Anda di halaman 1dari 47

Skenario 4

Pusing Hebat

Seorang perempuan berusia 16 tahun datang diantar ibunya ke poliklinik karena


mengeluhkan serangan pusing yang hebat. Pasien menggambarkan ia mengalami
pusing yang berat disertai mual dan muntah ringan hampir setiap malam 1 bulan
terakhir. Selama serangan pasien merasa bahwa ia seperti melayang dan tidak
mampu menjaga keseimbangan. Serangan ini biasanya terjadi pada malam hari
hingga menjelang pagi sehingga pasien tidak dapat istirahat dengan tenang dan
mengganggu aktivitas sekolahnya. Pasien sebelumnya sudah memeriksakan diri
ke beberapa dokter spesialis seperti spesialis THT, spesialis saraf dan semuanya
menyatakan tidak ada kelainan. Setelah dilakukan anamnesis lebih lanjut, pasien
menceritakan bahwa dirinya merasa sangat khawatir karena sahabat pasien
meninggal karena kanker otak.

STEP 1
-
STEP 2
1. Mengapa pasien mengalami keluhan seperti pada kasus?
2. Mengapa keluhan pasien hanya timbul pada malam hari?
3. Apa saja pemeriksaan pada pasien tersebut?
4. Faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian pada kasus?
5. Apa hubungan antara rasa khawatir dengan keluhan pasien?
STEP 3
1. Penyebab :
- Pengaruh temannya yang meninggal
- Kecemasan
- Saraf otonom
2. Gangguan presepsi
2. Anamnesis :
- Identifikasi / data pribadi
- Keluhan
- RPK
- RPD
- Mimpi dan fantasi
Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum
- Kesadaran
- Head to toe
- Isi pikiran
- Presepsi
4. - faktor emosi
- faktor lingkungan
- faktor fisik
- faktor psikologis
5. Kelainan pada reseptor gaba

STEP 4
1. Penyebab
- Cemas
Cemas  system limbik  peningkatan pelepasan epinefrin dari
adrenal  peningkatan tonus simpatik  pusing dan sakit kepala
- Neurotransmitter
a. Norepinefrin : badan sel terletak di system limbic, batang otak, dan
medulla spinalis
b. Serotonin : badan sel terletak di system limbic (hipokampus dan
amigdala) dan korteks serebri
c. GABA : efektifitas benzodiazepine
- Jenis gangguan
a. GAM
b. PD
c. Phobia
d. Obsesi kompulsif
e. Stress pasca trauma
- Gangguan jiwa
a. Psikotik : ilusi, halusinasi, waham
· Organik : delirium, demensia
· Non organik : gangguan mood, skizofrenia
b. Non psikotik
· Gangguan ansietas
· Depresi
· Gangguan mood
· Somatoform
2. Keluhan timbul pada malam hari
Kecemasan meningkat (karena kalau tidur ia takut tidak bangun lagi) 
pelepasan neurotransmitter dan hormone  pusing
2. Pemeriksaan
- Anamnesis
a. faktor predisposisi
b. Factor presipitasi
c. Keluarga
d. RPD
e. RPK
f. RP Sosial
- Pemeriksaan fisik
a. Deskripsi umum
b. Penampilan
c. Sikap
d. Mimik
- Diagnosis
a. Axis I : gangguan klinis
b. Axis II : gangguan kepribadian, retardasi mental
c. Axis III : kondisi media umum
d. Axis IV : masalah psikososial dan lingkungan
e. Axis V : GAF scale
3. Faktor yang mempengaruhi

 faktor emosi (menekkan rasa amarah dan frustasi dalam waktu


yang lama)

 faktor lingkungan (pengalaman yang tidak menyenangkan)

 faktor fisik (trauma fisik)

 faktor psikologis (stress dan kekhawatiran)


4. Kelainan pada reseptor gaba sehingga memicu organ lain mengakibatkan
keluhan diatas muncul

MIND MAP

Etiologi Klasifikasi

Gangguan Anxietas somatoform


psikiatri
Penegakan
diagnosa
Patomekanisme
Tanda dan gejala

STEP 5
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang :
1. Pemeriksaan status mental
2. Jenis – jenis gangguan somatoform (Faktor penyebab, Gejala klinis,
Penegakan diagnosis, Penatalaksanaan)
STEP 6
BELAJAR MANDIRI

STEP 7
1. Pemeriksaan status mental
1) Keadaan Umum
 Isi : jenis kelamin, usia, rawat diri
 Penting untuk menentukan atau memperkirakan prognosis
pasien, Contoh: tampak seorang laki-laki sesuai usia,
dengan rawat diri cukup.
2) Kesadaran
a. Compos mentis (kesadaran penuh): kemampuan untuk
menyadari informasi dan menggunakannya secara efektif
dalam mempengaruhi hubungan dirinya dengan lingkungan
sekitarnya.
b. Somnolen: terkantuk-kantuk
c. Stupor: acuh tak acuh terhadap sekelilingnya dan tak ada
reaksi terhadap stimuli.
d. Koma: ketidaksadaran berat, pasien sama sekali tidak
memberikan respon terhadap stimuli.
e. Koma vigil: keadaan koma tetapi mata tetap terbuka.
f. Kesadaran berkabut: kesadaran menurun yang disertai
dengan gangguan persepsi dan sikap
g. Delirium: kesadaran menurun disertai bingung, gelisah,
takut, dan halusinasi. Penderita menjadi tidak dapat diam.
h. Twilight state (dreamy state): kesadaran menurun disertai
dengan halusinasi, biasanya terjadi pada epilepsi.
3) Orientasi
 Isi: orientasi orang, waktu, tempat, dan situasi
 Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk menilai
orientasi pasien, misalnya:
a. Mbak/Mas tau tidak sekarang hari apa?(O-w)
Datang sama siapa?(O-o) Kenapa dibawa ke sini?
(insight)
b. Mbak/Mas tadi malam bisa tidur? Bangun jam
berapa? (O-w) Yang nunggu mbak tadi malam
siapa? (O-o) Tadi mbak sudah jalan-jalan ke mana
saja? (O-t)
4) Sikap, Tingkah Laku
 Isi: aktivitas (hiperaktif, normoaktif, hipoaktif), kerjasama
(kooperatif, nonkooperatif), psikomotor (jika ada)
 Bentuk kelainan psikomotor yang dapat diamati:
a. Echopraxia: menirukan gerakan orang lain
b. Katatonia: kaku atau tidak bergerak sama sekali
c. Katalepsi: pasien tidak bergerak dan cenderung
mempertahankan posisi tertentu.
d. Fleksibilitas serea: gerakan yang diberikan oleh
pemeriksa secara perlahan, dan kemudian
dipertahankan oleh pasien.
e. Negativisme: gerakan menentang/tidak mematuhi
perintah.
f. Katapleksi: tonus otot menghilang sementara
dikarenakan emosi
g. Stereotipi: aktivitas fisik atau bicara yang diulang-
ulang
h. Manerisme: gerakan involunter yang stereotipik
i. Otomatis perintah: mengikuti perintah secara
otomatis
j. Mutisme: tak bersuara
k. Agresi: perbuatan menyerang, baik verbal maupun
fisik, disertai afek marah/benci.
5) Afek
 Afek: emosi yang diekspresikan oleh pasien, sehingga
penilaiannya obyektif (dapat diamati oleh pemeriksa)
 Afek dapat dinyatakan dalam beberapa cara:
a. Jenis emosi : kemarahan, kesedihan, euphoria
(peningkatan ekspresi kegembiraan), elasi (euphoria
dengan peningkatan aktivitas psikomotor), eksaltasi
(elasi yang disertai waham kebesaran), ekstase
(agresi).
b. Intensitas dan derajat emosi: datar, tumpul, sempit,
luas.
 Datar: tidak terdapat ekspresi
 Tumpul: ekspresi yang tampak sangat
sedikit (hamper tidak terdapat ekspresi)
 Sempit/menyempit: pasien terkadang masih
dapat mengekspresikan perasaannya.
 Luas: perasaan dapat diekspresikan secara
penuh (normal)
c. Keserasian: dilihat dari kesesuaian antara stimulus
yang diberikan dengan ekspresi pasien: appropriate,
inappropriate.
d. Konsistensi perasaan: labil, stabil. Labil bila terjadi
perubahan afek yang cepat
6) Mood

 Mood: emosi yang berkepanjangan yang dialami secara


subyektif dan dilaporkan oleh pasien.
 Mood Eutimia: suasana perasaan dalam rentang normal,
yakni individu mempunyai penghayatan perasaan yang luas
dan serasi dengan irama hidupnya.
 Mood Hipotimia: suasana perasaan yang secara pervasif
diwarnai dengan kesedihan dan kemurungan. Individu
secara subyektif mengeluhkan tentang kesedihan dan
kehilangan semangat. Secara obyektif tampak dari sikap
murung dan perilakunya yang lamban.
 Mood Disforia: menggambarkan suasana perasaan yang
tidak menyenangkan. Seringkali diungkapkan sebagai
perasaan jenuh, jengkel, atau bosan. 
 Mood Hipertimia: suasana perasaan yang secara perfasif
memperlihatkan semangat dan kegairahan yang berlebihan
terhadap berbagai aktivitas kehidupan. Perilakunya menjadi
hiperaktif dan tampak enerjik secara berlebihan.
 Mood Eforia: suasana perasaan gembira dan sejahtera
secara berlebihan.
 Mood Ekstasia: suasana perasaan yang diwarnai dengan
kegairahan yang meluap luap.Sering terjadi pada orang
yang menggunakan zat psikostimulansia.
 Aleksitimia: suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk
menghayati suasana perasaannya. Seringkali diungkapkan
sebagai kedangkalan kehidupan emosi. Seseorang dengan
aleksitimia sangat sulit untuk mengungkapkan perasaannya.
 Anhedonia: suatu suasana perasaan yang diwarnai dengan
kehilangan minat dan kesenangan terhadap berbagai
aktivitas kehidupan. 
 Mood Kosong: kehidupan emosi yang sangat dangkal,tidak
atau sangat sedikit memiliki penghayatan suasana perasaan.
Individu dengan mood kosong nyaris kehilangan
keterlibatan emosinya dengan kehidupan disekitarnya.
Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien skizofrenia kronis.
 Mood Labil: suasana perasaan yang berubah ubah dari
waktu ke waktu. Pergantian perasaan dari sedih, cemas,
marah, eforia, muncul bergantian dan tak terduga. Dapat
ditemukan pada gangguan psikosis akut.
 Mood Iritabel: suasana perasaan yang sensitif, mudah
tersinggung, mudah marah dan seringkali bereaksi
berlebihan terhadap situasi yang tidak disenanginya.

7) Proses Pikir

 Dibedakan menjadi bentuk pikir, isi pikir, dan progress


pikir.

a. Gangguan bentuk pikir:

 Nonrealistik/derealistik: tidak sesuai dengan


kenyataan tetapi masih mungkin, misal:
“saya adalah seorang presiden” atau seorang
dokter berkata, “saya dapat menyembuhkan
semua orang yang sakit”

 Dereistik: tidak sesuai dengan kenyataan dal


lebih didasarkan pada khayalan, misal: “saya
adalah seorang malaikat” atau “saya dapat
menyembuhkan segala macam penyakit”

 Autistik: pikiran yang timbul dari fantasi,


berokupasi pad aide yang idesentris. Orang
autistic selalu hidup dalam alam/dunianya
sendiri, dan secara emosional terlepas dari
orang lain.
 Tidak logis (illogical thought), sering juga
disebut magical thought: berorientasi pada
hal-hal yang bersifat magis.

 Pikiran konkrit (formal thought disorder):


pikiran terbatas pada satu dimensi arti,
pasien mengartikan kata/kalimat apa adanya,
tidak mampu berpikir secara metaforik atau
hipotetik. Symptom ini biasa ditemukan
pada pasien dengan gangguan mental
organic dan skizofrenia. Contoh: meja hijau
= meja yang berwarna hijau, daun muda =
daun yang masih muda.

b. Gangguan isi pikir:

 Ideas of reference: pasien selalu


berprasangka bahwa orang lain sedang
membicarakan dirinya dan kejadian-
kejadian yang alamiah pun memberi arti
khusus/berhubungan dengan dirinya.
Contoh: pasien merasa bahwa berita yang
dibawakan oleh pembawa berita di televise
berkaitan dengannya dan terselip pesan
untuknya.

 Waham: keyakinan palsu yang timbul tanpa


stimulus dari luar yang cukup, Ciri –
cirinya yaitu, tidak realistic (tidak nyata),
tidak logis, menetap, egosentris, diyakini
kebenarannya oleh penderita, tidak dapat
dikoreksi, dihayati oleh penderita sebagai
hal yang nyata, penderita hidup dalam
wahamnya itu, keadaan atau hal yang
diyakini itu bukan merupakan bagian sosio-
kultural setempat.

 Macam – macam waham

Jenis Perilaku
Pengertian
Waham Klien
Keyakinan “ Saya ini
secara pejabat di
berlebihan kementrian
bahwa Semarang!”
dirinya “Saya punya
memiliki perusahaan
kekuatan paling besar
khusus atau lho”.
kelebihan
Waham
yang
Kebesaran
berbeda
dengan
orang lain,
diucapkan
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Waham Keyakinan “ Saya
Agama terhadap adalah
suatu Tuhan yang
agama bisa
secara menguasai
berlebihan, dan
diucapkan mengendalik
berulang- an semua
ulang tetapi makhluk”.
tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Keyakinan “ Saya tahu
seseorang mereka mau
atau menghancur
sekelompok kan saya,
orang yang karena iri
mau dengan
merugikan kesuksesan
Waham atau saya”.
Curiga mencederai
dirinya,
diucapkan
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan
Waham Keyakinan “ Saya
Somatik seseorang menderita
bahwa kanker”.
tubuh atau Padahal hasil
sebagian pemeriksaan
tubuhnya lab tidak ada
terserang sel kanker
penyakit, pada
diucapkan tubuhnya.
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Keyakinan “ Ini saya
seseorang berada di
bahwa alam kubur
dirinya ya, semua
sudah yang ada
meninggal disini adalah
Waham
dunia, roh-rohnya.
Nihlistik
diucapkan
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan.

Tabel 1. Macam – macam waham

 Obsesi: gagasan (ide), bayangan, atau


impuls yang berulang dan persisten.

 Kompulsi: perilaku/perbuatan berulang


yang bersifat stereotipik, biasanya
menyertai obsesi.

 Fobia: ketakutan yang menetap dan tidak


rasional terhadap suatu objek, aktifitas, atau
situasi spesifik yang menimbulkan
keinginan yang mendesak untuk
menghindarinya.

 Anosognosis: pasien menolak kenyataan


bahwa ia mengalami gangguan fisik, hal ini
terjadi pada pasien yang mengalami
luka/trauma dan kerusakan otak yang luas.
Contoh: penderita buta mengatakan bahwa
ia dapat melihat.

c. Gangguan progress atau arus piker

 Neologisme: pembentukan kata-kata baru


yang memiliki arti khusus bagi penderita,
sering terdapat pada pasien skizofrenia.
Neologisme dapat pula akibat halusinasi
akustik sehingga sering merupakan kata
yang diulang.

 Word salad: bentuk ekstrim neologisme


yang ditandai dengan kalimat yang dibentuk
dari kata-kata yang hamper semuanya tidak
dapat dimengerti.

 Magical thinking: pasien percaya bahwa


segala tingkah laku, ucapan, sikap, serta
gerak-geriknya dikendalikan oleh kekuatan
magis. Symptom ini menonjol pada pasien
dengan obsesif kompulsif dan secara ekstrim
terdapat pada skizofrenia.

 Intelektualisasi: pembicaraan yang


meloncat-loncat kea rah konsep intelektual,
tentang teori yang abstrak dan filosofis.
Sering dijumpai pada pasien obsesif
kompulsif dan skizofrenia.

 Circumstantiality: gangguan asosiasi karena


terlalu banyak ide yang disampaikan. Pada
umumnya pasien dapat mencapai tujuannya,
tetapi harus secara bertahap. Sering dijumpai
pada pasien skizofrenia, epilepsy, dan
demensia senilis.

 Tangential thinking: pembicaraan pasien


terlepas sama sekali dari pokok pembicaraan
dan tidak kembali ke pokok pembicaraan
tersebut, sehingga tujuan tidak pernah
tercapai. Sering dijumpai pada pasien
bipolar fase manic.

 Asosiasi longgar: pasien berbicara dengan


kalimat-kalimat yang tidak berhubungan,
namun masih dapat dimengerti.

 Inkoherensi: merupakan asosiasi longgar


yang berat, terdapat distorsi
tatabahasa/susunan kalimat dengan arti
istilah yang aneh. Secara khas terdapat pada
skizofrenia.

 Flight of ideas: pembicaraan yang


melompat-lompat dari satu topic ke topic
lain tanpa terputus, dimana masih terdapat
benang merah (masih terkait, walau sangat
kecil kaitannya)
 Stereotypi kata atau kalimat: pengulangan
kata/kalimat karena adanya pengulangan
buah pikiran. Bila terjadi pengulangan kata
= verbigerasi, pengulangan kalimat =
perseverasi. Terdapat pada skizofrenia dan
GMO.

 Logore: pasien berbicara terus-menerus


tanpa henti.

 Echolalia: menirukan kata-kata/kalimat


orang lain, cenderung berulang-ulang dan
persisten

 Remming: pasien berbicara dengan sangat


lambat dan biasanya dengan nada yang
rendah, karena pikirannya timbul perlahan
sehingga progresi piker menjadi lambat.
Biasanya terdapat pada pasien dengan
depresi.

 Blocking: putusnya pikiran yang ditandai


dengan putusnya secara sementara atau
terhentinya pembicaraan. Sering ditemukan
pada skizofrenia.

 Mutisme: pasien tidak member respon


terhadap lingkungan, tidak mau berbicara
sama sekali. Sering ditemukan pada
skizofrenia kataton, depresi berat, histerical
aphonia, dan GMO.

 Aphasia: gangguan berbicara/berbahasa


karena kerusakakn otak.
8) Persepsi

 Isi: agnosia, halusinasi, ilusi

 Agnosia: ketidakmampuan mengenal dan menafsirkan


rangsangan sensorik agnosia visual, taktil, sensorik.

 Halusinasi: persepsi terhadap rangsang yang tak nyata.


(tidak terdapat objek) terdapat beberapa jenis halusinasi,
yaitu halusinasi dengar (akustik, auditori), halusinasi visual
harus dalam keadaan mata penderita terbuka. Biasanya
merupakan petunjuk adanya gangguan mental organic.,
halusinasi bau, halusinasi pengecapan, halusinasi seksual,
kemudian heautoscopie atau halusinasi visual khusus,
pasien melihat orang yang mirip dirinya berada di depannya
atau mendekatinya. Bila dapat dikoreksi, maka disebut
pseudo halusinasi, lalu halusinasi kinaestesi (phantom
phenomenon) atau persepsi palsu pada pasien setelah
mengalami operasi besar. Contoh: pasien post amputasi
kaki berkata bahwa kakinya masih utuh.

 Ilusi: mispersepsi/misinterpretasi terhadap stimulus


sensorik yang real. (ada objek nyata)

9) Perhatian

 Isi: mudah/sukar ditarik, mudah atau sukar dicantum

 Mudah ditarik: pasien mudah untuk ditarik perhatiannya


dan menjawab pertanyaan pemeriksa.

 Mudah dicantum: pasien dapat memusatkan perhatian pada


topic tertentu dan menjawab pertanyaan sesuai dengan
topic pembicaraan pemeriksa.
10) Daya ingat

 Daya ingat : Gangguan, usaha yang membuat menguasai


gangguan itu – penyangkalan, konfabulasi, reaksi
katastropik, sirkumstansialitas yang digunakan untuk
menyembunyikan kekurangannya, apakah proses registrasi,
retensi, rekoleksi material terlibat.

 Daya ingat jangka panjang (remote memory) : data masa


kanak- kanak, peristiwa penting yang terjadi ketika masih
muda atau bebas dari penyakit, persoalan-persoalan pribadi.

 Daya ingat jangka pendek (Recent past memory, recent


memory) : beberapa bulan atau beberapa hari yang lalu, apa
yang dilakukan pasien kemarin, sehari sebelumnya, sudah
sarapan, makan siang, makan malam.

 Daya ingat segera (immediate retention and recall) :


kemampuan untuk mengulangi enam angka setelah
pemeriksa mendiktekannya – pertama maju, kemudian
mundur, sedudah beberapa menit interupsi, tes pertanyaan
yang lain, pertanyaan yang sama, jika diulang, sebutkan
empat perbedaan jawaban pada empat waktu.

11) Tingkat pengetahuan

Tingkat pendidikan formal, perkiraan kemampuan intelektual


pasien dan apakah mampu berfungsi pada tingkat dasar
pengetahuan. : jumlah, perhitungan, pengetahuan umum,
pertanyaan harus relevan dengan latar belakang pendidikan dan
kebudayaan pasien

12) Pikiran abstrak


Gangguan dalam formulasi konsep; cara pasien
mengkonsepsualisasikan atau menggunakan ide-idenya, (misalnya
membedakan antara apel dan pear, abnormalitas dalam
mengartikan peribahasa yang sederhana, misalnya ; “Batu-batu
berguling tidak dikerumuni lumut”; jawabannya mungkin konkrit.
Memberikan contoh- contoh yang spesipik terhadap ilustrasi atau
arti) atau sangat abstrak (memberikan penjelasan yang umum) ;
kesesuaian dengan jawaban.

13) Insight (tilikan diri)

 Yaitu pemahaman seseorang terhadap kondisi dan situasi


dirinya dalam konteks realitas sekitarnya. (pemahaman
pasien terhadap penyakitnya)

 Derajat insight:

Derajat I : Penyangkalan total terhadap penyakitnya

Derajat II : Ambivalensi terhadap penyakitnya

Derajat III :   Menyalahkan faktor lain sebagai penyebab


penyakitnya

Derajat IV : Menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan,


namun tidak memahami penyebab sakitnya

Derajat V : Menyadari penyakitnya dan faktor-faktor yang


berhubungan dengan penyakitnya namun tidak menerapkan
dalam perilaku praktisnya

Derajat VI : Tilikan yang sehat, yakni sadar sepenuhnya


tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai
perbaikan.

14) Daya Nilai


 Daya nilai Sosial : Manifestasi perilaku yang tidak kentara
yang membahayakan pasien dan berlawanan dengan
tingkah laku yang dapat diterima budayanya. Adanya
pengertian pasien sebagai hasil yang tak mungkin dari
tingkah laku pribadi dan pasien dipengaruhi oleh pengertian
itu.

 Uji daya nilai : pasien dapat meramalkan apa yang akan dia
lakukan dalam bayangan situasi tsb. Misalnya apa yang
akan dilakukan pasien dengan perangko, alamat surat yang
dia temukan dijalan.

 Penilaian Realitas : kemampuan membedakan kenyataan


dengan fantasi

2. Jenis – jenis gangguan somatoform

A. Gangguan Nyeri (Pain Disorder)

Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang


merupakan keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis.
Faktor psikologislah yang berperan dalam pengalaman nyeri pasien
dan perilaku mencari pertolongan medis. Nyeri muncul secara tiba-
tiba dan derajat keparahan meningkat dalam beberapa minggu atau
bulan.
1) Epidemiologi

Sekitar 7 juta orang di Amerika mengeluhkan hendaya


akibat nyeri pinggang bawah. Gejala nyeri sendiri merupakan
gejala paling umum yang akan dijumpai dalam praktek
kedokteran. Waspadai keluhan nyeri akibat ketergantungan opioid
dan benzodiazepine iatrogenik. Nyeri kronik biasanya dikaitkan
dengan gejala depresi berat (25-50%) atau dystimia (60-100%).
2) Etiologi
a. Faktor Psikodinamik
 Bentuk ekspresi konflik intrapsikis secara simbolik melalui
tubuh.
 Pasien dengan aleksitimia tidak mampu mengekspresikan
perasaannya secara verbal sehingga menggunakan tubuh
untuk mengekspresikannya.
 Beberapa orang menganggap luka emosional sebagai
kelemahan sehingga memindahkan (displacing) masalah
pada tubuh.
 Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa
atau bersalah.
 Cara untuk mencari cinta

b. Faktor perilaku

Perilaku nyeri diperkuat ketika pasien dihargai atau


dicemaskan dan dihambat ketika pasien diabaikan.
c. Faktor interpersonal

Nyeri yang sulit diobati dapat menjadi sarana untuk


memanipulasi hubungan interpersonal, misalnya memastikan
kesetiaan pasangan untuk mempertahankan perkawinan yang rapuh
d. Faktor Biologis

Defisiensi endorfin dapat menjadi penyebab. Demikian


juga pada pasien dengan kelainan struktur limbik dan sensorik,
abnormalitas tersebut dapat menjadi faktor predisposisi.
3) Gambaran klinis

Pasien dengan gangguan nyeri akan datang dengan keluhan


utama nyeri di berbagai lokasi biasanya nyeri pinggang bawah, nyeri
kepala, nyeri fasial atipikial. Pasien umumnya punya riwayat panjang
perawatan medis dan pembedahan. Banyak yang mengunjungi
beberapa dokter, meminta obat dalam jumlah besar, bahkan mendesak
pembedahan.
4) Kriteria Diagnosis

Berdasarkan DSM-IV:
a) Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama
dan cukup berat untuk menjadi perhatian klinis.
b) Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya
dalam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
c) Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
d) Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-
pura.
e) Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood,
cemas, atau psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.

Beri kode sebagai berikut :


 Gangguan nyeri berasosisasi dengan faktor psikologis :
dimana faktor psikologis dinilai mempunya peranan dalam
awitan, keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
Bilamana ada gangguan medis umum hal tersebut dinilai
tidak berperan dalam gejala nyeri yang ditimbulkan.
 Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis
maupun kondisi medik umum. Gangguan medis umum
yang dimaksud perlu dicantumkan pada Axis III pada
bagan diagnosis multiaksial.
Selanjutnya juga perlu digolongkan apakah berdasarkan
perjalanannya gangguan nyeri ini bersifat akut atau kronik, dengan
kriteria akut < 6 bulan dan kronik 6 bulan atau lebih.
5) Tatalaksana
a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang
mungkin berkontribusi terhadap gejala nyeri.
b. Seperti pada gangguan somatisasi dan hipokondriasis, target
tatalaksana bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab
tidak mungkin menghilangkan nyeri.
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri
pasien adalah psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam
otak yang terlibat dengan emosi seperti sistem limbik akan
mempengaruhi sensorik. Namun terapis harus memahami
bahwa nyeri yang dialami pasien sebagai sesuatu yang nyata.
d. Klinik nyeri (pain clinic) dengan pendekatan multidisipliner
sering bermanfaat, sekaligus menunjukkan pada pasien bahwa
penderitaan mereka ditangani secara serius.
e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa
nyeri dan mengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada
rasa nyeri.
f. Farmakoterapi yang dapat menolong adalah golongan
antidepresan trisiklik dan SSRI. Golongan analgetik, sedatif,
dan anticemas tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan
ketergantungan dan memperparah gejala.
6) Prognosis

Prognosis umumnya kronik dan pada akhirnya menimbulkan


penderitaan dan ketidakberdayaan.

B. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari
gangguan somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan
berbagai sistem organ tidak dapat dijelaskan secara medis.
Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat
memenuhi kriteria gangguan somatisasi, sehingga dimasukkan
dalam kategori gangguan somatoform tidak terinci (lihat bab
selanjutnya).

1) Prevalensi gangguan somatisasi

Sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio
wanita : pria adalah 5:1. Onset biasanya dimulai saat remaja.
Adanya asosiasi antara sexual abuse dengan gangguan somatisasi.
Pada pasien-pasien semacam ini gejala umumnya berupa nyeri
pelvik kronik dan gangguan gastrointestinal fungsional

2) Etiologi

Etiologi dari gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :

 Faktor Psikososial

Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara


psikososial gejala gangguan ini merupakan bentuk
komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari
kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimpulkan
perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan
budaya dapat mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan
somatisasi.
 Faktor Biologis
Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan
somatisasi terjadi pada 10-20% wanita turunan pertama
sedangkan saudara laki-lakinya cenderung menjadi
penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial.
Pada kembar monozigot transmisi terjadi 29% sedangkan
dizigot 10%.
3) Presentasi Klinis

Pasien yang memiliki gangguan somatisasi datang dengan keluhan


somatik yang banyak serta riwayat yang rumit. Bahkan terkadang
pasien sudah melakukan pemeriksaan dengan alat-alat canggih.
Gejala umum yang dikeluhkan adalah mual, muntah, sulit menelan,
sakit pada lengan dan tungkai, nafas pendek, amnesia, komplikasi
kehamilan dan menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit sepanjang
hidupnya. Sering terdapat gejala neurologik seperti gangguan
keseimbangan, merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia,
retensi urin, hilang modalitas sensorik raba dan nyeri, buta,
bangkitan, hilang kesadaran bukan karena pingsan. Pasien merasa
menderita dan sering mengalami depresi serta kecemasan.
Ancaman bunuh diri sering dilaporkan namun angka bunuh diri
aktual sangat jarang. Pasien gangguan somatisasi biasanya tampak
mandiri, terpusat pada diri, haus penghargaan, serta manipulatif.

Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria


diagnosis sebagai berikut :

 Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan


bahwa dirinya sakit) yang mulai sebelum usia 30 tahun,
berlangsung selama beberapa tahun, dan mengakibatkan
perilaku mencari pertolongan medis (”medical seeking
behavior”) atau hendaya yang bermakna.
 Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang
terjadi kapanpun selama perjalanan dari gangguan, yang
semuanya harus dipenuhi. Gejala-gejala yang dimaksud
antara lain:

o 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau


fungsi yang berbeda meliputi kepala dan leher,
abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,
rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, dan saat berkemih)

o 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual,


kembung, muntah, diare, dan intoleransi makanan)

o Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual,


disfungsi seksual, mens ireguler, perdarahan mens
yang berlebihan, muntah-muntah selama hamil)

o Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri


(meliputi gangguan keseimbangan, kelemahan,
kesulitan menelan, afonia, retensi urin, halusinasi,
pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang,
disosiasi, dan kehilangan kesadaran)

 Gejala-gejala tersebut bukanlah akibat gangguan kondisi


medis, ataupun kalau terdapat gangguan kondisi medis,
gejala dan efeknya pada pasien melebihi dari apa yang
biasanya dapat disebabkan gangguan kondisi medis
tersebut.

 Gejala-gejala tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat


secara sengaja atau berpura-pura

4) Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik.
Diagnosis biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun
gejala awal sudah dimulai saat remaja. Masalah menstruasi
merupakan gejala paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan
seksual sering berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan.
Periode keluhan yang ringan 6-9 bulan, sedangkan yang berat 9-12
bulan. Biasanya pasien sudah memulai mencari pertolongan medis
sebelum 1 tahun.

5) Tatalaksana

 Pendekatan untuk tatalaksana gangguan somatisasi harus


bersifat realistis dan berfokus pada care dan bukan cure.

 Beberapa poin klinis yang bermanfaat, berdasarkan asumsi


bahwa adanya kebutuhan psikologis yang merupakan
penyebab mendasar dari gangguan somatisasi:

o Pasien tidak selalu mencari kesembuhan tetapi


mungkin menginginkan adanya relasi dengan
praktisi

o Pasien ingin dokter mengakui bahwa dirinya sakit

o Berikan reassurance (dukungan) secara lambat dan


berhati-hati. Pasien seringkali tidak suka dan
menolak (resisten) dengan pernyataan-pernyataan
bahwa dirinya tidak sakit, bahwa gejalanya
bersumber dari emosi/psikis.

o Hindari dikotomi tubuh-pikiran dalam


menginterpretasikan gejala

o Tunjukkan kepedulian pada distress pasien dan


tunjukkan keinginan untuk menolong
o Hindari penjelasan prematur mengenai hubungan
antara gejala fisik dan fenomena psikologis.
Lakukan penjelasan secara bertahap yang membuat
pasien mengerti dan menganggapnya serius. Hindari
saran-saran yang menyatakan bahwa segala masalah
terletak dalam “kepala” pasien

 Targetkan optimalisasi fungsi

o Usahakan untuk mengerti sumber stres dan sarana


coping, serta tetapkan target untuk perilaku
adaptasi yang lebih baik

o Tanamkan agar pola perilaku dan komunikasi


pasien jangan seperti orang sakit terus menerus.
Kapan saja bila memungkinkan, bicarakan hal-hal
lain dan diskusikanlah selain daripada gejala fisik

o Ajarkan bahwa adanya relasi erat antara tubuh,


otak, dan pikiran dengan menggunakan contoh-
contoh sederhana yang bisa diterima pasien (muka
memerah bila merasa malu, mulut kering bila
berbicara di depan umum, sesak dan jantung
berdegup cepat bila cemas, sakit kepala bila
tegang)

 Buat jadwal pertemuan terencana, misalnya 1 bulan


sekali

 Batasi penggunaan alat diagnostik dan obat-obatan.


Beberapa pemeriksaan fisik yang terfokus dan
pemeriksaan lab yang kadang-kadang saja sifatnya.
Tanda (sign) harus lebih diandalkan daripada gejala
(symptoms)
 Terapi kelompok dan terapi kognitif-perilaku dapat
bermanfaat

 Belum terdapat psikofarmaka yang efektif untuk


mengatasi gejala gangguan somatisasi, dan hanya
dianjurkam bila terbukti ada komorbid gangguan
psikiatris lainnya.

6) Prognosis

Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi.


Remisi total jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka
distress dapat dikurangi namun tidak dapat sama sekali
dihilangkan.

C. Gangguan Hipokondriasis

1) Definisi
Hipokondriasis adalah keadaan dimana seseorang mencurigai
kesehatan fisiknya atau ketakutan pada suatu penyakit tanpa ada
patologi organik, yang menetap walaupun telah dilakukan
pemeriksaan adekuat dan penentraman.Pasien berulang kali
mencari pemeriksaan atau keterangan medis, tetapi tetap tidak
dapat diyakinkan. Hasil evaluasi diagnostik negatif dan dokter
menenangkan hanya akan meningkatkan kecemasan pasien tentang
kesehatannya.
2) Etiologi
Dalam kriteria diagnostik hipokondriasis, DSM-IV menyatakan
bahwa gejala mencerminkan misinterpretasi gejala-gejala tubuh.
Data tubuh yang cukup menyatakan bahwa orang hipokondriakal
meningkatkan dan membesarkan sensasi somatiknya, mereka
memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya
terhadap ganggguan fisik. Sebagai contoh, apa yang dirasakan oleh
orang normal sebagai tekanan abdominal, orang hipokondriakal
menganggapnya sebagai nyeri abdomen. Orang hipokondriakal
mungkin berpusat pada sensasi tubuh, salah
menginterpretasikannya dan menjadi tersinyal oleh hal tersebut
karena skema kognitif yang keliru. Walaupun beberapa studi kasus
yang diduga terkait dengan suatu hipokondriasis, sampai sekarang
belum diketahui secara pasti penyebab dari hipokondriasis itu
sendiri. Teori yang kedua adalah bahwa hipokondriasis dapat
dimengerti berdasarkan model belajar sosial. Gejala hipokondriasis
dipandang sebagai keinginan untuk mendapatkan peranan sakit
oleh seseorang yang mendapatkan masalah yang tampaknya berat
dan tidak dapat dipecahkan. Peranan sakit menawarkan suatu jalan
keluar, karena pasien yang sakit dibiarkan menghindari kewajiban
yang menimbulkan kecemasan dan menunda tantangan yang tidak
disukai dan dimaafkan dari kewajiban yang biasanya diharapkan.
Teori ketiga tentang penyebab hipokondriasis adalah bahwa
ganguan ini adalah bentuk varian dari ganguan mental lain.
Gangguan yang paling sering dihipotesiskan berhubungan dengan
hipokondriasis adalah gangguan depresif dan gangguan
kecemasan. Diperikirakan 80 persen pasien dengan hipokondriasis
diperkirakan memiliki gangguan depresif atau gangguan
kecemasan yang ditemukan bersama-sama. Pasien yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk hipokondriasis mungkin merupakan
pensomatisasi (somatizing) dari gangguan lain tersebut. Bidang
pikiran keempat tentang hipokondriasis adalah bidang
psikodinamika, yang menyatakan bahwa harapan agresif dan
permusuhan terhadap orang lain dipindahkan (melalui represi dan
pengalihan) kepada keluhan fisik. Kemarahan pasien
hipokondriakal berasal dari kekecewaan, penolakan dan kehilangan
di masa lalu tetapi pasien mengekspresikan kemarahannnya saat ini
dengan meminta pertolongan dan perhatian dari orang lain dan
selanjutnya menolak karena tidak efektif. Hipokondriasis juga
dipandang sebagai rasa bersalah, rasa keburukan yang melekat,
suatu ekspresi yang rendah dan tanda perhatian terhadap diri
sendiri (self-concern) yang berlebihan. Penderitaan nyeri dan
somatik selanjutnya menjadi alat untuk menebus kesalahan dan
membatalkan (undoing) dan dapat dialami sebagai hukuman yang
dapat diterimanya atas kesalahan di masa lalu (baik nyata maupun
khalayan) dan perasaan sesorang jahat dan memalukan.
3) Gambaran klinis
Pasien hipokondriakal percaya bahwa mereka mendeteksi penyakit
yang parah yang belum dapat dideteksi, dan mereka tidak dapat
diyakinkan akan kebalikannya. Pasien hipokondriakal dapat
mempertahankan suatu keyakinan bahwa mereka memiliki suatu
penyakit tertentu atau dengan berjalannya waktu, mereka
mengubah keyakinannya dengan penyakit tertentu. Keyakinan
tersebut adalah menetap walaupun hasil laboratorium adalah
negatif, perjalan yang yang ringan dari penyakit yang ringan
dengan berjalannya waktu dan penentraman yang tepat dari dokter.
Tetapi keyakinan tersebut tidak sangat terpaku sehingga
merupakan suatu waham. Hipokondriasis sering kali disertai gejala
depresi dan kecemasan, dan sering kali ditemukan bersama-sama
dengan suatu gangguan depresif atau kecemasan. Pasien dengan
gangguan ini sering mendatangi dokter, biasanya berulang ulang
dan berpindah dari satu spesialis ke spesialis lain (dokter
shopping), tetapi menghindari psikiater. Derajat ringan lazim
dalam mahasiswa kedokteran. Orang-orang dengan hipokondriasis
mempunyai ciri tidak akan datang ke pembantahan keyakinan
mereka mengenai penyakit dan penderitaan yang mereka rasakan
karena mereka tidak percaya. bahkan dalam beberapa kasus,
keyakinan mereka ini dapat menjadi suatu delusi atau waham.
4) Kriteria Diagnosis
Kategori diagnostik DSM-IV untuk hipokondriasis pasien
diharuskan untuk terpreokupasi dengan keyakinan palsu bahwa ia
menderita penyakit yang berat dan keyakinan palsu tersebut
didasarkan pada misinterpretasi tanda atau sensasi fisik. Kriteria
mengharuskan bahwa keyakinan tersebut berlangsung sekurangnya
enam bulan, kendatipun tidak adanya temuan patologis pada
pemeriksaan medis dan neurologis. Kriteria diagnostik juga
mengharuskan bahwa tersebut tidak dalam intensitas waham (lebih
tepat didiagnosis gangguan delusional) dan tidak terbatas pada
ketegangan tentang penampilan ( lebih tepat didiagnosis sebagai
gangguan dismorfik tubuh.) Tetapi, gejala hipokondriasis
diharuskan memiliki intensitas yang menyebabkan penderitaan
emosional atau menyebabkan gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi didalam bidang penting hidupnya. Klinisi dapat
menentukan adanya tilikan yang buruk jika pasien tidak secara
konsisten mengetahui bahwa permasalahan penyakit adalah luas.
Kriteria diagnostik untuk Hipokondriasis berdasarkan DSM-IV
a. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia
menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi
keliru orang tersebut terhadap gejala gejala tubuh
b. Preokuopasi menetap walaupun telah dilakukan pemerikasaan
medis yang tepat dan penentraman
c. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas
waham(seperti gangguan delusional, tipe somatik) dan
tidakterbatas pada kekhawatiran tentang penampilan(seperti
pada penampilan dismorfik tubuh)
d. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
e. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan
f. Preokupasi tidak dapat di terangkan lebih baik oleh gangguan
kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau
gangguan somatoform lain.

Kategori diagnostik PPDGJ III untuk diagnosis pasti kedua hal ini
harus ada:
a. Keyakinan yang menetap adanya sekurang kurangnya satu
penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya,
meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang
adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi
yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk
penampakan fisiknya (tidak sampai waham)
b. Tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari
beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau
abnormalitas fisik yang melandasi keluhann-keluhannya
5) Diagnosis banding
Hipokondriasis harus dibedakan dari kondisi medis nonpsikiatrik,
khususnya gangguan yang tampak dengan gejala yang tidak mudah
didiagnosis. Penyakit-penyakit tersebut adalah AIDS,
endokrinopati, miastenia gravis, sklerosis multiple, penyakit
degeneratif pada sistem saraf, lupus erimatosus sistemik, dan
gangguan neoplastik yang tidak jelas. Hipokondriasis dibedakan
dari gangguan somatisasi oleh penekanan pada suatu
hipokondriasis tentang ketakutan pada suatu penyakit dan
penekanan pada gangguan somatisasi dengan banyak gejala.
Perbedaan yang tidak jelas bahwa pasien dengan hipokondriasis
biasanya mengeluh tentang sedikit gejala dibandingkan pasien
dengan gejala gangguan somatisasi. Gangguan somatisasi biasanya
memiliki onset sebelum usia 30 tahun, sedangkan hipokondriasis
memiliki usia onset yang kurang spesifik. Pasien dengan gangguan
somatisasi lebih sering adalah wanita dibandingkan dengan pasien
dengan hipokondriasis, dimana memiliki distribusi yang seimbang
antara laki-laki dan wanita. Hipokondriasis juga harus dibedakan
dari gangguan somatoform lainnya. Gangguan konversi adalah
akut dan biasanya sementara dan biasanya melibatkan suatu gejala,
bukannya suatu penyakit tertentu. Adalah atau tidak adanya la
belle indiference adalah ciri yang tidak dapat dipercaya yang
menyebabkan kedua kondisi tersebut. Gangguan nyeri adalah
kronis, seperti juga hipokondriasis, tetapi gejalanya adalah terbatas
pada keluhan nyeri. Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh
berharap dapat tampil normal tetapi percaya bahwa orang lain
memerhatikan bahwa mereka tidak normal, sedangkan pasien
hipokondriakal mencari perhatian untuk anggapan penyakitnya.
6) Prognosis
Perjalanan hipokondriasis biasanya episodik; episode berlangsung
dari beberapa bulan sampai beberapa tahunan dan dipisahkan oleh
periode tenang yang sama panjangnya. Mungkin terhadap
hubungan yang jelas antara eksaserbasi gejala hipokondriakal dan
stresor psikososial. Walaupun hasil penelitian besar yang dilakukan
belum dilaporkan diperkirakan sepertiga sampai setengah dari
semua pasien dengan hipokondriasis akhirnya membaik secara
bermakna. Prognosis yang baik adalah berhubungan dengan status
sosioekonomi yang tinggi, onset gejala yang tiba-tiba, tidak adanya
gangguan kepribadian dan tidak adanya kondisi non-psikiatrik
yang menyertai. Sebagian besar anak hipokondriakal menjadi
sembuh pada masa remaja akhir atau masa dewasa awal.

D. Body Dysmorphic Disorder


1) Definisi
Gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder adalah
kondisi psikologis di mana pasiennya biasanya merasa cemas
terhadap penampilan fisik mereka dan berpikir bahwa tubuh
mereka mengidap kelainan/defek tertentu, baik yang memang
nyata maupun yang sebenarnya hanya imajinasi pasien saja.
2) Etiologi
Penyebab body dysmorphic disorder belum diketahui dengan jelas.
Stigma gangguan jiwa berhubungan dengan penampilan dapat
berupa depresi berat, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
kecemasan menyeluruh, fobia tempat ramai, dan gangguan makan.
Belum ada bukti bahwa penyakit ini diturunkan dari keluarga.
3) Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko body dysmorphic
disorder adalah:
 Memiliki anggota keluarga yang mengalami penyakit ini
 Pernah mengalami kejadian negatif, seperti di-bully semasa
kecil/remaja
 Tekanan sosial, orang-orang mengharapkan kecantikan
tertentu dari pasien
 Terdapat gejala gangguan mental seperti cemas atau depresi
4) Manifestasi klinis
Beberapa tanda dan gejala khas dari body dysmorphic
disorder adalah:
 Pasien tidak dapat berhenti berpikir mengenai bagian tubuhnya
dan percaya bahwa ada yang salah walaupun sebenarnya tubuh
mereka normal sempurna.
 Beberapa bagian tubuh yang sering dipikir berlebihan yaitu:
hidung, gigi, rambut kepala atau tubuh, payudara, rambut, tahi
lalat, bekas luka dan tubuh.
 Pasien terlalu terobsesi dengan penampilan hingga dapat
menghambiskan waktu untuk berkaca beberapa jam dalam
sehari. Mereka bercermin atau mengecek bagian tubuhnya
secara konstan.
 Sering datang ke dokter kecantikan, salon, dan dokter gigi
untuk memperbaiki kekurangan namun tetap tidak puas dengan
hasilnya
Karakteristik lain dari penyakit ini, yaitu menghabiskan sebagian
besar waktu dalam sehari untuk dandan, sering tak mau difoto atau
direkam, makeup berlebihan, atau menggunakan baju berlebihan
sebagai kamuflase.
5) Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan dismorfik tubuh
mengharuskan suatu preokupasi dengan kecacatan dalam
penampilan yang tidak nyata (dikhayalkan) atau penekanan yang
berlebihan (overemphasis) terhadap kecacatan ringan. Preokupasi
menyebabkan penderitaan emosional pada pasien atau jelas
mengganggu kemampuan pasien untuk berfungsi dalam bidang
yang penting.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh
 Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika
ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang
tersebut adalah berlebihan dengan nyat.
 Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lainnya.
 Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh
gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan
bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).
6) Perjalanan Penyakit

Onset gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang


terkena mungkin akan mengalami peningkatan permasalahan
tentang bagian tubuh tertentu sampai orang mengetahui bahawa
fungsinya terpengaruh oleh permesalahan. Pada saat itu orang
mungkin akan mencari bantuan medis atau bedah plastik untuk
memecahkan masalah yang dihadapinya. Tingkat keprihatinan
tentang masalah mungkin hilang dan timbul dengan berjalannya
waktu, walaupun gangguan dismorfik tubuh biasanya
merupakan suatu gangguan kronis jika dibiarkan tidak diobati.

7) Penatalaksanaan

Pengobatan pasien gangguan dismorfik tubuh dengan prosedur


bedah, dermatologis, dental dan prosedur medis lainnya untuk
menyelesaikan defek yang dideritanya hampir selalu tidak
mendapatkan hasil. Adapun obat tetrasiklik, inhibitor monamin
oksidase, dan pimozide telah dilaporkan berguna pada kasus
individual, dan semakin banyak data yang menyatakan bahwa
obat spesifik serotonin sebagai contoh : clomipramine
(Anafranil) dan fluoxetine (Prozac) dapat efektif dalam
menurunkan gejala sekurang-kurangnya 50% pasien. Pada tiap
pasien dengan gangguan mental penyerta, seperti gangguan
depresif atau ganggauan kecemasan, maka gangguan penyerta
harus diobati dengan farmakoterapi dan psikoterapi yang sesuai.
Berapa lamanya pengobatan harus dilanjutkan jika gejala
gangguan dismorfik tubuh telah menghilang masih belum
diketahui.

E. Gangguan Konversi

1) Definisi

Gangguan konversi (conversion disorders) menurut DSM-IV


didefinisikan sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh adanya
satu atau lebih gejala neurologis (sebagai contohnya paralisis,
kebutaan, dan parastesia) yang tidak dapat dijelaskan oleh
gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Disamping itu
diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan
dengan awal atau eksaserbasi gejala. Adapun menurut PPDGJ
III gangguan konversi atau disosiatif adalah adanya kehilangan
(sebagian atau seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan
masa lalu, kesadaran akan identitas dan penghayatan segera
(awareness of identity and immediate sensations), dan kendali
terhadap gerakan tubuh.

2) Etiologi
a. Faktor Psikoanalitik.
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan
oleh represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi
anxietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah
antara impuls berdasarkan insting (contohnya agresi atau
seksualitas) dan larangan pengungkapan ekspresi. Gejalanya
memungkinkan ekspresi parsial keinginan atau dorongan
terlarang, tetapi menyamarkannya sehingga pasien dapat
menghindari secara sadar untuk menghadapi impuls yang tidak
dapat diterima tersebut yaitu gejala gangguan konversi
memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak
disadari. Gejala gangguan konversi juga memungkinkn pasien
menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhatian atau
perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara
nonverbal untuk mengendalikan atau memanipulasi orang lain.
b. Faktor Biologis
Semakin banyak data yang mengaitkan fakor biologis dan
neuropsikologis di dalam timbulnya gejala gangguan konversi.
Studi pencitraan otak sebelumnya menemukan adanya
hipometabolisme hemisfer dominan dan hipermetabolisme
hemisfer nondominan dan mengaitkan hubungan hemisfer yang
terganggu sebagai penyebab gangguan konversi. Gejalanya
dapat disebabkan oleh bangkitan korteks berlebihan yang
mematikan lengkung umpan balik negative antara korteks
serebri dengan formasio retikularis batang otak. Selanjutnya,
peningkatan kadar keluaran kortikofugal menghambat
kesadaran pasien akan sensasi yang berkaitan dengan tubuh,
yang pada sebagian pasien dengan gangguan konversi dapat
menjelaskan adanya defisit sensorik yang dapat diamati.
3) Gejala Klinis
Gejala konvesi menunjukkan gangguan neurologi dari system
sensorik atau motorik yang paling umum : paresis, kelumpuhan,
aphonia, kejang, kebutaan, dan anestesi. Gangguan konversi
mungkin paling sering disertai gangguan kepribadian pasif-agresif,
dependen, anti social, dan histrionic. Gejala gangguan depresif dan
anxietas sering dapat meneyrtai gejala gangguan konversi, dan
pasien ini memiliki rasio bunuh diri.
o Gejala sensorik, Pada gangguan konversi, anesthesia
dan paresthesia adalah gejala yang lazim ditemukan,
terutama pada ekstremitas. Semua modalitas sensorik
dapat terlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak
konsisten dengan distribusi gangguan pada penyakit
neurologis perifer maupun pusat. Gejala gangguan
konversi dapat melibatkan organ indera khusus dan
dapat menimbulkan tuli, buta, serta penglihatan
trowongan (tunnel vision). Gejala ini dapat unilateral
atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan
jaras sensorik yang intak.
o Gejala motoric, Gejala motorik meliputi gerakan
abnormal, gangguan berjalan, kelemahan, dan
paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan
koreiform, “tic”, dan sentakan dapat ada. Gerakan
tersebut umumnya memburuk ketika orang
memperhatikan mereka. Satu gangguan berjalan yang
terlihat pada gangguan konversi adalah astasia-abasia.
Selain itu yang lazim ditemukan juga adalah paralisis
dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat
ekstremitas, walaupun distribusi otot terkena yang
tidak sesuai dengan jaras saraf. Reflex tetap normal
yaitu pasien tidak mengalami fasikulasi atau atrofi
otot (kecuali setelah paralisis konversi yang
berlangsung lama), temuan elektromiografi normal.
o Gejala kejang, Dimana kejang semu adalah gejala
lain gangguan konversi. Selama serangan, ditandai
dengan keterlibatan otot-otot truncal dengan
opistotonus dan kepala atau badan berputar ke arah
lateral. Semua ekstremitas mungkin menunjukkan
gerakan meronta-ronta, yang mungkin akan
meningkatkan intensitas jika pengekangan diterapkan.
Sianosis jarang terjadi kecuali pasien dengan sengaja
menahan napas mereka. Klinisi dapat merasa sulit
membedakan kejang semu dengan kejang yang
sesungguhnya hanya dengan pengamatan klinis saja.
Lebih jauh lagi, kira-kira sepertiga kejang semua
pasien memiliki gangguan epileptic. Menggigit lidah,
inkontinensia urin, dan cedera stelah jatuh dapat
terjadi jika pasien memiliki pengetahuan medis
tentang penyakit. Gejala ini berbeda dengan kejang
yang sebenarnya, dimana pseudoseizure terutama
terjadi di hadapan orang lain dan bukan ketika pasien
sendirian atau tidur. Reflex pupil dan muntah tetap
ada setelah kejang semu dan konsentrasi prolactin
pasien tidak mengalami peningkatan setelah kejang.
Menurut PPDGJ-III, gejala utama dari gangguan konversi
adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari
integritas normal (dibawah kendali kesadaran) antara :
 Ingatan masa lalu
 Kesadaran identitas dan penginderaan segera
(awareness of identity and immediate sensations),
dan
 Kontrol terhadap gerakan tubuh
Pada gangguan konversi kemampuan kendali di bawah
kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu
sampai ke taraf yang dapat berlangsung dari hari ke hari
atau bahkan jam ke jam. Penderita mungkin tampak
acuh tak acuh akan penyakitnya (la belle indifference).
Penampilan acuh tak acuh ini mungkin juga terjadi pada
gangguan organic dan tidak spesifik untuk penyakit ini.
4) Kriteria diagnostic
Mungkin agak sulit menemukan diagnosis dan penatalaksanaan
pada gangguan ini. Kemungkinan penyebab organik harus
disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan
yang ekstensif. Hal lain yang perlun dipertimbangkan adalah
kemungkinan dibuat-buatnya gejala tersebut. Disini ada dua
kemungkinan, gangguan buatan (factitious disorder) atau berpura-
pura (malingering). Pada gangguan buatan, gejala-gejala dibuat
dengan sengaja yang bertujuan untuk mendapatkan perawatan
medis (secondary gain) dimana prevalensi sering pada perempuan
umur 20-40 taun dan orang yang bekerja di bidang kesehatan
dengan gejala tidak konsisten, gejala yang dimiliki berbagai jenis
penyakit, gejala sering yang tidak biasa dan susah untuk dipercaya
dengan kesadaran yang baik (volunteer). Gangguan konversi
karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut
mencerminkan penyaluran, atau konversi dari energi seksual atau
agresif yang diekspresikan ke gejala fisik seperti adanya gangguan
neurologis. Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus
ada :
a. Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing
gangguan yang tercantum pada F44-; (misalnya F44.0
Amnesia disosiatif).
b. Tidak ada bukti adanya gangguam fisik yang dapat
menjelaskan gejala tersebut;
c. Bukti adanya penyebab psikologis , dalam bentuk hubungan
kurun waktu yang jelas dngan problem dan kejadian-kejadian
yang “stressful” atau hubungan interpersonal yang terganggu
(meskipun hal tersebut disangkal penderita).
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Konversi :
a. Satu atau lebih gejala atau deficit yag mempengaruhi fungsi
sensorik atau motorik volunter yang mengesankan adanya
keadaan neurologis atau keadaan medis lainnya.
b. Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala maupun deficit
didahului konflik atau stressor lain.
c. Gejala atau deficit ditimbulkan tanpa sengaja atau dibuat-buat
(seperti pada gangguan buatan atau malingering).
d. Setelah pemerikaan yang sesuai, gejala atau deficit tidak
dapat benar-benar dijelaskan oleh keadaan medis umum atau
oleh efek langsung suatu zat, maupun sebagai perilaku atatu
pengalaman yang disetujui budaya.
e. Gejala atau deficit menyebabkan distress yang bermakna
secara klinis atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau area penting lain, atau memerlukan evaluasi medis.
f. Gejala atau deficit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi
seksual, tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan
somatisasi, dan sebaiknya tidak disebabkan gangguan jiwa
lain.
Tentukan tipe gejala atau defisit :
a. Dengan gejala atau deficit motorik
b. Dengan gejala atau deficit sensorik
c. Dengan bangkitan atau kejang
d. Dengan tampilan campuran

5) Diagnosis Banding
Salah satu masalah utama didalam mendiagnosis gangguan
konversi adalah kesulitan untuk benar-benar menyingkirkan
gangguan medis. Pemeriksaan neurologis dan medis yang
menyeluruh penting dilakukan pada semua kasus. Diagnosis
banding untuk gangguan konversi seperti: gangguan neurologis
seperti demensia atau penyakit degenerative lainnya, tumor otak,
dan penyakit ganglia basalis. Contohnya kelemahan pada gangguan
konversi dapat juga di diagnosis banding dengan miastenia gravis,
polimiositis, miopati yang didapat, dan bahkan multiple sklerosis.
Kebutan pada gangguan konversi dapat di diagnosis banding
dengan neuritis optic. Gejala gangguan konversi terdapat pada
skizofrenia, gangguaan depresif, dan gangguan anxietas, tetapi
gangguan ini disertai gejala khas yang akhirnya membuat diagnosis
menjadi mungkin. Memasukkan differensial diagnosis terutama
gangguan somatisasi sangat sulit ketika yang mendasari
karakteristik penyakit ini dapat dengan gejala neurologi yang tidak
khas. Mendiagnosis gangguan konversi disarankan ketika gejala
somatik tidak sesuai dengan gangguan somatik sebenarnya.
Dimana gangguan somatisasi adalah penyakit kronis yang dimulai
pada masa kehidupan awal dan mencakup gejala pada banyak
system organ lain dan tidak terbatas pada gejala neurologis saja.
Pada hipokondriasis, pasien tidak mengalami distorsi atau
kehilangan fungsi yang sebenarnya, melainkan terdapat perilaku
serta keyakinan yang khas. Pada gangguan buatan atau
malingering, gejala di dalam kendali kesadaran dan volunteer.
Riwayat seorang yang melakukan malingering biasanya lebih tidak
konsisten dan kontradiktif dari pada pasien dengan gangguan
konversi, perilaku menipu seorang yang melakukan melingering
jelas memiliki tujuan. Sedangkan pada berpura-pura (malingering)
untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Menentukan hal ini
tidaklah mudah dan mungkin memerlukan bukti bahwa ada
inkonsistensi dalam gejalanya. Namun umumnya gejala bervariasi
tetapi paling sering gangguan jiwa yang ringan. DSM-IV-TR
mencakup pernyataan berikut mengenai malingering. Gambaran
penting malingering adalah pembentukan disengaja gejala
psikologis atau fisik yang berlebih-lebihan, yang didorong dengan
dengan keuntungan internal seperti wajib militer, menghindari
pekerjaan, mendapatkan kompensasi, keuangan, menghindari
tuduhan kriminal, atau mendapatkan obat. Pada beberapa keadaan,
malingering dapat menujukkan perilaku adaptif. Contohnya
memalsukan penyakit saat tertangkap musuh di waktu perang.
6) Prognosis
Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi,
mungkin 90 hingga 100 persen membaik dalam beberapa hari atau
kurang dari satu bulan. Prognosis baik jika awitan mendadak,
stressor, sudah diidentifikasi, penyesuaian premorbid baik, tidak
ada gangguan medis atau psikiatri komorbid, dan tidak sedang
menjalani proses hukum. Sedangkan semakin lama gangguan
konversi ada, prognosisnya lebih buruk.3
7) Tatalaksana somatoform
o Hubungan dengan dokter perawatan primer
Karena pasien dengan gangguan somatoform sering
memiliki sejarah medis yang panjang, hubungan jangka
panjang dengan seorang praktisi perawatan dipercaya
primer (PCP) adalah perlindungan terhadap perlakuan yang
tidak perlu serta kenyamanan kepada pasien. PCPs Banyak
lebih memilih untuk menjadwalkan janji singkat secara
teratur dengan pasien dan menjaga rujukan ke spesialis
untuk minimum. Praktek ini juga memungkinkan mereka
untuk memantau pasien untuk gejala fisik baru atau
penyakit. Namun, beberapa PCPs bekerja dengan seorang
konsultan kejiwaan.4
o Obat
Pasien dengan gangguan somatoform kadang-kadang
diberikan obat anti ansietas atau obat antidepresan jika
mereka telah didiagnosa dengan suasana hati yang hidup
bersama atau gangguan kecemasan. Secara umum,
bagaimanapun, itu dianggap praktik yang lebih baik untuk
menghindari pemberian resep obat untuk pasien ini karena
mereka cenderung menjadi psikologis tergantung pada
mereka. Namun, gangguan dismorfik tubuh sebagai telah
berhasil diobati dengan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) antidepresan. Selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) merupakan grup kimia antidepresan baru
yang khas, hanya menghambat ambilan serotonin secara
spesifik. Berbeda dengan antidepresan trisiklik yang
menghambat tanpa seleksi ambilan-ambilan norepinefrin,
serotonin, reseptor muskarinik, H,-histaminik dan a,-
adrenergik.  Dibanding dengan antidepresan trisiklik, SSRI
menyebabkan efek antikolinergik lebih kecil dan
kordiotoksisitas lebih rendah. Pemberian SSRI dimulai
dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap 2-3
minggu. Reaksi optimal didapat setelah 4-6 minggu. Pada
pasien usia lanjut, disfungsi ginjal dan hepar, berikan dosis
rendah.puskes dimulai degan dosis tunggal 10 mg pada
pagi hari. Reaksi klinis setelah beberapa minggu
pemberian. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap
setelah 2 minggu pemerian menjadi 20 mg, 40 mg dan
dosis maksimal adalah 60 mg. Untuk bulimia nervosa dosis
awal 60mg/hari. 4
o Psikoterapi
Pasien dengan gangguan somatoform tidak dianggap
kandidat yang baik untuk psikoanalisis dan bentuk-bentuk
wawasan yang berorientasi psikoterapi. Mereka bisa
mendapatkan keuntungan, namun, dari pendekatan suportif
terhadap pengobatan yang ditujukan untuk mengurangi
gejala dan stabilisasi kepribadian pasien. Beberapa pasien
dengan gangguan nyeri manfaat dari terapi kelompok atau
kelompok dukungan, khususnya jika jaringan sosial mereka
telah dibatasi oleh gejala rasa sakit mereka. Terapi kognitif-
perilaku juga digunakan kadang-kadang untuk mengobati
gangguan sakit. Terapi keluarga biasanya dianjurkan untuk
anak-anak atau remaja dengan gangguan so1matoform,
terutama jika orang tua tampaknya akan menggunakan anak
sebagai fokus untuk mengalihkan perhatian dari kesulitan
lainnya. Bekerja dengan keluarga pasien sakit kronis juga
membantu menghindari memperkuat ketergantungan dalam
lingkungan keluarga. Hypnosis adalah teknik yang kadang-
kadang digunakan sebagai bagian dari pendekatan
psikoterapi umum untuk gangguan konversi karena dapat
memungkinkan pasien untuk memulihkan ingatan atau
pikiran yang berhubungan dengan timbulnya gejala-gejala
fisik.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan H.I, Sadock B.J,and Greeb J.A. Sinopsis Psikiatri. In : Gangguan


Somatoform. Jilid Dua. Ciputat: Binarupa Aksara. 94-7.
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics 19ed. Jakarta:
EGC; 2011.
3. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2011.
4. Saddock B, dkk. Buku Ajar Psikiatri Klinis Kaplan Edisi 2. Jakarta: EGC;
2010.

Anda mungkin juga menyukai