Anda di halaman 1dari 12

BAB Idwwwwwwwwwwwwwww

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagai Warga Negara dan masyarakat, setiap manusia Indonesia


mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, yang pokok adalah
bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya dan mendapatkan status
kewarganegaraan,sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi tidak
berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak
boleh membiarkan seseorangmemiliki dua status kewarganegaraan
sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara
negara-negara modern untuk menghindaristatus dwi-kewarganegaraan
tersebut oleh karena itu disamping pengaturankewarganegaraan
berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi)
tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana,yaitu melalui
regristrasi biasa.

Kewarganegaraan adalah hak bagi setiap orang. Menurut pasal 26 UUD


1945, yang menjadi warga negara Indonesia ialah orang-orang bangsa
Indonesia asli, dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warganegara . Semenjak diproklamasikan Republik
Indonesia soal kewarganegaraan merupakan suatu masalah yang tetap
aktual. Perhatian terhadap persoalan ini tak kunjung padam. Terutama dari
pihak mereka yang dipandang sebagai “warga negara baru”. Masalah ini
merupakan buah tuturan yang tak ada habis habisnya dalam percakapan
sehari-hari. Memiliki status kewarganegaraan adalah tuntutan mutlak
kehidupan modern. Setiap orang modern tentu sadar akan kepentingannya.

1
Banyak persoalan dan kesulitan akan dialami oleh mereka yang tidak jelas
status kewarganegaraanya. Kesulitan yang paling mengancam adalah bahwa
sulit sekali mendapat perlindungan hukum dari pemerintah apa pun untuk
mereka yang tidak memiliki status tersebut apabila pada suatu ketika mereka
membutuhkan jaminan dan perlindungan hukum.
Salah satu unsur negara adalah adanya penduduk. Orang yang berada
dalam wilayah negara Republik Indonesia dapat dibagi menjadi dua yaitu
penduduk dan bukan penduduk. Mereka yang digolongkan sebagai
penduduk Indonesia adalah mereka yang berada di wilayah NKRI dalam
jangka waktu tertentu dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam peraturan Republik Indonesia sehingga diperbolehkan
berdomisili di wilayah Republik Indonesia. Di negara dimana saja seseorang
menetap, maka ia disebut.

B.  Rumusan Masalah
a) Bagaimana dasar teori kewarganegaraan di Indonesia?
b) Bagaimana kasus kewarganegaraan Ny. Surtiati?

C.  Tujuan Penulisan
a) Mengetahui dasar teori kewarganegaraan di Indonesia
b) Mengetahui kasus kewarganegaraan Ny. Surtiati

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Teori Kewarganegaraan di Indonesia

Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai dari suatu


penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut
hambaatau kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan
kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba
atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota
atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang
didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu, setiap warga negara
mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara
memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.

Sejalan dengan definisi di atas, A.S. Hikam pun mendefinisikan bahwa


warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota
dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendir. Istilah ini
menurutnya lebih baik ketimbang istilah kawula negara, karena kawula
negara betul-betul berarti objek yang dalam bahasa Inggris (object) berarti
orang yang dimiliki dan mengabdi kepada pemiliknya.

Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan


anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara
mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai
hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.

Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD


1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain
yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan

3
UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa oarang-orang bangsa lain,
misalnya orang peranakan Belanda, pernakan Cina, peranakan Arab dan
lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai
Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat
menjadi warga negara.

Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa


warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan
perundang-undangan dan / atau perjanjian-perjanjian dan / atau peraturan-
peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 agustus 1945 sudah menjadi
warga negara Republik Indonesia.

Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan Republik Indonesia dinyatakan bahwa Indonesia dalam
penentuan kewarganegaraan menganut empat asas berikut ini, yaitu:

1. Asas Sanguinis (Asas Law of The Blood)

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa asas ini menetapkan


kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunannya. Jika salah
satu orangtuanya mempunyai kewarganegaraan Indonesia, menurut
pernikahan yang sah, maka orang tersebut kelak bisa mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia. Asas ini memberikan ruang terhadap
semua pernikahan campur antara dua negara, agar anaknya dapat
menjadi warga negara Indonesia. Nantinya, cara mengajukan
kewarganegaraan sesuai syarat menjadi warga negara Indonesia yang
berlaku.

2. Asas Ius Soli (Asas Law the Soil)


Indonesia juga menganut asas ius soli. Asas ini menetapkan
kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran dan berlaku terbatas
pada kewarganegaraan anak-anak. Jika ada seseorang dilahirkan di

4
Indonesia, maka orang tersebut dapat menjadi warganegara Indonesia
suatu saat sesuai keinginan. Begitu pula dengan pasangan warga
negara Indonesia yang melahirkan anak di luar negeri, maka
berdasarkan kelahiran, anaknya dapat disebut sebagai warga negara
asing.
3. asas Tunggal

Asas yang memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia


tidak boleh mempunyai dua kewarganegaraan. Jika seorang lahir di
luar negeri dari pasangan Indonesia, maka dia hanya boleh memilih
satu kewarganegaraan. Setelah dewasa, harus memilih warga negara
mana yang diinginkan. Jadi, dalam undang-undang tidak mengenal
kewarganegaraan ganda atau bipatride. Bagi Indonesia, nasionalisme
seseorang harus ditunjukkan dengan kewarganegaraannya. Jangan
sampai suatu saat ada konflik kepentingan, karena dua
kewarganegaraan yang dimiliki. Perbedaan kewarganegaraan tunggal
dan kewarganegaraan ganda akan terlihat dari sisi nasionalisme
warga negara.

B. Analisis Kasus Ny. Surtiati Wu

Dalam pembahasan kasus yang akan dibahas adalah, kasus perceraian


seseorang bernama Ny. Surtiati Wu Warga Negara Indonesia yang
melakukan perkawinan campuran dengan Dr. Charlie Wu alias Wu Chia Hsin.

Pada awalnya Ada seseorang bernama Ny. Surtiati Wu Warga Negara


Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. Charlie Wu alias Wu
Chia Hsin yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta.
Perkawinan tersebut telah dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta
dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama Alice dan Denise
tahun 1986 dan 1987. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya

5
sudah tidak harmonis. Hal ini disebabkan karena dari pihak sang istri tidak
dapat melakukan kewajiban semestinya, sifatnya kasar, dan keras kepala.
Ketidakharmonisan tersebut akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang
diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam
Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya
diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan
permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat keputusan banding.
Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.

Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987,
maka peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968.
Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI)
adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan
kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum
menikah di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat
disimpulkan bahwa Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”.
Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran
antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu),
maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah
dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni
apabila negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi si anak
yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus apatride atau tanpa
kewarganegaraan.

Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang
menganut asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat
kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Kedua anak yang
merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie Wu dengan Ny.

6
Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi
pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.

Berdasarkan Pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut


mengikuti kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun,
berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika Serikat,
kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka,
yaitu Indonesia. Maka hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi
apatride. Akan tetapi UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride”
dimana terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu,
dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu
mengajukan permohonan ke pengadilan.

Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika.
Hal ini dimungkinkan dengan cara pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua
anak tersebut adalah kedua anaknya sehingga harus mengikuti
kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 17
UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui
oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang
bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan
dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan
paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor
Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17
tersebut berlaku. Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu
yang seorang WNA sebagai anaknya.

Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-


uraian mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk,
seperti kasar, keras kepala, mau menang sendiri, dan suka berbohong yang
akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan dan percekcokan di dalam

7
rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari dilangsungkannya
lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan,
yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang
wajar apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang
diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr.
Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.

Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak
dari Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua
mereka bercerai karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan
menambah penderitaan batin mereka saja dan lagi mereka tidak keberatan
apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie Wu). Apabila
menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :

1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga


menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah
tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin
bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan
Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr.
Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat
dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan
jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka
sampai perguruan tinggi. Maka, putusan Mahkamah Agung untuk
menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu

8
serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang
berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.

Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan


Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk
perkawinan ini terdapat kontradiksi yang kuat antara doktrin ketertiban umum
dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie Wu menikah dengan Ny.
Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama sekali
sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di
Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka
permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh Indonesia
berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU
Kewarganegaraan.

Dengan demikian setiap orangtua berkewajiban memelihara anak-


anaknya. Pemeliharaan anak tersebut mencakup segala hal. Mulai dari
makanan, tempat tinggal, kebutuhan hidup sehari-hari, pendidikan, bahkan
sampai kepada perkembangan psikologis anak.

Pasal 41 huruf a Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


menyatakan:

“…Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak;…”

Berdasarkan hal tersebut di atas, saudara dapat meminta secara baik-


baik kepada mantan istri untuk menyerahkan hak asuh anak tersebut
kepada Saudara. Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saudara juga dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mencabut hak asuh dari mantan
Istri saudara, yang lebih lengkapnya berbunyi :

9
(1) Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas
dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
a) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b) Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Permasalahan yang menimpa sutriati ini merupakan tanggung jawab


bersama, baik dari pemerintah dengan pembenahan sistem dan
mekanismenya maupun warga negara Indonesia terutama yang sudah
berumah tangga. Ny. Sutriati hanyalah sepotong contoh kasus permasalahan
perceraian. Selanjutnya, guna mencegah meningkatnya kasus-kasus serupa
maka diperlukan suatu pembenahan secara konkret dari pemerintah, agar
kasus-kasus tersebut tidak terulang kembali.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. http://aidilakbar05.blogspot.com/2016/06/katapengantar-segala-dan-
syukur-seraya.html
2. https://www.futuready.com/artikel/berita/asas-kewarganegaraan/

12

Anda mungkin juga menyukai