II) dapat melakukan dapat melakukan direkomendasikan
kegiatannya dengan kegiatannya dengan tidak melakukan
meningkatkan meningkatkan aktivitas di sekitar
kewaspadaan kewaspadaan kawah
terhadap ancaman
bahaya

3. Siaga Meningkatkan Masyarakat mulai Masyarakat tidak


(Level III) kewaspadaan dengan menyiapkan diri diperbolehkan
tidak melakukan untuk mengungsi melakukan aktivitas
aktivitas di sekitar sambil menunggu dan mulai
lembah sungai yang perintah dari menyiapkan diri
berhulu di daerah pemerintah daerah untuk mengungsi
puncak sesuai rekomendasi
teknis dari
Kementrian ESDM

4. Awas Masyarakat segera Masyarakat segera Masyarakat tidak


(Level IV) mengungsi mengungsi diperbolehkan
berdasarkan perintah berdasarkan perintah melakukan aktivitas
Pemda berdasarkan Pemda berdasarkan dan segera
rekomendasi teknis rekomendasi teknis mengungsi
Kementerian ESDM Kementerian ESDM

Sumber: PerMen ESDM No. 15/2011.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pertimbangan umum penataan ruang kawasan rawan bencana
gunungapi meliputi:

Bagian B – Laporan Akhir 3-4


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

1. Bahaya gunungapi terdiri dari bahaya primer dan bahaya sekunder dengan mekanisme kerusakan dan
dampak yang berbeda.
2. Elemen-elemen bencana gunungapi tidak terhindarkan jika terjadi erupsi gunungapi.
3. Beberapa elemen dapat diperkirakan kecenderungan atau perilakunya, misal lahar dan lava mengalir
mengikuti lembah sungai, dan sebagainya.
4. Aktivitas pemantauan dilakukan dalam rangka mengembangkan sistem peringatan dini.
5. Usaha-usaha lain yang dapat meminimumkan risiko bencana gunungapi adalah dengan rekayasa
konstruksi.

3.2 Konsep Penataan Ruang

3.2.1 Konsep Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunungapi

Penataan ruang KSK Gunungapi Sinabung dan Gunungapi Sibayak dilakukan dalam rangka upaya untuk
mengurangi risiko bencana yang dihadapi. Terkait dengan hal tersebut, penataan ruang KSK Gunungapi
Sinabung dan Gunungapi Sibayak dapat dikembangkan dengan konsep pengurangan risiko bencana
sebagai berikut:
1. Penghindaran, yaitu pelarangan kegiatan budidaya pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang
berpotensi terlanda aliran lava dan awan panas; serta Kawasan Rawan Bencana (KRB) I yang
berpotensi terlanda aliran lahar dingin;
2. Pengamanan/Mitigasi, yaitu mengamankan bagian-bagian wilayah terbangun melalui pembangunan
sabo, adaptasi model atap bangunan, dan sebagainya.
3. Kesiapsiagaan, yaitu meningkatkan upaya kesiapsiagaan melalui pengembangan jalur evakuasi dan
tempat evakuasi.
4. Pengembangan terbatas, yaitu pengembangan budidaya terbatas pada Kawasan Rawan Bencana
(KRB) II.
5. Pengembangan (development), yaitu pengembangan budidaya pada kawasan yang aman.
6. Relokasi dan pemukiman kembali, yaitu pemukiman kembali hunian di kawasan rawan bencana yang
sudah tidak layak huni.

Berdasarkan konsep pengurangan risiko bencana pada KSK Gunungapi Sinabung dan Gunungapi Sibayak,
maka dikembangkan konsep penataan ruang kawasan Gunungapi Sinabung sebagai berikut:

1. Alternatif 1
a. Konsep ruang di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Sinabung alternatif 2 terdiri dari kawasan
lindung dan budidaya yang memiliki luasan peruntukkan yang berbeda dengan alternatif 1
dikarenakan ada skenario perbedaan dalam pendelineasian kawasan rawan bahaya letusan
gunungapi berdasarkan hasil kesepakatan FGD antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Karo, dan perwakilan masyarakat terkait penataan
kawasan rawan bencana G. Sinabung pada tanggal 10 Juni 2016

