2 Patofisiologi dan Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Demam
Thypoid 1. Pengertian Demam tifoid merupakan suatu penyakit inflamasi usus yang disebabkan oleh bakteri atau kuman gram negatif salmonela thypi yang sering dihubungkan dengan status sosial ekonomi rendah dan kurangnya kebersihan (Mweu & English, 2008). 2. Penyebab Penyebab demam thypoid adalah salmonella thypi atau Paratyphi A, Paratyphi B. Karakteristik S.typhi Basil gram (-). Memfermentasi laktosa. Bergerak dengan rambut getar. 3. Patogenesis Kuman masuk kedalam saluran pencernaan melalui makanan/minuman yang mengandung salmonella thypi. Kuman masuk melewati lambung dan mencapai usus halus (ileum). Kuman kemudian menembus dinding usus halus dan masuk ke folikel limfoid usus halus (plaque peyeri). Kuman ikut dalam aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakterimia primer) dan mencapai jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami bakterimia kedua, kuman menyebar ke organ lain (intra dan ekstra intestinal) melalui sirkulasi darah. Masa inkubasi adalah 10-14 hari (Sastroasmoro. dkk, 2007). 4. Tanda dan gejala a. Masa inkubasi 10-12 hari; mungkin ditemukan gejala prodromal tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat. b. Demam berlangsung selama 3minggu, febris remitten, suhu tidak terlalu tinggi 1) Minggu I, suhu tubuh biasanya meningkat pada sore/malam hari dan menurun di pagi hari. 2) Minggu II, demam persisten/menetap. 3) Minggu III, suhu berangsur turun, dan mendekati normal. c. Gangguan pada saluran cerna 1) Pada mulut: bibir pecah-pecah, bau mulut, lidah kotor/tertutup selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan, kehilangan nafsu makan, dan diare 2) Pada abdomen: distensi abdomen, nyeri tekan, hepatomegali, dan kadang- kadang ditemui splenomegali d. Ganggun kesadaran pada keadaan yang berat 1) Kesadaran menurun, mengantuk, bingung, dan apatis 2) Disorientasi, menggigau e. Gangguan lain: nafas cepat dangkal, muncul bintik merah (rose spot) di kulit. 5. Pemeriksaan diagnostik Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Penegakan diagnosis demam tifoid berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis belum tepat, karena bisa saja ditemukan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak. Oleh karena itu, selain menilai gejala spefisik juga diperlukan pemeriksaan laboratorium atau penunjang lainnya untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu: a. Pemeriksaan darah tepi. Anemia, pada umumnya terjadi krena supresi sumsum tulang, defisiensi besi dan perdarahan usus. Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/μl. Limfosistosis relatif. Trombositopenia terutama pada demam tifoid berat. b. Pemeriksaan bakteriogis dengan isolasi dan biakan kuman. Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya dapat ditemukan juga dalam urine dan feses. c. Uji serologis Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). a) Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibody aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda- beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Kenaikan titer S.typhi titer O ≥ 1:120 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesen. b) Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. c) Enzyme immunoassay (EIA) Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Menurut Narayanappa, et al (2010) Typhidot-M memiliki sensitivitas 92,6% untuk diagnosis awal demam tifoid dan metoda ini lebih sederhana jika dibandingkan dengan tes widal. d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. Typhi. d. Pemeriksaan kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. Typhi. 6. Penatalaksanaan a. Medikamentosa Antipiretik bila suhu tubuh > 38,3°C. kartikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat. Kloramfenikol : 50-100mg/kg BB/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit < 2000/μl, dosis maksimal 2g/hari. Amoksisilin 150-200mg/kgBB/hari, oral atau IV selama 14 hari. Sefriakson 20-80mg/kgBB/hari selama 5-10 hari. b. Tindakan bedah Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus. c. Pencegahan 1) Higiene perorangan dan lingkungan Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan hygiene perorangan dan lingkungan seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses. 2) Imunisasi Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang berpergian ke daerah endemic. Vaksin polisakarida (cospular Vi polysaccharide), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 bulan. Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia > 6 tahun dengan interval selang sehari (hari 1, 3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang berpergian ke daerah endemik. 7. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian RKS; klien mengeluh tidak enak badan, letih, nyeri kepala, bibir pecah- pecah, tidak nafsu makan, nyeri kepala, demam terutama sore/ malam hari. RKD; riwayat sakit saluran cerna, riwayat peny kandung empedu RKK; riwayat klg menderita typoid, higiene keluarga jelek Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Tingkat kesdaran: menurun TTV: suhu meningkat, nafas cepat dangkal, nadi bradikardi relatif, TD normal/menurun Pengkajian sistem tubuh Mata cekung Mulut; bibir kering dan pecah-pecah, lidah berselapu/kotor Abdomen ; distensi abdomen, nyeri tekan, splenomegali, hepatomegali Integumen ; rose spot Ekstremitas; kekuatan otot menurun, kelemahan b. Diagnosa Keperawatan Peningkatan suhu tubuh(hipertermi) b/d efek sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, peningkatan metabolism Pemenuhan nutrsi: <kebutuhsn tubuh b/d intake tidak adekuat, gangguan absorbsi, peningkatan kebutusn metabolik(infeksi) Intoleransi aktivitas b/d penurunan kekuatan Perubahan persepsi sensori Resiko kekurangan volume cairan c. Intervensi Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) b/d ↑metabolisme, efek sirkulsi endotoksin Tujuan: suhu tubuh normal Kriteria hasil: suhu dalam rentang normal, tidak ada komplikasi sehubungan dengan peningkatan suhu Intervensi Pantau suhu klien (derajat dan pola) Pantau suhu ligkungan Beri kompres hangat Kolaborasi utk pemberian antipiretik dan antibiotik