Pusing Hebat
STEP 1
-
STEP 2
1. Mengapa pasien mengalami keluhan seperti pada kasus?
2. Mengapa keluhan pasien hanya timbul pada malam hari?
3. Apa saja pemeriksaan pada pasien tersebut?
4. Faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian pada kasus?
5. Apa hubungan antara rasa khawatir dengan keluhan pasien?
STEP 3
1. Penyebab :
- Pengaruh temannya yang meninggal
- Kecemasan
- Saraf otonom
2. Gangguan presepsi
2. Anamnesis :
- Identifikasi / data pribadi
- Keluhan
- RPK
- RPD
- Mimpi dan fantasi
Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum
- Kesadaran
- Head to toe
- Isi pikiran
- Presepsi
4. - faktor emosi
- faktor lingkungan
- faktor fisik
- faktor psikologis
5. Kelainan pada reseptor gaba
STEP 4
1. Penyebab
- Cemas
Cemas system limbik peningkatan pelepasan epinefrin dari
adrenal peningkatan tonus simpatik pusing dan sakit kepala
- Neurotransmitter
a. Norepinefrin : badan sel terletak di system limbic, batang otak, dan
medulla spinalis
b. Serotonin : badan sel terletak di system limbic (hipokampus dan
amigdala) dan korteks serebri
c. GABA : efektifitas benzodiazepine
- Jenis gangguan
a. GAM
b. PD
c. Phobia
d. Obsesi kompulsif
e. Stress pasca trauma
- Gangguan jiwa
a. Psikotik : ilusi, halusinasi, waham
· Organik : delirium, demensia
· Non organik : gangguan mood, skizofrenia
b. Non psikotik
· Gangguan ansietas
· Depresi
· Gangguan mood
· Somatoform
2. Keluhan timbul pada malam hari
Kecemasan meningkat (karena kalau tidur ia takut tidak bangun lagi)
pelepasan neurotransmitter dan hormone pusing
2. Pemeriksaan
- Anamnesis
a. faktor predisposisi
b. Factor presipitasi
c. Keluarga
d. RPD
e. RPK
f. RP Sosial
- Pemeriksaan fisik
a. Deskripsi umum
b. Penampilan
c. Sikap
d. Mimik
- Diagnosis
a. Axis I : gangguan klinis
b. Axis II : gangguan kepribadian, retardasi mental
c. Axis III : kondisi media umum
d. Axis IV : masalah psikososial dan lingkungan
e. Axis V : GAF scale
3. Faktor yang mempengaruhi
MIND MAP
Etiologi Klasifikasi
STEP 5
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang :
1. Pemeriksaan status mental
2. Jenis – jenis gangguan somatoform (Faktor penyebab, Gejala klinis,
Penegakan diagnosis, Penatalaksanaan)
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
STEP 7
1. Pemeriksaan status mental
1) Keadaan Umum
Isi : jenis kelamin, usia, rawat diri
Penting untuk menentukan atau memperkirakan prognosis
pasien, Contoh: tampak seorang laki-laki sesuai usia,
dengan rawat diri cukup.
2) Kesadaran
a. Compos mentis (kesadaran penuh): kemampuan untuk
menyadari informasi dan menggunakannya secara efektif
dalam mempengaruhi hubungan dirinya dengan lingkungan
sekitarnya.
b. Somnolen: terkantuk-kantuk
c. Stupor: acuh tak acuh terhadap sekelilingnya dan tak ada
reaksi terhadap stimuli.
d. Koma: ketidaksadaran berat, pasien sama sekali tidak
memberikan respon terhadap stimuli.
e. Koma vigil: keadaan koma tetapi mata tetap terbuka.
f. Kesadaran berkabut: kesadaran menurun yang disertai
dengan gangguan persepsi dan sikap
g. Delirium: kesadaran menurun disertai bingung, gelisah,
takut, dan halusinasi. Penderita menjadi tidak dapat diam.
h. Twilight state (dreamy state): kesadaran menurun disertai
dengan halusinasi, biasanya terjadi pada epilepsi.
3) Orientasi
Isi: orientasi orang, waktu, tempat, dan situasi
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk menilai
orientasi pasien, misalnya:
a. Mbak/Mas tau tidak sekarang hari apa?(O-w)
Datang sama siapa?(O-o) Kenapa dibawa ke sini?
(insight)
b. Mbak/Mas tadi malam bisa tidur? Bangun jam
berapa? (O-w) Yang nunggu mbak tadi malam
siapa? (O-o) Tadi mbak sudah jalan-jalan ke mana
saja? (O-t)
4) Sikap, Tingkah Laku
Isi: aktivitas (hiperaktif, normoaktif, hipoaktif), kerjasama
(kooperatif, nonkooperatif), psikomotor (jika ada)
Bentuk kelainan psikomotor yang dapat diamati:
a. Echopraxia: menirukan gerakan orang lain
b. Katatonia: kaku atau tidak bergerak sama sekali
c. Katalepsi: pasien tidak bergerak dan cenderung
mempertahankan posisi tertentu.
d. Fleksibilitas serea: gerakan yang diberikan oleh
pemeriksa secara perlahan, dan kemudian
dipertahankan oleh pasien.
e. Negativisme: gerakan menentang/tidak mematuhi
perintah.
f. Katapleksi: tonus otot menghilang sementara
dikarenakan emosi
g. Stereotipi: aktivitas fisik atau bicara yang diulang-
ulang
h. Manerisme: gerakan involunter yang stereotipik
i. Otomatis perintah: mengikuti perintah secara
otomatis
j. Mutisme: tak bersuara
k. Agresi: perbuatan menyerang, baik verbal maupun
fisik, disertai afek marah/benci.
5) Afek
Afek: emosi yang diekspresikan oleh pasien, sehingga
penilaiannya obyektif (dapat diamati oleh pemeriksa)
Afek dapat dinyatakan dalam beberapa cara:
a. Jenis emosi : kemarahan, kesedihan, euphoria
(peningkatan ekspresi kegembiraan), elasi (euphoria
dengan peningkatan aktivitas psikomotor), eksaltasi
(elasi yang disertai waham kebesaran), ekstase
(agresi).
b. Intensitas dan derajat emosi: datar, tumpul, sempit,
luas.
Datar: tidak terdapat ekspresi
Tumpul: ekspresi yang tampak sangat
sedikit (hamper tidak terdapat ekspresi)
Sempit/menyempit: pasien terkadang masih
dapat mengekspresikan perasaannya.
Luas: perasaan dapat diekspresikan secara
penuh (normal)
c. Keserasian: dilihat dari kesesuaian antara stimulus
yang diberikan dengan ekspresi pasien: appropriate,
inappropriate.
d. Konsistensi perasaan: labil, stabil. Labil bila terjadi
perubahan afek yang cepat
6) Mood
7) Proses Pikir
Jenis Perilaku
Pengertian
Waham Klien
Keyakinan “ Saya ini
secara pejabat di
berlebihan kementrian
bahwa Semarang!”
dirinya “Saya punya
memiliki perusahaan
kekuatan paling besar
khusus atau lho”.
kelebihan
Waham
yang
Kebesaran
berbeda
dengan
orang lain,
diucapkan
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Waham Keyakinan “ Saya
Agama terhadap adalah
suatu Tuhan yang
agama bisa
secara menguasai
berlebihan, dan
diucapkan mengendalik
berulang- an semua
ulang tetapi makhluk”.
tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Keyakinan “ Saya tahu
seseorang mereka mau
atau menghancur
sekelompok kan saya,
orang yang karena iri
mau dengan
merugikan kesuksesan
Waham atau saya”.
Curiga mencederai
dirinya,
diucapkan
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan
Waham Keyakinan “ Saya
Somatik seseorang menderita
bahwa kanker”.
tubuh atau Padahal hasil
sebagian pemeriksaan
tubuhnya lab tidak ada
terserang sel kanker
penyakit, pada
diucapkan tubuhnya.
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan.
Keyakinan “ Ini saya
seseorang berada di
bahwa alam kubur
dirinya ya, semua
sudah yang ada
meninggal disini adalah
Waham
dunia, roh-rohnya.
Nihlistik
diucapkan
berulang-
ulang tetapi
tidak sesuai
dengan
kenyataan.
9) Perhatian
Derajat insight:
Uji daya nilai : pasien dapat meramalkan apa yang akan dia
lakukan dalam bayangan situasi tsb. Misalnya apa yang
akan dilakukan pasien dengan perangko, alamat surat yang
dia temukan dijalan.
b. Faktor perilaku
Berdasarkan DSM-IV:
a) Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama
dan cukup berat untuk menjadi perhatian klinis.
b) Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya
dalam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
c) Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
d) Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-
pura.
e) Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood,
cemas, atau psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
B. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari
gangguan somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan
berbagai sistem organ tidak dapat dijelaskan secara medis.
Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat
memenuhi kriteria gangguan somatisasi, sehingga dimasukkan
dalam kategori gangguan somatoform tidak terinci (lihat bab
selanjutnya).
Sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Rasio
wanita : pria adalah 5:1. Onset biasanya dimulai saat remaja.
Adanya asosiasi antara sexual abuse dengan gangguan somatisasi.
Pada pasien-pasien semacam ini gejala umumnya berupa nyeri
pelvik kronik dan gangguan gastrointestinal fungsional
2) Etiologi
Faktor Psikososial
4) Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik.
Diagnosis biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun
gejala awal sudah dimulai saat remaja. Masalah menstruasi
merupakan gejala paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan
seksual sering berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan.
Periode keluhan yang ringan 6-9 bulan, sedangkan yang berat 9-12
bulan. Biasanya pasien sudah memulai mencari pertolongan medis
sebelum 1 tahun.
5) Tatalaksana
6) Prognosis
C. Gangguan Hipokondriasis
1) Definisi
Hipokondriasis adalah keadaan dimana seseorang mencurigai
kesehatan fisiknya atau ketakutan pada suatu penyakit tanpa ada
patologi organik, yang menetap walaupun telah dilakukan
pemeriksaan adekuat dan penentraman.Pasien berulang kali
mencari pemeriksaan atau keterangan medis, tetapi tetap tidak
dapat diyakinkan. Hasil evaluasi diagnostik negatif dan dokter
menenangkan hanya akan meningkatkan kecemasan pasien tentang
kesehatannya.
2) Etiologi
Dalam kriteria diagnostik hipokondriasis, DSM-IV menyatakan
bahwa gejala mencerminkan misinterpretasi gejala-gejala tubuh.
Data tubuh yang cukup menyatakan bahwa orang hipokondriakal
meningkatkan dan membesarkan sensasi somatiknya, mereka
memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya
terhadap ganggguan fisik. Sebagai contoh, apa yang dirasakan oleh
orang normal sebagai tekanan abdominal, orang hipokondriakal
menganggapnya sebagai nyeri abdomen. Orang hipokondriakal
mungkin berpusat pada sensasi tubuh, salah
menginterpretasikannya dan menjadi tersinyal oleh hal tersebut
karena skema kognitif yang keliru. Walaupun beberapa studi kasus
yang diduga terkait dengan suatu hipokondriasis, sampai sekarang
belum diketahui secara pasti penyebab dari hipokondriasis itu
sendiri. Teori yang kedua adalah bahwa hipokondriasis dapat
dimengerti berdasarkan model belajar sosial. Gejala hipokondriasis
dipandang sebagai keinginan untuk mendapatkan peranan sakit
oleh seseorang yang mendapatkan masalah yang tampaknya berat
dan tidak dapat dipecahkan. Peranan sakit menawarkan suatu jalan
keluar, karena pasien yang sakit dibiarkan menghindari kewajiban
yang menimbulkan kecemasan dan menunda tantangan yang tidak
disukai dan dimaafkan dari kewajiban yang biasanya diharapkan.
Teori ketiga tentang penyebab hipokondriasis adalah bahwa
ganguan ini adalah bentuk varian dari ganguan mental lain.
Gangguan yang paling sering dihipotesiskan berhubungan dengan
hipokondriasis adalah gangguan depresif dan gangguan
kecemasan. Diperikirakan 80 persen pasien dengan hipokondriasis
diperkirakan memiliki gangguan depresif atau gangguan
kecemasan yang ditemukan bersama-sama. Pasien yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk hipokondriasis mungkin merupakan
pensomatisasi (somatizing) dari gangguan lain tersebut. Bidang
pikiran keempat tentang hipokondriasis adalah bidang
psikodinamika, yang menyatakan bahwa harapan agresif dan
permusuhan terhadap orang lain dipindahkan (melalui represi dan
pengalihan) kepada keluhan fisik. Kemarahan pasien
hipokondriakal berasal dari kekecewaan, penolakan dan kehilangan
di masa lalu tetapi pasien mengekspresikan kemarahannnya saat ini
dengan meminta pertolongan dan perhatian dari orang lain dan
selanjutnya menolak karena tidak efektif. Hipokondriasis juga
dipandang sebagai rasa bersalah, rasa keburukan yang melekat,
suatu ekspresi yang rendah dan tanda perhatian terhadap diri
sendiri (self-concern) yang berlebihan. Penderitaan nyeri dan
somatik selanjutnya menjadi alat untuk menebus kesalahan dan
membatalkan (undoing) dan dapat dialami sebagai hukuman yang
dapat diterimanya atas kesalahan di masa lalu (baik nyata maupun
khalayan) dan perasaan sesorang jahat dan memalukan.
3) Gambaran klinis
Pasien hipokondriakal percaya bahwa mereka mendeteksi penyakit
yang parah yang belum dapat dideteksi, dan mereka tidak dapat
diyakinkan akan kebalikannya. Pasien hipokondriakal dapat
mempertahankan suatu keyakinan bahwa mereka memiliki suatu
penyakit tertentu atau dengan berjalannya waktu, mereka
mengubah keyakinannya dengan penyakit tertentu. Keyakinan
tersebut adalah menetap walaupun hasil laboratorium adalah
negatif, perjalan yang yang ringan dari penyakit yang ringan
dengan berjalannya waktu dan penentraman yang tepat dari dokter.
Tetapi keyakinan tersebut tidak sangat terpaku sehingga
merupakan suatu waham. Hipokondriasis sering kali disertai gejala
depresi dan kecemasan, dan sering kali ditemukan bersama-sama
dengan suatu gangguan depresif atau kecemasan. Pasien dengan
gangguan ini sering mendatangi dokter, biasanya berulang ulang
dan berpindah dari satu spesialis ke spesialis lain (dokter
shopping), tetapi menghindari psikiater. Derajat ringan lazim
dalam mahasiswa kedokteran. Orang-orang dengan hipokondriasis
mempunyai ciri tidak akan datang ke pembantahan keyakinan
mereka mengenai penyakit dan penderitaan yang mereka rasakan
karena mereka tidak percaya. bahkan dalam beberapa kasus,
keyakinan mereka ini dapat menjadi suatu delusi atau waham.
4) Kriteria Diagnosis
Kategori diagnostik DSM-IV untuk hipokondriasis pasien
diharuskan untuk terpreokupasi dengan keyakinan palsu bahwa ia
menderita penyakit yang berat dan keyakinan palsu tersebut
didasarkan pada misinterpretasi tanda atau sensasi fisik. Kriteria
mengharuskan bahwa keyakinan tersebut berlangsung sekurangnya
enam bulan, kendatipun tidak adanya temuan patologis pada
pemeriksaan medis dan neurologis. Kriteria diagnostik juga
mengharuskan bahwa tersebut tidak dalam intensitas waham (lebih
tepat didiagnosis gangguan delusional) dan tidak terbatas pada
ketegangan tentang penampilan ( lebih tepat didiagnosis sebagai
gangguan dismorfik tubuh.) Tetapi, gejala hipokondriasis
diharuskan memiliki intensitas yang menyebabkan penderitaan
emosional atau menyebabkan gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi didalam bidang penting hidupnya. Klinisi dapat
menentukan adanya tilikan yang buruk jika pasien tidak secara
konsisten mengetahui bahwa permasalahan penyakit adalah luas.
Kriteria diagnostik untuk Hipokondriasis berdasarkan DSM-IV
a. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia
menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi
keliru orang tersebut terhadap gejala gejala tubuh
b. Preokuopasi menetap walaupun telah dilakukan pemerikasaan
medis yang tepat dan penentraman
c. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas
waham(seperti gangguan delusional, tipe somatik) dan
tidakterbatas pada kekhawatiran tentang penampilan(seperti
pada penampilan dismorfik tubuh)
d. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
e. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan
f. Preokupasi tidak dapat di terangkan lebih baik oleh gangguan
kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau
gangguan somatoform lain.
Kategori diagnostik PPDGJ III untuk diagnosis pasti kedua hal ini
harus ada:
a. Keyakinan yang menetap adanya sekurang kurangnya satu
penyakit fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya,
meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang
adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi
yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk
penampakan fisiknya (tidak sampai waham)
b. Tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari
beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau
abnormalitas fisik yang melandasi keluhann-keluhannya
5) Diagnosis banding
Hipokondriasis harus dibedakan dari kondisi medis nonpsikiatrik,
khususnya gangguan yang tampak dengan gejala yang tidak mudah
didiagnosis. Penyakit-penyakit tersebut adalah AIDS,
endokrinopati, miastenia gravis, sklerosis multiple, penyakit
degeneratif pada sistem saraf, lupus erimatosus sistemik, dan
gangguan neoplastik yang tidak jelas. Hipokondriasis dibedakan
dari gangguan somatisasi oleh penekanan pada suatu
hipokondriasis tentang ketakutan pada suatu penyakit dan
penekanan pada gangguan somatisasi dengan banyak gejala.
Perbedaan yang tidak jelas bahwa pasien dengan hipokondriasis
biasanya mengeluh tentang sedikit gejala dibandingkan pasien
dengan gejala gangguan somatisasi. Gangguan somatisasi biasanya
memiliki onset sebelum usia 30 tahun, sedangkan hipokondriasis
memiliki usia onset yang kurang spesifik. Pasien dengan gangguan
somatisasi lebih sering adalah wanita dibandingkan dengan pasien
dengan hipokondriasis, dimana memiliki distribusi yang seimbang
antara laki-laki dan wanita. Hipokondriasis juga harus dibedakan
dari gangguan somatoform lainnya. Gangguan konversi adalah
akut dan biasanya sementara dan biasanya melibatkan suatu gejala,
bukannya suatu penyakit tertentu. Adalah atau tidak adanya la
belle indiference adalah ciri yang tidak dapat dipercaya yang
menyebabkan kedua kondisi tersebut. Gangguan nyeri adalah
kronis, seperti juga hipokondriasis, tetapi gejalanya adalah terbatas
pada keluhan nyeri. Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh
berharap dapat tampil normal tetapi percaya bahwa orang lain
memerhatikan bahwa mereka tidak normal, sedangkan pasien
hipokondriakal mencari perhatian untuk anggapan penyakitnya.
6) Prognosis
Perjalanan hipokondriasis biasanya episodik; episode berlangsung
dari beberapa bulan sampai beberapa tahunan dan dipisahkan oleh
periode tenang yang sama panjangnya. Mungkin terhadap
hubungan yang jelas antara eksaserbasi gejala hipokondriakal dan
stresor psikososial. Walaupun hasil penelitian besar yang dilakukan
belum dilaporkan diperkirakan sepertiga sampai setengah dari
semua pasien dengan hipokondriasis akhirnya membaik secara
bermakna. Prognosis yang baik adalah berhubungan dengan status
sosioekonomi yang tinggi, onset gejala yang tiba-tiba, tidak adanya
gangguan kepribadian dan tidak adanya kondisi non-psikiatrik
yang menyertai. Sebagian besar anak hipokondriakal menjadi
sembuh pada masa remaja akhir atau masa dewasa awal.
7) Penatalaksanaan
E. Gangguan Konversi
1) Definisi
2) Etiologi
a. Faktor Psikoanalitik.
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan
oleh represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi
anxietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah
antara impuls berdasarkan insting (contohnya agresi atau
seksualitas) dan larangan pengungkapan ekspresi. Gejalanya
memungkinkan ekspresi parsial keinginan atau dorongan
terlarang, tetapi menyamarkannya sehingga pasien dapat
menghindari secara sadar untuk menghadapi impuls yang tidak
dapat diterima tersebut yaitu gejala gangguan konversi
memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak
disadari. Gejala gangguan konversi juga memungkinkn pasien
menyampaikan bahwa mereka membutuhkan perhatian atau
perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara
nonverbal untuk mengendalikan atau memanipulasi orang lain.
b. Faktor Biologis
Semakin banyak data yang mengaitkan fakor biologis dan
neuropsikologis di dalam timbulnya gejala gangguan konversi.
Studi pencitraan otak sebelumnya menemukan adanya
hipometabolisme hemisfer dominan dan hipermetabolisme
hemisfer nondominan dan mengaitkan hubungan hemisfer yang
terganggu sebagai penyebab gangguan konversi. Gejalanya
dapat disebabkan oleh bangkitan korteks berlebihan yang
mematikan lengkung umpan balik negative antara korteks
serebri dengan formasio retikularis batang otak. Selanjutnya,
peningkatan kadar keluaran kortikofugal menghambat
kesadaran pasien akan sensasi yang berkaitan dengan tubuh,
yang pada sebagian pasien dengan gangguan konversi dapat
menjelaskan adanya defisit sensorik yang dapat diamati.
3) Gejala Klinis
Gejala konvesi menunjukkan gangguan neurologi dari system
sensorik atau motorik yang paling umum : paresis, kelumpuhan,
aphonia, kejang, kebutaan, dan anestesi. Gangguan konversi
mungkin paling sering disertai gangguan kepribadian pasif-agresif,
dependen, anti social, dan histrionic. Gejala gangguan depresif dan
anxietas sering dapat meneyrtai gejala gangguan konversi, dan
pasien ini memiliki rasio bunuh diri.
o Gejala sensorik, Pada gangguan konversi, anesthesia
dan paresthesia adalah gejala yang lazim ditemukan,
terutama pada ekstremitas. Semua modalitas sensorik
dapat terlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak
konsisten dengan distribusi gangguan pada penyakit
neurologis perifer maupun pusat. Gejala gangguan
konversi dapat melibatkan organ indera khusus dan
dapat menimbulkan tuli, buta, serta penglihatan
trowongan (tunnel vision). Gejala ini dapat unilateral
atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan
jaras sensorik yang intak.
o Gejala motoric, Gejala motorik meliputi gerakan
abnormal, gangguan berjalan, kelemahan, dan
paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan
koreiform, “tic”, dan sentakan dapat ada. Gerakan
tersebut umumnya memburuk ketika orang
memperhatikan mereka. Satu gangguan berjalan yang
terlihat pada gangguan konversi adalah astasia-abasia.
Selain itu yang lazim ditemukan juga adalah paralisis
dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat
ekstremitas, walaupun distribusi otot terkena yang
tidak sesuai dengan jaras saraf. Reflex tetap normal
yaitu pasien tidak mengalami fasikulasi atau atrofi
otot (kecuali setelah paralisis konversi yang
berlangsung lama), temuan elektromiografi normal.
o Gejala kejang, Dimana kejang semu adalah gejala
lain gangguan konversi. Selama serangan, ditandai
dengan keterlibatan otot-otot truncal dengan
opistotonus dan kepala atau badan berputar ke arah
lateral. Semua ekstremitas mungkin menunjukkan
gerakan meronta-ronta, yang mungkin akan
meningkatkan intensitas jika pengekangan diterapkan.
Sianosis jarang terjadi kecuali pasien dengan sengaja
menahan napas mereka. Klinisi dapat merasa sulit
membedakan kejang semu dengan kejang yang
sesungguhnya hanya dengan pengamatan klinis saja.
Lebih jauh lagi, kira-kira sepertiga kejang semua
pasien memiliki gangguan epileptic. Menggigit lidah,
inkontinensia urin, dan cedera stelah jatuh dapat
terjadi jika pasien memiliki pengetahuan medis
tentang penyakit. Gejala ini berbeda dengan kejang
yang sebenarnya, dimana pseudoseizure terutama
terjadi di hadapan orang lain dan bukan ketika pasien
sendirian atau tidur. Reflex pupil dan muntah tetap
ada setelah kejang semu dan konsentrasi prolactin
pasien tidak mengalami peningkatan setelah kejang.
Menurut PPDGJ-III, gejala utama dari gangguan konversi
adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari
integritas normal (dibawah kendali kesadaran) antara :
Ingatan masa lalu
Kesadaran identitas dan penginderaan segera
(awareness of identity and immediate sensations),
dan
Kontrol terhadap gerakan tubuh
Pada gangguan konversi kemampuan kendali di bawah
kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu
sampai ke taraf yang dapat berlangsung dari hari ke hari
atau bahkan jam ke jam. Penderita mungkin tampak
acuh tak acuh akan penyakitnya (la belle indifference).
Penampilan acuh tak acuh ini mungkin juga terjadi pada
gangguan organic dan tidak spesifik untuk penyakit ini.
4) Kriteria diagnostic
Mungkin agak sulit menemukan diagnosis dan penatalaksanaan
pada gangguan ini. Kemungkinan penyebab organik harus
disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan
yang ekstensif. Hal lain yang perlun dipertimbangkan adalah
kemungkinan dibuat-buatnya gejala tersebut. Disini ada dua
kemungkinan, gangguan buatan (factitious disorder) atau berpura-
pura (malingering). Pada gangguan buatan, gejala-gejala dibuat
dengan sengaja yang bertujuan untuk mendapatkan perawatan
medis (secondary gain) dimana prevalensi sering pada perempuan
umur 20-40 taun dan orang yang bekerja di bidang kesehatan
dengan gejala tidak konsisten, gejala yang dimiliki berbagai jenis
penyakit, gejala sering yang tidak biasa dan susah untuk dipercaya
dengan kesadaran yang baik (volunteer). Gangguan konversi
karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut
mencerminkan penyaluran, atau konversi dari energi seksual atau
agresif yang diekspresikan ke gejala fisik seperti adanya gangguan
neurologis. Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus
ada :
a. Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing
gangguan yang tercantum pada F44-; (misalnya F44.0
Amnesia disosiatif).
b. Tidak ada bukti adanya gangguam fisik yang dapat
menjelaskan gejala tersebut;
c. Bukti adanya penyebab psikologis , dalam bentuk hubungan
kurun waktu yang jelas dngan problem dan kejadian-kejadian
yang “stressful” atau hubungan interpersonal yang terganggu
(meskipun hal tersebut disangkal penderita).
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Konversi :
a. Satu atau lebih gejala atau deficit yag mempengaruhi fungsi
sensorik atau motorik volunter yang mengesankan adanya
keadaan neurologis atau keadaan medis lainnya.
b. Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala maupun deficit
didahului konflik atau stressor lain.
c. Gejala atau deficit ditimbulkan tanpa sengaja atau dibuat-buat
(seperti pada gangguan buatan atau malingering).
d. Setelah pemerikaan yang sesuai, gejala atau deficit tidak
dapat benar-benar dijelaskan oleh keadaan medis umum atau
oleh efek langsung suatu zat, maupun sebagai perilaku atatu
pengalaman yang disetujui budaya.
e. Gejala atau deficit menyebabkan distress yang bermakna
secara klinis atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau area penting lain, atau memerlukan evaluasi medis.
f. Gejala atau deficit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi
seksual, tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan
somatisasi, dan sebaiknya tidak disebabkan gangguan jiwa
lain.
Tentukan tipe gejala atau defisit :
a. Dengan gejala atau deficit motorik
b. Dengan gejala atau deficit sensorik
c. Dengan bangkitan atau kejang
d. Dengan tampilan campuran
5) Diagnosis Banding
Salah satu masalah utama didalam mendiagnosis gangguan
konversi adalah kesulitan untuk benar-benar menyingkirkan
gangguan medis. Pemeriksaan neurologis dan medis yang
menyeluruh penting dilakukan pada semua kasus. Diagnosis
banding untuk gangguan konversi seperti: gangguan neurologis
seperti demensia atau penyakit degenerative lainnya, tumor otak,
dan penyakit ganglia basalis. Contohnya kelemahan pada gangguan
konversi dapat juga di diagnosis banding dengan miastenia gravis,
polimiositis, miopati yang didapat, dan bahkan multiple sklerosis.
Kebutan pada gangguan konversi dapat di diagnosis banding
dengan neuritis optic. Gejala gangguan konversi terdapat pada
skizofrenia, gangguaan depresif, dan gangguan anxietas, tetapi
gangguan ini disertai gejala khas yang akhirnya membuat diagnosis
menjadi mungkin. Memasukkan differensial diagnosis terutama
gangguan somatisasi sangat sulit ketika yang mendasari
karakteristik penyakit ini dapat dengan gejala neurologi yang tidak
khas. Mendiagnosis gangguan konversi disarankan ketika gejala
somatik tidak sesuai dengan gangguan somatik sebenarnya.
Dimana gangguan somatisasi adalah penyakit kronis yang dimulai
pada masa kehidupan awal dan mencakup gejala pada banyak
system organ lain dan tidak terbatas pada gejala neurologis saja.
Pada hipokondriasis, pasien tidak mengalami distorsi atau
kehilangan fungsi yang sebenarnya, melainkan terdapat perilaku
serta keyakinan yang khas. Pada gangguan buatan atau
malingering, gejala di dalam kendali kesadaran dan volunteer.
Riwayat seorang yang melakukan malingering biasanya lebih tidak
konsisten dan kontradiktif dari pada pasien dengan gangguan
konversi, perilaku menipu seorang yang melakukan melingering
jelas memiliki tujuan. Sedangkan pada berpura-pura (malingering)
untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Menentukan hal ini
tidaklah mudah dan mungkin memerlukan bukti bahwa ada
inkonsistensi dalam gejalanya. Namun umumnya gejala bervariasi
tetapi paling sering gangguan jiwa yang ringan. DSM-IV-TR
mencakup pernyataan berikut mengenai malingering. Gambaran
penting malingering adalah pembentukan disengaja gejala
psikologis atau fisik yang berlebih-lebihan, yang didorong dengan
dengan keuntungan internal seperti wajib militer, menghindari
pekerjaan, mendapatkan kompensasi, keuangan, menghindari
tuduhan kriminal, atau mendapatkan obat. Pada beberapa keadaan,
malingering dapat menujukkan perilaku adaptif. Contohnya
memalsukan penyakit saat tertangkap musuh di waktu perang.
6) Prognosis
Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi,
mungkin 90 hingga 100 persen membaik dalam beberapa hari atau
kurang dari satu bulan. Prognosis baik jika awitan mendadak,
stressor, sudah diidentifikasi, penyesuaian premorbid baik, tidak
ada gangguan medis atau psikiatri komorbid, dan tidak sedang
menjalani proses hukum. Sedangkan semakin lama gangguan
konversi ada, prognosisnya lebih buruk.3
7) Tatalaksana somatoform
o Hubungan dengan dokter perawatan primer
Karena pasien dengan gangguan somatoform sering
memiliki sejarah medis yang panjang, hubungan jangka
panjang dengan seorang praktisi perawatan dipercaya
primer (PCP) adalah perlindungan terhadap perlakuan yang
tidak perlu serta kenyamanan kepada pasien. PCPs Banyak
lebih memilih untuk menjadwalkan janji singkat secara
teratur dengan pasien dan menjaga rujukan ke spesialis
untuk minimum. Praktek ini juga memungkinkan mereka
untuk memantau pasien untuk gejala fisik baru atau
penyakit. Namun, beberapa PCPs bekerja dengan seorang
konsultan kejiwaan.4
o Obat
Pasien dengan gangguan somatoform kadang-kadang
diberikan obat anti ansietas atau obat antidepresan jika
mereka telah didiagnosa dengan suasana hati yang hidup
bersama atau gangguan kecemasan. Secara umum,
bagaimanapun, itu dianggap praktik yang lebih baik untuk
menghindari pemberian resep obat untuk pasien ini karena
mereka cenderung menjadi psikologis tergantung pada
mereka. Namun, gangguan dismorfik tubuh sebagai telah
berhasil diobati dengan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) antidepresan. Selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) merupakan grup kimia antidepresan baru
yang khas, hanya menghambat ambilan serotonin secara
spesifik. Berbeda dengan antidepresan trisiklik yang
menghambat tanpa seleksi ambilan-ambilan norepinefrin,
serotonin, reseptor muskarinik, H,-histaminik dan a,-
adrenergik. Dibanding dengan antidepresan trisiklik, SSRI
menyebabkan efek antikolinergik lebih kecil dan
kordiotoksisitas lebih rendah. Pemberian SSRI dimulai
dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap 2-3
minggu. Reaksi optimal didapat setelah 4-6 minggu. Pada
pasien usia lanjut, disfungsi ginjal dan hepar, berikan dosis
rendah.puskes dimulai degan dosis tunggal 10 mg pada
pagi hari. Reaksi klinis setelah beberapa minggu
pemberian. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap
setelah 2 minggu pemerian menjadi 20 mg, 40 mg dan
dosis maksimal adalah 60 mg. Untuk bulimia nervosa dosis
awal 60mg/hari. 4
o Psikoterapi
Pasien dengan gangguan somatoform tidak dianggap
kandidat yang baik untuk psikoanalisis dan bentuk-bentuk
wawasan yang berorientasi psikoterapi. Mereka bisa
mendapatkan keuntungan, namun, dari pendekatan suportif
terhadap pengobatan yang ditujukan untuk mengurangi
gejala dan stabilisasi kepribadian pasien. Beberapa pasien
dengan gangguan nyeri manfaat dari terapi kelompok atau
kelompok dukungan, khususnya jika jaringan sosial mereka
telah dibatasi oleh gejala rasa sakit mereka. Terapi kognitif-
perilaku juga digunakan kadang-kadang untuk mengobati
gangguan sakit. Terapi keluarga biasanya dianjurkan untuk
anak-anak atau remaja dengan gangguan so1matoform,
terutama jika orang tua tampaknya akan menggunakan anak
sebagai fokus untuk mengalihkan perhatian dari kesulitan
lainnya. Bekerja dengan keluarga pasien sakit kronis juga
membantu menghindari memperkuat ketergantungan dalam
lingkungan keluarga. Hypnosis adalah teknik yang kadang-
kadang digunakan sebagai bagian dari pendekatan
psikoterapi umum untuk gangguan konversi karena dapat
memungkinkan pasien untuk memulihkan ingatan atau
pikiran yang berhubungan dengan timbulnya gejala-gejala
fisik.4
DAFTAR PUSTAKA