Bagian B – Laporan Akhir 3-5


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

b. Area Terdampak Langsung/ATL yaitu seluruh area yang berada dalam radius 3 km dari puncak
gunung, area terdampak langsung, dan area pada radius 3-5 km dari kubah lava. Area ini tidak
diperuntukkan bagi pusat permukiman namun diarahkan menjadi kawasan lindung rawan
bencana geologi Gunungapi Sinabung.
c. Area Tidak Terdampak Langsung/ATTL terdiri dari 4 (empat) area yaitu :
1) Area Tidak Terdampak Langsung/ATTL II, adalah area yang berada dalam KRB I (bahaya
rendah) di sepanjang aliran sungai yang menjadi aliran lahar dingin, diperuntukkan sebagai
kawasan lindung setempat berupa sempadan sungai.
2) Area tidak terdampak langsung (ATTL) III, yaitu area tidak terdampak langsung namun
berada pada radius 7 km dapat diperuntukkan sebagai kawasan budidaya termasuk kawasan
permukiman perdesaan, namun tidak diperuntukkan bagi permukiman perkotaan dan pusat
kegiatan.
3) Area tidak terdampak langsung (ATTL) IV, yaitu area di luar radius 7 km dan berada dalam
penataan KRB, diperuntukkan sebagai kawasan budi daya termasuk kawasan permukiman,
namun intensitas pemanfaatan ruangnya tetap dikendalikan untuk meminimalkan
peningkatan keterpaparan dan risiko bencana.

2. Alternatif 2
a. Kawasan rawan bencana letusan gunungapi dengan radius lebih kurang 5 km dari puncak G.
Sinabung. Dasar pertimbangan penetapan kawasan radius 5 km dari puncak G. Sinabung sebagai
kawasan lindung rawan bencana letusan gunungapi adalah untuk menghindari potensi ancaman
aliran piroklastik dan jatuhan batu (pijar) berdasarkan peta KRB yang disusun oleh PVMBG
b. Area Terdampak Langsung/ATL yaitu seluruh area yang berada dalam radius 3 km dari puncak
gunung, area terdampak langsung, dan area pada radius 3-5 km arah selatan-tenggara-timur dari
kubah lava. Area ini tidak diperuntukkan bagi pusat permukiman namun diarahkan menjadi
kawasan lindung rawan bencana geologi Gunungapi Sinabung.
c. Pada areal 3-5 Km yang akan menjadi kawasan lindung perlu dilakukan tukar menukar lahan, dari
lahan pertanian menjadi kawasan lindung. Tukar menukar ini dilakukan dengan cara mencari
lahan pertanian pengganti bagi areal 3-5 Km yang berada di kawasan hutan di wilayah Kabupaten
Karo. Proses tukar menukar ini perlu ada ketetapan hukum yang dapat dikeluarkan oleh
Kementerian Kehutanan/SK Kehutanan dari budidaya menjadi lindung dan sebaliknya.
d. Area Tidak Terdampak Langsung/ATTL terdiri dari 4 (empat) area yaitu :
1) Area Tidak Terdampak Langsung/ATTL I, yaitu area yang berada pada Kawasan Rawan
Bencana/KRB III (bahaya tinggi) dan KRB II (bahaya menengah) atau berada pada radius 3-5
km dan di luar Area Terdampak Langsung dapat diperuntukkan bagi kawasan budidaya non
terbangun, namun masih diperbolehkan untuk permukiman eksisting dengan tidak
menambah permukiman baru (enclave and zero growth).
2) Area Tidak Terdampak Langsung/ATTL II, adalah area yang berada dalam KRB I (bahaya
rendah) di sepanjang aliran sungai yang menjadi aliran lahar dingin, diperuntukkan sebagai
kawasan lindung setempat berupa sempadan sungai.
3) Area tidak terdampak langsung (ATTL) III, yaitu area tidak terdampak langsung namun
berada pada radius 7 km dapat diperuntukkan sebagai kawasan budidaya termasuk kawasan
permukiman perdesaan, namun tidak diperuntukkan bagi permukiman perkotaan dan pusat
kegiatan.

