Disusun Oleh :
Nama : Rini Yolanda Sitorus
Nim : 032017018
M.Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat 1
Dosen : Jagentar Pane S.Kep., Ns, M.Kep
Sindrome Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan kumpulan gejala yang terjadi saat
tekanan dalam ruang tertutup kompartemen otot meningkat sampai tingkat
berbahaya. Peningkatan tekanan dalam kompartemen otot biasanya
diawali oleh proses trauma yang disertai fraktur. Peningkatan ini dapat
disebabkan oleh fraktur, ataupun oleh serangkaian tindakan selama
penanganan fraktur. Artikel ini membahas mekanisme sindrom
kompartemen pada tungkai bawah, tanda dan gejala, dan tatalaksana
sindrom kompartemen.
Prinsip utama penanganan sindrom kompartemen tungkai bawah adalah
dekompresi.
a. Dekompresi
Dekompresi dengan tujuan menurunkan tekanan dalam kompartemen
dapat dilakukan dengan cara:
1) Lepaskan semua plaster yang mengikat tungkai bawah
2) Letakkan tungkai pada posisi sejajar dengan jantung, karena
posisi lebih tinggi dari jantung dapat menurunkan aliran darah
arterial ke otot dan akan memperburuk keadaan iskemia.
3) Lakukan imobilisasi fraktur dengan posisi paling relaks; dengan
menyangga kaki dalam posisi sedikit fleksi plantaris (kaki
condong ke arah bawah)
4) Lakukan tindakan fasiotomi (pemotongan fascia) apabila ada
indikasi. Banyak peneliti menyatakan indikasi dekompresi
dengan fasiotomi adalah apabila tekanan kompartemen naik
menjadi 30 mmHg
Prosedur ini harus dilakukan sesegera mungkin karena kerusakan
permanen otot akan terjadi dalam 4-12 jam dan kerusakan permanen saraf
akan terjadi dalam 12-24 jam sejak terjadinya peningkatan tekanan intra-
kompartemen.
Cara Mengukur Tekanan Intrakompartemen :
1) Siapkan alat pengukur stryker intra-compartemental pressure
monitors system dan hubungkan dengan jarum infus ukuran 18 G.
2) Posisikan pasien senyaman mungkin dengan meletakkan posisi
kompartemen yang akan diukur sejajar jantung.
3) Lakukan prosedur septik dan aseptik pada daerah pengukuran,
pilih jaringan kulit pada kompartemen yang akan diukur dengan
syarat kulit intak dan bebas infeksi.
4) Lakukan prosedur pembiusan.
5) Masukkan jarum yang terdapat pada alat pengukur secara tegak
lurus sedalam 3 sentimeter pada kompartemen tungkai bawah
yang diukur.
6) Gerakkan kaki pada posisi fleksi dan ekstensi untuk melihat
peningkatan tekanan intra-kompartemen dan memastikan ujung
jarum sudah terletak di dalam kompartemen.
7) Dalam posisi diam, baca angka pada alat pengukur yang
menunjukkan tekanan dalam kompartemen.
b. Fasiotomi
Fasiotomi merupakan tindakan operatif definitif dengan cara
memotong fascia untuk membuka ruang, sehingga tekanan dapat
langsung berkurang.
1) Pada tungkai bawah, fasiotomi dilakukan dengan sayatan di
sepanjang kompartemen tungkai bawah dengan teknik insisi
dobel.
2) Dua sayatan sejajar sepanjang 15-20 sentimeter dibuat di dua
tempat. Tempat pertama adalah bagian tepi luar depan
(anterolateral) tungkai untuk dekompresi kompartemen anterior
dan lateral, dan sayatan kedua pada bagian tepi dalam belakang
(posteromedial) tungkai untuk dekompresi kompartemen
posterior.
3) Jangan lakukan tindakan fasiotomi apabila sindrom
kompartemen terdiagnosis pada hari ketiga atau keempat
setelah onset.9,15 Fasiotomi juga tidak boleh dilakukan apabila
telah terjadi kematian jaringan otot yang ditandai dengan rasa
nyeri yang memburuk, perubahan warna otot menjadi lebih
gelap, perubahan warna urin menjadi kecoklatan (akibat
kandungan mioglobin yang meningkat), dan dapat disertai
gangren serta gejala inflamasi sistemik lainnya.16 Hal ini
karena jaringan otot yang telah nekrosis sangat rentan terhadap
infeksi. Apabila saat terjadinya sindrom kompartemen tidak
diketahui pasti, tindakan fasiotomi tetap dianjurkan (Aprianto,
2017).
Dislokasi
Penatalaksanaan dari dislokasi :
a. Sendi yang terkena harus di imobilisasi saat pasien dipindahkan.
Pada saat Dislokasi sendi ini harus segera dilakukan reposisi atau
dislokasi reduksi yaitu dikembalikan ke tempat semula dengan
menggunakan anestesi, misalnya bagian yang bergeser
dikembalikan ke tempat semula yang normal. Dislokasi sendi kecil
dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi. Kaput tulang
yang mengalami Dislokasi harus dimanipulasi dan dikembalikan ke
rongga sendi. Sendi kemudian di imobilisasi dengan pembalut,
bidai, gips, atau traksi dan dijaga tetap dalam posisi stabil.
b. Beberapa hari sampai satu minggu setelah reduksi, dilakukan
mobilisasi dengan gerakan aktif lembut 3 – 4 x sehari yang
berguna untuk mengembalikan kisaran gerak sendi. Sendi tetap
harus disangga diantara dua saat latihan. Memberikan kenyamanan
dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.
Untuk Dislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan
anestesi local dan obat-obat penenang misalnya Valium. Sedangkan
untuk Dislokasi sendi besar memerlukan anestesi umum.Sendi
yang terkena harus di imobilisasi saat pasien dipindahkan. Pada
saat Dislokasi sendi ini harus segera dilakukan reposisi atau
dislokasi reduksi yaitu dikembalikan ke tempat semula dengan
menggunakan anestesi, misalnya bagian yang bergeser
dikembalikan ke tempat semula yang normal. Dislokasi sendi kecil
dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi. Kaput tulang
yang mengalami Dislokasi harus dimanipulasi dan dikembalikan ke
rongga sendi. Sendi kemudian di imobilisasi dengan pembalut,
bidai, gips, atau traksi dan dijaga tetap dalam posisi stabil.
c. Beberapa hari sampai satu minggu setelah reduksi, dilakukan
mobilisasi dengan gerakan aktif lembut 3 – 4 x sehari yang
berguna untuk mengembalikan kisaran gerak sendi. Sendi tetap
harus disangga diantara dua saat latihan. Memberikan kenyamanan
dan melindungi sendi selama masa penyembuhan. Untuk Dislokasi
bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anestesi local dan obat-
obat penenang misalnya Valium. Sedangkan untuk Dislokasi sendi
besar memerlukan anestesi umum.
3. Macam-Macam Splint
Saleh (2006), menyatakan bahwa pembidaian (splinting) adalah suatu cara
pertolongan pertama pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal
yang harus diketahui oleh dokter, perawat, atau orang yang akan memberikan
pertolongan pertama pada tempat kejadian kecelakaan. Pembidaian adalah
cara untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami
cedera dengan menggunakan suatu alat.
Saleh (2006), menyatakan bahwa ada 5 alasan dalam melakukan
pembidaian pada cedera musculoskeletal yaitu:
a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi
yang mengalami dislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar
tulang yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah,
jaringan saraf perifer dan pada jaringan patah tulang tersebut).
c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.
d. Untuk mencegah terjadinya syok.
e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.