Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KOMPETENSI PROFESI APOTEKER DI


PUSKESMAS

Disusun Oleh:

Dedy Achmad Farhan


20194040020

PKPA Puskesmas Pandak ( 27 April-12 Mei 2020)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2020
PUSKESMAS
Pusat Kesehatan Masyarakat atau sering disebut dengan Puskesmas
merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan upaya promotif  dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya.
A. Tujaan Puskesmas
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di puskesmas
bertujuan untuk  mewujudkan masyarakat yang:
1. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat.
2. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu.
3. Hidup dalam lingkungan sehat.
4. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
B. Tugas dan Fungsi Puskesmas
Puskesmas dalam menjalankan pelayanan kesehatannya,
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dan dalam menjalankan
tugasnya puskesmas juga harus menyelenggarakan fungsinya dalam
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama di wilayah
kerjanya dan Upaya kesehatan perseorangan (UKP) tingkat pertama di
wilayah kerjanya, seperti:
1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan.
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan.
3. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan.
4. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat
perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain
terkait.
5. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan
upaya kesehatan berbasis masyarakat.
6. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia
puskesmas.

Puskesmas dapat berfungsi sebagai wahana pendidikan tenaga


kesehatan. Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b, yakni dalam  penyelenggaraan UKP tingkat
pertama di wilayah kerjanya Puskesmas berwenang untuk:

