Anda di halaman 1dari 26

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perdagangan Internasional

Fenomena transaksi antar negara atau perdagangan internasional terjadi

karena adanya dua motif yaitu (1) perbedaan sumberdaya dan teknologi tiap

negara, dan (2) untuk mencapai skala ekonomis, yang mengarah pada tujuan

Untuk mendapatkan manfaat perdagangan atau gain from trade (Krugman dan

bstfeld, 2000). Kenyataan yang terjadi bahwa pola perdagangan internasional

@encerminkan interaksi dari kedua motif tersebut menjadi awal bagi David

Ricardo (abad 19) mengembangkan model perdagangan internasional yang

Qikenal dengan Model Ricardian.

Konsep penting dalam model Ricardian adalah perbedaan sumberdaya

can teknologi yang dimiliki oleh tiap negara menciptakan keunggulan bagi negara

tersebut (comparative advantage). Atas dasar keunggulan komparatif maka

Qerkembang suatu fenomena yang kemudian disebut spesialisasi yaitu setiap

negara memproduksi sesuatu yang paling dikuasainya. Suatu negara dikatakan

mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu komoditi jika biaya

oportunitas (opportunity cost) karena memproduksi komoditi tersebut

dibandingkan komoditi Iain lebih rendah di negara tersebut. Perdagangan antar

dua negara akan memberikan keuntungan jika tiap negara mengekspor komoditi
nDj D

yang memiliki keunggulan komparatif. Model Ricardian mengasumsikan bahwa

tin kemungkinan produksi ditentukan oleh alokasi dari satu sumberdaya yaitu tenaga
n j Dns

ja
ua
n kerja antar sektor sehingga biaya oportunitas diukur dari produktivitas tenaga

” kerja yang dicurahkan pada tiap sektor. Tenaga kerja tersebut diasumsikan

dapat ditransfer dari sektor yang relatif tidak efisien kepada sektor yang relatif

lebih efisien. Asumsi pada model ini mengimplikasikan bahwa tidak hanya semua
12

negara yang terlibat mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional akan

tetapi setiap individu di dalamnya menjadi lebih baik (better o karena

perdagangan dianggap tidak mempengaruhi distribusi pendapatan.

Kenyataan bahwa perdagangan memiliki efek substansial yaitu distribusi

pendapatan pada negara yang berdagang mengkoreksi asumsi model Ricardian.

Ada dua alasan mengapa perdagangan internasional memiliki efek kuat pada

istribusi pendapatan yaitu (1) sumberdaya tidak dapat dipindahkan dengan tepat

dan tanpa biaya dari satu sektor ke sektor Iain, dan (2) tiap sektor berbeda alam

permintaan faktor-faktor produksi : pergeseran produksi barang suatu negara

akan menurunkan permintaan untuk beberapa faktor produksi namun eningkatkan

permintaan untuk faktor produksi Iain. Alasan tersebut

enyebabkan perdagangan dapat memberi manfaat bagi negara secara

eseluruhan namun merugikan bagi pihak tertentu di dalam negara, setidaknya

dalam jangka pendek (Krugman dan Obstfeld, 2000).

Penggunaan model efek distribusi pendapatan dari perdagangan

internasional adalah Model Faktor Spesifik. Model ini dikembangkan oleh Paul

Samuelson dan Ronald Jones yang mengasumsikan suatu perekonomian yang

memproduksi dua barang dan mengalokasikan penawaran tenaga kerja antara

dua sektor tersebut. Model faktor spesifik juga mengasumsikan adanya faktor

§ produksi lain disamping tenaga kerja yang merupakan faktor produksi spesifik

sektor yang hanya dapat digunakan untuk memproduksi barang tertentu.

Misalnya dalam suatu perekonomian memproduksi dua barang yaitu

manufaktur dan pangan, dengan tiga faktor produksi yaitu tenaga kerja, modal

dan lahan. Manufaktur men,qgunakan faktor produksi modal dan tenaga kerja

{tanpa lahan) sementara sektor pangan memproduksi dengan menggunakan

faktor produksi lahan dan tenaga kerja (tanpa modal). Pada kasus tersebut,
13

tenaga kerja disebut mobf/e factor yang dapat digunakan di tiap sektor

sementara modal dan lahan disebut specific factor yang dapat digunakan

untuk memproduksi barang tertentu. Perbedaan antara tujuan penggunaan faktor-

faktor

yang dapat berpindah antar sektor dan faktor spesifik untuk penggunaan

tertentu atau perbedaan sumberdaya inilah yang menyebabkan tiap negara

memiliki kurva penawaran yang berbeda sehingga terjadi perdagangan

internasional. @alam model faktor spesifik, faktor spesifik pada sektor-sektor

ekspor di tiap megara mendapat manfaat dari perdagangan internasional

sementara faktor spesifik pada sektor-sektor impor dirugikan, dilain pihak untuk

faktor mobile yang dapat berpindah pada tiap sektor memiliki dua

kemungkinan yaitu untung atau Rugi (ambiguous).

Teori perdagangan internasional lain yang melengkapi teori perdagangan

ebelumnya adalah Model Heckscher-Ohlin yang dikembangkan oleh Eli

@eckscher dan Bertil Ohlin. Model ini menjelaskan bahwa dalam

kenyataannya perdagangan tidak hanya menunjukkan perbedaan produktivitas

tenaga kerja namun juga mencerminkan perbedaan sumberdaya di tiap

negara. Model ini menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dipengaruhi

oleh interaksi antara sumberdaya negara (faktor produksi yang relatif

melimpah) dan teknologi produksi (yang mempengaruhi intensitas faktor

produksi) berbeda jika digunakan untuk memproduksi barang yang berbeda.


nDj D

Dengan kata Iain, suatu negara sebaiknya mengeksporbarang


tin yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan
ja
ua
us
tu
an mengimpor barang yang menggunakan faktor produksi yang langka di

negaranya. Namun ekspor dan Impor untuk komoditi tersebut hanya

” dapat dilakukan bila penggunaan faktor produksi telah dilakukan secara

intensif (Krugman dan Obstfeld, 2000).


