Kuasa Hukum SC-HK JO Ahmad Irfan Arifin menilai putusan pengadilan tersebut tidak masuk
akal dan menimbulkan kerugian negara karena telah mengganggu bisnis Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) serta merusak iklim usaha.
“Pertimbangan -pertimbangan hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan tidak masuk akal. Bukan hanya bertentangan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan, melainkan juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata
Irfan dalam keterangan tertulisnya.
Dalam kasus ini SC-HK JO ditunjuk oleh PT GTU sebagai kontraktor pembangunan Sima Office
Tower dengan masa kerja proyek dari Juli 2013 sampai April 2016. GTU tidak melakukan
pembayaran jasa konstruksi, sementara 21 Desember 2015, SC -HK JO diputus kontrak.
Akhirnya sengketa dibawa ke arbitrase BANI.
BANI. BANI dalam perkara arbitrase pada 24 Mei 2018
menjatuhkan putusan bahwa PT GTU telah melakukan wanprestasi sehingga pengakhiran
kontrak oleh SC-HK JO adalah sah.
PT GTU dihukum membayar ganti rugi dengan nilai Rp 117 miliar dan US$ 1,7 juta. Namun, PT
GTU kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase BANI tersebut ke PN
Jakarta Selatan yang pada 25 September 2018 memutuskan membatalkan putusan arbitrase
untuk seluruhnya.
GTU mempermasalahkan tiga dokumen yang disembunyikan dalam persidangan arbitrase yang
diajukan SC-HK JO yaitu klaim terkait biaya perlindungan tambahan terhadap perlengkapan
mechanical, electrical, dan plumbing, klaim ganti rugi akibat fluktuasi nilai tukar, dan klaim ganti
ga nti
rugi akibat kenaikan upah minimum DKI Jakarta sejak 2011 hingga 2014.
Ahmad Irfan selaku kuasa hukum mengklaim
mengklaim bahwa dalam persidangan di PN Jakarta Selatan,
saksi dari PT GTU mengakui bahwa mereka memiliki salinan dokumen-dokumen itu. Untuk itu
Ia beranggapan tidak ada dokumen yang disembunyikan atau dipalsukan yang bisa menjadi
dasar pembatalan putusan BANi tersebut.
“Itu artinya Majelis Hakim PN Jakarta Selatan membatalkan arbitrase dengan memakai alasan
di luar Pasal 70 UU Arbitrase. Ini melanggar peraturan perundangan yang berlaku,” katanya.
Sementara Hana, Kuasa hukum PT GTU belum mau memberikan penjelasan saat dihubungi
Kontan.co.id Jumat (16/11). Ia menyarankan untuk kembali menghubungi pada hari Senin
depan.
Editor: Herlina Kartika
Baca Juga
Menikmati keindahan kawasan Simatupang dari bidikan foto dan drone
TERBARU
Penjualan avtur Pertamina di El Tari Kupang tumbuh 3,44% tahun lalu
John Wen asal Medan sukses investasi saham di usia muda
Supra Boga (RANC) Kian Agresif Menambah Gerai Anyar
Kejar Pertumbuhan Kinerja yang Fantastis, Ini Strategi DIVA
Inalum Ingin Tambah Kepemilikan di PTBA
TERPOPULER
Ini rahasia Sukarto Bujung sukses jadi investor saham
Prabowo dinilai gagal paham soal pengambilalihan Freeport oleh Inalum
Alihkan dana ke DPLK, tiga dana pensiun dibubarkan
John Riady, CEO PT Lippo Karawaci Tbk: LPKR mengambil momentum perubahan
Terseret kasus SNP Finance, Deloitte Indonesia berupaya cari jalan keluar
SC- HK JO menilai putusan pengadilan tersebut tidak masuk akal dan menimbulkan kerugian
negara karena telah mengganggu bisnis badan usaha milik negara serta merusak iklim usaha.
“Pertimbangan -pertimbangan hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan tidak masuk akal. Bukan hanya bertentangan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan, melainkan juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata
Ahmad Irfan Arifin, kuasa hukum SC-HK JO dari Firma Hukum Lubis Santosa dan Maramis,
dalam keterangan pers yang diterima Gatra.com menjelaskan alasan pengajuan kasasi ke
Mahkamah Agung atas putusan PN Jakarta Selatan itu. MA sendiri akan memutus dalam waktu
90 hari sejak kasasi diajukan atau dalam kasus ini pada akhir Januari 2019.
BANI dalam perkara arbitrase pada 24 Mei 2018 menjatuhkan putusan bahwa PT GTU telah
melakukan wanprestasi sehingga pengakhiran kontrak oleh SC-HK JO adalah sah. Karena itu,
PT GTU dihukum membayar ganti rugi dengan nilai Rp117.037.292.248 dan US$1.703.699.
Namun, PT GTU kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase BANI
tersebut ke PN Jakarta Selatan yang pada 25 September 2018 memutuskan membatalkan
putusan arbitrase untuk seluruhnya.
GTU mempersoalkan adanya tiga dokumen yang disembunyikan dalam persidangan arbitrase
yang diajukan SC-HK JO yaitu klaim terkait biaya perlindungan tambahan terhadap
perlengkapan mechanical, electrical, dan plumbing; klaim ganti rugi akibat fluktuasi nilai tukar,
dan klaim ganti rugi akibat kenaikan upah minimum DKI Jakarta sejak 2011 hingga 2014.
Padahal, dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, saksi dari PT GTU mengakui bahwa
mereka memiliki salinan dokumen-dokumen itu.
Dengan demikian, tidak ada dokumen yang disembunyikan atau dipalsukan yang bisa menjadi
dasar pembatalan putusan arbitrase sesuai Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur syarat pembatalan putusan arbitrase.
Menurut Ahmad Irfan Arifin, sungguh tidak masuk akal membatalkan arbitrase berdasarkan
klaim GTU tersebut, apalagi ketiga dokumen yang diperkarakan sebenarnya tidak relevan.
PN Jakarta Selatan juga memutus melebihi apa yang dituntut oleh GTU, yaitu dengan
mempertimbangkan bahwa kontrak proyek antara PT GTU dan SC-HK JO tidak sah dan batal
demi hukum.
“Itu artinya Majelis Hakim PN Ja karta Selatan membatalkan arbitrase dengan memakai alasan
di luar Pasal 70 UU Arbitrase. Ini melanggar peraturan perundangan yang berlaku,” kata Ahmad
Irfan Arifin.
Arbitrase yang disepakati para pihak, lanjut Ahmad Irfan Arifin, merupakan jalur terbaik dalam
penyelesaian sengketa bisnis karena bersifat final d an mengikat. Pembatalan putusan arbitrase
yang tidak berdasar akan semakin menggerus kepercayaan dunia usaha atas kepastian hukum
di negeri ini serta berdampak sangat fatal kepada iklim usaha dan investasi yang sedang
dibangun oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Putusan pembatalan arbitrase ini secara langsung merugikan negara karena Hutama Karya
sebagai BUMN memiliki 40% saham dalam SC-HK JO. Ini juga mencederai iklim usaha dan
investasi. Investor asing akan melihat bahwa dalam kasus ini, BUMN saja bisa dikerjai,”
pungkasnya.