Anda di halaman 1dari 6

5.2.

2 Patofisiologi dan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Demam


Thypoid
1. Pengertian
Demam tifoid merupakan suatu penyakit inflamasi usus yang disebabkan oleh
bakteri atau kuman gram negatif salmonela thypi yang sering dihubungkan
dengan
status sosial ekonomi rendah dan kurangnya kebersihan (Mweu & English, 2008).
2. Penyebab
Penyebab demam thypoid adalah salmonella thypi atau Paratyphi A, Paratyphi B.
Karakteristik S.typhi
 Basil gram (-).
 Memfermentasi laktosa.
 Bergerak dengan rambut getar.
3. Patogenesis
Kuman masuk kedalam saluran pencernaan melalui makanan/minuman yang
mengandung salmonella thypi. Kuman masuk melewati lambung dan mencapai
usus halus (ileum). Kuman kemudian menembus dinding usus halus dan masuk ke
folikel limfoid usus halus (plaque peyeri). Kuman ikut dalam aliran limfe
mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakterimia primer) dan mencapai jaringan
RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami
bakterimia kedua, kuman menyebar ke organ lain (intra dan ekstra intestinal)
melalui sirkulasi darah. Masa inkubasi adalah 10-14 hari (Sastroasmoro. dkk,
2007).
4. Tanda dan gejala
a. Masa inkubasi 10-12 hari; mungkin ditemukan gejala prodromal tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat.
b. Demam berlangsung selama 3minggu, febris remitten, suhu tidak terlalu tinggi
1) Minggu I, suhu tubuh biasanya meningkat pada sore/malam hari dan
menurun di pagi hari.
2) Minggu II, demam persisten/menetap.
3) Minggu III, suhu berangsur turun, dan mendekati normal.
c. Gangguan pada saluran cerna
1) Pada mulut: bibir pecah-pecah, bau mulut, lidah kotor/tertutup selaput
putih, ujung dan tepi lidah kemerahan, kehilangan nafsu makan, dan diare
2) Pada abdomen: distensi abdomen, nyeri tekan, hepatomegali, dan kadang-
kadang ditemui splenomegali
d. Ganggun kesadaran pada keadaan yang berat
1) Kesadaran menurun, mengantuk, bingung, dan apatis
2) Disorientasi, menggigau
e. Gangguan lain: nafas cepat dangkal, muncul bintik merah (rose spot) di kulit.
5. Pemeriksaan diagnostik
Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui
pemeriksaan laboratorium. Penegakan diagnosis demam tifoid berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik dan anamnesis belum tepat, karena bisa saja ditemukan gejala
yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak. Oleh karena itu, selain menilai
gejala spefisik juga diperlukan pemeriksaan laboratorium atau penunjang lainnya
untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat
kelompok, yaitu:
a. Pemeriksaan darah tepi.
 Anemia, pada umumnya terjadi krena supresi sumsum tulang, defisiensi
besi dan perdarahan usus.
 Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/μl.
 Limfosistosis relatif.
 Trombositopenia terutama pada demam tifoid berat.
b. Pemeriksaan bakteriogis dengan isolasi dan biakan kuman.
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya dapat ditemukan juga dalam urine dan feses.
c. Uji serologis
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1)
uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
a) Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibody
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-
beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam
jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Kenaikan titer S.typhi titer O ≥
1:120 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesen.
b) Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel
yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan
dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
c) Enzyme immunoassay (EIA) Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk
melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi.
Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada
fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Menurut Narayanappa, et al (2010) Typhidot-M memiliki
sensitivitas 92,6% untuk diagnosis awal demam tifoid dan metoda ini lebih
sederhana jika dibandingkan dengan tes widal.
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan
IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd)
dan antibodi terhadap antigen Vi S. Typhi.
d. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. Typhi.
6. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Antipiretik bila suhu tubuh > 38,3°C. kartikosteroid dianjurkan pada
demam tifoid berat.
 Kloramfenikol : 50-100mg/kg BB/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis
selama 10-14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit < 2000/μl, dosis
maksimal 2g/hari.
 Amoksisilin 150-200mg/kgBB/hari, oral atau IV selama 14 hari.
 Sefriakson 20-80mg/kgBB/hari selama 5-10 hari.
b. Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus.
c. Pencegahan
1) Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan hygiene perorangan dan
lingkungan seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
pengamanan pembuangan limbah feses.
2) Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam
tifoid, terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang berpergian ke daerah
endemic.
 Vaksin polisakarida (cospular Vi polysaccharide), pada usia 2 tahun atau
lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 bulan.
 Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia > 6 tahun dengan interval
selang sehari (hari 1, 3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum
beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang
berpergian ke daerah endemik.
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
 RKS; klien mengeluh tidak enak badan, letih, nyeri kepala, bibir pecah-
pecah, tidak nafsu makan, nyeri kepala, demam terutama sore/ malam hari.
 RKD; riwayat sakit saluran cerna, riwayat peny kandung empedu
 RKK; riwayat klg menderita typoid, higiene keluarga jelek
 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum
 Tingkat kesdaran: menurun
 TTV: suhu meningkat, nafas cepat dangkal, nadi bradikardi relatif, TD
normal/menurun
 Pengkajian sistem tubuh
 Mata cekung
 Mulut; bibir kering dan pecah-pecah, lidah berselapu/kotor
 Abdomen ; distensi abdomen, nyeri tekan, splenomegali, hepatomegali
 Integumen ; rose spot
 Ekstremitas; kekuatan otot menurun, kelemahan
b. Diagnosa Keperawatan
 Peningkatan suhu tubuh(hipertermi) b/d efek sirkulasi endotoksin pada
hipotalamus, peningkatan metabolism
 Pemenuhan nutrsi: <kebutuhsn tubuh b/d intake tidak adekuat, gangguan
absorbsi, peningkatan kebutusn metabolik(infeksi)
 Intoleransi aktivitas b/d penurunan kekuatan
 Perubahan persepsi sensori
 Resiko kekurangan volume cairan
c. Intervensi
Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) b/d ↑metabolisme, efek sirkulsi endotoksin
Tujuan: suhu tubuh normal
Kriteria hasil: suhu dalam rentang normal, tidak ada komplikasi sehubungan
dengan peningkatan suhu
Intervensi
 Pantau suhu klien (derajat dan pola)
 Pantau suhu ligkungan
 Beri kompres hangat
 Kolaborasi utk pemberian antipiretik dan antibiotik

Anda mungkin juga menyukai