Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

MIKROBA PENYEBAB KERUSAKAN PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Disusu Oleh :
Melinda Ade Kantari
J1A018074
ITP GENAP

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MATARAM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “MIKROBA PENYEBAB KERUSAKAN
PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas  pada mata
kuliah Mikrobiologi Pangan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Mikroba Perusak Pangan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Ir. Sri widyastuti. M. App. Sc., P.hD,
selaku Dosen pada mata kuliah Mikrobiologi Pangan yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 19 Maret 2020

Melinda Ade Kantari


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................6
A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)......................................6
B. Mikroorganisme perusak/pembusuk Ikan Nila (Oreochromis niloticus)......................8
C. Penyebab Pertumbuhan Mikroorganisme pada Ikan Nila Segar.................................11
D. Cara Mencegah Pertumbuhan Mirkoorganisme pada Ikan Nila.................................18
BAB III METODE PENELITIAN................................................................................................24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................................26
BAB V PENUTUP.......................................................................................................................28
A. Kesimpulan..................................................................................................................28
B. Saran............................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikan pada umumnya lebih banyak di kenal daripada hasil perikanan lainnya,
karena jenis tersebut yang paling banyak di tangkap dan di konsumsi. Hasil perikanan darat
merupakan hasil perikanan yang di peroleh dari sungai, kolam, telaga dan danau, rawa,
tambak, sawah, atau semua hasil perikanan yang hidupnya di air tawar. Sifat hasil perikanan
adalah cepat menjadi rusak dan busuk karena dagingnya merupakan substrat kehidupan bagi
pertumbuhan mikroba pembusuk terutama bakteri (Hadiwiyoto, 1993).
Potensi sumber daya perikanan laut Indonesia menghasilkan sekitar 65 juta ton
per tahun (Ghufran dan Kordik, 2009). Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis
ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penting dalan bisnis
ikan air tawar di Indonesia (Putra, 2010).Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber
protein, lemak, vitamin, dan mineral. Keunggulan utama protein ikan terletak pada
kelengkapan komposisi asam aminonya dan kemudahan untuk di cerna (Hadiwiyoto, 1993).
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah sekali mengalami kerusakan. Hal ini
berkaitan dengan aktivitas kadar air yang cukup tinggi (70-80% dari berat daging), enzim
proteolitik, kandungan zat gizi yang tinggi terutama kandungan lemak dan protein.
Kandungan air yang cukup tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme mudah untuk tumbuh
dan berkembang biak (Astawan, 2004). Kandungan lemak pada ikan banyak mengandung
asam lemak tidak jenuh yang sangat mudah mengalami proses oksidasi yang menghasilkan
bau tengik pada tubuh ikan, terutama pada hasil olahan maupun awetan yang disimpan tanpa
menggunakan kemasan dan antioksidan. Kandungan protein ikan memegang peranan penting
dalam pembentukan jaringan. Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat
(tendon) sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernaan tersebut yang
menyebabkan daging menjadi lunak sehingga menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan
mikroorganisme (Adawyah, 2007).
Mikrobia dapat menguraikan komponen gizi ikan menjadi senyawa-senyawa
berbau busuk, seperti indol, skatola, H2S dan merkaptan. Penanganan dan pengolahan pada
ikan perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan atau pembusukan akibat mikroorganisme.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk membahas secara rinci tentang masalah kerusakan
pada ikan tawar yaitu ikan nila akibat adanya mikroba perusak/pembusuk dan mencari cara
pencegahannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila ?
2. Apa saja Mikroba perusak yang sering ditemukan pada Ikan Nila ?
3. Apa saja Penyebab Pertumbuhan Mikroba pada Ikan Nila ?
4. Bagaimana Cara Pencegahan Pertumbuhan Mikroba pada Ikan Nila ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Struktur Fisik dan Biologi pada Ikan Nila.
2. Untuk mengetahui Mikroba perusak yang sering ditemukan pada Ikan Nila.
3. Untuk mengetahui apa saja Penyebab Pertumbuhan Mikroba pada Ikan Nila.
4. Untuk mengetahui Cara Pencegahan Pertumbuhan Mikroba pada Ikan Nila.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat yang sama seperti ikan hidup,
baik rupa, bau, rasa, maupun teksturnya. Menurut Adawyah (2007), salah satu parameter
untuk menentukan kesegaran ikan adalah penilaian organoleptik. Dalam rangka memberikan
jaminan mutu dan keamanan pangan komoditas ikan segar yang akan dipasarkan di dalam
dan luar negeri, maka ikan yang dipasarkan harus memenuhi semua ketentuan yang terdapat
dalam Standar Nasional Indonesia Nomor 01- 2729.1 Tahun 2006 tentang Spesifikasi Ikan
Segar. Dalam SNI 01-2729.1-2006 tentang Spesifikasi Ikan Segar ini dijelaskan bagian tubuh
yang mendapat perhatian untuk menilai tingkat kesegaran ikan meliputi 1) kenampakan mata,
2) insang, 3) lendir permukaan tubuh, 4) daging (warna dan kenampakan), 5) bau, dan 6)
tekstur daging. Penilaian berdasarkan SNI ini dinamakan dengan penilaian organoleptik.
Setiap indikator penilaian ini masih memiliki spesifikasi lagi yang masing-masing diberi
bobot nilai yang berbeda tergantung kondisi yang diamati.
Ikan segar adalah ikan dengan nilai minimal 7 untuk setiap spesifikasi dari
keenam indikator penilaian yang ada, sehingga secara keseluruhan, ikan segar adalah ikan
dengan peroleh total nilai 42 sampai dengan 54. Artinya, ikan yang perolehan total nilainya
kurang dari 42 termasuk kategori ikan tidak segar. Selain tingkat kesegaran ikan yang
menentukan mutu dan nilai jual ikan, tingkat kerusakan yang terjadi pada bagian tubuh ikan
juga turut mempengaruhi mutu dan nilai jualnya. Kerusakan yang dialami ikan secara fisik
ini disebabkan penanganan yang kurang baik, sehingga menyebabkan luka ataupun memar
pada bagian badan ikan, sehingga ikan menjadi lembek. Benturan fisik dapat terjadi mulai
dari penangkapan (pemanenan), selama pengangkutan dan distribusi, sampai ke tangan
penjual (pengecer) di pasar. Benturan fisik akan menyebabkan luka dan memar pada tubuh
ikan. Bahan pangan yang luka dan memar akan menyebabkan terjadinya peningkatan enzim
proteolitik (Afrianto, 2003). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan fisik ikan
harus menjadi perhatian serius, baik oleh nelayan, distributor, dan pedagang (pengecer).
Penanganan yang baik dan tepat dapat mengeliminir probabilitas tingkat kerusakan fisik yang
terjadi, sehingga nilai jualnya tetap tinggi dan gizi yang terkandung di dalamnya tidak
berkurang.
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang termasuk dalam
family Cichlidae dan merupakan ikan asal Afrika. Ikan ini merupakan jenis ikan yang
diintroduksi dari luar negeri, ikan tersebut berasal dari Afrika bagian Timur di sungai Nil,
danau Tangayika, dan Kenya lalu dibawa ke Eropa, Amerika, Negara Timur Tengah dan
Asia. Ikan ini merupakan spesies ikan yang berukuran besar antara 200-400 gram sifat
omnivora sehingga bisa mengkonsumsi makanan berupa hewan dan tumbuhan (Amri dan
Khairuman, 2003).
Ikan Nila memiliki faktor penting yaitu rasa dagingnya yang khas dengan
kandungan omega yang dengan patin dan gizi yang cukup tinggi, sehingga ikan nila sering
dijadikan sumber protein yang murah dan mudah didapat. Serta harga jualnya yang
terjangkau oleh masyarakat (Dhewi, 2005). Ikan nila juga memiliki mata yang sangat besar
dan menonjol (Wiryanta dkk, 2010).
Adapun klasifikasi Ikan Nila (Sugiarto, 1988) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Osteichthyes
Sub Class : Acanthoptherigii
Ordo : Percoidea
Family : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

