Anda di halaman 1dari 5

Drug Induce Hepatitis (DIH)

1. Definisi

Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan oleh
reaksi obat Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya
penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang
bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem
enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga
terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau
empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan
yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat pada umumnya tidak
menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal.
Hepatitis akibat obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan ancaman yang serius terhadap
pengendalian penyakit tuberkulosis.
Efek samping yang berat adalah hepatotoksik. Obat anti TB yang dapat menyebabkan
hepatotoksik adalah PZA, INH dan rifampisin. Rifampisin sebagai obat utama TB
mempunyai efek hepatotoksik yang paling rendah bila dibandingkan dengan PZA dan INH.
Gejala hepatotoksik biasanya menyerupai gejala hepatitis lainnya. Penanda dini dari
hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari
aspartate amino transaminase/ glutamate oxaloacetate transaminase (AST/GOT) yang
disekresikan secara paralel dengan alanine amino transferase/glutamate pyruvate
transaminase (ALT/ GPT) yang merupakan penanda yang lebih spesifik untuk mendeteksi
adanya kerusakan hepar.5 World Health Organization mengklasifikasikan hepatotoksik
menjadi 4 gradasi. Grade I ditandai dengan peningkatan ALT 1,25-2,5× normal, grade II
ALT meningkat 2,6-5× normal, grade III ALT meningkat 5,1-10× normal dan grade IV bila
ALT meningkat > 10× normal.6,7 Selain disebabkan drug induced hepatitis (DIH) akibat
OAT, gangguan hepar pada penderita TB yang ditandai oleh kadar AST & ALT yang
meningkat dapat disebabkan oleh TB hepatobiliar. Tuberkulosis hepatobilier merupakan
penyebaran dari fokal infeksi TB di paru-paru, diperkirakan terjadi hingga 80% penderita TB
paru. Tuberkulosis hepatobilier biasanya ditandai oleh kadar AST & ALT serum yang
meningkat sebelum diberikan pengobatan tanpa disertai gejala - gejala klinis hepatitis.

2. Epidemiologi

Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang. Perempuan
cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang dewasa lebih rentan
terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-
sel hepatosit yang rusak seperti pada orang muda. 3 Di Amerika terdapat sekitar 200 kasus
penyakit hati akut. 50% diantaranya adalah karena penggunaan obat terdiri dari 30% karena
acetaminophen, 13% adalah reaksi idiosinkratik akibat pengobatan lainnya. 2 – 5% kasus
akibat penggunaan obat di rumah sakit dengan jaundice, 10% dari semua kasus adalah
hepatits akut.
Tuberkulosis (TB) masih menjadi permasalahan kesehatan utama dengan angka insiden
9,4 juta kasus dan 1,7 juta mortalitas secara global di tahun 2009 (1). Lima negara endemik
TB adalah India, China, Afrika Selatan, Nigeria, dan Indonesia. Pengendalian TB dilakukan
dengan strategi Directly Observed Treatments, Short-course (DOTS). Komponen utama
strategi DOTS adalah regimen kemoterapi anti-TB standar jangka pendek yang
mengharuskan secara kontinu untuk mengkonsumsi obat kombinasi seperti Isoniazid (H),
Rifampicin (R), Pyrazinamide (Z), Ethambutol (E), dan Streptomycin (S) setiap hari selama
6-9 bulan. Meskipun obat anti TB (OAT) memiliki kemampuan bakteriosidik dan
bakteriostatik terhadap Mycobacterium tuberculosis, namun OAT juga menginduksi berbagai
efek samping, termasuk hepatotoksis, reaksi kulit, gangguan gastrointestinal dan gangguan
neurologis.

Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2013.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif potong-lintang (cross sectional) yang
melibatkan sebanyak 460 pasien tuberkulosis (TB) yang menerima directly observed
treatment strategy (DOTS). Dari hasil penelitian diperoleh 25 pasien yang mengalami
hepatitis akibat OAT dengan nilai insiden sebesar 5,4%. Gejala-gejala yang paling sering
timbul adalah rasa mual dan muntah (48%). Terjadi hepatitis ringan (20%), sedang (48%),
berat (4%), dan sengat berat (4%). Sebanyak 60% tanpa penyakit penyerta. Efek Hepatitis
yang menyebabkan pemberhentian OAT sementara sebesar 56% kasus dan yang tetap
meneruskan OAT sebesar 44% kasus, rata-rata durasi terapi hepatitis akibat Obat Anti
Tuberkulosis adalah 18 hari. Hepatitis akibat OAT dapat mempengaruhi angka keberhasilan
(outcome) terapi. Adanya insiden hepatitis akibat OAT dan besarnya populasi Hepatitis
tersebut di Rumah Sakit Saiful Anwar menunjukkan bahwa mendeteksi efek negatif dari
terapi OAT sangatlah penting.

Anti- tuberculosis drug induced liver injury (ATLI) merupakan salah satu efek samping
utama yang penting dan serius yang hampir mencapai angka 7% dibandingkan efek samping
yang lain. Insiden ATLI dilaporkan bervariasi dari 2% hingga 28% berdasarkan populasi
yang berbeda. Selain itu, ATLI dapat menurunkan efektivitas terapi TB, menyebabkan
penurunan kepatuhan minum obat, dan akan mengarah pada kegagalan terapi, timbulnya
kekambuhan, dan timbulnya resistensi obat. Keseluruhan dampak negatif tersebut secara
signifikan akan mengganggu pengendali epidemi kasus TB. Pada beberapa pasien di Rumah
Sakit dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang dengan kondisi ATLI yang severe, pengobatan OAT
harus di hentikan sampai kondisi ATLI membaik. Penghentian OAT ini sangat bervariasi
antar individu. Akibat penghentian OAT kemungkinan pasien berisiko mengalami
perburukan penyakit TB atau risiko resistensi menjadi lebih tinggi.

Data epidemiologi yang menggambarkan insiden terjadinya ATLI sangat dibutuhkan.


Disamping itu diperlukan juga upaya mengidentifikasi efek samping lebih dini dan
melakukan intervensi tepat waktu dalam mengahadapi kasus ATLI. Memahami gambaran
klinis dari ATLI seperti waktu onset, keparahan, gejala klinis utama, dan outcome terapi
merupakan hal yang sangat penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji
gambaran klinis dan angka kejadian ATLI di RSSA pada tahun.
3. Patogenesis

Mekanisme patofisiologi
 Gangguan hepatosit : Ikatan kovalen dari obat dengan protein intrasellular dapat
menyebabkan penurunan ATP, yang menyebabkan gangguan aktin. Gangguani
aktin di permukaan hepatosit menyebabkan pecahanya membrane hepatosit.
 Gangguan transportasi protein: Obat-obatan yang mempengaruhi transportasi
protein di membrane canalicular dapat mengganggu arus empedu. Hilangnya
processus villous dan gangguan pompa transportasi seperti resistensi multidrug-
protein 3 menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan cholestasis.
 Aktivasi sel Cytolytic T : Ikatan kovalen obat pada enzim P-450 bertindak sebagai
immunogen, mengaktifkan sel T dan cytokines dan merangsang kekebalan tubuh
yang multi respon.
 Apoptosis hepatosit : Aktivasi jalur apoptotic oleh reseptor faktor tumor nekrosis-
alpha receptor oleh Fas memicu kaskade intraselular, yang menghasilkan kematian
sel.
 Gangguan mitokondria : Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan
efek ganda terhadap produksi energi beta-oksidasi oleh hambatan sintesis
Nikotinamid adenin dinukleotida dan flavin adenin dinukleotida, mengakibatkan
penurunan produksi ATP.
 Kerusakan saluran empedu : metabolit toksik yang dieksresikan di empedu dapat
menyebabkan kerusakan epitel saluran empedu.

Mekanisme toksisitas obat


Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan
atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.
 Hepatotoksin yang predictable (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastikan
selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap
penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang
langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu
dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable
yang langsung merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan.
Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable
yang merusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya
parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin.
Tetrasiklin, etanol dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak
pada sel hati. Parasetamol menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi
dan steroid yang mengalami alkilasi pada atom C-17 menimbulkan ikterus akibat
terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus
karena mempengaruhi konyugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
 Hepatotoksin yang unpredictable : kerusakan hati yang timbul disini bukan
disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi
idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang
bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya
terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi
yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu
karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. Yang timbul
karena hipersensitivitas biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana
terjadi proses sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam,
ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa
atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose,
gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi. Reaksi idiosinkrasi yang timbul
karena kelainan metabolisme mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu
antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam,
ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di
atas. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat
diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa
hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang
cukup lama agar penumpukan metabolit hepatotoksik dari obat sampai pada taraf
yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati.

4. Faktor Resiko

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hepatitis karena obat, yaitu:
 Ras : Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda tergantung ras. Misalnya,
kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid (INH). 
 Hepatitis karena obat jarang ditemukan pada anak-anak. Resikonya meingkat pada
orang tua.
 Jenis kelamin : Dengan alasan yang tidak diketahui, hepatitis jenis ini lebih sering
terjadi pada perempuan.
 Konsumsi alkohol : orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap
hepatiis karena obat karena kerusakn hati mengubah metabolisme obat-obatan.
Alkohol menyebabkan penipisan glutathione (hepatoprotektif) yang membuat orang
lebih rentan.
 Faktor resiko lain : Orang dengan AIDS, malnutrisi, dan berpuasa mungkin rentan
terhadap narkoba karena rendahnya glutathione.

Daftar Pustaka

1. Tobias, H., Sherman, A., 2004, Hepatobiliary Tuberculosis. Dalam Rom W.N.,
Garray, S.M. (penyunting). Tuberculosis, Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
2. Arsyad, 1996, Evaluasi faal hati pada penderita tuberkulosis paru yang mendapat
terapi obat tuberkulosis. Cermin dunia Kedokteran, 110: 15-20
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Control: WHO Report 2010.
Geneva: WHO Press; 2010
4. Chitturi S and Farrell G. Drug-Induced Liver Disease. In: Schiff ER, Maddrey WC,
and Sorrell MF (Eds). Schiff's Diseases of the Liver 9th edition. Philadelphia:
Lippincott, Williams & Wilkins; 2002; p. 1059–1128
5. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Materi Inti II Pengobatan Pasien Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai