Anda di halaman 1dari 19

“PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN ADALAH MENJADI

GEREJA”

“Tinjauan Teologis terhadap hubungan antara Pendidikan Agama Kristen dengan


masalah gereja dan masyarakat”

OLEH : NATHALIA Y. JOHANNES, M.TEOL

1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemikiran dan Alasan Pemilihan Judul


Pendidikan Agama Kristen sebagai salah satu mata kuliah umum pada
Perguruan Tinggi Negeri seringkali dinilai tidak terlalu penting. Penilaian ini bukan
tanpa sebab dan alasan. Alasan yang paling populer adalah bahwa Pendidikan Agama
Kristen yang diberikan pada Perguruan Tinggi Negeri pada dasarnya sudah diajarkan
baik pada pendidikan non formal (sejak usia Sekolah Minggu sampai katekisasi)
maupun pada pendidikan formal sebelum perguruan tinggi (pada tingkat Sekolah Dasar
sampai dengan Sekolah Menengah Atas). Dengan demikian mata kuliah Pendidikan
Agama Kristen pada Perguruan Tinggi hanya dianggap sebagai mata kuliah ”pelengkap
saja”, yang sepertinya hanya berbicara soal mana yang boleh dan mana yang tidak
dibolehkan oleh Tuhan Allah. Makna dari mata kuliah Pendidikan Agama Kristen
sepertinya hanya dinilai dari soal mampu tidaknya seorang mahasiswa Kristen
menghafal doktrin-doktrin gereja seperti Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, dll.
Sekilas tergambar bahwa mata kuliah Pendidikan Agama Kristen tidak terlalu penting
bagi mahasiswa.
Padahal berdasarkan Dasar dan Kedudukan Mata Kuliah Agama di Perguruan
Tinggi berdasarkan SK Mendiknas No.232/U/2000, pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa
salah satu kelompok mata kuliah dalam struktur kurikulum berbasis kompetensi adalah
Mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yakni kelompok bahan kajian dan
pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap dan
mendiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Mata
kuliah Pendidikan Agama termasuk salah satu dalam kelompok MPK. Jadi mata kuliah
Pendidikan Agama Kristen tidak sekedar mengajarkan mana yang boleh dan mana yang
tidak, tetapi bagaimana peran mahasiswa Kristen dalam seluruh eksistensi hidupnya,
termasuk dalam hidup bergereja dan bermasyarakat. Melalui Pendidikan Agama
Kristen, seorang mahasiswa Kristen tidak hanya belajar soal doktrin gereja tapi justru
belajar menjadi gereja itu sendiri. Dengan demikian mampu menyatakan suara
kenabiannya dalam dunia ini.

2
Gereja dan masyarakat adalah pokok penting yang begitu hangat dibicarakan
belakang ini, walaupun pokok ini bukanlah sebuah pokok yang baru. Munculnya
sekelumit persoalan yang berkaitan erat dengan keberadaan umat percaya di Indonesia
membuat para teolog dan pemimpin gereja kembali mempertanyakan, apa yang harus
dibuat gereja terhadap berbagai persoalan yang ada. Sebut saja masalah-masalah itu
antara lain; masalah penutupan gereja-gereja di berbagai tempat akibat mencuatnya
kembali Surat Keputusan Bersama (SKB) nomor 1 tahun 1969 dan juga munculnya
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama yang ditandatangani
tanggal 21 Maret 2006. Atau persoalan Rancangan Undang-undang Antipornografi dan
Pornoaksi yang beberapa waktu lalu menimbulkan berbagai kontroversi. Ditambah lagi
masalah terorisme di negara kita, yang seakan lebih membuat kita bertanya-tanya “apa
yang bisa dan harus dilakukan oleh gereja”? Sudahkah gereja melakukan sesuatu
terhadap berbagai permasalahan yang ada itu? Apakah gereja benar-benar telah
melaksanakan misinya dan hadir sebagai Syalom Allah di dunia ini?
Masalah-masalah yang ada di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai
masalah yang ada. Perhatikan juga masalah ekonomi, masalah kerusakan lingkungan
hidup seperti masalah lumpur panas di Lapindo, kebakaran hutan di berbagai daerah
atau persoalan-persoalan kemiskiskinan yang semakin besar di Indonesia. Inilah
kenyataan yang harus dihadapi oleh gereja di Indonesia saat ini. Bukan tidak mungkin
bahwa dalam keadaan seperti ini, gereja barangkali sedang “tertidur lelap” dan suara
misinya hampir tak terdengar lagi. Gereja sedang terlelap dengan teologinya yang lebih
berpusat pada keselamatan pribadi dan kelompok, yang hanya peduli pada masalah-
masalah pertambahan anggota, cara pembaptisan, kehidupan di surga nanti yang tidak
pernah diwujudkan dalam kehidupan kini – yang dirasa tidak pernah bersentuhan
dengan persoalan-persoalan dalam masyarakat. Namun, bukankah itu sebuah sikap yang
sangat tidak teologis? Bukankah Yesus sendiri datang menjumpai manusia dalam
berbagai persoalan kehidupan yang dihadapinya? Bila Yesus datang untuk membawa
damai sejahtera bagi dunia (termasuk damai sejahtera bagi mereka yang berada dalam
keterpurukan), bukankah gereja yang telah diutus-Nya juga harus bersikap demikian?
Memang perbincangan di sekitar wilayah ini (gereja dan masyarakat) telah
banyak diangkat dalam seminar-seminar teologi, namun sayangnya tugas menggereja di
tengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya dihayati dan diwujudnyatakan. Apa
sebenarnya yang menjadi kendala pokok untuk pelaksanaannya? Menurut saya,

3
persoalannya adalah karena gereja sendiri belum sungguh-sungguh menyadari tugas dan
panggilannya di tengah-tengah dunia. Ini disebabkan oleh pemahaman yang berbeda
tentang konsep gereja. Sebagian memandang gereja sebagai sebuah jalan menuju ke
surga yang benar-benar sakral sehingga semua persoalan duniawi (persoalan
kemasyarakatan) bukanlah tanggung jawab gereja. Gereja hanya berurusan dengan soal-
soal rohani. Sebagian lagi memang mengetahui bahwa gereja hadir untuk dunia, tapi
masih juga terjebak pada soal “gereja Vs masyarakat”. Dua pokok ini seringkali diadu
domba, dalam arti bahwa gereja terlepas dari dunia di mana masyarakat berada dan
sebaliknya semua yang terjadi di dalam dunia bukan sepenuhnya tugas gereja. Inipun
berhubungan dengan Pendidikan Agama Kristen. Bila mahasiswa benar-benar
memahami bahwa Pendidikan Agama Kristen itu sangatlah penting, maka dia akan
mampu mengaplikasikan nilai-nilai Pendidikan Agama Kristen itu dalam hidup
bergereja dan bermasyarakat.
Berangkat dari apa yang dikemukakan di atas, maka saya tertarik untuk
mengkaji persoalan-persoalan yang tali-temalinya berhubungan dengan Pendidikan
Agama Kristen dan masalah gereja dan masyarakat. Dalam tulisan ini, saya ingin
menampilkan kembali konsep gereja mula-mula (pemahaman gereja berdasarkan Kisah
Para Rasul) untuk menjawab pertanyaan “Apa sebenarnya gereja itu”? Bila konsep
menggereja sebagaimana ditampilkan oleh Jemaat mula-mula kita pelajari kembali
maka barangkali saja gereja tidak akan tersandung lagi pada pembagian: masalah rohani
merupakan wilayah gereja dan masalah kemasyarakatan yang bukan wilayah gereja.

2. Dugaan Permasalahan Teologis


Yang menjadi masalah teologis di sini adalah bahwa Pendidikan Agama Kristen
dianggap tidak penting sehingga persoalan-persoalan yang terjadi dalam hidup bergereja
dan bermasyarakat pun dirasakan tidak mempunyai hubungan dengan Pendidikan
Agama Kristen.

3. Tujuan dan Manfaat Penulisan


a. Melihat Pemahaman Gereja berdasarkan kesaksian Alkitab
b. Mencari tahu hubungan antara Pendidikan Agama Kristen dan gereja dan
masyarakat.

4
c. Menemukan bukti konkrit bahwa tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah
supaya setiap orang percaya mampu menjadi gereja dalam hidup bergereja
dan bermasyarakat.

5
PEMAHAMAN GEREJA BERDASARKAN KISAH PARA RASUL

Bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa konsep-konsep gereja dan


masyarakat yang telah dikemukakan oleh para teolog (yang selama ini telah
didiskusikan dan digumuli) tidaklah relevan ataupun bermanfaat. Saya tertarik untuk
mengangkat pokok ini supaya dasar kita tentang tugas dan panggilan gereja benar-benar
alkitabiah dan itu bisa kita pelajari dari kehidupan gereja mula-mula. Dengan demikian,
pada bagian ini akan dilihat bagaimana Kisah Para Rasul menampilkan konsep gereja
yang menggereja dalam kehidupan jemaat mula-mula.
Untuk berangkat lebih jauh pada pemahaman gereja berdasarkan Kisah Para
Rasul, maka alangkah baiknya jika dibahas terlebih dahulu beberapa hal yang berkaitan
dengan Kisah Para Rasul.
1. Analisa Historis Umum dari Kisah Para Rasul
a. Penulis
Banyak yang berpendapat bahwa Kisah Para Rasul ditulis oleh Lukas. Hal ini
disebabkan dari hubungan antara Injil Lukas dengan Kisah Para Rasul. Walaupun
nama Lukas tidak secara langsung disebut dalam Kisah Para Rasul, tetapi ayat
pertama dari Kis. 1 mengindikasikan bahwa Lukas adalah penulisnya. Lukas sendiri
menunjukkan bahwa ia pernah menulis sebelumnya dan ia istilahkan itu dengan kata
“…bukuku yang pertama”. Hal ini menunjukkan kepada Injil Lukas yang ia tulis
sebelumnya.
Dalam Kol. 4:14; Flm.1: 24; 2 Tim.4;11 Lukas disebut sebagai teman sekerja
paulus, dan ia juga adalah seorang tabib (Kol.4:14)1. Ia adalah penulis yang rendah
hati dan berdisiplin. Dari gaya sastra yang ia gunakan jelas bahwa Lukas adalah
seorang Yunani yang mempunyai pendidikan yang baik.
b. Waktu Penulisan
Waktu penulisan Kisah Para Rasul belum diketahui secara pasti, sebab banyak
pendapat yang berbeda-beda mengenai hal ini. Tetapi menurut anggapan yang pada
umumnya diterima, penulisannya ditempatkan antara tahun 70-80 sesudah Kristus.
Hal ini sesuai pula dengan peristiwa terakhir, yang mengisahkan penahanan Paulus

1
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF,
1992), hlm. 654.

6
di Roma (Kis. 28:30). Suatu peristiwa yang mestinya terjadi kira-kira pada tahun 60
sesudah Kristus.2
c. Isi dan Maksud Penulisan
Lukas memulai tulisannya dengan mengggambarkan perjalanan Injil yang
diberkati dari Yerusalem sampai ke Roma. Disamping itu “kedua buku” karangan
Lukas dimaksudkan sebagai tulisan yang hendak memberi pengajaran. Lukas
melakukan ini dengan melukiskan Pekabaran Injil yang diberkati itu, sebagai bukti
daripada kesungguhan dan kekuatan kebangkitan Kristus. Lawan-lawan yang
terbesar terhadap Injil adalah selalu orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, pokok
Kisah Para Rasul adalah melukiskan bagaimana Juruselamat yang dimuliakan itu
dan Roh Kudus yang bekerja dengan perantaraan para rasul dan juga peranan Roh
Kudus bagi jemaat-jemaat Kristen muda.
Demikianlah Kisah Para Rasul 1:8 dijadikan suatu kesaksian tentang dasar
gereja Yesus Kristus sebagai “Garam dan Terang Dunia” (band. Mat 5:13-16). Kitab
ini merupakan kitab penghiburan, dan juga pedoman bagi gereja Yesus Kristus di
segala abad.3

2. Gambaran Gereja dalam Kisah Para Rasul


a. Awal dan Perkembangan Gereja dalam Kisah Para Rasul
1. Jemaat di Yerusalem
Jemaat Kristen pertama berdiri di Yerusalem. Jemaat ini terdiri dari orang-
orang yang sejak semula mengikuti Yesus (Kis.1:12-26). Bersama para rasul,
orang-orang ini bertekun, sehati dalam doa, bersama-sama menantikan janji
Bapa (Kis.1:14). Jadi, peranan para rasul sangat penting dalam kelompok
pertama ini. Mereka dipersiapkan secara khusus oleh Yesus untuk menjadi saksi
resmi, mewartakan Kristus ke seluruh dunia (Kis.1:8). Maka tempat Yudas harus
diisi oleh orang lain sebelum Pentakosta (Kis.1:15-26), supaya kalau Roh Kudus
yang dijanjikan turun, mereka siap melaksanakan tugas itu.
Pada hari Pentakosta (kis.2:1-11) para rasul menerima Roh Kudus dan
mulailah mereka mewartakan Injil. Akibat dari pewartaan ini, banyak orang
bertobat dan memberikan diri mereja dibaptis (Kis.2:41, 47). Kedua belas rasul
2
Ds. H. V. Brink, Tafsiran Alkitab Kitab Kisah Para Rasul, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), hlm. 11
3
Ibid., hlm. 12

7
ini menduduki tempat utama dalam jemaat. Mereka tampil sebagai suatu dewan.
Dalam kedua belas rasul itu, Petrus menempati kedudukan utama di antara para
rasul. Dia memimpin, mengambil keputusan dan memerintah. Peranannya
menonjol dalam pemilihan pengganti Yudas (Kis.1:15-26); dialah yang pertama
kali berkhotbah (2:14-36; 3:12-16) dan menjadi juru bicara teman-temannya di
muka Sanhedrin (4:8-12). Setelah para rasul tidak ada lagi, kedudukan mereka
tidak diteruskan. Namun ada kelompok lain yang memimpin jemaat di
Yerusalem, yaitu para penatua. Para penatua juga merupakan satu kelompok
pimpinan dibawah Yakobus saudara Tuhan. Mereka bertugas mengawasi dan
memperhatikan kebutuhan rohani dan jasmani jemaat.
Dalam jemaat di Yerusalem terdapat dua kelompok di dalam hidup jemaat
(Kis.6:1), yaitu kelompok Yahudi dan kelompok Yunani. Kelompok Yahudi
adalah mereka yang berbicara dalam bahasa Aram, membaca kitab suci dalam
bahasa Ibrani. Mereka ini adalah orang-orang yang sangat taat kepada hukum
dan sering memandang rendah orang kafir (Kis.11:1-3, 22; 21:21). Sedang
kelompok Yunani adalah orang-orang Yahudi yang tinggal di daerah diaspora,
di luar Palestina. Mereka mempunyai sinagoge sendiri dan membaca Kitab Suci
dalam bahasa Yunani. Mereka juga taat kepada hukum, tetapi mempunyai
pandangan yang lebih luas. Mereka bangga akan darah Yahudi mereka tetapi tak
begitu memandang rendah orang-orang kafir. Banyak orang dari kelompok ini
yang datang ke Yerusalem pada hari raya Pentakosta (Kis.2:8-11). Kemudian
dalam dua kelompok terjadi perpecahan. Hal ini disebabkan dari pengeluhan
kelompok Yunani yang merasa bahwa janda-janda di kalangan mereka kurang
diperhatikan (Kis.6:1-7). Walaupun ada doal-doal seperti ini, dan juga soal-soal
lain (misalnya Kis.5:1-1), jemaat di Yerusalem digambarkan sebagai jemaat
yang rukun, bersatu, dan sehati. Hidup mereka terpusat pada pengajaran para
rasul, doa dan pemecahan roti (Kis.2:41-47; 4:32-37).4
2. Gereja yang terus Berkembang
Gereja yang baru lahir itu terus berkembang. Perkembangan gereja dapat
dilihat baik secara geografis maupun teologis. Secara geografis, perkembangan
mulai dari Yerusalem, meluas ke seluruh Yudea, Samaria dan sampai ke ujung
bumi. Secara teologis, gereja yang sebelumnya berciri Yahudi menjadi gereja
4
Tom Jacobs, Gereja Menurut PB, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 83-86

8
yang universal. Perkembangan itu tidak dapat dibendung oleh para pemimpin
Yahudi. Jemaat di Yerusalem itu terus tersebar ke luar Yerusalem karena
penganiayaan yang timbul sesudah Stefanus dihukum mati. Kemudian gereja
hadir di Antiokhia, yang menjadi tempat yang subur bagi perkembangan gereja.
Keberhasilan di Antiokhia memberikan semangat besar kepada jemaat di
sana. Barnabas dan Saulus kemudian diutus untuk pewartaan (Kis.13:2-3). Ini
adalah perjalanan misi yang yang pertama (Kis.13-14). Setelah perjalanan misi
yang pertama dilalui, Paulus mulai lagi perjalanan misi yang kedua. Perjalanan
ini menuju Asia Kecil (Kis.15:36). Perjalanan misi yang ketiga dilanjutkan
ketika Paulus menjelajahi seluruh tanah Galatia dan Frigia untuk meneguhkan
hati semua murid (Kis.18:23). Demikianlah gereja yang terus berkembang
hingga kini.5
b. Gereja dan Rencana Penyelamatan Allah
Gereja yang lahir mempunyai peranan dalam karya penyelamatan Allah. Tugas
itu bukan hanya tertuju bagi Israel saja, melainkan meliputi seluruh dunia (Kis.1:8).
Dengan demikian penyelamatan Allah itu berkesinambungan. Janji penyelamatan
yang diberikan kepada Israel terpenuhi dalam diri Yesus yang adalah pusat sejarah
penyelamatan, dan di dalam gereja. Gereja sendiri dipimpin oleh Tuhan dalam
melaksanakan tugas perutusannya.
Untuk melaksanakan tugasnya maka gereja harus dipimpin oleh Roh Kudus.
Roh Kudus adalah penggerak utama gereja yang hidup dan perkembangannya
dikisahkan dalam Kisah Para Rasul. Kedatangan Roh Kudus pada waktu Pentakosta
adalah awal sejarah gereja. Roh ini memberikan kemampuan dan keberanian untuk
mewartakan kabar gembira ke seluruh dunia (Kis.2:8-11). Dengan Roh Kudus
gereja lahir dan terus berkembang.
c. Gambaran Gereja
1. Gereja dan Pewartaan Injil
Menurut Kisah Para Rasul 1:8, Pewartaan Injil adalah dasar keberadaan
gereja. Mewartakan Injil adalah tugas utama gereja dan untuk itulah gereja ada.
Setelah dipenuhi oleh Roh Kudus (Kis.2:4) para rasul mulai berbicara. Mereka
terus mengajar (Kis.2:42) dan memberikan diri untuk tugas pelayanan Injil
(Kis.6:2-4). Pelayanan Injil bukanlah monopoli para rasul. Stefanus dan Filipus,
5
Ibid., hlm. 86-95

9
dua dari tujuh orang yang dipilih untuk “pelayanan meja” juga mewartakan Injil.
Demikian juga Paulus, Barnabas, Silas dan Timotius. Harus diperhatikan bahwa
gereja bukan hanya mewartakan Injil, tetapi diidentifikasikan dengan Sabda itu
sendiri “Firman Allah makin tersebar” (Kis.6:7), “…makin tersiarlah Firman
Tuhan dan makin berkuasa” (Kis.19: 20). Perkembangan gereja ini didukung
oleh Injil sebab gereja tidak hanya mewartakan Injil, tetapi Injil itulah yang
mendukung gereja. Jadi, bukanlah prakarsa manusiawi yang membuat gereja
mewartakan Injil, tetapi Injil itulah kekuatannya. Pewartaan di Yudea dan
Samaria adalah akibat dari tersebarnya orang dari Yerusalem karena
penganiayaan. “Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar bahwa tanah
Samaria telah menerima Firman Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke
situ” (Kis.8:14). Injil sudah berkarya menampakkan kekuatannya lebih dahulu,
baru kemudian para rasul datang. Maka dapat dikatakan bahwa bukanlah gereja
yang memberi Sabda kepada dunia, tetapi Sabda mendukung gereja dalam
sejarah. Kekuatan Sabda yang mendorong gereja dalam sejarah. Kekuatan Sabda
yang mendorong gereja untuk bertindak ini diungkapkan oleh Petrus di depan
sidang Sanhedrin: “… sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata
tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar” (Kis. 4:20).6
2. Kesatuan Hidup sebagai Gereja dalam Keanekaragaman
Umat Kristen perdana sebagai gereja dalam keanekaragaman aliran dan
corak teologi. perbedaan itu didukung oleh lingkup budaya tempat gereja-gereja
itu timbul dan reaksi mereka terhadap adat istiadat setempat. Ada dua golongan
utama dalam gereja perdana itu :
A. Komunitas Kristen-Yahudi
1. Di Yerusalem
Menurut Kisah Para Rasul komunitas itu agak konservatif, berusaha
menyesuaikan tuntutan iman kepada Kristus dengan hukum Taurat.

2. Di Perbatasan Palestina, Asia Kecil


Dari surat-surat Paulus nyata bahwa ada komunitas Kristen Yahudi yang
lepas dari Taurat dan agak tercemar oleh pemkiran kafir. Mereka yang baru
masuk dari lingkungan kafir dibebaskan dari hukum Taurat pada umunya,
6
Ibid., hlm. 100-101.

10
namun dalam beberapa hal kebebasan itu dibatasi: mereka tidak boleh makan
apa yang dipersembahkan kepada berhala, darah, daging binatang yang mati
lemas dan tidak boleh kawin dengan orang yang dilarang oleh hukum Taurat
(Kis. 15:29)
3. Di Palestina
Kelompok ini adalah kelompok Kristen-Yahudi yang tinggal di
Palestina. Mereka merupaan golongan yang terisolasi sebelum jatuhnya
Yerusalem (tahun 70) dan menantikan akhir dunia serta kedatangan Kristus
kembali (Luk.17:22-35).
B. Komunitas Kristen-Kafir
Komunitas Kristen kafir adalah komunitas yang terbentuk dari kaum
kafir yan telah menerima Kristus.7
Hal-hal di atas menunjukkan kerumitan dan keanekaragan di dalam
gereja-gereja PB. Namun keanekaragaman itu tidaklah menjadi titik tolak gereja.
Yang ada ialah kesatuan dalam sejarah bahwa jemaat yang beraneka itu adalah
perwujudan rencana penyelamatan Allah.

PERSOALAN GEREJA DAN MASYARAKAT

Uraian tentang konsep Gereja menurut Kisah Para Rasul sekiranya bisa
menembus persoalan perbedaan pandangan tentang “Apa itu Gereja”. Memang patut
diakui bahwa perbedaan pandangan ini tidak terjadi di luar gereja, tapi justru di dalam
7
C. Kiswara, Gereja Memasyarakat, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 78-82.

11
gereja. Di atas telah diuraikan bahwa Gereja Perdana memang memiliki keragaman,
akan tetapi pada masa itu Gereja telah menyadari bahwa kehadirannya adalah untuk
dunia dan bukan untuk dirinya sendiri. Lalu bagaimana dengan masa kini? Apakah
keyakinan ini juga ada, bahwa gereja seharusnya hadir untuk dunia dengan segala
persoalan yang ada dan bukan untuk dirinya sendiri?
1. Melihat Sejarah Tahun 1950-an
Di tahun 1950, ada gejolak persoalan kemasyarakatan di Indonesia dan sejak
terbentuknya DGI di bulan Mei 1950, gereja telah menunjukkan keprihatinannya
terhadap persoalan nasional yang pelik di negara ini. Setelah pengakuan kedaulatan
RI oleh pemerintah Belanda di bulan Desember 1949 sebagai hasil persetujuan
Konferensi Meja Bundar bulan November, Republik yang baru diakui itu diguncang
berbagai pertikaian politik-militer. Sebut saja persoalan di bulan Januari 1950.
Kapten Weaterling menyerbu Bandung; serbuan APRA ini banyak memakan korban
tentara Siliwangi. Persoalan di bulan April 1950 (Kapten Andi Azis beserta para
serdadu ex-KNIL di Ujung Pandang); Diproklamasikannya Republik Maluku
Selatan oleh Dr. Soumokil, dan beberapa peristiwa lainnya yang mengancam
keutuhan dan keselamatan republik yang baru lahir, yang semuanya hampir
diselesaikan dengan cara kekerasan yang meminta korban kedua belah pihak.
Kehidupan negara dan masyarakat pada tahun 1950-an ditandai oleh suasana goyah
yang berlarut-larut, sebagai konsekuensi dari susunan politik yang didasarkan pada
partai-partai politik yang belum mampi mengembangkan wawasan tugas dan
tanggung jawabnya lebih luas dari pada hanya membela kepentingan-kepentingan
dan kesetiaan-kesetiaan yang sempit. Ditambah lagi persoalan PEMILU I tahun
1955 yang semakin menjerumuskan keadaan negara dan masyarakat ke puncak
kritis.8 Bagaimana gereja-gereja memahami segala soal dan gejolak yang terjadi di
tengah masyarakat Indonesia seperti yang diungkapkan di atas?
Di tahun 1950-an gereja Kristen terlibat dalam berbagai persoalan
kemasyarakatan bukan hanya di dorong oleh prinsip-prinsip ajaran Kristen, akan
tetapi juga karena secara praktis banyak warga Kristen terlibat secara langsung
dalam pergolakan-pergolakan yang terjadi. Dalam latar-belakang peristiwa
proklamasi RMS oleh Dr. Soumokil di Ambon, Dr. J. Leimena memberi ceramah
8
Th. Sumartana, “Beberapa Persoalan dan Gagasan Tentang “Gereja dan Masyarakat”
Sekitar Tahun-tahun 1950-an”, dalam S. Wismoady Wahono (et.al), Tabah Melangkah – Ulang Tahun
ke-50 STT Jakarta, (Jakarta: Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, 1984), hlm. 235-238.

12
tentang tema “Gereja dan Negara” di depan sidang pembentukan DGI bulan Mei
tahun 1950. Ceramah itu membahas tentang tanggung jawab Kristen terhadap
masyarakat dan negara. Dalam Arena Politik Indonesia yang diwarnai dengan
munculnya PKI sebagai salah satu kekuatan politik yang menentukan di tahun 1950,
beberapa gereja pada tingkat sinode merasa perlu untuk meningkatkan
kewaspadaannya. Beberapa gereja, antara lain Gereja Masehi Injili di Minahasa,
Huria Kristen Batak Protestan dan Gereja Kristen Jawa Sekitar Muria menulis
pernyataan keprihatinan mereka terhadap berkembangnya ajaran komunisme yang
dianggap merupakan ancaman bagi kehidupan gereja. Selain itu, keprihatinan gereja
terhadap memburuknya keadaan sosial-ekonomi telah pula menyebabkan Gereja
Kalimantan Evangelis membuat pernyataan tentang diabaikannya soal keadilan
sosial, selaku keberatan terhadap tidak efisiennya tindakan pemerintah untuk
memberantas korupsi yang merajalela saat itu. Juga Gereja Tionghoa di Jawa Barat
mendesak agar DGI membuat pernyataan tentang gejala-gejala yang timbul di
masyarakat yang hendak mengurangi hak serta kedudukan warga negara bukan asli
(non-pribumi). Sementara itu menjelang dan selama sidang-sidang Konstituante
yang merupakan kristalisasi dari ketegangan selama kampanye Pemilihan Umum,
umat Kristen memusatkan perhatian kepada pemikiran mengenai bentuk dan dasar
negara yang dikehendaki. Dalam hubungan ini maka jasa dari tokoh-tokoh politik
Kristen seperti A. M. Tambunan dan Dr. J. Leimena amat besar dalam usaha mereka
menyumbangkan pokok-pokok gagasan yang dapat dijadikan pegangan bagi umat
Kristen untuk bersikap dalam suasana kemelut dan terobang-ambing masa itu.
Gereja Protestan Maluku pun secara khusus mengeluarkan pernyataan tentang dasar
negara yang dikehendaki oleh umat Kristen sebagai suatu langkah penggembalaan
serta penerangan bagi warga jemaatnya.9
Dari berbagai tanggapan gerejawi terhadap soal-soal kemasyarakatan tersebut di
atas kita saksikan pergulatan mental-spiritual serta intelektual gereja Kristen di
tengah-tengah kehidupan bangsanya. Tuntutan permasalahan tentang gereja dan
masyarakat tahun 50-an mengharuskan gereja untuk merumuskan sikapnya secara
mendasar. Gereja dituntut untuk merumuskan pemahaman serta visinya mengenai
kemelut yang membelit seluruh warga masyarakat, sekalius dituntut pula perannya
untuk turut memberikan sumbangan pemecahan dari segi Kristen terhadap soal-soal
9
Ibid., hlm. 239-240

13
kemasyarakatan tersebut. Proses pergumulan Gereja-Masyarakat semakin hari
semakin mendapat perhatian di tingkat DGI, yang pada akhirnya menyimpulkan
pandangannya tentang partisipasi Kristen dalam masyarakat bahwa gereja harus
turut serta mengambil bagian, bahkan di mana mungkin mengambil inisiatif, dalam
setiap usaha yang dapat membawa ke arah keadilan dan kemajuan yang lebih besar
bagi manusia dalam masyarakat.
2. Persoalan Gereja dan Masyarakat di masa kini
Persoalan gereja dan masyarakat tidak hanya dijumpai di tahun 50-an, akan
tetapi pada masa kini pun sekelumit persoalan menuntut tanggapan kritis dari gereja.
Konteks 50-an memang berbeda jauh dengan kondisi saat ini. Akan tetapi tanggung
jawab gereja tetap sama, yaitu menghadirkan diri di tengah dunia penuh dengan
permasalahan.
Bila masalah gereja pada sekitar tahun 50-an berkisar pada kedaulatan negara
Indonesia dan persoalan politik-militer yang terjadi di Indonesia, maka masa kini
gereja diperhadapkan dengan berbagai masalah sosial ekonomi, keagamaan, politik,
bencana alam, kemajemukan agama dan berbagai persoalan lainnya. Tanggapan
gereja dan keterlibatannya dalam persoalan-persoalan bangsa dan negara akan
menentukan kedewasaan gereja itu sendiri. Oleh sebab itu gereja tidak harus
berdiam dan acuh tak acuh terhadap berbagai persoalan yang ada.
Ketika munculnya persoalan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri, gereja benar-benar harus mengambil bagian dan memberikan
tanggapannya terhadap masalah tersebut. Peraturan bersama itu sendiri dirasakan
sangat merugikan umat beragama sebab kebebasan dalam memeluk agama semakin
dikekang. Oleh sebab itu PGI menyampaikan tanggapannya kepada Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri RI melalui suratnya dengan No.097/PGI-XIV/2006 pada
tanggal 20 Februari 2006. Dalam surat itu, PGI menegaskan prinsipnya bahwa PGI
tidak dapat menerima rancangan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri sebab pada dasarnya Peraturan tersebut tidak mencerminkan idiologi
Pancasila, yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945. Tanggapan dan keberatan
yang disampaikan oleh PGI menunjukkan bahwa persoalan bangsa dan negara tak
dapat tidak adalah juga tanggung jawab gereja. Keterlibatan gereja seperti inilah

14
yang akan membuat gereja mampu menghadirkan dirinya di tengah-tengah dunia
yang penuh dengan berbagai persoalan.

GEREJA YANG MENGGEREJA DI TENGAH DUNIA YANG


BERGEJOLAK BERDASARKAN KISAH PARA RASUL

Bagaimana menghadirkan diri sebagai gereja yang menggereja adalah


pergumulan kita sebagai orang percaya. Itulah letak pentingnya Pendidikan Agama
Kristen di Perguruan Tinggi. Pendidikan Agama Kristen harus dilihat sebagai proses
mendidik orang percaya untuk mampu menjadi gereja yang turut memberikan suara
kenabiannya dalam berbagai permasalahan di seputar gereja dan masyarakat.
Permasalahan dan pergolakan dunia dewasa ini adalah masalah gereja juga. Di
lain pihak untuk meresponi permasalahan di sekitar kita, gereja juga mempunyai
permasalahan di dalam dirinya sendiri. Lalu bagaimana kita (sebagai gereja) harus
melangkah? Saya berpendapat bahwa hanya pelajaran dari jemaat perdanalah (menurut

15
Kisah Para Rasul) yang dapat membuat kita sedikit banyak memahami dan menanggapi
permasalahan dari dalam dan luar gereja. Kisah Para Rasul telah menampilkan suatu
fakta tentang apa saja permasalahan gereja dan bagaimana menanganinya. Inilah dasar
kita menghadirkan diri sebagai gereja di tengah dunia yang bergejolak.
Hal pertama yang harus dipahami ialah bahwa gereja hadir di dunia bukan untuk
dirinya sendiri. Gereja ada dan eksis karena ia dihadirkan oleh Tuhan untuk
melaksanakan misi Allah. Dengan begitu gereja ada untuk dunia supaya dunia percaya
dan tidak binasa (Yoh. 3:16). Untuk mewujudnyatakan misi Allah itu, gereja ditugaskan
untuk bersekutu, bersaksi dan melayani. Misi gereja itu harus dinyatakan dalam suatu
konteks tertentu. Misalnya gereja di Yerusalem tumbuh dan berkembang dalam konteks
budaya yang ada saat itu. Apa yang berkembang di Yerusalem itu berbeda dengan apa
yang berkembang di Antiokhia. Akan tetapi perbedaan itu mempunyai satu tujuan yaitu
melaksanakan misi Allah melalui persekutuan, kesaksian dan pelayanan. Hal seperti itu
berlaku juga bagi gereja-gereja di Indonesia. Gereja-gereja di Indonesia ini lahir dan
bertumbuh pula dalam suatu wilayah yang terdiri atas ribuan pulau dengan budaya,
bahasa dan adat istiadat, kepercayaan yang berbeda-beda. Dengan demikian gereja-
gereja di Indonesia mempunyai sifat-sifatnya yang khas, tetapi kekhasan tiap-tiap gereja
seharusnya mendorongnya untuk melaksanakan tugas dan penggilannya.
Tugas menggereja haruslah diwujudkan di tengah dunia. Gereja berkewajiban
untuk melihat segala permasalahan yang terjadi di dunia sebab pelayanan gereja bukan
untuk diri sendiri, kalangan sendiri, tetapi untuk dunia. Semua pelayanan yang
dilakukan oleh gereja mempunyai patokan dari pelayanan Kristus.10 Kita melayani
Kristus dan hadir sebagai gereja melalui pelayanan kita kepada sesama (dunia dan
semua persoalannya). Oleh karena Kritus telah lebih dulu melayani kita, maka kita juga
harus melayani sesama kita dan turut ambil bagian dalam memecahkan berbagai
persoalan kemasyarakatan.

10
Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2000), hlm. 416.

16
PENUTUP

Gereja berada di dalam dunia. Gereja diutus oleh Tuhannya ke dalam dunia itu.
Tuhan tidak mengutus gereja ke wilayah yang “asing”. Sebab Tuhan itu adalah Tuhan
dari dunia. Dia bekerja dari dunia. Dia bekerja dalam dunia itu. Tugas gereja di semua
tempat dan pada semua jaman tidak berubah. Tugas gereja ialah untuk hidup sebagai
gereja yang taat kepada Tuhan yang tidak berubah, “baik kemarin, baik hari ini dan
selama-lamanya” (Ibr 13:8). Namun tugas yang tidak berubah itu setiap kali dan pada
tiap tempat harus dipahami secara baru di tengah-tengah dunia yang senantiasa berubah.
Dunia tidak hanya berarti bumi dan alam semesta atau kosmos saja. Dunia juga
mencakup umat manusia dengan daya-upayanya untuk “memenuhi bumi serta
menaklukkannya” (Kej 1:28). Itu berarti umat manusia dengan kebudayaannya, dengan

17
hidup politik, sosial dan ekonominya, dengan sejarahnya, dengan idiologi-idiologi dan
agama-agamanya,dengan ilmu dan teknologinya, dengan harapan-harapan dan
kekhawatiran-kekhawatirannya. Gereja tidak dapat memisahkan diri dari dunia. Di
dalam dunia ini dengan harapan-harapan dan kekecewaan-kekecewaannya, gereja
terpanggil untuk mendemonstrasikan dan mengkomunikasikan “apa kehendak Allah,
yaitu hal yang baik dan yang berkenan dan yang sempurna” (Roma 12:2).

DAFTAR PUSTAKA

1. Brink, Ds. H. V., Tafsiran Alkitab Kitab Kisah Para Rasul, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
2. Darmaputera, E., Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000.
3. Jacobs, T., Gereja Menurut PB, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
4. Kiswara, C., Gereja Memasyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
5. Sumartana, Th., “Beberapa Persoalan dan Gagasan Tentang “Gereja dan
Masyarakat” Sekitar Tahun-tahun 1950-an”, dalam S. Wismoady Wahono

18
(et.al), Tabah Melangkah – Ulang Tahun ke-50 STT Jakarta, Jakarta: Sekolah
Tinggi Theologia Jakarta, 1984.

Referensi :
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/ OMF, 1992.

19

Anda mungkin juga menyukai