Bagian B – Laporan Akhir 3-6


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

4) Area tidak terdampak langsung (ATTL) IV, yaitu area di luar radius 7 km dan berada dalam
penataan KRB, diperuntukkan sebagai kawasan budi daya termasuk kawasan permukiman,
namun intensitas pemanfaatan ruangnya tetap dikendalikan untuk meminimalkan
peningkatan keterpaparan dan risiko bencana.

Sedangkan untuk kawasan Gunungapi Sibayak dikembangkan dengan konsep penataan ruang sebagai
berikut:
1. Zona Terlarang
Zona Terlarang merupakan area yang berada pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III atau berada
pada radius < 2 km, diperuntukkan bagi kawasan lindung dan kawasan budidaya non terbangun, atau
area yang berada dalam KRB I di sepanjang aliran sungai yang menjadi aliran lahar dingin,
diperuntukkan sebagai kawasan lindung setempat berupa sempadan sungai.
2. Zona Pengembangan Terbatas I
Zona Pengembangan Terbatas I merupakan area yang berada dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB)
II atau berada pada radius 2-4 km, diperuntukkan bagi kawasan budidaya non terbangun, namun
masih diperbolehkan untuk permukiman eksisting dengan tidak menambah permukiman baru.
3. Zona Pengembangan Terbatas II
Zona Pengembangan Terbatas II merupakan area yang berada dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB)
I atau berada pada radius 4-6 km di luar Zona Terlarang, diperuntukkan bagi kawasan budidaya
termasuk kawasan permukiman perdesaan, namun tidak diperuntukkan bagi permukiman perkotaan
dan pusat kegiatan.
4. Zona Pengembangan
Zona Pengembangan merupakan area di luar radius 6 km dan berada dalam penataan KRB,
diperuntukkan bagi kawasan budi daya termasuk kawasan permukiman, namun intensitas
pemanfaatan ruangnya tetap dikendalikan untuk meminimalkan peningkatan keterpaparan dan risiko
bencana.

Bagian B – Laporan Akhir 3-7


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

Gambar 3-1 Peta Konsep Penataan Ruang KRB Gunungapi Sinabung Alternatif 1

Bagian B – Laporan Akhir 3-8


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

Gambar 3-2 Peta Konsep Penataan Ruang KRB Gunungapi Sinabung Alternatif 2

Bagian B – Laporan Akhir 3-9


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

Gambar 3-3 Peta Konsep Penataan Ruang KRB Gunungapi Sibayak

Bagian B – Laporan Akhir 3-10


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

3.2.2 Konsep Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor Dan Banjir
Bandang

Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah,
atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor
dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika
air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah
menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.

Gejala umum terjadinya tanah longsor adalah:


a) Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.
b) Biasanya terjadi setelah hujan
c) Munculnya mata air baru secara tiba-tiba
d) Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan

Ada 6 (enam) jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan
batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi
di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan
rombakan.

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lerang lebih besar daripada gaya
penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan
gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, serta berat jenis tanah batuan.

Elemen yang berisiko terhadap kejadian tanah


longsor adalah manusia, bangunan-bangunan,
jaringan jalan, dan infrastruktur. Tanah longsor
dapat menghancurkan bangunan-bangunan,
jalan-jalan, pipa-pipa dan kabel-kabel baik oleh
gerakan tanah yang berasal dari bawah atau
dengan cara menguburnya. Gerakan tanah
bertahap menyebabkan kemiringan, bangunan-
bangunan tidak bisa dihuni kembali. Keretakan di
tanah memecahkan pondais-pondasi dan
Kejadian longsor di Berastagi (2013) meretakkan sarana-sarana yang terpendam di
tanah. Lonsornya lereng yang terjadi secara tiba-tiba dapat menjebolkan tanah yang berada di bawah
tempat-tempat hunian dan menghempaskan bangunan-bangunan tersebut ke lereng bukit.

Runtuhan batu dapat mengakibatkan kerusakan dari pecahan batu berguling dan menimpa/mengenai
bangunan dan infrastsruktur lainnya. Aliran puing-puing di tanah yang lembek, material campuran,
tumpukan-tumpukan puing-puing buatan manusia dan tanah dengan kandungan air yang tinggi yang
mengalir seperti cairan, yang mengisi lembah-lembah, dapat mengubur tempat-tempat hunian, menutup
sungai-sungai (dan kemungkina menyebabkan banjir dan/atau banjir bandang) sert menutup jalan-jalan.

