NIM : A1C117007
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak
keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori akuntansi tradisional,
perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang
maksimum kepada masyarakat sesuai konsep trickle down kapitalisme. Namun seiring
dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin menyadari adanya dampak-dampak sosial
yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk mencapai laba yang
maksimal, yang semakin besar dan semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu,
masyarakat pun menuntut agar perusahaan senantiasa memperhatikan dampak-dampak sosial
yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya.
Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh para karyawan dan buruh
dalam rangka menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lainnya yang
dirasakan kurang mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh
pihak masyarakat, baik masyarakat sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan
sekitar pabrik. Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan
kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan protes yang dilakukan masyarakat di
sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah
pabrik.
Pengaruh lingkungan terhadap sebuah organisasi menjadi sangat kental, hal ini terjadi
karena adanya ketergantungan organisasi terhadap sumber-sumber yang terdapat pada
lingkungan. Hal ini ditegaskan oleh Lubis dan Huseini (1987) yang menyebutkan bahwa
organisasi mempunyai ketergantungan ganda terhadap lingkungannya, karena produk dan
jasa yang merupatkan output organisasi dikonsumsi oleh pemakai yang terdapat dalam
lingkungannya. Dari pihak lain, organisasi juga mendapatkan berbagai jenis input dari
lingkungannya. Posisi input dan output ini menjadi berbahaya jika pertukaran input dan
output menjadi tidak seimbang.
Salah satu definisi CSR yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam aktivitas
CSR adalah definisi yang dikemukakan oleh The World Business Council For Sustainable
Development (WBCSD) dalam Wibisono (2007:7), mengemunkakan bahwa:
“CSR is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to
economic development while improving the quality of life of the workforce and their families
as well as of the local community and society at large”, yaitu “komitmen bisnis untuk
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan
perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan
masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan
kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota
masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta
memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus
memelihara”
Terobosan terbesar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui
konsep “3P” (profit, people, dan planet) yang dituangkan dalam bukunya “Cannibals with
Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang dirilis pada tahun 1997.
Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni,
bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada
masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Perusahaan sebagai entitas ekonomi, bertujuan untuk mencetak laba yang optimal
guna meningkatkan kekayaan para pemilik saham. Namun itu saja belum cukup,
keberlanjutan bisnis perusahaan (sustainable business) tidak terjamin bila hanya
mengandalkan laba yang tinggi semata, tetapi perusahaan juga harus memiliki komitmen
yang tinggi dalam menjalankan program CSR (Darwin, 2006:115). Jadi, jika ditelaah lebih
lanjut, ternyata tidak ada pertentangan antara motif perusahaan untuk meraih laba dan di satu
sisi juga turut aktif melaksanakan program-program CSR. Bahkan program CSR merupakan
investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan.
Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagai sentra
laba (profit center) di masa mendatang.
Ada tiga komponen utama dalam suistainability yaitu keadaan ekonomi, lingkungan
dan masyarakat. Ketika pertimbangan lingkungan dan masyarakat dilakukan dalam sebuah
bisnis, ada dua komponen terpisah lainnya yang sering teridentifikasi yaitu peertimbangan
eco-efficiency dan eco-justice. Dimana saat perusahaan memilih untuk membuat laporan
lingkungannya sendiri maka perusahaan tersebut akan cenderung hanya fokus pada eco-
efficiency. Sedangkan dalam suistainability dua komponen ini harus terlibat. Eco-efficiency
fokus untuk memaksimalkan kegunaan jumlah sumber daya yang digunakan dan
meminimalkan keterlibatan lingkungan dalam menggunakan sumber daya. Sedangkan eco-
justice akan memperlihatkan bagaimana entitas menggunakan sumber daya yang terbatas
untuk memastikan bahwa kelompok tertentu yang dirugikan tidak dilupakan. Hal lain yang
dipertimbangkan adalah kepedulian terhadap keselamatan, pendidikan dan peluang karyawan,
ketaatan atas hak-hak manusia dan kesamaan peluang, keterlibatan orang-orang pribumi serta
dukungan atas kemajuan negara.
Menimbang hal itu, maka berinisiatiflah sejumlah institusi guna menciptakan sistem
pelaporan yang bisa berlaku universal untuk semua perusahaan. Salah satu yang terkenal
adalah Global Reporting Initiative (GRI) yang diluncurkan tahun 1997. GRI membuat
sustainability reporting guideline yang memberi petunjuk pembuatan laporan dengan
memperhatikan aspek ekonomi-sosial-lingkungan, atau yang dikenal dengan aspek triple
bottom line. Hanya saja, GRI pun tak bisa mewajibkan perusahaan membuat laporan. Sebagai
pelaporan yang paling banyak dijadikan rujukan dalam CSR reporting saat ini, GRI memberi
pilihan dan fleksibilitas bagi penggunanya.
1) Akuntansi keuangan focus pada informasi yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dalam membuat keputusan terhadap alokasi sumber daya yang ada.
Sehingga hanya focus kepada kepentingan keuangan stakeholders dalam entitas.
2) Sehubungan dengan focus informasi tersebut, salah satu landasan dari akuntansi
keuangan adalah prinsip materialis, yang akan menghalangi informasi pelaporan
lingkungan dan masyarakat dan memberikan kesulitan dalam mengukur biaya sosial
dan lingkungan.
3) Hal penting yang dinyatakan oleh Gray, Owen dan Adams (1996) hal lain yang
muncul bahwa ternyata pelaporan entitas sering mengabaikan liability, khususnya
yang tidak dapat diselesaikan dalam beberapa tahun dengan menggunakan present
value. Hal ini cenderung membuat expenditure yang akan datang sedikit lebih
signifikan pada periode saat ini.
4) Akuntansi keuangan menggunakan asumsi entitas. Dimana syaratnya adalah
organisasi diperlakukan sebagai entitas yang berbeda dari pemiliknya, organisasi lain,
dan dari stakeholders yang lain. Jika transaksi atau kegiatan tidak memberikan
dampak secara langsung terhadap entitas, maka kegiatan atau transaksi ini diabaikan
sebagai manfaat akuntansi. Ini berarti pihak luar ditolak oleh pelaporan entitas
sehingga penyajian dan penilaian kinerja tidak dilengkapi oleh perspektif atau
pandangan masyarakat luas.
5) Expences didefinisikan sebagai cara untuk meniadakan pengeluaran atas berbagai
dampak pada sumber penghasilan yang tidak dapat dikendalikan oleh entitas.
6) Keterbatasan lain terkait dengan pengukuran. Dimana setiap item yang dicatat dalam
akuntansi keuangan harus dapat diukur dengan alasan yang tepat.
Akuntansi sosial ekonomi merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan
dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan
tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social reporting
disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian dan
tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis. Diharapkan melalui media ini
tingkat tanggung jawab sosial perusahaan dapat mempengaruhi secara positif perilaku
investor. Investor seharusnya tidak hanya melihat aspek keuangan saja, tetapi juga tanggung
jawab sosial perusahaan harus mendapatkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
bisnis.
Akan tetapi sampai saat ini pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan
keuangan masih bersifat sukalera, dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
No. 1 Paragraf ke sembilan dinyatakan: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan
tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added
statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang
peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna
laporan yang memegang peranan penting”. PSAK tersebut tidak secara tegas mengharuskan
perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka. Pengelompokan, pengukuran
dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk pelaporan tanggung jawab sosial diserahkan pada
masing-masing perusahaan.