1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara


komprehensif, berkesinambungan dan bermutu.
2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan
upaya  promotif dan preventif.
3. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
4. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan
keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung.
5. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif
dan kerja sama inter dan antar profesi.
6. Melaksanakan rekam medis.
7. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu
dan akses Pelayanan Kesehatan.
8. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga Kesehatan.
9. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya.
10. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan
sistem rujukan.
C. Ruang Lingkup Wilayah Kerja
Dalam satu kecamatan harus memiliki minimal satu puskesmas,
tetapi dapat lebih. Hal ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan
kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk  dan aksesibilitas. Pendirian
puskesmaspun harus memenuhi persyaratan seperti:
1. Lokasi dan prasarana: letak geografis, aksesibilitas untuk jalur
transportasi, kontur  tanah, fasilitas parkir, fasilitas keamanan,
ketersediaan utilitas publik,  pengelolaan kesehatan lingkungan,
dan kondisi lainnya.
2. Bangunan: persyaratan administratif, persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja, serta persyaratan teknis bangunan sesuai dengan
ketentuan  peraturan perundang-undangan, bersifat permanen,
terpisah dengan  bangunan lain dan menyediakan fungsi,
keamanan, kenyamanan,  perlindungan keselamatan dan kesehatan
serta kemudahan dalam memberi pelayanan bagi semua orang
termasuk yang berkebutuhan khusus, anak-anak dan lanjut usia.
3. Peralatan kesehatan: sistem udara (ventilasi), sistem pencahayaan,
sistem sanitasi, sistem kelistrikan, sistem komunikasi, sistem gas
medik, sistem proteksi petir, sistem proteksi kebakaran, sistem
pengendalian kebisingan, sistem transportasi vertikal untuk
bangunan lebih dari satu lantai, kendaraan puskesmas keliling dan
kendaraan ambulans.
4. Kefarmasian: pelayanan kefarmasian di puskesmas harus
dilaksanakan oleh tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi
dan kewenangan untuk  melakukan pekerjaan kefarmasian,
Pelayanan kefarmasian di puskesmas sebagaimana dimaksud pada
ayat satu dilaksanakan sesuai ketentuan  peraturan perundang-
undangan.
5. Ketenagaan (tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan) : tenaga
kesehatan di puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar
profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, etika
profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan
dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan dan
kesehatan dirinya dalam bekerja. setiap tenaga kesehatan yang
bekerja di puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Laboratorium
D. Perizinan dan Registrasi
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 75 tahun 2014 tentang pusat kesehatan masyarakat disebutkan
dalam bab 5 tentang perizinan dan registrasi bagian satu pasal 26 ayat
satu bahwa setiap puskesmas wajib memiliki izin untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dan dengan jangka waktu perizinan 5 tahun. Izin tersebut
dilakukan dengan mengajukan  permohonan perpanjangan selambat-
lambatnya enam bulan sebelum habis masa  berlakunya izin.
Untuk memperoleh izin tersebut kepala dinas kesehatan
Kabupaten/Kota mengajukan permohonan tertulis kepada
Bupati/walikota melalui satuan kerja pada  pemerintah daerah
kabupaten/kota yang menyelenggarakan perizinan terpadu dengan
melampirkan beberapa dokumen fotokopi sertifikat tanah atau bukti
lain kepemilikan tanah yang sah, fotokopi Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), dokumen pengelolaan lingkungan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan, surat keputusan  pemerintah dari
bupati/walikota terkait katagori puskesmas, profil puskesmas, dan
peraturan daerah setempat. Bila persyaratan dokumen-dokumen belum
lengkap maka harus mengajukan permohonan ulang kepada pemberi
i9in. Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah bukti
penerimaan berkas diterbitkan, pemberi izin harus menetapkan untuk
memberikan atau menolak permohonan izin. Apabila permohonan izin
ditolak, pemberi izin harus memberikan alasan penolakan yang
disampaikan secara tertulis kepada pemohon pasal (27).
Dalam pasal 28 menyatakan bahwa setiap puskesmas yang telah
memiliki izin wajib melakukan registrasi ke dinkes provisinsi.
registrasi diajukan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota kepada
menteri setelah memperoleh rekomendasi dari dinas kesehatan
provinsi dan jangka waktu paling lambat enam bulan setelah ijin
puskesmas ditetapkan. Kemudian dinas kesehatan provinsi melakukan
verifikasi dan  penilaian kelayakan puskesmas dalam jangka waktu
paling lambat tempat belas hari kerja setelah surat permohonan
rekomendasi registrasi puskesmas diterima (pasal 29).
Menteri yang menerima dari dinkes provinsi slanjutnya
menetapkan nomor regristrasi  puskesmas. Puskesmas dapat
ditingkatkan menjadi rumah sakit milik pemerintah daerah apabila
pemerintah daerah wajib mendirikan Puskesmas baru sebagai
pengganti di wilayah tersebut yang dilakuakan dengan ketentuan
dalam peraturan menteri (pasal 31).
Puskesmas dipimpin oleh seorang kepala puskesmas adalah
seorang tenaga kesehatan dengan kriteria tingkat pendidikan paling
rendah sarjana dan memiliki kompetensi manajemen kesehatan
masyarakat, mengabdi di puskesmas minimal 2 tahun, dan telah
mengikuti pelatihan manajemen puskesmas. Kepala puskesmas
mempunyai tanggung jawab sepenuhnya pada seluruh kegitan di
puskesma. Jika ada  puskemas berdiri di daerah rerpencil dan tidak
ada tenaga kesehatan yang memadai maka dikepalai minimal gelar
diploma ( pasal 33). Adapun susunan truktur organisasi di puskesmas
yaitu
1. Kepala Puskesmas  
2. Kepala sub bagian tata usaha
3. Penanggung jawab UKM dan keperawatan kesehatan masyarakat
4. Penanggung jawab UKP, kefarmasian dan laboratorium
5. Penanggung jawab jaringan pelayanan puskesmas dan jejaring
fasilitas pelayanan kesehatan (pasal 34).
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, puskesmas wajib
diakreditasi secara  berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali yang
telah ditetapkan oleh menteri dan dilakukan oleh lembaga independen
penyelenggara akreditasi (pasal 39). Dalam rangka meningkatkan
aksesibilitas pelayanan, puskesmas didukung oleh jaringan pelayanan
puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dan bidan desa. Sedangkan
jejaring pelayanannya adalah klinik, rumah sakit, apotek,
laboratorium, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya (pasal 40).
Puskesmas dalam menyelenggarakan upaya kesehatan dapat
melaksanakan rujukan dan dilaksanakan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuanperaturan perundang-undangan (pasal 41).

PELAYANAN FARMASI DI PUSKESMAS


Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang
berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi
Masyarakat. Pelayanan kefarmasian dilakukan oleh apoteker dan
tenaga teknis 2 kefarmasian dengan apoteker sebagai penanggung
jawabnya. Peran apoteker sebagai profesi yang bertanggung jawab
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, menjadi suatu
pembelajaran bagi calon apoteker agar dapat bersikap profesional
dalam menjalankan pekerjaannya.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Meteri Kesehatan RI
Nomor.74 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis
habis pakai serta pelayanan farmasi klinis.
A. Pengolaan sediaan farmasi dan bahan Medis habis pakai (BMHP)
meliputi:
Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah
satu kegiatan  pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan,
permintaan, penerimaan,  penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta  pemantauan dan
evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan
ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan medis habis pakai
yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan
kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem
informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu
pelayanan. Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis habis Pakai
meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.
Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai
merupakan  proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis
pakai untuk menentukan  jenis dan jumlah obat dalam rangka
pemenuhan kebutuhan puskesmas. Tujuan  perencanaan adalah
untuk mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah obat bahan medis
habis pakai yang mendekati kebutuhan, meningkatkan penggunaan
obat secara rasional, dan meningkatkan efisiensi penggunaan obat.
Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di
puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di
puskesmas. Kepala ruang farmasi di puskesmas mempunyai tugas
dan tanggung jawab untuk menjamin terlaksananya pengelolaan
obat dan bahan medis habis pakai yang baik. Proses seleksi obat
dan bahan medis habis pakai dilakukan dengan mempertimbangkan
pola penyakit, pola konsumsi obat periode sebelumnya, data mutasi
obat, dan rencana pengembangan. Proses seleksi obat dan bahan
medis habis pakai juga harus mengacu pada Daftar Obat Esensial
(DOEN) dan formularium nasional. Proses seleksi ini harus
melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti dokter,
dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang
berkaitan dengan pengobatan. Proses perencanaan kebutuhan obat
per tahun dilakukan secara berjenjang (bottom-up).
Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat
dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO). Selanjutnya instalasi farmasi Kabupaten/Kota akan
melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan Obat
puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada anggaran yang
tersedia dan memperhitungkan waktu kekosongan Obat, buffer   
stock , serta menghindari stok berlebih.
2. Permintaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Permintaan obat dan bahan medis habis pakai memiliki
tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai untuk
memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di
Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah
dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan  pemerintah daerah setempat.
3. Penerimaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai Penerimaan
Obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan
dalam menerima dari instalasi farmasi Kabupaten/Kota sesuai
dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar
obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. semua petugas yang
terlibat dalam kegiatan  pengelolaan bertanggung jawab atas
ketertiban penyimpanan, pemindahan,  pemeliharaan dan
penggunaan obat dan bahan medis habis pakai berikut kelengkapan
catatan yang menyertainya. Petugas penerimaan wajib melakukan
pengecekan terhadap apa yang diserahkan, mencakup jumlah
kemasan/peti, jenis dan jumlah obat, bentuk obat sesuai dengan isi
dokumen (LPOLPO), ditandatangani oleh petugas penerima, dan
diketahui oleh kepala puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat,
maka petugas  penerima dapat mengajukan keberatan. Masa
kedaluwarsa minimal dari obat yang diterima disesuaikan dengan
periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.
4. Penyimpanan obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Penyimpanan obat dan bahan medis habis Pakai merupakan
suatu kegiatan  pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman
(tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan
mutunya tetap terjamin, sesuai dengan  persyaratan yang
ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di
puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan. Penyimpanan dengan mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut:
a) Bentuk dan jenis sediaan
b) Stabilitas suhu, cahaya, kelembapan
c) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar 
d) Narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.
5. Pendistribusian obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan
kegiatan  pengeluaran dan penyerahan secara merata dan teratur
untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi puskesmas dan
jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan obat
sub unit  pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
dengan jenis, mutu,  jumlah dan waktu yang tepat.
sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya antara lain:
a) Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas
b) Puskesmas Pembantu
c) Puskesmas Keliling
d) Posyandu
e) Polindes.
Pendistribusian ke sub unit ruang rawat inap, IGD, dan lain-
lain8 dilakukan dengan cara pemberian obat sesuai resep yang
diterima (floor    stock), pemberian obat per sekali minum
(dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan pendistribusian
ke jaringan puskesmas dilakukan dengan cara penyerahan obat
sesuai dengan kebutuhan (floor stock).
6. Pengendalian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu
kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan
sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga
tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit
pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi
kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Pengendalian obat terdiri dari:
a) Pengendalian persediaan
b) Pengendalian penggunaan
c) Penanganan obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
7. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan
Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian
kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis
pakai secara tertib,  baik obat dan bahan medis habis pakai yang
diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di puskesmas
atau unit pelayanan lainnya. Tujuan pencatatan,  pelaporan dan
pengarsipan meliputi bukti bahwa pengelolaan obat dan bahan
medis habis pakai telah dilakukan, sumber data untuk melakukan
pengaturan dan pengendalian dan sumber data untuk pembuatan
laporan.
8. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Obat dan Bahan Medis
Habis Pakai
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat bahan medis habis
pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk
mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat
menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan, memperbaiki
secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan medis habis
pakai dan memberikan penilaian terhadap capaian kinerja
pengelolaan.
B. Pelayanan Farmasi Klinik 
Pelayanan farnasi Klinik adalah Pelayanan yang diberikan
langsung dan  bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan obat dan bahan medis habis  pakai dengan tujuan agar
tercapaianya hasil yang di inginkan untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pelayanan resep, Penyerahan obat dan Pemberian informasi
obat
Kegiatan ini dimulai dari seleksi dalam pemeriksaan
kelengkapan administratif, pmeriksaan kesesuaian farmasetik,
pertimbangan klinik baik untuk   pasien rawat jalan maupun rawat
inap. Kegiatan penyerahan resep (dispensing) dan pelayanan
informasi obat adalah kegiatan dimana sebelum obat diserahkan
kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
penulisan nama  pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis
dan jumlah obat. Sebaiknya  penyerahan obat diberikan kepada
pasien hendaknya dilakukan dengan cara yang sopan dan baik,
mengingat kondisi pasien yang kurang sehat dan kemungkinan
emosional pasien yang kurang stabil serta memastikan yang
menerima obat adalah  pasien atau keluarganya, dan memberikan
informasi cara penggunaan obat dan hal lain yang terkait dengan
obat tersebut.  
2. Pelayanan Informasi Obat
Kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan
obat harus  benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, etis, bijaksana
dan terkini kepada dokter,  perawat, dan profesi tenaga kesehatan
lainnya dan pasien terkait upaya  penggunaan obat yang rasional.
Informasi obat yang diperlukan pasien adalah:
a) Waktu penggunaan obat, misalnya berapa kali obat
digunakan dalam sehari, apakah di waktu pagi, siang, sore,
atau malam. Dalam hal ini termasuk  apakah obat diminum
sebelum atau sesudah makan.
b) Lama penggunaan obat, apakah selama keluhan masih ada
atau harus dihabiskan meskipun sudah terasa sembuh. obat
antibiotika harus dihabiskan untuk mencegah timbulnya
resistensi.
c) Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan
keberhasilan pengobatan. oleh karena itu pasien harus
mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang
benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat
oral obat tetes mata, salep mata, obat tetes hidung, obat
semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim/salep
rektal dan tablet vagina.
d) Efek yang akan timbul dari penggunaan obat yang akan
dirasakan, misalnya  berkeringat, mengantuk, kurang
waspada, tinja berubah warna, air kencing  berubah warna
dan sebagainya.
e) Hal-hal lain yang mungkin timbul, misalnya efek samping
obat, interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu,
dan kontraindikasi obat tertentu dengan diet rendah kalori,
kehamilan, dan menyusui.
3. Cara penyimpanan obat
Penyimpanan obat secara umum adalah:
a) Ikuti petunjuk penyimpanan pada label/kemasan
b) Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup
rapat.
c) Simpan obat pada suhu kamar dan hindari sinar matahari
langsung.
d) Jangan menyimpan obat di tempat panas atau lembab.
e) Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin
agar tidak beku, kecuali jika tertulis pada etiket obat.
f) Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
g) Jangan meninggalkan obat di dalam mobil untuk jangka
waktu lama.
h) Jauhkan obat dari jangkauan anak-anak.
4. Konseling
Konseling adalah kegiatan dimana proses sistematiknya
untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang
berkaitan dengan pengambilan dan  penggunaan obat pasien rawat
jalan dan pasien rawat inap. Tujuan dari konseling adalah untuk
memberikan pemahaman yang benar  mengenai obat kepada
pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan
pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama
penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan obat dan  penggunaan obat-obat lain.
Adapun kegiatan konseling meliputi:
a) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
b) Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan
oleh dokter  kepada pasien (three prime questions) dengan
metode open-ended question.
c) Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan
obat.
d) Final verification: mengecek pemahaman pasien,
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan cara penggunaan obat, untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a) Kriteria pasien
 Pasien rujukan dokter
 Pasien dengan penyakit kronis.
 Pasien dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan
poli farmasi.
 Pasien geriatrik.
 Pasien pediatrik.
 Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.  
b) Sarana dan prasarana:
 Ruangan khusus.
 Kartu pasien/catatan konseling.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki
kemungkinan mendapat risiko masalah terkait obat misalnya
komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat,
kompleksitas pengobatan, kompleksitas  penggunaan obat,
kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan
tentang bagaimana menggunakan obat danatau alat kesehatan
perlu dilakukan  pelayanan kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi
obat.
5. Ronde/Visite
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan
lainnya terdiri dari dokter,  perawat, ahli gizi, dan lain-lain. Yang
bertujuan untuk:
a) Memeriksa obat pasien.  
b) Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan
obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis
pasien.
c) Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan
penggunaan obat.
d) Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi
kesehatan dalam terapi pasien.
Kegiatan visite mandiri dilakukan pada kriteria dan
pelaksaaannya sebagai berikut:
a) Pasien baru
 Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan
dari kunjungan.
 Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan
farmasi dan jadwal  pemberian obat.
 Menanyakan obat yang sedang digunakan atau dibawa
dari rumah mencatat jenisnya dan melihat instruksi
dokter pada catatan  pengobatan pasien.
 Mengkaji terapi obat lama dan baru untuk
memperkirakan masalah terkait obat yang mungkin
terjadi
.
b) Untuk pasien lama dengan instruksi baru:

 Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan obat baru.


 Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah
pemberian obat.
c) Untuk semua pasien
 Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.
 Membuat catatan mengenai permasalahan dan
penyelesaian masalah dalam satu buku yang akan
digunakan dalam setiap kunjungan.
Kegiatan visite juga dilakukan bersma dengan tim
(kolaborasi antar tenaga kesehatan) yang bertujuan untuk:
a) Melakukan persiapan yang dibutuhkan seperti memeriksa
catatan pegobatan  pasien dan menyiapkan pustaka
penunjang.
b) Mengamati dan mencatat komunikasi dokter dengan pasien
dan/atau keluarga pasien terutama tentang obat.
c) Menjawab pertanyaan dokter tentang obat.
d) Mencatat semua instruksi atau perubahan instruksi
pengobatan, seperti obat yang dihentikan, obat baru,
perubahan dosis dan lain-lain.
6. Pemantauan dan Pelaporan efek samping obat
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap
obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada
dosis normal yang digunakan  pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi
fisiologis.
Dengan tujuan untuk:
a) Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama
yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang.  
b) Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang
sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Untuk Kegiatan yang dilakukan seperti:
a) Menganalisis laporan efek samping obat.
b) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko
tinggi mengalami efek samping obat.
c) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
d) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping obat
Nasional.
7. Tata Cara Perijinan
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 889/Permenkes/Per/V/2022 tentang registrasi,
izin Praktek, izin Kerja tenaga Kefarmasian, disebutkan dalam
BAB III tentang izin praktek dan izin kerja bagian satu  pasal 17
ayat 1 bahwa setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan
pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat
tenaga kefarmasian bekerja. Dan sebagaimana dimaksud surat
izin disini terdapat pada pasal 17 ayat 2 dan Apoteker  melakukan
pekerjaan kefarmasian di fasilitasi kesehatan seperti puskesmas.
Apoteker  harus memiliki dan mengurus SIPA (Surat Ijin Praktek
Apoteker). Tata cara mengurus SIPA diatur pada pasal 21 yaitu:
a) Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Kesehatan KabupatenK/ota tempat pekerjaan kefarmasian
dilakukan.
b) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan
 Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN  
 Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau
surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan
kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau
distribusi/penyaluran
 Surat rekomendasi dari organisasi profesi
 Pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak dua lembar dan
3x4 sebanyak dua lembar.
c) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker
pendamping harus dinyatakan secara tegas permintaan
SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian  pertama, kedua,
atau ketiga.
d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan
SIPA atau SIKA  paling lama dua puluh hari kerja sejak surat
permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam formulir 7
atau formulir 8 terlampir.
9. Tugas Dan Fungsi Apoteker di Puskesmas
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan
oleh seorang Apoteker  agar bisa melaksanakan tugas dan fungsi
Apoteker di Puskesmas, dimana seorang apoteker harus bisa
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam
meningkatkan kompetensinya.
Kompetensi Apoteker :
a) Sebagai Penanggung jawab
 Mempunyai kemampuan untuk memimpin
 Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengelola
dan mengembangkan Pelayanan Kefarmasian
 Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri
 Mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak
lain
 Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi,
mencegah, menganalisis dan memecahkan masalah.  
b) Sebagai tenaga fungsional
 Mampu memberikan pelayanan kefarmasian
 Mampu melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian
 Mampu mengelola manajemen praktis farmasi
 Mampu berkomunikasi tentang kefarmasian
 Mampu melaksanakan pendidikan dan pelatihan
 Mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan.
Pimpinan dan tenaga kefarmasian di ruang farmasi
Puskesmas berupaya  berkomunikasi efektif dengan semua pihak
dalam rangka optimalisasi dan  pengembangan fungsi ruang
farmasi Puskesmas. Untuk menunjang pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi seperti:
a) Ruang penerimaan resep
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan
resep, satu set meja dan kursi, serta satu set komputer, jika
memungkinkan. Ruang  penerimaan resep ditempatkan pada
bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
b) Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan
secara terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi
sediaan secara terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan
dan meja peracikan. Di ruang  peracikan disediakan peralatan
peracikan, timbangan obat, air minum (air  mineral) untuk
pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari
pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket
dan label obat,  buku catatan pelayanan resep, buku-buku
referensi/standar sesuai kebutuhan, serta alat tulis
secukupnya. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan
sirkulasi udara yang cukup. Jika memungkinkan disediakan
pendingin ruangan (air conditioner) sesuai kebutuhan.
c) Ruang penyerahan obat
Ruang penyerahan obat meliputi konter penyerahan
obat, buku  pencatatan penyerahan dan pengeluaran obat.
ruang penyerahan obat dapat digabungkan dengan ruang
penerimaan resep.
d) Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi
konseling, lemari buku,  buku-buku referensi sesuai
kebutuhan, leaflet , poster, alat bantu konseling, buku catatan
konseling, formulir jadwal konsumsi obat (lampiran),
formulir catatan  pengobatan pasien (lampiran), dan lemari
arsip (filling cabinet), serta satu set komputer, jika
memungkinkan.
e) Ruang penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi
sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk
menjamin mutu produk dan keamanan  petugas. selain itu
juga memungkinkan masuknya cahaya yang cukup. 3uang
penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan rak/lemari
obat, pallet,  pendingin ruangan (AC), lemari pendingin,
lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika,
lemari penyimpanan obat khusus, pengukur suhu, dan kartu
suhu.
f) Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen
yang berkaitan dengan pengelolaan obat dan bahan medis
habis pakai dan pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu
tertentu. Ruang arsip memerlukan ruangan khusus yang
memadai dan aman untuk memelihara dan menyimpan
dokumen dalam rangka untuk menjamin penyimpanan sesuai
hukum, aturan, persyaratan, dan teknik manajemen yang
baik. istilah “ruang” di sini tidak harus diartikan sebagai
wujud “ruangan” secara fisik, namun lebih kepada fungsi
yang dilakukan. bila memungkinkan, setiap fungsi tersebut
disediakan ruangan secara tersendiri. jika tidak, maka dapat
digabungkan lebih dari satu fungsi, namun harus terdapat
pemisahan yang jelas antar fungsi.
10. Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan
kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah terkait obat atau
mencegah terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan
pengobatan/medikasi (medication error ), yang bertujuan untuk
keselamatan  pasien (patient safety). Pengendalian mutu
Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan  program
pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang
dilaksanakan secara  berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian
meliputi:
a) Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara
monitoring dan evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai
standar.  
b) Pelaksanaan, yaitu monitoring dan evaluasi capaian
pelaksanaan rencana kerja (membandingkan antara capaian
dengan rencana kerja) memberikan umpan balik terhadap
hasil capaian.
Tindakan hasil monitoring dan evaluasi berupa:
a) Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar 
b) Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah
memuaskan.
11. Monitoring dan valuasi
Sebagai tindak lanjut terhadap pelayanan kefarmasian di
Puskesmas perlu dilakukanmonitoring dan evaluasi kegiatan
secara berkala. Monitoring merupakan kegiatan pemantauan
terhadap pelayanan kefarmasian dan evaluasi merupakan proses
penilaiankinerja pelayanan kefarmasian itu sendiri.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan memantau
seluruh kegiatan  pelayanan kefarmasian mulai dari pelayanan
resep sampai kepada pelayanan informasi obat kepadapasien
sehingga diperoleh gambaran mutu pelayanan kefarmasian
sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian di Puskesmas
selanjutnya.
hal-hal yang perlu dimonitor dan dievaluasi dalam
pelayanan kefarmasian di Puskesmas, antara lain :
a) Sumber daya manusia (SDM)
b) Pengelolaan sediaan farmasi (perencanaan, dasar
perencanaan,  pengadaan,penerimaan dan distribusi)
c) Pelayanan farmasi klinik (pemeriksaan kelengkapan resep,
skrining resep,penyiapan sediaan, pengecekan hasil peracikan
dan penyerahan obat yangdisertai informasinya serta
pemantauan pemakaian obat bagi penderita  penyakittertentu
seperti: Malaria dan Diare)
d) Mutu pelayanan (tingkat kepuasan konsumen).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,


Menkes: Jakarta.

Anonim. 2019. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.


Jakarta: Kemenkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan republik


Indonesia Nomoir 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai