Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ANAVIA AGNES CAHYANI

NIM : A1C117007

EXTENDING CORPORATE ACCOUNTABILLITY : THE INCORPORATION OF


SOCIAL AND ENVIROMENTAL FACTORS WITHIN EXTERNAL REPORTING

Sejarah perkembangan akuntansi, yang berkembang pesat setelah terjadi revolusi


industri, menyebabkan pelaporan akuntansi lebih banyak digunakan sebagai alat
pertanggungjawaban kepada pemilik modal (kaum kapitalis) sehingga mengakibatkan
orientasi perusahaan lebih berpihak kepada pemilik modal. Dengan keberpihakan perusahaan
kepada pemilik modal mengakibatkan perusahaan melakukan eksploitasi sumber-sumber
alam dan masyarakat (sosial) secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan alam dan pada akhirnya mengganggu kehidupan manusia. Kapitalisme, yang
hanya berorientasi pada laba material, telah merusak keseimbangan kehidupan dengan cara
menstimulasi pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki manusia secara berlebihan yang
tidak memberi kontribusi bagi peningkatan kemakmuran mereka tetapi justru menjadikan
mereka mengalami penurunan kondisi sosial [Galtung & Ikeda (1995) dan Rich (1996) dalam
Chwastiak(1999)].

Di dalam akuntansi konvensional (mainstream accounting), pusat perhatian yang


dilayani perusahaan adalah stockholders dan bondholders sedangkan pihak yang lain sering
diabaikan. Dewasa ini tuntutan terhadap perusahaan semakin besar. Perusahaan diharapkan
tidak hanya mementingkan kepentingan manajemen dan pemilik modal (investor dan
kreditor) tetapi juga karyawan, konsumen serta masyarakat. Perusahaan mempunyai
tanggung jawab sosial terhadap pihak-pihak di luar manajemen dan pemilik modal. Akan
tetapi perusahaan kadangkala melalaikannya dengan alasan bahwa mereka tidak memberikan
kontribusi terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini disebabkan hubungan
perusahaan dengan lingkungannya bersifat non reciprocal yaitu transaksi antara keduanya
tidak menimbulkan prestasi timbal balik.

 HUBUNGAN ANTARA PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN

Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak
keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori akuntansi tradisional,
perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang
maksimum kepada masyarakat sesuai konsep trickle down kapitalisme. Namun seiring
dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin menyadari adanya dampak-dampak sosial
yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk mencapai laba yang
maksimal, yang semakin besar dan semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu,
masyarakat pun menuntut agar perusahaan senantiasa memperhatikan dampak-dampak sosial
yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya.

Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh para karyawan dan buruh
dalam rangka menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lainnya yang
dirasakan kurang mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh
pihak masyarakat, baik masyarakat sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan
sekitar pabrik. Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan
kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan protes yang dilakukan masyarakat di
sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah
pabrik.

Pendekatan modern menyebutkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem terbuka,


yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkungannya, sehingga
organisasi dapat dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkungannya (Lubis dan Huseini,
1987). Selanjutnya dalam Lubis dan Huseini (1987) menyebutkan bahwa ada sembilan
segmen lingkungan yang mempengaruhi perusahaan, yaitu: 1) industri, 2) bahan baku, 3)
tenaga kerja, 4) keuangan, 5) pasar, 6) teknologi, 7) kondisi ekonomi, 8) pemerintah dan 9)
kebudayaan.

Pengaruh lingkungan terhadap sebuah organisasi menjadi sangat kental, hal ini terjadi
karena adanya ketergantungan organisasi terhadap sumber-sumber yang terdapat pada
lingkungan. Hal ini ditegaskan oleh Lubis dan Huseini (1987) yang menyebutkan bahwa
organisasi mempunyai ketergantungan ganda terhadap lingkungannya, karena produk dan
jasa yang merupatkan output organisasi dikonsumsi oleh pemakai yang terdapat dalam
lingkungannya. Dari pihak lain, organisasi juga mendapatkan berbagai jenis input dari
lingkungannya. Posisi input dan output ini menjadi berbahaya jika pertukaran input dan
output menjadi tidak seimbang.

 CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)


Seperti angin semilir kemudian bertiup kencang, begitulah gambaran hembusan
wacana Corporate Social Responsibility (CSR) seiring dengan kesadaran akan hubungan
perusahaan dengan lingkungannya. Bahkan aktivitas CSR kini ditempatkan diposisi
terhormat. Hingga tampaknya wacana CSR ini akan menjadi tren perusahaan-perusahaan
berskala nasional maupun multisnasional. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan raksasa
maupun menengah, baik yang multinasional maupun domestik, kini telah mengklaim bahwa
CSR ini telah diimplementasikan dengan baik dalam perusahaan mereka. Banyak perusahaan
telah menggeser paradigma sempit yang menyatakan bahwa orientasi seluruh kegiatan
hanyalah berorientasi profit.

Salah satu definisi CSR yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam aktivitas
CSR adalah definisi yang dikemukakan oleh The World Business Council For Sustainable
Development (WBCSD) dalam Wibisono (2007:7), mengemunkakan bahwa:
“CSR is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to
economic development while improving the quality of life of the workforce and their families
as well as of the local community and society at large”, yaitu “komitmen bisnis untuk
berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan
perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan
masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan
kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota
masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta
memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus
memelihara”

Terobosan terbesar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui
konsep “3P” (profit, people, dan planet) yang dituangkan dalam bukunya “Cannibals with
Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang dirilis pada tahun 1997.
Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni,
bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada
masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Perusahaan sebagai entitas ekonomi, bertujuan untuk mencetak laba yang optimal
guna meningkatkan kekayaan para pemilik saham. Namun itu saja belum cukup,
keberlanjutan bisnis perusahaan (sustainable business) tidak terjamin bila hanya
mengandalkan laba yang tinggi semata, tetapi perusahaan juga harus memiliki komitmen
yang tinggi dalam menjalankan program CSR (Darwin, 2006:115). Jadi, jika ditelaah lebih
lanjut, ternyata tidak ada pertentangan antara motif perusahaan untuk meraih laba dan di satu
sisi juga turut aktif melaksanakan program-program CSR. Bahkan program CSR merupakan
investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan.
Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagai sentra
laba (profit center) di masa mendatang.

 PERKEMBANGAN DALAM PRAKTEK PELAPORAN LINGKUNGAN DAN


SOSIAL

Beberapa perusahaan di dunia membuat catatan yang menyatakan bahwa organisasi


mereka memiliki komitmen untuk suistainability development yang kemudian menghasilkan
informasi yang menunjukkan pendapatan dan kinerja dalam pengembangan suistainability
tersebut berupa CSR. Dokumen pelaporan suistainability hadir dalam berbagai bentuk.
Laporan singkat ini menghasilkan agenda global untuk perubahan dalam menentang atau
mengurangi tekanan yang terus menerus dalam lingkungan global. Pelaporan ini
mendefinisikan perkembangan suistainability sebagai kemapuan untuk memenuhi kebutuhan
saat ini tanpa harus membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Dalam perspektif suistainability harus dipastikan bahwa pola konsumsi
generasi sekarang tidak memberikan dampak negati terhadap generasi selanjutnya. Banyak
organisasi yang selanjutnya menyatakan secara eksplisit bahwa fokus mereka adalah
pertimbangan suistainability yang mempunyai implikasi terhadap profitability jangka pendek
dan merupakan hal pokok dalam keberlangsungan hidup jangka panjang.

Ada tiga komponen utama dalam suistainability yaitu keadaan ekonomi, lingkungan
dan masyarakat. Ketika pertimbangan lingkungan dan masyarakat dilakukan dalam sebuah
bisnis, ada dua komponen terpisah lainnya yang sering teridentifikasi yaitu peertimbangan
eco-efficiency dan eco-justice. Dimana saat perusahaan memilih untuk membuat laporan
lingkungannya sendiri maka perusahaan tersebut akan cenderung hanya fokus pada eco-
efficiency. Sedangkan dalam suistainability dua komponen ini harus terlibat. Eco-efficiency
fokus untuk memaksimalkan kegunaan jumlah sumber daya yang digunakan dan
meminimalkan keterlibatan lingkungan dalam menggunakan sumber daya. Sedangkan eco-
justice akan memperlihatkan bagaimana entitas menggunakan sumber daya yang terbatas
untuk memastikan bahwa kelompok tertentu yang dirugikan tidak dilupakan. Hal lain yang
dipertimbangkan adalah kepedulian terhadap keselamatan, pendidikan dan peluang karyawan,
ketaatan atas hak-hak manusia dan kesamaan peluang, keterlibatan orang-orang pribumi serta
dukungan atas kemajuan negara.

Perubahan menuju suistainability memiliki syarat yang cukup mendasar untuk


mengubah pola konsumsi dan produksi telah disampaikan oleh berbagai pihak sebagai
kebutuhan global. Dengan menggunakan perspektif yang berasal dari teori legitimacy kita
dapat mengatakan bahwa jika suistainability menjadi bagian dari harapan utama masyarakat,
maka ia akan menjadi sebuah tujuan bisnis. Bila konsep dari suistainability development
berkembang menjadi bagian dari berbagai harapan komunitas, maka komunitas itu akan
mengharapkan berbagai informasi tentang bagaimana organisasi, perusahaan, dan entitas
melaksanakan syarat utama dari suistainabilty. Selain itu penyediaan informasi tentang
keadaan sosial akan meningkatkan kepercayaan berbagai komunitas yang ada dalam
organisasi.

Perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen sustainability yang biasanya dalam


bentuk implementasi CSR harus membuat laporan yang menggambarkan perhatian terhadap
sustainability sebagai fase akhir setelah serangkaian proses panjang dilewati; sejak desain,
implementasi program, monitoring, hingga evaluasi. Manfaatnya, selain bisa digunakan
untuk bahan evaluasi terpadu, juga bisa menjadi alat komunikasi dengan stakeholders,
termasuk mitra bisnis dan kalangan investor. Pelaporan ini, menjadi kajian dalam bidang ilmu
Akuntansi Sosial. Arfan Ikhsan- Muhammad Ishak, dalam bukunya, Akuntansi Keperilakuan,
mendefinisikan Akuntansi sosial sebagai penyusunan, pengukuran, dan analisis terhadap
konsekuensi-konsekuenai sosial dan ekonomi dari perilaku yang berkaitan dengan
pemerintah dan wirausahawan. Akuntansi sosial ini berguna untuk mengukur dan melaporkan
kontribusi suatu perusahaan kepada lingkungannya.

Menyangkut pelaporan (reporting), di Eropa sendiri telah cukup lama mengeluarkan


praktik dan pelaporan CSR. Pada 1975, misalnya, The Accounting Standards Steering
Committee of The Institute of Chartered Accountant di Inggris, mengeluarkan pedoman bagi
perusahaan untuk pelaporan informasi tentang sosial dan lingkungan. Namun, aspek
pelaporan sosial baru bergaung di tahun 1990-an setelah stakeholders kian menuntut agar
perusahaan tak hanya membuat laporan keuangan menyangkut profit, tapi juga laporan yang
transparan seputar hubungan perusahaan dengan aspek sosial dan lingkungan. Seperti halnya
definisi CSR yang tak tunggal, dalam membuat laporan pun masingmasing perusahaan
menempuh cara yang beragam. Tujuannya pun berbeda; ada yang untuk kepentingan internal,
ada juga yang eksternal.

Menimbang hal itu, maka berinisiatiflah sejumlah institusi guna menciptakan sistem
pelaporan yang bisa berlaku universal untuk semua perusahaan. Salah satu yang terkenal
adalah Global Reporting Initiative (GRI) yang diluncurkan tahun 1997. GRI membuat
sustainability reporting guideline yang memberi petunjuk pembuatan laporan dengan
memperhatikan aspek ekonomi-sosial-lingkungan, atau yang dikenal dengan aspek triple
bottom line. Hanya saja, GRI pun tak bisa mewajibkan perusahaan membuat laporan. Sebagai
pelaporan yang paling banyak dijadikan rujukan dalam CSR reporting saat ini, GRI memberi
pilihan dan fleksibilitas bagi penggunanya.

