Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN TINDAKAN

PEMBEDAHAN ANTRESIA ANI

Oleh : Kelompok 9

Feby Ragiliana 201304099

Abdul Wafi 201304060

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

AKPER BINA SEHAT PPNI

KABUPATEN MOJOKERTO

2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat tuhan yang maha esa, karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun asuhan
keperawatan ini tepat pada waktunya. Dalam askep ini kami akan membahas
mengenai “Konsep Asuhan Keperawatan Bayi Dengan Kelainan Kongenital Dan
Tindakan Pembedahan Antresia Ani”.

Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan
dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan
selama mengerjakan makalah ini.Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini.Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami.Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.

Mojokerto, 4 Oktoberr 2014


BAB I

KONSEP TEORI

1. Definisi
 Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya.
(Betz. Ed 3 tahun 2002)
 Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus.
(Donna L. Wong, 520 : 2003)
 Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya
nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ
tubular secara kongenital disebut juga clausura.
(Harjono, RM.2000)
 Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi
karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit
yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran
tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur.
Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi
maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat
saluran seperti keadaan normalnya.
(Brunner and Suddarth.2002)
2. Etiologi
Disebabkan oleh kelainan malformasi kongenital (tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada bagian anus)
- Faktor predisposisi :
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital
saat lahir seperti :
a. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi anormalitas pada vertebral,
anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
b. Kelainan sistem pencernaan.
c. Kelainan sistem perkemihan.
d. Kelainan tulang belakang

- Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain:
1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani
karena kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu/ 3 bulan.
3) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
(Bets. Ed 7, 2002)
4) Rektum berupa kelainan letak tengah di daerah anus seharusnya
terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus (analdimple) yang cukup
dalam. Namun, pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering
terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu
dengan uretra pars bulbaris.
5) Kelainan letak tinggi Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi
laki-laki, sebaliknya kelinan letak redah sering ditemukan pada bayi
perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula -and kutaneus,
fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkan pada laki-
laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan
fistula rektoperineum. Fistula ini menghubungkan rektum dengan
kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat
dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula
dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika
berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk
anorektum disertai fistula. Kelainan bawaan anus juga dapat
disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi. Gangguan pemisahan
kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital.
(Mansjoer, A.2002)
- Beberapa faktor lainnya :
1) Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga
feses tidak dapat keluar.
2) Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3)  Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4) Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
(Brunner and Suddarth.2002)

3. Manifestasi klinis
1) Bayi muntah-muntah pada usia 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
2) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
3) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
4) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
5) Distensi bertahap dan adanya tanda2 obstruksi usus (bila tdk ada fistula).
6) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
7) Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
8) Perut kembung
(Betz. Ed 7, 2002)
- Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air
besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran
abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat menonjol
(Adele,1996)

4. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik, Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah
dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur, Gangguan organogenesis
dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan
saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan, Berkaitan
dengan sindrom down, Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.
Terdapat tiga macam letak atresia ani :
1) Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani
(m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit
perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke
saluran kencing atau saluran genital
2) Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya
3) Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara
kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius.
(Prince A Sylvia.2006)
Ladd dan Gross (1966) membagi anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu :
a. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
b. Membran anus menetap
c. Anus imperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-
macam jarak dari peritoneum.
d. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu
5. Pohon masalah
Gangguan pertumbuhan pada janin (usia 12 minggu/3 bulan)

Kegagalan pembentukan septum urorektal

Atresia ani & keadaan patologis



Tidak adanya saluran untuk feses keluar dari tubuh

Terjadi gangguan pada proses eliminasi

Feses menumpuk (konstipas) dan terjadinya distensi abdomen

Resiko kekurangan volume cairan

Dilakukannya tindakan operasi pembuatan anus buatan (colostomy)



Post of colostomy

Kecemasan pada orang tua kerusakan integritas kulit

Kurang pengetahuan peawatan dirumah

6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkioremia.
2) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4)  Komplikasi jangka panjang.
5) Eversi mukosa anal ayau anus
6) Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
7)  Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
8) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
9) Prolaps mukosa anorektal. (menyebabkan inkontinensia dan
rembesan persisten)
10) Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan
infeksi) (Sjamsu HR, 2005)
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis :
- Pra pembedahan :
Memantau status hidrasi (tanda-tanda dan keseimbangan cairan)
Memantau berat badan

- Pembedahan dengan persiapan :


Kaji adanya distensi abdomen dengan mengukur lingkar perut
Observasi tanda vital
Pantau adanya komplikasi usus (seperti perforasi)
Pantau respon bayi pada evakuasi anus
Gunakan nasogastrik untuk dekomperasi lambung
Gunakan kateter untuk dekomperasi kandung kemih
Pertahankan cairan (parenteral)
Pantau respon terhadap pemberian antibiotic

- Pasca pembedahan :
Melakukan pemantauan bising usus, apabila sudah mulai terdengar
suaranya, berikan cairan
Memberikan diet lanjut lengkap sesuai dengan toleransi
Memantau asupan parenteral, enteral, atau oral
Melakukan pemantauan berat badan
Melakukan penggantian pada balutan dan perhatian adanya drainase,
kemerahan, serta inflamasi
Membersihkan daerah anus untuk mencegah kontaminasi fekal atau infeksi
Mengganti posisi bayi tiap 2 jam
Memantau tanda-tanda infeksi sitemik dan local
Melakukan pemberian antibiotic
Pemberian analgesic
- Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut
diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
- Colostomi sementara (untuk kelainan tinggi)
- Pemerikasaan Penunjang
Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang
umum dilakukan pada gangguan ini.
1) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel
epitel mekonium.
2) Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
3) Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
4) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan
jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar
pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek
tingkat tinggi.
5) Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi
di daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru
lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia
reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus.
Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan
kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak,
sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan
dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
(Brunner dan Suddart.2002)
- Penanganan secara preventif antara lain:

1) Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk
berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang
dapat menyebabkan atresia anin.
2) Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam
jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal
ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak
paru-parunya.
3) Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari
konstipasi
(Dr. dr A. Yuda Handaya, SpB,FInaCS,FMAS Dokter Spesialis Bedah
dan Laparacopic Surgeon Layanan Informasi dan Konsultasi setiap
saat Email : yudahandaya@yahoo.com)
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1) Biodata klien
2) Keluhan Utama : setelah dilakukan pemeriksaan fisik selama 2jam
pertama setelah lahir tidak ditemukan adanya lubang anus (mengalami
atresia ani), serta perut bayi kembung)
3) Riwayat psikologis
4) Riwayat tumbuh kembang
5) Riwayat social
6) Pemeriksaan fisik

2. Diagnosa Keperawatan
1) Konstipasi berhubungan dengan atresia ani
2) Resiko kekurangan volume cairan b/d menurunnya intake, muntah
3) Cemas orang tua b/d kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan
4) Kerusakan integritas kulit b/d terdapat stoma sekunder dari kolostomi
5) Kurang pengetahuan b/d perawatan di rumah

3. Rencana Keperawatan
a. Diagnosa Pre Operasi
 Dx 1 : Konstipasi berhubungan dengan atresia ani
- Tujuan : Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan
teratur
- Kriteria Hasil : penurunan distensi abdomen, meningkatkan
kenyamanan
- Intervensi :
1. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam
R/ : untuk mengetahui berfungsinya usus
2. Ukur lingkar abdomen
R/ :Pengukuran lingkar abdomen membantu
mndeteksi trjadinya distensi

 Dx 2 : Resiko kekurangan volume cairan b/dmenurunnya intake,


muntah
- Tujuan : Klien dapat mempertahankan kesimbangan cairan
- Kriteria Hasil :Output urin 1-2 ml/kg/jam, capillary refill 3-5
detik, trgor kulit baik, membrane mukosa lembab
- Intervensi :
1. Pantau intake – output cairan
R/ :Dapat mengidentifikasi status cairan klien
2. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV
R/ :Mencegah dehidrasi
3. Pantau TTV
R/ :Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh
yang tinggi

 Dx 3 :Cemas orang tua b/d kurang pengetahuan tentang penyakit dan


prosedur perawatan.
- Tujuan : Kecemasan orang tua dapat berkurang
- Kriteria Hasil : Klien tidak lemas
- Intervensi :
1. Jelaskan dg istilah yg dimengerti tentang anatomi
dan fisiologi saluran pencernaan normal. Gunakan
alat, media dan gambar
R/ :Agar orang tua mengerti kondisi klien
2. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua
R/: Pengetahuan tersebut diharapkan dapat
membantu menurunkan kecemasan
3. Beri informasi pada orang tua tentang operasi
kolostomi
R/ :Membantu mengurangi kecemasan klien
b. Diagnosa Post Operasi
 Dx 1 :Kerusakan integritas kulit b/d terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
- Tujuan : Klien tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih
lanjut
- Kriteria Hasil :
- Intervensi :
1. Kaji kulit tiap hari, catat warna,turgor,sirkulasi dan
sensasi.
R/ :Menentukan garis dasar dimana perubahan pada
status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi

2. Pertahankan instruksikan dalam hygiene kulit,


misalnya membasuh kulit da mengeringkan nya
dengan hati-hati.
R/ :Mempertahankan kebersihan karena kulit yang
rapuh dapat menjadi barier infeks
3. Dorong klien untuk ambulasi / turun dari tempat
tidur jika memungkinkan.
R/ :Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat
lama ditempat tidur
4. Ubah posisi secara teratur dang anti sprei sesuai
kebutuhan.
R/ :Mengurangi stress pada titik tekanan,
meningkatkan aliran darah kejaringan dan
meningkatkan proses penyembuhan
5. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut
steril.
R/ :Dapat mengurangi kontaminasi bakteri,
meningkatkan proses penyembuhan
6. Berikan matras atau tempat tidur busa
R/ :Menurunkan iskemia jaringan, mengurangi
tekanan pada kulit, jaringan dan lesi

 Dx 2 : Kurang pengetahuan b/d perawatan di rumah


- Tujuan : Orang tua dapat meningkatkan pengetahuannya tentang
perawatan di rumah
- Kriteria Hasil : kemandirian dalam perawatan pada luka operasi
- Intervensi ;
1. Ajarkan pada orang tua tentang pentingnya
pemberian makan tinggi kalori tinggi protein
R/ : Untuk mempercepat proses penyembuhan post
operasi
2. Ajarkan orant tua tentang perawatan kolostomi
R/ : untuk mencegah terjadinya infeksi setelah
operasi dilakukan

4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur
seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, berdasarkan
standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting
didalam proses keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah
intervensi keperawatan diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi.
Dalam evaluasi prinsip obyektifitas, reabilitas dan validitas dapat
dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses
keperawatan ada dua arah yaitu evaluasi proses       ( evaluasi formatif ) dan
evaluasi hasil ( evaluasi sumatif ). Evaluasi proses adalah evaluasi yang
dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada
catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang
dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan
dan dilakukan pada akhir keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

 Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.


Edisike-3. Jakarta : EGC.
 Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri
Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.
 Prince A Sylvia.2006. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta : EGC
 Harjono, RM.2000. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan,
Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika
 Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 vol 2. Jakarta
EGC
 Mansjoer Arif, (2002), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 Jakarta : Media
Aescuapius

Anda mungkin juga menyukai