Anda di halaman 1dari 15

PENYAKIT PULMONAL

“Tugas Matakuliah Fisioterapi Kardiovskular & Pulmonal”

Dosen Pengampu :

Eny Fauziah, S.Fis.,M.Biomed

Oleh

Mutiara Sari EFT10180106

DIII FISIOTERAPI

POLITEKNIK UNGGULAN KALIMANTAN

BANJARMASIN

2020
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
a. Definisi
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas
yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat dicegah. Keterbatasan
saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan
respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas. 1
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) bukan penyakit tunggal
tetapi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
penyakit paru kronis yang menyebabkan keterbatasan dalam aliran
udara paru. Istilah lebih umum bronkitis kronis dan emfisema tidak
lagi digunakan, tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis PPOK.
b. Patofisiologi
Terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu
bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru
yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang
ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas
tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh
perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi
yang persisten.
c. Etiologi
Gejala sesak pada PPOK disebabkan keterbatasan aliran udara
ekspirasi karena hilangnya perlekatan alveoli ke saluran napas kecil
dan berkurangnya rekoil elastik paru.
d. Faktor Resiko
Ada beberapa faktor risiko terjadinya PPOK yaitu:
1) merokok
2) usia
3) jenis kelamin
4) hiperesponsif saluran pernafasan
5) infeksi jalan nafas
6) pemaparan akibat kerja
7) polusi udara
8) status sosial dan faktor genetik.
e. Manifestasi Klinis
Pada tahap awal perjalanan PPOK, pemeriksaan fisik kemungkinan
besar akan memberi hasil dalam batas normal (Reilly, et al., 2012).
1) Batuk kronis. Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk
membuang atau membersihkan saluran napas dari benda asing
seperti dahak yang disekresi secara berlebih oleh kelenjar
mukus. Biasanya gejala yang pertama kali muncul adalah batuk
yang seringkali diabaikan karena pada umumnya bagi perokok,
batuk merupakan hal biasa dan belum mengganggu aktivitas.
Namun seiring berjalannya 9 waktu, gejala ini akan secara
progresif berkembang sampai dapat menyebabkan kesulitan
bernapas yang kemudian akan meresahkan penderitanya
(Kenny, 2014).
2) Produksi Sputum. Menurut GOLD (2014), sebagai gejala dari
bronkitis kronis, produksi sputum teratur dan menetap selama 3
bulan dalam 2 tahun berturutturut. Namun, hal ini dapat
berubah-ubah sehingga tidak ada kisaran volume sputum yang
pasti untuk diagnosis PPOK.
3) Dyspnea. Dyspnea diartikan sebagai kesulitan bernapas, dapat
disertai suara mengi (wheezing) saat ekspirasi. Dyspnea
muncul akibat produksi lendir/mukus pada saluran pernapasan
dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hambatan jalan
napas. Pasien akan tampak memiliki frekuensi pernapasan
diatas normal (hiperventilasi) sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan. Pada PPOK berat, dapat dijumpai
gejala sianosis pada pasien (Kenny, 2014).
2. Emfisema
a. Definisi
Emfisema berasal dari bahasa Yunani, emphysaein yang berarti
mengembang dan didefinisikan menjadi pelebaran abnormal menetap
ruang udara (alveoli distal terhadap bronkiolus terminal) disertai
kerusakan dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Pelebaran menetap
disertai kerusakan alveoli dapat mengurangi aliran udara ekspirasi
maksimal akibat daya rekoil elastik paru berkurang.
b. Etiologi
emfisema dapat disebabkan 4 proses yang saling berkaitan:
1) paparan kronis asap rokok menyebabkan akumulasi mediator
inflamasi di paru
2) mediator ini akan mensekresi elastolytic proitenases yang dapat
merusak matriks ekstrasel
3) hilangnya matriks ekstrasel memicu kematian sel (apoptosis)
4) terjadi perbaikan yang tidak efektif oleh elastin dan komponen
matriks ekstrasel lainnya sehingga menyebabkan pelebaran
alveolus.
Sementara itu, dalam bronkitis kronis, hambatan saluran napas
disebabkan oleh reaksi inflamasi. Terdapat edema dan
hiperplasia kelenjar submukosa sehingga terjadi sekresi mukus
yang berlebihan (Porth, 2007).
c. Patofisiologi
Satuan pertukaran udara di paru disebut dengan alveoli akan
mengalami kerusakan progresif seiring waktu pada emfisema. Pasien
harus inspirasi dan ekspirasi dengan volume udara lebih besar demi
memenuhi kebutuhan metabolik distribusi oksigen (O2), pengeluaran
karbon dioksida (CO2) dan menjaga keseimbangan asam-basa.
Pelebaran alveoli menyebabkan pembesaran volume paru pada rongga
toraks sehingga mengurangi kapasitas dinding dada untuk
mengembang pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi
sehingga ventilasi menjadi terbatas (Budi,2019).
d. Manifestasi Klinis
Terjadinya penyumbatan hingga menimbulkan sesak nafas.
e. Faktor Resiko
Salah satu faktor resiko terjadinya emfisema menurut penelitian ialah
merokok.
3. Bronkiektasis
a. Definisi
Bronkiektasis adalah kelainan kronik yang ditandai dengan dilatasi
bronkus secara permanen, disertai proses inflamasi pada dinding
bronkus dan parenkim paru sekitarnya. Manifestasi klinis primer
bronkiektasis adalah terjadinya infeksi yang berulang, kronis, atau
refrakter, dengan gejala sisa yang terjadi adalah batuk darah, obstruksi
saluran napas kronis, dan gangguan bernapas secara progresif.
b. Etiologi
