Anda di halaman 1dari 2

4.

4 Pengamatan Intensitas Penyakit

Berdasarkan hasil pengamatan pengaruh jarak tanam dan pemberian PGPR pada tanaman
tomat terhadap intensitas penyakit pada minggu ke-4 hingga ke-9 MST dapat dilihat pada Tabel 3
berikut:

Tabel 1. Pengamatan Intensitas Penyakit


Hasil Intensitas Penyakit
Dokumentasi
Perlakuan Nama Penyakit (%) Minggu ke-
4 5 6 7 8 9

Antraknose
(Colletotrichum 0 0 16,7 0 0 12,1
sp.)
JTS+PGPR
Layu
bakteri(Ralstonia 0 0 0 31 0 22,3
solanacearum)

JTT+PGPR 0 0 0 0 0 0
JTS+non
0 0 0 0 0 0
PGPR
JTT+non
0 0 0 0 0 0
PGPR
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada tanaman tomat, diketahui bahwa
intensitas penyakit paling tinggi yaitu pada perlakuan jarak tanam sesuai dan PGPR. Pada perlakuan
tersebut terdapat dua jenis penyakit yang menyerang yaitu antraknosa yang disebabkan oleh jamur
Colletotrichum sp.dan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum.
Menurut Apriyadi et al. (2019) kedua penyakit tersebut merupakan penyakit penting yang sering
menyerang tanaman tomat. Selain pada perlakuan jarak tanam sesuai dan PGPR, pada perlakuan
jarak tanam tidak sesuai dan PGPR terdapat penyakit namum tidak pada tanaman sampel.

Hasil analisis data intensitas penyakit diketahui bahwa pada perlakuan jarak tanam sesuai dan
pemberian PGPR memiliki intensitas penyakit tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada
minggu ke-8 intensitas penyakit tertinggi sebesar 2,5% yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. Pada
minggu ke 9 terdapat dua penyakit yang menyerang sekaligus yaitu penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp.dan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum dengan intensitas penyakit berturut-turut sebesar 2,5% dan 20%.
Munculnya serangan penyakit tersebut dapat disebabkan oleh kondisi agroekosistem yang lembab
serta pergantian musim dari kemarau ke musim penghujan. Hal tersebut sependapat dengan Sugito
(2010) bahwa tingginya intensitas penyakit dapat terjadi karena pengaruh faktor lingkungan, seperti
kelembaban tanah yang tinggi. Selain itu juga dapat disebabkan karena lemahnya ketahanan
tanaman terhadap OPT. Hal ini dinyatakan oleh Kloepper dan Schroth (1978) dalam A'yun et al.
(2013), bahwa kemampuan PGPR sebagai agen pengendalian hayati adalah karena kemampuannya
bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor,
hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraseluler yang bersifat antagonis melawan patogen.
Selain itu, bakteri PGPR juga berperan dalam melindungi tanaman dari serangan patogen melalui
mekanisme antibiosis, parasitisme, atau melalui peningkatan respon ketahanan tanaman.
Faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi tingkat serangan penyakit pada tanaman adalah
pemberian dosis pupuk yang kurang tepat. Diperkirakan pada saat pemberian pupuk Urea yang
mengandung unsur N pada lahan pengamatan, tanaman sampel yang terkena serangan penyakit
diberikan pupuk urea dengan dosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang lain.
Sehingga akibat pemberian dosis pupuk N yang berlebihan tersebut menyebabkan tanaman menjadi
sehat namun mudah terserang penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapat Makarim et al. (2007),
bahwa pengaruh negatif dari pemberian N berlebih yaitu menyebabkan melemahnya jaringan
tanaman (succulent) sehingga tanaman lebih peka terhadap serangan hama dan penyakit. Oleh
karena itu, lingkungan dan praktik budidaya harus sangat diperhatikan guna mendukung
pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimal.

Dapus tambahan

A'yun, Kamila Qurota, T. Hadiastono dan M. Martosudiro. 2013. PENGARUH PENGGUNAAN PGPR
(PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA) TERHADAP INTENSITAS TMV (TOBACCO MOSAIC
VIRUS), PERTUMBUHAN, DAN PRODUKSI PADA TANAMAN CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.).
Jurnal HPT Volume 1 Nomor 1

Anda mungkin juga menyukai