Materi Debat
“Kritis Terhadap Efektivitas Pemberian Tablet Tambah Darah Pada Remaja Putri”
Disusun Oleh:
1 Ahirah P0714231192002
2 Avit Fitriani P0714231192004
3 Fachriyani P0714231192006
4 Fitrah Al Amanah P0714231192008
5 Hikmah Mansur P0714231192010
6 Indar P0714231192011
7 M. Sadli Umasangaji P0714231192012
8 Musdalifah Dahlan P0714231192014
9 Nuraeni P0714231192016
10 Rezki Amalia P0714231192018
11 Sri Indra Hayu P0714231192022
12 Suriyani P0714231192024
Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia dari pada remaja putra.
Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri mengalami haid. Seorang wanita yang
mengalami haid yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi,
sehingga membutuhkan besi pengganti lebih banyak dari wanita yang haidnya hanya tiga hari
atau sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri seringkali menjaga penampilan, keinginan
untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diet yang tidak
seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang
penting seperti zat besi (Arisman, 2010 dalam Andaruni, 2018).
Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah anemia
pada remaja adalah melalui pemberian suplemen tablet tambah darah (TTD) berupa zat besi (60
mg FeSO4) dan asam folat (0,25 mg). WHO telah merekomendasikan konsumsi tablet besi untuk
Wanita Usia Subur (WUS) menstruasi adalah secara intermittent (1 kali/minggu), dengan dosis
TTD 60 mg elemental besi dan 2,8 mg asam folat selama 12 minggu/3 bulan dengan jeda tiga
bulan. Jadi suplementasi diberikan dua kali setahun selama tiga bulan, sehingga jumlah total
tablet yang diberikan selama suplementasi adalah 24 tablet/tahun (WHO 2011 dalam Susanti,
dkk, 2016).
Kelompok remaja putri merupakan sasaran strategis dari program perbaikan gizi untuk
memutus siklus masalah agar tidak meluas ke generasi selanjutnya. Program pemerintah
Indonesia yang fokus terhadap penanggulangan anemia remaja putri yakni Program Pencegahan
dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) dengan sasaran anak Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) melalui pemberian suplementasi kapsul zat
besi. (Permatasari, dkk, 2018). Pada keadaan dimana zat besi dari makanan tidak mencukupi
kebutuhan terhadap zat besi, perlu didapat dari suplementasi zat besi. Pemberian suplementasi
zat besi secara rutin selama jangka waktu tertentu bertujuan untuk meningkatkan kadar
hemoglobin secara cepat, dan perlu dilanjutkan untuk meningkatkan simpanan zat besi di dalam
tubuh.
Tahapan lama dalam pemberian tablet tambah darah oleh kebijakan Kemenkes telah
menetapkan dosis suplementasi besi pada WUS (termasuk remaja) adalah 1 tablet/minggu dan
ketika menstruasi diberikan setiap hari selama 10 hari dengan lama pemberian empat bulan.
Dengan demikian, jumlah total tablet yang diberikan selama suplementasi adalah 52 tablet/tahun
dengan TTD yang tersedia sama dengan ibu hamil (Depkes 2003). Terjadi perubahan dalam pola
pemberian, dimana sekarang pola pemberian dilakukan setiap minggu 1 tablet dan setiap bulan
bisa mendapat 4-5 tablet. Pemberian dalam setahun sebanyak 52 tablet. TTD adalah tablet yang
sekurangnya mengandung zat besi setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat
yang disediakan oleh pemerintah maupun diperoleh secara mandiri. (Kemenkes, 2018).
Upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah anemia gizi tidak selalu berjalan dengan
baik dan efektif. Penelitian Kheirouri menyebutkan bahwa selain ketersediaan tablet besi dan
efek samping yang ditumbulkan oleh tablet, terdapat faktor lainnya yang dapat memengaruhi
keefektifan program suplementasi besi yaitu dipengaruhi kualitas TTD, cara sosialisasi kepada
remaja putri, peran orangtua, kerjasama stakeholder, serta pelatihan edukator. Program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) tahun 2016 di Kota Bogor baru
berjalan di tahun kedua. Program di tahun pertama (2015) masih belum berjalan secara efektif
dan hanya melihat cakupan pemberian saja. (Permatasari, dkk, 2018).
Realitas pemberian tablet tambah darah memang mengalami fluktuatif. Selain itu memang
target capaian pemberian memang dilakukan bertahap. Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan RI tahun 2015-2019 menargetkan cakupan pemberian TTD pada rematri secara
bertahap dari 10% (2015) hingga 30% (2019). Diharapkan sektor terkait di tingkat pusat dan
daerah mengadakan TTD secara mandiri sehingga intervensi efektif dengan cakupan dapat
dicapai hingga 90%. (Kemenkes, 2018). Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2017 menunjukkan
data Persentase Remaja Putri mendapat Tablet Tambah Darah 12.4% meningkat dari Tahun 2016
10.3%. Akan tetapi polemiknya bukan hanya terbatas pada pemberian tapi juga seberapa jauh
tablet zat besi-nya dikonsumsi. Selain itu, faktor semisal merasa mual, anggapan seperti ibu
hamil dan beragam hal lainnya juga mempengaruhi proses dalam mengonsumsi tablet zat besi.
Rendahnya pengawasan dan motivasi dari pengkonsumsi TTD di rumah membuat tingkat
kepatuhan rendah. Program pemberian TTD di India pada penelitian Risonar menunjukkan hasil
kepatuhan yang cukup tinggi yakni didapatkan nilai kepatuhan 100% pengonsumsian TTD.
Kepatuhan ditunjukkan dengan pengonsumsian secara langsung dengan edukasi dan pengawasan
dari guru saat di sekolah dan dilakukan minum TTD bersama di hari yang telah ditetapkan.
(Permatasari, dkk, 2018).
1. Masih kurangnya sosialisasi pentingnya zat besi dan manfaat tablet tambah darah saat
pemberian tablet tambah darah pada remaja putri.
2. Evaluasi pemberian tablet tambah darah pada remaja putri untuk dikonsumsi (diminum)
dalam bentuk pemantauan masih minim.
3. Rasa kurang nyaman dari tablet tambah darah membuat banyak keluhan dari remaja putri
4. Pemberian TTD pada rematri belum maksimal untuk rematri yang putus sekolah.
5. Perlu peran pendampingan yang maksimal dari sektor lain, misalnya sektor pendidikan
melalui guru dan keluarga melalui orang tua.
6. Pada tahapan pemberian pertama, target capaian masih sebatas melihat cakupan rematri
mendapat tablet tambah darah.
7. Pola pemberian yang menggunakan konsep Blanket Approach atau dalam bahasa Indonesia
berarti “pendekatan selimut”, berusaha mencakup seluruh sasaran program. Belum ada
prosedur pelaksanaan pemberian berbasis kasus.
8. Dalam hal ini, seluruh rematri dan WUS diharuskan minum TTD untuk mencegah anemia
dan meningkatkan cadangan zat besi dalam tubuh tanpa dilakukan skrining awal pada
kelompok sasaran.
9. Dapat dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin, akan tetapi ketersediaan alat dan fasilitas
dalam pemeriksaan hb kadang menjadi masalah.
10. Pemberian tablet tambah dengan pola Blanket Approach tidaklah salah. Akan tetapi
idealnya sebagai petugas gizi kita dapat memulai dengan deteksi dini sederhana semisal
melihat asupan fe, tanda-tanda klinisnya sebagai data awal dalam pemberian tablet tambah
darah yang lebih tepat sasaran.
11. Pada dasarnya program-program gizi yang ada sudah terprogram dengan baik, hanya saja
pelaksanaan di tingkat lapanganlah yang memerlukan inovasi serta improvisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Andaruni, Nurul Qamariah Rista, 2018. Efektivitas Pemberian Tablet Zat Besi (Fe), Vitamin C
Dan Jus Buah Jambu Biji Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin (Hb) Remaja Putri di
Universitas Muhammadiyah Mataram. Midwifery Journal Vol. 3, No. 2, Juli 2018 , hal
104-107
Kementerian Kesehatan, 2018. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Pada
Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS).
Permatasari, Tyas, Dodik Briawan, dan Siti Madanijah, 2018. Efektivitas Program Suplementasi
Zat Besi pada Remaja Putri di Kota Bogor. Jurnal MKMI, Vol. 14 No. 1, Maret 2018.
Susanti, Yeti, dkk, 2016. Suplementasi Besi Mingguan Meningkatkan Hemoglobin Sama Efektif
Dengan Kombinasi Mingguan dan Harian Pada Remaja Putri. Jurnal Gizi Pangan, Volume
11, Nomor 1, Maret 2016.
Angrainy, Rizka, Lidia Fitri, Vipit Wulandari, 2019. Pengetahuan Remaja Putri Tentang
Konsumsi Tablet FE Pada Saat Menstruasi Dengan Anemia. Jurnal Endurance : Kajian
Ilmiah Problema Kesehatan Vol 4 (2) Juni 2019 (343-349).