B. Mikroorganisme perusak/pembusuk Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Bakteri yang ditemukan pada ikan Nila ada yang bersifat Gram positif dan Gram
negatif. Bakteri yang bersifat Gram positif yaitu Corynebacterium sp., Listeria sp. dan
Kurtiha sp., sedangkan bakteri Gram negatif yaitu Aeromonas hydrophila, Enterobacteria
sp., Pseudomonas sp. dan Plesiomonas sp.
 Aeromonas hydrophila merupakan bakteri pang paling banyak di temukan pada sampel
ikan yaitu 36.6 %. A. hydrophila termasuk ke dalam Gram negatif, dengan warna koloni
krem, tepian koloni rata dan elevasi cembung, berbentuk batang, bersifat motil, oksidase
dan katalase positif fermentative, indol positif (Cowan, 1974). Bakteri A. hydrophila
termasuk ke dalam famili Vibrionaceae dan genus Aeromonas. Bakteri ini umumnya
hidup di air tawar. A. hydrophila bisa muncul setiap saat terutama kondisi lingkungan
jelek. Ikan nila yang terinfeksi A. hydrophila. bisa disebabkan penggunaan peralatan
yang tercemar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kordi (2004) bahwa penularan A.
hydrophila dapat berlangsung melalui peralatan yang tercemar dan ikan yang terinfeksi
A. hydrophila. gerakannya menjadi lebih lambat, lemah dan mudah ditangkap. A.
hydrophila merupakan bakteri patogen yang menyebabkan penyakit Motil Aeromonas
Septicemia (MAS) atau ”Hemorrhage Septicemia”. Bakteri ini lebih mengganggu
kesehatan ikan dibandingkan bakteri lain.
Gambar 2. Ikan Nila yang terkontaminasi bakteri aeromonas

Gambar 3. Bakteri Aeromonas hydrophila

 Corynebacterium sp. merupakan bakteri ke dua yang paling banyak ditemukan yaitu 20
%. Menurut Wilson dan Miles (1975), Corynebacterium sp. merupakan bakteri yang
terdapat terutama pada kulit dan membran mukus. Nabib dan Pasaribu (1989)
menambahkan bahwa Corynebacterium sp. merupakan penyebab penyakit ginjal pada
ikan.
 Enterobacteria sp. bakteri dari famili Enterobacteriaceae yang bersifat patogen pada ikan
yaitu: Edwarsiella ictaluri yang menyebabkan penyakit septisemia enterik, E. tarda yang
menyebabkan penyakit Redpest, edwardsiellosi dan emphysematous putrefactive disease
pada ikan (Irianto, 2005). E. ictaluri merupakan salah satu bakteri yang menyerang ikan.
Gejala yang ditimbulkan adalah luka kecil di kulit dan daging ikan yang disertai
pendarahan. Luka tersebut akan menjadi bisul dan mengeluarkan nanah, serangan
selanjutnya dapat menyebabkan luka pada hati dan ginjal (Apin, 2004).

Gambar 4. Enterobacteria sp.

 Listeria sp. bakteri ini ditemukan pada ikan yang hidup di lingkungan yang
terkontaminasi oleh polusi dan limbah. Listeria sp. merupakan bakteri patogen bagi
manusia dan hewan (Kwantes dan Isaac, 1975). Salah satu spesies patogen yaitu Listeria
monocytogenes yang menyebabkan penyakit Listeriosis. Salah satu gejala listeriosis
adalah septisemia, infeksi pada aliran darah.
 Pseudomonas sp. bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif dan bersifat aerob, berbentuk
batang pendek, katalase positif, oksidase positif, dapat mengoksidasi glukosa/karbohidrat
lain (Cowan, 1974). Bakteri ini termasuk dalam keluarga Pseudomonadaceae yang
menjadi penyebab pada ikan. Bakteri Pseudomonas merupakan patogen oportunistik yang
menyerang ikan air tawar dan digolongkan ke dalam kelompok bakteri perusak sirip
(bacterial fin rot). Gejala ikan yang terinfeksi bakteri ini adalah: terdapat benjolan merah
pada pangkal sirip dada, perut membengkak, tubuh penuh borok, pendarahan pada organ.

Gambar 5. Pseudomonas sp. (https://id.m.wikipedia)


 Plesiomonas sp. shigelloides adalah bakteri kelompok non-spora yang membentuk
bacillus, gram negatif, oksidase positif, dan merupakan organisme fakultatif anaerob,
yang tersebar meluas di air tawar. Pertumbuhan Plesiomonas sp. di air tawar tergantung
pada suhu, ketersediaan hara, dan tingkat cemaran limbah (Medema, 1993). Dalam
penelitian, sebagian besar pertumbuhan strain Plesiomonas sp. tidak dapat tumbuh pada
suhu di bawah 8 - 10 ° C (Miller, 1986). Dalam kestabilan ekologi kolam, pertumbuhan
terbesar Plesiomonas sp. ditemukan dalam lumpur di dasar kolam (Tsukamoto, 1978),
tetapi juga sangat tergantung pada air yang teroksigenasi dan toleran terhadap pH tinggi
(Schubert, 1981).
 Kurtiha sp. biasanya terdapat di lingkungan serta feses hewan (Holt et al., 1994). Kurthia
sp. tidak bersifat patogen dan merupakan flora normal pada perairan ikan salmon
Scomberomus sp. Snow dan Bread, 1939 dalam Sehendi 2009.
Dari hasil suatu penelitian tentang mikroba pathogen pada ikan nila diketahui
bahwa dari jumlah 30 sampel yang di identifikasi, terdapat 7 jenis bakteri yang menyerang
ikan nila yaitu bakteri Aeromonas hydrophila 36,6 %, Corynebacterium sp. 20 %,
Enterobacteria sp. 16,6 %, Listeria sp. 6,6 %, Pseudomonas sp. 3,3 %, Plesiomonas sp. 3,3 %
dan Kurtiha sp. 3,3 %.

C. Penyebab Pertumbuhan Mikroorganisme pada Ikan Nila Segar


Produk hasil perairan seperti ikan cenderung cepat mengalami kerusakan
mikrobiologis karena mengandung jumlah air bebas yang tinggi, yang memudahkan mikroba
untuk lebih cepat tumbuh. Kerusakan mikrobiologis ini akan menyebabkan perubahan tekstur
dan bau pada ikan. Ikan yang telah busuk akan menghasilkan bau busuk dan berlendir.
Pertumbuhan mikroba pada pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan setiap
mikroba membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda. Oleh karena itu jenis dan jumlah
mikroba yang dapat tumbuh kemudian menjadi dominan pada setiap pangan juga berbeda,
tergantung dari jenis pangan tersebut. Pada kondisi yang optimum untuk masing-masing
mikroba, bakteri akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapang dan kamir. Hal ini
disebabkan bakteri mempunyai struktur sel yang lebih sederhana, sehingga pada kebanyakan
bakteri hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk membelah. Struktur sel kapang dan kamir
lebih kompleks daripada bakteri dan membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuk sel
baru, yaitu sekitar 2 jam atau lebih. Kerusakan ikan oleh bakteri terjadi karena bakteri masuk
ke dalam tubuh ikan sejak ikan masih dipelihara maupun ikan yang sudah berada pada proses
penyimpanan.

SEORANG pembudidaya memperlihatkan beberapa ekor ikan yang mati, di Desa Sukamaju,
Jumat, 22 November 2019. Matinya ratusan ekor ikan di sana, diduga disebabkan oleh bakteri
aeromonas yang menyerang di tengah peralihan musim (https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-
barat/pr-01323394/ratusan-ikan-mendadak-mati-diduga-karena-bakteri)

Salah satu contoh kasus kerusakan ikan yang disebabkan oleh mikroba yaitu
ratusan ikan air tawar di Kampung Tugu, Desa Sukamaju, Kecamatan/Cianjur mendadak
mati sejak sebulan terakhir. Diduga ikan yang dibudidayakan itu mati
karena bakteri aeromonas, yang disebut dapat menyebabkan kematian massal pada
populasi ikan.
Berdasarkan informasi di lapangan, kematian ratusan ikan itu terjadi sejak sebulan
terakhir. Jumlah ikan yang mati bisa mencapai 10-20 ekor per harinya. Salah satu petani
ikan setempat, Lukman (30) mengatakan, ikan-ikan tersebut diduga mati akibat terserang
penyakit. Hanya saja, ia tidak mengetahui jenis penyakit apa yang menyerang ikan miliknya.
Menurunya, penyakit aneh menyerang ikan nila dan lele di kolamnya. Sebagian besar ikan
mati dalam kondisi berjamur. Pemilik menjelaskan, terdapat bintik merah di tubuh lele yang
mati. Lama kelamaan bintik tersebut berubah warna menjadi kuning. Sementara itu, ikan
nila mati dengan tubuh berjamur. Melihat kondisi tersebut, Kepala Seksi Kesehatan Hewan
dan Kesehatan Masyarakat Vetenier Dislutnak Kabupaten Cianjur, Agung Rianto
mengatakan, kasus kematian ikan tersebut diduga akibat penyakit aeromonas.
Aeromonas merupakan bakteri yang dapat menyebabkan kematian massal pada
populasi ikan air tawar, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. "Bakteri ini muncul, karena
kondisi cuaca yang tidak menentu ditambah kualitas air yang juga buruk," ujar Agung. Ia
menjelaskan, kondisi peralihan cuaca saat ini dapat memengaruhi kualitas air yang menurun.
Hal itu, menjadi salah satu penyebab ikan menjadi stres. Apabila ikan mengalami stres,
maka daya tahan tubuh ikan bisa menurun. Pada kondisi seperti itu, ikan akan rentan
terserang penyakit termasuk aeromonas. “Jadi ikan yang terserang bakteri aeronomas ciri-
cirinya ada bintik merah dan berubah warna menjadi kuning. Tapi pada kondisi tertentu
terdapat jamur,”
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada pangan dibedakan atas dua
kelompok, yaitu:
1. Karasteristik pangan:
 Aktivitas air (aw)
Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air bebas di dalam pangan yang
dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Nilai aw pangan dapat dihitung
dengan membagi tekanan uap air pangan dengan tekanan uap air murni. Jadi air
murni mempunyai nilai aw sama dengan 1. Nilai aw secara praktis dapat diperoleh
dengan cara membagi %RH pada saat pangan mengalami keseimbangan kadar air
dibagi dengan 100. Sebagai contoh, jika suatu jenis pangan mempunyai aw = 0,70,
maka pangan tersebut mempunyai keseimbangan kadar air pada RE 70%, atau dengan
perkataan lain pada RE 70% kadar air pangan tetap (yang menguap sama dengan
yang terserap).
Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda untuk
pertumbuhannya. Di bawah aw minimal tersebut mikroba tidak dapat tumbuh atau
berkembang biak. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengawetkan pangan adalah
dengan menurunkan aw bahan tersebut. Beberapa cara pengawetan pangan yang
menggunakan prinsip penurunan aw bahan misalnya pengeringan dan penambahan
bahan pengikat air seperti gula, garam, pati serta gliserol.
Kebutuhan aw untuk pertumbuhan mikroba umumnya adalah sebagai berikut:
o Bakteri pada umumnya membutuhkan aw sekitar 0,91 atau lebih untuk
pertumbuhannya. Akan tetapi beberapa bakteri tertentu dapat tumbuh sampai
aw 0,75
o Kebanyakan kamir tumbuh pada aw sekitar 0,88, dan beberapa dapat tumbuh
pada aw sampai 0,6.
o Kebanyakan kapang tumbuh pada minimal 0,8.

 Nilai pH (keasaman)
Salah satu faktor pada pangan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba
adalah pH, yaitu suatu nilai yang menunjukkan keasaman atau kebasaan. Dengan
menggunakan pH-meter, nilai pH suatu bahan dapat diukur, umumnya berkisar antara
0 sampai 14. Nilai pH 7 menunjukkan bahan yang netral, nilai pH kurang dari 7
menunjukkan bahan bersifat lebih asam, sedangkan nilai pH lebih dari 7
menunjukkan bahan lebih bersifat basa. Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada pH
sekitar netral, dan pH 4,6 – 7,0 merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan
bakteri, sedangkan kapang dan kamir dapat tumbuh pada pH yang lebih rendah.
Pengelompokan pangan berdasarkan nilai pH-nya adalah sebagai berikut:
1. Pangan berasam rendah, adalah pangan yang mempunyai nilai pH 4,6 atau lebih,
misalnya daging, ikan, susu, telur dan kebanyakan sayuran. Pangan semacam ini
harus mendapatkan perlakuan pengawetan secara hati-hati karena mudah
mengalami kerusakan oleh bakteri, termasuk bakteri patogen yang berbahaya.
2. Pangan asam, adalah pangan yang mempunyai pH 3,7 – 4 misalnya beberapa
sayuran dan buah-buahan. 3. Pangan berasam tinggi, adalah pangan yang
mempunyai pH di bawah 3,7, misalnya sayur asin, acar, dan lain-lain.
Penurunan pH merupakan salah satu prinsip pengawetan pangan untuk mencegah
pertumbuhan kebanyakan mikroba. Prinsip ini dapat dilakukan dengan cara
menambahkan asam ke dalam makanan seperti dalam pembuatan acar atau
asinan. Cara lain adalah fermentasi agar terbentuk asam oleh mikroba seperti
dalam pembuatan sayur asin.
 Kandungan gizi
Seperti halnya mahluk hidup lainnya, mikroba membutuhkan zat gizi
untuk pertumbuhannya. Bahan makanan pada umumnya mengandung berbagai zat
gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroba, yaitu protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, dan mineral. Akan tetapi ada beberapa bahan makanan yang selain
kandungan gizinya sangat baik juga kondisi lingkungannya mendukung, termasuk
nilai aw dan pH-nya sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Contoh bahan makanan
semacam ini adalah bahan yang mengandung protein tinggi, mempunyai pH sekitar
netral dan mempunyai aw di atas 0,95, misalnya daging, susu, telur, dan ikan. Karena
kondisinya yang optimum untuk pertumbuhan mikroba, maka pada bahan-bahan
pangan seperti itu bakteri akan tumbuh dengan cepat sehingga bahan pangan menjadi
mudah rusak dan busuk.

 Senyawa antimikroba
Pertumbuhan mikroba pada pangan juga dipengaruhi oleh adanya bahan
pengawet yang terkandung di dalamnya, yaitu senyawa yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. Bahan pengawet atau disebut juga senyawa antimikroba pada
pangan dibedakan atas tiga golongan berdasarkan sumbernya, yaitu:
1. Senyawa antimikroba yang terdapat secara alami di dalam bahan pangan,
misalnya asam pada buah-buahan, dan beberapa senyawa pada rempah-rempah.
2. Bahan pengawet yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam pangan atau pangan
olahan, misalnya: Garam natrium klorida untuk menghambat mikroba pada ikan
asin

2. Kondisi lingkungan:
 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroba. Setiap mikroba mempunyai kisaran suhu dan suhu optimum
tertentu untuk pertumbuhannya. Berdasarkan kisaran suhu pertumbuhan, mikroba
dibedakan atas tiga kelompok sebagai berikut:
1. Psikrofil, yaitu mikroba yang mempunyai kisaran suhu per¬tumbuhan 0 – 20°C.
2. Mesofil, yaitu mikroba yang mempunyai kisaran suhu pertum¬buhan 20 – 45°C.
3. Termofil, yaitu mikroba yang mempunyai suhu pertumbuhan¬nya di atas 45°C.

Kebanyakan mikroba perusak pangan merupakan mikroba mesofil, yaitu


tumbuh baik pada suhu ruangan atau suhu kamar. Bakteri patogen umumnya
mempunyai suhu optimum pertumbuhan sekitar 370C, yang juga adalah suhu tubuh
manusia. Oleh karena itu suhu tubuh manusia merupakan suhu yang baik untuk
pertumbuhan beberapa bakteri patogen.

Mikroba perusak dan patogen umumnya dapat tumbuh pada kisaran suhu
4-660C. Oleh karena kisaran suhu tersebut merupakan suhu yang kritis untuk
penyimpanan pangan, maka pangan tidak boleh disimpan terlalu lama pada kisaran
suhu tersebut. Pangan harus disimpan pada suhu di bawah 40C atau di atas 66 0C.
Pada suhu di bawah 4°C, mikroba tidak akan mati tetapi kebanyakan mikroba akan
terhambat pertumbuhannya, kecuali mikroba yang tergolong psikrofil. Pada suhu di
atas 66°C, kebanyakan mikroba juga terhambat pertumbuhannya meskipun beberapa
bakteri yang tergolong termofil mungkin tidak mati.

 Oksigen
 Kelembaban
Pangan yang disimpan di dalam ruangan yang lembab (RH tinggi) akan
mudah menyerap air sehingga nilai aktivitas air (a w) meningkat. Kenaikan aw akan
mengakibatkan mikroba mudah tumbuh dan menyebabkan kerusakan pangan.
Sebaliknya pangan yang disimpan di dalam ruangan yang mempunyai a w rendah akan
kehilangan air sehingga menjadi kering pada permukaannya.
Oleh karena itu salah satu cara penyimpanan yang baik, terutama untuk produk-
produk kering (aw rendah), adalah dengan menyimpan di dalam ruangan yang kering
(RH rendah) atau membungkusnya di dalam kemasan yang kedap uap air.

Tanda-Tanda Kerusakan Pada Bahan Baku Perikanan

Tanda-tanda kerusakan pada ikan yang paling mudah di ketahui antara lain adalah:

1. Warna kulit dan daging ikan berubah memudar, kusam dan pucat
2. Jumlah lendir di permukaan kulit meningkat terutama pada insang dan sirip
3. Mata menyusut dan tenggelam, pupil berkabut, kornea menjadi buram
4. Warna insang memudar, berubah dari merah pink menjadi kuning abu
5. Tesktur ikan menjadi menjadi lembek, tidak kenyal lagi dan mudah lepas. Jika
ditekan tidak segera kembali pada posisi semula.
6. Terbentuknya ketengikan karena pemecahan dan oksidasi lemak ikan.
7. Muncul bau busuk karena pemecahan protein sehingga terbentuk senyawa-senyawa
penyebab bau busuk seperti amonia, H2S dan lain-lain.

Tanda kemunduran mutu pada mata ikan


https://fisheriestechnologyprocessing.wordpress.com/
Tanda kemunduran mutu pada ingsang ikan

Tanda kemunduran mutu pada perut ikan

Tanda kemunduran mutu pada warna ikan

D. Cara Mencegah Pertumbuhan Mirkoorganisme pada Ikan Nila


 Teknik penanganan ikan yang paling umum dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan
adalah penggunaan suhu rendah. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan
bakteri pembusuk dan prosesproses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang
mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lambat (Gelman et al., 2001).
Pendinginan merupakan salah satu cara proses pengawetan yang menggunakan suhu
rendah untuk menghambat aktivitas enzim dan mikrob. Pada suhu 15- 20 C, ikan dapat
disimpan hingga sekitar dua hari, pada suhu 5 C tahan selama 5-6 hari, sedangkan pada
suhu 0 C dapat mencapai 9-14 hari (Diyantoro, 2007). Penggunaan suhu rendah yang
paling sering dan mudah dilakukan adalah pemberian es. Es merupakan media pendingin
yang memiliki beberapa keunggulan yaitu mempunyai kapasitas pendingin yang besar,
tidak membahayakan konsumen, lebih cepat mendinginkan ikan, harganya relatif murah,
dan mudah dalam penggunaannya (Ilyas, 1983). Suhu yang lazim dipertahankan selama
proses penyimpanan ikan nila berkisar antara 0-5 C.
Penyimpanan daging ikan nila pada suhu rendah dapat memperpanjang masa
simpan daging ikan nila tersebut, karena selama pendinginan pertumbuhan mikrob dapat
diperlambat atau dicegah. Prinsip dasar penyimpanan pada suhu rendah adalah
menghambat pertumbuhan mikroba dan menghambat reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi,
dan biokimiawi. Penyimpanan beku pada suhu sekitar -18 C akan mencegah kerusakan
mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar (Buckle et al.,
1985). Akan tetapi, pendinginan lambat dapat merusak populasi mikrob. Bentuk mikrob
yang sangat peka adalah sel-sel vegetatif. Spora biasanya tidak rusak karena pembekuan
(Desrosier et al., 1988).

https://bp-guide.id/AXE76GSF/amp
 Penggaraman merupakan proses pengolahan yang paling banyak diaplikasikan pada
produk perikanan. Penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan
di berbagai negara, termasuk Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam sebagai
media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses
penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari
tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapatmelarutkan kristal
garamatau mengencerkanlarutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan daridalam
tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan proses
pertukaran garam dan cairan semakin lambat dengan menurunnya konsentrasi garam di
luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam di dalam tubuh ikan. Bahkan
pertukaran garam dan cairan tersebut berhenti sama sekali setelah terjadi keseimbangan.
Proses itumengakibatkan pengentalan cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan
protein (denaturasi serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat dagingnya berubah).
Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh
ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi. Cairan
tersebut dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam.
Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam pun masuk ke
dalam tubuh ikan. Ikan yang telah mengalami proses penggaraman, sesuai dengan prinsip
yang berlaku, akan mempunyai daya simpan tinggi karena garam dapat berfungsi
menghambat atau menghentikan reaksi autolisis danmembunuh bakteri yang terdapat di
dalam tubuh ikan. Cara kerja garam di dalam menjalankan fungsi kedua sebagai berikut.
Garam menyerap cairan tubuh ikan, selain itu garam juga menyerap cairan tubuh bakteri
sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya
bakteri mengalami kekeringan dan mati.
Garam pada dasarnya tidak bersifat membunuh mikroorganisme (germisida).
Konsentrasi garam rendah (1 – 3%), justru garam membantu pertumbuhan bakteri
halofilik. Garam yang berasal dari tempat-tempat pembuatan garam di pantai
mengandung cukup banyak bakteri halofilik yang dapat merusak ikan kering. Beberapa
jenis bakteri dapat tumbuh pada larutan garam berkonsentrasi tinggi, misalnya red
halofilic bacteria yang menyebabkan warna merah pada ikan. Selain mengakibatkan
terjadinya proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis.
Kadar air dalam sel bakteri terekstraksi, sehingga menyebabkan kematian bakteri.
Penggaraman ikan biasanya diikuti dengan pengeringan untuk menurunkan kadar air
dalam daging ikan. Dengan demikian, pertumbuhan bakteri semakin terhambat.
Pengeringan ikan merupakan salah satu cara pengawetan yang paling mudah, murah, dan
merupakan cara pengawetan tertua. Pengeringan akan bertambah baik jika didahuli
dengan penggaraman dengan jumlah garam yang tepat yang berfungsi untuk
menghentikan kegiatan bakteri pembusuk.

https://bp-guide.id/AXE76GSF/amp
 Pengeringan menyebabkan perubahan sifat daging ikan dari sifatnya yang masih segar,
akan tetapi nilai gizi dalam ikan relatif tetap. Proses pengeringan akan mengurangi kadar
air dalam daging ikan, hal inilah yang akan mengakibatkan kandungan protein dalam
daging ikan akan mengalami peningkatan karena kandungan air yang telah dihilangkan
dalam proses pengeringan ikan tersebut. Proses pengeringan ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air dalam daging ikan sampai batas tertentu, sehingga perkembangan
mikroorganisme akan terhambat atau terhenti. Perubahan yang terjadi dan merugikan
dalam daging ikan juga akibat kegiatan enzim.
Selama proses pengeringan akan terjadi perubahan fisik pada ikan. Terjadi
perubahan tekstur, warna, dan aroma. Meskipun peubahan tersebut dapat dibatasi
seminimal mungkin dengan jalan memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan
pangan yang akan dikeringkan. Pada umumnya ikan yang dikeringkan akan mengalami
perubahan warna menjadi coklat. Perubahan warna menjadi coklat tersebut dikarenakan
reaksi browning. Reaksi browning nonezimatis pada ikan yang paling sering terjadi
adalah reaksi antara asam organik dengan gula pereduksi, serta asam-asam amino dengan
gula pereduksi disebut juga reaksi maillard. Reaksi antara asam-asam amino dengan gula
pereduksi dapat menurunkan nilai gizi protein yang terkandung dalam komoditas ikan.
Proses pengeringan untuk ikan-ikan berlemak sering kali mengalami oksidasi
dengan udara jika dijemur dan menimbulkan bau tengik. Oksidasi dapat dihindari dengan
pemakaian antioksidan, missal asam askorbat. Antioksidan dilarutkan dalam air dan
kemudian ikan dicelupkan di dalamnya selama beberapa detik sebelum dijemur.
Proses pengeringan sangat rawan terjadi case hardening dimana permukaan ikan
yang mengering dan mengeras disebabkan proses pengeringan yang terlalu cepat
menimbulkan denaturasi protein pada permukaan sedangkan bagian dalam masih dalam
keadaan basah sehingga kontrol suhu perlu diperhatikan.

https://visitklidang.wordpress.com/2016/08/23/pengawetan-ikan-dengan-cara-pengeringan/

 Para pembudidaya ikan air tawar dapat menaburi air kolam dengan antibiotik dengan
campuran bawang putih. Cara herbal juga bisa ditempuh, yakni dengan menaburkan
bawang putih yang sudah dicacah ke dalam air kolam. Selain itu, aliran air yang masuk
ke dalam kolam yang terkontaminasi bakteri seperti bakteri aeromonas perlu ditutup
sementara. Ikan-ikan yang masih hidup dikeluarkan untuk disterilkan di kolam khusus.
Memperhatikan kualitas air salah satunya yaitu dengan menguras kolam secara rutin atau
minimal setiap habis panen. Kualitas air juga perlu dijaga dengan kondisi pH stabil, tidak
lupa bak kontrol tersebut harus diberi batuan kapur dan split atau batu kerikil, dan arang
sebagai penetralisir racun.
 Pengasapan, asap mengandung kandungan fenol sebagai antimikroba sehingga
mikroorganisme akan mati dan tidak berkembang. Jenis kayu dan bahan bakar yang
digunakan untuk teknik pengasapan harus diperhatikan. Karena akan menentukan
seberapa banyak tingkat asap dan efeknya untuk kualitas ikan. Disarankan untuk memilih
bahan bakar alami dan organik seperti kayu, ranting pohon, tongkol jagung, batok kelapa,
sabut kelapa, atau bisa juga menggunakan ampas tebu agar asapnya tidak membuat rasa
ikan berbau sangit. Keunggulan lain dari teknik mengawetkan ikan dengan cara
pengasapan adalah ikan bisa bertahan lebih lama hingga hitungan bulan. Selain itu, ikan
yang diasap biasanya dipilih jenis ikan yang tidak memiliki kandungan lemak tinggi.
Misalnya seperti ikan pindang, ikan tongkol, ikan cakalang, dan sebagainya.

https://bp-guide.id/AXE76GSF/amp
BAB III
METODE PENELITIAN

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila dengan bobot badan berkisar
35-40 g. Ikan yang digunakan sebanyak 6 ekor, dibagi menjadi dua perlakuan, masing-masing
terdiri atas tiga ekor ikan. Sampel yang digunakan adalah bagian daging, insang dan usus. Pada
penelitian ini digunakan tiga ulangan pada masing-masing perlakuan. Ukuran akuarium pada
masing-masing perlakuan adalah 60x45x40 cm dengan ketinggian air ±30 cm. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah. Perlakuan terdiri atas P1 dan
P2. Perlakuan I (P1), ikan diberi pakan komersil dengan suhu pemeliharaan 29±1 C, dan
perlakuan II (P1), ikan diberi pakan yang sama juga dengan peningkatan suhu pemeliharaan
menjadi 35±1° C. Perlakuan ini diberikan selama 21 hari berturutturut. Pada masing-masing
perlakuan, suhu dalam akuarium ditingkatkan secara bertahap dengan menggunakan heater.
Heater memiliki sensor termoregulator otomatis. Heater mulai dinyalakan pada pukul 09.00
WIB. Secara bertahap akan meningkat dari suhu lingkungan mencapai peningkatan suhu panas
sampai (35±1° C) selama empat jam yaitu pada pukul 13.00-17.00 WIB. Setelah itu heater
dimatikan. Air akuarium diganti setiap tiga hari sekali sebanyak 80% dari total volume
akuarium.
Pemeriksaan Mikrob Menggunakan Metode Plate Count, dimana Enam ekor ikan nila
setiap akuarium, diambil tiga ekor secara acak, kemudian ikan tersebut dibawa ke laboratorium
untuk dilakukan pemeriksaan. Seluruh ikan diambil bagian insang, usus, dan daging.
Masingmasing bagian tersebut dilakukan stomacher secara terpisah, sesuai dengan bagian yang
diperiksa. Masingmasing bagian yang sudah dilakukan stomacher, diambil sebanyak 1 ml lalu
dimasukan ke dalam 9 ml larutan natrium klorida (NaCl) fisiologis 10-1 dan dihomogenkan.
Setelah homogen, hasil pengenceran 10-1 diambil dengan pipet sebanyak 0,1 ml ke dalam
pengenceran 10-2 dan dihomogenkan, setelah homogen kemudian dilakukan pengenceran
kembali mulai dari 10-3 sampai dengan 10-6. Hasil pengenceran, mulai dari 10-3 sampai dengan
10-6 diambil dengan pipet satu per satu sebanyak 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam masing-
masing cawan petri yang telah diberi label mulai dari 103-106. Kemudian, ke dalam cawan petri
tersebut, dimasukan media agar total plate count (TPC) cair dengan suhu 50° C secukupnya.
Setelah agar memadat, cawan-cawan tersebut dimasukkan ke dalam refrigerator dengan suhu ±4°
C selama 4-7 hari. Setelah 4-7 hari jumlah bakteri yang tumbuh dihitung. Perhitungan jumlah
koloni didapatkan melalui standar yang disebut TPC (Fardiaz, 1989).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata nilai TPC total bakteri psikotropik pada P1 menghasilkan nilai rataan pada
organ insang; usus; dan daging masing-masing adalah 4,2x106; 5,7x106; dan 4,3x106 cfu/g,
sedangkan pada P2 terjadi penurunan total bakteri psikotropik dengan rataan pada organ insang;
usus; dan daging masing-masing adalah 1,5x103; 7,7x103; dan 9,7x103 cfu/g. Hasil analisis
statistik menunjukkan suhu pemeliharaan ikan nila berpengaruh (P<0,01) terhadap total bakteri
psikotropik tiap organ yang diamati. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa
peningkatan suhu pemeliharaan dapat menghambat pertumbuhan bakteri psikotropik pada ikan
nila. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Frazier (1988) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
dan reaksi metabolisme mikroorganisme dipengaruhi oleh suhu.
Laju pertumbuhan dan jumlah total bakteri sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, dan gas
oksigen. Setiap spesies bakteri tumbuh pada kisaran suhu tertentu. Bakteri psikotropik mampu
tumbuh pada suhu minimum (-4-5° C), optimum (25-30° C), dan maksimum (30-35° C)
(Prescott, 2005). Suhu 35° C merupakan suhu maksimum pertumbuhan bakteri psikotropik,
maka pada suhu tersebut dapat dikatakan bahwa bakteri psikotropik tersebut sudah memasuki
fase kematian. Volk dan Wheeler (1993) menyatakan bahwa fase pertumbuhan bakteri dapat
dibagi menjadi empat fase, yaitu fase lag, fase logaritma (eksponensial), fase stasioner, dan fase
kematian.
Fase lag merupakan fase penyesuaian bakteri dengan lingkungan yang baru. Lama fase
lag pada bakteri sangat bervariasi, tergantung pada komposisi media, pH, suhu, aerasi, jumlah sel
pada inokulum awal, dan sifat fisiologis mikroorganisme pada media sebelumnya. Fase
logaritma atau fase eksponensial adalah ketika sel telah menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru maka sel mulai membelah hingga mencapai populasi yang maksimum. Fase
eksponensial ditandai dengan terjadinya periode pertumbuhan yang cepat. Setiap sel dalam
populasi membelah menjadi dua sel. Variasi derajat pertumbuhan bakteri pada fase eksponensial
ini sangat dipengaruhi oleh sifat genetika yang diturunkannya. Selain itu, derajat pertumbuhan
juga dipengaruhi oleh kadar nutrien dalam media, suhu inkubasi, kondisi pH dan aerasi.
Ketika derajat pertumbuhan bakteri telah menghasilkan populasi yang maksimum, maka
akan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang mati dan jumlah sel yang hidup. Fase stasioner
terjadi pada saat laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju kematiannya, sehingga jumlah
bakteri keseluruhan bakteri akan tetap. Keseimbangan jumlah keseluruhan bakteri ini terjadi
karena adanya pengurangan derajat pembelahan sel. Hal ini disebabkan oleh kadar nutrisi yang
berkurang dan terjadi akumulasi produk toksik sehingga menggangu pembelahan sel. Fase
stasioner ini dilanjutkan dengan fase kematian yang ditandai dengan peningkatan laju kematian
yang melampaui laju pertumbuhan, sehingga secara keseluruhan terjadi penurunan populasi
bakteri.
Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan tetap hidup merupakan suatu hal yang
penting untuk diketahui. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan
mikrob sangat penting di dalam mengendalikan mikrob (Suriawiria, 2005). Sebagian besar
mikrob (pada ikan hidup) biasanya terdapat pada permukaan tubuh (kulit), insang, dan saluran
pencernaan (Jay et al., 2005). Bagian yang paling rentan dari ikan adalah daerah insang. Insang
mempunyai peranan yang sangat penting sebagai organ yang mampu dilewati air maupun
mineral, serta tempat dibuangnya sisa metabolisme (Moyle dan Cech, 1999 yang disitasi
Affendi, 2001). Permeabilitas insang yang tinggi terhadap ion-ion monovalen Na¯ dan Cl¯,
sehingga pasif bergerak dari media atau lingkungan air laut ke dalam plasma. Tanda-tanda awal
pembusukan organoleptik dapat dilihat dari insang yang berbau.
Bakteri pembusuk yang biasa terdapat pada ikan adalah Pseudomonas-Alteromonas 32-
60% dan Moraxella-Acinetobacter 18-37% (Jay et al., 2005). Usus merupakan tempat
berlangsungnya proses pencernaan dan arbsorbsi bahan makanan secara lebih sempurna. Pada
organ usus ikan di perairan tawar, banyak terdapat bakteri golongan Pseudomonas sp., Bacillus
sp. dan Aeromonas sp., sedangkan pada perairan laut banyak terdapat bakteri halofilik seperti
Vibrio sp., Flavobacterium sp. dan Pseudomonas sp. (Nursyirwani, 2003).
Usus ikan mengandung bakteri sekitar 102-107 cfu/cfu/g (Nair, 1998). Kulit ikan
mengandung bakteri sekitar 102-107 cfu/cm2. Umumnya bakteri yang hadir antara lain adalah
golongan bakteri Gram negatif, seperti Pseudomonas, Shewanella, Moraxella, dan golongan
Gram positif seperti Micrococcus (Adam dan Moss, 2008). Menurut SNI 01-6366 (BSN 2000)
batas maksimum cemaran mikrob (BMCM) adalah jumlah jasad renik/mikrob maksimum (cfu/g)
yang diizinkan atau direkomendasikan yang dapat diterima dalam bahan makanan asal hewan.
Batas maksimum cemaran mikrob pada daging adalah 1x106 cfu/g dan untuk koliform adalah
1x102 cfu/g SNI 01-7388 (BSN, 2009).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah sekali mengalami kerusakan, salah
satunya pada ikan nila. Hal ini berkaitan dengan aktivitas kadar air yang cukup tinggi (70-
80% dari berat daging), enzim proteolitik, kandungan zat gizi yang tinggi terutama
kandungan lemak dan protein. Kandungan air yang cukup tinggi dapat menyebabkan
mikroorganisme mudah untuk tumbuh dan berkembang biak Ikan Nila memiliki faktor
penting yaitu rasa dagingnya yang khas dengan kandungan omega yang dengan patin dan
gizi yang cukup tinggi, sehingga ikan nila sering dijadikan sumber protein yang murah dan
mudah didapat. Bakteri yang ditemukan pada ikan Nila ada yang bersifat Gram positif dan
Gram negatif. Bakteri yang bersifat Gram positif yaitu Corynebacterium sp., Listeria sp. dan
Kurtiha sp., sedangkan bakteri Gram negatif yaitu Aeromonas hydrophila, Enterobacteria
sp., Pseudomonas sp. dan Plesiomonas sp. Dan Cara untuk mencegah pertumbuhan mikroba
perusak pada ikan nila segar yaitu dengan pendinginan, pengeringan serta penggaraman.

B. Saran
Saran yang dapat saya berikan yaitu untuk para pembaca agar bisa menjadikan
makalah ini sebagai wawasan dan pengetahuan dimana dalam mengolah bahan pangan
khususnya produk perikanan harus diperhatikan semua faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya pertumbuhan mikroba perusak/pembusuk.
DAFTAR PUSTAKA

Adwwyah, R., 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta.

Hadiwiyoto, 1993. Teknologi Hasil Perikanan. Jilid I. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Manurung, U. N., 2018. Identifikasi Bakteri Patogen Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Di
Lokasi Budidaya Ikan Air Tawar Kabupaten Kepulauan Sangihe. Prosiding Seminar
Nasional KSP2K II, 1 (2) : 186 – 193.

Sitakar, N. M., Nurliana, F. Jamin, M. Abrar, Z. H. Manaf, dan Sugito, 2016. Pengaruh Suhu
Pemeliharaan dan Masa Simpan Daging Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Pada
Penyimpanan Suhu -20 C Terhadap Jumlah Total Bakteri. Jurnal Medika Veterinaria.
Universitas Syiah Kuala.

Sugiarto, 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Nila. CV. Simplex. Jakarta.

Widyastuti, S. dkk. 2019. Mikrobiologi Pangan. Garuda Ilmu. Selong LOTIM.

https://www.google.com/amp/s/lordbroken.wordpress.com/2010/03/22/pengeringan-ikan/amp/
(diakses pada tanggal 20 maret 2020 )

https://bp-guide.id/AXE76GSF/amp (diakses pada tanggal 20 maret 2020 )


https://visitklidang.wordpress.com/2016/08/23/pengawetan-ikan-dengan-cara-pengeringan/
(diakses pada tanggal 20 maret 2020 )
https://fisheriestechnologyprocessing.wordpress.com/ (diakses pada tanggal 29 maret 2020 )

Anda mungkin juga menyukai