Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KELOMPOK I

TINGKAT IA

ASUHAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Tentang

PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN

Oleh

EGA ANNA PUTRI (194330508)


FAINDRA THEODORA FILLAZA (194330509)
HARRYATI (194330512)
HUSNIL JAWARIS (194330515)
RANI AMDANI PUTRI (194330531)
SILVIA AGUSTIN (194330538)
YORA ADHAYANI (194330551)

DOSEN PENGAMPU
YUSSIE ATER MERRY, S.ST, M.Keb

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


POLTEKKES KEMENKES PADANG
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadiran Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah tentang “Pendewasaan Usia Perkawinan” yang diajukan
sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Asuhan Kesehatan Reproduksi
Remaja.
Kami menyadari bahwa keberhasilan penyusunan malakah ini tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ibu
Yussie Ater Merry, S.ST, M.Keb selaku dosen pengampu.
Akhir kata kami mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, kami menerima saran dan kritikan serta masukan yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Padang, Februari 2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 3

BAB II LANDASAN TEORI


A. Pendewasaan Usia Perkawinan 4
1. Pengertian Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) 4
2. Tujuan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) 4
3. Batasan Usia Muda7
4. Batasan Usia Perkawinan 9
5. Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Usia Muda 10
6. Dampak Perkawinan Usia Muda 14
7. Pencegahan Perkawinan Usia Muda 18

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) diluncurkan oleh

program generasi berencana yang diselenggarakan oleh BKKBN bertujuan

untuk memberikan pengertian dan kesadaran pada remaja bahwa dalam

merencanakan keluarga, remaja dapat mempertimbangkan berbagai aspek

yang berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, emosional, mental, kesiapan

fisik, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak

kelahiran (BKKBN, 2008).

Pendekatan kepada remaja dilakukan melalui pengembangan Pusat

Informasi dan Konseling Remaja (PIK R), sedangkan pendekatan kepada

keluarga melalui pengembangan kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR).

Melalui kelompok bina keluarga remaja setiap keluarga yang memiliki remaja

dapat saling bertukar informasi dan bersama tentang hal-hal yang berkaitan

dengan remaja, meliputi kebijakan program generasi berencana salah satunya

pendewasaan usia pekawinan (Pusat Data dan Informasi Kementerian

Kesehatan RI, 2013).

Data World Health Organization tahun 2014 menunjukkan bahwa 16

juta kelahiran terjadi pada ibu yang berusia 15-19 tahun atau 11% dari

seluruh kelahiran di dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara

berkembang. Sebuah penelitian di Amerika Latin dan Karibia menunjukkan

bahwa 29% wanita menikah saat berusia 18 tahun. Prevalensi tertinggi kasus

pernikahan usia dini di dunia terdapat di Nigeria (79%), Kongo (74%),

1
2

Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%). Menurut Kemenkes RI tahun

2015, Indonesia menempati peringkat 37 di dunia dalam hal pernikahan usia

muda serta tertinggi kedua di ASEAN setelah kamboja.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan

bahwa di Indonesia data pernikahan dini sudah cukup tinggi yaitu 4,8% pada

usia 10-14 tahun dan 41,9% pada usia 15-19 tahun. Pernikahan usia dini

sering diawali dengan terjadinya kehamilan. Berdasarkan Data Age Spesific

Fertility Rate (ASFR) di Bali ditemukan bahwa kehamilan remaja pada usia

dini cukup tinggi. Remaja yang hamil usia < 20 tahun ditemukan sebanyak

653 jiwa, sedangkan persalinan remaja pada usia < 20 tahun sebanyak 412

jiwa. Data pernikahan usia < 21 tahun lebih banyak ditemukan pada

perempuan, hal tersebut dikarenakan perempuan menikah dengan

pasangannya yang berusia > 21 tahun.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah pernikahan usia dini

melalui wajib belajar selama 12 tahun, mensosialisasikan pentingya

pendidikan kesehatan reproduksi (PP No. 61 Tahun 2014 tentang kesehatan

reproduksi). Pernikahan yang dilakukan dalam usia muda dapat berisiko

terhadap kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamanan diri perempuan dan

anak-anakya.

Kehamilan dan persalinan di usia yang terlalu muda berkolerasi dengan

angka kesakitan dan kematian ibu. Anak perempuan usia 10-14 tahun berisiko

lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin sedangkan pada

kelompok usia 15-19 tahun risikonya meningkat dua kali lipat bila

dibandingkan dengan kelompok usia 20-24 tahun (WHO, 2014).


3

Dampak dari kehamilan dini secara fisiologis adalah keguguran

(Abortus), persalinan prematur, mudah terjadi infeksi, Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, anemia kehamilan, keracunan

kehamilan (Gestosis) dan kematian ibu. Dampak yang timbul secara

psikologis yaitu perceraian, karena pasangan muda keadaan psikologisnya

belum matang, sehingga masih labil dalam menghadapi masalah yang timbul

dalam perkawinan. Jika dipandang secara sosial ekonomi, pada usia yang

cukup untuk berumah tangga, seseorang akan memiliki kehidupan yang kuat

atau dorongan mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya (Romauli dan

Vindari, 2012).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari pendewasaan usia perkawinan ?

2. Apa tujuan dari pendewasaan usia perkawinan ?

3. Apa permasalahan remaja terkait PUP tersebut ?

4. Apa dampak dari pendewasaan usia perkawinan ?

5. Bagaimana strategi pendewasaan usia perkawinan ?

C. Tujuan

1. Untuk memahami pengertian dari pendewasaan usia perkawinan.

2. Untuk memahami tujuan dari pendewasaan usia perkawinan.

3. Untuk memahami permasalahan remaja terkait PUP tersebut.

4. Untuk memahami dampak dari pendewasaan usia perkawinan.

5. Untuk memahami strategi pendewasaan usia perkawinan.


BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)

1. Pengertian Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk

meningkatkan usia pada perkawinan pertama saat mencapai usia minimal

20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. PUP bukan sekedar

menunda perkawinan sampai usia tertentu saja, akan tetapi juga

mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup

dewasa. Apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya,

maka diupayakan adanya penundaan kelahiran anak pertama.

2. Tujuan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)

Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah Memberikan

pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan

keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan

dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional,

pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran.

Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin

yang lebih dewasa.

Program Pendewasaan Usia kawin dan Perencanaan Keluarga

merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan.

Kerangka ini terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu:

4
5

a. Masa Menunda Perkawinan dan Kehamilan

Kelahiran anak yang baik adalah apabila dilahirkan oleh seorang

ibu yang telah berusia 20 tahun. Kelahiran anak, oleh seorang ibu

dibawah usia 20 tahun akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan

anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu sangat dianjurkan apabila

seorang perempuan belum berusia 20 tahun untuk menunda

perkawinannya. Apabila sudah terlanjur menjadi pasangan suami istri

yang masih dibawah usia 20 tahun, maka dianjurkan untuk menunda

kehamilan, dengan menggunakan alat kontrasepsi seperti yang akan

diuraikan dibawah ini. Beberapa alasan medis secara objektif dari

perlunya penundaan usia kawin pertama dan kehamilan pertama bagi

istri yang belum berumur 20 tahun adalah sebagai berikut:

1) Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga

dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat

persalinan, nifas serta bayinya.

2) Kemungkinan timbulnya risiko medik sebagai berikut:

a) Keguguran

b) Preeklamsia (tekanan darah tinggi, cedema, proteinuria)

c) Eklamsia (keracunan kehamilan)

d) Timbulnya kesulitan persalinan

e) Bayi lahir sebelum waktunya

f) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

g) Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina)

h) Fistula Retrovaginal (keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina)


6

i) Kanker leher rahim

Penundaan kehamilan pada usia dibawah 20 tahun ini dianjurkan

dengan menggunakan alat   kontrasepsi sebagai berikut:

1) Prioritas kontrasepsi adalah oral pil, oleh karena peserta masih muda

dan sehat

2) Kondom kurang menguntungkan, karena pasangan sering

bersenggama (frekuensi tinggi) sehingga akan mempunyai kegagalan

tinggi.

3) AKDR/Spiral/IUD bagi yang belum mempunyai anak merupakan

pilihan kedua. AKDR/Spiral/IUD yangdigunakan harus dengan

ukuran terkecil.

b. Masa Menjarangkan Kehamilan

Masa menjarangkan kehamilan terjadi pada periode PUS berada

pada umur 20-35 tahun. Secara empirik diketahui bahwa PUS

sebaiknya melahirkan pada periode umur 20-35 tahun, sehingga resiko-

resiko medik yang diuraikan diatas tidak terjadi. Dalam periode 15

tahun (usia 20-35 tahun) dianjurkan untuk memiliki 2 anak. Sehingga

jarak ideal antara dua kelahiran bagi PUS kelompok ini adalah sekitar

7-8 tahun. Patokannya adalah jangan terjadi dua balita dalam periode 5

tahun. Untuk menjarangkan kehamilan dianjurkan menggunakan alat

kontrasepsi. Pemakaian alat kontrasepsi pada tahap ini dilaksanakan

untuk menjarangkan kelahiran agar ibu dapat menyusui anaknya dengan

cukup banyak dan lama. Semua kontrasepsi, yang dikenal sampai

sekarang dalam program Keluarga Berencana Nasional, pada dasarnya


7

cocok untuk menjarangkan kelahiran. Akan tetapi dianjurkan setelah

kelahiran anak pertama langsung menggunakan alat kontrasepsi spiral

(IUD).

c. Masa Mencegah Kehamilan

Masa pencegahan kehamilan berada pada periode PUS berumur 35

tahun keatas. Sebab secara empirik diketahui melahirkan anak diatas

usia 35 tahun banyak mengalami resiko medik. Pencegahan kehamilan

adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi.

Kontrasepsi yang akan dipakai diharapkan berlangsung sampai umur

reproduksi dari PUS yang bersangkutan yaitu sekitar 20 tahun dimana

PUS sudah berumur 50 tahun. Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi

PUS usia diatas 35 tahun adalah sebagai berikut:

1) Pilihan utama penggunaan kontrasepsi pada masa ini adalah

kontrasepsi mantap (MOW,  MOP).

2) Pilihan ke dua kontrasepsi adalah IUD/AKDR/Spiral

3) Pil kurang dianjurkan karena pada usia ibu yang relatif tua

mempunyai kemungkinan timbulnya akibat sampingan.

3. Batasan Usia Muda

Usia muda didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-

kanak ke masa dewasa. Batasan usia muda berbeda-beda sesuai dengan

sosial budaya setempat. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12-24

tahun. Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi yang digunakan

oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan
8

belum kawin. Sementara itu menurut BKKBN batasan usia muda adalah

10-21 tahun (BKKBN, 2008).

WHO Expert Comitte memberikan batasan-batasan pertama tentang

definisi usia muda bersifat konseptional pada tahun 1974. Dalam hal ini

ada 3 kategori yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga

secara lengkap defenisi tersebut tersembunyi sebagai berikut, usia muda

adalah suatu masa dimana :

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-

tanda seksual sekunder sampai ia mencapai kematangan sendiri.

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dari masa kanak-kanak

menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh

kepada keadaan yang relatif mandiri.

Dari batasan usia muda di atas ditetapkan batasan usia muda antara

11-19 tahun, dimana di antara usia tersebut sudah menunjukan tanda-tanda

seksualnya. Bila hal ini ditinjau dari sudut kesehatan maka masalah utama

yang dirasakan mendesak adalah mengenai kesehatan pada usia muda

khususnya wanita yang kehamilannya terlalu awal. Di samping itu

menurut Sarwono, terdapat beberapa definisi usia muda, salah satunya

adalah definisi usia muda untuk masyarakat Indonesia yang

mengemukakan batasan antara usia 11-24 tahun dan belum menikah

dengan pertimbangan sebagai berikut :

a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual

sekunder mulai tampak (kriteria sosial).


9

b. Banyak masyarakat Indonesia mengganggap usia 11 tahun sudah

dianggap akil baligh menurut adat maupun agama sehingga masyarakat

tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).

c. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyimpangan perkembangan

jiwa seperti tercapainya identitas diri.

d. Bila batas usia 24 tahun merupakan batasan usia maksimal yaitu untuk

memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih

menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh

sebagai orang dewasa (adat atau tradisi) belum bisa memberikan

pendapat sendiri.

e. Status perkawinan sangat menentukan karena arti perkawinan masih

sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang

telah menikah di usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai

orang dewasa penuh baik secara hukum di keluarga maupun

masyarakat.

4. Batasan Usia Perkawinan

Dalam hubungan dengan hukum menurut UU, usia minimal untuk

suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria

(Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa UU tersebut

menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehigga

mereka sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah

perkawinan terlalu dini. Walaupun begitu selama seseorang belum

mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan

anaknya. Setelah berusia di atas 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang
10

tua (Pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampaklah di sini, bahwa walaupun

UU tidak menganggap mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita dan

19 tahun untuk pria bukan anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa

penuh. Sehingga masih perlu izin untuk mengawinkan mereka. Ditinjau

dari segi kesehatan reproduksi, usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang

bersangkutan belum berada dalam usia reproduksi yang sehat. Meskipun

batas usia kawin telah ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak

terjadi dimasyarakat terutama dengan menaikkan usia agar dapat

memenuhi batas usia minimal tersebut.

5. Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Usia Muda

Faktor yang yang memengaruhi perkawinan usia muda yaitu faktor

ekonomi keluarga, kehendak orang tua, kemauan anak, pendidikan, adat

dan budaya (Maimun, 2007). Sedangkan menurut Hanggara (2010) faktor

yang memengaruhi perkawinan usia muda adalah faktor sosial budaya,

faktor pendidikan, dan faktor ekonomi. Faktor yang mempengaruhi

perkawinan usia muda adalah faktor pengetahuan, pendidikan, dorongan

orang tua, pergaulan bebas, dan budaya.

a. Faktor Pengetahuan

Faktor utama yang memengaruhi remaja untuk melakukan

hubungan seks pranikah adalah membaca buku porno dan menonton

blue film. Sehingga jika terjadi kehamilan akibat hubungan seks pra

nikah maka jalan yang diambil adalah menikah pada usia muda. Tetapi

ada beberapa remaja yang berpandangan bahwa mereka menikah muda

agar terhindar dari perbuatan dosa,seperti seks sebelum nikah. Hal ini
11

tanpa didasari oleh pengetahuan mereka tentang akibat menikah pada

usia muda (Jazimah, 2006).

b. Faktor Pendidikan

Tingkat pendidikan yang rendah atau tidak melanjutkan sekolah

lagi bagi seorang wanita dapat mendorong untuk cepat-cepat menikah.

Permasalahan yang terjadi karena mereka tidak mengetahui seluk beluk

perkawinan sehingga cenderung untuk cepat berkeluarga dan

melahirkan anak. Selain itu tingkat pendidikan keluarga juga dapat

memengaruhi terjadinya perkawinan usia muda. Perkawinan usia muda

juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat secara

keseluruhan. Suatu masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah akan

cenderung untuk mengawinkan anaknya dalam usia masih muda

(Sekarningrum, 2002).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Gejugjati

dan Lekok Kabupaten Pasuruan sebanyak 35% pasangan yang menikah

di bawah umur dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Hal ini menunjukan

bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang penyebab dalam

perkawinan usia muda baik pendidikan remaja maupun pendidikan

orang tua (Hanggara, 2010).

c. Faktor Pergaulan Bebas

Mayoritas laki-laki dan perempuan yang kawin di bawah umur 20

tahun akan menyesali perkawinan mereka. Sayang sekali orang tua

sendiri sering tetangga dan media, faktor pengetahuan yang minim


12

ditambah rasa ingin tahu yang berlebihan, dan juga faktor perubahan

zaman (Dina, 2006).

Suasana keluarga yang tenang dan penuh curahan kasih sayang

dari orang-orang dewasa yang ada di sekelilingnya, akan menjadikan

remaja dapat berkembang secara wajar dan mencapai kebahagiaan.

Sedangkan suasana rumah tangga yang penuh konflik akan berpengaruh

negatip terhadap kepribadian dan kebahagiaan remaja yang pada

ahirnya mereka melampiaskan perasaan jiwa dalam berbagai pergaulan

dan perilaku yang menyimpang (Al-Mighwar, 2006).

Perkawinan usia muda terjadi karena akibat kurangnya

pemantauan dari orang tua yang mana mengakibatkan kedua anak

tersebut melakukan tindakan yang tidak pantas tanpa sepengetahuan

orang tua. Hal ini tidak sepenuhnya kedua anak tersebut haruslah

disalahkan. Mungkin dalam kehidupannya mereka kurang mendapat

perhatian dari orang tuanya, kasih sayang dari orang tuanya dan

pemantauan dari orang tua. Yang mana mengakibatkan mereka

melakukan pergaulan secara bebas yang mengakibatkan merusak

karakter pemuda sebagai makhluk Tuhan. Masa-masa seumuran mereka

yang pertumbuhan seksualnya meningkat dan masa-masa dimana

mereka berkembang menuju kedewasaan. Jadi, bisa saja dalam

hubungannya mereka memiliki daya nafsu seksual yang tinggi dan tak

tertahan atau terkendali lagi sehingga mereka berani melakukan

hubungan seksual hanya demi penunjukkan rasa cinta. Orang tua di sini
13

terlalu membebaskan anak-anaknya dalam bergaul tanpa memantau dan

terlalu sibuk dengan pekerjaannya (Wicaksono, 2013).

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan

mudah dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di

kota-kota besar. Perkawinan pada usia remaja pada akhirnya

menimbulkan masalah. Jadi dalam situasi apapun tingkah laku seksual

pada remaja tidak pernah menguntungkan, pada hal masa remaja adalah

periode peralihan ke masa dewasa (Sarwono, 2006).

d. Faktor Budaya

Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya

dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan. Faktor adat dan

budaya, di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat

beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak

kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat

setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Pada hal umumnya

anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat

dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di

bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU

(Ahmad, 2009).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hanggara di

Kecamatan Gegugjati Kabupaten Pasuruan tahun 2010 yaitu 61,6 %

remaja yang melakukan perkawinan usia dini karena faktor budaya.

Dimana faktor budaya di sini adalah orang tua yang menjodohkan atau

memaksa kawin anaknya.


14

6. Dampak Perkawinan Usia Muda

Kawin muda berpengaruh terhadap kejadian kanker leher rahim

(Loon, 1992). Faktor risiko usia menikah pada usia dini berhubungan

dengan kejadian kanker leher rahim. Semakin dini seorang perempuan

melakukan hubungan seksual semakin tinggi risiko terjadinya lesi

prakanker pada leher rahim. Sehingga dengan demikian semakin besar

pula kemungkinan ditemukannya kanker leher rahim. Hal ini disebabkan

pada usia tersebut terjadi perubahan lokasi sambungan skuamo-kolumner

sehingga relatif lebih peka terhadap stimulasi onkogen (Jacobs, 2003).

Menurut Melva (2007), wanita menikah di bawah usia 16 tahun

biasanya 10-12 kali lebih besar kemungkinan terjadi kanker leher rahim

dibandingkan dengan mereka yang menikah di atas usia 20 tahun. Pada

usia tersebut rahim seorang remaja putri sangat sensitif. Serviks remaja

lebih rentan terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat proses

metaplasia yang aktif, yang terjadi dalam zona transformasi selama

periode perkembangan. Metaplasia epitel skuamosa biasanya merupakan

proses fisiologis. Tetapi di bawah pengaruh karsinogen, perubahan sel

dapat terjadi sehingga mengakibatkan suatu zona transformasi yang

patologik. Perubahan yang tidak khas ini menginisiasi suatu proses yang

disebut neoplasma intraepitil serviks (Cervical Intraepithelial Neoplasia

(CIN) yang merupakan fase prainvasif dari kanker leher rahim.

Di bawah usia 18 tahun, alat-alat reproduksi seorang perempuan

masih sangat lemah. Jika dia hamil, maka akibatnya akan mudah

keguguran karena rahimnya belum begitu kuat, sehingga sulit untuk terjadi
15

perlekatan janin di dinding rahim. Selain itu, kemungkinan mengalami

kelainan kehamilan dan kelainan waktu persalinan (Nafsiah, 2012).

Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia

dengan berbagai latar belakang. Telah menjadi perhatian komunitas

internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang

dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda,

dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan bukanlah satu-satunya

faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini. Hal lain yang

perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan

dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan

angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat

menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan

anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan

keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan

dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak

termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam

menghentikan praktek pernikahan usia dini (Eddy dan Shinta, 2009).

Menurut Rosaliadevi (2012) dampak perkawinan usia muda antara lain:

a. Dampak Biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses

menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan

seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian

melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang

luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai


16

membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks

yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri

dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan

(penggagahan) terhadap seorang anak.

b. Dampak Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang

hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis

berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan

murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang

dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan

perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh

pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu

luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

c. Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam

masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan

pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki

saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun

termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan. Kondisi

ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang

akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

d. Dampak Prilaku Seksual Menyimpang

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang

gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah


17

pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan

seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi

legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara

maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum

300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan

hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara

ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan

menjadi contoh bagi yang lain.

e. Dampak Terhadap Suami

Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istri yang telah

melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau

tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal

tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental

mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.

f. Dampak Terhadap Anak-anaknya

Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia

muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak

pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda,

perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena

bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah umur 20 tahun,

bila hamil akan mengalami gangguan pada kandungannya dan banyak

juga dari mereka yang melahirkan anak yang prematur.


18

g. Dampak Terhadap Masing-masing Keluarga

Selain berdampak pada pasagan suami-istri dan anak-anaknya

perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap

masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antara anak-anak

mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya

masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga

mereka tidak bahagia dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan

mengkibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling parah

lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.

7. Pencegahan Perkawinan Usia Muda

Dalam rangka Membangun komitmen, partisipasi dan peran aktif

para pemangku kepentingan termasuk para petugas pelayanan dan

masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, serta untuk meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan dalam mengimplementasi kebijakan-

kebijakan Negara yang telah digulirkan pada bidang Tumbuh Kembang

Anak lebih khususnya dalam Pencegahan Perkawinan Usia Muda,  maka

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak menggelar “Pelatihan Forum dan

Penggiat Pencegahan Perkawinan Anak” dengan tujuan untuk

meningkatkan koordinasi para pemangku kepentingan termasuk para

petugas pelayanan dan masyarakat dalam menerapkan pelaksanaan

kegiatan bidang tumbuh kembang anak, khususnya dalam Pencegahan

Perkawinan Anak dan mendukung terwujudnya salah satu indikator

pengembangan Kab/Kota Layak Anak.


19

Peraturan ini memandatkan kebijakan pencegahan perkawinan anak

dalam beberapa level yakni di tingkat keluarga, masyarakat, anak,

Pemerintah Daerah dan para pemangku kepentingan lainnya. Peraturan

juga memandatkan upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi korban

termasuk memandatkan tugas bagi beberapa lembaga di wilayah untuk

melakukan monitoring atas kasus-kasus perkawinan Usia Muda.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk

meningkatkan usia pada perkawinan pertamasaat mencapai usia minimal 20

tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. PUP bukan sekedar

menunda perkawinan sampai usia tertentu saja, akan tetapi juga

mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup dewasa.

Apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka

diupayakan adanya penundaan kelahiran anak pertama.

Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah Memberikan

pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan

keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan

kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial,

ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti

ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa.

Program Pendewasaan Usia kawin dan Perencanaan Keluarga

merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka

ini terdiri dari tiga masa reproduksi yaitu masa menunda perkawinan dan

kehamilan, masa menjarangkan kehamilan dan masa mencegah kehamilan.

Faktor yang yang memengaruhi perkawinan usia muda yaitu faktor

ekonomi keluarga, kehendak orang tua, kemauan anak, pendidikan, adat dan

budaya (Maimun, 2007). Sedangkan menurut Hanggara (2010) faktor yang

memengaruhi perkawinan usia muda adalah faktor sosial budaya, faktor

20
pendidikan, dan faktor ekonomi. Faktor yang mempengaruhi perkawinan usia

muda adalah faktor pengetahuan, pendidikan, dorongan orang tua, pergaulan

bebas, dan budaya.

21
DAFTAR PUSTAKA

BKKBN. 2008. Remaja dan SPN (Seks Pranikah).(Diakses tanggal 27 Februari


2020).
Kementerian kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi Kemeterian
Kesehatan RI Situasi Kesehatan Remaja. 2013
Romauli, S. Vindari, A.M. (2009). Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi
Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
WHO. Maternal Mortality: World Health Organization; 2014.

Anda mungkin juga menyukai