Anda di halaman 1dari 10

TRAUMA MUSCULOSKELETAL

Disusun Oleh :
Nama : Rini Yolanda Sitorus
Nim : 032017018
M.Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat 1
Dosen : Jagentar Pane S.Kep., Ns, M.Kep

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKes SANTA ELISABETH
MEDAN
2020
1. Beberapa jenis trauma ekstremitas dengan potensi mengancam nvyawa, di 
antaranya:
a. Kerusakan pelvis berat dan perdarahan.
Fraktur pelvis seringkali disertai perdarahan yang berat, oelh karena
adanya gaya yang membuka rongga pelvis menyebabkan kerusakan
kompleks ligamen dan merobek fleksus vena di pelvis dan kadang
merobek arteri iliaka interna. Mekanisme trauma pelvis sering terjadi pada
tabrakan sepeda motor, pejalan kaki yang ditabrak kendaraan, benturan
langsung pada pelvis atau jatuh dari ketinggian.
b. Perdarahan pembuluh darah besar
Luka tajam di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma
tumpul yang menyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat
juga merobek arteri. Cedera ini menimbulkan perdarahan besar pada luka
terbuka atau perdarahan dalam jaringan lunak. Maka pada trauma
ekstremitas harus secara rutin diperiksa adanya perdarahan luar, hilangnya
pulsasi nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi dan
perubahan pada Doppler (ankle/brachial index). Ekstremitas yang dingin,
pucat dan pulsasi tidak ada menunjukkan gangguan aliran darah arteri
hematoma yang membesar dengan cepat menunjukkan trauma vaskuler.
c. Crush Syndrome
Ini adalah suatu keadaan klinis yang disebabkan pelepasan zat berbahaya
sebagai hasil dari kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan
menyebabkan gagal ginjal keadaan ini terjadi pada keadaaan dimana
terdapatnya kerusakan oto yang luas atau penekanan yang lama pada otot,
sering terjadi pada paha dan betis.

2. Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :


Fraktur
a. Diagnosis dan penilaian fraktur Anamnesis pemeriksaan klinis dan
radiologi dilakukan dilakukan untuk mengetahui dan menilai keadaan
fraktur. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk
fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang
mungkin terjadi selama pengobatan.
b. Reduksi, Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan
kesejajaran garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau
reduksi terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau
mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi untuk
mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup gagal atau
kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka. Reduksi terbuka
dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal untuk
mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi solid. Alat
fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat
tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
c. Retensi Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen
dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan
plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi ekstremitas
yang mengalami fraktur.
d. Rehabilitasi Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
Setelah pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan
latihan. Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi tiga
kategori yaitu :
1) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan rentang
gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan
lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post
bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan yang sehat,
katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat otot.
Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih, 4-6
minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang mengalami
gangguan ekstremitas atas.

Sindrome Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan kumpulan gejala yang terjadi saat
tekanan dalam ruang tertutup kompartemen otot meningkat sampai tingkat
berbahaya. Peningkatan tekanan dalam kompartemen otot biasanya
diawali oleh proses trauma yang disertai fraktur. Peningkatan ini dapat
disebabkan oleh fraktur, ataupun oleh serangkaian tindakan selama
penanganan fraktur. Artikel ini membahas mekanisme sindrom
kompartemen pada tungkai bawah, tanda dan gejala, dan tatalaksana
sindrom kompartemen.
Prinsip utama penanganan sindrom kompartemen tungkai bawah adalah
dekompresi.
a. Dekompresi
Dekompresi dengan tujuan menurunkan tekanan dalam kompartemen
dapat dilakukan dengan cara:
1) Lepaskan semua plaster yang mengikat tungkai bawah
2) Letakkan tungkai pada posisi sejajar dengan jantung, karena
posisi lebih tinggi dari jantung dapat menurunkan aliran darah
arterial ke otot dan akan memperburuk keadaan iskemia.
3) Lakukan imobilisasi fraktur dengan posisi paling relaks; dengan
menyangga kaki dalam posisi sedikit fleksi plantaris (kaki
condong ke arah bawah)
4) Lakukan tindakan fasiotomi (pemotongan fascia) apabila ada
indikasi. Banyak peneliti menyatakan indikasi dekompresi
dengan fasiotomi adalah apabila tekanan kompartemen naik
menjadi 30 mmHg
Prosedur ini harus dilakukan sesegera mungkin karena kerusakan
permanen otot akan terjadi dalam 4-12 jam dan kerusakan permanen saraf
akan terjadi dalam 12-24 jam sejak terjadinya peningkatan tekanan intra-
kompartemen.
Cara Mengukur Tekanan Intrakompartemen :
1) Siapkan alat pengukur stryker intra-compartemental pressure
monitors system dan hubungkan dengan jarum infus ukuran 18 G.
2) Posisikan pasien senyaman mungkin dengan meletakkan posisi
kompartemen yang akan diukur sejajar jantung.
3) Lakukan prosedur septik dan aseptik pada daerah pengukuran,
pilih jaringan kulit pada kompartemen yang akan diukur dengan
syarat kulit intak dan bebas infeksi.
4) Lakukan prosedur pembiusan.
5) Masukkan jarum yang terdapat pada alat pengukur secara tegak
lurus sedalam 3 sentimeter pada kompartemen tungkai bawah
yang diukur.
6) Gerakkan kaki pada posisi fleksi dan ekstensi untuk melihat
peningkatan tekanan intra-kompartemen dan memastikan ujung
jarum sudah terletak di dalam kompartemen.
7) Dalam posisi diam, baca angka pada alat pengukur yang
menunjukkan tekanan dalam kompartemen.

b. Fasiotomi
Fasiotomi merupakan tindakan operatif definitif dengan cara
memotong fascia untuk membuka ruang, sehingga tekanan dapat
langsung berkurang.
1) Pada tungkai bawah, fasiotomi dilakukan dengan sayatan di
sepanjang kompartemen tungkai bawah dengan teknik insisi
dobel.
2) Dua sayatan sejajar sepanjang 15-20 sentimeter dibuat di dua
tempat. Tempat pertama adalah bagian tepi luar depan
(anterolateral) tungkai untuk dekompresi kompartemen anterior
dan lateral, dan sayatan kedua pada bagian tepi dalam belakang
(posteromedial) tungkai untuk dekompresi kompartemen
posterior.
3) Jangan lakukan tindakan fasiotomi apabila sindrom
kompartemen terdiagnosis pada hari ketiga atau keempat
setelah onset.9,15 Fasiotomi juga tidak boleh dilakukan apabila
telah terjadi kematian jaringan otot yang ditandai dengan rasa
nyeri yang memburuk, perubahan warna otot menjadi lebih
gelap, perubahan warna urin menjadi kecoklatan (akibat
kandungan mioglobin yang meningkat), dan dapat disertai
gangren serta gejala inflamasi sistemik lainnya.16 Hal ini
karena jaringan otot yang telah nekrosis sangat rentan terhadap
infeksi. Apabila saat terjadinya sindrom kompartemen tidak
diketahui pasti, tindakan fasiotomi tetap dianjurkan (Aprianto,
2017).
Dislokasi
Penatalaksanaan dari dislokasi :
a. Sendi yang terkena harus di imobilisasi saat pasien dipindahkan.
Pada saat Dislokasi sendi ini harus segera dilakukan reposisi atau
dislokasi reduksi yaitu dikembalikan ke tempat semula dengan
menggunakan anestesi, misalnya bagian yang bergeser
dikembalikan ke tempat semula yang normal. Dislokasi sendi kecil
dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi. Kaput tulang
yang mengalami Dislokasi harus dimanipulasi dan dikembalikan ke
rongga sendi. Sendi kemudian di imobilisasi dengan pembalut,
bidai, gips, atau traksi dan dijaga tetap dalam posisi stabil.
b. Beberapa hari sampai satu minggu setelah reduksi, dilakukan
mobilisasi dengan gerakan aktif lembut 3 – 4 x sehari yang
berguna untuk mengembalikan kisaran gerak sendi. Sendi tetap
harus disangga diantara dua saat latihan. Memberikan kenyamanan
dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.
Untuk Dislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan
anestesi local dan obat-obat penenang misalnya Valium. Sedangkan
untuk Dislokasi sendi besar memerlukan anestesi umum.Sendi
yang terkena harus di imobilisasi saat pasien dipindahkan. Pada
saat Dislokasi sendi ini harus segera dilakukan reposisi atau
dislokasi reduksi yaitu dikembalikan ke tempat semula dengan
menggunakan anestesi, misalnya bagian yang bergeser
dikembalikan ke tempat semula yang normal. Dislokasi sendi kecil
dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi. Kaput tulang
yang mengalami Dislokasi harus dimanipulasi dan dikembalikan ke
rongga sendi. Sendi kemudian di imobilisasi dengan pembalut,
bidai, gips, atau traksi dan dijaga tetap dalam posisi stabil.
c. Beberapa hari sampai satu minggu setelah reduksi, dilakukan
mobilisasi dengan gerakan aktif lembut 3 – 4 x sehari yang
berguna untuk mengembalikan kisaran gerak sendi. Sendi tetap
harus disangga diantara dua saat latihan. Memberikan kenyamanan
dan melindungi sendi selama masa penyembuhan. Untuk Dislokasi
bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anestesi local dan obat-
obat penenang misalnya Valium. Sedangkan untuk Dislokasi sendi
besar memerlukan anestesi umum.

3. Macam-Macam Splint
Saleh (2006), menyatakan bahwa pembidaian (splinting) adalah suatu cara
pertolongan pertama pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal
yang harus diketahui oleh dokter, perawat, atau orang yang akan memberikan
pertolongan pertama pada tempat kejadian kecelakaan. Pembidaian adalah
cara untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami
cedera dengan menggunakan suatu alat.
Saleh (2006), menyatakan bahwa ada 5 alasan dalam melakukan
pembidaian pada cedera musculoskeletal yaitu:
a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi
yang mengalami dislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar
tulang yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah,
jaringan saraf perifer dan pada jaringan patah tulang tersebut).
c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.
d. Untuk mencegah terjadinya syok.
e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.

Gilbert (2011) menyatakan bahwa pembidaian membantu mengurangi


komplikasi sekunder dari pergerakan fragmen tulang, trauma neurovaskular
dan mengurangi nyeri. Ada beberapa macam splint, yaitu:
a. Hard splint (bidai kaku)
Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku sederhana
bisa dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari plastik, aluminium,
fiberglass dan gips back slab. Gips back slab ini dibentuk dan diberi nama sesuai
peruntukannya untuk area trauma yang dipasang bidai. Gips back slab merupakan
alat pembidaian yang lebih baik dan lebih tepat digunakan pada ekstremitas atas
dan bawah serta digunakan untuk imobilisasi sementara pada persendian.
b. Soft splint (bidai lunak)
Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh
penolong dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti
bantal atau selimut.
c. Air slint atau vacuum splint
Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara.
Bidai udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko terjadi
compartment syndrome dan iritasi pada kulit.
d. Traction splint (bidai dengan traksi)
Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu
melakukan traksi pada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya
digunakan untuk trauma pada daerah femur dan sepertiga bagian
tengah ekstremitas bawah.

4. Kelemahan dari bidai udara menurut Saleh 2006.


Kelemahan dari bidai udara (air slint/vacuum splint), dapat
menyebabkan efek kompresi sehingga bisa terjadi compartemen
syndrome dan iritasi pada kulit. Sindrom kompartemen merupakan
kumpulan gejala yang terjadi saat tekanan dalam ruang tertutup
kompartemen otot meningkat sampai tingkat berbahaya. Peningkatan
tekanan dalam kompartemen otot biasanya diawali oleh proses trauma
yang disertai fraktur. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh fraktur,
ataupun oleh serangkaian tindakan selama penanganan fraktur. Artikel ini
membahas mekanisme sindrom kompartemen pada tungkai bawah, tanda
dan gejala, dan tatalaksana sindrom kompartemen.

Anda mungkin juga menyukai