Anti Parkinson

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

ANTIPARKINSON

Oleh :
Kelompok 2
Anggota

1. Al Fitrah (1801083)
2. Desfitri Yola (1601092)
3. Maulana Zhiya Ulhaq (1601107)
4. Rahyu Lestari (1601112)
5. Winda Eki Elia (1601128)

Dosen Pengampu Matakuliah :


Adriani Susanty, M.Farm.,Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT Shalawat dan salam selalu tercurahkan

kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu

menyelesaikan tugas makalah “Antiparkinson” guna memenuhi tugas mata kuliah

Farmakologi Klinik.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi

sumbangan pemikiran kepada pembaca. Penulis sadar bahwa makalah ini masih

banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing

agar memberikan masukannya demi perbaikan pembuatan makalah ini di masa yang

akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Pekanbaru, Maret 2020

Penulis

i|Farmakologi Klinik
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................ i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................... 3
BAB II ISI
2.1 Definisi .................................................................................... 4
2.2 Patofisiologi .............................................................................. 5
2.3 Etiologi ..................................................................................... 6
2.4 Klasifikasi ................................................................................. 7
2.5 Diagnosis .................................................................................. 8
2.6 Golongan Obat Parkinson.......................................................... 10
2.6.1 Obat Dopaminergic Sentral ............................................ 10
2.6.2 Obat Antikolinergic Sentral ............................................ 23
2.6.3 Obat Dopamin-antikolinergik ......................................... 27
2.6.4 Penghambat MAO .......................................................... 28
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 32

ii | F a r m a k o l o g i K l i n i k
iii | F a r m a k o l o g i K l i n i k
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif yang dicirikan

dengan gejala motorik klasik yaitu bradikinesia, rigiditas, dan tremor. Penyakit ini

merupakan penyakit neurodegeneratif tersering kedua setelah demensia Alzheimer.

Sindroma ini pertama kali dikemukakan oleh James Parkinson tahun 1817 sebagai

shaking palsy dan dinamakan paralysis agitans oleh Marshal Hall tahun 1841

(Gunawan, et al, 2017). Penyakit Parkinson adalah salah satu penyakit

neurodegeneratif yang paling banyak dialami pada umur lanjut dan jarang dibawah

umur 30 tahun. Biasanya mulai timbul pada usia 40-70 tahun dan mencapai puncak

pada dekade keenam Penyakit Parkinson yang mulai sebelum umur 20 tahun disebut

sebagai Juvenile Parkinsonism (2018).

Penyakit Parkinson lebih banyak pada pria dengan rasio pria dibandingkan

wanita 3:2. Penyakit Parkinson meliputi lebih dari 80 % parkinsonism. Di Amerika

Utara meliputi 1 juta penderita atau 1 % dari populasi berusia lebih dari 65 tahun.

Penyakit Parkinson mempunyai prevalensi 160 per 100.000 populasi dan angka

kejadiannya berkisar 20 per 100.000 populasi. Keduanya meningkat seiring dengan

bertambahnya umur. Pada umur 70 tahun, prevalensi dapat mencapai 120 dan angka

kejadian 55 kasus per 100.000 populasi pertahun. Dengan semakin meningkatnya

usia harapan hidup prevalensi Penyakit Parkinson akan semakin meningkat.

Kematian biasanya tidak disebabkan oleh penyakit Parkinson sendiri tetapi oleh

karena terjadinya infeksi sekunder (Muliawan, et al. 2018)

1|Farmakologi Klinik
Telah terbukti penurunan neurotransmitter dopamine sebagai penyebabnya

dan disokong dengan penemuan-penemuan patologis di mana didapatkan lesi dengan

proses degeneratif terutama di daerah limbik. Kriteria diagnosis didasarkan atas klinis

dari pasien menurut Hudges dan Roller. Secara klinis memiliki karakteristik

komplikasi motorik berupa tremor, rigiditas, brandikinesia, dan hilangnya refleks

postural, selain itu juga terdapat gangguan non motorik lainnya. Terdapat 5 stadium

perjalan penyakit. Penyakit Parkinson sendiri merupakan subklasifikasi dari

parkinsonisme idiopatik dan mencakup 80% dari seluruh kasus parkinsonisme.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan parkinson?

2. Bagaimana prevalensi penyakit parkinson?

3. Bagaimana epidemiologi dari parkinson?

4. Apa patogenesis dari parkinson?

5. Bagaimana penggolongan obat parkinson?

6. Bagaimana mekanisme kerja, indikasi, kontra indikasi, efek samping dan

toksistas dari penggolongan obat-obat parkinson?

7. Bagaimana interaksi obat parkinson?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu penyakit parkinson

2. Mengetahui prevalensi dari penyakit parkinson

3. Mengetahui epidemiologi dari parkinson

4. Mengetahui patogenesis parkinson

2|Farmakologi Klinik
5. Mengetahui penggolongan obat parkinson

6. Mengetahui mekanisme kerja, indikasi, kontra indikasi, efek samping dan

toksistas dari penggolongan obat-obat parkinson

7. Mengetahui interaksi obat parkinson

3|Farmakologi Klinik
BAB II

ISI

2.1 Definisi

Penyakit Parkinson (paralisis agitans) merupakan suatu sindrom dengan gejala

utama berupa trias gangguan neuromuskular: tremor, rigiditas, akinesia (hipokinesia)

disertai kelainan postur tubuh dan gaya berjalan. Gerakan halus yang memerlukan

koordinasi kerja otot skeletet sukar dilakukan pasien, misalnya menyuap makanan,

mengancingkan baju dan menulis. Akibat gejala ini pasien sangat bergantung pada

bantuan orang lain dalam kegiatan hidupnya sehari-hari, di samping gejala utama

tersebut, sering ditemukan gangguan sistem otonom berupa sialorea, seborea,

hiperhidrosis. Tiga puluh persen kasus juga menderita demensia (Vincent & Sulistia,

2001).

Gambar.2.1 kondisi otak parkinson dan non-parkinson

4|Farmakologi Klinik
2.2 Patofisiologi

Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin yang masif

akibat kematian neuron di substansia nigra pars kompakta. Respon motorik yang

abnormal disebabkan oleh karena penurunan yang sifatnya progesif dari

neuritransmiter dopamin. Kerusakan progresif lebih dari 60% pada neuron

dopaminergik substansia nigra merupakan faktor dasar munculnya penyakit

parkinson. Sebagaimana sel tersebut mengalami kerusakan, maka kadar dopamin

menjadi berkurang hingga di bawah batas fisiologis. Jika jumlah neuron

dopaminergik hilang lebih dari 70 % maka gejala penyakit parkinson akan mulai

muncul. Untuk mengkompensasi berkurangnya kadar dopamin maka nukleus

subtalamikus akan over-stimulasi terhadap globus palidus internus (GPi). Kemudian

GPi akan menyebabkan inhibisi yang berlebihan terhadap thalamus. Kedua hal

tersebut diatas menyebabkan under-stimulation korteks motorik (Gunawan, et al.

2017).

Substantia nigra mengandung sel yang berpigmen (neuromelamin) yang

memberikan gambaran “black appearance” (makroskopis). Sel ini hilang pada

penyakit parkinson dan substantia nigra menjadi berwarna pucat. Sel yang tersisa

mengandung inklusi atipikal eosinofilik pada sitoplasma “Lewy bodies”.

Berkurangnya neuron dopaminergik terutama di substansia nigra menjadi

penyebab dari penyakit parkinson. Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter

utama diotak yang memainkan banyak fungsi berbeda di susunan saraf. Terdapat 3

kelompok neuron utama yang mensintesis dopamin yaitu substansia nigra (SN), area

5|Farmakologi Klinik
tegmentum ventral (VTA) dan nukleus hipotalamus, sedang kelompok neuron yang

lebih kecil lagi adalah bulbusolfaktorius dan retina.

Neuron dari SN berproyeksi ke sriatum dan merupakan jalur paling masif

meliputi 80% dari seluruh sistem dopaminergik otak. Proyeksi dari VTA memiliki 2

jalur yaitu jalur mesolimbik yang menuju sistem limbik yang berperan pada regulasi

emosi, motivasi serta jalur mesokortikal yang menuju korteks prefrontal. Neuron

dopaminergik hipotalamus membentuk jalur tuberinfundibular yang memiki fungsi

mensupresi ekspresI prolaktin.

Terdapat 2 kelompok reseptor dopamin yaitu D1 dan D2. Keluarga reseptor

dopamin D2 adalah D2, D3, D4. Ikatan dopamin ke reseptor D2 akan menekan

kaskade biokemikal postsinaptik dengan cara menginhibisi adenilsiklase. Keluarga

reseptor dopamine D1 adalah D1 dan D5. D1 akan mengaktifkan adenilsiklase

sehingga efeknya akan memperkuat signal transmisi postsinaptik. Reseptor dopamin

D1 lebih dominan dibanding D2, sedang D2 lebih memainkan peranan di striatum .

Densitas reseptor D2 akan menurun rata- rata 6 – 10% per dekade dan berhubungan

dengan gangguan kognitif sesuai umur.

Neuron di stiatum yang mengandung reseptor D1 berperan pada jalur

langsung dan berproyeksi ke GPe.Dopamin mengaktifkan jalur langsung dan

menginhibisi jalur tak langsung.

2.3 Etiologi

Etiologi penyakit Parkinson sampai saat ini tidak jelas. Dahulu disangka

bahwa banyak diantaranya merupakan gejala sisa penyakit ensefatitis von Economo

6|Farmakologi Klinik
yang merupakan pandemi di tahun 20-an. lnsidensnya yang tidak menurun dalam 20

tahun ini tidak memperkuat dugaan tersebut. Faktor genetik agaknya juga tidak begitu

berperan. Kenyataan tersebut telah mendorong dilakukannya penelitian ke

lingkungan, dalam mencari etiologi penyakit. Walaupun laktor etiologi tidak

ditemukan pada mayoritas kasus, telah ditemukan suatu toksin yang dihubungkan

dengan terjadinya penyakit parkinson pada mereka yang terpajan. Toksin tersebut

ialah MPTP (N-metil-4-lenil-1,2,3,6-rerrahidropiridin). Senyawa ini ialah suatu

senyawa komersial untuk sintesis organik yang secara eksperimental pada primata

menyebabkan sindrom serupa penyakit Parkinson. Dugaan bahwa MPTP merupakan

etiologi penyakit Parkinson diperkuat oleh 2 fakta : Berhasil dikembangkannya model

penyakit parkinson pada hewan, dan obseruasi teriadinya Parkinsonisme yang

menetap pada pasien adiksi dan seorang ahli kimia yang terpajan terhadap zat

tersebut (sebagai kontaminan meperidin illegal di California). Parkinsonisme akibat

MPTP serupa dengan parkinsonisme idiopatik dari segi patologik maupun

biokimiawi dan memberikan respons baik terhadap levodopa. Diduga zat mirip

MPTP tersebar luas dilingkungan dan pajanan berulang terhadap zat tersebut dalam

jumlah kecil ditambah proses ketuaan menyebabkan terjadinya parkinsonisme.

Kemudian diketahui bahwa yang bersifat toksik bukan MPTP sendiri tetapi

metabolitnya ion 1-metil-4-tenil piperidin (MPP'). Reaksi ini membutuhkan aktivasi

oleh MAO-B (Mono-aminoksidase B) (Vincent & Sulistia, 2001).

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, parkinsonism dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

a.  Idiopatik (primer), meliputi penyakit Parkinson dan Juvenile Parkinsonism.

7|Farmakologi Klinik
b. Simptomatik (sekunder), meliputi parkinsonism yang disebabkan oleh

penggunaan obat (misal antipsikosis, antiemetik, reserpin, tetrabenazin, α-

meuldopa, lithium, flunarisi, sinarisin), infeksi dan pasca infeksi, pasca

ensefalnis, slow virus, disfungsi paratiroid, toksin, trauma kranioserebral,

tumor otak, vaskular, dan siringomielia.

c. Parkinsonism plus (Multiple System Degeneration), melipuli degenerasi

ganglion kortikal basal, sindrom demensia, Parkinsonism Guam-demensia-

ALS, sindrom atrofi multi sistem, dan palsy supranuklear progresif.

d. Parkinsonism heredodegeneratif, meliputi penyakit Hallervoden-Spatz,

penyakit Huntington, Lubag, nekrosis striatal dan sitopati mitokondria,

neuroakantositosis, penyakit Wilson, seroid lipofusinosis, Penyakit

Gertsmann-Strausler-Scheinker, penyakit Machado-Joseph, atrofi familial

olivopontoserebelar, dan sindroma thalamik demensia (Syamsudin, 2013).

2.5 Diagnosis

Kriteria diagnosis parkinson menurut Hughes, yaitu:

a. Possible, bila terdapat 1 dari 4 gejala utama berikut: bradykinesia, tremor pada

saat istirahat, rigidity, dan ketidakstabilan postural.

b. Probable, bila terdapat 2 dari 4 gejala utama (termasuk kegagalan refleks

postural) atau terdapat 1 dari 3 gejala berikut: tremor istirahat asimetris,

rigiditas asimetris, atau bradikinesia asimetris.

c. Definite, bila terdapat 3 dari 4 gejala utama atau 2 dari 4 gejala utama dengan

satu gejala lain yang asimetris (tiga tanda kardinal). Bila semua tanda tidak

8|Farmakologi Klinik
jelas, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang beberapa bulan kemudian 

(Syamsudin, 2013).

Kriteria diagnosis klinik menurut UK Parkinson’s Disease Society

Brain Bank adalah sebagai berikut:

a. Diagnosis sindrom Parkinson, dimana pasien memiliki gejala berupa

bradykinesia atau akinesia, ditambah minimal salah satu dari tiga tanda

berikut: 4-6 Hz tremor pada saat istirahat, rigidity, serta ketidakstabilan

postural yang tidak disebabkan oleh disfungsi visual, vestibular. cerebellar,

atau propioseptif.

b. Kriteria eksklusi untuk PP antara lain: riwayat stroke berulang, riwayat trauma

kepala berulang, post-encephalitis Parkinsonism, dalam terapi neuroleptik saat

muncul gejala, gejala unilateral yang jelas selelah 3 tahun, supranuclear gaze

palsy, gejala serebellar, demensia berat onset awal, tanda Babinski, adanya

tumor otak pada CT-scan, dan memiliki respon negatif terhadap L-Dopa.

c. Minimal 3 dari kriteria suportif(prospektif) berikut: unilateral onset, tremor

pada waktu istirahat, perjalanan penyakit progresif, gejala asimetri yang

menetap pada sebagian besar onset, memberikan respon yang baik (70-l00%)

pada L-Dopa, timbul khorea berat yang diinduksi L-Dopa, memberikan

respon terhadap L-Dopa selama 5 tahun atau lebih, serta perjalanan klinis 10

tahun atau lebih (Syamsudin, 2013).

Perjalanan penyakit menurut Hoehn dan Yahr, yaitu:

9|Farmakologi Klinik
a. Stadium 1 : Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,

terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, terdapat

tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang

terdekat.

b. Stadium 2 : Terdapat gejala bilateral. terdapat kecacatan minimal,

sikap/cara berjalan terganggu.

c. Stadium 3 : Gerak tubuh nyala melambat, keseimbangan mulai terganggu

saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.

d. Stadium 4 : Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya

untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri,

tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.

e. Stadium 5 : Stadium kakhetik (cachcacutic stage), kecacatan total, tidak

mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu, memerlukan perawatan tetap.

2.6 Golongan Obat Parkinson

2.6.1 Obat Dopaminergik Sentral

A. Levodopa

1. Farmakokinetik

Levodopa cepat diabsorpsi secara aktil terutama dari usus

halus. Kecepatan absorpsi sangat tergantung dari kecepatan

pengosongan lambung. Yang mencapai sirkulasi darah relatiF sedikit

karena :

(1) Levodopa cepat mengalami pemecahan dalam lambung

10 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
(2) Dirusak oleh flora usus dalam dinding usus bagian distal; dan

(3) lambatnya mekanisme absorpsi di bagian distal duodenum.

Absorpsi juga dihambat ole makanan tinggi protein akibat

kompetisi asam amino dengan levodopa dalam absorpsi maupun

transport ke otak. Levodopa yang dapat mencapai sirkulasi kira-kira

22-30% dosis - oral; sedangkan 60% atau lebih mengalami

biotransformasi di saluran cerna dan hati. Hati mengandung sangat

banyak enzim dopadekarbokpilase (dekarboksilase asam amino-l-

aromatik, DC). Selain di hati, enzim ini tersebar di berbagaijaringan,

juga dalam dinding kapifer di otak. Jelaslah bahwa levodopa yang

mencapai jaringan otak jumlahnya sedikil sekali. Diperkirakan hanya

1% dari dosis yang diberikan mencapai SSP. Pemberian penghambat

dekarboksilase mengurangi pembentukan dopamin di perifer.

11 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
Biotranslormasi levodopa menghasilkan berbagai metabolit

(Gambar 2). Levodopa terutama dibiotranslormasi menjadi DA yang

dalam tahap selanjutnya cepat diubah lagi menjadi DOPAC (3,4-

dihidroksi fenil asetat) oleh enzim MAO dan AD (aldehid

dehidrogenase), dan HVA (asam homovanilat). Pemberian levodopa

akan menyebabkan peningkatan kadar HVA dalam cairan

serebrospinal (CSS). Biotransformasi menjadi metabolit lain hanya

sedikit jumlahnya.

Metabolit levodopa cepat sekali diekskresi melalui urin.

Delapan puluh persen dari dosis yang diberikan diekskresi sebagai

metabolit hasil bio_ transformasi dopamin; ekskresi sebagai DOPAC

dan HVA kira-kira 50% dari dosis yang diberikan; kurang dari l%

sebagai levodopa. Dari setiap dosis levodopa hanya sebagian kecil saja

yang diubah menjadi 3-0-metildopa, tetapi waktu paruhnya (t1/2)

panjang, sehingga dapat terjadi kumulasi.

2. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja levodopa pada gejala parkinsonisme diduga

berdasarkan pengisian kembali kekurangan DA korpus striatum. Telah

dibuktikan bahwa beratnya defisiensi DA sejalan dengan beratnya 3

gejala utama parkinsonisme dan konversi levodopa menjadi dopamin

terjadi pada manusia. Selain itu pascamati, kadar dopamin di striatum

pada pasien yang mendapat levodopa lima sampai delapan kali lebih

tinggi dibanding yang tidak diobati. pengubahan levodopa menjadi

12 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
DA membutuhkan adanya dekarboksilase asam L-amino aromatik.

pada sebagian pasien parkinson, aktivitas enzim ini menurun, tetapi

agaknya mencukupi untuk mengubah levodopa menjadi dopamin.

Kenyataan ini tidaklah menyingkirkan kemungkinan lain mekanisme

kerja levodopa sebagai obat penyakit Parkinson. Dalam hal iniyang

perlu dipertimbangkan dan diteliti lebih lanjut ialah peranan noraporlin

(noraporphine), yang mirip apomorfin; letrahidroisokuinolin dan

tetrahidropapaverolin semuanya sebagai metabolit levodopa.

Kerja dopamin telah diteliti pada taraf molekular dan reseptor,

dengan teknik ikatan ligan. Kesimpulan yang didapat ialah bahwa

sekurang-kurangnya terdapat 2 jenis reseptor dopamin yaitu D1 dan

D2. Reseptor D1 memperlihatkan prelerensi ikatan dengan tioksanten

dan fenotiazin tertentu dan umumnya menstimulasi aktivitas adenilat

siklase. Reseptor D2 memperlihatkan prelerensi terhadap butirolenon

dan dihubungkan dengan penurunan aktivitas adenilat siklase atau

tidak mempengaruhinya. Dopamin memperlihatkan afinitas yang sama

pada kedua reseptor. Reseptor D1 lebih terlokalisasi di badan sel dan

terminal prasinaps neuron striatum intrinsik. Reseptor D2 terdapat di

badan sel neuron striatum dan di terminal prasinaps akson nigrostriatal

yang dopaminergik. Walaupun dopamin meningkatkan aktivitas

adenilat siklase homogenat ganglia basal, kebanyakan peneliti

berpendapat bahwa kerja levodopa (dan bromokriptin) diperantarakan

oleh reseptor D2.

13 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
Selain itu kapasitas neuroleptik menimbulkan sindrom

Parkinson juga dianggap terutama berdasarkan blokade reseptor D2.

Karena reseptor D1 dan D2 tersebar di prasinap dan pascasinaps

striatum, sulit membayangkan lungsi dopaminergik pada tarat

reseptor. Walaupun terdapat pertentangan kenyataan bahwa reseptor

Dr yang bersilat menghambat dan reseptor D2 yang bersilat

merangsang pada eksperimen elektrofisiologis, tetapi secara

keseluruhan elek dopamin agaknya menghambat letupan neuron di

striatum.

3. Efek Terapi

Kira-kira 75% pasien parkinsonisme berkurang gejalanya

sebanyak 50%. Hasil pengobatan pada orang-orang tertentu

menakjgbkan terutama pada awal terapi. Boleh dikatakan semua gejala

dan tanda membaik, kecuali demensia dan instabilitas postural.

Perbaikan terjadi pada gejala bradikinesia dan rigiditas, lremor sedikit

diperbaiki atau malah memburuk karena berkurangnya rigiditas.

Manifestasi sekunder motorik yaitu ekspresi wajah, bicara, menulis,

menelan dan pernapasan mernbaik secara proporsional dengan

perbaikan rigiditas dan bradikinesia.

Kebanyakan pasien membaik alam perasaannya (mood). Pada

awal pengobalan pasien yang apatis berubah menjadi bersemangat.

Kewaspadaan membaik dan merasa segar. Hal ini terlihat pada

14 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
perbaikan lungsi mental, meningkatnya perhatian pada diri sendiri,

keluarga dan lingkungan.

4. Efek Samping

Efek samping levodopa terutama disebabkan terbentuknya

dopamin di berbagai organ perifer. Hal tersebut terjadi karena

diperlukan dosis levodopa yang besar untuk mendapat efek terapi yaitu

peningkatan DA di nigrostriatum. Karena tujuan pemberian levodopa

adalah peningkatan DA-striatum maka efek terhadap organ lain

menjadi efek samping obat ini. Efek samping levodopa di perifer dapat

dikurangi dengan pemberian penghambat dekarboksilase yang akan

dibahas kemudian.

Sebagian besar pasien yang mendapat levodopa mengalami

efek samping: intensitas dan tipe efek samping berbeda bergantung

tahap pengobatan, besarnya dosis dan bersifat reversibel. Khususnya

pasien usia lanjut tidak tahan dosis besar. Umumnya efek samping ini

tidak membahayakan tetapi sebagian cukup mengganggu sehingga

perlu pengurangan dosis atau penghentian pemberian obat.

Efek samping dari penggunaan levodopa, sebagai berikut :

 Sistem cerna. Sampai 80% pasien mengalami mual, muntah

dan tidak nafsu makan terutama bila dosis awal terlalu tinggi.

Gangguan ini agaknya berdasarkan efek sentral akibat

perangsangan CTZ (chemoreceptor tigger zone) oleh DA.

15 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
Gangguan ini dapat dihindari bila dosis awal rendah dan

dinaikkan berangsur-angsur; atau dengan sesekali mengurangi

dosis harian. Timbulnya gejala ini dapat digunakan sebagai

patokan dalam menambah dosis harian. Jangan menggunakan

obat anti emetik golongan lenotiazin karena gejala penyakit

dapat memberat. Domperidon merupakan suatu antagonis

dopamin dan dikatakan bermanlaat untuk mengatasi efek

samping ini.

 Diskinesia dan gerakan spontan abnormal. Gangguan gerakan

otot bervariasi dari ringan sampai berat. Gerakan spontan

abnormal terjadi pada 50% pasien dalam 2-4 bulan pengobatan.

Elek samping bertambah berat sejalan dengan lama pengobatan

dan besarnya dosis. Setelah pengobatan 1 lahun dengan dosis

penuh, 80% pasien mengalami gerakan spontan abnormal.

Gerakan ini diduga berdasarkan "supersensitivitas" reseptor

dopaminergik pascasinaps dan bentuknya bervariasi. Gangguan

ini dapat berupa gerakan bukolingual, meringis (grimacing),

gerakan kepala, dan berbagai gerakan distonik dan koreiform

dari lengan/tungkai tunggal atau kombinasi.

 Perpendekan masa kerja levodopa (wearing-off) yaitu gejala

parkinson timbul sebelum pasien menelan dosis berikutnya.

Efek ini berkurang dengan pemberian jumlah dosis harian yang

16 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
sama tetapi lebih sering misalnya dari 3 kall rienjadi 5 kali

sehari.

 Fenomen pasang-surut (on-off) ialah fluktuasi efek obat dalam

waktu singkat, beberapa jam membaik lalu memburuk

mendadak atau sebagian otot tubuh memperlihatkan perbaikan,

lainnya tidak; terjadinya tidak berhubungan dengan waktu

minum obat.

 Pembekuan gerakan (freezing). Secara mendadak pasien yang

sedang berjalan tidak bisa melangkah atau langkahnya pendek-

pendek sekali. Pembekuan gerakan ini bisa juga terjadi pada

aktivitas lain.

 Psikis. Sejumlah pasien mengalami gangguan tingkah-laku

yang cukup berat segera setelah pengobatan. lni harus

dibedakan dengan psikosis akut yang memang dapat terjadi

beberapa minggu setelah pemberian levodopa. Gejala psikosis

terjadi pada 5-10% pasien. Depresi yang terjadi meningkatkan

percobaan bunuh diri. Efek psikik cenderung terjadi pada

pasien yang sejak pengobatan berkepribadian labil,

umpamanya pada pasien skizofrenia menahun dengan gejala

parkinsonisme akibat obat antipsikotik, yang diatasi dengan

levodopa. Bila gejala psikotik terjadi, levodopa perlu

diturunkan dosisnya atau dihentikan pemberiannya. Khusus

17 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
pada depresi dapat diberikan antidepresan, misalnya imipramin

dan amitriplilin yang umumnya cukup efektif.

 Sistem kardiovaskular. Akibat dekarboksilasi DA di periler

terbentuk katekolamin yang aktit pada reseptor adrenergik α

dan β. Potensinya jauh lebih rendah daripada E, NE dan

isoproterenol. Levodopa menyebabkan hipotensi ortostatik.

Keengganan menggunakan levodopa pada awalnya didasarkan

perkiraan bahwa obat ini akan memperlihatkan gangguan

kardiovaskular yang berat akibat efek dopamin perifer.

Ternyata dosis terapi hanya memperlihatkan hipotensi

ortoslatik yang asimtomalik. Hipotensi ini diduga berdasarkan

elek sentral maupun efek perifer dopamin.

 Efek metabolik dan endokrin. Neuron tuberoifundibular

hipotalamus terutama terdiri dari neuron dopaminergik.

Dopamin menghambat sekresi prolaktin. Penggunaan levodopa

dan dopaminergik menghambat sekresi prolaklin sedangkan

anlagonis dopamin merangsang sekresi prolaktin.

 Efek terhadap sistem lain. Pada ginjal, levodopa jelas

meningkatkan aliran plasma ginjal, laju filtrasi glomerulus dan

ekskresi Na+ dan K+, tetapi levodopa tidak bersifat nefrotoksik.

Efek natriuresis diperkirakan turut berperan dalam

menimbulkan hipotensi ortostatik.

5. Interaksi Obat

18 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
Penghambat dekarboksilase. Pemberian penghambat

dekarboksilase perifer (yang tidak melintasi sawar darah-otak)

bersama levodopa menghambat biotransformasi levodopa menjadi DA

di perifer. Pada tikus, zat tersebut dapat menghambat aktivitas

dekarboksilase sampai 80%. Kejadian ini sekaligus memberikan

berbagai manfaat :

(1) meningkatkan jumlah levodopa yang mencapai jaringan otak

sehingga memungkinkan pengurangan dosis sebanyak 75%

(2) pada terapi yang baru dimulai dosis elektil lebih cepat tercapai

(3) efek samping seperti mual, muntah dan efek pada sistem

kardiovaskular termasuk efek hipotensi sangat berkurang karena

kurangnya DA yang terbentuk di perifer

(4) gejala penyakit parkinson yang hanya timbul pada waktu tertentu

dalam sehari (variasi diurnal) lebih mudah dikendalikan, bahkan

frekuensi dosis harian dapat dikurangi tanpa mengurangi elek terapi

(5) elek antagonisme piridoksin dapat dihindari dan

(6) manfaat dan perbaikan gejala bagi pasien meningkat dibanding

dengan pada pemberian levodopa saja.

Terapi kombinasi ini terutama bermanlaat lerhadap gejala

hipokinesia, tetapi kurang terhadap rigidilas. Terhadap gejala tremor

sedikit sekali pengaruhnya dan baru terlihat setelah terapi berjalan

cukup lama.

19 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
Sediaan penghambat dekarboksilase untuk pengobatan

kombinasi dengan levodopa ialah karbidopa (MK-486,

alfametildopahidrazin), benserazid (Ro 4-4602, seriltrihidroksi-

benzithidrazin). Terapi kombinasi diberikan dalam perbandingan dosis

sebagai berikut; karbidopa : levodopa - 1 : 10 atau 1 : 4; benserazid :

levodopa - 1 : 4. Piridoksin. Dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5

mg) piridoksin sudah dapat meningkatkan dekarboksilasi levodopa di

perifer, akibatnya levodopa yang mencapai jaringan otak berkurang.

Elek piridoksin yang merugikan ini tidak terlihat setelah pemberian

obat penghambat dekarboksilase. Obat lain. Levodopa telah digunakan

bersama dengan obat tersebut di bawah tanpa menimbulkan penyulit,

yaitu : ampisilin, sulfadimidin, prednisolon, insulin, klofpropamid,

parasetamol, barbiturat, benzodiazepin, an(idepresi trisiklik, siklizin,

diuretik dan digoksin.

B. Bromokriptin

Bromokriptin merupakan prototip kelompok ergolin yaitu alkaloid

ergot yang bersifat dopaminergik. yang dikelompokkan sebagai ergolin.

Dalam kelompok ini termasuk lesurid dan pergotid. Walaupun obat-obat ini

berbeda sifat farmakokinetiknya maupun afinitasnya terhadap berbagai

subtipe reseptor dopaminergik, efektivitas kliniknya sangat mirip.

a) Mekanisme Kerja

Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik. Obat ini lebih

besar alinitasnya terhadap reseptor D2 dan merupakan antagonis reseptor

20 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
D1. Organ yang dipengaruhi ialah yang memiliki reseptor dopamin yaitu

SSP, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan saluran cerna.

Efektivitas bromokriptin pada penyakit parkinson cukup nyata dan

lebih nyata lagi pada pasien dengan derajat penyakit lebih berat.

Kenyataan ini didukung oleh fakta : (1) efek terapi bromokriptin tidak

tergantung dari enzim dekarboksilase; pada penyakit Parkinson terdapat

defisiensi enzim tersebut di ganglia basal dan respons terapi levodopa

biasanya kurang memuaskan dalam keadaan penyakit yang berat; (2)

bertambah beratnya penyakit akan lebih meningkatkan sensitivitas

reseptor dopaminergik (supersensitivitas denervasi).

Bromokriptin menyebabkan kadar HVA dalam CSS menurun, yang

memberikan kesan bahwa obat ini menghambat pembebasan DA dari

ujung saraf di otak. Terapi kombinasi levodopa dan bromokriptin pada

penyakit Parkinson dapat mengurangi dosis levodopa sambil tetap

mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan efek terapinya.

b) Farmakokinetik

Hanya 30% bromokriptin yang diberikan per oral diabsorpsi. Obat

ini mengalami metabolisme lintas awal secara ekstensif sehingga sedikit

sekali fraksi dosis yang sampai di tempat kerja. Kadar puncak plasma

tercapai dalam 1,5 - 3 jam, mengalami metabolisme menjadi zat tidak

aktil dan sebagian besar diekskresi ke dalam empedu.

c) Indikasi Dan Dosis

21 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
lndikasi utama bromokriptin ialah sebagai tambahan levodopa pada

pasien yang tidak memberikan respons memuaskan terhadap levodopa;

dan untuk mengatasi fluktuasi respons levodopa dengan atau tanpa

karbidopa. Bromokriplin diindikasikan sebagai pengganti levodopa bila

levodopa dikontraindikasikan. Kirakira 50-60% kasus, baru

memperlihatkan perbaikan gejala sebanyak 25%. Sisanya tidak

memberikan respons atau mengalami efek samping yang mei merlukan

penghentian pengobatan. Dosis levodopa perlu dikurangi sewaktu dosis

bromokriptin di tambah. Dengan cara demikian mungkin pasien dapat

diobati dengan bromokriptin saja. lnsidens distonia dan diskinesia

agaknya lebih jarang terjadi dengan bromokriptin dibanding levodopa.

d) Efek Samping

Efek samping bromokriptin memperlihatkan variasi individu yang

nyata. Titrasi dosis yang teliti perlu untuk menentukan dosis yang tepat.

Mual, muntah dan hipotensi ortostatik merupakan efek samping awal.

Fenomen dosis awal berupa kolaps kardiovaskular dapat terjadi. perhatian

khusus harus diberikan pada mereka yang minum antihipertensi.

Pemberian obat bersama antasid atau makanan, dan memberikan dosis

secara bertahap mengurangi mual yang berat. Gangguan psikis berupa

halusinasi penglihatan dan pendengaran lebih sering ditemukan

dibandingkan dengan pada pemberian levodopa.

Efek samping yang jarang-jarang terjadi ialah: eritromelalgia,

kemerahan, nyeri, panas dan udem di tungkai bawah. Umumnya terjadi

22 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
bila dosis per hari lebih dari 50 mg. Hipotensi simtomatik dan levido

retikularis kulit juga lebih sering terjadi dibanding dengan levodopa;

Diskinesia lebih jarang terjadi. Semua efek nonterapi ini berkurang dan

bersilat reversibel dengan pengurangan atau penurunan dosis.

C. Perangsang SSP

Pada terapi penyakit parkinson, perangsang SSP bekerja

memperlancar transmisi DA. Defisiensi DA tidak diperbaiki. Efek anti

parkinson hanya lemah dan umumnya perlu dikombinasikan dengan

antikolinergik. Untuk tujuan ini dekstroamfetamin diberikan 2 kali 5 mg

sehari; metamfetamin dua kali 2,5 mg sehari;atau metilfenidat, dua kali 5 mg

sehari.

2.6.2 Obat antikolinergik sentral

Antikolinergik merupakan obat alternatif levodopa dalam pengobatan

parkinsonisme. prototip kelompok ini ialah triheksitenidil. Termasuk dalam

kelompok ini ialah : biperiden, prosiklidin, benztropin, dan antihistamin dengan efek

antikolinergik difenhidramin dan etopropazin.

Mekanisme kerja. Dasar kerja obat ini ialah mengurangi aktivitas kolinergik

yang berlebihan di ganglia basal. Efek antikolinergik perifernya relatif lemah

dibandingkan dengan atropin. Atropin dan alkaloid beladon lainnya merupakan obat

pertama yang dimanfaatkan pada penyakit parkinson, tetapi telah ditinggalkan karena

efek perifernya terlalu mengganggu.

A. Senyawa parasimpatolitik

a. Farmakodinamik

23 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
Obat-obat ini terutama berefek sentral. Dibandingkan dengan potensi atropin,

triheksifenidil memperlihatkan potensi antispasmodik setengahnya, elek midriatik

sepertiganya, elek terhadap kelenjar ludah dan vagus sepersepuluhnya. Seperti

atropin, triheksifenidil dosis besar menyebabkan perangsangan otak. Ketiga senyawa

kongenerik triheksilfenidil yaitu biperiden, sikrimin dan prosiklidin, pada umumnya

serupa triheksifenidil dalam efek antiparkinson maupun efek sampingnya. Bila terjadi

toleransi terhadap triheksifenidil, obat-obat tersebut dapat digunakan sebagai

pengganti.

Benztropin tersedia sebagai benztropin mesilat, yaitu suatu metansulfonat dari

eter tropinbenzohidril. Eter ini terdiri atas gugus basa tropin dan gugus antihistamin

(difenhidramin). Masing-masing bagian telap mempertahankan sifat-sifatnya,

termasuk efek antiparkinson. Efek sedasi gugus difenhidramin bermanfaat bagi

mereka yang justru mengalami perangsangan akibat penggunaan obal lain; khususnya

pada pasien yang berusia lanjut. Sebaliknya bagian basa tropinnya menimbulkan

perangsangan.

1) Farmakokinetik

Tidak banyak data larmakokinetik yang diketahui mengenai obat-obat

ini. Hal ini dapat dimengerti sebab saat obat ditemukan, farmakokinetika

belum berkembang, Sekarang obat ini kurang diperhatikan setelah ada

levodopa dan bromokriptin. Kadar puncak triheksifenidil, prosiklidin dan

biperiden tercapai setelah 1-2 jam. Masa paruh eliminasi terminal antara 10

dan 12jam, Jadi sebenarnya pemberian 2 kali sehari rnencukupi, tidak 3

kali sehari sebagaimana dilakukan saat ini.

24 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
2) Efek Samping

Antiparkinson kelompok antikolinergik menimbulkan efek samping

sentral dan periler. Efek samping sentral dapat berupa gangguan neurologik

yaitu : ataksia, disartria, hipertermia; gangguan mental: pikiran kacau,

amnesia, delusi, halusinasi, somnolen dan koma. Efek samping perifer

serupa atropin. Triheksifenidil iuga dapat menyebabkan kebutaan akibat

komplikasi glaukoma sudut tertulup; terutama terjadi bila dosis harian 15-

30 mg sehari. Pada pasien glaukoma sudut terbuka yang mendapat miotik,

antikolinergik cukup aman untuk digunakan.

Gejala insomnia dan gelisah oleh antikolinergik sentral dapat dialasi

dengan dosis kecil hipnotiksedatil, atau dengan difenhidramin. Gangguan

daya ingat sering terjadi akibat pemberian antikolinergik pada pasien yang

berumur lebih dari 70 tahun dan pada pasien dengan demensia. Efek

samping ini sangat membatasi penggunaan antikolinergik sentral, Pada

kelompok pasien ini lebih aman diberikan antihistamin.

3) Efek Terapi

Obat antikolinergik khususnya bermanlaat terhadap parkinsonisme

akibat obat. Misalnya oleh neuroleptik, termasuk juga antiemetik turunan

lenotiazin, yang menimbulkan gangguan ekstrapiramidal akibat blokade

reseptor DA di otak.

B. Senyawa antihistamin

Beberapa antihistamin dapat dimanfaatkan efek antikolinergiknya untuk terapi

penyakit Parkinson yaitu difenhidramin, lenindamin, orfenadrin, dan klorfenoksamin.

25 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
Keempat senyawa ini memiliki sifat farmakologik yang mirip satu dengan lainnya.

Difenhidramin diberikan bersama levodopa, untuk mengatasi efek ansietas dan

insomnia akibat levodopa. Walaupun menimbulkan perasaan kantuk, obat kelompok

ini dapat memperbaiki suasana perasaan karena elek psikotropiknya menghasilkan

euforia. Efek antikolinergik periler lemah, sehingga beser ludah hanya sedikit

dipengaruhi.

C. Derivat Fenotiazin

Turunan fenotiazin merupakan kelompok obat yang paling sering

menyebabkan gangguan ekstra piramidal, Tetapi beberapa diantaranya justru berefek

antiparkinson yaitu etopropazin, prometazin dan dietazin. Perbedaan antara kedua

sifat yang berlawanan ini mungkin dapat dijelaskan dengan SAR. Rumus kimia

ketiga senyawa tersebut di atas memillki atom N pada rantai alifatik yang dipisahkan

dari atom N pada cincin inti tenoiiazin olen dua atom C; sedangkan pada senyawa

dengan sifat berlawanan pemisahan terjadi pada tiga atom C. Di samping ini ketiga

senyawa tersebut memiliki gugus dietil pada atom N rantai alifatik.

Rigiditas dan tremor dikurangi oleh obat ini, sedangkan terhadap gejala lain

efektivitasnya lebih kecil. Efek samping kantuk, pusing dan gejala antikolinergik

dapat terjadi. Dietazin dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dengan manilestasi

granulositopenia atau agranulositosis yang mungkin berbahaya.

Untuk obat antiparkinson pemberian etopropazin dimulai dengan 10 mg, 4

kali sehari. Dosis dilambah berangsur-angsur, biasanya tidak melebihi 200 mg sehari.

26 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
2.6.3 Obat Dopamino-antikolinergik

A. Amantadin

Amantadin adalah antivirus yang digunakan lerhadap influenza Asia. Secara

kebetulan penggunaan amantadin pada seorang pasien inlluenza yang juga menderita

penyakit parkinson memperlihatkan perbaikan gejala neurologik. Kenyataan ini

merupakan titik tolak penggunaan amantadin pada pengobatan penyakit Parkinson.

Amantadin diduga meningkatkan aktivitas dopaminergik serta menghambat

aktivitas kolinergik di korpus striatum. Sebagai penjelasan telah dikemukakan bahwa

amantadin membebaskan DA dari ujung saral dan menghambat ambilan presinaptik

DA, sehingga memperpanjang waktu paruh DA di sinaps. Berbeda dengan levodopa,

amantadin tidak meningkatkan kadar HVA dalam CSS. Mekanisme kerjanya belum

diketahui dengan pasti.

Efektivitasnya sebagai antiparkinson lebih rendah daripada levodopa tetapi

respons lebrh cepat (2-5 hari) dan efek samping lebih rendah. Elektivitas amantadin

tidak dipengaruhi umur, jenis kelamin, lamanya penyakit, jenis penyakit dan

pengobatan terdahulu. Efektivitasnya paling nyata pada pasien yang kurang baik

responsnya terhadap levodopa. Pemberian amantadin dan levodopa bersama-sama

bersifat sinergis.

Efek samping amantadin menyerupai gelala intoksikasi atropin. Gejala yang

dapat timbul adalah: disorientasi, depresi, gelisah, insomnia, pusing gangguan saluran

cerna, mulut kering dan dermatilis, Lima persen pasien menderita gangguan proses

berpikir, bingung, lightheadedness, halusinasi dan ansietas. Gejala ini terjadi pada

27 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
awal terapi, bersifat ringan dan bersifat reversibel dan kadang-kadang menghilang

walaupun pengobatan diteruskan. Aktivitas yang membutuhkan kewaspadaan mental

sebaiknya dihindarkan sampai kelompok gejala jelas tidak ada. Livedo retikularis

umum terjadi 1 bulan setelah pengobatan dengan amantadin, tetapi tidak memerlukan

penghentian terapi. Terjadinya livedo retikularis diduga merupakan respons

lisiologik' akibat deplesi katekolamin dari depot ujung saral perifer. Pada beberapa

pasien, livedo retikularis disertai dengan udem pergelangan kaki.

Amantadin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien epilepsi, ulkus

peptik, atau pengobatan dengan perangsang SSP, misalnya amfetamin. Kombinasi

amantadin dengan levodopa hanya dianjurkan bagi mereka yang tidak dapat

mentoleransi levodopa dalam dosis optimal.

B. Antidepresan trisiklik

lmipramin atau amitriptilin yang digunakan tersendiri efek antiparkinsonnya

kecil sekali, tetapi bila dikombinasi dengan antikolinergik dapat sangat bermanfaat.

Dengan kombinasi ini, selain meningkatkan perbaikan rigiditas dan akinesia, gejala

depresi juga diperbaiki. Untuk terapi penyakit Parkinson, imipramin atau amitriptilin

dapat diberikan 10 sampai 25 mg, empat kali sehari; pemberian ini dapat diteruskan

dengan aman untuk waktu yang lama.

2.6.4 Penghambat MAO-B

a. Selegilin

Selegilin merupakan penghambat MAO-B yang relatil spesifik. Saat

ini dikenal dua bentuk penghambat MAO, tipe A yang terutama berhubungan

dengan deaminasi oksidatil norepinefrin dan serotonin; tipe B yang

28 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
memperlihatkan aktivitas terutama pada dopamin. Penghambat MAO-A

menyebabkan hipertensi bila terdapat tiramin yang masuk dari makanan,

demikian juga bila dikombinasi dengan levodopa. Selegilin dapat diberikan

secara aman dalam kombinasi dengan levodopa. Selektivitas ini hanya berlaku

untuk dosis sampai 10 mg/hari.

 MEKANISME KERJA

Selegilin menghambat deaminasi dopamin sehingga kadar

dopamin di uiung saral dopaminergik lebih tinggi. Selain itu ada

hipotesis yang mengemukakan bahwa selegilin mungkin mencegah

pembentukan neurotoksin endogen yang membutuhkan aktivasi oleh

MAO-B' Secara eksperimental pada hewan, selegilin mencegah

parkinsonisme akibat MPTP. Mekanisme lain diduga berdasarkan

pengaruh metabolitnya yaitu Ndesmetil selegilin, L-metamfetamin dan

L-amletamin. lsomer ini 3-10 kali kurang poten dari bentuk D.

Metamfetamin dan amletamin menghambat ambilan dopamin dan

meningkatkan penglepasan dopamin.

 EFEK TERAPI

Pada pasien penyakit Parkinson laniut penambahan selegilin

pada levodopa meringankan lenomen wearing off. Fenomen

pasangsurut dan pembekuan gerakan tidak jelas dipengaruhi.

Penambahan selegilin memungkinkan pengurangan dosis levodopa 10-

30%. Dengan demikian elek samping levodopa berkurang. Pemberian

29 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
selegilin tunggal pada awal penyakit agaknya menghambat

progresivitas penyakit Parkinson sehingga menunda keperluan

pengobatan dengan levodopa.

 EFEK SAMPING

Penggunaan selegilin belum begitu luas, tetapi data sampai saat

ini menyim' pulkan bahwa selegilin dengan dosis 10 mg/hari terterima

baik. Efek samping berat tidak dilaporkan terjadi efek samping

kardiovaskular jelas kurang dari penghambat MAO-4. Hipotensi,

mual, kebingungan dan psikosis pernah dilaporkan.

30 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

 Penyakit Parkinson merupakan suatu penyakit neurodegenratif/ sindrom

karena gangguan pada ganglia basalis akibat penurunan atau tidak adanya

pengiriman dopamindari substansia nigra ke globus palidus/neostriatum.

 Berdasarkan etiologinya, Berdasarkan etiologinya, dikenal beberapa jenis

penyakit Parkinson, yaitu :Parkinsonisme Idiopatik, Parkinsonisme akibat

obat, Parkinsonisme pascaensefalitis, Parkinsonisme pascastroke.

 Gejala dari penyakit Parkinson seperti tremor (bergetar), rigiditas,

Akinesia/bradikinesia.

 Farmakologi pada penyakit Parkinson adala obat dopaminergik sentral, obat

antikolinergik sentral, agonis dopamine, antagonis NMDA, penghambat

COMT, penghambat MAO-B.

31 | F a r m a k o l o g i K l i n i k
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, G. Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran.

Universitas Indonesia : Jakarta

Muliawan Eudon, Jehosua Selly, Tumewah Rizal. 2018. Diagnosis dan Terapi Deep

Brain Stimulation pada Penyakit Parkinson. Jurnal Sinaps. Vol 1 (hal 67-84)

Samsudin, T., 2013. Penyakit Parkinson Dalam : Buku Panduan Tatalaksana

Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak Lainnya. Kelompok Studi

Movement Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

(PERDOSSI)

32 | F a r m a k o l o g i K l i n i k

Anda mungkin juga menyukai