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab yang paling umum
dari bronkiektasis adalah infeksi, namun penelitian yang dilakukan
oleh Pasteur dkk di Inggris pada tahun 2000 mendapatkan data dari
150 kasus bronkiektasis, 53% kasus tidak dapat diidentifikasi kausa
spesifiknya.
c. Patofisiologi
Udara inspirasi sering terkontaminasi dengan gas toksik, partikel, dan
mikroba. Lini pertama pertahanan paru dibentuk oleh bentuk kompleks
saluran napas atas dan bawah yang sedemikian sehingga membentuk
aliran udara dengan turbulensi tinggi. Bentuk saluran napas yang khas
tersebut memungkinkan impaksi, sedimentasi, dan deposisi partikel
dan mikroorganisme ke mukosa saluran napas. Partikel dan
mikroorganisme yang terdeposisi pada mukosa selanjutnya akan
dibuang melalui mekanisme gerakan mukosilier atau langsung
keluarkan dari saluran napas melalui mekanisme bersin, batuk, atau
penelanan. Saluran napas dilapisi atas epitel bersilia, di mana stuktur
dan fungsi dari silia ini telah banyak dipelajari. Fungsi silia dan
gerakan mukosilier juga bergantung pada viskositas yang rendah dari
lapisan cairan perisilier, lapisan cairan yang terhidrasi cukup
memungkinkan separasi yang baik antara epitel dan lapisan viscous-
mucous yang melapisi silia. Apabila lapisan perisilier tidak merata
(seperti pada fibrosis kistik), lapisan perisilier yang tipis dapat
menyebabkan silia terjerat pada lapisan mukus, sehingga menyebabkan
gerakan mendorong mukus terganggu.
d. Faktor Resiko
1) PPOK
2) Infeksi
3) Asma
4) Defisiensi α-1 antitrypsin
5) Rheumatoid Arthritis
6) Primary Ciliary Dyskinesia
7) Inflammatory Bowel Disease
8) Inflammatory Bowel Disease
9) Cystic Fibrosis
e. Manifestasi Klinis
1) terjadinya infeksi yang berulang
2) kronis atau refrakter
3) batuk darah
4) obstruksi saluran napas kronis
5) gangguan bernapas secara progresif.
4. Tuberculosis
a. Definisi
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi paru menular yang
masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara
berkembang. Penyakit tuberkulosis sudah dicanangkan oleh WHO
(World Health Organization) sebagai Global Emergency sejak tahun
1992.
b. Etiologi
Tubercolosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Bakteri Mycobacterium tuberculosa yang mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam) karena
basil TB mempunyai sel lipoid.
c. Patofisiologi
Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien TB paru ketika
pasien batuk, bersin, tertawa. droplet nuclei ini mengandung basil TB
dan ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan melayanglayang di
udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB. Saat Mikobakterium
tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya melalui
serangkaian reaksi imunologis bakteri TB paru ini akan berusaha
dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh
sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di
sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi
dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya
terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Dalam kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan bahan seperti
keju dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara,
mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang
menyerah menyembuh membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi
menjadi lebih membengkak, menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut.
d. Faktor Resiko
1) Penurunan sistem imun oleh Human Immunodeficiency Virus
(HIV)
2) Diabetes melitus (DM)
3) Konsumsi alcohol
4) Malnutrisi
5) Merokok.
e. Manifestasi Klinis
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan,
seperti batuk berdahak kronis, demam, berkeringat tanpa sebab di
malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan.
Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan
kematian. Pasien TB paru juga sering dijmpai konjungtiva mata atau
kulit yang pucat karena anemia, badan kurus atau berat badan
menurun.
5. Asma
a. Definisi
Asma adalah penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan
yang ditandai adanya episode wheezing, kesulitan bernapas, dada yang
sesak, dan batuk. Inflamasi ini terjadi akibat peningkatan responsive
saluran pernapasan terhadap berbagai stimulus (Khairunnisa, 2016).
b. Etiologi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang diakibatkan oleh
hiperesponsif jalan napas dan menyebabkan episodik berulang berupa
mengi atau wheezing, sesak napas, perasaan berat pada dada, dan
batuk terutama malam hari atau pagi hari yang reversibledengan atau
tanpa pengobatan.
c. Patofisiologi
Gangguan inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya.Inflamasi kronis menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi, dan sering kali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
d. Faktor Resiko
Faktor internal terdiri dari genetik, obesitas, jenis kelamin, usia,
aktivitas fisik, dan ekspresi emosi yang kuat atau berlebihan.
Sedangkan faktor eksternal meliputi occupational irritant, infeksi virus
di saluran nafas, alergen, asap rokok, polusi udara, obat-obatan, dan
perubahan suhu terkait perubahan musim atau kondisi geografis
lainnya (Suyono, 2001 ; GINA, 2008).
e. Manifestasi Klinis
1) Mengi
2) sesak napas
3) dada terasa berat
4) dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari (Steven
Lehrer, 2019)
6. Efusi Pleura
a. Definisi
Efusi pleura merupakan kondisi di mana terdapat akumulasi cairan
berlebih pada cavitas pleuralis yang disebabkan oleh meningkatnya
produksi atau berkurangnya absorpsi cairan pleura.
b. Patofisiologi
Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam rongga pleura.
Pada keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 ml/kg/jam) cairan secara
konstan memasuki rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Cairan
pleura berasal dari kapiler (terutama pleura parietalis), limfatik,
pembuluh darah intratoraks, ruangan interstisial paru, dan rongga
peritoneum. Cairan pleura direabsorbsi melalui saluran limfatik pleura
parietalis yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya 0,2
ml/kg/jam. Efusi pleura dibedakan menjadi transudat dan eksudat.
Efusi pleura transudatif terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik
atau penurunan tekanan onkotik dalam rongga pleura. Efusi pleura
eksudatif terjadi akibat abnormalitas permeabilitas kapiler, obstruksi
aliran limfatik, infeksi, atau pendarahan.
c. Etiologi
Ada dua tipe penyebab utama dari efusi pleura, yaitu efusi pleura
transudatif dan eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh
beberapa kombinasi dari peningkatan tekanan hidrostatik atau
berkurangnya tekanan onkotik kapiler; misalnya gagal jantung, sirosis,
dan sindrom nefrotik. Efusi pleura eksudatif disebabkan oleh proses
lokal yang mengakibatkan perubahan pada pembentukan dan
penyerapan cairan pleura; peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan eksudasi cairan, protein, sel, dan komponen serum
lainnya Penyebab yang paling sering terjadi, yaitu pnemonia,
malignansi, dan pulmonary embolism, infeksi virus, dan tuberculosis
(Dwianggita, 2016).
d. Faktor Resiko
1) Usia
2) Jenis kelamin
3) Tumor
4) Gagal Jantung
e. Manifestasi Klinis
1) Nyeri dada
2) Sesak nafas
3) Batuk
4) Penurunan nafsu makan
7. Emfiema
a. Definisi
Empiema adalah kumpulan cairan eksudatif di rongga pleura yang
berhubungan dengan terjadinya infeksi paru (Ambarwati, 2018).
b. Etiologi
Empiema sering disebabkan karena komplikasi dari pneumonia tetapi
dapat juga disebabkan karena adanya infeksi dari tempat lain.
Empiema dapat juga disebabkan oleh suatu trauma, tindakan operasi,
keganasan, kelainan vaskuler, penyakit imunodefisiensi, dan adanya
infeksi di tempat yang berdekatan seperti di orofaring, esophagus,
mediastinum atau jaringan di subdiafragma yang memberikan
manifestasi klinik bermacam-macam, tergantung dari organ utama atau
tempat yang terinfeksi, mikroba pathogen dan penurunan daya tahan
tubuh (Ambarwati,2018)
c. Patofisiologi
Pleura dalam keadaan normal memproduksi cairan pleura sekitar 0,01
mL/kg/jam dan normalnya rongga pleura terisi cairan sekitar 5-10 ml
yang disekresi dari pleura parietalis dan diserap melalui beberapa
mekanisme yaitu tekanan gradient melalui pleura visceralis, drainase
limfatik stoma dari pleura parietal dan mekanisme seluler. Efusi pleura
terjadi karena keseimbangan antara produksi dan pengeluaran cairan
pleura terganggu. Efusi pleura sekunder yang terjadi oleh karena
pneumonia disebut dengan efusi parapneumonia. Perkembangan
proses empiema dibagi menjadi tiga tahap yaitu eksudatif sederhana,
fibrinopurulen dan organisasi (Ambarwati, 2018).
d. Faktor Resiko
(infeksi Human Imunodeficiency Virus, diabetes mellitus dan
kekurangan gizi), alkohol atau penyalahgunaan obat intravena, aspirasi
bronkial, oral hygiene yang buruk, refluks gastrooesophageal, dan
penyakit kronis parenkim paru. Selain faktor risiko diatas Keterlibatan
virulensi mikroba dan sistem kekebalan tubuh berpengaruh terhadap
empyema (Ambarwati, 2018).
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis awal yaitu demam yang bersifat akut dengan nyeri
dada, produksi sputum yang meningkat dan leukositosis. Sedangkan
pada infeksi bakteria anaerob akan memperlihatkan gejala klinis sub
akut. Gejala klinis akan mulai dirasakan setelah >7 hari sejak pertama
kali mendapatkan gejala seperti batuk tidak produktif, demam
subfebrile, bau mulut, leukositosis dan anemia (Ambarwati, 2018).
8. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius,
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
pertukaran gas setempat.
b. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita
oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif,
sedangkan pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif.
Dari laporan beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan
dahak penderita komunitas adalah bakteri gram negatif.
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial:
1) Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus
pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Hemophilus
influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A
dan B.
2) Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative
(E. coli, Klebsiella pneumonia), Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob oral.
c. Patofisiologi
Proses patofisiologi pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu
keaadan (imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien
dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.3 Dalam keadaan
sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
d. Faktor Resiko
Sistem imun yang rendah, usia, alkohol.
e. Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan
sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada
yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi
redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.
DAFTAR PUSTAKA

Budhi Antariksa, S. T. (2019). Jurnal Respirologi Indonesia. Patofisiologi


Emfisema, 39(1), 60-69.

Darliana, D. (2011). Jurnal PSIK-FK Unsyiah. Manajemen Tuberculosis Paru,


2(1), 27-31.

Devi Ambarwati , H. (2018). Jurnal Respirasi. Empiema, 4(1), 26-32.

Dewi, P. B. (2011). Jurnal of critical care . EFUSI PLEURA MASIF: SEBUAH


LAPORAN KASUS.

Dwianggita, P. (2016). Directory Open Access Journals. Etiologi Efusi Pleura


pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.

Erly, F. I. (2016). Jurnal Kesehatan Andalas. Gambaran Derajat Merokok Pada


Penderita PPOK di Bagian, 5(2), 306-311.

(GOLD), G. I. (2014). Global Strategi for The Diagnosis, Management, and


Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Geneva: WHO
press.

Helmia Hasan, W. (2016). Jurnal Respirasi. Bronkiektasis, 2(2), 52-60.

I Gusti Ayu Artini, M. (2017). E-JURNAL MEDIKA. POLA PEMBERIAN


ANTIBIOTIKA UNTUK PASIEN COMMUNITY ACQUIRED
PNEUMONIA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD BULELENG
TAHUN 2013, 6(3), 1-6.

Khairun Nisa, N. (2016). Efektifitas Senam Asma untuk Meningkatkan Fungsi


Paru Penderita Asma, 5(4), 112-116.

Keith C, R. F. (2012). Investment Analysis and Portfolio Management (Tenth


Edition ed.). USA: South Western Chengage Learning.

Kenny. (2014). British dental association. Tim Oral Hygiene.

Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Leonardo, E. Y. (2014). Jurnal Respirasi. Penyebab Efusi Pleura pada Pasien


Rawat Inap di Rumah Sakit.

LM, W. (2012). Penyakit Pernafasan Restriktif dalam Price SA.


Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2(6), 796-815.
M.C., P. (2007). Pathophysiology Concepts of Altered Health States, 429.

Sari, N. P. (2013). Jurnal Ners LENTERA. ASMA: HUBUNGAN ANTARA


FAKTOR RISIKO, PERILAKU PENCEGAHAN, DAN TINGKAT
PENGENDALIAN PENYAKIT, 1, 30-41.

Susanti, P. F. (2015). Artikel Review. Influence of Smoking on Chronic


Obstructive Pulmonary Disease (COPD).

Yulistin, N. D. (2018). Jurnal Kesehatan Andalas. Gambaran Faktor Risiko


Timbulnya Tuberkulosis Paru pada Pasien yang Berkunjung ke Unit
DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2015, 7(1), 80-87.

Z, D. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi V ed.). (S. AW, Ed.) Jakarta:
Pusat Penerbit Dapartemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai