Anda di halaman 1dari 4

Masalah Hukum Penundaan Kontrak

Akibat Penyebaran Covid-19


Force majeur bukanlah keadaan yang terjadi demi kontrak, melainkan demi hukum.
Sepanjang tidak diperjanjikan lain, aturan kahar dalam KUH Perdata berlaku.

Aktivitas korporasi baik nasional maupun global ikut menerima dampak yang sangat besar akibat
merebaknya Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Tingkat penularan yang sangat cepat, risiko
kematian bagi orang dengan daya tahan tubuh lemah hingga anti-virus yang belum ditemukan
membuat sejumlah negara dan pemerintahan mengambil kebijakan yang berimplikasi secara
hukum.

Kebijakan lockdown atau social distancing membuat entitas bisnis terganggu. Diperkirakan
banyak perusahaan atau orang yang tidak dapat menepati janjinya. Misal, pengiriman barang ke
suatu negara yang sedang menerapkan lockdown. Dengan kata lain, kemungkinan besar banyak
kontrak, perjanjian, transaksi bisnis atau kegiatan yang tertunda akibat penyebaran wabah Covid-
19.

Dalam lingkungan bisnis, kegagalan memenuhi perjanjian alias wanprestasi acapkali dapat
dibenarkan oleh hukum jika orang yang tak memenuhi prestasi dapat membuktikan ada halangan
yang tak dapat dihindari. Bencana alam, misalnya. Terkait dengan wabah Covid-19, apakah
secara hukum pandemik global ini dapat dijadikan alasan sebagai force majeur untuk tidak
menjalankan perjanjian? Apakah harus ada penetapan bencana nasional agar kejadian Covid-19
dapat disebut force majeur atau kahar?

Praktisi yang selama ini mendalami hukum kontrak, Ricardo Simanjuntak, berpendapat force
majeur merupakan suatu halangan dimana salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk
menghindari halangan itu walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang
mendukung terjadinya force majeur, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi kapan
terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas terjadinya halangan itu.

Menurut Ricardo, untuk bisa dikategorikan force majeur, halangan itu tak harus bersifat
permanen. Peristiwa yang terjadi secara temporer pun masih bisa dikategorikan force majeur.
Yang penting unsur-unsur tadi terpenuhi. “Bila seluruh unsur itu menjadi satu kesatuan dan
secara manusiawi dia betul-betul tidak memiliki contributory effect dalam peristiwa itu, maka di
situlah force majeur berlaku,” jelasnya kepada hukumonline.

Keseluruhan unsur itu, disebut Ricardo terpenuhi dalam kasus corona. Alasannya, Pertama,
orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak terprediksi). Kedua, orang tidak memiliki
contributory effect atas penyebaran wabah ini. Ketiga, wabah corona memang suatu halangan
dimana orang tidak bisa mengesampingkannya.

Advokat Rahmat Soemadipraja berpendapat bahwa sebetulnya agak sulit secara umum
menjadikan Covid-19 sebagai dasar untuk menerima argumen force majeur. Tapi hal ini dapat
mudah sekali berubah dengan adanya keputusan atau kebijakan penguasa lokal, provinsi atau
nasional yang isi ketentuannya dapat menghambat pelaksanaan ketentuan suatu
perikatan/kontrak. “Mesti dimonitor dari jam ke jam mengenai adanya keputusan atau kebijakan
penguasa yang dapat mengubah keadaan,” katanya.

Pertanyaannya, sejak kapan halangan itu bisa dikategorikan force majeur? Apakah ada parameter
tertentu? Menurut Ricardo, force majeur bisa berlaku ketika regulator mengatur hal tersebut.
Regulatornya mungkin saja Presiden, atau gubernur di level provinsi. Misalnya, jika Gubernur
DKI Jakarta menyatakan Jakarta di-lockdown. Dari kebijakan ini, otomatis kegiatan transportasi
banyak yang diberhentikan. Sehingga, akan ada banyak sekali kegiatan di hotel-hotel, tiket
pesawat yang sudah terlanjur dibeli, terpaksa harus memilih dua kemungkinan yakni reschedule
(penundaan pelaksanaan)atau frustrated (mengaggap objek yang diperjanjikan musnah).

“Apakah tiket pesawat, sewa hotel itu bisa di reimburse atau di reschedule? Mau tidak mau
otomatis harus bisa dilakukan. Karena ketidak mampuan dia untuk menggunakan tiket tadi tidak
terjadi atas kemauan dia,” jelas Ricardo.

Force Majeur Demi Hukum

Ricardo juga menyebutkan bahwa pada prinsipnya suatu kondisi force majeur bukanlah semata-
mata keadaan yang terjadi demi kontrak, melainkan terjadi demi hukum. Dasar hukumnya jelas
termaktub dalam Pasal 1245 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan
bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu
keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah memperjanjikan
kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force majeur, pembebasan itu tetap berlaku
berdasakan Pasal 1245 KUHPerdata. “Semua pelaku usaha harus mematuhi, kalaupun ada
keberatan dari sisi teknis hukum terkait hak dan kewajiban dalam kontrak, pihak tersebut tetap
harus mengikuti upaya pembebasan semua pihak melalui force majeur,” jelasnya.

Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Abdul Salam, menjelaskan Pasal
1245 itu masuk dalam bagian Buku III KUHPerdata yang sifatnya melengkapi perjanjian.
Artinya, sepanjang para pihak tidak mengatur sebaliknya, maka ketentuan Buku III itu,
khususnya terkait force majeur,akan berlaku. Bila perjanjian misalnya mengatur pandemi bukan
bagian dari force majeur, maka harus berlaku demikian. “Akan tetapi, kalau tidak diperjanjikan
para pihak, maka pandemi itu bisa dianggap force majeur,” jelasnya.

Force majeur atau keadaan memaksa memiliki dua sifat, yakni umum dan khusus. Force majeur
yang sifatnya umum berkaitan dengan act of god, sementara force majeur yang bersifat khusus
berhubungan dengan act of human. Berhubung dalam kasus pandemik corona pemerintah
Indonesia mengeluarkan aturan, maka force majeur konteks corona disebut Abdul masuk dalam
kategori khusus (act of human).

Jika dilihat dari segi posisi kasus, dikenal pula force majeur relatif yang unsurnya difficulty
(kesulitan), dan force majeur absolut yang memiliki anasir impossibility (ketidakmungkinan).
“Kalau corona ini, para pihak masih bisa melakukan pekerjaan, tapi sulit, karena takut tertular
virus. Jadi ukurannya bukan impossible, tapi difficulties,” jelasnya.

Penanggung Kerugian.

Bila force majeur bisa menjadi alasan pembebasan seseorang dari kewajiban menunaikan
prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan, tentu kerugian dari berbagai sektor bisnis tak dapat
dielakkan. Pertanyaannya, haruskah pelaku usaha menanggung sendiri risiko kerugian ataukah
hukum memberi peluang penanggungan ganti kerugian yang lebih ideal? Dalam hal ini, Abdul
Salam dan Ricardo Simanjuntak memiliki pandangan yang senada. Pada prinsipnya, kata Abdul
Salam, siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian, maka dia yang akan menanggung risiko
kerugian dalam suatu kontrak.

Lain halnya dengan pandemi corona yang telah disepakati sebagai bencana diluar kehendak dan
kemampuan manusia. Ia berpandangan, konteks penanggungan rugi dalam kondisi epidemi tetap
harus merujuk pada bentuk perjanjiannya terlebih dahulu. Bila belum diatur khusus, harusnya
semua orang yang terlibat dalam transaksi itu harus menanggung risiko, setengah-setengah
pembagiannya lebih ideal. “Di sini berlaku prinsip keadilan, setiap pihak harus tanggung, lain
halnya kalau di perjanjian sudah diatur siapa yang harus tanggung risiko dalam kondisi
pandemik,” jelasnya.

Abdul menggaris bawahi konteks penanggungan risiko ini sedikit berbeda dengan konteks
penumpang airlines. Dalam kondisi pandemi, masyarakat yang telah membeli tiket pesawat
harusnya bisa memperoleh refund 100 persen dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan
maskapai. Persoalannya, kalau penumpang membeli tiket promo. Untuk tiket promo, biasanya
maskapai tidak menyediakan refund. “Tapi dalam kondisi ini harusnya penumpang tetap
mempunyai hak untuk reschedule,” jelasnya.

Sepakat dengan Abdul, Ricardo juga berpandangan untuk tiket promo harusnya bisa dilakukan
reschedule dalam kondisi force majeur. Bila maskapai enggan membuka peluang reschedule,
artinya maskapai tidak mematuhi akibat hukum dari force majeur. “Dalam kondisi ini maskapai
bisa dituntut lewat gugatan,” tegas Ricardo.

Lagi pula, bila maskapai tak mematuhi force majeur, belum tentu akan menguntungkan untuk
maskapai, mengingat maskapai pun sebetulnya juga berkontrak dengan pihak lain seperti mitra
supplier. “Kalau dia tidak mau menghargai force majeur terhadap konsumen dia, dia juga jangan
excuse force majeur kepada mitra supplier dia,” tukasnya.

NAMA : SULISTIYANI

NPM : 183112340250364

MATA KULIAH : HUKUM BISNIS

Anda mungkin juga menyukai