14

2.2. Perdagangan Internasional dalam Konteks Permintaan dan

Penawaran Teori perdagangan internasional menunjukkan

bahwa tiap negara


H
a
b memiliki perbedaan sumberdaya dalam memproduksi suatu barang sehingga
Ci
pt
a menciptakan keunggulan komparatif dan spesialisasi pada tiap negara yang
Di
lin
berimplikasi pada perbedaan harga untuk komoditi yang sama. Perbedaan harga
d
u menjadi dasar terjadinya arus perdagangan antar negara yang secara grafis
n
g
Ui \ijeIaskan Gambar 1.
-
n
d (a)
a
n

XS Sm

Dx Sx

Dm

QS Qe 0
Eksportir Dunia

Gambar 1 Proses Perdagangan Dua Negara


(Sumber : Krugman dan Obstfeld, 2000)

Gambar tersebut mengasumsikan hanya ada dua negara yaitu negara

eksportir dan importir. Keduanya mengkonsumsi dan memproduksi komoditi

yang sama. Proses perdagangan antar negara terjadi jika ada perbedaan

harga jika kondisi autarki. Misalnya harga di negara eksportir adalah Px jika

memproduksi sebesar q (tanpa melakukan perdagangan dengan negara Iain)

dan harga di negara importir adalah Pm dengan produksi sebesar Q. Harga di

negara eksportir lebih rendah dibandingkan dengan harga di negara impotir


15

karena keunggulan komparatif dalam penggunaan sumberdaya. Gambar 1a

memperlihatkan kondisi keseimbangan penawaran dan permintaan pada

harga Px, jika harga dinaikkan menjadi Px’ maka terjadi kelebihan penawaran
H
a
b sebesar qs - qd yang membentuk kurva penawaran ekspor (XS). Demikian
Ci
pt
a seterusnya apabila harga terus meningkat maka jumlah penawaran ekspor

Di juga meningkat.
lin
d
u Gambar 1c menjelaskan kondisi keseimbangan harga di negara importir
n
g
Ui
imana harga keseimbangan adalah Pm, jika harga diturunkan pada Pm' maka
-
n permintaan domestik meningkat sementara penawaran domestik berkurang.
d
a 3
n Konsekuensinya adalah kelebihan permintaan sebesar Qd —Os yang menjadi

Awal terbentuknya kurva permintaan impor (MD). Sebaliknya yka harga naik

Taka jumlah permintaan impor turun.

Harga dunia dan jumlah barang yang diperdagangkan ditentukan oleh

urva penawaran ekspor dan kurva permintaan impor. Selama harga dunia yang

erbentuk lebih tinggi dari harga domestik eksportir maka jumlah ekspor adalah

lelebihan penawaran yang terjadi. Semakin tinggi harga dunia dengan

asumsi tidak ada disorsi perdagangan maka volume ekspor makin banyak,

hal ini

menunjukkan slope positif kurva penawaran ekspor (XS).

Sebaliknya, selama harga dunia lebih rendah dari harga domestik

importir maka volume impor ditunjukkan oleh kelebihan permintaan yang

terjadi, makin rendah harga dunia dengan asumsi tidak ada distorsi

perdagangan maka makin banyak volume impor artinya kurva permintaan

impor (MD) memiliki slope

§ negatif. Harga dunia terjadi pada perpotongan kurva penawaran ekspor (XS) dan

kurva permintaan impor (MD) yaitu Pw, sedangkan volume perdagangan (Qw)
sama dengan kelebihan penawaran eksportir dan atau kelebihan permintaan

importir sehingga Qw = qs-qd = Qd-Qs (Krugman dan Obstfeld, 2000).


16

2.3. Distorsi Perdagangan Internasional

Efek substansial perdagangan internasional berupa distribusi pendapatan

menyebabkan tidak semua pihak yang terlibat di dalam perdagangan

mendapat manfaat perdagangan. Adanya pihak-pihak yang dirugikan dari

perdagangan menjadi alasan munculnya intervensi dalam proses

perdagangan. lntervensi ini menyebabkan distorsi pada pembentukan harga

baik di pasar domestik maupun

pasar dunia. Distorsi perdagangan dilakukan dari dua sisi yaitu dari sisi
eksportir x
c
can sisi importir.

lntervensi pemerintah pada perdagangan produk pertanian dilakukan

untuk mencapai tujuan yang bervariasi dan terkadang timbul konflik tujuan,

•mdapun tujuan tersebut misalnya : harga bahan baku dan pangan yang murah

untuk promosi industri, pendapatan pemerintah yang lebih besar, akumulasi

spendapatan nilai tukar, kestabilan harga, pendapatan sektor pertanian yang

tinggi (Niemi, 2003).

Setiap instrumen yang digunakan mempunyai efek yang berbeda baik

pada harga dan jumlah komoditi yang diperdagangkan maupun terhadap

kesejahteraan. Keduanya dapat terjadi di negara yang menerapkan kebijakan

maupun terhadap negara Iain yang dipengaruhi secara langsung maupun

tidak langsung. Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis

kebijakan

“ perdagangan adalah model keseimbangan parsial. Pada model ini analisis

dibatasi pada sektor spesifik dari perekonomian domestik dan internasional,

tinj dengan asumsi hal Iain konstan. Analisis pada sektor spesifik lebih ditekankan
au
u
sa
na pada harga, produksi, pendapatan dan efek-efek dari kebijakan perdagangan
tu
yang dilakukan. Kelebihan model ini adalah sederhana untuk dipahami dan

dapat menunjukkan perbedaan penting dalam setiap aplikasi instrumen

kebijakan.
17

2.3.1.Proteksi oleh importir


Tarif impor

Tarif impor merupakan pola proteksi yang transparan oleh negara


H
a
b importir. Pada prinsipnya pemberlakuan tarif impor terhadap suatu komoditi akan
Ci
pt menguntungkan produsen domestik karena harga produk impor menjadi relatif

