Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN

KOLELITIASIS

A. Definisi

Gambar 1.1 Kolelitiasis, (Muttaqin dan Sari, 2011).

Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011).
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus.  Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.  Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah
timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang
ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam
saluran empedu disebut koledokolitiasis (Doenges, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol,
pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu
adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi
yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu
adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung kolesterol lebih dari
80% (Herkutanto, 2007).
Jadi kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu merupakan endapan satu atau
lebih komponen empedu yaitu kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein,
asam lemak, dan fosfolipid.
B. Anatomi fisiologi

Gambar 1.2 Kandung empedu, (Muttaqin dan Sari, 2011).

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang


terletak tepat dibawah lobus kanan hati.  Empedu yang disekresi secara terus menerus
oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati.  Saluran empedu yang
kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari
permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis.  Duktus hepatikus komunis bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.  Pada banyak orang, duktus koledokus
bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke
usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot
sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati.
Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah
melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di
kandung empedu.  Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-
garam anorganik  dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam kandung
empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati.  Secara berkala
kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi
simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi.  Rangsang normal kontraksi dan
pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum.
Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan
kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah
pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua
keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan.

C. Etiologi
Batu dalam kandung empedu sebagian besar tersusun dari pigmen -pigmen
empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein.
Menurut Muttaqin (2011) yang mengutip beberapa pendapat para ahli, menyebutkan
faktor resiko dan patogenesis batu empedu sebagai berikut.

Jenis Batu Faktor Resiko Patogenesis


Batu Jenis kelamin Perempuan lebih cenderung untuk mengembangkan batu
Empedu perempuan empedu kolesterol dari pada laki-laki, khususnya pada masa
kolesterol reproduksi. Peningkatan batu empedu disebabkan oleh faktor
esterogen-progesteron sehingga meningkatkan sekresi
kolesterol bilier (Wong, 2009)
Peningkatan Peningkatan usia baik pada pria maupun wanita keduanya
Usia meningkatkan resiko terbentuknya batu pada kandung empedu
Obesitas Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum,
resistensi insulin, diabetes melitus type II, hipertensi dan
hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepatika dan merupakan faktor resiko utama untuk
mengembangkan batu empedu kolesterol
Kehamilan Kolesterol batu empedu lebih sering terjadi pada wanita yang
mengalami kehamilan multipel. Hal ini dianggap sebagai
faktor utama adalah progesteron pada saat kehamilan tinggi.
Progesteron yang mengurangi kontraktilitas kandung empedu,
menyebabkan retensi berkepanjangan dan konsentrasi empedu
lebih besar di kandung empedu
Statis Billier Kondisi stasis bilier menyebabkan peningkatan resiko batu
empedu. Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi stasis,
seperti cedera tulang belakang, puasa berkepanjangan atau
pemebrian diet nutrisi total parenteral (TPN, total parenteral
nutrition) dan perubahan berat badan yang berhubungan
dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet, operasi
bypass lambung). Kondisi stasis bilier akan menurunkan
produksi garam empedu ke intestinal
Obat-obatan Esterogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk
pengobatan kanker prostat meningkatkan resiko batu empedu
kolesterol (Wang, 2009). Clofibrate dan obat fibrate
hipolipidemic meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatik
melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu
empedu kolesterol (Shaffer, 2005). Analog somastostatin
muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan
mengurangi pengosongan kandung empedu (Chiang, 2008)
Keturunan Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi
tampaknya adalah turun temurun, seperti yang dinilai
penelitian terhadap kembar identik dan fraternal (Sugondo,
2009). Kasus jarang pada sindrom fosfolipid rendah terkait
kolelitiasis yang terjadi pada individu dengan kekurangan
turun-temurun dari transportasi bilier lesitin protein yang
diperlukan untuk sekresi
Infeksi Bilier Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang
peranan sebagian pada peningkatan batu dengan meningkatkan
dekuamasi seluler dan pembentukan mukus. Mukus akan
meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat
presipitasi. Infeksi lebih sering sebagi akibat pembentukan batu
empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan
Gangguan Pasien pasca reseksi dan penyakit crohn memiliki resiko
Intestinal penurunan atau kehilangan garam empedu dari intestinal.
Garam empedu merupakan agen pengikat kolesterol,
penurunan garam empedu jelas akan meningkatkan konsentrasi
kolestrasi dan meningkatkan resiko batu empedu (Silbernagl,
2007)
Batu Pada sebagian Kondisi batu empedu ini terjadi pada individu dengan
Kalsium, besar kasus ketidakseimbangan tinggi pada pergantian heme. Gangguan
Bilirubin tidak ada faktor hemolisis berhubungan dengan batu empedu pigmen ternasuk
dan Pigmen resiko yang anemia sel sabit sperocytosis herediter dan betatalasemia
Hitam dapat (Chiang, 2008). Pada sirosis hipertensi portal menyebabkan
diidentifikasi splenomegali, hal ini pada gilirannya menyebabkan karantina
sel darah merah, yang menyebabkan peningkatan turnover
hemoglobin. Sekitar setengah dari semua pasien memiliki
pigmen sirotik batu empedu
Batu Infeksi Bilier Prasyarat untuk pembentukan batu pigmen coklat meliputi
Pigmen kolonisasi empedu dengan bakteri dan stasis intraduktal. Di
Coklat Amerika Serikat, kombinasi ini paling sering dujumpai pada
pasien dengan pasca operasi striktur bilier atau kista koledokus.
Dalam hepatolitiasias, suatu kondisi yang dihadapi terutama di
Asia Timur, pembentukan batu pigmen cokklat intraduktal
menyertai pada kondisi striktur ekstra hepatik, seluruh intra
hepatik, dan saluran empedu. Kondisi ini menyebabkan
kolangitis berulang pada predisposisi ke stasis bilier dan
cholangiocarsinoma. Etiologi tidak diketahui tapi hati telah
terlibat (Sugondo, 2009)
Puasa Puasa menyebabkan gerakan kandung empedu lambat dan
menyebabkan empedu menjadi pekat sehingga mempermudah
terjadinya batu empedu.
Kehilangan Kehilangan berat badan yang cepat dapat menyebabkan
berat badan pengeluaran lebih banyak kolesterol oleh hati dan
menyebabkan pembentukan batu.
Diabetes. Penderita diabetes cenderung mengalami peningkatan kadar
trigliserid yang mempermudah terjadinya batu empedu

D. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu terjadi karena zat tertentu dalam empedu yang
hadir dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutannya. Ketika empedu
terkonsentrasi di kantong empedu, dapat menjadi jenuh dengan zat ini, yang
kemudian mengendap dari larutan sebagai kristal mikroskopis. Kristal terjebak dalam
mukus kandung empedu, kandung empedu memproduksi endapan. Seiring waktu,
kristal tumbuh, agregat, dan bersatu untuk membentuk batu makroskopik. Oklusi
saluran oleh endapan dan / atau batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu.
2 zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu adalah kolesterol
dan kalsium bilirubinate.
Batu empedu kolesterol yaitu Lebih dari 80% dari batu empedu di Amerika
Serikat mengandung kolesterol sebagai komponen utama mereka. Sel-sel hati
mengeluarkan kolesterol dalam empedu bersama dengan fosfolipid (lesitin) dalam
bentuk gelembung bermembran kecil yang sferis, disebut vesikel unilamellar. Sel-sel
hati juga mengeluarkan garam empedu, yang merupakan deterjen kuat yang
diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak makanan.
Garam empedu dalam empedu melarutkan vesikel unilamellar untuk
membentuk agregat larut disebut misel campuran. Hal ini terjadi terutama di kantong
empedu, di mana empedu terkonsentrasi oleh reabsorpsi elektrolit dan air.
Dibandingkan dengan vesikel (yang dapat menyimpan hingga 1 molekul
kolesterol untuk setiap molekul lesitin), misel campuran memiliki daya tampung
kolesterol yang lebih rendah (sekitar 1 molekul kolesterol untuk setiap 3 molekul
lesitin). Jika cairan empedu mengandung proporsi kolesterol yang relatif tinggi,
kemudian sebagai empedu terkonsentrasi, disolusi bertahap dari vesikel dapat
menyebabkan keadaan di mana kolesterol pada misel dan yang tersisa di vesikel
melebihi kapasitas. Pada titik ini, empedu sangat tersaturasi dengan kolesterol, dan
kristal kolesterol monohidrat dapat terbentuk.
Dengan demikian, faktor utama yang menentukan apakah batu empedu
kolesterol akan terbentuk adalah (1) jumlah kolesterol yang disekresikan oleh sel-sel
hati, relatif terhadap lecithin dan garam empedu, dan (2) tingkat konsentrasi dan
tingkat stasis empedu di kandung empedu.
Batu empedu kalsium, bilirubin, dan pigmen yaitu bilirubin, pigmen kuning
yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif disekresi ke empedu oleh sel-sel hati.
Sebagian besar bilirubin dalam empedu adalah dalam bentuk konjugat glukuronida,
yang merupakan cukup larut dan stabil dalam air, tetapi sebagian kecil terdiri dari
bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya, cenderung membentuk endapan tidak larut dengan
kalsium. Kalsium memasuki empedu bersama dengan elektrolit lain secara pasif.
Dalam situasi perputaran heme yang tinggi, seperti hemolisis kronis atau
sirosis, bilirubin tak terkonjugasi dapat hadir dalam empedu lebih tinggi dari
konsentrasi normal. Kalsium bilirubinate kemudian dapat mengkristal dari larutan dan
akhirnya membentuk batu. Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin
presipitat untuk mengambil warna hitam pekat, dan batu yang terbentuk dengan cara
ini disebut batu empedu pigmen hitam. Batu pigmen hitam mewakili 10-20% dari
batu empedu di Amerika Serikat.
Empedu biasanya steril, namun dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya, di atas striktur bilier), mungkin menjadi koloni oleh bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi, dan hasil peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
dapat menyebabkan pengendapan kristal kalsium bilirubinate.
Bakteri juga menghidrolisis lesitin untuk melepaskan asam lemak, yang juga
dapat mengikat kalsium dan endapan dari larutan. Batu yang dihasilkan memiliki
konsistensi seperti tanah liat dan disebut batu pigmen coklat. Tidak seperti kolesterol
atau pigmen hitam batu empedu, yang membentuk hampir secara eksklusif di
kandung empedu, batu empedu pigmen coklat sering membentuk de novo di saluran
empedu. Batu empedu pigmen coklat yang biasa di Amerika Serikat tetapi cukup
umum di beberapa bagian Asia Tenggara, kemungkinan berhubungan dengan
serangan cacing hati.
Batu empedu mixed yaitu kolesterol batu empedu dapat menjadi koloni oleh
bakteri dan dapat menimbulkan inflamasi pada mukosa kandung empedu. Enzim litik
dari bakteri dan leukosit menghidrolisis konjugat bilirubin dan asam lemak.
Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol dapat menumpuk proporsi yang besar
dari kalsium bilirubinate dan garam kalsium lainnya, memproduksi batu empedu
campuran. Batu-batu besar dapat berkembang menjadi pinggiran permukaan kalsium
menyerupai cangkang telur yang dapat terlihat di dataran film x-ray.

E. Manifestasi Klinis
1. Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan, rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan
bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar.
Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang
tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan
nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan
inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga dada.
2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam duodenum
akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan menbran
mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejal gatal-gatal
pada kulit.
3. Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored”.
4. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K
dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.(Smeltzer, 2002)
5. Regurgitasi gas: flatus dan sendawa

F. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu digolongkan
atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Batu kolesterol
Berbentukl oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2. Batu kalsium bilirubin (pigmen coklat)
Berwarna cokelat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama
3. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan
sisa zat hitam yang tak terekskresi.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping
itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini
akan membrikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan
ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koleduktus yang mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu
dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi
tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan
media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.(Smeltzer, 2002)
3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.(Williams, 2003)
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada sat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop

serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk
menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta
evaluasi percabangan bilier.(Smeltzer, 2002)
5. Pemeriksaan Darah
a) Kenaikan serum kolesterol
b) Kenaikan fosfolipid
c) Penurunan ester kolesterol
d) Kenaikan protrombin serum time
e) Kenaikan bilirubin total, transaminase
f) Penurunan urobilirubin
g) Peningkatan sel darah putih
h) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada
batu di duktus utama

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non bedah
a) Penatalaksanaan pendukung dan diet
80% dari pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat,
cairan infus, pengisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Diit yang
dianjurkan adalah tinggi protein dan karbohidrat.
b) Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodial, chenofalk).
Fungsinya untuk menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
dan tidak desaturasi getah empedu.
c) Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
Pengangkatan batu empedu : menginfuskan bahan pelarut (monooktanoin atau
metil tertier butil eter (MTBE) ke dalam kandung empedu.
Pengangkatan non bedah : dengan lewat saluran T-tube dan dengan alat jaring
untuk memegang dan menarik keluar batuyang terjepit dalam duktus
koleduktus.
d) Extracorporal shock-wave lithotripsy (ESWL) : gelombang kejut berulang
yang diarahkan kepada batu empedu yang gelombangnya dihasilkan dalam
media cairan oleh percikan listrik.
Efek samping : petekia kulit dan hematuria mikroskopis
2. Penatalaksanaan bedah
a) Kolesistektomi : paling sering digunakan atau dilakukan : kandung empedu
diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.
b) Minikolesistektomi : mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar
4 cm.
c) Kolesistektomi laparoskopik (endoskopik) : lewat luka insisi kecil melalui
dinding abdomen pada umbilikus.
d) Koledokostomi : insisi lewat duktus koledokus untuk mengeluarkian batu
empedu.
Kosep Dasar Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Kolelitiasis

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, diagnose medis, nomor rumah sakit,
dan tanggal masuk rumah sakit.
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama
Pada saat pengkajian biasanya pasien merasakan nyeri pada abdomen kuadran
kanan atas, dan menyebar ke punggung, kolik epigastrium tengah, mual
/muntah, anoreksia.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Nyeri pada abdomen bagian atas dan dapat menyebar ke punggung / bahu
kanan, nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya muncak dalam 30 menit, dapat mual,
muntah.
c) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya klien pernah menderita kolelitiasis dan sering mengalami serangan
kolik bilier atau kolesis titis akut. Dan dipengaruhi oleh penyakit diabetes,
sirosis hati, pankreatitris, reksi ileum, DM, obesitas.
d) Riwayat Kesahatan Keluarga
Adanya riwayat kehamilan/melahirkan dengan riwayat DM, penyakit
informasi usus, diskrasias darah. Penyakit ini tidak menurun, tetapi orang
dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding
dengan tanpa riwayat keluarga.
3. Pemeriksaan fisik
a) B1 : Peningkatan frekuensi pernafasan, pernafasan tertekan ditandai
nafas pendek dan tertekan.
b) B2 : Takikardi, demam, resiko perdarahan karena kekurangan
vitamin K
c) B3 : Nyeri pada perut kanan atas menyebar ke punggung atau bahu
kanan. Gelisah
d) B4 : Urine gelap pekat
e) B5 : Distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, feses
warna seperti tanah liat.
f) B6 : Kelemahan, ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus)

4. Pola fungsi kesehatan gordon


a) Pola persepsi dan management
Pola ini menjelaskan bagaimana klien mengatasi penyakitnya, cara klien
memandang penyakitnya dan pemeliharaan kesehatannya.
b) Pola nutrisi dan metabolic
Pola ini menjelaskan bagaimana makan dan minum klien, meliputi frekuensi,
jenis makanan dan minuman klien serta gangguan yang terjadi pada
pemenuhan nutrisi klien seperti mual dan muntah. Pada pasien dengan
kolelitiasis biasanya mengalami nafsu makan berkurang, mula muntah
selama fase akut, penngkatan lemak dalam darah, obesitas.
c) Pola eliminasi
Pola ini menjelaskan bagaimanan pola eliminasi klien, intensitas,
konsentrasi, warna dan bau dari BAK dan BAB pasien. Pada pasien dengan
kolelitiasis biasanya mengalami perubahan seperti warna urine dan feses.
d) Pola aktivitas dan latihan
Pola ini menjelaskan tentang sejauh mana kemandirian klien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Penderita kolelitiasis tidak akan mampu
melakukan aktifitas dan perawatan diri secara mandiri karena kelemahan
anggota gerak dan terjadi kelemahan umum.
e) Pola kognitif dan perceptual
Pola ini menjelaskan tentang persepsi sensori dan kognitif pasien. Pola
persepsi sensori meliputi pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran,
perasaan, pembau dan kompensasinya terhadap tubuh. Sedangkan kognitif
meliputi daya ingat pasien, orientasi terhadap waktu, tempat, dan nama
orang.
f) Pola istirahat dan tidur
Pola ini menjelaskan tentang pola istirahat dan tidur pasien, jumlah jam tidur
pada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia atau mimpi buruk.
Selama fase akut (peningkatan tekanan intracranial), pasien dengan penyakit
kolelitiasis mengalami ketergangguan / kenyamanan tidur dan istirahat
karena nyeri.
g) Pola konsep diri dan persepsi
Pola ini menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi tentang
kemampuan meliputi gambaran diri, harga diri, peran, identitas dan ide diri
sendiri. Pada pasien dengan penyakit stroke akan terjadi pada peningkatan
rasa kekhawatiran klien tentang penyakit yng dideritanya serta pada pasien
juga akan mengalami harga diri rendah.
h) Pola peran dan hubungan
Pola ini menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap
anggota keluarga dan masyarakat di sekitar tempat tinggal klien.
i) Pola reproduksi dan seksual
Pola ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan system reproduksi dan
seksual klien..
j) Pola koping dan toleransi
Pola ini menggambarkan kemampuan pasien untuk menangani stress dan
bagaimana cara klien menghadapi dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Dengan adanya proses penyembuhan penyakit yang lama, akan
menyebabkan meningkatnya rasa kekhawatiran dan beban pikiran.
k) Pola nilai dan keyakinan
Pola ini mengkaji tentang nilai dan kepercayaan yang dianut pasien. Karena
nyeri kepala, pusing, kaku tengkuk, kelemahan,gangguan sensorik dan
motorik menyebabkan terganggunya aktivitas ibadah pasien.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (inflamasi).
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (obstruksi atau spasme
duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan atau nekrosis).
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
tidak adekuatnya intake nutrisi (tonus otot/peristaltik menurun).
4. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur pembedahan (insisi)
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan program farmaseutikal (anastesi)
6. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan melalui
penghisapan gaster berlebihan, muntah, distensi, dan hipermortilitas gaster.
7. Risiko syok berhubungan dengan hipovolemik.
8. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca tindakan
pembedahan).
C. Intervensi