Bagian B – Laporan Akhir 3-11


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

Proses terjadinya bahaya longsor dapat berlangsung secara perlahan, tetapi dapat pula berlangsung tiba-
tiba. Bahaya longsor yang tiba-tiba umumnya menelan banyak korban manusia, baik luka-luka maupun
korban jiwa, serta kerugian material. Kejadian bahaya longsor dapat berpengaruh terhadap makhluk
hidup dan lingkungan di sekitar kejadian.

Gerakan tanah dapat terkait dengan banjir bandang. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan banjir
bandang pada daerah-daerah rawan gerakan tanah. Banjir bandang adalah jenis banjir yang datang secara
mendadak dan terjadi akibat meningkatnya muka air sungai secara cepat akibat hujan yang sangat lebat.
Pada daerah lembah sungai dan daerah dengan kemiringan yang tinggi, air mengalir lebih cepat dibanding
daerah yang lebih landai.

Adakalanya banjir bandang meluas ke bantaran sungai dan mengakibatkan jebolnya tanggul maupun
bendungan. Banjir bandang dapat menghanyutkan semua benda yang dilaluinya. Oleh karenanya, banjir
bandang merupakan banjir yang sangat berbahaya dan banyak menimbulkan korban jiwa.

Elemen yang paling berisiko terhadap bahaya banjir bandang diantaranya adalah permukiman yang
berada di dataran banjir, bangunan-bangunan dari tanah atau bangunan dari batu dengan campuran
semen yang dapat larut dalam air, bangunan-bangunan dengan pondasi yang dangkal atau berdaya tahan
lemah terhadap dampak atau beban-beban dari samping.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pertimbangan umum penataan ruang kawasan rawan gerakan
tanah sebagai bagian dari tindakan mitigasi bencana tanah longsor meliputi:

• Kejadian longsoran ini biasanya disebabkan oleh kondisi alamiah dan mudah longsor seperti
tanah pelapukan atau timbunan, masa batuan, timbunan material sampah yang lepas,
terdapat aliran air (mata air) di dasar lereng, penimbunan yang tidak mengindahkan
kestabilan lereng lereng tunggal (single slope) ataupun lereng total (overall slope), lereng
curam dan tinggi lereng , timbunan tanpa pemadatan termasuk bidang kontak antara
timbunan dengan tanah dasar yang dapat berperan sebagai bidang gelincir , serta kandungan
air yang sangat tinggi (oversaturated), yang dipicu oleh hujan dengan curah tinggi (>80
mm/hari, selama 3 hari sebelumnya).

• Pengurangan risiko bencana gerakan tanah dilakukan melalui: (a) planning control; (b)
engineering solution; (c) monitoring & warning system; dan (d) pemberdayaan masyarakat dan
institusi

• Upaya untuk menstabilkan longsoran adalah dengan memperlandai lereng/undak- undak,


memberi bahan penyeimbang, mebuat dinding penahan lereng, memperbaiki drainase dan
subdrain, mengisi retakan dengan semen atau perekat.

Beberapa pola mitigasi bencana tanah longsor yang dapat dilakukan, terutama untuk kawasan yang
memiliki risiko tinggi adalah sebagai berikut:

• Pembatasan pengembangan kawasan perkotaan dan pusat-pusat pengembangan di daerah


yang memiliki tingkat kerawanan tanah longsor tinggi;
• Pelarangan pengembangan lahan sawah dan kolam pada lereng bagian atas di dekat
permukiman;

Bagian B – Laporan Akhir 3-12


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

• Pemindahan lokasi fasilitas umum dan publik yang berada di lereng/kaki bukit;
• Pelarangan pembangunan jalan yang memotong bukit secara tegak lurus;
• Arahan pengembangan lahan sawah di daerah berbukit dengan sistem tera siring;
• Pembangunan sistem saluran air hujan makro;
• Rehabilitasi dan reboisasi lahan kritis;
• Mengembangkan wilayah penyangga (buffer zone) antara wilayah rawan longsor dengan
wilayah yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman;
• Rekayasa konstruksi (physical engineering) melalui pembuatan lereng menjadi landai melalui
penyesuaian kelerengan agar aliran drainase lebih lancar;
• Pengembangan bio engineering (pengaturan tutupan lahan atau vegetasi)
• Penghutanan kembali (reforestry) dengan jenis vegetasi yang dapat menahan kelongsoran
pada wilayah rawan longsor

Pengurangan risiko bencana gerakan tanah dapat dilakukan melalui 4 (empat) strategi utama:

1) Planning Control

Planning Control dapat dilakukan melalui:


• Pemindahan pada kawasan yang sudah terbangun di zona rawan;
• Penghindaran pembangunan kawasan terbangun pada zona rawan;
• Pemberian kebijakan disinsentif pada pembangunan baru di wilayah yang tidak stabil
(Kockelman, 1986);
• Pembatasan operasi kendaraan dengan tonase besar pada jalan di sepanjang jalan Berastagi
– Medan atau pada jalan yang berada pada zona rawan

2) Engineering Solution

Terdapat 2 (dua) pendekatan dalam memitigasi risiko tanah longsor: (a) koreksi lereng yang tidak
stabil untuk mengontrol awal terjadinya tanah longsor; (b) pemantauan terhadap pergerakan
tanah longsor

3) Monitoring and Warning System


Potensial lereng yang tidak stabil dapat dimonitor, sehingga penduduk yang berpotensi terkena
dampak dapat diberi peringatan, dan jika diperlukan dievakuasi. Pemasangan alat deteksi
gerakan tanah juga menjadi bagian dari upaya pengurangan risiko bencana melalui kegiatan
pemantauan dan sistem peringatan dini.

4) Peningkatan Kapasitas Masyarakat dan Institusi

Upaya lain yang penting adalah membangun kapasitas masyarakat maupun institusi yang
berwenang dalam pengelolaan bencana dalam menghadapi potensi bencana. Penguatan
kapasitas dapat melalui peningkatan pemahaman, peningkatan kemampuan kesiapsiagaan dan
tanggap darurat, kelembagaan, dan lain sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, maka konsep penataan ruang dalam rangka mengurangi risiko bencana tanah
longsor adalah sebagai berikut:

a) Pada kawasan yang belum terbangun:


Bagian B – Laporan Akhir 3-13


KONSEP PENATAAN RUANG KSK GUNUNGAPI SINABUNG DAN SIBAYAK BAB 3

• Pembatasan pengembangan kawasan perkotaan dan pusat-pusat pengembangan di daerah


yang memiliki tingkat kerawanan tanah longsor (gerakan tanah) tinggi;

• Pengembangan kebijakan disinsentif pada kawasan rawan gerakan tanah tinggi untuk
pembatasi pengembangan;

• Mengembangkan wilayah penyangga (bufferzone) antara wilayah rawan longsor dengan


wilayah yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman;

b) Pada kawasan yang sudah terbangun:

• Pembatasan intensitas ruang dan pengendalian pembangunan baru di kawasan



permukiman/terbangun yang berada di daerah rawan gerakan tanah tinggi;

• Pelarangan pengembangan lahan sawah dan kolam pada lereng bagian atas di dekat
permukiman;

• Pelarangan pembangunan jalan yang memotong bukit secara tegak lurus

• Arahan pengembangan lahan sawah di daerah berbukit dengan sistem tera- siring;

• Rehabilitasi dan reboisasi lahan kritis;

• Rekayasa konstruksi (physical engineering) melalui pembuatan lereng menjadi 
landai


melalui penyesuaian kelerengan agar aliran drainase lebih lancar;

• Pengembangan bio engineering (pengaturan tutupan lahan atau vegetasi)

• Mengembangkan sistem peringatan dini pada daerah rawan gerakan tanah tinggi dan
menengah

c) Pada kawasan yang sudah tidak layak huni:

• Relokasi dan pemukiman kembali (resettlement) kawasan permukiman (kawasan


terbangun) ke tempat yang aman terhadap bahaya longsor dan mengikuti kaidah
penentuan lokasi pada kawasan permukiman/terbangun baru.

• Pemindahan lokasi fasilitas umum dan publik yang berada di lereng/kaki bukit ke wilayah
yang aman;

Bagian B – Laporan Akhir 3-14

Anda mungkin juga menyukai