Di lebih mahal dibandingkan dengan komoditi domestik sejenis, akibatnya adalah


lin
d
un
Volume impor berkurang. Pembelakuan tarif impor tidak hanya berdampak di
g
Ui negara importir namun juga di negara eksportir komoditi karena kebijakan tarif
-
n
d mempengaruhi sinyal pasar yang terbentuk di pasar dunia. Dampak
an
g emberlakuan tarif impor dapat dijelaskan dengan asumsi-asumsi (1) ada dua

Negara yaitu negara eksportir dan importir, (2) tarif impor adalah tarif spesifik,

can (3) negara importir adalah negara besar dalam perdagangan artinya volume

impor dapat mempengaruhi harga. Secara grafis efek ekonomi tarif impor dapat

ijelaskan pada Gambar 2.

p (a) (b) (c)

Dx Sx xs Sm

Pw’-r
Pw .
Pw 1,: 3

MD
Dm
MD-t

0
qd qd’ qs’ qs Qw’ Qw >O Q
C QsQs ad Qd
Eksportir Dunia
lM{DOFtlr

Gambar 2. Efek Ekonomi Kebijakan Tarif Impor


(Sumber: Tweeten, 1992)
18

Pemberlakuan tarif impor spesifik menyebabkan biaya impor menjadi

lebih tinggi sehingga pada Gambar 2b kurva permintaan impor (MD) bergeser

paralel ke bawah dengan jarak vertikal sebesar tarif. Harga dunia yang terbentuk

adalah Pw' (mengalami penurunan). Pada sisi importir (Gambar 2c) harga yang

diterima konsumen setelah tarif adalah Pw’+t, peningkatan harga konsumen

domestik importir menyebabkan volume impor turun menjadi Qd’-Qs’. Pada sisi

eksportir (Gambar 2a), turunnya harga dunia menyebabkan penawaran ekspor

turun yang digambarkan dengan pergerakan sepanjang kurva XS sehingga

volume ekspor turun menjadi qs’-qd’.

e Gambar 2 secara keseluruhan menjelaskan bahwa kebijakan tarif impor

terhadap suatu komoditi menyebabkan kenaikan harga di negara importir,

menjadi insentif produksi dan penurunan konsumsi sehingga volume impor

berkurang, demikian pula halnya volume ekspor di negara eksportir turun karena

harga dunia direspon dengan pengurangan produksi dan meningkatnya

lonsumsi domestik. Efek lain kebijakan tarif impor adalah adanya penerimaan

pemerintah yang berasal dari tarif.

Dampak kesejahteraan dari kebijakan tarif impor dapat dijelaskan melalui

perubahan surplus konsumen dan surplus produsen serta penerimaan

pemerintah berikut ini

Tabel S. Dampak Tarif Impor Terhadap Kesejahteraan


at
a Perubahan Importir Eksportir
u
Surplus Konsumen -(a+b+c+d) 1
tin Surplus Produsen (a) -(1+2+3+4)
jo Penerimaan Pemerintah (c+e)
ua
sn Kesejahteraan Nasional (e-b-d) -(2+3+4)
ua Kesejahteraan Dunia b-d-2-4
Sumber: Tweeten, 1992
m
as
al Secara keseluruhan tarif impor akan menurunkan kesejahteraan dunia,
ah

kesejahteraan nasional di negara eksportir turun sebesar daerah (2+3+4),


sedangkan di negara importir kesejahteran nasional ditentukan oleh elastisitas

penawaran ekspor (XS), jika XS elastis maka daerah (b+d) makin besar dari (e)

sehingga negara importir akan dirugikan dengan pemberlakuan tarif impor.

Pembatasan impor

Prinsip pembatasan impor adalah restriksi langsung pada komoditi yang

diimpor yang didesign untuk membantu produsen di negara importir. Kebijakan

@i biasanya dilakukan untuk memberikan insentif produksi bagi produsen dalam

gkan industrinya, hal ini hanya bermanfaat untuk tujuan jangka pendek karena berdampak pada inefisiensi penggunaan sumber daya. D
impor dengan asumsi (1) ada dua negara yaitu negara eksportir dan

negaraimporter,dan negaraimportiradalahnegarabesar,dapat

&iiIustrasikan melalui Gambar 3.

Dx Sx XS Sm

Pq

Pw

MD’ MD Dm

qd qd’ qs’qs Qq’ Qw QsQs’ Qd’Qd

Eksportir
Dunia Importir

Gambar 3. Efek Ekonomi Kebijakan Pembatasan Impor


(Sumber: Tweeten, 1992)
20

Pembatasan impor oleh negara importir sebesar Qw’ menyebabkan kurva

permintaan impor (MD) menjadi kurva patah (MD’) sehingga harga dunia yang

terbentuk adalah Pw’, pada harga tersebut, volume penawaran ekspor berkurang
H
a
b menjadi qs’-qd’ (Gambar 3a). Namun pada sisi importir (3c) kekurangan komoditi
Ci
pt
a akibat pembatasan impor ditutupi dengan menambah produksi domestik

Di sehingga menggeser kurva penawaran negara importir sebesar pembatasan


lin
d
u empor (Qw’).
n
g
Ui Dampak kesejahteraan dari kebijakan pembatasan impor dapat dijelaskan
-
n melalui perubahan surplus konsumen dan surplus produsen pada Tabel 6. Pada
d
a
n sisi importir, jika daerah (e) lebih dari (c+d) maka importir akan mendapatkan

manfaat dari perdagangan. Namun pada sisi eksportir, produsen merupakan

pihak yang paling dirugikan dengan penurunan kesejahteraan sebesar

1+2+3+4).

label 6. Dampak Pembatasan Impor Terhadap Kesejahteraan


a Perubahan Importir Eksportir
Surplus Konsumen -(a+b+c+d) 1
Surplus Produsen (a) -(1+2+3+4)
Penerimaan Pemerintah (b+e)
Kesejahteraan Nasional (e-c-d) -(2+3+4)
Kesejahteraan Dunia -(c+d+2+4)
Sumber : Tweeten, 1992

Secara umum terjadi penurunan kesejahteraan dunia jika manfaat (b+e)

lebih kecil dari kerugian (2+3+4) artinya manfaat yang diterima importir tidak bisa

mengkompensasi kerugian di negara eksportir.

2.3.2. Proteksi oleh eksportir


Pembatasan ekspor

Esensi pembatasan ekspor adalah untuk menjamin ketersediaan komoditi

di dalam negeri disamping untuk mencapai stabilitas harga di dalam negeri.

Dampak ekonomi pembatasan ekspor dijelaskan dengan asumsi-asumsi (1)


21

terdapat dua negara yaitu eksportir dan importir, dan (2) negara eksportir adalah

negara besar dalam perdagangan, secara grafis dijelaskan melalui Gambar 4.

(a
Dx
Dx XS Sm

Pw

MD
Dm

”0 Qw’ Qw Qs Qs Qd’Qd
qd qd’ qs Eksportir
Dunia Importir

Efek Ekonomi Pembatasan Ekspor (Sumber: Tweeten, 1992)


an ekspor oleh eksportir sebesar Qw’ maka kurva penawaran ekspor menjadi kurva patah sehingga harga dunia yang terbentuk adalah

Pada harga Pw’ di negara eksportir terjadi kelebihan penawaran. Penyerapan

kelebihan penawaran tersebut menyebabkan pergeseran kurva permintaan

domestik menjadi D’ dengan jarak horizontal sebesar kuota sehingga kebutuhan

domestik dapat dipenuhi dengan harga yang lebih rendah.

Dampak pembatasan ekspor terhadap kesejahteraan dapat dilihat dari

° perubahan surplus konsumen dan surplus produsen pada Gambar 4 yang

” dijelaskan lebih rinci dengan Tabel 7.

Tabel 7. Dampak Pembatasan Ekspor Terhadap Kesejahteraan


Produsen Penerimaan Pemerintah Keseiahteraan Nasional Keseiahteraan ortir
Eks ortir (a+b)Dunia Sumber : Tweeten, 1992.
-(a+b+c+d) (c+e) -(1+2+3+4)
-d+e
2+3+4
-d-2-4
22

Pada sisi eksportir, jika daerah (e) lebih besar dari daerah (d) maka

eksportir akan mendapat manfaat dari pembatasan ekspor dimana konsumen

dan pemegang kuota akan mendapat keuntungan dari perdagangan. Pada sisi

importir terjadi penurunan kesejahteraan nasional (2+3+4) yang tidak

terkompensasi oleh manfaat yang diterima eksportir sehingga secara

keseluruhan pembatasan eksportir akan menurunkan kesejahteraan dunia.

pajak ekspor

Pajak ekspor yang diberlakukan terhadap suatu komoditi pada prinsipnya

Takan meningkatkan biaya ekspor sehingga komoditi yang diekspor berkurang.

Tal ini menyebabkan harga yang diterima produsen domestik menjadi lebih

¿rendah dari harga dunia sebesar pajak yang ditetapkan (Grennes, 1984).

Analisis berikut juga merupakan kasus untuk negara besar dalam

perdagangan artinya volume ekspor mempengaruhi harga dunia. Jika pajak

ekspor yang ditetapkan adalah pajak spesifik maka dampak ekonomisnya

dapat

ijelaskan dengan Gambar 5.

Pajak ekspor spesifik (t) menyebabkan pergeseran kurva penawaran

ekspor sejajar ke kiri atas (berkurang) sebesar pajak, akibatnya adalah harga

dunia meningkat menjadi Pw’ (Gambar 5b). Peningkatan harga dunia pada sisi

importir direspon dengan mengurangi permintaan domestik dan menjadi

insentif untuk berproduksi (Gambar 5c) sehingga kurva permintaan impor

tinj bergerak sepanjang kurva ke kiri atas artinya terjadi pengurangan volume
au
as
nu impor menjadi Qd’-Qs’.
at
Penurunan volume perdagangan sama artinya dengan penurunan volume
m
as
ala ekspor sehingga pada sisi eksportir harga yang diterima produsen domestik
h.
setelah pajak adalah pw’-t yaitu lebih rendah dari harga dunia sehingga

produsen
23

menurunkan jumlah produksi pada qs’ dan permintaan domestik meningkat

menjadi qd’ maka kelebihan penawaran adalah qs’-qd’.

H
a
b
Ci
pt Dx XS Sm
a

Di Pw
lin
d
::Pw
u
n
g
Ui
-
n
d
a
n

0 qd qd’ qs qs Qw’ Qw QsQs Qd’Qd


Eksportir Dunia Importir

Gambar S. Efek Ekonomi Pajak Ekspor (Sumber: Tweeten, 1992)

SecarakeseluruhanGambar5 menjelaskanbahwa pajakekspor

memberi keuntungan bagi konsumen domestik di negara eksportir namun

merugikan produsen domestik. Dampak pajak ekspor terhadap perubahan

kesejahteraan dapat dijelaskan dengan Tabel 8.

Tabel 8. Dampak Pajak Ekspor Terhadap Kesejahteraan


Produsen Penerimaan Pemerintah Keseiahteraan Nasional Keseiahteraan ortir
Eks ortir (a+b)Dunia Sumber : Tweeten, 1992.
-(a+b+c+d+e) (d+f} -(1+2+3+4)
-c-e+f
2*3+4
-c-e+2-4

Secara umum pajak ekspor menurunkan kesejahteraan dunia demikian

pula di negara importir, kesejahteraan nasional menurun sebesar daerah (2+3+4)

sementara di negara eksportir kesejahteraan nasional ditentukan oleh elastisitas


24

permintaan dan penawaran. Untuk tingkat pajak tertentu, jika f lebih besar dari

(c+e) maka terjadi peningkatan kesejahteraan nasional.

2.4. Kointegrasi dan Error Correction Model

2.4.1.Data Stasioner dan Unit Root


Jenis data time series merupakan data yang sering digunakan dalam

penelitian-penelitian empiris. Analisis ekonometrika klasik yang menggunakan

data time series mengasumsikan bahwa data yang digunakan adalah stasioner

memenuhi kriteria statistik pada uji I, nilai DW dan nilai R2 (Seddighi,

000). Suatu data time series dikatakan stasioner apabila memenuhi kriteria

1. Nilai harapan konstan : E(Xt) = Konstan untuk semua t

. Varian konstan : Var (Xt) = Konstan untuk semua t


0
. Covarian konstan : Cov (Xm. X t• k) = Konstan untuk semua t, dan k 1 0

Kondisi yang memenuhi ketiga kriteria tersebut disebut juga "weak stationary”

(Thomas, 1997). Data time series dikatakan nonstasioner apabila gagal

memenuhi salah satu atau lebih kriteria tersebut. Konsekuensi dari meregresi

data nonstasioner pada variabel in level adalah adanya permasalahan spurious

correlation/regression yaitu trend stokastik pada variabel bebas dan variabel

terikat yang menyebabkan korelasi yang tinggi antara keduanya meskipun

secara aktual keduanya tidah berkaitan.

Asumsi data stasioner dalam ekonometrika klasik mengharuskan

ketelitian dalam analisis regresi karena hampir selalu studi-studi empiris ekonomi

su
memuat variabel nonstasioner (trending variable) seperti pendapatan, konsumsi,
at
u permintaan uang, tingkat harga, aliran perdagangan dan nilai tukar. Data time
m
as series ekonomi cenderung menunjukkan proses stokastik (random walk)
al
ah
25

nonstasioner dengan bentuk autoregressive AR(1) yaitu regresi dengan variabel

itu sendiri (lag 1).

dimana :
§, = Konstan drift
§=1
u/= error

Suatu variabel (Yr) dikatakan memiliki unit root jika koefisien § = 1, lebih

elasnya Yt yang dicirikan dengan memiliki unit root dan drift (random walk with rft)

adalah variabel nonstasioner. Meskipun dari hasil regresi variabel-variabel

Ekonomi menunjukkan signifikasi tinggi koefisien regresi dan nilai koefisien

eterminasi (R2) yang tinggi namun hanya karena adanya trend, sementara variabel

tersebut samasekali tidak terkait sehingga hasil yang didapat tidak

Memiliki arti (meaningless) dalam interpretasi ekonomi. Jadi level stasioner data

time series dapat dideteksi apabila data tersebut mengandung unit root. Uji

Dickey Fuller (DF) dan Augmented Dickey Fuller (ADF) dapat digunakan untuk

tujuan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan spurious correlation pada analisis data

time series stokastik salah satunya dengan menstasionerkan data tersebut

dengan menarik flFst Difference (transformasi matematis). Thomas (1997)

menjelaskan proses kerja first Difference melalui contoh yang diformulasikan

sebagai berikut :

Yt= p, + p2xt + rt......................................................................(2.2)


Jika X dan Y adalah variabel trend yang tidak dapat diestimasi langsung untuk

variabel in level karena masalah spurious sehingga perlu lag satu periode

menjadi
26

(2.3)

Persamaan (2.2) dan (2.3) disubstraksi sehingga didapat persamaan first

Difference yang bebas dari masalah spurious yaitu :

ñYt = p,ñx, + v,............................................................................(2.4)


dimana

Vt— *t- *t-1

* Solusi first Difference mampu mengatasi permasalahan nonstasioner

@alaupun muncul kesulitan pada sisi interpretasi, namun permasalahan yang

rusial pada solusi ini adalah (1) terjadi autokorelasi pada eror ve = ‹ - It-1

osehingga sulit dalam proses estimasi (2) mengabaikan informasi jangka panjang

hubungan antar variabel in level hilang). Solusi ini menjadi tidak relevan untuk

Tujuan perencanaan kebijakan dan peramalan perdagangan komoditi pertanian

dimana kriteria jangka panjang dari model selalu diperhitungkan. Sementara itu

bahwa teori perdagangan internasional ditetapkan sebagai suatu hubungan

jangka panjang antar variabel in level. Untuk itu solusi first difference diabaikan

untuk menganalisis isu-isu jangka panjang dan solusi Error Correction menjadi

pilihan yang dianggap bisa mengkoreksi permasalahan solusi first difference.

Namun solusi Error Correction menghendaki beberapa persyaratan untuk

variabelnya agar analisanya menjadi valid.

2.4.2. Error Gorrection itfodef


•’ Error Correction Model (ECM) merupakan solusi alternatif yang mampu

mengatasi permasalahan first Difference yang menggunakan pendekatan


n j Dns

“general to specific” yaitu dari reduced form yang bersifat umum ke persamaan

struktural (Siregar, 2004). Spesifikasi ECM diturunkan dari reparameterisasi

sederhana sebagai berikut :

Yt bo” b1Xt bzXt-1 * / Yt-1 *t 0<g<1...............................................(2.5)


27

Permasalahan utama dalam mengestimasi parameter pada persamaan

(2.5) adalah kemungkinan nonstasioner pada variabel levels, sehingga

spesifikasi ARDL (1,1) tersebut direparameterisasi sehingga diperoleh bentuk

ECM.

s\’t = b‹aXi - 1(Yt-1 “ 0 - 1Xt-1) + rt . .. ---- ......................... (2.6)


.-
dimana .

H
a
k 1 - (b1 b2)**
ci
p Parameter yang muncul dalam ECM memiliki interpretasi yang jelas
m
ta
ili dimana k merupakan parameter kecepatan menyesuaikan (adjustment) untuk
k
IP
mencapai keseimbangan, b, adalah hubungan jangka pendek yang
(I
n mencerminkan respon segera (immediate) dari variabel Yt terhadap
st
it
ut perubahan variabel Xt sehingga disebut juga elastisitas jangka pendek.

P
er
Sementara pm dan 01 menunjukkan hubungan jangka panjang variabel Ym
ta
ni dan Xt.
a
B
Selain syarat data nonstasioner pada data time series, persamaan

ECM juga mensyaratkan adanya variabel yang terkointegrasi. Pada model

ECM terdapat kombinasi linear variabel yang nonstasioner yaitu (YOU - /0 - 1 t-1)

- I(0). Kombinasi linear ini disebut kointegrasi. Konsep kointegrasi pertama kali

dikembangkan oleh Engle dan Granger yang menyempurnakan penggunaan

g ECM. Kointegrasi berarti bahwa meskipun suatu variabel yang secara individu

• nonstasioner namun kombinasi linear antara dua atau lebih variabel tersebut

menjadi stasioner. Kombinasi linear itu disebut error yang bersama k

(parameter

• erro{ membentuk mekanisme mengkoreksi kesalahan untuk mencapai

keseimbangan, semakin kecil nilai parameter e/ror semakin lama koreksi


28

kesalahan dilakukan pada model tersebut. Kombinasi linear dalam ECM harus

terintegrasi dalam order yang sama, misalnya :

Yr-• = P0 + 1X{-1 Keseimbangan

vi • < P‹ • 1Xt-1 error <0 dikoreksi oleh (-k) sehingga naik menuju

keseimbangan

Yt-1› po + 1Xt-1 error >0 dikoreksi oleh (-k) sehingga turun menuju

keseimbangan.

H Interpretasi parameter ECM secara jelas membedakan antara efek jangka


a
k
ci
panjang dan efek jangka pendek, hal ini sesuai untuk memperkirakan validitas
p
m suatu hipotesis. Selain itu secara umum ECM merepresentasikan
ta
ili
k ketidakseimbangan hubungan akan mengurangi permasalahan multicolllnearity
IP
pada data time series (Thomas, 1997).
(I
n
st 2.5. Tinjauan Kebijakan Minyak Sawit Indonesia
it

P Kebijakan - kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia


er
ta
ni pada industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun
a
B yang lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Hal ini telah
n
o
dilakukan sejak tahun 1978 (Lampiran 1). Berbagai instrumen kebijakan telah

diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu (1) pengendalian laju inflasi

dan mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, dan (2) pengendalian

pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk

menjaga kestabilan harga minyak goreng (Zulkifli, 2000).

Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk

mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pajak ekspor, (2) penetapan

alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan

cadangan penyangga minyak sawit kasar, dan (4) pelarangan ekspor. lnstrumen
kebijakan yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-

pihak yang berkepentingan adalah pajak ekspor (tax expod) dan pelarangan

ekspor (export ban).

Pada awal tahun 1998 melalui Surat Keputusan Dirjen Perdagangan

dalam Negeri No.420/DJPDN/XI/97, pemerintah Indonesia melarang ekspor

minyak sawit kasar selama empat bulan. Hal ini disebabkan selama tahun 1997

sebagian besar perusahaan-perusahaan minyak sawit kasar mengekspor

H sebanyak mungkin minyak sawit produksinya sebagai respon dari devaluasi nilai
a
k rupiah dan tingginya harga minyak sawit kasar di pasar dunia. lmplikasinya
ci
p
m adalah kurangnya pasokan dalam negeri diiringi dengan peningkatan harga di
ta
ili
k
pasar domestik. Untuk itu, pada April 1998 melalui SK Menperindag
IP
No.181/MPP/Kept/4/1998 dan juga sesuai dengan isi memorandum tambahan
(I
n
st
yang dicapai pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF)
it
ut maka pelarangan ekspor diganti dengan pajak ekspor sebesar 40 persen
P
er
sebagai usaha untuk menormalkan harga domestik. Pajak ekspor ditetapkan dari
ta
ni selisih antara target harga yang ditentukan pemerintah dengan harga ekspor
a
B
aktual. Sejak April 1998, pajak ekspor meningkat dan secara beransur-ansur

diturunkan seperti yang ditunjukkan Tabel 9.

Tabel 9. Pelarangan Ekspor dan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia


Mulai Sampai Pajak Ekspor (%)
Desember 1997 5
Desember 1997 Januari 1998 30
Januari 1998 April 1998 Export Ban
April 1998 Juli 1998 40
Juli 1998 Februari 1999 60
Februari 1999 Juni 1999 40
Juni 1999 Juli 1999 30
Juli 1999 September 2000 10
September 2000 Februari 2001 5
Februari 2001 3
Sumber : http://www.dprin.com
30

2.6. Tinjauan Studi Terdahulu

2.6.1. Studi Mengenai Perdagangan Minyak Sawit


Studi-studi mengenai perdagangan minyak sawit telah banyak dilakukan

dan sebagian besar dianalisis secara menyeluruh dalam integrasinya secara

vertikal maupun horizontal dalam suatu industri, misalnya studi yang dilakukan

oleh Djaenudin (2000) dan Zulkifli (2000) menganalisa minyak sawit kasar dalam

integrasinya secara vertikal dengan subindustri perkebunan kelapa sawit dan

H subindustri minyak goreng sawit. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Purwanto
a
k
ci
(2002) menganalisa minyak sawit kasar sebagai bagian horizontal dari minyak
pt
a nabati. Selain itu studi mengenai permintaan dan penawaran pasar minyak sawit
m
ili
kI juga dilakukan oleh Suryana (1986), Susilowati (1989) serta Manurung (1993).
P
Suryana (1986) menggunakan model Almost Ideal Demand System
(I
n
st (AIDS) dengan periode analisis 1964-1983 menyimpulkan bahwa permintaan
it

P
minyak sawit bersifat inelastis terhadap harga di pasar Jepang, Indonesia,
er
ta Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dan Malaysia namun elastis untuk pasar
ni
a
B Amerika. Analisis permintaan dalam perdagangan dilakukan dengan
n
o menggunakan model Armington yaitu teori permintaan untuk komoditi-komoditi

yang dibedakan menurut negara asalnya. Model ini memperlihatkan bahwa untuk

produk yang sama yang dihasilkan oleh negara-negara eksportir memiliki pangsa

tersendiri dalam perdagangan karena adanya perbedaan karakteristik produk.

* Meskipun harga yang ditawarkan produk suatu negara lebih rendah, tidak akan

g merebut pangsa ekspor produk negara lain. Berdasarkan hasil pengujian sifat
n j Dns

homogenitas maka permintaan m'nyak sawit di pasar Jepang dan MEE

• dibedakan menurut negara asalnya namun tidak berlaku untuk minyak sawit

produksi malaysia dan Indonesia artinya terdapat daya substitusi untuk produk

dua negara tersebut. Permintaan minyak sawit untuk pasar Amerika tidak
31

membedakan produk menurut asalnya sehingga daya saing menjadi penting

untuk merebut pangsa untuk pasar Amerika.

Susilowati (1989) menjelaskan integrasi pasar minyak sawit dunia dengan

pasar minyak sawit Indonesia. Studi ini mendisagregasi konsumen utama minyak

sawit yaitu Amerika Serikat, MEE dan Jepang, sedangkan produsen utama

adalah Malaysia dan Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan permintaan impor konsumen utama

H
dan penawaran ekspor produsen utama. Hasil yang diperoleh menyimpulkan
ak
ci bahwa permintaan impor minyak sawit Amerika, Jepang dan MEE bersifat
p
m
ta inelastis, sementara perubahan harga minyak sawit Malaysia berpengaruh kuat
ili
k pada penawaran ekspor minyak sawit Indonesia.
IP
B
Studi yang dilakukan oleh Manurung (1993) lebih terfokus pada dampak
(I
n kebijakan-kebijakan pemerintah dan faktor ekonomi eksternal dalam
st
it
ut perdagangan minyak sawit terhadap perubahan kesejahteraan. Sistem

P persamaan simultan dengan metode estimasi L3SLS mampu menyimpulkan


er
ta
ni bahwa penawaran ekspor minyak sawit ke Eropa dan Amerika dalam jangka
a
B
pendek inelastis terhadap harga. Sedangkan dalam jangka panjang bersifat

elastis untuk Amerika dan lnelastis untuk Eropa. Pada sisi kebijakan

diketahui

bahwa impor minyak sawit Eropa dan Amerika responsif terhadap kebijakan

pembatasan impor negara tersebut. Kebijakan pembatasan ekspor sendiri tidak

efektif jika harga di pasar internasional lebih tinggi dari pasar domestik, demikian

pula dengan penetapan pajak ekspor 5 persen hanya akan mengurangi devisa.

°, Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli (2000) membahas

a secara komprehensif industri kelapa sawit dengan penekanan pada dampak

liberalisasi perdagangan. Minyak sawit kasar merupakan subindustri yang

terintegrasi secara vertikal dengan subindustri perkebunan kelapa sawit dan


subindustri minyak goreng sawit. Oengan menggunakan analisis

ekonometrika, model persamaan simultan, penelitian tersebut menghasilkan

beberapa kesimpulan. Diantara kesimpulan tersebut yang berkaitan dengan

ekspor minyak sawit kasar Indonesia adalah: (1) penurunan atau

penghapusan pajak ekspor, memacu ekspor minyak sawit Indonesia dan

memperkuat persaingan minyak sawit Indonesia di pasar dunia serta

memperbesar insentif produksi pada perkebunan kelapa sawit, (2) penerapan

H liberalisasi perdagangan memberikan dampak positif terhadap ekspor minyak


a
k
ci
sawit kasar Indonesia, dibandingkan Malaysia sebagai negara pesaing utama
p
m dan negara-negara eksportir lainnya, Indonesia paling diuntungkan bila
ta
ili
k penurunan restriksi perdagangan dilakukan oleh semua negara secara
IP
bertahap namun sebaliknya Indonesia dirugikan jika liberalisasi hanya
(I
n
st dilakukan oleh negar-negara eksportir pesaing Indonesia, (3) peningkatan
it
ut
ekspor minyak sawit Indonesia akibat liberalisasi perdagangan diikuti pula
P
er oleh peningkatan impor oleh negara-negara importir yang tetap
ta
ni
a potensial sebagai pasar minyak sawit kasar pada era liberalisasi perdagangan
B
adalah Belanda, Jepang , Jerman, Cina dan Mesir, dan (4) meskipun

pangsa ekspor minyak sawit Indonesia di pasar dunia meningkat yang

sekaligus memberikan peningkatan devisa yang cukup besar, penerapan

liberalisasi di Indonesia mengorbankan konsumen minyak goreng sawit

domestik.

Djaenudin (2000) lebih spesifik melakukan penelitian pada pasar minyak

goreng domestik dengan menganalisis dampak kebijakan pemerintah dan

liberalisasi perdagangan. Namun penelitian ini juga menganalisis pasar minyak

sawit kasar sebagai bahan baku minyak goreng sawit. Dengan menggunakan
3
y_ sistem persamaan simultan dan metode pendugaan 2SLS, penelitian ini

menjelaskan bahwa (1) permintaan minyak sawit kasar oleh industri

minyak goreng sawit bersifat kurang responsif dalam jangka pendek


terhadap harga
33

minyak goreng sawit maupun harga minyak sawit kasar, (2) ekspor minyak sawit

kasar tidak responsif terhadap harga ekspor minyak sawit kasar, harga minyak

goreng sawit dan nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang namun

respon terhadap produksi minyak sawit kasar, dan (3) harga ekspor minyak sawit

kasar respon terhadap harga dunia minyak sawit dalam jangka panjang dan tidak

respon terhadap pajak ekspor minyak sawit.

Studi yang menyeluruh mengenai minyak nabati dilakukan oleh Purwanto

(2002), masih dengan menggunakan analisis ekonometrika sistem persamaan

simultan, model yang dibangun mampu menjelaskan diantaranya mengenai

perilaku ekspor minyak sawit yaitu : (1) perilaku ekspor minyak sawit kasar

* Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksi dan pajak ekspor, hal

ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Djaenudin (2000), (2) perilaku

*. ekspor minyak sawit Malaysia dipengaruhi oleh produksi dan stok minyak sawit,

O lag harga dan lag nilai tukar sangat mempengaruhi ekspor pada tahun berjalan

karena Malaysia melakukan Forward Trading, (3) perilaku impor minyak sawit di

China, Pakistan dan Jepang elastis terhadap konsumsi dan inelastis terhadap

harga dunia, perilaku konsumsinya menunjukkan respon positif terhadap

kenaikan pendapatan, dan (4) perilaku harga minyak sawit dunia menunjukkan

respon negatif terhadap kenaikan ekspor dan positif terhadap impor.

Kajian-kajian tersebut di atas sudah mengkaji industri minyak sawit

secara kompleks, namun yang masih perlu dilakukan adalah memperhatikan

tin properti data time series yang digunakan terutama untuk data-data perdagangan
jo
uo dan beberapa variabel makro yang cenderung merupakan variabel trend.
su
no
tu Penelitian-penelitian sebelumnya tidak memperhatikan stasionaritas dari variabel-
ml
os sehin99a
variabel yang membangun model perdagangan minyak sawit

memungkinkan terjadinya hubungan semu antar variabel. Penelitian ini dilakukan


dengan memperhatikan karakteristik data time series melalui beberapa uji

prasarat terhadap terhadap data sehingga lolos uji untuk suatu model

perdagangan minyak sawit Indonesia. Selain itu sebagian besar penelitian yang

telah dilakukan lebih menekankan pada produk minyak sawit kasar sehingga

model yang digunakan tidak menangkap adanya pergeseran orientasi ekspor

minyak sawit Indonesia.

2.6.2. Studi Mengenai Permodelan dalam analisis 7razfe Flow


Model-model empiris perdagangan internasional telah banyak digunakan
H
ak
ci sebagai alat untuk peramalan dan analisis kebijakan pada berbagai pasar
p
m komoditi pertanian. Pendekatan yang dilakukan untuk analisis tersebut adalah
ta
ili
k model keseimbangan parsial, dalam model ini analisis dibatasi pada spesifik
IP
B
sektor dari perekonomian domestik dan internasional dengan mengasumsikan
(I
n kondisi lainnya konstan. Model keseimbangan parsial mampu menjelaskan
st
it
ut
perbedaan antara jenis kebijakan perdagangan yang berbeda.

P Model ekonometrik adalah model yang efektif dalam memahami


er
ta
ni
hubungan perilaku pada berbagai pasar produk pertanian. Model ini dapat
a
B mengestimasi parameter dan menguji hipotesis sehingga parameter tersebut

relevan dengan kriteria ekonomi disamping dapat digunakan untuk validasi dan

simulasi instrument kebijakan. Model ekonometrika yang umum dan banyak

digunakan untuk menganalisis arus perdagangan komoditi pertanian adalah

° sistem persamaan simultan yang statis, namun pada kenyataannya model ini

' cenderung mengabaikan proses adjustmen yang terjadi dalam permintaan dan

penawaran produk pertanian disamping permasalahan non stasioner data time


su
at series. Studi yang berkembang menunjukkan bahwa model yang sesuai untuk
u

menganalisis struktur dan parameter dari hubungan perilaku jangka panjang

dalam pasar komoditi pertanian adalah spesifikasi dinamis error correction model
35

(ECM). Aplikasi ECM dan kointegrasi terhadap perdagangan komoditi pertanian

dilakukan oleh Niemi (2003), Tambi (1999) dan Siregar (2003).

Niemi (2003), secara spesifik studi ini membangun model ekonometrika

dinamis yang mampu menangkap efek jangka pendek dan jangka panjang

perubahan harga dan pendapatan yang dapat digunakan untuk memprediksi dan

simulasi kebijakan. Model yang dibangun adalah untuk tujuh komoditi pertanian

yang diekspor dari negara-negara ASEAN ke Uni Eropa. Hasil studi menjelaskan

bahwa konsep kointegrasi dan ECM sesuai untuk studi mengenai trade flow
H
a
k komoditi pertanian, ECM mampu merepresentasikan proses menghasilkan data
ci
pt
a (data generating process) untuk arus komoditi pertanian dari negara-negara
m
ili ASEAN ke Uni Eropa. Selanjutnya studi ini juga menunjukkan pentingnya
kI
P
inspeksi pada properti data time series. Aplikasi ECM juga dilakukan dalam studi
(I
n Siregar (2003) yang secara khusus membahas pangsa sektor pertanian jangka
st
it
ut panjang dan dinamika ekspor pertanian untuk kasus komoditi pertanian

P Indonesia. Studi yang juga mengaplikasikan kointegrasi dan ECM dalam arus
er
ta
ni perdagangan yaitu studi yang dilakukan oleh Tambi (1999), studi ini menganalisa
a
B faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor komoditi coklat, kopi dan kapas di

Cameroon. Hasil studi ini bahwa ekspor coklat dan kopi ditentukan secara

endonegus di dalam sistem dan tidak terkait dengan ekspor kapas.

Dari beberapa contoh penelitian empiris tersebut menunjukkan bahwa

model ECM sesuai untuk menangkap efek jangka panjang dan juga efek jangka

pendek sehingga mampu digunakan untuk memprediksi dan simulasi kebijakan.


mons

Untuk itu kombinasi model mengenai struktur perdagangan minyak sawit dengan

model ekonometrika ECM lebih lanjut akan diaplikasikan dalam penelitian yang

” mengkaji dinamika ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara importir

utama.

Anda mungkin juga menyukai