Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja atau dikenal dengan istilah “adolescene” adalah suatu

transisi proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu dalam

keseluruhan hidupnya. Transisi terjadi berupa perubahan atau peralihan

dalam hal perkembangan fisik, sikap, perilaku dan mental pada individu dari

masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dengan demikian, masa remaja

berada pada posisi diantara anak-anak dan dewasa. Remaja adalah suatu

tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang

ditandai oleh perubahan fisik umum, serta perkembangan kognitif dan sosial

(Desmita, 2012). Beberapa Tugas perkembangan di tahap ini menurut

Hurlock (dalam Muhammad Ali, 2008) diantaranya mengembangkan perilaku

tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

Serta bergaul dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin (Zulkifli, 2005).

Sehingga wajar bila di tahap ini ada kesetiaan dan ketergantungan pada

teman. Ketergantungan kepada teman pada tahap ini akan berpengaruh

terhadap perilaku individu tersebut.

Perilaku remaja saat ini, dapat dilihat dari kondisi remaja khususnya

di Indonesia, cenderung sebagai korban dari budaya permisif yang tidak

terlalu mengikat kuat norma yag dianut, kurangnya perhatian, teman

menyukai pergaulan yang bebas, bimbingan agama dari orang tua yang

kurang, dan masih banyak lainnya. Kurang perhatian dari orangtua dan

keluarga, dan keadaan lingkungan sekitar yang memaksa dirinya menjadi


2

bagian dari lingkungan tersebut, seperti lingkungan perokok, dia akan

cenderung melakukan hal seperti yang ada di lingkungannya. Terdapat

banyak alasan yang melatarbelakangi remaja untuk merokok. Secara umum

menurut kajian Kurt Lewin merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan

individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan dari faktor lingkungan

juga disebabkan oleh faktor diri atau kepribadian. Seperti yang dikatakan

oleh Brigham (1991) yang dikutip oleh Helmi, bahwasanya perilaku merokok

bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi. Simbol dari kematangan,

kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis.

Pada saat ini, remaja merokok merupakan suatu pemandangan

yang sangat tidak asing. Menurut WHO pada tahun 2010, Indonesia

menempati urutan ketiga didunia dengan jumlah perokok terbanyak setelah

Cina dan India yaitu dengan jumlah 82 juta perokok (Hartini, 2012),

sedangkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menyatakan

Indonesia sebagai negara dengan angka perokok remaja tertinggi didunia.

Selain itu didapatkan data usia pertama kali mencoba merokok

berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, dimana sebagian besar

laki-laki pertama kali merokok pada usia 12-13 tahun, dan sebagian besar

perempuan pertama kali mencoba merokok pada umur 14-14 tahun

( Global Youth Tobacco Survey, 2014, WHO). Bahkan 20% remaja di

Indonesia usia 13-15 tahun adalah perokok.(Nila Moeloek, 2017).

Berdasarkan data dari BPS tahun 2017 jumlah perokok remaja di Jawa

Barat usia 10-19 tahun berjumlah 16,4 juta. Hal ini jelas menunjukan data

yang mengkhawatirkan, sesuai hasil Riskesdas pada tahun 2007, 2010,


3

dan 2013 bahwa usia merokok pertama kali paling tinggi adalah pada

kelompok umur 15-19 tahun.

Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi

perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi

perokok sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Berbagai kandungan

zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif pada tubuh

penghisapnya. Berdasarkan pada beberapa hasil penelitian, merokok

dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan, berpengaruh pada

berat badan, perkembangan, bahkan konsentrasi (Aula, 2010, Warsidi,

2006, dr.Jusli Aras,M.kes SpA, 2015). Penumpukan nikotin dan berbagai

zat itu akan berpengaruh terhadap kondisi stamina fisik dan berpengaruh

pula secara tidak langsung terhadap motivasi belajar remaja (Zhao,

2004).

Hasil studi tentang rokok menyatakan angka kematian akibat dari

mengkonsumsi rokok meningkat pesat. Sekitar 500 ribu orang

diperkirakan meninggal dan setengahnya adalah anak anak dan remaja

(Yupiter sulifan, 2014). Merokok diusia muda cenderung akan memiliki

penyakit terkait dengan tembakau dan mengalami risiko kematian lebih

besar. Berhenti merokok pada usia yang lebih muda akan berdampak

besar dalam status kesehatan seseorang. Usia yang lebih muda untuk

merokok lebih mungkin untuk memiliki penyakit yang berhubungan

dengan merokok dibandingkan dengan perokok dikelompok usia lainnya.

Merokok dapat menjurus ke berbagai macam penyakit kronis. Risiko

kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan umur

awal merokok yang lebih dini. Rokok memiliki kekuatan adiksi yang
4

terbilang besar. Orang yang terlanjur memiliki kebiasaan merokok, akan

sulit untuk menghentikannya. Karena itu, apabila suatu saat seorang

perokok menghentikan kebiasaannya, pasti ia akan tersiksa baik fisik

maupun mentalnya (Aditama,1997).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi bahaya

merokok diantaranya seperti sosialisasi tentang bahaya rokok, kenaikan

harga jual rokok, serta pembuatan aturan tentang larangan penggunaan

rokok (Tibia Kesuma putri, dalam Kompasiana, 2013). Pembentukan

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang telah dilakukan oleh beberapa

kabupaten kota di Jawa Barat, salah satunya yang dilakukan oleh

Pemerintah Kota Bandung yang diatur dalam Perwal Kota Bandung no

215 Tahun 2017, akan tetapi semua upaya tersebut belum berhasil untuk

mengatasi masalah ini. Upaya menghentikan perilaku merokok bukanlah

usaha mudah, terlebih lagi bagi perokok di Indonesia.

Remaja yang mulai merokok pada usia 12 tahun atau lebih muda,

lebih cenderung menjadi perokok berat dan merokok secara teratur

daripada remaja yang merokok pada usia yang lebih tua. Biasanya

perokok akan menemui kesulitan - kesulitan yang dialami pada fase awal

perubahan, mulai dari penolakan, keraguan, hingga efek samping. Hasil

survey yang dilakukan LM3 (Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok),

dari 375 responden, dinyatakan 66,2 persen perokok pernah mencoba

berhenti merokok, tetapi mereka gagal. Kegagalan ini ada berbagai

macam; 42 persen tidak tahu caranya; 25,7 persen sulit berkonsentrasi

dan 2,9 persen terikat oleh sponsor rokok.(Helman,1994).


5

Upaya harus difokuskan tidak hanya pada kegiatan program

pencegahan khusus merokok untuk remaja, tetapi juga merancang

intervensi penghentian merokok khusus untuk remaja yang merokok.

Banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi bahkan

menghentikan aktivitas merokok ini diantaranya, dengan Hipnotherapy,

Akupuntur ,terapi cold laser, terapi herbal, bahkan obat obatan seperti

NRT(Nicotine Replacement therapy), Olahraga yoga, dan salah satunya

adalah SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique),

SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) adalah salah satu

metode yang digunakan untuk membantu seseorang dalam mencapai

pada tahap yang lebih produktif dan efektif dalam berperilaku (Zainudin,

2009). Paradigma pendekatan SEFT mengacu pada pendahulunya di

Energy Psychology bahwa penyebab segala macam emosi negatif adalah

terganggunya sistem energy tubuh (Gary Craig, 2007). Disisi lain

dipahami bahwa sel-sel tubuh kita digerakan oleh energi. Sel ini dapat

dipelajari dengan pendekatan ‘materi’ atau ’energi’. Dalam tradisi

pengobatan klasik/kuno, penyembuhan dilakukan dengan pendekatan

energi ( Albert Szent Gyorgy).

SEFT sendiri merupakan terapi yang kurang lebih sama dengan

teknik EFT (Emotional Freedom Technique), yang lebih menekankan

pada kelancaran sistem energi tubuh dengan cara menetralisir kembali

sistem energi tubuh yang terganggu “psycological reversal” atau

perlawanan psikologis (biasanya berupa pikiran negatif spontan) dengan

lebih menekankan pada pengendalian pikiran dan emosi sehingga tidak

mudah terganggu, serta dilakukannya pengetukan ringan dengan


6

menggunakan ujung jari (tapping) pada titik-titik meridian untuk setiap titik

yang bermasalah. Terapi SEFT menggabungkan 3 teknik dalam terapi

komplementer yaitu akupresur, hipnoterapi dan spritual / doa.

SEFT menurut Zainuddin (2009) mirip dengan teori akupuntur

karena baik SEFT maupun akupuntur berangkat dari teori yang sama

akan tetapi, SEFT, hanya 18 titik yang membutuhkan ketukan ringan

tanpa perlu penusukan jarum dengan durasi sekitar 5-25 menit, dan dapat

dilakukan sendiri oleh setiap orang. Remaja yang berperilaku merokok

diberikan kestabilan emosi dan pikiran yang positif sehingga remaja dapat

menentukan perilakunya yang positif. Kondisi emosi dan pikiran yang

positif dapat mengarahkan remaja dalam melakukan tindakan yang

adaptif dan tidak mengarahkan pada perilaku yang melanggar tataran

norma yang ada. Remaja yang diberikan terapi SEFT, akan merespon

secara fisiologis untuk mengekspresikan ketidaksukaan terhadap rokok,

sehingga intensitas merokok juga akan menurun.

Penelitian tentang terapi SEFT pernah diteliti oleh peneliti

sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan perilaku merokok. Hanya

saja pada penelitian yang dilakukan oleh Elisa Edfrina Afdi (2009) tentang

Pengaruh Terapi SEFT Terhadap Intensitas Merokok Pada Perokok Berat

dan kesimpulannya bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari

pemberian terapi SEFT terhadap penurunan intensitas merokok pada

responden perokok berat. Berikutnya penelitian tentang SEFT juga

dilakukan oleh Catharine Fristy (2016) tentang Efektifitas Terapi SEFT

Terhadap Penurunan Intensitas Merokok di klinik berhenti merokok di

Puskesmas kecamatan Potianak kota dan hasilnya bahwa terapi SEFT


7

efektif terhadap penurunan intesitas merokok. Sedangkan peneliti akan

meneilti pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan intensitas merokok

pada remaja madya yang dikategorikan perokok sedang.

Dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal

14 Maret tahun 2019 pada dua sekolah yang berbeda yaitu SMAN 4

Cimahi dan MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cimahi, didapatkan data dari

guru BK bahwa di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cimahi dengan total

jumlah siswa laki-laki sebanyak 206 dari kelas 10 s.d 12 di MAN Cimahi

terdapat 22 siswa yang merokok dengan intensitas sedang yaitu rata-rata

sebanyak 5 batang sehari. Sedangkan di SMAN 4 Cimahi dengan jumlah

siswa laki-laki sebanyak 445 terdapat 56 siswa yang merokok.

Mengetahui Di MAN ada siswa yang merokok, hal ini cukup mengagetkan

peneliti karena seperti diketahui bahwa karakteristik Madrasah Aliyah

adalah selalu menonjolkan nilai religius dimasyarakat, selain memiliki

kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan

sekolah umum, Madrasah memberikan landasan pokok agar peserta didik

memiliki pribadi yang keislaman bagi kehidupannya (Devi Heryana dalam

Perbedaan MA dan SMA , 2015). Pada tanggal 15 maret Peneliti lalu

melakukan perbandingan dengan MA swasta yaitu MA As- Sa’adah

dengan jumlah total siswa laki – laki dari kelas 10 s.d 12 sebanyak 19

orang dan jumlah siswa yang diketahui merokok sebanyak 3 orang,

mereka rata rata menghabiskan sampai 5 batang rokok sehari. Akhirnya

peneliti tertarik untuk meneliti siswa MAN Cimahi yang merokok dengan

alasan lebih banyak jumlah perokoknya dibanding MA As-saadah. Selain

itu juga, peneliti ingin membantu membentuk pribadi muslim yang baik
8

secara akhlak dan sehat secara fisik, serta mampu menjadi contoh yang

baik dimasyarakat. Dari hasil wawancara peneliti dengan 22 siswa

perokok di MAN Cimahi, 9 dari mereka mengaku pernah mencoba

berhenti dengan berbagai upaya ada yang dengan olahraga, dan makan

permen tapi akhirnya kembali lagi merokok karena berbagai fakor seperti

mulut terasa aneh, merasa tidak ada teman, keinginan yang kuat untuk

kembali merokok, dan sebagian tidak tahu caranya. Dari 22 siswa yang

merokok,6 diantaranya merasakan dampak negatif dari merokok seperti

sering nyeri tenggorokan dan mudah terserang flu disertai batuk.

Peran perawat sebagai Edukator adalah membantu klien dalam

meningkatkan pengetahuan kesehatan, dampak penyakit yang

ditimbulkan, bahkan tindakan yang akan diberikan, sehingga terjadi

perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan

(konsorsium ilmu kesehatan:1989). Perawat disini harus mampu

menyampaikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang bahaya merokok

baik yang pasif maupun aktif, dampak terhadap kesehatan dan

perkembangan kognitif, serta membantu mereka untuk bisa mengurangi

bahkan berhenti merokok.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan

peneltian dengan menggunakan metode terapi SEFT (Spititual Emotional

Freedom Technique salah satu terapi komplementer, untuk mengurangi

perilaku merokok pada remaja madya yang dilakukan pada siswa siswa

MAN Cimahi.
9

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada pengaruh terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom

Technique) terhadap penurunan intensitas kebiasaan merokok pada

remaja madya ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis Pengaruh terapi SEFT (Spiritual Emotional

Freedom Technique) terhadap penurunan intensitas kebiasaan

merokok pada remaja madya di MAN Cimahi, Kota Cimahi.

2. Tujuan Khusus

2.1. Mengidentifikasi jumlah rokok yang dihisap selama 1 hari oleh

siswa MAN Cimahi sebelum dilakukan terapi SEFT (Spiritual

Emotional Freedom Technique).

2.2. Mengidentifikasi jumlah rokok yang dihisap selama 1 hari oleh

siswa MAN Cimahi setelah dilakukan terapi SEFT (Spiritual

Emotional Freedom Technique)

2.3 Mengidentifikasi pengaruh terapi SEFT (Spiritual Emotional

Freedom Technique) terhadap intensitas merokok pada remaja

madya di MAN Cimahi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah hasanah keilmuan

khususnya dalam dunia keperawatan tentang adanya pengaruh


10

terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) terhadap

intensitas kebiasaan merokok pada remaja madya sebagai penelitian

ilmu keperawatan.

2. Manfaat Praktis

2.1. Bagi Individu

Dapat memberikan solusi untuk mengatasi masalah-

masalah pribadi baik yang bersifat fisik maupun psikis,

khususnya kecanduan merokok.

2.2. Bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan edukasi

guru bagi seluruh siswa MAN Cimahi pada umumnya dan siswa

yang merokok pada khususnya, agar nanti kedepannya memiliki

sikap antisipatif dan preventif terhadap rokok.

2.3. Bagi Masyarakat

Dengan penelitian ini diharapkan menjadi daya tarik

bagi masyarakat untuk mempelajarinya sebagai bahan

implementasi dalam mengatasi permasalahan fisik dan psikis,

khususnya penanganan merokok.


11

Anda mungkin juga menyukai