 KETERBATASAN DALAM AKUNTANSI TRADISIONAL

Dengan adanya komitmen sustainability, harapan untuk menyediakan infromasi


adalah akuntansi. Hal ini terkait keberadaan akuntansi sebagai alat sebuah entitas dalam
menyajikan informasi mengenai kegiatan operasionalnya. Namun akuntansi yang ada
sekarang atau biasa disebut akuntansi konvensional atau tradisional memiliki kelemahan-
kelemahan, antara lain :

1) Akuntansi keuangan focus pada informasi yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dalam membuat keputusan terhadap alokasi sumber daya yang ada.
Sehingga hanya focus kepada kepentingan keuangan stakeholders dalam entitas.
2) Sehubungan dengan focus informasi tersebut, salah satu landasan dari akuntansi
keuangan adalah prinsip materialis, yang akan menghalangi informasi pelaporan
lingkungan dan masyarakat dan memberikan kesulitan dalam mengukur biaya sosial
dan lingkungan.
3) Hal penting yang dinyatakan oleh Gray, Owen dan Adams (1996) hal lain yang
muncul bahwa ternyata pelaporan entitas sering mengabaikan liability, khususnya
yang tidak dapat diselesaikan dalam beberapa tahun dengan menggunakan present
value. Hal ini cenderung membuat expenditure yang akan datang sedikit lebih
signifikan pada periode saat ini.
4) Akuntansi keuangan menggunakan asumsi entitas. Dimana syaratnya adalah
organisasi diperlakukan sebagai entitas yang berbeda dari pemiliknya, organisasi lain,
dan dari stakeholders yang lain. Jika transaksi atau kegiatan tidak memberikan
dampak secara langsung terhadap entitas, maka kegiatan atau transaksi ini diabaikan
sebagai manfaat akuntansi. Ini berarti pihak luar ditolak oleh pelaporan entitas
sehingga penyajian dan penilaian kinerja tidak dilengkapi oleh perspektif atau
pandangan masyarakat luas.
5) Expences didefinisikan sebagai cara untuk meniadakan pengeluaran atas berbagai
dampak pada sumber penghasilan yang tidak dapat dikendalikan oleh entitas.
6) Keterbatasan lain terkait dengan pengukuran. Dimana setiap item yang dicatat dalam
akuntansi keuangan harus dapat diukur dengan alasan yang tepat.

 AKUNTANSI SOSIAL EKONOMI

Akuntansi sosial ekonomi merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan
dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan
tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social reporting
disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian dan
tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis. Diharapkan melalui media ini
tingkat tanggung jawab sosial perusahaan dapat mempengaruhi secara positif perilaku
investor. Investor seharusnya tidak hanya melihat aspek keuangan saja, tetapi juga tanggung
jawab sosial perusahaan harus mendapatkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
bisnis.

Akan tetapi sampai saat ini pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan
keuangan masih bersifat sukalera, dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
No. 1 Paragraf ke sembilan dinyatakan: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan
tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added
statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang
peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna
laporan yang memegang peranan penting”. PSAK tersebut tidak secara tegas mengharuskan
perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka. Pengelompokan, pengukuran
dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk pelaporan tanggung jawab sosial diserahkan pada
masing-masing perusahaan.

 MASALAH-MASALAH PELAPORAN AKUNTANSI SOSIAL


Dalam pelaporan akuntansi sosial, diinformasikan seberapa besar manfaat sosial netto
yang diberikan perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto tersebut, diperoleh dari
selisih antara kontribusi suatu perusahaan kepada masyarakat (manfaat sosial) dengan
kerugian yang ditimbulkan (biaya sosial). Namun dalam menentukan manfaat sosial netto
tersebut tidaklah semudah menyajikan laporan keuangan biasa. Masalah yang muncul, terkait
(1) bagaimana menentukan apa yang menjadi pos-pos biaya ataupun manfaat sosial
perusahaan, (2) bagaimana mengukur (nilai moneter) biaya dan manfaat sosial yang
ditimbulkan perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai