Anda di halaman 1dari 15

USULAN PENELITIAN

PENGARUH PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP


GANGGUAN SIKLUS MENSTRUASI WANITA USIA SUBUR DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKUNASE, KOTA KUPANG TAHUN
2020

OLEH
Nadya A. Masan
Katarina Dasion
Shafira A. Ramadhani
Sarah Venni C. Kirana
Reza Putri R. Ruzda
Ni Kadek I. M. Putri
Fatma M. Djawas
Elfrida Bete
Juliana Ledoh
Hanyta P. M. Bifel
Daniel Nara Bombo

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
1. Korupsi di jaman Soekarno

Sejak negara Indonesia merdeka, sekitar tahun 1945-1950-an, belum dikenal


istilah korupsi. Pada masa itu, pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia
disibukkan dengan gejolak perang dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Sehingga
penyelewengan kekuasaan dan kewenangan yang dilakukan oleh pejabat dan aparatur
negara belum terlalu diperhatikan. Korupsi kian nampak pasca Indonesia keluar dari
krisis keamanan. Pada tahun 1950- an Presiden Soekarno mulai melakukan konsolidasi
politik. Seiring munculnya bentuk kekuasaan politik, penyalahgunaan kekuasaan pun
mulai menampakkan dirinya

Presiden Soekarno cukup memberikan perhatian terhadap isu pemberantasan


korupsi ini. Walaupun isu ini dikalahkan oleh isu-isu seputar perjuangan awal
kemerdekaan, perjuangan revolusi, dan gagasan demokrasi terpimpin. Hal
pemberantasan korupsi memang bukan isu yang prioritas. Tetapi, Soekarno tidak
mengabaikannya. Komitmen politik antikorupsi Presiden Soekarno terlihat dari
beberapa pidato yang dilontarkan Soekarno dan kebijakan-kebijakan yang diambil.
Soekarno menganggap korupsi sebagai salah satu penghalang tercapainya tujuan- tujuan
revolusi

Pada dekade 1950-an, Indonesia dihadapkan pada sejumlah permasalahan khas


negara baru. Setelah lepas dari kekalutan perang selama 1945-1949, pemerintah
diadang masalah prasarana fisik yang hancur dan perekonomian yang buruk, serta
diperparah oleh kondisi politik yang tak stabil. Sehari-hari masyarakat kota waswas oleh
inflasi, sementara di desa-desa produksi pertanian macet. Tidak seperti sekarang, di
zaman susah itu status pegawai negeri tak menjamin kemakmuran. Gaji mereka rendah
dan sekali ada kenaikan harga mereka bisa kapiran. Keadaan inilah yang menjadi pangkal
merebaknya inefisiensi, salah urus, dan korupsi di kalangan pegawai pemerintahan,
termasuk tentara dan kalangan partai. Dari kalangan militer, Jenderal Abdul Haris
Nasution adalah salah seorang yang jengah dengan kondisi ini. Ia memandang aparatur
negara yang tertib dan bersih adalah syarat mutlak terbentuknya pemerintahan yang
berwibawa. Ia mendapati bahwa sebagian alasan munculnya pemberontakan di daerah
adalah ketidakpuasan atas korupnya aparat-aparat di pusat.

“Apapun program pemerintah, hasilnya akan amat ditentukan oleh pelaksana.


Kami sadar bahwa ‘salah urus’ telah berjangkit lama dalam aparatur, baik karena kurang
jujur maupun karena kurang ahli," kata Nasution dalam memoarnya Memenuhi
Panggilan Tugas jilid 5 (1985, hlm. 257).

Pihak lain yang juga terang-terangan mengecam perilaku korup aparat negara
dan militer adalah PKI. Hanya saja, kecaman mereka lebih bersifat politis untuk
memojokkan lawan politiknya yang duduk dalam pemerintahan dan militer. PKI merasa
bakal aman karena saat itu anggotanya tidak ada yang masuk pemerintahan.

1
Pada April 1957, Nasution mulai melakukan kampanye antikorupsi dan
penertiban aparat negara. Mulanya ia menggalang dukungan dari institusinya sendiri,
Angkatan Darat, lalu membawa isu ini ke kabinet Djuanda. Presiden Sukarno pun
kemudian ikut andil dalam kampanye ini. “Pada tanggal 10 April, Perdana Menteri
Djuanda mengeluarkan sebuah peraturan mengenai pemberantasan korupsi yang telah
disusun oleh Jaksa Agung Suprapto dan Nasution. Menurut peraturan itu, pengadilan
sipil akan menangani kasus korupsi tapi penuntutannya akan berada di tangan orang
militer," tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia (1986, hlm. 229).

Pers dan publik menyambut baik usaha ini. Berbekal Undang-Undang Bahaya
Perang (SOB) dan instruksi Presiden Sukarno, Nasution memulai langkah pertamanya.
Perwira-perwira Angkatan Darat dan pejabat-pejabat negara mulai ditelusuri asal-usul
kekayaannya. Kampanye pertama ini mampu menjaring orang-orang partai yang terlibat
korupsi. Salah satu politikus yang kena ringkus adalah Zainal Arifin, wakil Partai NU di
DPR. Tokoh PSI Sumitro Djojohadikusumo juga sempat diperiksa, namun kasusnya tak
tuntas karena ia kemudian membelot ke Dewan Banteng di Sumatra. Sementara dari
kalangan militer ada Kolonel Pieters, panglima TNI di Maluku yang kena ciduk gara-gara
kasus penyelundupan.

Setelah tahap pertama dinilai cukup berhasil, Nasution percaya diri untuk
melebarkan operasinya ke korps pegawai negeri. Pada Agustus 1958, terbit maklumat
yang mengharuskan semua pegawai jawatan pemerintah melaporkan afiliasi politiknya
kepada Dinas Intelijen TNI. Langkah ini adalah untuk mengakhiri praktik mengisi kas
partai dengan duit negara. “PKI dengan cepat mendukung langkah itu, dan demikian
pula halnya dengan sebagaian pers. Tetapi dalam pandangan Djuanda, Nasution telah
melampaui wewenangnya dengan mengeluarkan keputusan-keputusan yang
menyangkut dinas kepegawaian negeri," tulis Sundhaussen.

Perbedaan pandangan antara Nasution dan Djuanda akhirnya diselesaikan


dengan penyesuaian peraturan. Dinas Intelijen TNI tetap menjadi pelaksana
pengumpulan laporan kekayaan dan afiliasi pegawai, tapi laporan itu harus dikumpulkan
kepada Djuanda. Kampanye antikorupsi itu berhasil, tetapi tak berumur panjang.
Perhatian Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat teralihkan pada eskalasi
pemberontakan di daerah yang meningkat. Operasi lalu dialihkan kepada Kabinet
Djuanda yang sayangnya justru membuat kampanye ini mandeg.

Nasution lalu kembali dengan ide membuat lembaga pengawas aparatur negara.
Gagasannya sederhana: korupsi adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan hal itu
punya konsekuensi hukum. Lembaga tersebut akan mengawasi dan menegakkan aturan
sehingga membuat koruptor berpikir berkali-kali jika hendak berbuat lancung. Ide
Nasution direstui Sukarno. Bersama Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulgani, ia
merancang dan membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara alias Bapekan
pada 1959. Sultan Hamengkubuwono IX didapuk jadi pimpinannya.

2
Namun, lembaga ini mandul karena diintervensi oleh Sukarno. Anggota-
anggotanya dipilih mengikuti pola Nasakom. Kegandrungan Bung Besar yang berlebihan
terhadap persatuan mendorongnya memasukkan para politikus dari kalangan kiri,
kanan, dan agamis. “Komposisi ini secara politis kuat, tapi dalam arti teknis tidak. Pula
Bapekan berada langsung di bawah Presiden," tulis Nasution (hlm. 257). Di tahun yang
sama, trio Nasution, Yamin, dan Roeslan lantas membentuk lagi lembaga yang dinamai
Panitia Retooling Aparatur Negara alias Paran. Kali ini mereka sendiri yang pegang
kendali. Nasution jadi ketua dan Roeslan jadi “Ketua retuling mental".

Majalah sejarah Historia edisi 2/tahun I/2012 menyebut fokus pertama Paran
adalah mengawasi dan memperbaiki kinerja aparatur negara. Nasution menggunakan
lagi metode pelaporan kekayaan. Selain itu, Paran juga menjalin kerja sama dengan
kejaksaan, kepolisian, dan bea cukai. Agaknya, Nasution berhasil membentuk lembaga
profesional sebagaimana yang diangankannya semula. “Saya usahakan pula adanya
Paran di propinsi-propinsi. Gubernur-gubernur yang dekat kepada saya segera
membentuknya, tapi gubernur-gubernur yang agak berkiblat kepada tokoh-tokoh lain di
pusat, enggan melaksanakannya," kenang Nasution (hlm. 259).

Pada Februari 1961, sebagaimana dicatat Sundhaussen, Nasution mulai menyisir


Angkatan Darat. Sebuah maklumat yang mengharuskan para perwira tinggi dan
menengah melaporkan kekayaannya diterbitkan. Namun, pada pelaksanaannya masih
banyak yang mangkir. Paran juga memulai sebuah kampanye yang dinamai Operasi
Budhi. Mulanya operasi ini adalah kebijakan Kolonel Ibrahim Adjie untuk membersihkan
Divisi Siliwangi dari tentara korup. Setahun berjalan, Operasi Budhi berhasil menciduk
banyak perwira Siliwangi yang korup dan mereka dihukum berat.

“Setelah Operasi Budhi berlangsung sekitar delapanbelas bulan di Jawa Barat, ia


dioper sebagai kebijaksanaan resmi Paran yang dipimpin Nasution," tulis Sundhaussen
(hlm. 309).

Perusahaan-perusahaan plat merah menjadi sasaran pertama Paran. Baru tiga


bulan berjalan, Operasi Budhi sudah menekan potensi kebocoran dana negara sebesar
Rp11 miliar. Paran tak hanya membongkar kasus korupsi, tapi juga inefisiensi dan salah
urus di perusahaan-perusahaan tersebut. Beberapa perusahaan bahkan tak punya
pembukuan, sehingga tak jelas penerimaan modal dan labanya lari ke mana.Meski
demikian, Paran tak bisa menindak para koruptor secara langsung. Setelah menemukan
bukti pelanggaran yang cukup, Paran mengalihkan kasusnya kepada polisi atau
kejaksaaan. Sementara pelanggaran yang sifatnya administratif dilaporkan kepada
menteri yang bersangkutan disertai rekomendasi.

Langkah-langkah Paran tak selamanya mulus. Intervensi dari pejabat tinggi atau
bahkan Presiden Sukarno sering jadi batu sandungan. Ada pejabat perusahaan negara
yang mengelak dengan bekingan seorang panglima Angkatan Darat. Ada juga yang
berdalih dapat penugasan dari presiden lalu mangkir dari pemeriksaan.

3
“Semula ditemukan mobil PN yang nomor polisinya sudah menjadi mobil pribadi
Presiden Direktur (Presdir) Perusahaan. Presiden membelanya dan ia mengoreksi
pendaftaran yang keliru itu. Bahwa Presiden senang kepada orang ini, saya pernah
dengar sendiri dari beliau," keluh Nasution (hlm. 265).

Pada Maret 1964, Nasution selaku ketua Paran mengumumkan bahwa


lembaganya menemukan banyak perusahaan negara yang terlibat utang dan
memanipulasi duit negara. Menurut Rosihan Anwar yang mendapat informasi dari
pengusaha A.M. Dasaad yang mengikuti pengumuman itu, jumlahnya mencapai Rp14
miliar. Rosihan menambahkan, seorang pimpinan perusahaan negara ketahuan
memberi pinjaman cuma-cuma kepada bawahan yang disukainya. Jika langkah culasnya
diketahui, ia tak segan memberikan “upeti" ratusan juta ke Istana. Bahkan gara-gara itu
ia dapat promosi jadi duta besar.

“Cerita di atas baru satu contoh. Berapa banyakkah jumlah korupsi dan kasus
manipulasi lain? Hanya mereka yang melancarkan 'Operasi Budhi' yang mengetahuinya,"
tulis Rosihan dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 (1981,
hlm. 426). Gerakan Paran memang mengundang banyak penentang, terutama dari
kalangan politik. PKI misalnya, partai yang semula mendukung gerakan pemberantasan
korupsi ini justru bersikap sebaliknya. Mereka menyerang Nasution dengan tuduhan
memanfaatkan Paran untuk memperkuat barisan pendukungnya untuk melawan
Presiden Sukarno. Di sisi lain, komunikasi Nasution dengan Si Bung Besar memang kerap
tak lancar.

2. KORUPSI PADA MASA SOEHARTO


Soeharto sebagai Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya
melakukan praktik penyalahgunaan wewenang yang membawa kerugian
keuangan negara (korupsi) bukan lagi hanya sebuah opini, melainkan sudah
menjadi keputusan hukum negara
Jejak Korupsi Soeharto
Tahun 1995 dan 1997, Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
mencatat negara di bawah Presiden Soeharto sebagai negara terkorup di Asia
Pasifik. Pembentukan, operasi, dan bertahannya negara korup dicirikan pola relasi
kekuasaan politik, birokratik, dan bisnis, di mana Soeharto adalah pusatnya
selama rezim Orde Baru (Orba).

4
Awal permulaan, dengan dalih kesejahteraan prajurit, banyak perwira
militer terlibat dalam bisnis, selain politik. Dengan kepemimpinan Soeharto,
mereka menguasai sejumlah BUMN “basah” seperti Bulog dan Pertamina, serta
usaha berkedok koperasi dan yayasan.Selanjutnya pemupukan kekayaan keluarga
Soeharto digenjot secara besar-besaran melalui dua sayap. Pertama, sayap
pengusaha kroni, perusahaan kerabat, serta perusahaan anak-anak dan cucunya.
Kedua, melalui yayasan-yayasan yang dipimpinnya dan menghimpun dana dari
berbagai pihak.
Sumber dana pemupukan kekayaan berasal dari APBN, BUMN nonbank,
serta bank pemerintah dan Bank Indonesia (BI), eksploitasi sumber daya alam
(SDA), suap dan upeti perusahaan asing, kepemilikan saham, wajib setor
perusahaan domestik dan wajib pajak perorangan, serta iuran paksa para pegawai
negara.
Sebagai imbalan atas pemupukan kekayaan keluarga dan para pengusaha
kroninya maupun dukungan politik terhadap Soeharto dan Golkar, maka lapisan
birokrasi pemerintahan dibiarkan menjalankan praktik korupsi, sehingga
membentuk piramida korupsi. Anggaran rutin dan duit utang dilahap, mafia
peradilan beroperasi, serta pungli menyebar hingga ke desa-desa.
Sementara itu proyek-proyek pemerintah, seperti pembangunan jalan dan
jembatan, pembangkit listrik, telekomunikasi, dan pasokan barang di-mark up,
yang diiringi suap para pejabat birokrasi. Produk-produk perakitan difasilitasi
dengan kebijakan proteksi tarif yang tinggi. Dengan begitu, terbentuk ekonomi
biaya tinggi (high cost economy).
Wafat Sebagai Tersaangka
Akhirnya, pemerintahan Soeharto dihantam gelombang krisis finansial sejak
paruh 1997. Keuangan negara terkuras, puluhan konglomerat menunggak utang
ratusan triliun rupiah, puluhan bank kolaps, harga barang membubung, dan
sembako langka. Sebagian konglomerat melarikan modal mereka ke luar negeri.
Gelombang protes membara dan menuntut Soeharto lengser. Pada 21
Mei 1998, ia menyerah dan lengser. Menyusul lengsernya sang penguasa Orde

5
Baru, muncul tuntutan mengadili Soeharto dan kroni-kroninya atas tuduhan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pada 31 Maret 2000, Soeharto ditetapkan sebagai tersangka
penyalahgunaan dana yayasan yang dipimpinnya. Pada 13 April, Soeharto
dinyatakan sebagai tahanan kota, kemudian beralih menjadi tahanan rumah. Pada
15 Juli, aset dan rekening yayasan di bawah Soeharto disita. Dan pada 3 Agustus,
meningkat statusnya menjadi terdakwa.
Persidangan perkara Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, tapi ia tak hadir dengan alasan sakit. Pada 14 September
tahun yang sama, sidang kembali akan digelar, tapi sakit kembali menjadi
alasannya untuk tak hadir karena gangguan saraf dan mental meski sehat secara
fisik. Pada 28 September, majelis hakim menghentikan sidang atas alasan
kesehatan.
Setelah Presiden Gus Dur dijatuhkan MPR, perkara Soeharto terkatung-
katung. Beberapa lama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintah, baru
pada 11 Mei 2006, Kejagung mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian
Penuntutan Perkara (SKP3). Tapi koalisi yang menuntut adili Soeharto menggugat
praperadilan dan menang, sehingga SKP3 dicabut dan tuntutan dilanjutkan.
Namun, kelanjutan perkara bukan dalam tindak pidana korupsi, melainkan
gugatan perdata atas Soeharto dan Yayasan Supersemar, ganti rugi material
sebesar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar, serta immaterial Rp 10 triliun. Pada 10
Agustus 2015, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK)
Kejagung, dan Yayasan Supersemar wajib mengganti rugi Rp 4,448 triliun yang
disetor ke kas negara.
Soeharto tidak pernah hadir sekalipun di pengadilan hingga ia wafat pada 27
Januari 2008. Dengan dicabutnya SKP3 oleh putusan praperadilan, maka Soeharto
wafat dalam status terdakwa korupsi penyalahgunaan keputusan untuk kucuran
dana yayasannya dari setoran pengusaha dan anggaran kementerian.
Status terdakwa korupsi atas Soeharto tak pernah dicabut. Pemerintah
menyatakan segera dilakukan penandatanganan Mutual Legal Assignment (MLA)
antara pemerintah RI dan Swiss. Tahun 1999, diduga terjadi transfer sebesar US$

6
9 miliar atau lebih Rp 127 triliun, dari bank di Swiss ke bank di Austria. Ini
adalah salah satu bukti bahwa korupsi Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya
masih nyata ada, dan terus harus dikejar. Status Soeharto bukanlah seorang yang
sudah terbebas dari hukum, tapi masih berstatus sebagai terdakwa kasus korupsi
sampai akhir hayatnya. Dengan kerja sama itu, patut ditunggu langkah pemerintah
secara serius dalam memburu harta kekayaan hasil korupsi dan pencucian uang
yang tersebar di luar negeri, serta memastikan dapat dikembalikan pada kas
negara.
3. Korupsi Era Presiden BJ Habibie 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999
Presiden BJ Habibie membentuk UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme sekaligus membentuk lembaga anti korupsi Komisi Pengawas
Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), dan Ombudsman . Pasal 4 Ketuk No. XI / MPR / 1998 dijelaskan juga
mengenai upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan
dengan tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara,
keluarga dan kroninya serta perusahaan swasta / konglomerat termasuk mantan
Presiden Soeharto dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan
hak asasi manusia.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie hanya dilakukan penyelidikan
lanjutan dan pemberantasan dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
mantan presiden Soeharto dan jajarannya selama memegang kekuasaan. Persoalan
didugaan KKN pemerintahan Soeharto sebenarnya sudah menjadi rahasia umum
di kalangan masyarakat. Banyak kebijakan pemerintah kala yang dianggap
memuluskan jalan yang diambil KKN
Pada tanggal 7 Desember 1998, di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung
mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan: Yayasan
Dharmais,Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar,Yayasan Amal Bhakti Muslim
Pancasila, Yayasan Dana Mandiri, Yayasan Gotong Royong, dan Yayasan
Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun.

7
Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di
dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di
rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.

4. Era Presiden Abdurrahman Wahid


Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk
mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi
Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai
Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI
sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi.
Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat
itu.

5. Era Presiden Megawati Soekarno Poetri


Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998 berdampak
panjang. Khususnya utang yang menjadi komitmen pemerintah untuk mengatasi
hancurnya ekonomi Indonesia saat krisis dengan IMF. Utang dengan IMF ini baru
bisa lunas setelah 10 tahun lebih di bawah pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Bukan hanya pemerintahan SBY periode 2004- 2014 yang
terbebani dampak krisis moneter 1998. Bahkan Presiden kelima Megawati
Soekarnoputri sampai harus dikaitkan dengan proses hukum Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI), kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden kedua
Soeharto dalam upaya menyehatkan bank-bank yang terancam tutup akibat krisis
ekonomi 1998. Sedikitnya 48 bank mendapat kucuran dana segar senilai Rp 164
triliun dari Bank Indonesia yang disetujui oleh Soeharto. Namun sayang, dana

8
pinjaman yang Sedikitnya 48 bank mendapat kucuran dana segar senilai Rp 164
triliun dari Bank Indonesia yang disetujui oleh Soeharto. Namun sayang, dana
pinjaman yang dikucurkan pemerintah justru tidak dilakukan untuk penyehatan
bank dan menyelamatkan dana nasabah yang tersimpan. INDONESIA INGGRIS
tanpa izin Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia,
menerima kucuran BLBI sebesar Rp 27,4 triliun. Mohammad 'Bob' Hasan,
pemilik Bank Umum Nasional dengan uang Rp 5,34 triliun juga menerima SKL.
KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad juga pernah menelisik
keterlibatan pemerintahan Megawati dalam keputusan SKL di skandal BLBI.
Namun setelah Samad ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan dokumen oleh
Polri, laporan ini menguap. Demikian, Politikus PDIP Hendrawan Supratikno
yang dilakukan oleh Megawati merupakan keputusan MPR. "Jika PDIP menilai
langkah-langkah penyehatan atau istilahnya penuntasan BPPN itu TAP MPR,"
kata Hendrawan saat berbincang dengan merdeka.com, 24 November 2015 lalu.
Adalah badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengeluarkan Surat
Keterangan Lunas para bankir yang mendapat kucuran dana BLBI. Bukan tanpa
alasan BPPN mengeluarkan SKL, karena hal ini dikeluarkan pada Surat Instruksi
Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Megawati agar BPPN
mengeluarkan SKL. Berdasarkan Inpres Megawati yang juga Ketua Umum PDIP
ini, para debitor ini perlu melunasi utangnya lagi. Dengan demikian, Kejaksaan
Agung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk pihak-
pihak yang menerima dana BLBI. Padahal menurut BPK, hanya lima persen dana
BLBI yang digunakan untuk kepentingan penyehatan perbankan. Sjamsul
Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan menerima SKL dan segera
mengeluarkan dan mengeluarkan dari pemerintahan Megawati. Para Penerima
SKL BLBI berdasarkan penandatanganan Master of Settlement and Acquisition
Agreement (MSAA) di penggantian adalah Anthony Salim dari Salim Grup
(mantan bos Bank BCA) yang nilai utangnya untuk pemerintah mencapai Rp
52.727 Megawati dan skandal. m.merdeka.com Audit BPK menemukan fakta
bahwa 95,78 persen atau senilai Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan negara
karena sulit dipertanggung-jawabkan. Tidak hanya itu, para bank yang menerima

9
pinjaman juga tidak mau mengembalikan uang itu ke pemerintah. Kasus ini terus
bergulir di Kejaksaan hingga satu dekade lebih. Lalu di mana peran Megawati?
Mega saat itu juga dipusingkan dengan persoalan kasus hukum BLBI di
Kejaksaan Agung yang sudah masuk dalam tahap penyidikan. Beberapa nama
beken di bidang perbankan seperti Sjamsul Nursalim, David Nusawijaya,
Samandikun Hartono, Jusup Kartadibrata dan Setiawan Harjono dicekal bahkan
sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka BLBI. Namun konglomerat ini
mendapatkan angin segar pada tahun 2002. Mereka diampuni setelah diduga
merampok duit rakyat trili rupiah oleh Kejaksaan Agung. Utang mereka dianggap
lunas oleh negara.

6. KOrupsi Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


a. Andi Malarangeng
Kasus yang melibatkan menteri SBY ini paling menggemparkan
ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng pada 6
Desember 2012 ditetapkan tersangka oleh KPK. Kesokan harinya, orang
dekat SBY itu langsung mengundurkan diri. Tiga tahun menjabat menteri
akhirnya bekas Sekretaris Dewan Pertimbangan Partai Demokrat itu
divonis bersalah dalam kasus dugaan korupsi megaproyek stadion olahraga
di Bukit Hambalang pada 18 Juli 2014.2. Andi merupakan Menteri
Pemuda dan Olahraga yang menjabat pada 22 Oktober 2009 hingga 7
Desember 2012.Ia terjerat dalam kasus korupsi dalam proyek
Pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, Pekolah Olahraga Nasional
(P3SON). Dalam keputusan sidang pidananya, Andi dihukum 4 tahun
penjara dengan denda Rp 200 juta dan subsider 2 bulan kurungan.
 
b. Dahlan Iskan
Ketua Umum Federasi Olahraga Barongsai Indonesia(FOBI),
Dahlan Iskan disela-sela acara parade Barongsai di depan Musium
bajrasandi Denpasar (Warta Kota)

10
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang pernah
menjabat pada 19 Oktober 2011 hingga 20 Oktober 2014 ini
tersandung korupsi pada penjualan aset PT Panca Wira Usaha, Badan
Usaha Milik Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Hal tersebut terjadi
pada tahun 2003 semasa Dahlan menjabat sebagai direktur utama PT
PWU. Dahlan dinyatakan bersalah dan divonis dua tahun penjara oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya pada 21 April 2017.
Kemudian pihak Dahlan mengajukan banding dan diputuskan bebas oleh
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya pada 31 Agustus 2017.
c. Jero Wacik
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik
usai menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta,
Rabu (11/2/2015). Jero kembali diperiksa sebagai saksi bagi tersangka
Waryono Karno terkait dugaan gratifikasi di lingkungan Kementerian
ESDM. (Kompas.com)  Jero merupakan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata yang menjabat pada 21 Oktober 2004 hingga 1 Oktober 2011.
Ia tersandung kasus korupsi pengadaan proyek dan dana operasional
menteri di Kementerian ESDM tahun 2011-2013. Jero yang juga pernah
menjabat sebagai Menteri Energi dan sumber Daya Mineral ini dihukum
pidana penjara selama empat tahun pada 9 Februari 2016. Kemudian
Mahakamah Agung memperberat hukuman Jero Wacik dari empat
menjadi delapan tahun penjara setelah mengabulkan permohonan kasasi
yang diajukan penuntut umum.Jero Wacik juga diwajibkan membayar
denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan. Selain itu, hukuman
tambahan berupa kewajiban mengembalikan kerugian keuangan negara
sebesar Rp 5.073.031.442 subsider 2 tahun penjara dibebankan kepada
Jero Wacik. Hingga kini pengadilan masih terus melakukan penyelidikan
para saksi.
 
d. Suryadharma Ali

11
Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menjalani
persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor,
Jakarta Pusat, Rabu (23/12/2015). (Kompas.com). Suryadharma
merupakan Menteri Negara Koperasional dan Usaha Kecil Menengah
tahun jabatan Oktober 2004 hingga Oktober 2009 dan juga Menteri Agama
pada masa jabatan 22 Oktober 2009. Dirinya terkena
kasus korupsi penyelenggaraan haji di kementerian Agama tahun 2010-
2011 dan djatuhi hukuman penjara selam 6 tahun dan denda Rp 300 juta.
Suryadharma Ali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,
namun banding yang diajukan ditolak dan Pengadilan Tinggi juga
memperberat masa hukuman penjara menjadi 10 tahun. Tak hanya itu,
majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI juga menjatuhkan pidana tambahan
berupa pencabutan hak politik terhadap Suryadharma. 
e. Bachtiar Chamsyah
Mantan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, menjalani sidang di
Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, dengan agenda pembacaan vonis,
Selasa (22/3/2011) (Tribunnews/Herudin). Bekas menteri SBY asal PPP
ini sebetulnya sudah menjabat sejak era presiden Megawati namun baru
melakukan tindakan korupsi pada kabinet SBY periode pertama. Bachtiar
Chamsyah divonis 20 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta pada 22 Maret 2011, dan diwajibkan membayar
denda Rp 50 juta. Bachtiar diadili karena penunjukan langsung proyek
mesin jahit, sapi potong, dan sarung pada 2006-2008. Akibat kebijakan
tersebut negara dirugikan senilai Rp 33,7 miliar. Kerugian negara akibat
pengadaan sapi impor pada 2004 sebesar Rp 1,9 miliar, pengadaan
sarung selama 2006-2008 senilai Rp 11,3 miliar, pengadaan mesin jahit
sepanjang 2004-2006 sejumlah Rp 20,3 miliar. Sehingga total kerugian
sebesar Rp 33,7 miliar.Seusai sidang vonis Bachtiar mengingatkan
koleganya yang masih menjabat. "Bahwa suatu kebijakan di negara ini
bisa diadili," ujarnya seusai divonis. "Saya mengimbau kepada teman-
teman setidaknya harus berhati-hati," Bachtiar mengingatkan.

12
f. Siti Fadilah Supari
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjalani sidang
dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat,
Senin (6/2/2017). Siti Fadillah didakwa merugikan keuangan negara Rp
6,1 miliar dari pengadaan alat kesehatan, guna mengantisipasi kejadian
luar biasa 2005 di Kemenkes, dan menerima suap Rp 1,875 miliar dari
PT Graha Ismaya. (WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN). Menteri
Kesehatan dengan masa jabatan 21 Oktober 2004 hingga 20 Oktober
2009 ini terkena Kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk
kebutuhan pusat penanggulangan krisis departemen kesehatan dari dana
DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Siti dihukum vonis penjara
selama empat tahun dan wajib mengembalikan uang senilai Rp 1,4
miliar. Siti juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2
bulan kurungan. Menurut majelis hakim, Siti terbukti menyalahgunaan
wewenang dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) guna
mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) tahun 2005, pada Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Departemen Kesehatan.
g. Idrus Marham
Mensos Idrus Marham memberi keterangan kepada wartawan seusai
menyerahkan surat pengunduran dirinya selaku Mensos kepada Presiden
Jokowi di Kompleks Istana, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (24/8).
(Warta Kota/Henry Lopulalan). Menteri Sosial Idrus Marham dilantik
oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) pada 17 Januari 2018
dan mengundurkan diri pada 24 Agustus 2018.
Idrus Marham diduga oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terlibat dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.
Pada Jumat (24/8/2018), Idrus telah resmi ditetapkan KPK sebagai
tersangka. Idrus Marham ditetapkan sebagai tersangka karena minta
komisi senilai 1,5 juta USD dari Proyek PLN Riau. Penetapan tersangka
dimulai dengan penetapan Eni Maulani Siregar sebagai tersangka. Dalam
peliputan Kontan, Idrus Marham (IM) resmi ditetapkan sebagai tersangka

13
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut KPK, peran IM
ialah membantu Eni Maulani Siregar (EMS), yang merupakan wakil
Komisi VII DPR RI dalam proyek suap PLTU Riau
7. Korupsi di Era Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo disebut pernah melaporkan kasus dugaan
korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). Namun, kasus korupsi
yang dilaporkan itu belum tuntas hingga kini. Hal itu disampaikan Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD di kantornya,
Senin (11/11/2019). Pernyataan itu keluar saat Mahfud menceritakan
mengenai keinginan Presiden Jokowi untuk menguatkan penegakan
hukum di Indonesia, salah satunya menyelesaikan kasus-kasus korupsi
besar. "Presiden menunjukkan, menyampaikan laporan ke KPK, ini, ini,
ini (kasusnya), tapi enggak terungkap," kata Mahfud.
Kata Mahfud MD, Jokowi Pernah Sampaikan Laporan ke KPK tapi
Tak Disentuh Karena itu, lanjut dia, Presiden juga ingin polisi dan
kejaksaan diperkuat untuk membantu tugas KPK memberantas korupsi.
Meski demikian, Mahfud mengatakan, keinginan Presiden memperkuat
polisi dan kejaksaan bukan untuk melemahkan KPK. Presiden tetap ingin
KPK terus diperkuat. "KPK terus kita perkuat kata Presiden. Cuma versi
memperkuat itu yang berbeda, pada tatanan taktis," ujar Mahfud. "Tapi
Presiden menyebutkan beberapa kasus yang luar biasa. Saya laporin
sendiri ke Presiden. Atau kami sudah melaporkan kasus ini, tapi enggak
disentuh. Ya tentu kita bisa berbeda pendapat soal itu," lanjut dia.
Klarifikasi KPK Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengaku,
tidak mengetahui kasus apa yang dimaksud oleh Mahfud.
KPK Respons Mahfud MD soal Kasus Korupsi Besar yang Tak
Terungkap Namun, ia menyebut ada dua kasus yang mendapat perhatian
khusus dari Jokowi. Kedua kasus itu pun sudah ditangani KPK Kasus
pertama adalah kasus pembelian helikopter AW-101 di lingkungan TNI.
Laode menyebutkan, penanganan kasus ini perlu kerja sama yang kuat
antara KPK dan Polisi Militer TNI. POM TNI. Kasus kedua adalah kasus
korupsi di perusahaan Pertamina Energy Service Pte Ltd ( PES). Kasus ini
juga dikenal sebagai kasus mafia migas. Dalam kasus ini, KPK sudah
menjerat mantan Managing Director PES yang juga bekas Direktur Utama
Pertamina Energy Trading Lte, Bambang Irianto sebagai tersangka utama

14

Anda mungkin juga menyukai