NO DIAGNOSA/MASALAH KOLABORASI TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)

1. Hipertermi 1. Termoregulasi Perawatan Demam


Definisi a. Menggigil saat dingin (skala 5) 1. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
Suhu tubuh diatas kisaran normal diurnal b. Tingkat pernapasan (skala 5) 2. Monitor warna kulit dan suhu
karena kegagalan termoregulasi. c. hipertermia (skala 5) 3. Monitor asupan dan keluaran
Batasan Krakteristik d. perubahan warna kulit (skala 5) 4. Beri obat atau cairan IV (misalnya:
1. Apnea e. dehidrasi (skala 5) antipiretik, agen antibakteri, dan agen anti
2. Bayi tidak dapat mempertahankan 2. tanda- tanda vital menggigil)
menyusu a. Suhu tubuh (Skala 5) 5. Tutup pasien dengan selimut atau pakaian
3. Gelisah b. Tingkat pernapasan (Skala 5) ringan, tergantung pada fase demam
4. Hipotensi c. Irama pernapasan (Skala 5) 6. Dorong konsumsi cairan
5. Kejang d. Tekanan darah sistolik (Skala 5) 7. Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan
6. Koma e. Tekanan darah diastolik (Skala 5) aktivitas: jika diperlukan
7. Kulit kemerahan f. Tekanan nadi (skala 5) 8. Lembabkan bibir dan mukosa hidung
8. Kulit terasa hangat yang kering
9. Letargi
10. Postur abnormal
11. Stupor
12. Takikardia
13. Takipnea
14. Vasodilatasi
Faktor – faktor yang berhubungan

1. Ages farmaseutikal
2. Aktivitas berlebihan
3. Dehidrasi
4. Iskemia
5. Pakaian yang tidak sesuai
6. Peningkatan laju metabilisme
7. Penurunan perspirasi
8. Penyakit
9. Sepsis
10. Suhu lingkungan tinggi
11. Trauma

2. Nyeri Akut 1. Kontrol nyeri 1. Pemberian analgetik :

Definisi: Nyeri akut a. Mengenali kapan terjadi nyeri (5) a. Tentukan lokasi, karakteristik,
secara konsisten menunjukkan kualitas, keparahan nyeri sebelum
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional
b. Menggambarkan factor penyebab mengobati pasien
tidak menyenangkan yang muncul akibat
(5) secara konsisten menunjukkan b. Cek adanya riwayat alergi obat
kerusakan jaringan aktual atau potensial atau
c. Menggunakan analgetik yang di c. Pilih analgesic atau kombinasi
yang digambarkan sebagai kerusakan rekomendasikan (5) secara analgesic yang sesuai ketika lebih
(International Association for the Study of konsisten menunjukkan dari satu diberikan
Pain) : awitan yang tiba-tiba atau lambat dari d. Melaporkan nyeri yang terkontrol 2. Manajemen nyeri
intensitas ringan hingga berat dengan akhir (5) secara konsisten menunjukkan a. Lakukan pengkajian nyeri
yang dapat diantisipasi atau diprediksi. komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
Batasan Karakteristik :
kualitas, intensitas atau beratnya
1. Bukti nyeri dengan menggunakan nyeri dan factor pencetus
standar daftar periksa nyeri untuk b. Pastikan perawatan analgesic bagi
pasien yang tidak dapat pasien dilakukan dengan pemantauan
mengungkapkannya yang ketat
2. Diaforesis c. Gali pengetahuan dan kepercayaan
3. Dilatasi pupil pasien mengenai nyeri
4. Ekspresi wajah nyeri d. Berikan informasi mengenai nyeri,
5. Fokus menyempit seperti penyebab nyeri, berapa lama
6. Fokus pada diri sendiri nyeri akan dirasakan dan antisipasi
7. Keluhan tentang intensitas akibat ketidaknyamanan akibat
menggunakan standar skala nyeri prosedur
8. Perubahan posisi untuk menghindari e. Kendalikan factor lingkungan yang
nyeri dapat mempengaruhi respon pasien
9. Perubahan selera makan terhadap ketidaknyamanan
10. Putus asa f. Ajarkan prinsip – prinsip manajemen
11. Sikap melindungi area nyeri nyeri
Faktor-faktor yang berhubungan : g. Kolaborasi dengan pasien, orang
1. Agens cidera biologis (Mis., infeksi, terdekat dan tim kesehatan lainnya
iskemia, neoplasma) untuk memilih dan
2. Agen cidera fisik (Mis., abses, mengimplementasikan tindakan
amputasi, luka bakar, terpotong, penurunan nyeri nonfarmakologi dan
mengangkat berat, prosedur bedah, farmakologi
trauma, olahraga berlebihan)
3. Agens cidera kimiawi (Mis., luka
bakar, kapsaisin, metilen klorida,
agens mustard)

3. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Status Nutrisi 1. Manajemen Gangguan Makan


Kebutuhan Tubuh a. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain utuk
1. Asupan gizi (5) tidak menyimpang
mengembangkan rencana keperawatan
Definisi
2. Asupan makanan (5) tidak menyimpang dengan melibatkan klien dan orang – orang
Asupan nutrisi tidak cukup untuk terdekat dengan tepat
3. Energy (5) tidak menyimpang
memenuhi kebutuhan metabolik. 2. Rundingkan dengan tim dan klien untuk
4. Rasio BB/TB (5) tidak menyimpang mengatur target pencapaian berat badan
Batasan Karakteristik
jika berat badan klien tidak berada dalam
1. Kram abdomen Status Nutrisi: Asupan Nutrisi rentang berat badan yang
2. Nyeri abdomen direkomendasikan sesuai umur dan bentuk
1. Asuan kalori (5) sepenuhnya adekuat
3. Menghindari makanan tubuh
4. Berat badan 20% atau lebih dibawah 2. Asupan protein (5) sepenuhnya adekuat 3. Tentukan pencapaian berat badan harian
berat badan ideal sesuai keinginan
3. Asupan karbohidrat (5) sepenuhnya
5. Kerapuhan kapiler 4. Rundingkan dengan ahli gizi dengan
adekuat
6. Diare menuntukan asupan kalori harian yang
7. Kehilangan rambut berlebihan Nafsu Makan diperlukan untuk mempertahankan berat
8. Bising husus hiperaktif badan yang sudah ditentukan
1. Hasrat/ keingian untuk makan (5) tidak
9. Kurang makanan 5. Ajarkan dan dukung konsep nutrisi yang
terganggu
10. Kurang informasi baik dengan klien (dan orang terdekat klien
11. Kurang minat pada makanan 2. Intake Nutrisi (5) tidak terganggu dengan tepat)
12. Penurunan berat badan dengan asupan 6. Dorong klien untuk mendiskusikan
makanan adekuat makanan yang disukai bersama dengan ahli
13. Kesalahan konsepsi gizi
14. Kesalahan informasi 7. Kembangkan hubungan yang mendukung
15. Membrane mukosa pucat dengan klien
16. Ketidak mampuan memakan makanan 8. Monitor tanda – tanda fisiologis (tanda –
17. Tonus otot menurun tanda vital , elektrolit), jika diperlukan
18. Mengeluh gangguan sensasi rasa 9. Timbang berat badan klin secara rutin
19. Mengeluh asupan makanan kurang (pada hari yang sama dan setelah
dari RDA (recommended daily BAB/BAK)
allowance) 10. Monitor intake/asupan dan asupan cairan
20. Cepat kenyang setelah makan secara tepat
21. Sariawan rongga mulut 11. Monitor asupan kalori makanan harian
22. Steatorea 12. Dorong klien untuk memonitor sendiri
23. Kelemahan otot untuk mengunyah asupan makanan harian dan menimbang
24. Kelemahan otot untuk menelan berat badan secara tepat
Faktor – faktor yang berhubungan 13. Bangun harapan terkait dengan perilaku
makanan yang baik, intake/asupan
1. Faktor biologis
makanan/cairan dan jumlah aktivitas fisik
2. Faktor ekonomi
14. Observasi klien selama dan setelah
3. Ketidakmampuan untuk mengabsorbsi
pemberian makanan/makanan ringan untuk
nutrisi
meyakinkan bahwa intake/asupan makanan
4. Ketidakmampuan untuk mencerna
yang cukup tercapai dan dipertahankan
makanan
15. Berikan dukungan terhadap peningkatan
5. Ketidak mampuan menelan makanan
berat badan dan perilaku yang
6. Faktor psikologis
meningkatkan berat badan
16. Beri dukungan (misalnya, terapi
relaksasi, latihan desensitisasi, kesempatan
untuk membicaraan perasaan) sembari
klien juga berusaha mengintegrasikan
perilaku makan yang baru, perubahan citra
tubuh dan perubahan gaya hidup
17. Batasi aktifitas fisik sesuai kebutuhan
untuk meningkatkan berat badan
18. Monitor berat badan klien sesuai secara
rutin
Manajemen Nutrisi

1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan


(pasien ) untuk memenuhi kebutuhan gizi

2. Identifikasi (adanya) alergi atau intoleransi


makanan yang dimiliki pasien

3. Tentukan apa yang menjadi preferensi


makanan bagi pasien

4. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan


nutrisi (yaitu: membahas pedoman diet dan
piramida makanan)

5. Bantu pasien dalam menentukan pedoman


atau piramida makanan yang paling cocok
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan
prefensi (misalnya., Piramida Makanan
Vegetarian, Piramida Panduan Makan, dan
Piramida Makanan untuk Lanjut Usia Lebih
dari 70 tahun)

6. Berikan pilihan makanan sambil menawarkan


bimbingan terhadap pilihan (makanan) yang
lebih sehat, jika diperlukan

7. Atur diet yang diperlukan (yaitu:


menyediakan makanan protein tinggi;
menyerahkan menggunakan bumbu dan
rempah – rempah sebagai alternative untuk
garam, menyediakan pengganti gula;
menambah atau mengurangi kalori,
menambah atau mengurangi vitamin,
mineral, atau suplemen)

8. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat


mengkonsumsi makanan (misalnya, bersih,
berventilasi, santai, dan bebas dari bau yang
menyengat)

9. Lakukan atau bantu pasien terkait dengan


perawatan mulut sebelum makan
10. Beri obat – obatan sebelum (misalnya,
penghilang rasa sakit, antiseptic) jika
diperlukan

11. Anjurkan pasien untuk duduk pada posisi


tegak di kursi, jika memungkinkan

12. Pastikan makan disajikan dengan cara yang


menarik dan pada suhu yang paling cocok
untuk konsumsi secara optimal

13. Anjurkan keluarga untuk membawa maknan


favorit pasien sementara pasien berada di
rumah sakit atau fasilitas perawatan, yang
sesuai

14. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan


diet untuk kondisi sakit(yaitu: untuk pasien
dengan penyakit ginjal, pembatasan natrium,
kalium, protein, dan cairan)

