Anda di halaman 1dari 4

Memahami Budaya Melalui Makanan

Makan merupakan kebutuhan sehari-hari manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa
makan. Urusan makanan atau kuliner tidak sederhana. Makan bukan hanya sekedar
mengenyangkan perut dan memenuhi kebutuhan namun bisa memiliki nilai lain. Meskipun
makan merupakan kebutuhan pokok manusia, namun makan bagi manusia berbeda-beda,
dan sangat berhubungan dengan budaya.

Perbedaan Nilai Budaya dalam Makan


Setiap orang di dunia makan secara rutin yang disebut makan besar. Makan besar
di berbagai budaya berbeda-beda. Orang barat makan besar sehari tiga kali, pagi, siang,
malam, namun pada pagi hari dan setelah malam ditambah makan kecil yang menjadi
kebiasaan. Orang lndonesia makan tiga kali sehari, pagi sarapan, siang makan siang, malam
makan malam.
Yang dimakan dalam makan besar dan menjadi makanan utama biasa disebut
makanan pokok. Makan pokok bagi orang dari berbagai negara, bangsa dan budaya
berbeda-beda. Di sebagian besar masyarakat lndonesia adalah nasi, meskipun ada yang
masih jagung atau sagu. Di negara barat makanan pokoknya roti atau yang terbuat dari
gandum.
Bukan hanya makanan pokok, tapi juga makanan kecil dan lauk-pauk, antar
bangsa, negara, dan etnik berbeda-beda. Masing-masing memiliki lauk, rasa, masakan dan
selera tersendiri. Lidah tidak dengan mudah akan menerima atau menyesuaikan diri
dengan kondisi makanan ketika berada di negara lain. Ketergantungan dengan jenis
makanan dari daerah asal, sangat terlihat dalam pelaksaan haji, dimana jemaah haji asal
lndonesia ketika di Arab Saudi makanan yang dimakan adalah model makanan lndonesia
dengan nasi dan lauk-pauk ala lndonesia, kokinyapun dari lndonesia. Orang barat yang
biasa makan pokok rotipun akan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri ketika
tinggal lama di lndonesia.
Cara makan dari berbagai bangsa berbeda-beda. Orang Arab menggunakan tangan,
bahkan menjilati jari ketika makan. Bangsa lain umumnya menggunakan sendok, piring
dan garpu, sementara orang Cina menggunakan mangkok dan sumpit. Bagi sebagian
bangsa lndonesia duduk yang sopan ketika makan adalah dengan bersila, bagi orang
Arap duduk dengan mengangkat satu kaki.
Nilai etika dan kesopanan dalam makan, berbeda-beda, sesuai dengan
budayanya, ada kalanya sesuatu yang dianggap sopan di suatu budaya dianggap
sebaliknya di budaya lain, yang dianggap biasa di suatu budaya dianggap tidak sopan di
budaya lain. Orang Arab terbiasa sendawa ketika makan, di Malaysia sendawa ketika
makan dapat menunjukkan penghargaan atas makanan, di Fiji sendawa dianjurkan seusai
makan untuk menunjukkan penghargaan, di barat sendawa ketika makan dianggap
kurang sopan tapi membuang ingus ketika makan dengan kertas atau tisu adalah hal biasa.
Orang Jepang dan Korea terbiasa menyeruput sub langsung dari mangkoknya, hal
tersebut bisa dianggap tidak sopan oleh budaya lain.
Adanya perbedaan suhu, iklim, cara pandang bagi bangsa berpengaruh terhadap
budayanya termasuk makan. Di beberapa bagian negara Eropa dan Amerika minum bir
dianggap sebagai menghangatkan badan. Di negara Arab yang banyak terdapat daging
kambing dan onta, daging kambing menjadi lauk yang paling dominan. Orang Arab
terbiasa menyantap lauk daging kambing dalam jumlah besar, bahkan bisa di suatu
hidangan lauk yang disajikan satu kambing utuh. Di daerah pegunungan lndonesia,
terbiasa menyantap sayuran mentah. Orang Jepang sangat fanatik dan mengkonsumsi ikan
dalam jumlah yang besar, bahkan setengah matang atau mentah karena percaya bahwa ikan
akan mencerdaskan.

Makanan dan Larangan


Ada beberapa hal yang menghalangi manusia untuk makan semua jenis makanan
seperti aturan dalam agama yang dianut misalnya tentang halal-haram, aturan adat,
pantangan karena penyakit, alergi, atau penganut ideologi tertentu. Orang lslam dan
Yahudi menganggap daging babi haram dan sapi halal, bagi orang Hindu sapi haram,
sementara Kristen tidak menganggap haram babi. Bagi orang yang menganut paham
vegetarian tidak mau makan semua jenis daging karena beranggapan tidak boleh
membunuh hewan. Orang yang mengidap penyakit tertentu dilarang makan beberapa
jenis makanan. Yang memiliki alergi tidak akan makan.
Pandangan lain menilai makanan juga berkaitan dengan jijik atau tidak jijik. Menurut
Mulyana, (2008; 59) apakah kita akan berselera terhadap suatu jenis makanan atau akan
jijik, bergantung pada nilai-nilai yang telah kita internalisasi. Bekicot di banyak negara
termasuk di lndonesia menjadi hewan yang menjijikkan, namun di Prancis menjadi
makanan mahal. Orang barat menganggap jeroan sebagai makanan anjing, namun di
lndonesia jeroan dapat diolah menjadi makanan enak. Daging ular, buaya, landak,
cacing bagi sebagian orang jijik namun ada juga yang memakannya.
Makanan dan ritual
Makan juga memiliki hal unik. Makanan berkaitan dengan simbol, misalnya
ketika lebaran biasanya mamasak ketupat. Dalam beberapa hal makanan juga
mempunyai nilai ritual, misalnya ketika diadakan gunungan dalam rangka grebek di
kraton Yogyakarta dan Surakarta, masyarakat yang percaya bahwa makanan itu
membawa berkah saling berebut mendapatkannya. Ketika umat islam memperingati hari
raya kurban terjadi penyembelihan sapi dan kambing dalam jumlah besar, ketika itu
daging sapi dan kambing menjadi lauk yang dominan.

Memahami Kebudayaan Etnik Lain Melalui Makanan


Makan merupakan kebutuhan pokok manusia, tanpa makan, manusia tidak akan
bertahan hidup, namun masing-masing suku, bangsa, suku bangsa, negara memiliki
kebiasan makan yang berbeda, makanan yang berbeda, cara pandang, nilai etika dan
kesopanan yang berbeda dalam makan, sehingga mencerminkan budaya yang berbeda.
Melalui makanan yang berbeda antar etnik, dapat melihat bahwa kebudayaan antar etnik
berbeda.
Dengan melihat bahwa rasa, bentuk, jenis makanan merupakan hal yang relatif, maka
dapat merasakan bahwa kebudayaan juga relatif. Budaya memang relatif tidak bisa dilihat
lebih tinggi, lebih rendah, baik atau buruk, budaya etnik satu tidak lebih rendah atau lebih
tinggi dari etnik lain.
Ingin mencoba makanan dari etnik lain, seyogyanya juga diikuti dengan ingin
mempelajari budaya dari etnik lain, memahami makanan dari etnik lain dapat mengilhami
memahami budaya etnik lain. Dengan saling memahami, mencoba dan merasakan kuliner
dari berbagai etnik diharapkan dapat digunakan sebagai pembelajaran multikulturalisme.
Dengan demikian makanan dapat menjadi diplomasi budaya antar etnik, tentu saja dengan
tetap menghargai pantangan dan larangan.

Anda mungkin juga menyukai