Anda di halaman 1dari 25

0

BAB I
PENDAHULUAN

Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia


termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%,
sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India
6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk
dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat
di Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Tahun 1993 - 1996 yang
dilaksanakan di 8 Provinsi Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga,
hidung dan tenggorokan (THT). Angka prevalensi tersebut sebesar 38,6%,
morbiditas telinga 18,5%, gangguan pendengaran 16,8% dan ketulian 0,4%. (1)
Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah
penggunaan mesin-mesin, alat-alat transportasi berat, dan lain sebagainya.
Akibatnya kebisingan makin dirasakan mengganggu dan dapat memberikan
dampak pada kesehatan. Biaya yang harus ditanggung akibat kebisingan ini
sangat besar. Misalnya, bila terjadi di tempat-tempat bisnis dan pendidikan, maka
bising dapat mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya kualitas bisnis
dan pendidikan.(2)
Sama halnya dengan akibat yang ditimbulkan pada masyarakat yang lokasi
tempat tinggalnya berdekatan dengan sumber bising. Trauma akustik ataupun
gangguan pendengaran lain yang timbul akibat bising, gangguan sistemik yang
timbul akibat kebisingan, penurunan kemampuan kerja, bila dihitung kerugiannya
secara nominal dapat mencapai milyaran rupiah. Industri yang terutama membawa
risiko kehilangan pendengaran antara lain pertambangan, pembuatan terowongan,
penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin berat (pencetakan besi, proses
penempaan, dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang
kuat (pesawat terbang, truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin
tekstil dan uji coba mesin-mesin jet. Pada umumnya gangguan pendengaran yang
disebabkan bising timbul setelah bertahun-tahun pajanan. Kecepatan kemunduran

1
2

tergantung pada tingkat bising, komponen impulsif dan lamanya pajanan, serta juga
pada kepekaan individual yang sifat-sifatnya tetap tidak diketahui. (3)
Salah satu bising industri yang dianggap perlu untuk diteliti adalah bising
pesawat terbang. Penelitian mengenai pengaruh bising pesawat terbang terhadap
kemampuan pendengaran pekerja telah banyak dilakukan. Diantarannya yaitu
penelitian yang dilakukan di London Inggris dimana peneliti membandingkan antara
subjek dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang tinggi dengan tingkat
kebisingan pesawat terbang yang rendah. Hasilnya adalah didapat kejadian
gangguan pendengaran lebih tinggi pada subjek dengan tingkat kebisingan pesawat
terbang yang tinggi. (4)
Penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang sama, dimana pada pekerja
bandara laki-laki di Korea menunjukkan perbedaan yang significant pada kejadian
hilangnya pendengaran (lebih dari 25 dB) antara subjek yang terpapar bising dengan
yang tidak terpapar bising pesawat terbang (p< 0.5). Hampir 60,8 % dari pekerja
yang terpapar bising tersebut tercatat sebagai pengguna HPDs (Hearing Protective
Devices). (5)
Mengingat besarnya masalah tersebut dan pentingnya kesehatan indera
pendengaran sebagai salah satu faktor penting dalam meningkatkan mutu
sumber daya manusia, maka diperlukan adanya perhatian yang lebih terhadap
masalah kesehatan indera pendengaran khususnya tuli akibat pemajanan bising
(TAB/NIHL).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Pendengaran


2.1.1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-
kira 2,5 – 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat
terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit
dijumpai kelenjar serumen.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga(9)

Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap


liang telinga sementara procesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf
fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalam ke lateral menuju
prosesus stilodeus di posteroinferior liang telinga, dan berjalan dibawah liang
telinga untuk memasuki kelenjar parotis. (11)

3
4

2.1.2. Telinga Tengah


Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis yang
terbuka melalui tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui nasofaring
keluar. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama mengunyah, menelan, dan menguap
saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua sisi gendang telinga seimbang.(12)

Gambar 2.2. Membran timpani

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani,
batas depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis (bulbus
jugularis), batas belakang yaituaditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis.
Batas atas yaitu tegmen timpani (meningen/otak), dan batas dalam berturut-turut dari
atas kebawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal,kanalis facialis, tingkap
lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) danpromomtorium.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam
telinga saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan inkus
melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan
koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Pada
pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad
5

antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.
(10)
Tuba eustahius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah
nasofaring dengan telinga tengah. (11)

2.1.3. Telinga Dalam


Labirin ( telinga dalam ) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan,
terletak pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan
labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis,
vestibulum dan koklea. Labirin bagian membran terletak didalam labirin bagian
tulang, dan terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus dan duktus
endolimfatikus serta koklea. (13)
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan
kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi
oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang
ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung
kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe. Karena
pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut
dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.

Gambar 2.3 Vestibulum

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada
bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis
6

bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang


melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel
rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan
silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel rambut reseptor.

Gambar 2.4 Anatomi Telinga Dalam

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah


putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf
dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos
suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ
corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis
yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli,
berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang
tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan
dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe
pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu
duktus koklearis melalui suatu celah yang dkenal sebagai helikotrema. Membrana
basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah).
(11)
7

Organ corti adalah organ reseptor yang membangkitkan impuls saraf


sebagai respon terhadap getaran membrana basiler. Organ corti terletak pada
permukaan serat basilar dan membrana basilar. Terdapat dua tipe sel rambut
yang merupakan reseptor sensorik yang sebenarnya dalam organ corti yaitu baris
tunggal sel rambut interna, berjumlah sekitar 3500 dan dengan diameter berukuran
sekitar 12 mikrometer, dan tiga sampai empat baris rambut eksterna, berjumlah
12.000 dan mempunyai diameter hanya sekitar 8 mikrometer. Basis dan samping sel
rambut bersinaps dengan jaringan akhir saraf koklearis. Sekitar 90 sampai 95
persen ujung-ujung ini berakhir di sel-sel rambut bagian dalam, yang memperkuat
peran khusus sel ini untuk mendeteksi suara. Serat-serat saraf dari ujung-ujung ini
mengarah ke ganglion spiralis corti yang terletak didalam modiolus (pusat) koklea.
(14)

2.2. Fisiologi Pendengaran


Gelombang suara yang memasuki telinga melalui kanalis auditorius
eksterna menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan diteruskan oleh tulang-
tulang pendengaran (maleus, incus, dan stapes) di rongga telinga tengah.
Selanjutnya akan diterima oleh "oval window" dan diteruskan ke rongga koklea
serta dikeluarkan lagi melalui "round window".
Rongga koklea terbagi oleh dua sera menjadi tiga ruangan, yaitu skala
vestibuli, skala tympani dan skala perilimfe dan endolimfe. Antara skala tympani
dan skala medial terdapat membrane basilaris, sel-sel rambut dan serabut afferen
dan efferen nervus cochlearis. Getaran suara tadi akan menggerakkan membrana
basilaris, dimana nada tinggi diterima di bagian basal dan nada rendah diterima di
bagian apeks. Akibat gerakan membrana basilaris maka akan menggerakkan sel-sel
rambut sensitif di dalam organ corti. (15)
Organ corti kemudian merubah getaran mekanis di dalam telinga dalam
menjadi impuls saraf. Impuls ini kemudian dihantar melalui akson atau cabang
saraf sel-sel ganglion pada ganglion spiralis telinga dalam. Akson dari ganglion
spiralis menyatu, membentuk nervus auditorius atau koklearis yang membawa
impuls dari sel-sel di dalam organ corti telinga dalam ke otak untuk diinterpretasi.
(16)
8

Gambar 2.6 Jalur Pendengaran

2.3. Bising
2.3.1. Definisi
Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang
merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan
rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup.(18)
Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan(19) atau semua suara yang tidak
9

dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat
kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.(20)

2.3.2. Baku Tingkat Kebisingan


Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Baku
tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini (19) :
Tabel 2.1 Baku tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan
kawasan/lingkungan

2.4. Gangguan pendengaran akibat bising


2.4.1. Definisi
Gangguan pendengaran akibat bising/GPAB (Noise-Induced Hearing
Loss/NIHL) adalah bentuk permanen dari ketulian yang muncul akibat paparan suara
yang keras. Setelah paparan tunggal, terjadi perubahan temporer pada pendengaran
yang reversible, tetapi jika suara cukup kuat atau diulang, bisa timbul tuli permanen
irreversible, yang mengarah pada pergeseran ambang pendengaran permanen
(11,12).
10

Paparan kebisingan dapat menyebabkan pergeseran ambang batas


pendengaran yang bersifat sementara (temporary threshold shift/TTS) atau
permanen (permanent threshold shift/PTS), tergantung pada intensitas dan durasi
suara. Rentang waktu dari kerusakan sementara dapat beberapa hari atau bahkan
minggu setelah paparan kebisingan. Selama 16-48 jam setelah paparan kebisingan,
umumnya akan terjadi pemulihan jika kondisi dan kerusakan tidak terlalu parah. Jika
tidak dapat pulih dalam jangka waktu beberapa minggu, kerusakan akan bersifat
permanen dan sel-sel akan mati, menghasilkan pergeseran ambang batas permanen.
(8,9,11).
Istilah GPAB mengacu kepada penurunan ketajaman pendengaran yang
berhubungan dengan paparan kebisingan. Keadaan ini dapat bersifat sementara dan
digambarkan sebagai pergeseran ambang batas sementara (Temporary Threshold
Shift/TTS) walaupun belum ada definisi yang pasti tentang durasi paparan
kebisingan yang mungkin berkisar dari jam hingga hari. Hilangnya pendengaran bisa
saja permanen dan keadaan ini digambarkan sebagai pergeseran ambang batas
permanen (Permanent Threshold Shift/PTS). PTS dapat terjadi setelah TTS berulang
atau setelah satu episode paparan kebisingan. Perubahan patologis yang berhubungan
dengan GPAB telah menjadi bahan penelitian ilmiah yang luas dan beberapa
kontroversi serta hipotesis mengenai mekanisme terjadinya perubahan tersebut terus
bermunculan terutama mengenai perubahan metabolisme dan struktural pada fungsi
koklea (12).
GPAB di tempat kerja (Occupational Noise-Induced Hearing Loss) adalah
ketulian yang terjadi perlahan dalam jangka waktu lama (beberapa tahun) sebagai
hasil paparan terus-menerus atau bising kuat/keras sekali/intermiten. (11).
Peraturan terbaru di Amerika Serikat tentang GPAB mencakup beberapa
tingkat audiometri (Tabel 2.1).
11

Tabel 2.1. Pengukuran Kehilangan Pendengaran yang Digunakan di Amerika Serikat


(12)
12

Menurut Rabinowitz (2000), GPAB adalah penurunan pendengaran


sensorineural pada frekuensi tinggi (3000-6000 Hz) dan meningkat bertahap akibat
paparan kronik terhadap suara keras/kuat secara berlebihan.
Di dalam keperluan survei, GPAB didefinisikan berdasarkan: (1) riwayat
paparan terhadap bising 100 dB atau 83 dBA Laeq,40 selama 50 tahun (paparan yang
setara), (2) Kriteria audiometrik: sensorineural, tetapi bukan unilateral, frekuensi 0.5
kHz dengan ambang batas kurang dari 50 dB HL dan terdapat perbedaan
sekurangnya ±15 dB antara ambang batas frekuensi tinggi dan rendah untuk masa
kerja di bawah 50 tahun. (7).
Di Indonesia sendiri gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced
Hearing Loss/NIHL) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan
oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya
diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (7,8).

2.4.2. Epidemiologi
Gangguan pendengaran pada tenaga kerja akibat pajanan bising lingkungan
kerja, mempunyai kekerapan yang cukup tinggi di berbagai negara. Pajanan bising
secara kontinyu dan berlebihan menjadi salah satu penyebab gangguan pendengaran
yang semestinya bisa dihindari. Di negara maju, bising merupakan masalah karena
merupakan penyebab utama, kompensasi penyakit akibat kerja. Didukung dengan
fakta bahwa gangguan pendengaran pada daerah industri menempati urutan pertama
dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa (11,12).
Kebisingan menjadi masalah lingkungan utama yang diprioritaskan di Eropa
sejak 1970 berbagai arahan dan usaha untuk membatasi kebisingan, namun hingga
saat ini kebisingan mengalami sedikit peningkatan di seluruh Eropa (11).
Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) telah diketahui sejak revolusi
industri. Kebisingan yang berhubungan dengan kehilangan pendengaran telah
terdaftar sebagai salah satu masalah yang paling umum pada kesehatan kerja di
Amerika Serikat selama lebih dari 25 tahun. Lebih dari 28 juta warga Amerika
dengan beberapa tingkat gangguan pendengaran, 10 juta diantaranya disebabkan
karena terpapar bising berlebihan di tempat kerja. Biaya yang telah dikeluarkan
akibat gangguan pendengaran ini diperkirakan mencapai milyaran dolar Amerika
13

Serikat. Di Eropa, 20% populasinya terpapar bising. Ribuan pekerja setiap tahun
menderita kehilangan pendengaran tidak dapat dicegah karena tingkat kebisingan di
tempat kerja yang tinggi (7,8)
GPAB merupakan tuli sensorineural terbanyak setelah presbiakusis. Kerugian
ekonomi akibat ketulian ini diperkirakan mencapai triliunan dolar Amerika Serikat.
GPAB banyak dijumpai setelah revolusi industri (11).
Di Amerika lebih dari 30 juta pekerja yang terpajan kebisingan. Di Jerman
sekitar 4-5 juta orang terpajan dalam tingkat kebisingan yang Membahayakan.
Berdasarkan OSHA (Occupational Health and Safety Administration) setiap tahun,
sekitar 30 juta orang di Amerika Serikat yang bekerja terkena kebisingan yang
berbahaya. (9,11).
Sejak tahun 2004, Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat melaporkan
bahwa hampir 125.000 pekerja telah menderita secara signifikan dan kehilangan
pendengaran permanen. Pada tahun 2009 saja, BLS (Bureau of Labor Statistics)
Amerika Serikat melaporkan kasus gangguan mendengar lebih dari 21.000 kasus
(10,11).
Dilaporkan bahwa laki-laki lebih banyak terpapar tuli akibat bising dari pada
perempuan. Tidak ada perbedaan yang jelas antara usia muda dan usia tua dalam
kerentanan mengalami kebisingan yang disebabkan gangguan pendengaran (11.).
Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah
banyak dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun
yang sama pada manufacturing plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta
mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan
disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang
telah bekerja terus-menerus selama 5-10 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh
Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan hasil bising jalan raya (Jl. M.H.
Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk. Sundari pada penelitiannya di
pabrik peleburan besi baja di Jakarta, mendapatkan 31.55% pekerja menderita tuli
akibat bising dengan intensitas bising antara 85–105 dB dengan masa kerja rata-rata
8.99 tahun. Lusianawaty mendapatkan 7 dari 22 pekerja (31.8%) di perusahaan kayu
lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan
antara 84.9-108.2 dB (Soetjipto, 2007). Markian melakukan skrining pendengaran
14

Prajurit Batalion 100 Rider Kodam I Bukit Barisan dan mendapati sekitar 22%
prajurit menderita tuli sensorineural ringan pada telinga kanan dan 11% pada telinga
kiri (11,16).

2.4.3. Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan


Pernyataan WHO (Geneva, 2000) menyebutkan 50% gangguan pendengaran
dapat dicegah (preventable deafness). WHO merekomendasikan tiap negara
menurunkan preventable deafness sampai 50% pada 2010 (Better Hearing, 2010).
Melalui program Sound Hearing 2030, diharapkan pada tahun 2030 setiap penduduk
Indonesia mempunyai hak memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran
optimal/Better Hearing for All (9).
Untuk pengembangan program-program nasional penanggulangan gangguan
pendengaran di wilayah Asia Tenggara, WHO mengembangkan protokol untuk
negara-negara anggota di wilayah tersebut untuk mengumpulkan data tentang
layanan infrastruktur dan kesehatan untuk pencegahan dan pengendalian tuli.
Hasilnya disajikan pada pertemuan di Kolombo pada tahun 2003 dan ini
menyebabkan pembentukan forum regional untuk pencegahan dan pengendalian
ketulian dan gangguan pendengaran dan inisiatif regional baru, Sound Hearing 2030
mewujudkan program WWHearing–World Wide Hearing untuk negara berkembang
(11)
Sound Hearing 2030 adalah sebuah inisiatif untuk pencegahan dan keburukan
gangguan pendengaran. Fungsi utamanya adalah meningkatkan kualitas hidup
manusia yang mengalami gangguan pendengaran melalui pengembangan yang
komprehensif, inklusif dan berkelanjutan dan program perawatan di tingkat nasional
dan sub nasional.
Di Indonesia sendiri untuk mendukung program Sound Hearing 2030 dibentuk
Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas
PGPKT) dibentuk oleh Departemen Kesehatan RI yang bertujuan agar masyarakat
umum di seluruh Indonesia berpartisipasi aktif dalam program ini agar apa yang
menjadi tujuan WHO dan pemerintah yaitu menurunkan angka ketulian sebesar 50%
tahun 2015 dan secara maksimal tahun 2030 agar terbentuk manusia Indonesia yang
mempunyai sumber daya dengan kualitas tinggi dapat tercapai (19,20).
15

Landasan kebijakan dalam melaksanakan Program Konservasi Pendengaran


dilindungi oleh beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan Program
Kesehatan kerja antara lain:
1. UU Dasar 1945
2. UU No. 1 tahun 1970 tentng Keselamatan Kerja
3. UU No. 3 tahun 1992 tentang Kesehatan
4. UU No. 13 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan
5. Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul
karena Hubungan Kerja
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999 tentang Nilai
Ambang Batas Kebisingan di Tempat Kerja
7. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1075/Menkes/SK/VII/2003 Tentang
Pelaporan GPAB kepada Departemen Kesehatan

2.5.2. Faktor yang Mempengaruhi


Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu intensitas
kebisingan, frekwensi kebisingan, lamanya waktu pemaparan bising, kerentanan
individu, jenis kelamin, usia dan kelainan di telinga tengah.(13, 21)
Tuli sensorineural dapat disebabkan oleh toksin (seperti arsen dan quinine)
dan antibiotika seperti streptomisin yang dapat merusak koklea.

2.5.3. Klasifikasi
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2
kategori yaitu : (5,14,15)
1. Noise Induced Temporary Threshold Shift ( TTS )
2. Noise Induced Permanent Threshold Shift ( NIPTS )

NOISE INDUCED TEMPORARY THRESHOLD SHIFT ( NITTS )


Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami
berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran
bertambah tinggi pada frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “
notch “ yang curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. (15)
16

Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara,
yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising
biasanya pendengaran dapat kembali normal. (15)

NOISE INDUCED PERMANENT THRESHOLD SHIFT ( NIPTS )


Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran
akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “ occupational hearing loss “ atau
kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising
industri. (15)
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu
bekerja dilingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga
kepada :
1. tingkat suara bising
2. kepekaan seseorang terhadap suara bising

NIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat


dan menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi
apabila sudah menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah (2000 dan 3000 Hz)
keluhan akan timbul.
Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan
di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekwensi yang lebih
rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah.
Notch bermula pada frekwensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah beberapa waktu
gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi. Kehilangan
pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap
setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat. (15)

2.5.4. Patogenesis
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel
rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan
adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan.
Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi
17

respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan
dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya
stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi
intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak.
Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi
pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak. (13)
2.5.5. Gambaran Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara
(speech discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat
menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi
dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak
didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala
yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran
dan konsentrasi.(8, 13)
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced
hearing loss ) adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang
menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ). (13, 22)
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan
reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold
shift) dan peningkatan ambang dengar menetap ( permanent threshold shift).
Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi
dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena
fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar
sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat
pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan
ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang
dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif)
atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea,
antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.
(10,11)
18

Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising


dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan,
kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000
Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz, dengan
paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan
mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang
berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap
komunikasi wicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress
akibat gangguan pendengaran yang terjadi.10

2.5.6. Diagnosis
Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea
dan biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula
pekerja mengalami kesulitan berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara
biasanya mendekatkan telinga ke orang yang berbicara, berbicara dengan suara
menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika orang berbicara tidak
jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung perlahan-
lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan; untuk
itu informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada pekerja lain
atau pada pihak keluarga. (5, 8, 13)
Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar
sampai gendang telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu
dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan
organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma
telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi.
Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya
masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu pendengaran.(6)

2.5.7. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan
kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan
19

alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup
telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet).
Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat
menetap, bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat
bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila pendengaran sudah sedemikian
buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi denga
adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya. Latihan
pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan
gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di
samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,
rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi
rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral
dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant).(10)

2.5.8. Prognosis
Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya
menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan.(9)
Penggunaan alat bantu dengar hanya sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan
alat tersebut hanya memberikan rangsangan vibrotaktil dan bukannya perbaikan
diskriminasi bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian pasien dianjurkan
pemakaian implan koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-pasien dengan
tuli sensorineural.(10)

Gambar . Contoh Ear Plug


20

Gambar 2.6 . Contoh Ear Muff


BAB III
KESIMPULAN

1. Bising dengan frekwensi dan intensitas tertentu dapat menyebabkan ketulian


yang berupa tuli saraf dan sifatnya permanen.
2. Pemeriksaan fisik dan pengujian audiometrik mutlak dibutuhkan untuk setiap
pekerja yang dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama
bekerja dengan tujuan untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran
akibat bising terutama bising industri.
3. Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea
yang sifatnya menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun
pembedahan, maka yang terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya
ketulian.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4


Negara Di Asia Tenggara Dengan Prevalensi Ketulian 4,6%. Available
from:http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=.
2. Novianto. Ronny. 2007. Audiometri di JIH. Available from: http://www.rs-
jih.com/jatel/index.php?option=com_content&task=view&id=94&Itemid=85.
3. Sari. Halinda. 2002. Program Perlindungan Pendengaran Pekerja Terhadap
Kebisingan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja Universitas Sumatera Utara.
4. Smith, Andrew. Stansfeld, Stephen. 1986. Aircraft Noise Exposure, Noise
Sensitivity, and Everyday Errors. Available from: sagejournalsonline.
5. Hong OS , Chen SP, Conrad KM, 1998. Noise induced hearing loss among
male airport workers in Korea. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9526275?
ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pub
med_DiscoveryPanel.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=1&log$=relatedarticles
&logdbfrom=pubmed.
6. http://staff.undip.ac.id/env/semesterganjil/files/2009/08/Kepmen-LH-No.48-
Tahun-1996- Baku-Tingkat-Kebisingan.pdf. diunduh 28 November 2011
7. Fox MS. Industrial Noise Exposures and Hearing Loss. Dalam Bailenger JJ.
Eds. Diseases of Nose, Throat and Ear. Philadephia: Lea Fabiger,
1989;13:1062-82
8. Holmes G, Singh BR. Theodore L, Handbook of Environmental
Management and Technology. John Wiley & Sons inc. New York, 1993:415-
426
9. Soetirto, I.,Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran
dan Kelainan Telinga dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
10. Bashiruddin, J., Soetirto, I., 2006. Gangguan Pendengaran Akibat Bising
(Noise Induced Hearing Loss) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung

22
23

Tenggorokan, editor Soepardi, E, et al. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI,


Jakarta.
11. Adams L, Goerge dkk. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC
12. Ganong WF. 1983. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology) Edisi
10. Jakarta: EGC
13. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian
Bedah Fakultas Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara.
14. Guyton. dkk. 19 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
15. Japardi Iskandar. 2003. Nervus Vestibulocochlearis . Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara.
16. Eroschenko. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9. Jakarta: EGC
17. Sukardi. Elias. 1985. Neuroanatomi Medika. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia
18. Susanto, Arif. 2006. Kebisingan Serta Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Dan
Lingkungan . Available from: http://hseclubindonesia.wordpress.com/20 11 /1
1 / 28 /kebisingan-serta- pengaruhnya-terhadap-kesehatan-dan-lingkungan/.
19. KepMenLH No.48 Tahun 1996
20. KepMenNaker No.51 Tahun 1999
21. Soetjipto Damayanti. 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising /GPAB.
Available from: http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Hear-Loss-Noise-
000110/Hear-Loss-Noise.htm.
22. Harger MR, Barbosa-Branco A. 2004. Effects on hearing due to the
occupational noise exposure of marble industry workers in the Federal District,
Brazil. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez.
23. Arifiani, Novi. 2004. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga
Kerja. Subdepartemen Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
24. Henny Kartika. 2007. Audiometri Dasar. Available from:
http://hennykartika.wordpress.com/20 11 / 11 / 28 /audiometri-dasar/ .
25. Sub. Dep.THT Komunitas. 2008. Cara Pengukuran dengan Audiometri.
Available from: http://www.thtkomunitas.org.
24

26. Priyo. Dwi. Dkk. 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Bagian THT
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS. Dr. Kariadi, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai