Anda di halaman 1dari 12

Tugas individu 1

KEBIJAKAN KESEHATAN NASIONAL


“MAKALAH TENTANG GENDER”
Dosen: fauzi almari, S.pd, M, Kes

OLEH
NAMA :NURMALA SARI M. RASAI
NIM :18144010060

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TERNATE


PRODI D-III KEPERAWATAN
TAHAUN AJARAN
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkat, Rahmat dan karunianya
saya dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul Gender ini dengan baik. saya menyadari,
dalam penulisan Makalah ini saya memiliki keterbatasan dalam pembuatan susunanya. Sehingga
Makalah ini masih jauh dari Kesempurnaan. Untuk itu saya sangat mengharapkan usul, saran
atau kritikan yang membangun, demi kemajuan dan kamatangan makalah ini.

Ternate 13 april 2020

2
DAFTAR ISI

KAFER………………………………………………………………..…………………………..1
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................4
A. Latar Belakan....................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................................4
C. Tujuan...............................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
A. Pengertian .........................................................................................................................................5
B. Gender dalam Islam..........................................................................................................................6
C. Perempuan Islam dan Politik ............................................................................................................8
D. Tentang Hak-Hak Politik ..................................................................................................................9
BAB III PENUTUP ....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakan.

Gender adalah kosakata yang berasal dari bahasa Inggris yang bermakan “jenis
kelamin”, dalam glosarium disebut sebagai seks dan gender. Gender sendiri diartikan
sebagai “suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi
secara social. Kultural atau hubungan social yang terkontruksi antara perempuan dan
laki-laki yang bervariasi dan sangat bergantung pada factor-faktor budaya, agama, sejarah
dan ekonomi

B. Rumusan Masalah.
a. Jelaskan pengertian dari gender.?
b. Bagaimana penjelasan gender dalam islam?
a. Jelaskan bagaimana tanggapanTentang Hak-Hak Politik mengenai gender.?
b. Jelaskan bagaimana tanggapan perempuan islam dan politing menanggapi gender?

C. Tujuan
c. Untuk mengetahui bagaimana pengertian gender.
d. Untuk mengertahu pengertian gender dalam islam.
e. Untuk mengetahui bagaimana tanggapanTentang Hak-Hak Politik mengenai gender.
f. Untuk mengetahiu bagaimana perempuan Islam dan Politik menanggapi gender.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Gender adalah kosakata yang berasal dari bahasa Inggris yang bermakan “jenis
kelamin”, dalam glosarium disebut sebagai seks dan gender. Gender sendiri diartikan
sebagai “suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi
secara social. Kultural atau hubungan social yang terkontruksi antara perempuan dan
laki-laki yang bervariasi dan sangat bergantung pada factor-faktor budaya, agama, sejarah
dan ekonomi”.[1]

Kosakata gender bagi masyarakat Barat, khususnya Amerika sudah digunakan


sejak era tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, koservatif, sekuler
maupun agama. Dengan tujuan untuk menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian
melahirkan kesadaran gender, pada era tersebut diwarnai dan ditandai dengan tuntutan
kebebasan dan persamaan hak agar perempuan dapat menyamai laki-laki dalam ranah
social, ekonomi, politik dan bidang public yang lainnya.

Di Indonesia, kata gender bagi sebagian masyarakat masih diasumsikan sebagai


segala yang identic dengan perempuan. Bahkan seringkali tidak adanya pembatasan
istilah kata gender dengan seks. Kesalahan di dalam memahami kedua istilah tersebut
dapat menimbulkan multi tafsir, sehingga pemahaman konsep gender menjadi bias.

Gender secara umum yang lazim dikenal masyarakat digunakan untuk


mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (perbedaan
komposisi kimia, hormone, dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik
lainnya). Atas dasar itulah maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan
aspek maskulinitas atau feminimitas seseorang. Dengan kata lain mendefinisikan laki-laki
dan perempuan dari sudut non biologis.

Sedangkan konsep lainnya terkait dengan gender adalah suatu sifat yang melekat
pada laki-laki atau perempuan yang dikontruksi secara social maupun kultural. Misalnya
perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari itu sendiri merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan.[2]

Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara itu juga
ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat itu dapat terjadi dari
waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lainnya. Segala sesuatu yang dapat

5
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke
waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya adalah merupakan konsep gender.

Menurut pandangan kaum feminis bahwa gender adalah suatu gerakan yang
memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Tujuan
mereka adalh menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama,
budaya, dan struktur kehidupan lainnya.

B. Gender dalam Islam


Konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam sesungguhnya telah
menjadi bagian substantive nilai-nilai universal Islam melalui pewahyuan (Al-Qur’an dan
Al-Hadits) dari Allah Yang Maha Adil dan Maha Pengasih. Laki-laki dan perempuan
ditempatkan pada posisi yang setara untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia
maupun di akhirat. Karena itu, laki-laki dan permpuan mempunyai hak-hak dasar dan
kewajiban yang sama sebagai hamba Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaan di
hadapan-Nya.

Berbicara mengenai perempuan, mengantarkan kita agar terlebih dahulu


mendudukkan pandangan Al-Qur’an. Dlam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat
dalam firman Allah SWT yang berbunyi: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami
telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu
berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa”.

Ayat tersebut menjelaskan tentang asal kejadian manusia dari seorang laki-laki
dan perempuan sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia, baik sebagai laki-laki
ataupu perempuan. Yang didasarkan kemuliaannya bukan keturunan, suku atau jenis
kelamin, akan tetapi ketaqwaannya kepada Allah SWT. Hal ini senada dengan pernyataan
mantan Syekh al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut di dalam bukunya “Min Tajwihad Al-
Islam” tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama,
Allah SWT telah menganugerahkannya kepada perempuan sebagaimana
menganugerahkannya kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan menjadikan keduanya dapat melakukan kegiatan maupun
aktivitas yang bersifat umum maupun khusus”.

Secara epistimologis, proses pembentukan kesetaraan gender yang dilakukan


Rasulullah saw tidak hanya dalam wilayah domestic saja, akan tetapi hampir menyentuh
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seluruh aspek itu meliputi perempuan sebagai ibu,
istri, anak, nenek dan maupun sebagai anggota masyarakat, dan sekaligus juga untuk
memberikan jaminan keamanan serta perlindungan hak-hak dasar yang telah
dianugerahkan oleh Allah.

6
Dengan demikian maka Rasulullah saw telah memulai tradisi baru dalam
pandangan perempuan, diantaranya adalah:
Pertama, beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang
(world view) masyarkat Arab yang pada waktu itu di dominasi oleh cara pandang
masyarakat ear Fir’aun. Di mana latar historis yang menyertai konstruk masyarakat
ketika itu adalah bernuansa misoginis. Salah satu contohnya adalah kebiasaan Rasulullah
saw yang dipandang spektakuler pada waktu itu adalah seringnya Rasulullah saw
menggendong puterinya (Fatimah az-Zahra) didepan umum. Kebiasaan Rasulullah pada
waktu itu dinilai tabu oleh tradisi masyarakat Arab, apa yang telah dilakukan Rasulullah
saw tersebut ini adalah merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan
perempuan tidak boleh dibeda-bedakan (sama).

Kedua, Rasulullah saw memberikan teladan yang baik (Mu’asyarah bi al-


Makruf) terhadap perempuan di sepanjang hidupnya, yakni beliau tidak pernah
sedikitpun melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya sekalipun satu sama lainnya
berpeluang untuk cemburu. Di dalam menkonstruk masyarakat Islam, Rasulullah
melakukan upaya-upaya yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, melalui
perbaikan (revisi) terhadap tradisi jahiliyah. Hal inilah adalah merupakan proses
pembentukan konsep dan kesetaraan gender dalam hokum Islam.

Hal tersebut diantaranya adalah: perlindungan hak perempuan melalui hokum,


perbaikan hokum keluarga (hak menentukan jodoh, mahar, waris, pengajuan talak, dsb.),
diperbolehkannya mengakses peran-peran public, mempunyai hak mentasaruf-kan
hartanya sebagai symbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang, perombakan
aturan tersebut menujukkan bahwa penghargaan Islam terhadap perempuan telah
dilakukan pada masa Rasulullah SAW masih hidup, di saat citra Islam dalam tradisi Arab
jahiliyah masih sangat rendah.

Di samping itu pula Islam juga mengatur tentang kesetaraan gender, bahwa
Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang
terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan
memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.

Oleh karena itu Al-Qur’an tidak mengenal pembedaan antara laki-laki dan
perempuan karena dihadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat
dan kedudukan yang sama. Demikian pandangan Islam menempatkan wanita pada posisi
yang terhormat. Sehingga, apapun peranannya baik sebagai anak, remaja, dewasa, ibu
rumah tangga, kaum profesional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak kecil hingga
usia lanjut.

7
Dari sinilah dapat kita pahami bagaiman Islam muncul pada situasi seperti ini,
di mana pribadi pembawa risalahnya pun hanya mempunyai satu anak perempuan (yang
hidup), padahal kita ketahuimempunyai anak perempuan pada masa itu adalah
keterhinaan, kalau kiat kaji lebih dalam lagi, pasti ada rahasia di balik semua itu, yakni
untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan merubah kultur, dari kultur jahiliyah
menjadi kultur Islami. Islam menggabungkan antara teori dan praktek, sekaligus. Islam
mengajarkan bagaimana memandang dan memperlakukan perempuan. Kemudian
Rasulullah mempraktekkannya, sehingga terwujud keutuhan dan keselarasan di antara
keduanya.

C. Perempuan Islam dan Politik


a. Kedudukan Hak-Hak Politik Perempuan
Yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan dan
diakui undang undang atau konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga Negara.
Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat
kewarganegaraan. Artinya hak-hak ini tidak berlaku kecuali bagi warga Negara
setempat, bukan warga Negara asing. Mislanya teks butir I dari undang-undang yang
mengatur hak-hak politik di Mesir Nomor 73 Tahun 1957 yang berbunyi, “Setiap
warga Negara Mesir, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah berusia sepuluh
tahun masehi dengan sendirinya langsung mendapatkan hak-hak politik”. Hal senada
juga tercantum pada butir 5 undang-undang Parlemen Nomor 38 tahun 1972 yang
diperbarui dengan Undang Undang Nomor 109 tahun 1980 dan butir 75 undang
undang hokum setempat nomor 43 tahun 1979 yang mensyratkan pencalonan atau
penunjukkan anggota di majlis-majlis ini harus individu warga Negara asal Mesir.
Sebagaimana tercantum dalam undang undang yang berlaku sekarang pada butir 75
bahw disyaratkan bagi orang yang dipilih menjadi presiden harus orang yang lahir dari
kedua orang tua yang berkewarganegaraan Mesir.

Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep hak dan kewajiban sekaligus.
Sebab hak-hak politik paada tingkat tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak
itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan hak mutlak-sebagaimana yang
diterima-membolehkan seseorang menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa
ikatan apapun kecuali dalam menggunakannya menurut konstitusi.

Adapun jika hak-hak politik itu tidak digunakan- dalam banyak pembuatan
unndang undang-, hal itu mengancam dijatuhkannya sanksi, terutama karena hak-hak
politik itu tidak berlaku kecuali bagi orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu
disamping syarat kewarganegaraan.

8
Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu dalam pembentukan pendapat
umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di majelis-majelis dan berbagai
lembaga perwakilan atau pencalonan diri mereka untuk menjadi anggota majelis atau
lembaga perwakilan tersebut.

Hak-hak politik ini mencakup:


1. Hak dalam mengungkapkan pendapat dalam pemilihan referendum dengan berbagai
cara.
2. Hak dalam pencalonan menjadi anggota lembaga perwakilan dan lembaga setempat.
3. Hak dalam pencalonan menjadi presiden, dan hal-hal lain yang mengandung dan
penyampaian pendapat yang berkaitan dengan politik.

Berkaitan dengan posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politik dalam


system dan konsep Islam telah banyak pendapat diungkapkan. Ada yang berpendapat
bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Ada yang memandang
sama perempuan dan laki-laki dalam masalah ini. Ada pula yang berpendapat bahwa
Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan kecuali menjadi
pemimpin Negara. Sementara ada pendapat lain yang mengatakan bahawa masalah ini
bukan masalh agama, fikih, atau konstitusi, melainkan masalah social dan politik. Oleh
karena itu, masalh ini diserahkan pada kondisi social, politik, dan ekonomi masing-
masing Negara.

D. Tentang Hak-Hak Politik


Pendapat ini mengatakan bahwa Islam tidak menetapkan persamaan antara
perempuan dan laki-laki khususnya dalam memperoleh hak-hak politik. Pendapat ini di
sokong kuat dengan salh satu fatwa Lajnah Fatwaal-Azhar. Hujjatul Islam Abu Hamid al-
Ghazali mengatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak dipercayakan pada
perempuan walaupun memiliki berbagai kesempurnaan dan kemandirian. Bagaimana
perempuan tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam banyak hokum.
Sebagaimana hal ini dikemukakan al-Qalqasyandi, “Pemimpin (iman) memerlukan
pergaulan dengan orang-orang bermusyawarah dengan berbagai urusan”. Perempuan
dilarang dari hal tersebut. Sebab, perempuan memiliki hak menetapkan pernikahan dan
tidak bisa menjadi pemimpin terhadap orang lain.

Maslah hak perempuan dalam pencalonan memiliki dua dimensi lain, yaitu
Pertama, perempuan menjadi anggota di parlemen.
Kedua, ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen.

9
Untuk mengetahui ketentuan dalam kedua masalah ini, yang pertama mengandung
kewenangan dalam urusan-urusan umum, maka harus dijelaskan bahwa kewenangan itu
ada dua, yaitu kewenangan umum dan kewenangan khusus.

Kewenangan umum adalah kekuasaan dalam urusan-urusan masyarkat, seperti


kewenangan pembuatan undang-undang, keputusan proses pengadilan, implementasi
hokum, dan control terhadap para penegak hokum.
Kewenangan khusus adalah kekuasaan mengatur masalah tertentu, seperti
wasiat kepada anak yang masih kecil, kewenangan terhadap harta, dan pengaturan wakaf.

Syariat memberikan kesempatan kepada perempuan dalam kewenangan kedua


di atas. Dalam hal itu, ia mmiliki kekuasan seperti laki-laki, sebagaimana memiliki
kekuasaan dalam memngatur kepentingan-kepentingan khusus dirinya. Ia pun memiliki
hak dalam menggunakan hartanya dalam jual beli, hibah, gadai, persewaan, dan
sebagainya. Suaminyan dan siapapun tidak mempunyai hak mencampuri urusan itu.
Syariat menguasakan semua itu kepadanya dengan membimbingnya agar memelihara
kehormatan dan kedudukannya.

10
BAB III

PENUTUP

A. kesimpula
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa kini, seorang wanita
dapat menjadi seorang pemimpin. Namun demikian, peraturan-peraturan yang syar’I
harus tetap dijalankan. Kebebasan bagi seorang wanita bukanlah sebuah kebebasan
absolut. Seorang wanita yang berkecimpung di dunia laki-laki harus tetap menjaga
kehormatan dan tidak melanggar syari’at Islam.

B. Saran
Saran penulis bagi para wanita adalah agar mereka dapat mewujudkan cita-cita
mereka dengan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariat islam. Perempuan boleh
saja melakukan apa yang mereka inginkan dan mereka cita-citakan. Tetapi seorang
wanita yang bersuami harus mendapatkan izin dari suaminya, dan wanita yang berada di
bawah pengampuan walinya, maka harus mendapatkan izin dari walinya.

11
DAFTAR PUSTAKA

.
Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga. 2010. UIN-Maliki Press: Malang

Fakih, Mansour dkk. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. 1996.
Risalah Gusti: Surabaya.

Fauzi, Ikhwan. Perempuan dan Kekuasaan. 2002. Amzah: Jakarta.

al-Syaukani. Nail al-Author. 1963. Mathba’ah al-Babtal-Halabi.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender. 1999. Paramadina: Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai