Anda di halaman 1dari 21

A.

DEFINISI

 Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan

(stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di

telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).

 Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca

indera (Isaacs, 2002).

 Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa

adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan

dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik.

Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima

rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien

berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan

oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).

 Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan

panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang

dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren:

persepsi palsu (Maramis, 2005).

 Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien

merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap

meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera

tersebut (Izzudin, 2005).


 Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah

(Stuart, 2007).

 Kesimpulannya bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca

indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang

nyata.

A. MACAM-MACAM HALUSINASI

1. Pendengaran

2. Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara

berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas

berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara

dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana

klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu

kadang dapat membahayakan.

3. Penglihatan

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar

kartun,bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan

atau menakutkan seperti melihat monster.

4. Penghidu

Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya

bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat

stroke, tumor, kejang, atau dimensia.

5. Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.


6. Perabaan

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa

tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

7. Cenesthetic

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan

makan atau pembentukan urine

8. Kinisthetic

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

B. FAKTOR PREDIPOSISI

Menurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah:

1. Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon

neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh

penelitian-penelitian yang berikut:

a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih

luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal

dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.

b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang

berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan

dengan terjadinya skizofrenia.

c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan

terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,

atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan

kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).

2. Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan

kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi

gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam

rentang hidup klien.

3. Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:

kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan

kehidupan yang terisolasi disertai stress.

C. FAKTOR PRESIPITASI

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah

adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,

putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah

koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).

Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:


1. Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses

informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang

diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

2. Stress lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan

untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3.  Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

D. MANIFESTASI KLINIK

1. Fase Pertama / comforting / menyenangkan

Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian.

Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan

untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk

sementara. Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya,

namun intensitas persepsi meningkat.

Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir

tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang

asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.

2. Fase Kedua / comdemming


Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan

eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi. Pemikiran internal

menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan

yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak

mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi

dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.

Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti

peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya

dan tidak bisa membedakan dengan realitas.

3. Fase Ketiga / controlling

Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan

tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.

Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan

mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap

halusinasinya.

Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya

beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan

tidak mampu mematuhi perintah.

4. Fase Keempat / conquering/ panik

Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.

Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam,

memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain

karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang
menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini

menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.

Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan,

agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah

kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku

dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri,

secara tiba-tiba marah atau menyerang oranglain, gelisah, melakukan gerakan

seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri tentang

halusinasi yang dialaminya ( apa yangdilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini

merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :

Tahap I : halusinasi bersifat  menyenangkan

Gejala klinis :

a. Menyeringai/ tertawa tidak sesuai

b. Menggerakkan bibir tanpa bicara

c. Gerakan mata cepat

d. Bicara lambat

e. Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan

Tahap 2 : halusinasi bersifat menjijikkan

Gejala klinis :

a. Cemas

b. Konsentrasi menurun
Tahap 3 : halusinasi yang bersifat mengendalikan

Gejala klinis :

a. Cenderung mengikuti halusinasi

b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain

c. Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah

d. Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk)

Tahap 4 : halusinasi bersifat menaklukkan

Gejala klinis :

a. Pasien mengikuti halusinasi

b. Tidak mampu mengendalikan diri

c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata

d. Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

E. AKIBAT YANG DITIMBULKAN

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko

mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai


merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri,

orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :

1. Memperlihatkan permusuhan

2. Mendekati orang lain dengan ancaman

3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai

4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan

5. Mempunyai rencana untuk melukai

Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan control dirinya sehingga bisa

membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (resiko

mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan). Hal ini terjadi jika halusinasi

sudah sampai fase ke IV, dimana klien mengalami panic dan perilakunya

dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan

penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan

bunuh diri, membunuh orang lain bahkan merusak lingkungan. Tanda dan

gejalanya adalah muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi,

berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas

makanan, memukul jika tidak senang


F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna ketakutan klien akibat

halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual

dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau

dipegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap

perawat masuk ke kamar atau mendekati klien, bicaralah dengan klien. Begitu

juga bila akan meninggalkannya hendaknya klien diberitahu. Klien diberitahu

tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya disediakan sarana

yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan

dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah

dan permainan.

2. Melaksanakan program terapi dokter

Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan

halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi

instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul

ditelannya, serta reaksi obat yang diberikan.

3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada

Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali

masalah klien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta

membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat

melalui keterangan keluarga klien atau orang lain yang dekat dengan klien.
4. Memberi aktivitas pada klien

Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya

berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu

mengarahkan klien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang

lain. Klien diajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang

sesuai.

5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan

Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar

ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan,

misalnya dari percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia

sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di

dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar

klien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas

yang ada. Percakapan ini hendaknya diberitahukan pada keluarga klien dan

petugas lain agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran yang diberikan

tidak bertentangan.

Farmakologi :

1. Anti psikotik:

a) Chlorpromazine (Promactile, Largactile)

b) Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)

c) Stelazine

d) Clozapine (Clozaril)

e) Risperidone (Risperdal)
2. Anti parkinson:

a) Trihexyphenidile

b) Arthan

G. POHON MASALAH

H. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Data yang Perlu Dikaji

a. Alasan masuk RS

Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak

mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang

dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan

perawatan.
b. Faktor prediposisi

1) Faktor perkembangan terlambat

 Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.

 Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.

 Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan

2) Faktor komunikasi dalam keluarga

 Komunikasi peran ganda

 Tidak ada komunikasi

 Tidak ada kehangatan

 Komunikasi dengan emosi berlebihan

 Komunikasi tertutup

 Orangtua yang membandingkan anak-anaknya, orangtua yang otoritas dan

konflik dalam keluarga

c. Faktor sosial budaya

Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang

terlalu tinggi.

d.  Faktor psikologis

Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri

tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri

negatif dan koping destruktif.

e. Faktor biologis

Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel,

perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.


f. Faktor genetik

Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson

tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor penentu

gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen

skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan

nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami

skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika

di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya

mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila

kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.

g. Faktor presipitasi
  

Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:

1. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan

memproses informasi di thalamus dan frontal otak.

2. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme

penerimaan abnormal).

3. Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak

berguna, putus asa dan tidak berdaya.

Menurut Stuart (2007), pemicu gejala respon neurobiologis maladaptif

adalah kesehatan, lingkungan dan perilaku.

1. Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama sikardian, kelelahan

dan infeksi, obat-obatan sistem syaraf pusat, kurangnya latihan dan

hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.

2. Lingkungan

Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga,

kehilangan kebebasab hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-

hari, sukar dala, berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial, kurangnya

dukungan sosialm tekanan kerja, dan ketidakmampuan mendapat

pekerjaan.

3. Sikap

Merasa tidak mampu, putus asam merasa gagal, merasa punya kekuatan

berlebihan, merasa malang, rendahnya kemampuan sosialisasi,

ketidakadekuatan

4. Perilaku

Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,

rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak, kurang perhatian,

tidak mampu mengambil keputusan, bicara sendiri. Perilaku klien yang

mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila

perawat mengidentifikasi adannya tanda-tanda dan perilaku halusinasi

maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar

mengetahui jenis halusinasinya saja.

Validasi informasi tentang halusinasi yang iperlukan meliputi :

 Isi halusinasi
Menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan.

 Waktu dan frekuensi

Kapan pengalaman halusianasi munculm berapa kali sehari.

 Situasi pencetus halusinasi

Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi

muncul. Perawat bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelang

munculnya halusinasi untuk memvalidasi pertanyaan klien.

 Respon klien

Sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien. Bisa dikaji dengan apa

yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalamana halusinasi.

Apakah klien bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sebaliknya.

e. Pemeriksaan fisik

Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan

darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan klien.

1) Status mental

 Penampilan  :  tidak rapi, tidak serasi

 Pembicaraan : terorganisir/berbelit-belit

 Aktivitas motorik : meningkat/menurun

 Afek : sesuai/maladaprif

 Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus yang ada sesuai

dengan nformasi

 Proses pikir : proses informasi yang diterima tidak berfungsi dengan baik

dan dapat mempengaruhi proses pikir


 Isi pikir : berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis

 Tingkat kesadaran

 Kemampuan konsentrasi dan berhitung

2) Mekanisme koping

 Regresi : malas beraktifitas sehari-hari

 Proyeksi : perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk mengalihkan

tanggungjawab kepada oranglain.

 Menarik diri : mempeecayai oranglain dan asyik dengan stimulus internal

 Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan dengan ekonomi,

pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau pemukiman.

2. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

Ada beberapa diagnosa keperawatan yang sering ditemukan pada klien dengan

halusinasi menurut Keliat (2006) yaitu:

a. Resiko Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.

b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.

c. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan isolasi sosial.

3. Rencana Tindakan

NO KLIEN KELUARGA
SP1P SPIK
1 Mengidentifikasi jenis halusinasi klien. Mendiskusikan masalah yang
2 Mengidentifikasi isi halusinasi klien. dirasakan keluarga dalam merawat

3 Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien

4 klien.

Mengidentifikasi frekuensi halusinasi Memberikan pendidikan kesehatan

klien. tentang pengertian halusinasi, jenis


5
Mengidentifikasi situasi yang dapat halusinasi yang dialami klien, tanda

menimbulkan halusinasi klien. dan gejala halusinasi, serta proses


6
terjadinya halusinasi.
Mengidentifikasi respon klien terhadap

halusinasi klien.
7
Mengajarkan klien menghardik Menjelaskan cara-cara merawat

halusinasi. pasien halusinasi.

8
Menganjurkan klien memasukkan cara

menghardik ke dalam kegiatan harian.


SP2P SP2K
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian Melatih keluarga mempraktikkan

klien. cara merawat pasien dengan

halusinasi.

2 Melatih klien mengendalikan halusinasi

dengan cara bercakap-cakap dengan Melatih keluarga melakukan cara

orang lain. merawat langsung kepada klien

halusinasi.

Menganjurkan klien memasukkan ke


3 dalam kegiatan harian klien.
SP3P SP3K
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian Membantu keluarga membuat

klien. jadwal aktivitas di rumah termasuk

minum obat ( discharge planing ).

2 Melatih klien mengontrol halusinasi

dengan cara melakukan kegiatan. Menjelaskan follow- uf klien

setelah pulang.

Menganjurkan pasien memasukan


3
dalam jadwal kegiatan harian
SP4P
1 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian

klien.

2 Memberikan pendidikan kesehatan

tentang penggunaan obat secara teratur

Menganjurkan pasien memasukan


3
dalam jadwal kegiatan harian

4. Evaluasi 
      Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan

keperawatan pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau pormatif

yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif

yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan tujuan khusus

serta umum yang telah ditentukan (Direja, 2011). 

    Menurut Damaiyanti (2012), evaluasi dilakukan sesuai TUK pada perubahan

persepsi sensori : halusinasi yaitu :

1) Klien dapat menbina hubungan saling percaya

2) Klien dapat mengenali halusinasinya

3) Klien dapat mengontrol halusinasinya

4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mrngontrol halusinasi

5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik


DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta :

Salemba Medika

Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .

Keliat Budi Ana. 1999. Proses  Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta :

EGC

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan

dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis

Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.

Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan

Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi

(API). Jakarta : fajar Interpratama.

Anda mungkin juga menyukai