Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ismail

Nim : 1865050037
Topik Tinjauan Pustaka : Alergi Susu Sapi
Sumber : PMM IDAI 2011 & Rekomendasi IDAI “diagnosis dan tatalaksana alergi susu sapi” 2014

Alergi Susu Sapi


Alergi susu sapi (ASS) adalah reaksi simpang terhadap protein susu yang diperantai reaksi
imunologi.
Istilah alergi yang dipergunakan dalam panduan ini sesuai dengan definisi yang
dikeluarkan oleh World Allergy Organization, yaitu alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang
diperantarakan oleh mekanisme imunologi.
Mekanisme tersebut bisa diperantai oleh IgE ( reaksi hipersensitivitas tipe I, reaksi cepat)
maupun non IgE (reaksi hipersensitivitas tipe III atau IV, reaksi lambat).
Alergi susu sapi yang tidak diperantai IgE lebih sering mengenai saluran cerna, sementara
ASS yang diperantai IgE dapat mengenai saluran cerna, kulit, dan saluran napas serta berhubungan
dengan risiko tinggi timbulnya alergi saluran napas di kemudian hari seperti asma dan rhinitis
alergi.

 Diagnosis
 Anamnesis
o Alergi susu sapi dapat menyebabkan beragam gejala dan keluhan, baik pada saluran
cerna, saluran napas, maupun kulit. Luasnya gejala yang timbul dapat mempersulit
pengenalan, menyebabkan misdiagnosis atau kadang-kadang overdiagnosis.
o Awitan gejala ASS, waktu antar pemberian susu sapid an timbulnya gejala, dan
jumlah susu yang diminum hingga menumbulkan gejala.
o Riwayat atopi pada orangtua dan saudara kandung perlu ditanyakan. Risiko atopi
meningkatkan jika ayah/ibu kandung atau saudara kandung menderita atopi.
o Riwayat atau gejala alergi sebelumnya

Gejala pada saluran cerna


 Edema dan gatal pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika makanan yang
mensensitisasi kontak dengan mukosa.
 Muntah dan/atau diare, terutama pada bayi, bisa ringan, melanjut, atau intractable
dan dapat berupa muntah atau buang air besar berdarah. Alergi susu sapi dapat
menyebabkan kolik infantil. Jika hipersensitivitas berat, dapat terjadi kerusakan
mukosa usus, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan berat badan.
 Konstipasi kronik yang tidak responsif terhadap laksatif.
Gejala pada kulit
 Dermatitis atopi merupakan kelainan kulit paling sering dijumpai pada alergi susu
sapi, menempati urutan kedua setelah gejala saluran cerna. Erupsi yang kemerahan
pada umumnya terjadi setelah sensitisasi 1 -2 minggu dan sering mengalami
eksaserbasi.
 Urtikaria dan angioedema.
Gejala pada saluran napas
 Rinitis kronis atau berulang, otitis media, batuk kronik, dan mengi merupakan
manifestasi alergi susu sapi yang cukup sering.

Gejala hematologi
 Pucat akibat anemia defisiensi karena perdarahan mikro pada saluran cerna.

 Pemeriksaan Fisis
 Kondisi umum: status gizi, status hidrasi, kadang tampak pucat
 Kulit: dermatitis atopi, urtikaria, angioedema
 Saluran napas: tanda rinitis alergi (konka edema dan pucat) atau asma (mengi),
otitis media efusi
 Saluran cerna: meteorismus, skibala, fisura ani

 Pemeriksaan penunjang
 Konfirmasi diagnosis ASS sangat penting karena seringkali terdapat
ketidaksesuaian antara gejala yang dikeluhkan orangtua dengan bukti secara klinis.
 Double-blind, placebo-control/ed food cha//edge (DBPCFC) dianggap sebagai
baku emas. pada prosedur ini, dilakukan pemberian makanan yang mengandung
alergen dan plasebo dengan metode crossover secara tersamar baik terhadap pasien
maupun evaluator disertai pemantauan reaksi alergi. Metode tersebut lebih banyak
digunakan untuk keperluan riset. Metode yang dapat dilakukan pada praktik klinis
adalah melakukan eliminasi dan uji provokasi terbuka.
 Mengingat risiko terjadinya reaksi alergi saat dilakukannya uji provokasi makanan
(food cha//edge), maka dapat dipilih pemeriksaan alternatif dengan efikasi yang
sama, seperti: uii cukit kulit (skin prick test, SPT), pengukuran antibodi lgE serum
spesifik terhadap protein susu sapi, dan uli tempel (patch test).
 Kombinasi SPT dan pengukuran antibodi lgE spesifik memiliki nilai duga positif
95% untuk mendiagnosis ASS yang diperantarai lgE, sehingga dapat mengurangi
perlunya uji provokasi makanan jika yang dicurigai adalah ASS yang diperantarai
lgE.
 Uji cukit kulit dan kadar lgE spesifik tidak berguna dalam diagnosis ASS yang tidak
diperantarai lgE, sebagai alternatif dapat dilakukan uji tempel, atau uji eliminasi
dan provokasi.
 Pemeriksaan laboratorium tidak memberikan nilai diagnostik,tetapi dapat
menunjang diagnosis klinis. Penurunan kadar albumin sugestif untuk enteropati;
hipoproteinemia sering terjadi bersama-sama dengan anemia defisieni besi akibat
alergi susu sapi. Peningkatan trombosit, LED, CRr3 dan leukosit tinja merupakan
bukti adanya inflamasi tetapi tidak spesifik, sehingga nilai normal tidak dapat
menyingkirkan ASS. Leukositosis eosinofilik dapat dijumpai pada kedua tipe ASS.

 Tatalaksana

Prinsip utama dalam tata laksana ASS adalah menghindari susu sapi dan makanan
yang mengandung susu sapi sambil mempertahankan diet bergizi dan seimbang untuk bayi
dan ibu yang menyusui.
Pada bayi yang diberikan ASI eksklusif, ibu perlu mendapat penjelasan berbagai
makanan yang mengandung protein susu sapi yang perlu dihindari. Konsultasi dengan ahli
gizi perlu dipertimbangkan.
Pada anak yang mendapat susu formula, diberikan susu pengganti berupa susu
terhidrolisis sempurna/ekstensif atau susu formula asam amino pada kasus yang berat.
Susu formula kedelai dapat dicoba untuk diberikan pada anak berusia di atas 6
bulan apabila susu terhidrolisis ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya.

Medikamentosa
 Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi.
 Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua dapat digunakan
dalam penanganan alergi.
 Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi makanan
yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat, epinefrin harus dipersiapkan.

 Indikasi rawat
 Dehidrasi berat
 Gizi buruk
 Anafilaksis
 Anemia yang memerlukan transfuse darah

 Prognosis
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45-55% pada
tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga.
Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50% terutama pada
jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal dan alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum
pubertas.
Pada anak dengan alergi yang diperantarai lgE sebaiknya pemberiannya ditunda
lebih lama lagi dan untuk menentukan waktu yang tepat, dapat dibantu dengan panduan tes
alergi.

Anda mungkin juga menyukai