15. Tawarkan makanan ringan yang padat gizi

16. Monitor kalori dan asupan makan


17. Monitor kecenderungan terjadinya
penurunan dan kenaikan berat badan

Monitor Nutrisi
1. Timbang berat badan pasien
2. Monitor pertumbuhan dan perkembangan
3. Lakukan pengukuran antropometrik pada
komposisi tubuh (misalnya; indeks massa
tubuh, pengukuran pinggang, dan lipatan
kulit)
4. Monitor kecenderungan turun dan naiknya
berat badan (misalnya; pada pasien anak –
anak, pola tinggi dan anak – anak sesuai
standar growth chart)
5. Identifikasi perubahan berat badan terakhir
6. Monitor tugor kulit dan mobilitas
7. Monitor adanya mual dan muntah
8. Monitor diet dan asupan kalori
9. Tentukan pola makan (misalnya; makan
yang disukai dan tidak disukai, konsumsi
yang berlebihan terhadap makanan siap
saji, makan yang terlewati, makan tergesa –
gesa, interaksi anak dan orang tua selama
makan, dan frekuansi serta lamanya bayi
makan)
10. Tentukan faktor – faktor yang
mempengaruhi asupan nutrisi (misalnya;
peneggetahuan, ketersediaan dan
kemudahan memperolrh produk – produk
makanan yang berkualitas, pengaruh
agama dan budaya, gender, kemampuan
menyiapkan makanan, isolasi sosial,
hospitalisasi, mengunyah tidak adekuat,
gangguan menelan, penyakit peridominal,
gigi yang busuk, penurunan dalam
merasakan makanan, penggunaan obat, dan
status penyakit atau setelah pembedahan
2. Bantuan Perawatan Diri: Pemberian
Makan
1. Monitor kemampuan pasien untuk menelan
2. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
selama waktu makan (misalnya; jauhkan
dari pandanan benda – benda seperti
pispot, urinal, dan suksion)
3. Beri penurun nyeri yang cukup sebelum
makan, dengan tepat
4. Berikan kebersihan mulut sebelum makan
5. Posisikan pasien dalam posisi makan yang
nyaman
6. Berikan makanan dengan suhu yang paling
sesuai
7. Sediakan makanan dan minuman yang
disukai dengan tepat
8. Monitor berat badan pasien dengan tepat
9. Monitor status dehidrasi pasien dengan
tepat
Manajemen Berat Badan

1. Diskusikan dengan pasien mengenai kondisi


medis apa saja yang berpengaruh terhadap
berat badan

2. Diskusikan dengan pasien mengenai


kebiasaan, budaya, dan faktor herediter
yang mungkin mempengauhi berat badan

3. Diskusikan risiko yang mungkin muncul


jika terdapat kelebihan berat badan atau
berat badan kurang

4. Kaji motivasi pasien untuk mengubah pola


makannya

4. Kerusakan intergritas jaringan NOC : NIC :

Definisi : cedera pada membran mukosa, a. Integritas jaringan : kulit & Pengecekan kulit
koenea, sistem integumen, fascia muskular, membran mukosa
2. Periksa kulit dan selaput lendir terkait
otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi, a. Suhu kulit (5) tidak terganggu
dengan adanya kemerahan, kehangatan
dan atau ligamen. b. Sensasi (5) tidak terganggu
ekstrem, edema, atau drainase
c. Elastisitas (5) tidak terganggu
Batasan karakteristik : 3. Amati warna, kehangatan, bengkak,
d. Tekstur (5) tidak terganggu
pulsasi, tekstur, dan ulserasi pada
1. Cedera jaringan e. Ketebalan (5) tidak terganggu
ekstremitas
2. Jaringan rusak f. Perfusi jaringan (5) tidak
4. Periksa kondisi luka oprasi
Faktor yang berhubungan : terganggu
5. Monitor warna dan suhu kulit
g. Integritas kulit (5) tidak terganggu
Eksternal : 6. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet
7. Monitor kulit untuk adanya kekeringan
1. Hipertermia atau hipotermia
yang berlebihan dan kelembaban
2. Substansi kimia
8. Monitor sumber tekanan dan gesekan
3. Kelembaban udara
4. Faktor mekanik (misalnya : alat yang 9. Lakukan langkah- langkah untuk
dapat menimbulkan luka, tekanan, mencegah kerusakan lebih lanjut
restraint) 10. Ajarkan anggota keluarga pemberian
5. Immobilitas fisik asuhan mengenai tanda- tanda kerusakan
6. Radiasi kulit
7. Usia yang ekstrim
8. Kelembaban kulit
9. Obat-obatan
Internal :

1. Perubahan status metabolik


2. Tulang menonjol
3. Defisit imunologi
-          Faktor yang berhubungan dengan
perkembangan

1. Perubahan sensasi
2. Perubahan status nutrisi (obesitas,
kekurusan)
3. Perubahan status cairan
4. Perubahan pigmentasi
5. Perubahan sirkulasi
6. Perubahan turgor (elastisitas kulit)
5. Hambatan mobilitas fisik 1. Pergerakan: 1. Pengaturan posisi:
Definisi : keterbatasan pada a. Keseimbangan dengan skala 5
a.Atur posisi pasien di tempat tidur
pergerakan fisik tubuh atau satu atau (tidak terganggu)
lebih ekstremitas secara mandiri dan b. Kinerja pengaturan tubuh dengan b. Dorong pasien untuk terlbat dalam perubahan
terarah. skala 5 (tidak terganggu) posisi
Batasan karakteristik : c. Bergerak dengan mudah skala 5
c. Posisikan pasien dengan kesejajaran tubuh
1. Penurunan waktu reaksi (tidak terganggu)
yang tepat
2. Kesulitan membolak-balik posisi
2.koordinasi pergerakan:
3. Melalukan aktivitas lain sebagai d. Dorong latihan rom aktif dan pasif.
pengganti pergerakan a. gerakan kea rah yang diinginkan
2. Terapi latihan :
(mis,meningkatkan perhatian pada dengan skala 5 (tidak terganggu)
aktivitas orang lain,mengendalikan a.Kolaborasikan dengan terapi fisikdari
b. Gerakan dengan kecepatan yang
perilaku,focus pada ketunadayaan/ mengembangkan dan menerapkan sebuah
diinginkan dengan skala 5 (tidak
aktivitas sebelum sakit) program latihan
terganggu)
4. Dispnea setelah beraktivitas
b. Jelaskan kepada pasien dan keluarga manfaat
5. Perubahan cara berjalan
latihan fisik.
6. Gerakan bergetar
7. Keterbatasan kemampuan melakukan c. Lakukan latihan rom aktif dan pasif.
keterampilan motorik kasar
8. Keterbatasan rentang pergerakan
sendi
9. Tremor akibat pergerakan
10. Ketidakstabilan postur
11. Pergerakan lambat
12. Pergerakan tidak terkoordinasi
Factor yang berhubungan:
1. Agen farmaseutikal
2. Ansietas
3. Depresi
4. Disuse
5. Fisik tidak bugar
6. Gangguan fungsi kognitif
7. Gangguan metabolisme
8. Gangguan muskuloskeletal
9. Gangguan neuromuskular
10. Gangguan sensori perseptual
11. Gaya hidup kurang gerak
12. Indeks masa tubuh di atas persentil
ke-75 sesuai usia
13. Intoleransi aktivitas
14. \kaku sendi
15. Keengganan memulai pergerakan
16. Kepercayaan budaya tentang aktivitas
yang tepat
17. Kerusakan integritas struktur tulang
18. Kelambatan perkembangan
19. Kontraktur
20. Kurang dukungan lingkungan
21. Kurang pengetahuan tentang nilai
aktivitas fisik
22. Malnutrisi
23. Nyeri
24. Penurunan kekuatan otot
25. Penurunan kendali otot
26. Ketahanan tubuh
27. Penurunan masa otot
28. Program pembatasan gerak

6. Resiko kekurangan volume cairan. 1. Keseimbangan cairan 1. Monitor cairan


a. Tekanan darah (5) tidak a. Tentukan jumlah dan jenis intake
Definisi : resiko mengalami dehidrasi terganggu asupan cairan serta kebiasaan
vaskuler, seluler, atau intraseluler. b. Denyut nadi radial (5) tidak eliminasi
terganggu b. Tentukan factor resiko yang mungkin
Faktor resiko : c. Keseimbangan intake dan output menyebabkan ketidak seimbangan
dalam 24 jam (5) tidak cairan ( musal : kehilangan albumin,
1. Kehilangan volume cairan aktif terganggu luka bakar, hipertermi, infeksi, paska
2. Kurang pengetahuan d. Berat badan stabil (5) tidak oprasi, diare, dan muntah)
3. Penyimpangan yang terganggu c. Periksa turgor kulit dengan
mempengaruhi absorbs cairan e. Turgor kulit (5) tidak terganggu memegang jaringa sekitar tulang
4. Penyimpangan yang f. Kelembaban membrane mukosa d. Monitor berat badan
mempengaruhi akses cairan (5) tidak terganggu e. Monitor asupan dan pengeluaran
5. Penyimpangan yang f. Monitor nilai kadar serum dan
mempengaruhi asupan cairan elektrolit urin
6. Kehilangan berlebihan melalui g. Monitor tekanan darah, denyut nadi,
rute normal : missal (diare) dan status pernafasan
7. Usia lanjut h. Monitor membrane mukosa, turgor
8. Berat badan eksterm kulit dan respon haus
9. Faktor yang mempengaruhi i. Cek grafik asupan dan pengeluaran
kebutuhan cairan (missal status secara berkala untuk memastikan
hipermetabolik pemberian layanan yang baik
10. Kegagalan fungsi regulator
11. Kehilangan cairan melalui rute
abnormal (missal : selang
menetap)
12. Agen permasupikal (missal :
diuretik)
7. Risiko syok NOC NIC
1. Pencegahan pendarahan :
Definisi : mengalami ketidakcukupan aliran 1.Status Sirkulasi: a. Monitor dengan ketat risiko terjadinya
darah ke jaringan tubuh, yang dapat a. tekanan darah sistole skala 5
pendarahan
mengakibatkan disfungsi seluler yang b. tekanan darah diastole skala 5
mengancam jiwa, yang dapat mengganggu b. Catat nilai hb dan ht pasien
c. tekanan nadi skala 5
kesehatan. c. Monitor tanda dan gejala pendarahan
d. tekanan vena sentral skala 5
Faktor risiko : menetap
e. cafilarry refil skala 5
d. Monitor komponen koagulasi darah
2. Hipoksemia f. suara nafas tambahan skala 5
e. Monitor tanda-tanda vital
3. Hipoksia 1. f. Lindungi pasien dari trauma
4. Hipotensi g. Hindari pengukuran suhu rektal
5. Hipovolemia
h. Hindari mengangkat benda berat
6. Infeksi
7. Sepsis i. Gunakan kasur terapeutik
8. Sindrom respon inflamasi sistemik j. Cegah konstipasi

8. Risiko Infeksi 1. kontrol resiko kontrol resiko


Definisi : Rentan mengalami infasi dan b. Mengidentifikasi factor resiko (5)
1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
multifikasi organism patogenik yang dapat secara konsisten menunjukkan
dipakai pasien lain
mengganggu kesehatan. c. Mengenali factor resiko individu
2. Pertahankan teknik isolasi
Faktor Risiko: (5) secara konsisten menunjukkan
3. Batasi pengunjung bila perlu
1. Kurang pengetahuan untuk menghindari d. Memonitor factor resiko di
4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
pemajanan patogen lingkungan (5) secara konsisten
tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
2. Malnutrisi menunjukkan
meninggalkan pasien
3. Obesitas e. Memonitor factor resiko individu
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
4. Penyakit kronis (5) secara konsisten menunjukkan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan setelah tindakan
5. Prosedur infasif f. Mengembangkan strategi yang
keperawatan
efektif dalam mengontrol resiko (5)
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai pelindung
secara konsisten menunjukkan
8. Pertahankan lingkungan aseptic selama
g. Mengenali perubahan status
pemasangan alat
kesehatan (5) secara konsisten
9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
menunjukkan
dressing sesuai dengan petunjuk umum
10. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
11. Gunakan kateter intermitten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
12. Tingkatkan intake nutrisi
13. Berikan terapi antibiotic bila perlu infection
protection (proteksi terhadap infeksi)
14. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
local
15. Monitor hitung granulosit, WBC
16. Monitor kerentanan terhadap infeksi
17. Batasi pengunjung
18. Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang
beresiko
19. Pertahankan teknik isolasi
20. Berikan perawatan kulit pada area epidema
21. Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
22. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
23. Dorong masukan nutrisi yang cukup
24. Dorong masukan cairan
25. Dorong istirahat
26. Instruksikan pasien untuk minum antibiotic
sesuai resep
27. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
28. Ajarkan cara menghindari infeksi
D. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan
dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun
dalam rencana keperawatan (Nursallam, 2011).

E. Evaluasi
1. Hipertermia
kreteria evaluasi:
a. Termoregulasi
1) Menggigil saat dingin (skala 5)
2) Tingkat pernapasan (skala 5)
3) hipertermia (skala 5)
4) perubahan warna kulit (skala 5)
5) dehidrasi (skala 5)
b. Tanda- tanda vital
1) Suhu tubuh (Skala 5)
2) Tingkat pernapasan (Skala 5)
3) Irama pernapasan (Skala 5)
4) Tekanan darah sistolik (Skala 5)
5) Tekanan darah diastolik (Skala 5)
6) Tekanan nadi (skala 5)
2. Nyeri akut
Kreteria Evaluasi :
a. Kontrol nyeri
1) Mengenali kapan terjadi nyeri (5) secara konsisten menunjukkan
2) Menggambarkan factor penyebab (5) secara konsisten menunjukkan
3) Menggunakan analgetik yang di rekomendasikan (5) secara konsisten
menunjukkan
4) Melaporkan nyeri yang terkontrol (5) secara konsisten menunjukkan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Kreteria evaluasi:
a. Status Nutrisi
1) Asupan gizi (5) tidak menyimpang
2) Asupan makanan (5) tidak menyimpang
3) Energy (5) tidak menyimpang
4) Rasio BB/TB (5) tidak menyimpang
b. Status Nutrisi: Asupan Nutrisi
1) Asuan kalori (5) sepenuhnya adekuat
2) Asupan protein (5) sepenuhnya adekuat
3) Asupan karbohidrat (5) sepenuhnya adekuat
c. Nafsu Makan
1) Hasrat/ keingian untuk makan (5) tidak terganggu
2) Intake Nutrisi (5) tidak terganggu
4. Kerusakan integritas jaringan
Kreteria evaluasi :
a. Integritas jaringan : kulit & membran mukosa
1) Suhu kulit (5) tidak terganggu
2) Sensasi (5) tidak terganggu
3) Elastisitas (5) tidak terganggu
4) Tekstur (5) tidak terganggu
5) Ketebalan (5) tidak terganggu
6) Perfusi jaringan (5) tidak terganggu
7) Integritas kulit (5) tidak terganggu
5. Hambatan mobilitas fisik
Kreteria evaluasi :
a. Pergerakan:
1) Keseimbangan dengan skala 5 (tidak terganggu)
2) Kinerja pengaturan tubuh dengan skala 5 (tidak terganggu)
3) Bergerak dengan mudah skala 5 (tidak terganggu)
b. Koordinasi pergerakan:
1) gerakan kea rah yang diinginkan dengan skala 5 (tidak terganggu)
2) Gerakan dengan kecepatan yang diinginkan dengan skala 5 (tidak
terganggu)
6. Risiko kekurangan volume cairan
Kreteria Evaluasi:
a. Keseimbangan cairan
1) Tekanan darah (5) tidak terganggu
2) Denyut nadi radial (5) tidak terganggu
3) Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam (5) tidak terganggu
4) Berat badan stabil (5) tidak terganggu
5) Turgor kulit (5) tidak terganggu
6) Kelembaban membrane mukosa (5) tidak terganggu
7. Risiko syok
Kreteria evaluasi:
a. Status Sirkulasi:
1) tekanan darah sistole skala 5
2) tekanan darah diastole skala 5
3) tekanan nadi skala 5
4) tekanan vena sentral skala 5
5) cafilarry refil skala 5
6) suara nafas tambahan skala 5
8. Risiko infeksi
Kreteria evaluasi :
a. kontrol resiko
1) Mengidentifikasi factor resiko (5) secara konsisten menunjukkan
2) Mengenali factor resiko individu (5) secara konsisten menunjukkan
3) Memonitor factor resiko di lingkungan (5) secara konsisten menunjukkan
4) Memonitor factor resiko individu (5) secara konsisten menunjukkan
5) Mengembangkan strategi yang efektif dalam mengontrol resiko (5) secara
konsisten menunjukkan
6) Mengenali perubahan status kesehatan (5) secara konsisten menunjukkan
DAFTAR PUSTAKA

Chiang, K., Chu, H., Chang , H., Chung, M., Chung, C., Hung, C., et al, 2008, The Effects of
Reminiscence Therapy on Psycologial Well-being, Depression, and Loneliness Among The
Institutionalized Aged, Int. J. Geriatr. Psychiatry, 25, 380-388

Diagnosis Keperawatan NANDA Internasional: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:


EGC.

Doenges, Marilynn E. (2011). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Pasien, alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3.
Jakarta: EGC

Herkutanto. 2007. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat, Majalah Kedokteran


Indonesia, Volume 57.

Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional.Jakarta.Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis, Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus. Mediaction: Yogyakarta.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis, Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus, Edisi 1. Mediaction:
Yogyakarta.

Silbernagl, S. 2007. In: Silbernagl, S., Lang, F. editor. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : EGC.

Sugondo, S. 2009. Obesitas, In: Sudoyo, AW., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati,
S., editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI.

Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume I. Alih bahasa Agus Sutama
dkk.Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai