Anda di halaman 1dari 5

JERRY PRASTITO

17046069
KELOMPOK 4

BAB IV NEGARA HUKUM BERKEADILAN

(HUKUM YANG BERKEADILAN)

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian


kekuasaan kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang
politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai
perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau
menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu
merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah
terjadinya pelanggaran hukum. Penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar karena
tugas utama penegakan hukum adalah mewujudkan keadilan. Namun dalam
implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai
kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus difungsikan sebagai sarana
memanusiakan manusia. Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia. Sistem penegakan
hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah yang dapat menjamin kehidupan
sosial masyarakat yang lebih berkesejahteraan, berkepastian dan berkeadilan.

A. Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Penegakan hukum di maksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib


sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan
ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan.
Keseluruhan atura hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum
sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang
sama dan tidak deskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan
menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-
bentuk manipulasi hukum lainnya (Soegito, 2012 : 157).

Dalam sosiologi hukum dijelaskan bahwa hukum itu adalah instrument yang
bisa dipakai oleh pihak yang menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri.
Sebagai contoh geng bandit besar Al Capone di tahun 1930-an yang mempunyai
bagian hukum sendiri. Hal ini berarti bahwa kejahatan pun ingin dilakukan dengan
memperhatikan rambu-rambu hukum, atau melakukan kejahatan dengan dipandu oleh
hukum.

Sejak kita memutuskan menggunakan hukum moderen, kita tak dapat


menghindar dari praktik penggunaan hukum seperti itu. Yang kita dapat lakukan
adalah bersikap lebih waspada dalam bernegara hukum ini, oleh karena ternyata
bahwa hukum itu tidak hanya dapat dipakai sebagai sarana untuk keadilan, tetapi
dapat juga untuk tujuan dan kepentingan lain. Gustav Radbruch menyatakan bahwa
cita-cita hukum tidak lain adalah keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan
persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan
peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah
tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak
dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri.

Dalam berhukum tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan.


Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan masyarakat
karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat entah
bagaimana bentuknya. Tidak seharusnya keadilan itu bergantung pada hukum tertulis.
Keadilan itu terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk
mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan menggali
keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan
terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu
peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang
adillah yang mampu menafsirkan hukum yang berkeadilan.

Pada setiap masyarakat ada sebuah hukum universal bahwa keadilan


merupakan sifat yang harus selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin
kelangsungan kekuasaan terus berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu
mendapatkan tuntutan untuk mampu menjadi representasi kepentingan segenap
rakyatnya. Oleh karena itu setiap pemerintahan harus mampu menerapkan sistem
pengaturan masyarakat yang menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan
justru menjalankan suatu orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan
secara tidak adil, maka bisa dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan
berlangsung lama. Tanpa keadilan maka kemakmuran yang dicita-citakan suatu
bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan kemakmuran
yang sudah mulai terbina akan segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta
kemakmuran itu hanya terpusat pada segelintir orang saja.

B.  Kaitan Pancasila dengan Penegakkan Hukum yang Berkeadilan

Pancasila dikaitkan dengan sistem etika maka akan memberi jawaban


mengenai konsepsi dasar kehidupan yang dicita-citakan, sebab di dalamnya
terkandung prinsip terdalam dan gagasan  mengenai wujud kehidupan yang dianggap
baik. Pancasila memperoleh dukungan dari rakyat Indonesia karena sila-sila pancasila
merupakan etika dan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Selain itu, pancasila
memberikan jawaban bagaimana seharusnya manusia Indonesia bertanggung jawab
dan berkewajiban sebagai makhluk pribadi, sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dalam kehidupan bernegara, selain dalam kehidupan dengan sesama warga
negara. Dalam hidup berkelompok, selain etika kelompok bagaimana warga negara
Indonesia bergaul dalam kehidupannya, akan muncul etika yang berkaitan dengan
kerja atau profesi, seperti etika guru atau dosen Indonesia, etika kedokteran
Indonesia, etika bisnis, etika seni dan sebagainya. Uraian tersebut menunjukkan
bahwa pancasila pun memiliki sistem etika yang mengatur etika individual dan sosial,
serta mengembangkan etika yang berkaitan dengan lingkungan dan kerja atau profesi.
(Soegito,2012 : 148)

Fungsi utama pancasila yaitu sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Untuk memberikan kesepahaman tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara,
maka kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan
Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara. Kemudian penjelasan
tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan undang-undang dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu ketuhanan yang maha esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

Pembangunan hukum bukan hanya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas


yang terkandung dalam Negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan realitas
penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan kehidupan beragama. Salah satu syarat sebelum terwujudnya
masyarakat moderen yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang
menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa. Pancasila dan sistem hukum
nasional setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu
kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan
hanya mencakup sistem nilai tetapi juga dimensi kelembagaannya dengan
menegaskan bahwa sila keadilan sosial setidak-tidaknya merupakan standar yang
digunakan untuk mengukur, kalaulah tidak merupakan nilai inti untuk menguji
terwujud tidaknya Pancasila sebagai dasar negara tantangan berikutnya adalah
menjawab pertanyaan bagaimana menjabarkannya ke dalam sistem kenegaraan
negara kesatuan republik indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Malik Madaniy. 2010. Politik Berpayung Fiqh.Yogyakarta:Pustaka Pesantren.


hlm. 33 Ibid. hlm. 34

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hlm. 23


2010

Satjipto Raharjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah


pada Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi,
ODIH, UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000. hlm. 4

Satjipto Rahardjo. 2009. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta :


Kompas hlm.170-171

Soegito . 2012. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia.


Yogyakarta : Genta Publishing, hlm.138

Anda mungkin juga menyukai